BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Sejak awal abad ke-20, kesenian Bali telah banyak menarik perhatian para pelancong, seniman, dan peneliti mancanegara. Hasil penelitian atau buku-buku tentang
kesenian Bali sudah banyak ditulis. Beberapa buku tentang seni tari, gamelan, dan wayang kulit yang ditulis oleh para seniman dan peneliti asing, kini menjadi referensi
yang penting dalam bidang seni pertunjukan Bali. Buku Dance and Drama in Bali 1938 karya Walter Spies dan Beryl de Zoete, Music in Bali 1967 oleh Collin McPhee,
misalnya banyak memberikan data dan informasi mengenai berbagai aspek seni pertunjukan Bali, namun tanpa menyinggung genre sendratari.
Ada beberapa buku tahun 1970-an yang mulai menyebut-nyebut keberadaan sendratari di tengah masyarakat Bali, baik yang ditulis peneliti asing maupun buku-buku
hasil penelitian sarjana Indonesia. I Made Bandem dan Frederik E. deBoer dalam bukunya, Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition 1981 memberikan gambaran
menyeluruh mengenai tari Bali masa kini, termasuk pula aspek-aspek umum dari teater Bali. Buku yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kaja dan
Kelod Tarian Bali dalam Transisi 2004 oleh I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem itu mengupas sendratari pada subjudul “Tarian Sekuler di Luar Pura“. Bandem dan
deBoer mendeskripsikan tentang sejarah dan perkembangan sendratari serta disinggung
secara sekilas tentang konsep artistik seni pertujukan ini. Ornamen-ornamen yang ada dalam kebyar disebutkan ikut memberi kontribusi pada keberadaan sendratari.
Kelahiran dan perkembangan sendratari seiring dengan kejayaan seni kebyar. Michael Tenzer dalam bukunya Gamelan Gong Kebyar: The Art of Twentieth Century
Balinese Music 2000 menyinggung sendratari sebagai sebuah seni pertunjukan spektakuler yang diiringi dengan gamelan gong kebyar. Dipaparkan dalam buku yang
sangat lengkap mengkaji aspek teoritis dan praktis salah satu gamelan Bali yang hampir dijumpai di setiap banjar atau desa ini, pertunjukan festival gong kebyar dan sendratari
yang disaksikan ribuan penonton PKB. Pementasan sendratari kolosal dalam PKB dianggap merupakan perkembangan
prestisius dalam sejarah seni pertunjukan Bali. Buku Balinese Dance, Drama and Music; A Guide to The Performing Arts of Bali 2004 karangan I Wayan Dibia dan Rucina
Billinger melukiskan bagaimana keberadaan sendratari pada pesta seni yang berawal pada tahun 1979 itu. Dalam subjudul “Sendratari and Drama Gong” diungkapkan sebagai
berikut: Since 1979, the annual Bali Arts Festival has produced colossal Sendratari.
The first was a collaboration of faculty, teachers and students of KOKAR and ASTI; subsequently, each school produced its own. Costuming and
staging run to the extravagant when this form is done on a large stage. In order to fill the enormous outdoor amphitheater at the Werdhi Budaya Art
Center in Denasar, a Sendratari production requires more then a hundred dancers a long with musicians playing multiple gamelan ensambles.
Buku Evolusi Tari Bali 1996 susunan I Made Bandem dalam subjudul “Sendratari Ramayana dan Mahabharata” mengungkapkan tentang pementasan, skenario,
dalang, gamelan, dan struktur dramatik seni pertunjukan ini. Diungkapkan Bandem,
penelitian dan eksperimentasi dalam garapan sendratari kolosal pada PKB sejak tahun 1979 merupakan awal perubahan baru dalam tari Bali. Perubahan dari prinsip terinci
dalam tari Bali menjadi prinsip global kolosal ditranformasikan secara mantap melalui tahapan-tahapan eksperimentasi dan penggarapan yang mantap pula.
Buku Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali 1999 karya I Wayan Dibia memberi gambaran yang lebih rinci mengenai sendratari Bali. Ditegaskan dalam buku itu
bahwa sendratari Bali pada hakikatnya merupakan hasil kreativitas para seniman modern melalui penuangan atau pengolahan kembali elemen-elemen seni dan bentuk-bentuk
kebudayaan yang sudah ada seperti seni Pewayangan, Pegambuhan, Pelegongan, dan Kekebyaran. Disinggung pula dalam buku itu tentang konsep estetik sendratari sebagai
sebuah tarian berlakon yang lebih menekankan penyajian cerita lewat gerak tari dan musik karawitan. Selain memaparkan sejarah dan perkembangan sendratari Bali,
Wayan Dibia juga membedakan sendratari Bali menjadi dua yaitu sendratari kecil dan sendratari besar atau kolosal. Sendratari kecil melibatkan 10 sampai 25 orang penari
sedangkang sendratari besar melibatkan 50 sampai 150 orang penari. Buku yang memberikan gambaran umum tentang seni tari, karawitan dan
pedalangan Bali itu memberikan porsi yang cukup berarti mengenai sendratari Bali. Dipaparkan bahwa sumber lakon sendratari Bali dapat menjadi tiga kelompok yaitu
Ramayana, Mahabharata, Babad dan Cerita Rakyat. Khusus mengenai epos Mahabharata disebutkan telah dijadikan sumber lakon sendratari sejak tahun 1970-an oleh sejumlah
seniman baik perorangan maupun berkelompok. Berdasarkan jumlah penarinya, Sendratari Mahabaharata juga telah digarap dalam bentuk sendratari kecil dan sendratari
besar atau kolosal. Dipaparkan sejumlah sendratari kecil itu adalah Sang Kaca karya I Wayan Dibia, garapan sendratari Pemda Kabupaten Gianyar pada Festival Gong Kebyar
se-Bali tahun 1978 dan Sendratari Nara Kesuma karya I Wayan Beratha, sendratari garapan Pemda Kabupten Badung pada Festival Gong Kebyar se-Bali tahun 1978.
Sedangkan Sendratari Mahabharata yang digarap secara kolosal disebutkan dimulai sejak tahun 1981 yang ditampilkan di PKB diantaranya adalah: Bale Gala-gala, Sayembara
Dewi Amba, Pandawa Korawa Aguru, Sayembara Drupadi, Gugurnya Kicaka, Arjuna Wiwaha, Dewa Ruci, Eka Lawya, Kresna Duta, Gugurnya Abhimanyu, Gugurnya
Gatotkaca, Gugurnya Karna, Gugurnya Salya, Gugurnya Duryadana, Gugurnya Kresna, Sakuntala, Kangsa Lina, Pandawa ke Sorga, Parikesit, Prabu Nala, dan lain-lain.
Skenario yang menjadi pelengkap sendratari kolosal merupakan sebuah pembaharuan dalam seni pertunjukan Bali. Seni pertunjukan tradisional Bali seperti
gambuh, topeng panca, wayang wong, tak pernah menggunakan play script atau skenario. Lakon atau skenario sebuah pementasan disampaikan secara lisan oleh pemain yang
dianggap paling berpengalaman yang kemudian disepakati secara bersama. Peristiwa seperti itu disebut dengan ngadungang lampahan Bandem 1996:69. Sebuah skenario
dalam sendratari kolosal disusun sebagai berikut: Proses penyusunan scenario itu dimulai dari penyusunan sinopsis cerita,
pembabakan cerita, penampilan tokoh, suasana iringan, serta memasukkan aspek dramatis lainnya seperti peranan lampu dan lain-lainnya.
Pembabakan cerita sendratari-sendratari itu masih mengikuti pola struktur dramatis sebuah cerita yang diangkat sebagai lakon yang biasanya
mengandung adegan perkenalan, pertermuan, roman, kesedihan, perpisahan, keberangkatan, dan peperangan ibid: 1996:71.
Seperti halnya sendratari gaya Jawa, gagasan awal diciptakan sendratari adalah mengungkapkan cerita dengan gerak murni tanpa dialog. Namun ketika sendratari
dikembangkan di Bali, unsur dialog justru cukup menonjol dan penting. Vitalnya fungsi dalang terutama dalam pementasan sendratari kolosal pada panggung yang sangat luas.
Bandem Ibid:72–73
menyebut dalang
menjadi mediator
yang efektif
mengkomunikasikan kedalaman filsafat dan etika moral kepada penonton lewat aksentuasi antawacana atau dialog-dialog tertentu. Peranan dalang dalam sendratari
kolosal mampu memikat selama 3-4 jam ribuan penonton. Ketika sendratari
tercipta di Jawa Tengah, konsep artistiknya tidak
menggunakan dialog verbal melainkan murni menampilkan drama dalam estetika tari. Soedarsono dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia Pariwisata 2004
memaparkan secara panjang lebar mengenai kelahiran dan perkembangan seni pertunjukan yang secara harpiah berarti seni drama tari ini. Istilah sendratari diusulkan
oleh seorang dramawan bernama Anjar Asmara yang sampai sekarang dipergunakan untuk menyebut drama tari Jawa tanpa dialog verbal ini, bahkan istilah ini diadopsi oleh
daerah-daerah lain di Indonesia untuk menyebut drama tari sejenis. Istilah sendratari dimunculkan pada tahun 1961, ketika drama tari Jawa tanpa dialog verbal ini digarap
bagi wisatawan mancanegara dan wisatawan Nusantara Soedarsono, 2003:145. Diungkapkan dalam sub-bab, “Sendratari Ramayana di Panggung Terbuka
Prambanan”, ide awal dari seni pertunjukan ini berangkat dari upaya meningkatkan kegiatan kepariwisataan di Jawa Tengah. Setelah sempat menyaksikan pertunjukan Ballet
Royale du Camboge yang dipentaskan di depan Angkor Wat, Menteri Perhubungan
Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata, Mayor Jenderal G.P.H. Djatikoesoemo, berniat untuk menggelar sebuah pertunjukan yang megah di depan Candi Prambanan.
Dibuatlah kemudian sebuah panggung terbuka yang bertempat duduk 2.000 sampai 3.000 buah. Pangeran Suryohamijoyo dan Dr. Seoharso yang diserahkan tugas untuk
menyutradarai sendratari kolosal ini berhasil mementaskannya pada tanggal 26 Juli 1961. Kuswarsantyo 1997:88 menyebut tiga keunggulan pementasan sendratari
Ramayana kolosal di panggung terbuka Prambanan itu. Pertama, latar belakang candi Prambanan sangat mendukung suasana setiap adegan pertunjukan yang berdurasi 120
menit itu. Kedua, dengan arena yang cukup luas, menjadi sangat mungkin untuk menghadirkan penari dalam jumlah banyak, sehingga kesan dramatik dari sebuah adegan
Ramayana semakin kuat. Kekuatan dramatik tersebut terbentuk dengan dukungan para penari figur yang berada di sekitar tokoh utama, sehingga muncul kekuatan lebih dari
tokoh Rama atau Rahwana yang tidak tampak jika tokoh-tokoh tersebut hanya tampil sendirian. Ketiga, kecanggihan teknologi di panggung terbuka ini membuka peluang
untuk dimanfaatkan secara optimal. Dengan manipulasi ruang dan mengambil latar belakang candi, suasan adegan peradegan dalam pertunjukan Ramayana semakin hidup.
Imajinasi penonton pun akan terbawa ke alam kerajaan Alengka atau Pancawati yang sebenarnya hanya fiktif itu.
Menurut Sal Murgiyanto dalam buku 100 Tahun Nusantara 2000 yang diterbitkan Kompas, genre baru “sendratari“ akhirnya diterima dengan baik oleh
masyarakat dan menjadi sajian seni pertunjukan setempat. Dalam sub-bab “Tari, Wayang dan Gamelan Seabad Lewat” diungkapkan bahwasanya dalam waktu singkat sendratari
tersebar ke Jawa Timur Wilwatikta di Pandaan dan Denpasar Bali. Bagong Kussudiardja juga menggarap beberapa karyanya dalam bentuk sendratari atau drama
tari tanpa dialog. Orientasi cerita Ramayana dan Mahabharata masih sangat kuat karena pengaruh wayang orang dan wayang kulit.
Demikian pula di Bali, genre sendratari menambah perbendaharaan drama tari daerah yang sudah ada. Seperti di Jawa, sendratari di Bali diciptakan
bersama oleh sebuah tim yang terdiri dari pengajar, asisten, dan siwa- siswa Kokar Bali di bawah arahan seniman I Wayan Beratha. Pola
koreografinya mirip dengan Sendratari Ramayana Prambanan SRP. Kecuali cerita wayang Ramayana yang sangat popular sebagai sajian
wisata ditampilkan pula kisah sejarah dan cerita rakyat. Sendratari Bali diiringi gending dan gamelan Bali, dengan gerak, rias dan kostum yang
dikembangkan dari perbendaharaan tradisi yang ada. Bentuk sendratari begitu populer sehingga menjadi acara utama dalam Pesta Kesenian Bali
yang berlangsung setiap tahun. Penciptaannya ditangani secara khusus oleh tim artistik gabungan dari kokar SMKI dan ASTI STSI Bali.
Hasilnya dipentaskan di panggung Werdhi Budaya, Taman Budaya, Denpasar, Bali Murgiyanto, 2000:353-354.
Penggarapan sendratari dalam PKB menjadi ritus inovasi di kalangan kreator dan pelakau seni pertunjukan ini, sebab hampir setiap penggarapan sebuah lakon disertai
dengan semangat pembaharuan. Tentang ritus inovasi, hasil penelitian James L. Peacock, Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama,
memberikan inspirasi yang cukup kuat dan pemahaman konsep yang dalam. Peacock melihat
ludruk yang dijadikannya
kasus, sebagai sebuah ritus modernisasi, pengembangan dari Ritus Peralihannya Arnold van Gennep. Inovasi kiranya sejajar
dengan ritus seperti juga hal modernisasi dan ritus-ritus peralihan inisiasi. Dalam penggarapan sendratari, inovasi diberi ruang yang lebar.
Inovasi dalam sendratari kolosal PKB berpijak dari bahan-bahan seni pertunjukan tradisional Bali. Buku Seni Diantara Tradisi dan Modernisasi 1999 karya I
Wayan Dibia memberi wawasan tentang eksistensi seni pertunjukan tradisi dan modern di Bali. Melalui ungkapan modernisasi dalam tradisi, dipaparkan bagaimana para
seniman di Bali secara sadar, kreatif dan selektif memasukkan ide-ide baru ke dalam kesenian tradisional yang diwarisi sejak zaman lampau dengan tujuan untuk memberikan
nafas baru yang dapat mendekatkan kesenian itu dengan masyarakat zaman sekarang. Melalui ungkapan modernisasi dengan tradisi, dipaparkan bahwa jenis pertunjukan
modern yang dihasilkan oleh para seniman Bali terdapat nuansa seni tradisi yang cukup kental yang disebabkan oleh adanya kebiasaan dari para seniman memasukkan elemen-
elemen kesenian tradisi ke dalam karya-karya mereka yang lebih baru. Untuk memenuhi tuntutan artistik masyarakat modern yang semakin
kompleks, para praktisi seni tradisi terus memperbaharui modernisasi kesenian mereka dengan cara memasukkan ide-ide baru, baik yang berakar
dari lingkungan budaya sendiri maupun dari luar. Untuk menguatkan identitas pribadi dan budaya dari karya-karya barunya, semakin banyak
para seniman modern yang kembali ke akar tradisi dan mengolah unsur- unsur tradisi yang ada atau yang diketahuinya Dibia, 1999:13.
Para seniman Bali mengapresiasi seni tradisi sebagai sumber inspirasi dalam olah cipta seninya. Tari klasik-tradisional Bali dalam hal ini, ibarat mata air tari-tari kreasi
yang muncul kemudian.. Inovasi dalam kreativitas seni tari di kalangan seniman Bali masa kini tak bisa dilepaskan dari bahan-bahan yang telah tersedia dalam nilai-nilai
estetik warisan masyarakat terdahulu. Sebaliknya kreativitas seni tari yang mencoba mengabaikan atau lepas sama sekali dari mutu manikam seni tradisi itu, lazimnya belum
mampu menjalin komunikasi dengan masyarakat penonton, bahkan tak jarang kurang diapresiasi masyarakat pada umumnya. Berinovasi tari dengan mengemas elemen seni
tradisi seakan telah menjadi rumus jitu bagi kreator tari di Bali bila karyanya ingin
mendapat apresiasi penikmat seni pertunjukan. Sendratari adalah seni pertunjukan Bali modern yang pijakan pengembangannnyas berakar dari seni pertunjukan tradisional yang
banyak mendapat perhatian masyarakat.
Namun seperti yang telah disinggung di atas, hingga saat ini belum ada penelitian ilmiah yang khusus mengkaji tentang sendratari. Buku-buku yang telah disebutkan tadi
lebih banyak menempatkan sendratari sebagai bagian atau sub-bab dari sebuah pembahasan kajian seni pertunjukan. Karya tulis setingkat S1 tentang sendratari
sebenarnya sudah banyak disusun mahasiswa Institut Seni Indonesia ISI Denpasar dalam ujian akhirnya. Tetapi karena karya tulis itu hanya berupa skrip tari atau skrip
karawitan sebagai pendamping sendratari yang dijadikan objek garapan, isinya bersifat deskriptif-informatif dan dibatasi pada karya seni yang diciptakan. Demikian pula halnya
dengan Sendratari Mahabharata sendratari yang lakonnya bersumber dari epos Mahabharata, juga belum ada yang mengangkat sebagai karya tulis ilmiah untuk jenjang
S3 khususnya dari perspektif kajian budaya.
Kendati demikian seluruh kajian terdahulu tentang sendratari tersebut menjadi referensi dan informasi yang sangat berguna bagi penelitian ini. Setidaknya deskripsi
yang dituangkan dalam tulisan-tulisan terdahulu itu dapat menjadi sandaran penelitian Sendratari Mahabharata secara lebih utuh dari perspektif kajian budaya cultural studies.
Melalui pendekatan kajian budaya, penelitian ini akan mencoba memandang Sendratari Mahabharata bukan hanya pada prinsip estetik namun juga menyangkut relasinya dengan
dialektika global-lokal ini. Penggunaan subjek global-lokal pada penelitian bidang
kesenian, pertunjukan sendratari khususnya, adalah kajian yang belum banyak dijelajahi para peneliti kita. Penelitian ini berobsesi untuk membukukan dalam karya ilmiah
disertasi dan dijadikan referensi bagi semua pihak yang berkepentingan.
2.2 Konsep