BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya,
bakteri juga tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan penyakit infeksi. Penyakit infeksi ini juga merupakan penyebab utama kematian di dunia. Infeksi
terbanyak 18 terutama pada anak-anak dibawah lima tahun balita adalah infeksi saluran nafas akut Mulholland, 2005.
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di berbagai belahan dunia umumnya maupun
di Indonesia khususnya. Indonesia memiliki angka kejadian penyakit menular tuberkulosis yang penderitanya mencapai 539.000 orang, dengan kematian karena
penyakit tersebut mencapai 101.000 orang. Maka secara kasar dari 100.000 penduduk Indonesia 110 diantaranya merupakan penderita baru tuberkulosis paru
BTA Basil Tahan Asam positif di bawah India dan Cina yang penderitanya jauh diatas Indonesia dengan jumlah pasien sekitar 10 dari total jumlah pasien dunia
Depkes RI, 2007. Menurut estimasi data insiden TB tuberkulosis di dunia, WHO World Health Organization mencantumkan Indonesia dengan negara
yang memiliki kejadian TB nomor lima di dunia setelah India, China, Nigeria dan Pakistan WHO, 2014.
Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan mencapai 0,24 didasarkan dari survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survai kesehatan
nasional 2001, TB menempati urutan nomor tiga sebagai penyebab kematian di Indonesia setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran pernafasan
pada seluruh kalangan usia Sudoyo et al., 2009. Pada negara-negara berkembang dunia, diperkirakan terjadi 95 kasus TB dan 98 kasus kematian
akibat TB. Angka kematian pada wanita akibat TB juga memiliki tingkat kejadian lebih tinggi dibanding kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas Depkes,
2007. 1
Salah satu masalah global yang terjadi di negara maju maupun berkembang adalah resistensi antibiotik, hal ini dapat terjadi dalam suatu komunitas maupun
rumah sakit. Resistensi terhadap suatu bakteri penyebab infeksi sangat merugikan dan mempengaruhi penyebaran penyakit, hasil terapi, lama sakit, dan biaya terapi
Setiawan, 2010. Pada penelitian Munir 2010, didapatkan gambaran mengenai resistensi kuman tuberkulosis terhadap OAT Obat Anti Tuberkulosis, yakni
kasus resistensi yang paling banyak terjadi adalah resistensi sekunder dengan presentase 77,2, disusul dengan tingkat kejadian resistensi terhadap isoniazid
dan rifampisin yakni 50,5, dan terakhir resistensi primer 22,8 dari semua pasien yang terdiagnosis MDR-TB Multi Drug Resistance - Tuberculosis. Pada
penelitian Sihombing 2012, didapat dari 85 subyek yang diteliti 35 orang diantaranya 41,18 mengalami resistensi primer. Dengan kejadian
monoresistance primer terjadi pada 18 subyek 21,18 dengan resistensi terhadap streptomisin 10 subyek 11,76 isoniazid 4 subyek 4,71 etambutol
3 orang 3,53 dan rifampisin 1 subyek 1,18. Kejadian polyresistance sebanyak 13 subyek 15,29, dengan uraian resistensi terhadap streptomisin dan
etambutol sebanyak 4 subyek 4,71, rifampisin dan etambutol 3 subyek 3,53, rifampisin dan streptomisin 2 subyek 2,35, rifampisin, streptomisin
dan etambutol 2 subyek 2,35, isoniazid dan streptomisin 1 subyek 1,18 serta isoniazid dan etambutol 1 subyek 1,18. Sedangkan untuk kasus TB-MDR
primer terdapat 4 subyek 4,71 dengan uraian resisten terhadap rifampisin, isoniazid dan etambutol sebanyak 3 subyek 3,53 dan resisten terhadap
rifampisin, isoniazid, etambutol, streptomisin 1 subyek 1,18, sehingga untuk mengontrol hal tersebut sangat diperlukan pengawasan dalam penggunaan
antibiotik Yuniarti, 2010. Pada hampir semua kuman dapat mengalami peristiwa resistensi. Ketika
suatu sel atau populasi sel mengalami resistensi, sel tersebut akan bermutasi dan dapat menyebabkan populasi sel yang lain juga mengalami resistensi. Peristiwa
resistensi terhadap OAT sudah mencapai angka yang tinggi, misalnya di Yogyakarta resistensi basil tuberkulosis terhadap isoniazid INH sudah mencapai
presentase 16 dan penelitian yang sama di daerah Bandung mencapai
prosentase yang lebih besar dengan tingkat resistensi terhadap INH mencapai 37,5 Farida, 2005.
B. Perumusan Masalah