RESISTENSI KUMAN Mycobacterium tuberculosis TERHADAP OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PENYAKIT TUBERKULOSIS Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis Pada Penyakit Tuberkulosis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Suraka

(1)

1

RESISTENSI KUMAN

Mycobacterium tuberculosis

TERHADAP OBAT

ANTI TUBERKULOSIS PADA PENYAKIT TUBERKULOSIS

DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT

SURAKARTA TAHUN 2014

NASKAH PUBLIKASI

Oleh :

INES NURFITRIANA

K100110117

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

SURAKARTA


(2)

(3)

1 RESISTENSI KUMAN Mycobacterium tuberculosis TERHADAP OBAT ANTI

TUBERKULOSIS PADA PENYAKIT TUBERKULOSIS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN 2014

RESISTANCE OF Mycobacterium tuberculosis TO ANTI TUBERCULOSIS DRUGS IN TUBERCULOSIS DISEASE AT BALAI BESAR KESEHATAN PARU

MASYARAKAT SURAKARTA PERIOD 2014

Ines Nurfitriana*, M Kuswandi**, dan EM Sutrisna*

*Faculty of Pharmacy, Muhammadiyah University of Surakarta ** Faculty of Pharmacy, Gajah Mada University

ABSTRAK

Resistensi merupakan masalah yang sangat mempengaruhi keberhasilan terapi penyakit tuberkulosis dan dapat memicu terjadinya multi drug resistance, extensive drug resistance bahkan total drug resistance, sehingga dibutuhkan diagnosa yang cepat dan tepat serta kepatuhan dalam menggunakan obat. Penelitian ini memberikan gambaran peta resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta tahun 2014. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non eksperimental secara deskriptif dengan mengolah data sekunder hasil uji resistensi yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta periode bulan Januari-Juni 2014 dari spesimen sputum. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingkat kejadian resistensi tertinggi adalah terhadap streptomisin sebanyak 11%, isoniazid 4%, rifampisin 4% dan etambutol 8%. Resisten terhadap 1 OAT sebanyak 7%, 2 OAT 5%, 3 OAT 1%, dan 4 OAT 0%. Kejadian monoresistance terjadi sebanyak 14% dengan kejadian resisten terhadap streptomisin 7%, isoniazid 1%, rifampisin 3% dan etambutol 3%. Kejadian polyresistance terjadi sebanyak 5% dengan resisten terhadap isoniazid+etambutol sebanyak 2% dan terhadap streptomisin+etambutol sebanyak 3%. Kejadian multi drug resistance (MDR) sebanyak 1% yakni terhadap isoniazid+rifampisin+ streptomisin.

Kata kunci: Resistensi, Mycobacterium tuberculosis, Antibiotik tuberkulosis, Sputum, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

ABSTRACT

Resistance is an issue that greatly effect the success of the tuberculosis therapy and it may trigger the onset of multi drug resistance, extensive drug resistance even total drug resistance. So it takes a quick and precise diagnosis and compliance in using drugs. This research provides an overview map germ Mycobacterium tuberculosis resistance to anti tuberculosis drugs at Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta period 2014. Research conducted was a non experimental research with processing secondary data of resistance test results that done in the laboratory of Microbiology Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta month period January-June 2014 from sputum specimens. The results of this research demonstrated the highest resistance incidence rate was 11% streptomycin, ethambutol 8% and isoniazid and rifampisin 4%. Resistant to 1 OAT 7%, 2 OAT 5%, 3 OAT 1%, and 4 OAT 0%. Monoresistance incident occured as much as 14% with resistance to streptomicin 7%, isoniazid 1%, rifampicin 3% and ethambutol 3%. Polyresistance incident occured as much as5% withe resistance to isoniazid+ethambutol


(4)

2 2% and streptomicin+ethambutol 3%. Multi drug resistance incident occured in 1% with resistance to isoniazid+rifampicin+streptomicin.

Keyword: Resistance, Mycobacterium tuberculosis, Anti Tuberculosis Drugs, Sputum, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di berbagai belahan dunia umumnya maupun di Indonesia khususnya. Indonesia memiliki angka kejadian penyakit menular tuberkulosis yang penderitanya mencapai 583.000 orang, dengan kematian karena penyakit tersebut mencapai 140.000 orang. Maka secara kasar dari 100.000 penduduk Indonesia 130 diantaranya merupakan penderita baru tuberkulosis paru BTA (Basil Tahan Asam) positif (Depkes RI, 2002). Menurut estimasi data insiden TB di dunia, WHO mencantumkan Indonesia dengan negara yang memiliki kejadian TB nomor lima di dunia setelah India, China, Nigeria dan Pakistan (WHO, 2014). TB menempati urutan nomor tiga sebagai penyebab kematian di Indonesia setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran pernafasan pada seluruh kalangan usia (Aru et al., 2009). Di negara berkembang 25% dari seluruh kematian yang dapat dicegah merupakan kematian akibat TB. Dan diperkirakan dari 95% kasus TB yang ada di negara berkembang, 75% penderitanya tergolong usia produktif yakni antara 15-56 tahun (Depkes RI, 2000). Salah satu masalah global yang terjadi di negara maju maupun berkembang adalah resistensi antibiotik, hal ini dapat terjadi dalam suatu komunitas maupun rumah sakit. Resistensi terhadap suatu bakteri penyebab infeksi sangat merugikan dan mempengaruhi penyebaran penyakit, hasil terapi, lama sakit, dan biaya terapi (M.Wibowo, 2010).

Pada penelitian Sihombing (2012), didapat dari 85 subyek yang diteliti 35 orang diantaranya (41,18%) mengalami resistensi primer. Dengan kejadian monoresistance primer terjadi pada 18 subyek (21,18%) dengan resistensi terhadap streptomisin 10 subyek (11,76%) isoniazid 4 subyek (4,71%) etambutol 3 orang (3,53%) dan rifampisin 1 subyek (1,18%). Kejadian polyresistance sebanyak 13 subyek (15,29%), dengan uraian resistensi terhadap streptomisin dan etambutol sebanyak 4 subyek (4,71%), rifampisin dan etambutol 3 subyek (3,53%), rifampisin dan streptomisin 2 subyek (2,35%), rifampisin, streptomisin dan etambutol 2 subyek (2,35%), isoniazid dan streptomisin 1 subyek (1,18%) serta isoniazid dan etambutol 1 subyek (1,18%). Sedangkan untuk kasus TB-MDR primer terdapat 4 subyek (4,71%) dengan uraian resisten terhadap rifampisin, isoniazid dan


(5)

3 etambutol sebanyak 3 subyek (3,53 %) dan resisten terhadap rifampisin, isoniazid, etambutol, streptomisin 1 subyek (1,18%), sehingga untuk mengontrol hal tersebut sangat diperlukan pengawasan dalam penggunaan antibiotik (Elsa, 2010).

METODE PENELITIAN Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah data hasil uji resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis dari spesimen sputum Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta mulai bulan Januari sampai Juni 2014. Pengambilan sampel pada penelitian ini berdasarkan waktu. Sampel yang digunakan adalah data sekunder hasil uji resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis yang memenuhi kriteria penelitian sebagai sampel sampai suatu periode waktu yang ditentukan. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien yang menerima terapi obat anti tuberkuloasis lini pertama dan mempunyai hasil uji resistensi kuman dengan pesimen sputum.

Jalannya penelitian

Data hasil uji resistensi kuman Mycobacterium tuberkulosis dari spesimen sputum yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Kesehatan Masyarakat Surakarta pada bulan Januari sampai Juni 2014.

Dalam proses pengumpulan data oleh petugas BBKPM Surakarta, sampel sputum yang didapat diuji secara mikroskopik setelah diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dan pemeriksaan kekentalan, warna dan volume dahak. Selanjutnya sputum dibiakkan menggunakan media Lowenstein Jensen selama 6 sampai 8 minggu. Setelah didapatkan pertumbuhan pada media, dilakukan subkultur isolat kuman Mycobacterium tuberculosis untuk memurnikan koloni sebelum dilakukan uji kepekaan terhadap OAT, dan uji identifikasi. Jika terdapat pertumbuhan pada media tersebut, kemudian dilakukan uji identifikasi yakni uji niasin, uji nitrat dan uji PNB (Paranitri-Benzoic Acid). Selanjutnya dilakukan uji resistensi terhadap beberapa obat anti tuberkulosis lini pertama. Uji resistensi dilakukan dengan prosedur berikut: disiapkan suspensi kuman dengan konsentrasi 1 mg/ml atau Mc Farland 0.5-1.0 kemudian dibuat pengenceran 10-3 dan 10-5 dari suspensi kuman tersebut lalu diinokulasikan pada media tanpa OAT dan media dengan OAT dan selanjutnya diinkubasi dengan kemiringan 300 pada suhu 370C. Hasil uji resistensi dapat dibaca pada hari ke 28 dan 42.


(6)

4 Obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan dalam uji resistensi antara lain: streptomisin dengan konsentrasi 4mg/L, isoniazid dengan konsentrasi 0,2mg/L, rifampisin dengan konsentrasi 40mg/L, dan etambutol dengan konsentrasi 2mg/L masing-masing konsentrasi obat yang digunakan sudah sesuai dengan ketetapan Depkes tahun 2002.

Analisis data

Analisis data kepekaan OAT yang digunakan dalam pebacaan dan interpretasi hasil uji yang dilakukan oleh laboratorium BBKPM Surakarta pada penelitian ini adalah metode proporsional. Jika proporsi yang resisten tersebut lebih dari 1% maka dapat dinyatakan bahwa kuman Mycobacterium tuberculosis sudah resisten terhadap OAT dan sebaliknya jika hasil presentase resistennya kurang dari 1% maka kuman tersebut dinyatakan sensitif terhadap OAT.

%resistensi :

(Syahrurachman, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama bulan Januari sampai Juni tahun 2014, didapat 100 pasien yang diterapi menggunakan obat anti tuberkulosis lini pertama dan memiliki hasil uji resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti tuberkulosis di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta dengan spesimen sputum. Obat yang digunakan dalam uji kepekaan ini adalah obat anti tuberkulosis lini pertama meliputi streptomisin, isoniazid, rifampisin, dan etambutol. Hasil uji tersebut memberikan gambaran obat anti tuberkulosis yang masih sensitif dan resisten.

1. Distribusi pemeriksaan sputum berdasarkan usia pasien

Berikut distribusi pemeriksaan sputum berdasarkan usia pasien berdasarkan data sekunder hasil uji kepekaan kuman Mycobacterium tuberkulosis terhadap OAT lini pertama:

Tabel 1. Distribusi pemeriksaan sputum pasien berdasarkan usia di BBKPMS periode bulan Januari – Juni tahun 2014

Usia pasien Presentase (%) (n=100)

1-12 tahun 0

13-18 tahun 1

19-60 tahun 79

>60 tahun 20

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar penderita tuberkulosis paru di daerah Surakarta adalah golongan usia 19-60 tahun yakni dengan presentase 79%. Usia ini dapat dikategorikan usia produktif karena termasuk rentang usia 25 tahun sampai 34 tahun.


(7)

5 Usia produktif memiliki tingkat penularan yang sangat tinggi sehingga sangat berbahaya. Hal ini dikarenakan pada usia produktif sangat mudah berinteraksi dengan orang lain dan memiliki mobilitas yang tinggi sehingga memudahkan dalam penyebaran penyakit (Munir et al., 2010). Pasien dengan rentang usia 1-12 tahun memiliki presentase 0% karena sebagian besar anak dengan usia tersebut belum dapat mengeluarkan sputum sehingga tidak dapat dilakukan uji sensitivitas di Laboratorium Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

2. Distribusi pemeriksaan sputum berdasarkan jenis kelamin pasien

Berdasarkan data sekunder hasil uji kepekaan kuman Mycobacterium tuberkulosis terhadap OAT lini pertama menurut jenis kelamin:

Gambar 1. Distribusi pemeriksaan sputum di BBKPMS berdasarkan jenis kelamin periode bulan Januari – Juni tahun 2014

Jika dilihat dari jenis kelamin, pasien dengan jenis kelamin laki-laki memiliki angka kejadian lebih tinggi yaitu 58% dibanding perempuan dengan tingkat kejadian 42%. Jenis kelamin juga dapat berpengaruh karena sebagian besar laki-laki memiliki kebiasaan merokok sehingga memperbesar kemungkinan terkena penyakit tuberculosis. Merokok dapat menjadikan seseorang mudah terinfeksi kuman, karena asapnya dapat menyebabkan pembuluh darah pada paru mudah bocor dan merusak makrofag berupa sel pemakan bakteri pengganggu (Sarwani, 2012). Selain umur dan jenis kelamin, beberapa faktor resiko lain yang dapat mendukung kejadian tuberkulosis antara lain tingkat riwayat penularan anggota keluarga, pengetahuan masyarakat, status gizi (indeks massa tubuh), kelembaban dan ventilasi kamar tidur (Rusnoto et al., 2010)

3. Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT pada semua jenis uji (tunggal dan kombinasi)

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa tingkat resistensi yang paling tinggi dari semua jenis uji baik tunggal maupun kombinasi adalah terhadap streptomisin dengan presentase 7% dilanjut dengan resistensi terhadap rifampisin 3%, etambutol dan


(8)

6 streptomisin+etambutol 3% kemudian resistensi terhadap isoniazid sebesar 2% dan dengan tingkat resistensi terendah dengan nilai presentase 1% adalah resisten terhadap isoniazid dan isoniazid+rifampisin+ streptomisin. Untuk pasien dengan kepekaan terhadap semua jenis OAT sangat tinggi yaitu 80 pasien dari 100 pasien yang diteliti, ini pertanda baik karena dalam pengobatannya masih dapat diatasi dengan obat-obat anti tuberkulosis lini pertama.

Tabel 2. Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap semua jenis uji OAT periode Januari – Juni tahun 2014

No Pola resistensi Presentase (%) (n=100)

1 S 7

2 I 1

3 R 3

4 E 3

5 I+R 0

6 I+S 0

7 I+E 2

8 R+S 0

9 R+E 0

10 S+E 3

11 I+R+S 1

12 I+R+E 0

13 I+S+E 0

14 R+S+E 0

15 I+R+S+E 0

Ket: S, streptomisin; I, isoniazid; R, rifampisin; E, etambutol

4. Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT lini pertama Hasil uji kepekaan kuman Mycobacterium tuberkulosis terhadap OAT di Laboratorium Mikrobiologi BBKPMS periode Januari-Juni 2014 didapat 100 isolat yang diuji dengan hasil berikut:

Tabel 3. Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT lini pertama di BBKPMS periode Januari – Juni tahun 2014

Presentase (%) OAT Jumlah

isolat Sensitif Resisten

Streptomsin 100 89 11

Isoniazid 100 96 4

Rifampisin 100 96 4

Etambutol 100 92 8

Tabel 2 dapat memberikan gambaran pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap beberapa obat anti tuberkulosis lini pertama. Tingkat resistensi yang didapat bervariasi kisaran 4% sampai 11%. Kejadian resistensi yang paling tinggi yaitu terhadap streptomisin dengan presentase resistensi 11%. Kejadian resistensi paling rendah ditunjukkan pada isoniazid dan rifampisin yaitu 4%, sedangkan etambutol memiliki presentase resistensi 8%.


(9)

7

Gambar 2. Diagram resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT lini pertama di BBKPMS periode Januari – Juni tahun 2014

Hasil penelitian ini sedikit memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihombing, 2012 di RSUP H. Adam Malik Medan dimana tingkat resistensi terhadap streptomisin juga memiliki angka tertinggi yaitu 11,76% dan terendah terhadap rifampisin sebesar 1,18%, sedangkan isoniazid memiliki tingkat resistensi sebesar 4,71%.

5. Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap penggolongan OAT lini pertama

Pada penelitian ini, didapat hasil bahwa resistensi kuman terhadap OAT yang paling tinggi yaitu terhadap 1 OAT sebesar 14%, disusul dengan resistensi terhadap 2 OAT sebesar 5% dan dengan presentase terendah adalah resistensi terhadap 3 OAT 1%. Penelitian ini tidak ada sampel dengan kejadian resisten terhadap 4 OAT. Kejadian tersebut hampir sama dengan hasil penelitian Sihombing pada tahun 2012 dengan angka kejadian monoresistance tertinggi yakni 21,18% disusul dengan polyresistance 2 OAT dan 3 OAT sebesar 15,29% dan terendah TB-MDR dengan tingkat kejadian 4,71%.

Tabel 4. Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap penggolongan OAT periode Januari – Juni tahun 2014

No Pola resistensi Presentase (%)

(n=100)

1 Resisten 1 OAT 14

2 Resisten 2 OAT 5

3 Resisten 3 OAT 1

4 Resisten 4 OAT 0

Ket: OAT, obat anti tuberkulosis

Dalam estimasi kejadian tuberkulosis, jika dibandingkan dengan penelitian di Negara India (Postgraduate Institute of Medical Education and Research Chandigarh), China (laboratorium rumah sakit lokal China Utara), Nigeria (fasilitas kesehatan University


(10)

8 of Calabar Teaching Hospital dan Lawrence Henshaw Hospital) serta Pakistan (Departemen Mikrobiologi Armed Forces Institute of Pathology Rawalpindi) hasil penelitian angka kejadian TB di BBKPM Surakarta lebih rendah. Hal ini dibuktikan pada diagram kejadian tuberkulosis dari keempat penelitian negara tersebut yang menunjukkan tingkat kejadian resistensi OAT lini pertama lebih tinggi. Resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin paling banyak terjadi di Pakistan dengan presentase 32,8% dan 21,2% (Ghafoor, 2014), resistensi terhadap streptomisin di India dengan presentase kejadian 28,10% (Sheti, 2013) dan resistensi terhadap etambutol paling banyak terjadi di Nigeria sebanyak 28% (Otu, 2013).

Gambar 3. Diagram hasil penelitian resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT lini pertama di BBKPMS dibandingkan dengan hasil penelitian di India (Sheti, 2013), China (Yang, 2013), Nigeria (Otu, 2013) dan Pakistan (Ghafoor, 2014).

Jika dilihat dari tingkat kejadian MDR-TB diantara keempat negara dengan angka kejadian TB tertinggi dunia, tingkat kejadian resistensi di BBKPM Surakarta masih berada pada tingkat terendah dengan presentase kejadian 1% dibanding India (9,92%), China (3%), Nigeria (4%) dan Pakistan (7,26%). Berikut diagram mengenai prevalensi kejadian monoresistance, polyresistance dan MDR-TB dari keempat hasil penelitian negara tersebut dan di BBKPM Surakarta.


(11)

9

Gambar 4. Diagram kejadian monoresistance, polyresistance dan multidrug resistance kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT lini pertama di BBKPMS dibandingkan dengan hasil penelitian di India (Sheti, 2013), China (Yang, 2013), Nigeria (Otu, 2013) dan Pakistan (Ghafoor, 2014).

Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis di BKKPM Surakarta yang terjadi pada bulan Januari sampai Juni tahun 2013 memiliki angka kejadian resistensi yang berbeda dengan tahun 2014. Kejadian monoresistance pada periode Januari-Juni 2013 memiliki presentase kejadian 13,41%, sedangkan untuk kejadian polyresistance dan multidrug resistance memiliki angka kejadian dan 5,69% dan 3,25%. Dengan adanya data tersebut dapat dinyatakan bahwa tingkat kejadian monoresistance di BKKPM Surakarta periode bulan Juni 2014 mengalami peningkatan dibanding periode bulan Januari-Juni 2013 dengan angka kejadian 13,41% menjadi 14% sedangkan untuk kejadian polyresistance dan multidrug resistance mengalami penurunan yakni dari 5,69% dan 3,25% menjadi 5% dan 1%. Untuk pola resistensinya masih memiliki kesamaan yakni tingkat kejadian paling banyak masih didominasi dengan kejadian monoresistance disusul dengan kejadian polyresistance dan tingkat paling rendah adalah multi drug resistance. Kejadian resistensi terhadap masing-masing obat memiliki sedikit perubahan akan tetapi angka kejadian terbanyak masih sama yakni resisten terhadap streptomisin dengan presentase 17,48%. Angka kejadian resistensi terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol bervariasi yakni sebesar 4,47%, 7,72% dan 5,28%. Resistensi terhadap streptomisin, rifampisin dan isoniazid pada tahun 2014 mengalami penurunan dibanding tahun 2013 yaitu dari presentase kejadian 17,48%, 7,72% dan 4,47% menjadi 11%, 4% dan 4%, sedangkan etambutol mengalami peningkatan dari 5,28% menjadi 8%. Data tersebut didapat dari laboratorium mikrobiologi BBKPM Surakarta. Tingkat kejadian MDR-TB yang terjadi di BBKPM Surakarta periode Januari-Juni 2014 masih dibawah tingkat kejadian kasus MDR-TB baru menurut laporan WHO 2014 yakni 1,9%.


(12)

10 Adanya perbedaan kejadian resistensi di berbagai daerah di Indonesia dan di negara lain dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya resistensi antara lain faktor klinik meliputi penyelenggara kesehatan, obat dan pasien; faktor program; faktor HIV/AIDS dan faktor dari kuman itu sendiri (Isbaniyah, 2011). Penggunaan obat pada pasien MDR-TB dapat mengakibatkan efek samping, biaya dan tingkat kematian yang lebih tinggi dibanding pengobatan pada kasus biasa (WHO, 2014).

Bakteri yang sudah resisten terhadap OAT mengalami mutasi yang terjadi pada gen. Beberapa mutasi yang dapat terjadi seperti perubahan sifat atau struktur asam amino, substitusi asam amino, perubahan kodon menjadi stop kodon, bertambah atau hilangnya nukleotida tertentu sehingga mengubah kerangka baca. Mutasi-mutasi tersebut dapat menghilangkan aktivitas enzimatik dari protein target atau pengaktivasi enzim dan juga dapat mengurangi aktivitas pengikatannya (Retnoningrum & Kembaren., 2004). Resistensi yang terjadi secara umum ada 3 macam yaitu resistensi primer, inisial dan sekunder. Dikategorikan resistensi primer apabila pasien belum pernah mendapat OAT atau mendapat OAT kurang dari 1 bulan. Apabila pasien tidak tidak yakin pernah mendapat OAT maka termasuk resistensi inisial. Sedangkan resistensi sekunder merupakan resisten yang terjadi pada pasien yang pernah mendapat OAT minimal 1 bulan.

Dengan adanya gambaran pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT di Balai Besar Kesehatan Masyarakat Surakarta, diharapkan dapat memberi masukan baik kepada tenaga kesehatan dalam mendiagnosa dan menentukan terapi yang cepat dan tepat bagi pasien tuberkulosis atau kepada masyarakat akan pentingnya kepatuhan dalam menggunakan OAT sehingga tidak terjadi resistensi sekunder yakni resisten terhadap OAT setelah menerima terapi OAT minimal 1 bulan, khususnya di kota Surakarta.

KESIMPULAN

1. Kejadian monoresistance terjadi sebanyak 14% dengan kejadian resisten terhadap streptomisin 7%, isoniazid 1%, rifampisin 3% dan etambutol 3%. Kejadian polyresistance terjadi sebanyak 5% dengan kejadian resisten terhadap isoniazid+etambutol sebanyak 2% dan resisten terhadap streptomisin+etambutol sebanyak 3%. Kejadian multi drug resistance (MDR) sebesar 1% yakni resisten terhadap isoniazid+rifampisin+streptomisin.

2. Resisten terhadap streptomisin sebanyak 11%, isoniazid 4%, rifampisin 4% dan etambutol 8%.


(13)

11 3. Resisten terhadap 1 OAT sebanyak 7%, 2 OAT sebanyak 5%, 3 OAT sebanyak 1%,

dan 4 OAT 0%.

SARAN

1. Bagi klinisi kesehatan: Perlu dilaksanakan edukasi mengenai pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam mendiagnosa dan menentukan terapi pasien menggunakan OAT untuk menghindari peningkatan kejadian resistensi terhadap OAT.

2. Bagi masyarakat: Perlu dilaksanakan edukasi mengenai pentingnya kepatuhan dan pengawasan dalam menggunakan OAT untuk menghindari peningkatan kejadian resistensi terhadap OAT.

3. Bagi peneliti lain: Perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran tingkat resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT secara berkala dan dilakukan di seluruh Indonesia.

DAFTAR ACUAN

Depkes RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan Kedelapan, Ditjen PPM-PL, Depkes RI, Jakarta.

Ghafoor, Tahir., Ikram, Aamer., Abbassi, S.H., Mirza, I.A., Hussain, Aamir., Khan, I.U et al., 2014, Antimicrobial Sensitivity Pattern of Clinical Isolates of Mycobacterium Tuberculosis: A-Retrospective Study from a Reference Laboratory in Pakistan, Journal of Virology & Microbiology,Volume 2014,

IBIMA Publishing, Pakistan.

Isbaniyah, F., Thabrani, Z., Soepandi, P.Z., Burhan, E., Reviono., Soedarsono., et al., 2011, Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, Jakarta.

Munir, S.M., Nawas, Arifin., Soetoyo, D.K., 2010, Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistant (TB-MDR) di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan, J Respir Indo, Volume 30, Nomor 2, Jakarta.

Otu, Okaninyene., Umoh, Victor., Habib, Abdulrazak., Ameh, Soter., Lawson, Lovett and Ansa, Victor., 2013, Drug Resistance among Pulmonary Tuberculosis Patients in Calabar, Hindawi, Volume 2013, Nigeria.

Rusnoto., Rahmatullah, Pasihan., dan Udiono, Ari., 2010, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati), Artikel Publikasi, Universitsa Diponegoro, Semarang.


(14)

12 Sarwani, Dwi., Nurlaela, Sri., & Zahrotul, Isnaeni., 2012., Faktor Risiko Multidrug

Resistant Tuberculosis (MDR-TB), Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 8, Nomor 1, 60-66, Universitas Negri Semarang, Semarang.

Setiawan, M.W., 2010, Pola Kuman Pasien yang Dirawat di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Kariadi Semarang, Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang.

Sheti, Sunil., Mewara, Abhishek., Dhatwalia, S.K., Singh, Harpal., Yadav, Rakesh., Singh, Khuswindher., dkk., 2013, Prevalence of multidrug resistance in Mycobacterium tuberculosisisolates from HIV seropositive and seronegative patients with pulmonary tuberculosis in north India, BMC Infectious Disease, 4, Postgraduate Institute of Medical Education and Research, India.

Sihombing, Hendra., Sembiring, Hilaludin., Amir Zainuddin., Sinaga, B.Y.M., 2012, Pola Resistensi Primer pada Penderita TB Paru Kategori I di RSUP H. Adam Malik, J Respir Indo, Volume 3, Nomor 2, Medan.

WHO, 2014, The Use of Delamanid in Treatment of Multidrug-Resistant Tuberculosis, WHO Press, Switzerland.

Yang, Ying., ZhoU, Chenqing., Shi, Lei., Meng, Hacheng., dan Yan He., 2013., Prevalence and characterization of drug-resistant tuberculosis in a local hospital of Northeast China, CrossMark, 84, China.

Yuniarti, E., 2010, Resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Primer Pada Penderita Baru Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Lubuk Alung Sumatera Barat, Laporan Penelitian, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negri Padang.


(1)

7 Gambar 2. Diagram resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT lini pertama di BBKPMS periode Januari – Juni tahun 2014

Hasil penelitian ini sedikit memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihombing, 2012 di RSUP H. Adam Malik Medan dimana tingkat resistensi terhadap streptomisin juga memiliki angka tertinggi yaitu 11,76% dan terendah terhadap rifampisin sebesar 1,18%, sedangkan isoniazid memiliki tingkat resistensi sebesar 4,71%.

5. Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap penggolongan OAT lini pertama

Pada penelitian ini, didapat hasil bahwa resistensi kuman terhadap OAT yang paling tinggi yaitu terhadap 1 OAT sebesar 14%, disusul dengan resistensi terhadap 2 OAT sebesar 5% dan dengan presentase terendah adalah resistensi terhadap 3 OAT 1%. Penelitian ini tidak ada sampel dengan kejadian resisten terhadap 4 OAT. Kejadian tersebut hampir sama dengan hasil penelitian Sihombing pada tahun 2012 dengan angka kejadian monoresistance tertinggi yakni 21,18% disusul dengan polyresistance 2 OAT dan 3 OAT sebesar 15,29% dan terendah TB-MDR dengan tingkat kejadian 4,71%.

Tabel 4. Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap penggolongan OAT periode Januari – Juni tahun 2014

No Pola resistensi Presentase (%)

(n=100)

1 Resisten 1 OAT 14

2 Resisten 2 OAT 5

3 Resisten 3 OAT 1

4 Resisten 4 OAT 0

Ket: OAT, obat anti tuberkulosis

Dalam estimasi kejadian tuberkulosis, jika dibandingkan dengan penelitian di Negara India (Postgraduate Institute of Medical Education and Research Chandigarh), China (laboratorium rumah sakit lokal China Utara), Nigeria (fasilitas kesehatan University


(2)

8 of Calabar Teaching Hospital dan Lawrence Henshaw Hospital) serta Pakistan (Departemen Mikrobiologi Armed Forces Institute of Pathology Rawalpindi) hasil penelitian angka kejadian TB di BBKPM Surakarta lebih rendah. Hal ini dibuktikan pada diagram kejadian tuberkulosis dari keempat penelitian negara tersebut yang menunjukkan tingkat kejadian resistensi OAT lini pertama lebih tinggi. Resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin paling banyak terjadi di Pakistan dengan presentase 32,8% dan 21,2% (Ghafoor, 2014), resistensi terhadap streptomisin di India dengan presentase kejadian 28,10% (Sheti, 2013) dan resistensi terhadap etambutol paling banyak terjadi di Nigeria sebanyak 28% (Otu, 2013).

Gambar 3. Diagram hasil penelitian resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT lini pertama di BBKPMS dibandingkan dengan hasil penelitian di India (Sheti, 2013), China (Yang, 2013), Nigeria (Otu, 2013) dan Pakistan (Ghafoor, 2014).

Jika dilihat dari tingkat kejadian MDR-TB diantara keempat negara dengan angka kejadian TB tertinggi dunia, tingkat kejadian resistensi di BBKPM Surakarta masih berada pada tingkat terendah dengan presentase kejadian 1% dibanding India (9,92%), China (3%), Nigeria (4%) dan Pakistan (7,26%). Berikut diagram mengenai prevalensi kejadian monoresistance, polyresistance dan MDR-TB dari keempat hasil penelitian negara tersebut dan di BBKPM Surakarta.


(3)

9 Gambar 4. Diagram kejadian monoresistance, polyresistance dan multidrug resistance kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT lini pertama di BBKPMS dibandingkan dengan hasil penelitian di India (Sheti, 2013), China (Yang, 2013), Nigeria (Otu, 2013) dan Pakistan (Ghafoor, 2014).

Pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis di BKKPM Surakarta yang terjadi pada bulan Januari sampai Juni tahun 2013 memiliki angka kejadian resistensi yang berbeda dengan tahun 2014. Kejadian monoresistance pada periode Januari-Juni 2013 memiliki presentase kejadian 13,41%, sedangkan untuk kejadian polyresistance dan multidrug resistance memiliki angka kejadian dan 5,69% dan 3,25%. Dengan adanya data tersebut dapat dinyatakan bahwa tingkat kejadian monoresistance di BKKPM Surakarta periode bulan Juni 2014 mengalami peningkatan dibanding periode bulan Januari-Juni 2013 dengan angka kejadian 13,41% menjadi 14% sedangkan untuk kejadian polyresistance dan multidrug resistance mengalami penurunan yakni dari 5,69% dan 3,25% menjadi 5% dan 1%. Untuk pola resistensinya masih memiliki kesamaan yakni tingkat kejadian paling banyak masih didominasi dengan kejadian monoresistance disusul dengan kejadian polyresistance dan tingkat paling rendah adalah multi drug resistance. Kejadian resistensi terhadap masing-masing obat memiliki sedikit perubahan akan tetapi angka kejadian terbanyak masih sama yakni resisten terhadap streptomisin dengan presentase 17,48%. Angka kejadian resistensi terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol bervariasi yakni sebesar 4,47%, 7,72% dan 5,28%. Resistensi terhadap streptomisin, rifampisin dan isoniazid pada tahun 2014 mengalami penurunan dibanding tahun 2013 yaitu dari presentase kejadian 17,48%, 7,72% dan 4,47% menjadi 11%, 4% dan 4%, sedangkan etambutol mengalami peningkatan dari 5,28% menjadi 8%. Data tersebut didapat dari laboratorium mikrobiologi BBKPM Surakarta. Tingkat kejadian MDR-TB yang terjadi di BBKPM Surakarta periode Januari-Juni 2014 masih dibawah tingkat kejadian kasus MDR-TB baru menurut laporan WHO 2014 yakni 1,9%.


(4)

10 Adanya perbedaan kejadian resistensi di berbagai daerah di Indonesia dan di negara lain dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya resistensi antara lain faktor klinik meliputi penyelenggara kesehatan, obat dan pasien; faktor program; faktor HIV/AIDS dan faktor dari kuman itu sendiri (Isbaniyah, 2011). Penggunaan obat pada pasien MDR-TB dapat mengakibatkan efek samping, biaya dan tingkat kematian yang lebih tinggi dibanding pengobatan pada kasus biasa (WHO, 2014).

Bakteri yang sudah resisten terhadap OAT mengalami mutasi yang terjadi pada gen. Beberapa mutasi yang dapat terjadi seperti perubahan sifat atau struktur asam amino, substitusi asam amino, perubahan kodon menjadi stop kodon, bertambah atau hilangnya nukleotida tertentu sehingga mengubah kerangka baca. Mutasi-mutasi tersebut dapat menghilangkan aktivitas enzimatik dari protein target atau pengaktivasi enzim dan juga dapat mengurangi aktivitas pengikatannya (Retnoningrum & Kembaren., 2004). Resistensi yang terjadi secara umum ada 3 macam yaitu resistensi primer, inisial dan sekunder. Dikategorikan resistensi primer apabila pasien belum pernah mendapat OAT atau mendapat OAT kurang dari 1 bulan. Apabila pasien tidak tidak yakin pernah mendapat OAT maka termasuk resistensi inisial. Sedangkan resistensi sekunder merupakan resisten yang terjadi pada pasien yang pernah mendapat OAT minimal 1 bulan.

Dengan adanya gambaran pola resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT di Balai Besar Kesehatan Masyarakat Surakarta, diharapkan dapat memberi masukan baik kepada tenaga kesehatan dalam mendiagnosa dan menentukan terapi yang cepat dan tepat bagi pasien tuberkulosis atau kepada masyarakat akan pentingnya kepatuhan dalam menggunakan OAT sehingga tidak terjadi resistensi sekunder yakni resisten terhadap OAT setelah menerima terapi OAT minimal 1 bulan, khususnya di kota Surakarta.

KESIMPULAN

1. Kejadian monoresistance terjadi sebanyak 14% dengan kejadian resisten terhadap streptomisin 7%, isoniazid 1%, rifampisin 3% dan etambutol 3%. Kejadian polyresistance terjadi sebanyak 5% dengan kejadian resisten terhadap isoniazid+etambutol sebanyak 2% dan resisten terhadap streptomisin+etambutol sebanyak 3%. Kejadian multi drug resistance (MDR) sebesar 1% yakni resisten terhadap isoniazid+rifampisin+streptomisin.

2. Resisten terhadap streptomisin sebanyak 11%, isoniazid 4%, rifampisin 4% dan etambutol 8%.


(5)

11 3. Resisten terhadap 1 OAT sebanyak 7%, 2 OAT sebanyak 5%, 3 OAT sebanyak 1%,

dan 4 OAT 0%.

SARAN

1. Bagi klinisi kesehatan: Perlu dilaksanakan edukasi mengenai pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam mendiagnosa dan menentukan terapi pasien menggunakan OAT untuk menghindari peningkatan kejadian resistensi terhadap OAT.

2. Bagi masyarakat: Perlu dilaksanakan edukasi mengenai pentingnya kepatuhan dan pengawasan dalam menggunakan OAT untuk menghindari peningkatan kejadian resistensi terhadap OAT.

3. Bagi peneliti lain: Perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran tingkat resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT secara berkala dan dilakukan di seluruh Indonesia.

DAFTAR ACUAN

Depkes RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan Kedelapan, Ditjen PPM-PL, Depkes RI, Jakarta.

Ghafoor, Tahir., Ikram, Aamer., Abbassi, S.H., Mirza, I.A., Hussain, Aamir., Khan, I.U et al., 2014, Antimicrobial Sensitivity Pattern of Clinical Isolates of Mycobacterium Tuberculosis: A-Retrospective Study from a Reference Laboratory in Pakistan, Journal of Virology & Microbiology,Volume 2014, IBIMA Publishing, Pakistan.

Isbaniyah, F., Thabrani, Z., Soepandi, P.Z., Burhan, E., Reviono., Soedarsono., et al., 2011, Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, Jakarta.

Munir, S.M., Nawas, Arifin., Soetoyo, D.K., 2010, Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistant (TB-MDR) di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan, J Respir Indo, Volume 30, Nomor 2, Jakarta.

Otu, Okaninyene., Umoh, Victor., Habib, Abdulrazak., Ameh, Soter., Lawson, Lovett and Ansa, Victor., 2013, Drug Resistance among Pulmonary Tuberculosis Patients in Calabar, Hindawi, Volume 2013, Nigeria.

Rusnoto., Rahmatullah, Pasihan., dan Udiono, Ari., 2010, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati), Artikel Publikasi, Universitsa Diponegoro, Semarang.


(6)

12 Sarwani, Dwi., Nurlaela, Sri., & Zahrotul, Isnaeni., 2012., Faktor Risiko Multidrug

Resistant Tuberculosis (MDR-TB), Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 8, Nomor 1, 60-66, Universitas Negri Semarang, Semarang.

Setiawan, M.W., 2010, Pola Kuman Pasien yang Dirawat di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Kariadi Semarang, Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang.

Sheti, Sunil., Mewara, Abhishek., Dhatwalia, S.K., Singh, Harpal., Yadav, Rakesh., Singh, Khuswindher., dkk., 2013, Prevalence of multidrug resistance in Mycobacterium tuberculosisisolates from HIV seropositive and seronegative patients with pulmonary tuberculosis in north India, BMC Infectious Disease, 4, Postgraduate Institute of Medical Education and Research, India.

Sihombing, Hendra., Sembiring, Hilaludin., Amir Zainuddin., Sinaga, B.Y.M., 2012, Pola Resistensi Primer pada Penderita TB Paru Kategori I di RSUP H. Adam Malik, J Respir Indo, Volume 3, Nomor 2, Medan.

WHO, 2014, The Use of Delamanid in Treatment of Multidrug-Resistant Tuberculosis, WHO Press, Switzerland.

Yang, Ying., ZhoU, Chenqing., Shi, Lei., Meng, Hacheng., dan Yan He., 2013., Prevalence and characterization of drug-resistant tuberculosis in a local hospital of Northeast China, CrossMark, 84, China.

Yuniarti, E., 2010, Resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Primer Pada Penderita Baru Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Lubuk Alung Sumatera Barat, Laporan Penelitian, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negri Padang.


Dokumen yang terkait

Faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti Tuberkulosis pada pasien Tuberkulosis Paru di Puskemas Pamulang Tangerang Selatan Provinsi Banten periode Januari 2012 – Januari 2013

5 51 83

Studi Kasus Mycobacterium Tuberculosis yang resisten Terhadap Antibiotik Lini Pertama pada Pasien Tuberkulosis di RSUP Fatmawati

1 30 91

RESISTENSI KUMAN Mycobacterium tuberculosis TERHADAP OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PENYAKIT Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis Pada Penyakit Tuberkulosis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Tahun 2014

0 3 13

PENDAHULUAN Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis Pada Penyakit Tuberkulosis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Tahun 2014.

0 5 10

Mekanisme Terjadinya Resistensi Kuman Tuberkulosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis dan Pencegahannya (Studi Pustaka).

0 1 12

HASIL PENILAIAN SEJAWAT SEBIDANG ATAU PEER REVIEW KARYA ILMIAH : JURNAL ILMIAH (Uji Resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Metode Penipisan).

0 0 2

Analisis Molekuler Mycobacterium Tuberculosis Resisten Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien HIV Rumah Sakit DR. MOEWARDI Surakarta.

0 0 1

Resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Primer pada Penderita baru Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Lubuk Alung Sumatera Barat - Universitas Negeri Padang Repository

0 0 62

POLA RESISTENSI Mycobacterium tuberculosis TERHADAP OAT, PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU, DI KABUPATEN SAMPANG YULIONO Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 149

IDENTIFIKASI DAN RESISTENSI Mycobacterium tuberculosis DARI SPUTUM PASIEN TUBERKULOSIS TERHADAP RIFAMPISIN

0 0 15