PENDAHULUAN Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis Pada Penyakit Tuberkulosis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Tahun 2014.

(1)

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya, bakteri juga tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan penyakit infeksi. Penyakit infeksi ini juga merupakan penyebab utama kematian di dunia. Infeksi terbanyak (18%) terutama pada anak-anak dibawah lima tahun (balita) adalah infeksi saluran nafas akut (Mulholland, 2005).

Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di berbagai belahan dunia umumnya maupun di Indonesia khususnya. Indonesia memiliki angka kejadian penyakit menular tuberkulosis yang penderitanya mencapai 539.000 orang, dengan kematian karena penyakit tersebut mencapai 101.000 orang. Maka secara kasar dari 100.000 penduduk Indonesia 110 diantaranya merupakan penderita baru tuberkulosis paru BTA (Basil Tahan Asam) positif di bawah India dan Cina yang penderitanya jauh diatas Indonesia dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien dunia (Depkes RI, 2007). Menurut estimasi data insiden TB (tuberkulosis) di dunia, WHO (World Health Organization) mencantumkan Indonesia dengan negara yang memiliki kejadian TB nomor lima di dunia setelah India, China, Nigeria dan Pakistan (WHO, 2014).

Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan mencapai 0,24% didasarkan dari survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB menempati urutan nomor tiga sebagai penyebab kematian di Indonesia setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran pernafasan pada seluruh kalangan usia (Sudoyo et al., 2009). Pada negara-negara berkembang dunia, diperkirakan terjadi 95% kasus TB dan 98% kasus kematian akibat TB. Angka kematian pada wanita akibat TB juga memiliki tingkat kejadian lebih tinggi dibanding kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes, 2007).


(2)

Salah satu masalah global yang terjadi di negara maju maupun berkembang adalah resistensi antibiotik, hal ini dapat terjadi dalam suatu komunitas maupun rumah sakit. Resistensi terhadap suatu bakteri penyebab infeksi sangat merugikan dan mempengaruhi penyebaran penyakit, hasil terapi, lama sakit, dan biaya terapi (Setiawan, 2010). Pada penelitian Munir (2010), didapatkan gambaran mengenai resistensi kuman tuberkulosis terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis), yakni kasus resistensi yang paling banyak terjadi adalah resistensi sekunder dengan presentase 77,2%, disusul dengan tingkat kejadian resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin yakni 50,5%, dan terakhir resistensi primer 22,8% dari semua pasien yang terdiagnosis MDR-TB (Multi Drug Resistance - Tuberculosis). Pada penelitian Sihombing (2012), didapat dari 85 subyek yang diteliti 35 orang diantaranya (41,18%) mengalami resistensi primer. Dengan kejadian monoresistance primer terjadi pada 18 subyek (21,18%) dengan resistensi terhadap streptomisin 10 subyek (11,76%) isoniazid 4 subyek (4,71%) etambutol 3 orang (3,53%) dan rifampisin 1 subyek (1,18%). Kejadian polyresistance sebanyak 13 subyek (15,29%), dengan uraian resistensi terhadap streptomisin dan etambutol sebanyak 4 subyek (4,71%), rifampisin dan etambutol 3 subyek (3,53%), rifampisin dan streptomisin 2 subyek (2,35%), rifampisin, streptomisin dan etambutol 2 subyek (2,35%), isoniazid dan streptomisin 1 subyek (1,18%) serta isoniazid dan etambutol 1 subyek (1,18%). Sedangkan untuk kasus TB-MDR primer terdapat 4 subyek (4,71%) dengan uraian resisten terhadap rifampisin, isoniazid dan etambutol sebanyak 3 subyek (3,53 %) dan resisten terhadap rifampisin, isoniazid, etambutol, streptomisin 1 subyek (1,18%), sehingga untuk mengontrol hal tersebut sangat diperlukan pengawasan dalam penggunaan antibiotik (Yuniarti, 2010).

Pada hampir semua kuman dapat mengalami peristiwa resistensi. Ketika suatu sel atau populasi sel mengalami resistensi, sel tersebut akan bermutasi dan dapat menyebabkan populasi sel yang lain juga mengalami resistensi. Peristiwa resistensi terhadap OAT sudah mencapai angka yang tinggi, misalnya di Yogyakarta resistensi basil tuberkulosis terhadap isoniazid (INH) sudah mencapai presentase 16% dan penelitian yang sama di daerah Bandung mencapai


(3)

prosentase yang lebih besar dengan tingkat resistensi terhadap INH mencapai 37,5% (Farida, 2005).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti tuberkulosis pada penyakit tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta tahun 2014?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti tuberkulosis pada penyakit tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta tahun 2014.

D. Tinjauan Pustaka 1. Sputum

Sputum merupakan salah satu hasil sekresi dari mebran mukosa yang melapisi saluran nafas bagian bawah. Sputum sendiri berfungsi sebagai penangkap benda asing yang terhirup, termasuk bakteri (Gould & Brooker, 2003).

Sputum merupakan salah satu spesimen yang dapat digunakan untuk mendiagnosa infeksi saluran nafas bawah. Spesimen ini sering kali tecemar oleh mikroflora saluran nafas atas yang dapat menggangu dokter dalam menentukan etiologi infeksi sehingga perlu dipertimbangkan alternatif dalam teknik pengambilannya. Aspirat lambung sering digunakan sebagai alternatif dalam diagnosis tuberkulosis pada anak. Spesimen ini harus segera dikirim ke laboratorium atau didinginkan sebelum pengiriman (Sacher & McPherson, 2004).

Sputum yang baik untuk pemeriksaan yakni sputum mukopurulen yang berwarna hijau kekuningan dan dapat dikumpulkan dalam jangka waktu paling lama 2 hari kunjungan berturut-turut (Depkes RI, 2002)


(4)

2. Pengertian Tuberkulosis (TB)

Tuberkulosis merupaka suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal oleh manusia dan disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis (Sudoyo et al., 2009). Penyakit ini dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Jenis penyebaran ini dikenal dengan nama penyebaran limphohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Hal ini terjadi jika fokus nefrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak oraganisme yang masuk dalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh (Price & Wilson, 1990). a. Epidemologi

Epidemologi mengenai tuberkulosis menyangkut 3 hal : 1) Penyebaran atau penularan kuman tuberkulosis 2) Perkembangan kuman tuberkulosis yang dapat menularkan pada orang lain setelah terinfeksi tuberkulosis 3) Perkembangan lanjut dari kuman tuberkulosis sampai orang tersebut sembuh atau meninggal (Suprijono, 2005).

b. Patogenesis

Proses penularan sangat mudah terjadi pada lingkungan hidup yang dangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan. Kebanyakan penularan tuberkuloasis terjadi melalui inhalasi akan tetapi pada kasus tuberkulosis kulit atau jaringan lunak penularan dapat terjadi melalui inokulasi langsung. Dalam suasana lembab dan gelap kuman ini dapat bertahan berbulan-bulan (Sudoyo et al., 2009).

c. Patofisiologi

Infeksi primer dimulai dari implantasi organisme pada alveolar, dalam ukuran yang cukup kecil (1-5 mm) untuk bisa melewati sel epitel bersilia pada saluran pernafasan atas. Begitu tertanam, organisme memperbanyak diri dan dimakan oleh makrofag pulmonal, organisme tetap membelah meski lebih lambat. Nekrosis jaringan dan pengerasan tempat yang terinfeksi dan nodus limfoma di area itu bisa muncul,menyebabkan pembentukan area radiodense yang disebut sebagai kompleks Ghon. Setelah nodus limfoma terlibat, organisme bisa diam atau menyebar melalui peredaran darah ke berbagai sistem organ (Ritter et al., 2008).


(5)

d. Gejala klinis

Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak terjadi pasien TB yang tidak mengalami keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Beberapa keluhan yang sering dirasakan antara lain: 1) Demam: biasanya menyerupai demam influenza dengan suhu badan

kadang-kadang mencapai 400C -410C.

2) Batuk atau batuk darah: diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Dapat bersifat non produktif (batuk kering) yang kemudian setelah peradangan menjadi produktif.

3) Sesak nafas: keluahan ini ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

4) Nyeri dada: timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

5) Malaise: sering ditemukan berupa anoreksia tdak ada nafsu makan, badan makin kurus (turun berat badan), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll.

Ada beberapa faktor-faktor resiko yang sudah diketahui dapat menyebabkan tingginya pravelensi TB di Indonesia, antara lain: kurangnya gizi, kemiskinan, dan sanitasi yang buruk (Sudoyo et al., 2009)

3. Mycobacterium tuberculosis

Klasifikasi bakteri Mycobacterium tuberculosis: Taksa : Procaryotae

Filum : Bacteria

Ordo : Actynomycetes Familia : Mycobacteriaceae Genus : Mycobacterium

Spesies : M. tuberculosis (Pelczar & Chan, 2008)

Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu kuman patogen golongan Mycobacterium yang berbentuk batang dan bersifat tahan asam. Sifat tahan asam tersebut dikarenakan sifat dinding sel yang tebal dan terdiri dari


(6)

lapisan lilin dan lemak yang terdiri dari asam lemak mikolat (Syahrurachman et al., 2010).

a. Habitat dan sifat pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis biasanya terdapat pada manusia yang sakit tuberkulosis. Penularan terjadi melalui pernafasan. Pertumbuhan kuman ini secara aerob obligat. Energi yang didapat dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis termasuk lambat, waktu pembelahan sekitar 20 jam pada suhu optimal 37oC. Pada perbenihan, pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu. Koloni cembung, kering, kuning, gading (Syahrurachman et al., 2010).

b. Patogenesis

Paru merupakan tempat infeksi pertama dari bakteri tuberkulosis. Infeksi tersebut dapat menyebar dari fokus primer ke seluruh tubuh. Infeksi ini dapat sembuh spontan atau berkembang menjadi infeksi lokal (misalnya meningitis). Resistensinya bergantung pada fungsi sel T. Pada pasien immunocompromised seperti HIV positiv, infeksi dapat berkembang menjadi penyakit yang bergejala (Gillespie & Bamford, 2007).

c. Perjalanan kuman tuberkulosis dalam tubuh

Agen infeksius eksogen biasanya masuk melalui inhalasi atau kontak langsung. Biasanya bahan yang terhirup dalam bentuk butir cairan atau percikan halus yang disebut juga droplet yang dihasilkan dari batuk atau bersin (Sacher & McPherson, 2004), percikan halus tersebut cepat mengering dan tahan lama di udara. Apabila ada orang yang menghirup droplet tersebut dan menetap di paru-paru maka lambat laun akan berkembangbiak dan terjadilah infeksi tuberkulosis (Sudoyo et al., 2009).

4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Antimikroba mempunyai dua mekanisme yakni yang bersifat bakterisid (membunuh bakteri atau kuman) dan bakteriostatik (hanya mencegah reproduksi). Pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu:

a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan populasi kuman yang membelah dengan cepat.


(7)

b. Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman dengan pengobatan jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional (Mansjoer et al., 2001)

Panduan pengobatan TB standar dibagi menjadi : a. Pasien baru

Panduan obat yang dianjurkan 2HRZE/4HR dengan pemberian dosis setiap hari. Bila mengguakan OAT program, maka pemberian dosis setiap hari pada fase intensif dilanjutkan dengan pemberian dosis tiga kali seminggu dengan DOT 2HRZE/4H3R3.

b. Pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil iji kepekaan, diberikan panduan obat 2HRZES/HRZE/5HRE.

c. Pasien multi-drug resistant (MDR) (Isbaniyah, 2011).

Beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan TB yantara lain: panduan obat yang tidak adekuat, dosis obat yang tidak cukup, pengunaan obat yang tidak teratur atau tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, jangka waktu pengobatan yang kurang dari semestinya, dan terjadinya resistensi obat (Sudoyo et al., 2009)

Dalam pengobatan TB ada berbagai obat anti tuberculosis yang dapat digunakan di Indonesia, antara lain:

a. Isoniazid

Dikenal juga sebagai INH yang bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5mg/kkBB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. b. Rifampisin

Obat ini mempunyai sifat bakterisid yang dapat membunuh kuman semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid dosis 10 mg/kg BB. Dapat diberikan dalam pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.


(8)

c. Streptomisin

Obat ini bersifat bakterisid dengan dosis harian yang dianjurkan adalah 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita dengan usia hingga 60 tahun dosisnya 0,75 g/hari sedangkan unuk usia 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 g/hari.

d. Etambutol

Bersifat sebagai bakteriostatik dengan dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB (Depkes RI, 2002).

5. Isolasi Bakteri a. Pewarnaan bakteri

Teknik pewarnaan yang dapat digunakan pada bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah teknik Ziehl-Neelsen (Jawetz et al., 2001). Medium yang biasa digunakan pada pembiakan mikobakterium adalah medium dengan dasar telur yang dibuat kering (misal medium Lowenstein-Jensen) dan medium berbasis agar jernih (misal agar Middlebrook-Cohn 7H10 atau 7H11) (Sacher & McPherson, 2004). Kandungan medium Lowenstein-Jensen antara lain adalah telur, gliserol, garam-garam mineral, hijau malakhit dan biasanya dicampur penisilin untuk membunuh kuman lainnya. Medium ini memiliki keuntungan karena setelah pengolahan dengan NaOH spesimen tidak perlu dinetralkan kembali dengan menggunakan asam dan dapat langsung ditanamkan. pH medium ini kisaran pH 6,4-6,8 (Syahrurachman et al., 2010).

b. Uji Niasin

Dasar uji ini adalah bereaksinya piridin (niasin) dengan cyanogen bromide dan anilin yang membentuk senyawa berwarna kuning. Jika timbul warna kuning dalam sekejab berarti menunjukkan hasil positif M. tuberculosis. Kalau tidak ada perubahan warna berarti hasil uji negatif.

c. Uji Reduksi Nitrat

Mikobakteria yang memproduksi nitrat reduktase berkemampuan mereduksi nitrat menjadi nitrit. Nitrit yang terjadi bila bereaksi dengan sulfanilamid dan naphthylethylamine dihidrochloride akan membentuk senyawa


(9)

berwarna merah muda. Jika uji menghasilkan warna merah muda berarti positif M. tuberculosis tetapi jika tidak timbul warna maka ditambah serbuk Zn, jika timbul warna merah muda berarti reaksi negatif dan jika sebaliknya tidak menimbulkan perubahan warna maka reaksi positif (Sandjaja, 1991).

6. Resistensi Bakteri

Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotika yang dapat berupa resistensi alamiah (Wattimena et al., 1991). Suatu populasi kuman dapat menjadi resisten apabila mikroorganisme tersebut memproduksi enzim yang dapat merusak daya kerja obat, terjadi perubahan permeabilitas terhadap obat tertentu, atau terjadi perubahan pada tempat atau lokus tertentu di dalam sel yang menjadi target dari obat.

Adapun penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap obat dapat dibagi menjadi 2 yakni non genetik dan genetik.

a. Non genetik

Resistensi non genetik dapat terjadi ketika populasi kuman tidak berada pada fase pembelahan aktif.

b. Genetik

Pada umumnya resistensi secara genetik terjadi karena perubahan genetik, hal ini dapat terjadi secara kromosomal, ekstrakromosomal, dan resistensi silang (Syahrurachman et al., 2010).

Peningkatan pravelensi resistensi pada pengobatan tuberkulosis dapat dicegah dengan berbagai cara: 1) Menstandarisasi rejimen lini pertama pada pengobatan penderita TB pertama atau pengobatan berulang 2) Kepatuhan terhadap protokol pengobatan 3) Kepatuhan pasien pada pengawasan terapi dan 4) Pasokan obat (Department Health Republic of South Afrika, 2011).

MDR-TB merupakan resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap setidaknya isoniazid dan rifampisin disertai atau tidak disertai OAT lini pertama lainnnya. Pasien yang mengalami MDR-TB mempunyai kemungkinan mengalami XDR-TB yaitu resistensi MDR-TB ditambah salah satu obat OAT golongan fluorokuinolon dan sedikitnya satu OAT lini kedua injeksi seperti kapreomisin, kanamisin dan amikasin. Apabila pasien sudah mengalami total


(10)

drug resistance maka tidak ada lagi obat yang dapat digunakan karena OAT baik lini pertama atau kedua sudah mengalami resisten (Isbaniyah, 2011).

Pada dasarnya resistensi kuman Mycobacterium tuberkculosis terjadi akibat mutasi sel ditingkat gen yang kemudian mengkode enzim target OAT. Resistensi terhadap INH terjadi ketika gen tertentu yang mengkode enzim yang merubah INH menjadi metabolit aktif bermutasi seperti gen katG, gen inhA, gen ahpC, gen ndh dan gen kasA. Gen rpoB merupakan gen yang mengkode terikatnya rifampisin dengan sub unit β RNA polimerase. Jika terjadi mutasi gen rpoB maka rifampisin tidak terikat dan proses transkripsi RNA kuman tidak terganggu dan mengakibatkan resistensi rifampisin. Resistensi pada etambutol terjadi ketika ada mutasi pada lokus gen embB sehingga etambutol tidak dapat mengganggu kinerja enzim arabinosyl transferase dan pembentukan dinding sel tidak terganggu. Pada streptomisin, akan terjadi resistensi jika ada mutasi pada protein ribosom S12 dan mutasi pada 16S rRNA (Nofriyanda, 2010).

E. Keterangan Empiris

Dari penelitian yang dilakukan diharapkan mendapat data ilmiah mengenai resistensi bakteri Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti tuberkulosis dari spesimen sputum di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.


(1)

d. Gejala klinis

Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak terjadi pasien TB yang tidak mengalami keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Beberapa keluhan yang sering dirasakan antara lain: 1) Demam: biasanya menyerupai demam influenza dengan suhu badan

kadang-kadang mencapai 400C -410C.

2) Batuk atau batuk darah: diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Dapat bersifat non produktif (batuk kering) yang kemudian setelah peradangan menjadi produktif.

3) Sesak nafas: keluahan ini ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

4) Nyeri dada: timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

5) Malaise: sering ditemukan berupa anoreksia tdak ada nafsu makan, badan makin kurus (turun berat badan), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll.

Ada beberapa faktor-faktor resiko yang sudah diketahui dapat menyebabkan tingginya pravelensi TB di Indonesia, antara lain: kurangnya gizi, kemiskinan, dan sanitasi yang buruk (Sudoyo et al., 2009)

3. Mycobacterium tuberculosis

Klasifikasi bakteri Mycobacterium tuberculosis: Taksa : Procaryotae

Filum : Bacteria

Ordo : Actynomycetes Familia : Mycobacteriaceae Genus : Mycobacterium

Spesies : M. tuberculosis (Pelczar & Chan, 2008)

Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu kuman patogen golongan Mycobacterium yang berbentuk batang dan bersifat tahan asam. Sifat tahan asam tersebut dikarenakan sifat dinding sel yang tebal dan terdiri dari


(2)

lapisan lilin dan lemak yang terdiri dari asam lemak mikolat (Syahrurachman et al., 2010).

a. Habitat dan sifat pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis biasanya terdapat pada manusia yang sakit tuberkulosis. Penularan terjadi melalui pernafasan. Pertumbuhan kuman ini secara aerob obligat. Energi yang didapat dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis termasuk lambat, waktu pembelahan sekitar 20 jam pada suhu optimal 37oC. Pada perbenihan, pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu. Koloni cembung, kering, kuning, gading (Syahrurachman et al., 2010).

b. Patogenesis

Paru merupakan tempat infeksi pertama dari bakteri tuberkulosis. Infeksi tersebut dapat menyebar dari fokus primer ke seluruh tubuh. Infeksi ini dapat sembuh spontan atau berkembang menjadi infeksi lokal (misalnya meningitis). Resistensinya bergantung pada fungsi sel T. Pada pasien immunocompromised seperti HIV positiv, infeksi dapat berkembang menjadi penyakit yang bergejala (Gillespie & Bamford, 2007).

c. Perjalanan kuman tuberkulosis dalam tubuh

Agen infeksius eksogen biasanya masuk melalui inhalasi atau kontak langsung. Biasanya bahan yang terhirup dalam bentuk butir cairan atau percikan halus yang disebut juga droplet yang dihasilkan dari batuk atau bersin (Sacher & McPherson, 2004), percikan halus tersebut cepat mengering dan tahan lama di udara. Apabila ada orang yang menghirup droplet tersebut dan menetap di paru-paru maka lambat laun akan berkembangbiak dan terjadilah infeksi tuberkulosis (Sudoyo et al., 2009).

4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Antimikroba mempunyai dua mekanisme yakni yang bersifat bakterisid (membunuh bakteri atau kuman) dan bakteriostatik (hanya mencegah reproduksi). Pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu:

a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan populasi kuman yang membelah dengan cepat.


(3)

b. Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman dengan pengobatan jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional (Mansjoer et al., 2001)

Panduan pengobatan TB standar dibagi menjadi : a. Pasien baru

Panduan obat yang dianjurkan 2HRZE/4HR dengan pemberian dosis setiap hari. Bila mengguakan OAT program, maka pemberian dosis setiap hari pada fase intensif dilanjutkan dengan pemberian dosis tiga kali seminggu dengan DOT 2HRZE/4H3R3.

b. Pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil iji kepekaan, diberikan panduan obat 2HRZES/HRZE/5HRE.

c. Pasien multi-drug resistant (MDR) (Isbaniyah, 2011).

Beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan TB yantara lain: panduan obat yang tidak adekuat, dosis obat yang tidak cukup, pengunaan obat yang tidak teratur atau tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, jangka waktu pengobatan yang kurang dari semestinya, dan terjadinya resistensi obat (Sudoyo et al., 2009)

Dalam pengobatan TB ada berbagai obat anti tuberculosis yang dapat digunakan di Indonesia, antara lain:

a. Isoniazid

Dikenal juga sebagai INH yang bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5mg/kkBB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. b. Rifampisin

Obat ini mempunyai sifat bakterisid yang dapat membunuh kuman semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid dosis 10 mg/kg BB. Dapat diberikan dalam pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.


(4)

c. Streptomisin

Obat ini bersifat bakterisid dengan dosis harian yang dianjurkan adalah 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita dengan usia hingga 60 tahun dosisnya 0,75 g/hari sedangkan unuk usia 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 g/hari.

d. Etambutol

Bersifat sebagai bakteriostatik dengan dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB (Depkes RI, 2002).

5. Isolasi Bakteri a. Pewarnaan bakteri

Teknik pewarnaan yang dapat digunakan pada bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah teknik Ziehl-Neelsen (Jawetz et al., 2001). Medium yang biasa digunakan pada pembiakan mikobakterium adalah medium dengan dasar telur yang dibuat kering (misal medium Lowenstein-Jensen) dan medium berbasis agar jernih (misal agar Middlebrook-Cohn 7H10 atau 7H11) (Sacher & McPherson, 2004). Kandungan medium Lowenstein-Jensen antara lain adalah telur, gliserol, garam-garam mineral, hijau malakhit dan biasanya dicampur penisilin untuk membunuh kuman lainnya. Medium ini memiliki keuntungan karena setelah pengolahan dengan NaOH spesimen tidak perlu dinetralkan kembali dengan menggunakan asam dan dapat langsung ditanamkan. pH medium ini kisaran pH 6,4-6,8 (Syahrurachman et al., 2010).

b. Uji Niasin

Dasar uji ini adalah bereaksinya piridin (niasin) dengan cyanogen bromide dan anilin yang membentuk senyawa berwarna kuning. Jika timbul warna kuning dalam sekejab berarti menunjukkan hasil positif M. tuberculosis. Kalau tidak ada perubahan warna berarti hasil uji negatif.

c. Uji Reduksi Nitrat

Mikobakteria yang memproduksi nitrat reduktase berkemampuan mereduksi nitrat menjadi nitrit. Nitrit yang terjadi bila bereaksi dengan sulfanilamid dan naphthylethylamine dihidrochloride akan membentuk senyawa


(5)

berwarna merah muda. Jika uji menghasilkan warna merah muda berarti positif M. tuberculosis tetapi jika tidak timbul warna maka ditambah serbuk Zn, jika timbul warna merah muda berarti reaksi negatif dan jika sebaliknya tidak menimbulkan perubahan warna maka reaksi positif (Sandjaja, 1991).

6. Resistensi Bakteri

Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotika yang dapat berupa resistensi alamiah (Wattimena et al., 1991). Suatu populasi kuman dapat menjadi resisten apabila mikroorganisme tersebut memproduksi enzim yang dapat merusak daya kerja obat, terjadi perubahan permeabilitas terhadap obat tertentu, atau terjadi perubahan pada tempat atau lokus tertentu di dalam sel yang menjadi target dari obat.

Adapun penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap obat dapat dibagi menjadi 2 yakni non genetik dan genetik.

a. Non genetik

Resistensi non genetik dapat terjadi ketika populasi kuman tidak berada pada fase pembelahan aktif.

b. Genetik

Pada umumnya resistensi secara genetik terjadi karena perubahan genetik, hal ini dapat terjadi secara kromosomal, ekstrakromosomal, dan resistensi silang (Syahrurachman et al., 2010).

Peningkatan pravelensi resistensi pada pengobatan tuberkulosis dapat dicegah dengan berbagai cara: 1) Menstandarisasi rejimen lini pertama pada pengobatan penderita TB pertama atau pengobatan berulang 2) Kepatuhan terhadap protokol pengobatan 3) Kepatuhan pasien pada pengawasan terapi dan 4) Pasokan obat (Department Health Republic of South Afrika, 2011).

MDR-TB merupakan resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap setidaknya isoniazid dan rifampisin disertai atau tidak disertai OAT lini pertama lainnnya. Pasien yang mengalami MDR-TB mempunyai kemungkinan mengalami XDR-TB yaitu resistensi MDR-TB ditambah salah satu obat OAT golongan fluorokuinolon dan sedikitnya satu OAT lini kedua injeksi seperti kapreomisin, kanamisin dan amikasin. Apabila pasien sudah mengalami total


(6)

drug resistance maka tidak ada lagi obat yang dapat digunakan karena OAT baik lini pertama atau kedua sudah mengalami resisten (Isbaniyah, 2011).

Pada dasarnya resistensi kuman Mycobacterium tuberkculosis terjadi akibat mutasi sel ditingkat gen yang kemudian mengkode enzim target OAT. Resistensi terhadap INH terjadi ketika gen tertentu yang mengkode enzim yang merubah INH menjadi metabolit aktif bermutasi seperti gen katG, gen inhA, gen ahpC, gen ndh dan gen kasA. Gen rpoB merupakan gen yang mengkode terikatnya rifampisin dengan sub unit β RNA polimerase. Jika terjadi mutasi gen rpoB maka rifampisin tidak terikat dan proses transkripsi RNA kuman tidak terganggu dan mengakibatkan resistensi rifampisin. Resistensi pada etambutol terjadi ketika ada mutasi pada lokus gen embB sehingga etambutol tidak dapat mengganggu kinerja enzim arabinosyl transferase dan pembentukan dinding sel tidak terganggu. Pada streptomisin, akan terjadi resistensi jika ada mutasi pada protein ribosom S12 dan mutasi pada 16S rRNA (Nofriyanda, 2010).

E. Keterangan Empiris

Dari penelitian yang dilakukan diharapkan mendapat data ilmiah mengenai resistensi bakteri Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti tuberkulosis dari spesimen sputum di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.


Dokumen yang terkait

Faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti Tuberkulosis pada pasien Tuberkulosis Paru di Puskemas Pamulang Tangerang Selatan Provinsi Banten periode Januari 2012 – Januari 2013

5 51 83

RESISTENSI KUMAN Mycobacterium tuberculosis TERHADAP OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PENYAKIT TUBERKULOSIS Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis Pada Penyakit Tuberkulosis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Suraka

0 4 14

RESISTENSI KUMAN Mycobacterium tuberculosis TERHADAP OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PENYAKIT Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis Pada Penyakit Tuberkulosis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Tahun 2014

0 3 13

ANGKA KEJADIAN PENEMUAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN BRONKIEKTASIS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT Angka Kejadian Penemuan Tuberkulosis Paru Pada Pasien Bronkiektasis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Tahun 2012 Sampai 2013.

0 3 14

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA.

0 2 8

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2009.

0 2 19

PENDAHULUAN Evaluasi Kepatuhan Penggunaan Obat Pada Pasien Tuberkulosis Rawat Jalan Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta 2012.

0 2 18

FAKTOR RISIKO TERJADINYA RELAPSE PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA Faktor Risiko Terjadinya Relapse Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta.

0 2 17

Mekanisme Terjadinya Resistensi Kuman Tuberkulosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis dan Pencegahannya (Studi Pustaka).

0 1 12

IDENTIFIKASI INTERAKSI OBAT PADA TERAPI PASIEN TUBERKULOSIS DENGAN PENYAKIT PENYERTA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBPKM) SURAKARTA.

0 0 15