Model People Centered Ecological City (Suatu Kajian tentang Masalah Sosial Budaya dan Perencanaan Kota dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan)

(1)

MODEL PEOPLE CENTERED ECOLOGICAL CITY

(Suatu Kajian tentang Masalah Sosial Budaya dan Perencanaan Kota dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan)

Wahyuni Zahrah

Abstract: Since cities are the concentration of people, there will be the concentration of problems too. The most problems must be solved based on existing social problems such as poverty, criminality, lack of educated people, etc. It becomes such dilemmas where the balancing among economy, ecology, and social matter mandated by sustainable development is not implemented well in urban development and planning. An approach to make urban space being institution and place to maintain quality of life of citizens in term of sustainable development is the model of people-centered ecological city. The important process of such concept is improving urban environment to achieve good quality of life of people. One indicator for the achievement is the deep attention of socio-culture needs in urban space, based on urban and environmental planning.

Keywords: sustainable urban and environmental planning, citizens, quality of life PENDAHULUAN

Penetrasi teknologi dari negara maju ke negara berkembang telah menciptakan suatu efek yang naif: gamang dalam menetapkan arah dan indikator kemajuan. Demikian juga yang terjadi pada kota-kota di Indonesia. Struktur fisik kota—bangunan— jalan raya yang sangat tergantung pada teknologi Barat diadopsi secara tidak cerdas, tanpa mengaitkan dengan konteks kekhasan regional: iklim dan budaya.

Bangunan dan rencana kota yang tidak tanggap terhadap iklim tropis, misalnya, menghasilkan kota yang panas, miskin hijauan untuk peneduh dan udara segar, kekurangan

shelter-shelter yang bisa dijadikan berteduh

saat hujan. Kota acapkali ditangkap telah mencapai kemajuan ketika diisi oleh mall, pusat bisnis, bangunan-bangunan dalam skala gigantis, untuk sebagian saja warga kota yang berpenghasilan cukup. Ruang terbuka hijau digantikan oleh bangunan beton berkepadatan tinggi. Tidak perduli apakah tersedia juga ruang untuk anak-anak bermain, untuk keluarga menikmati alam, untuk komunitas melakukan kontak sosial, untuk warga berjalan dan beraktivitas secara nyaman. Berapa banyak penduduk miskin di kota yang tempat bermukimnya tidak sehat, sementara akses ke pelayanan publik juga tidak terjangkau secara merata. Ketika warga kota berusaha survive karena tidak memiliki akses di bidang ekonomi

formal, bahkan kota menafikan peran sektor informal dalam peningkatan kesejahteraan warga. Kota yang mestinya menjadi tempat di mana peradaban berkembang dan menyentuh segala lapisan manusia, akhirnya terjebak dalam target-target materialis yang semakin jauh dari peningkatan kualitas hidup secara adil.

Kekhawatiran tentang bagaimana kota justru menjadi tempat di mana manusia tidak “dimanusiakan” bermula pada awal revolusi industri di Inggris dan kota-kota lain di Eropa. Ketika mesin memungkinkan peningkatan yang pesat untuk kapasitas produksi, pada saat yang bersamaan terjadi konsentrasi manusia yang tinggi di kota terutama untuk mengisi sektor industri. Populasi kota meningkat secara cepat, termasuk oleh proses migrasi tenaga kerja dari daerah rural. Tetapi buruh pabrik ditempatkan secara tidak layak di sekitar komplek industri, sehingga kota berkembang menjadi area kumuh. Keadaan ini akhirnya menimbulkan fenomena suburban, di mana warga ekonomi menengah atas meninggalkan pusat kota untuk mencari tempat tinggal yang lebih nyaman di pinggiran kota (Jacobs 1961).

Lewis Mumford dalam The Culture of

Cities (1938) mengungkapkan bahwa kota

merupakan titik di mana terjadi konsentrasi maksimum bagi power dan culture suatu komunitas.(Wheeler 2004: 16) Artinya, manusia merupakan key point yang menjadi identitas suatu kota. Kemajuan manusia adalah


(2)

kemajuan peradaban. Dan peradaban tidak hanya ditandai oleh artefak, tetapi oleh penghargaan yang semestinya bagi manusia itu sendiri.

Maka ketika kota modern

menunjukkan ketidakseimbangan pembangunan antara ekonomi, sosial budaya,

dan ekologi, telah terjadi krisis peradaban dalam pembangunan kota. Untuk itu berbagai pendekatan pembangunan dan perencanaan kota yang berorientasi kepada kualitas kehidu-pan manusia, yang secara proporsional meng-akomodasi kepentingan sosial budaya sejalan dengan tujuan-tujuan ekonomi dan pelestarian ekologi, mendesak untuk dilakukan. Artinya, kualitas peradaban manusia sangat tergantung dari bagaimana pembangunan dan perencanaan kota dilaksanakan.

PEMBAHASAN

Isu Sosial Budaya dalam Perencanaan dan Pembangunan Kota

Masalah-masalah yang terjadi diper-kotaan, utamanya kota-kota di dunia ketiga, terutama disebabkan oleh masalah-masalah sosial budaya, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia.

Masalah sosial budaya yang kerap muncul di Indonesia antara lain:

1. Pengangguran

Migrasi tenaga kerja tidak terdidik keper-kotaan lebih besar jumlahnya ketimbang tenaga kerja terdidik. Golongan tenaga kerja seperti ini tidak mampu bersaing pada sektor-sektor ekonomi formal. Di pihak lain, krisis ekonomi dan instabilitas politik menyebabkan lesunya iklim investasi. Akibatnya, bahkan tenaga kerja terdidik pun tidak dapat terserap oleh minimnya lapangan kerja yang tersedia. 2. Kemiskinan

Tidak seimbangnya jumlah tenaga kerja dan lapangan kerja yang tersedia, mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja. Pendapatan yang diperoleh sebagian warga kota yang mengandalkan sektor informal sebagian besar tidak mampu mengangkat derajat ekonomi yang layak untuk mereka memenuhi kebutuhan dasar: sandang-pangan-perumahan-pendidikan. Akibatnya, kemiskinan adalah salah satu masalah besar yang dihadapi oleh banyak kota di Indonesia yang mengakibatkan pula berbagai masalah sosial lainnya.

3. Kriminalitas dan rawan konflik

Merupakan salah satu efek dari tingginya angka pengangguran, rendahnya pendapatan, serta kesenjangan ekonomi yang tinggi di perkotaan adalah tingginya juga kriminalitas, yang sering dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Di samping itu, kota di Indonesia juga rawan konflik oleh kesenjangan, perebutan lahan pendapatan, sampai kecemburuan etnis. 4. Kesenjangan ekonomi dan aksesibilitas

pelayanan publik

Yang paling menonjol adalah kesenjangan ekonomi, di mana terdapat perbedaan ekstrim kelas sosial ekonomi di perkotaan. Kesenjangan ekonomi ini menyebabkan pula kesenjangan dalam aksesiblitas pelayanan publik. Sarana pelayanan umum yang tersedia di perkotaan—listrik, air, pelayanan sampah—hampir tidak ada yang gratis di perkotaan. Hal inilah salah satu penyebab mengapa kaum miskin kota lebih banyak tinggal di tepi sungai, terutama untuk kebutuhan air dan sarana MCK yang dapat diperoleh secara cuma-cuma dari air sungai.

5. Perumahan

Jeleknya kualitas perumahan merupakan akibat lain dari rendahnya pendapatan. Masalahnya selain kuantitas menyangkut juga sanitasi yang jelek, sehingga akan berpengaruh pula terhadap kualitas kesehatan warga. Perkampungan kumuh yang umum terjadi di kota besar merupakan salah satu upaya warga miskin kota untuk survive di perkotaan, yang secara fisik—lingkungan—kesehatan jauh dari standar hdup layak.

6. Good governance dan partisipasi publik

Masa orde baru di Indonesia ditandai oleh pemerintahan desentralisasi yang rawan penyimpangan, terutama korupsi dan rendahnya kualitas pelayanan. Akibatnya, keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan publik diputuskan tanpa partisipasi publik, sehingga kepentingan publik tidak terakomodasi secara baik dan adil dalam pembangunan dan rencana kota.

Berbagai masalah tersebut berpangkal pada pendidikan. Rendahnya pendidikan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Akibatnya, masyarakat di dunia ketiga tidak mampu bersaing dalam kegiatan


(3)

ekonomi, utamanya di perkotaan. Di sisi lain, kehidupan pertanian juga sudah tidak mampu lagi menjamin kesejahteraan akibat meningkatnya populasi penduduk, sementara lahan pertanian semakin berkurang dan teknologi pertanian tidak berkembang baik. Akibatnya, migrasi penduduk ke perkotaan lebih banyak dilakukan oleh mereka yang tidak berpendidikan, sehingga tidak mampu bersaing di sektor ekonomi formal. Rendahnya pendapatan membawa akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar—gizi, sandang, perumahan, pendidikan, dsb.

Masalah-masalah sosial budaya yang terjadi di perkotaan akan membawa pula masalah-masalah yang menyangkut kualitas lingkungan kota. Sebagai contoh, daerah kumuh kota memberi peran dalam pencemaran air sungai, sektor informal kota yang tidak terakomodasi dengan baik menyebabkan semrawutnya ruang-ruang kota dan kemacetan lalu lintas terutama di ruas jalan sekitar pasar tradisional, di mana pedagang memakai badan jalan dan trotoar untuk area dagangnya. Rendahnya pendidikan dan tingkat pendapatan juga berpengaruh kepada kesadaran akan pemeliharaan lingkungan. Hal ini ditambah pula oleh penegakan hukum yang lemah. Kesemuanya itu menjadikan satu masalah yang kompleks.

Ketika pemerintah kota tidak menitikberatkan pembangunan kota pada peningkatan kualitas sumber daya manusia di perkotaan dan lebih mementingkan kemajuan fisik belaka, berbagai masalah sosial budaya akan terus menjadi masalah berkepanjangan dan menjadi “beban kota”. Keadaan ini sangat jauh dari kerangka pembangunan berkelanjutan yang sering hanya menjadi jargon belaka untuk kota-kota di Indonesia. Perencanaan Kota dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan untuk Kualitas Sosial Budaya Manusia

Menempatkan manusia dan budayanya secara layak dalam pembangunan merupakan salah satu isu penting dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam The Istambul

Declaration on Human Settlement (City

Summit) tahun 1996 di Istambul disebutkan:

... As human are at the centre of our concern for sustainable development, they are the basis for our actions as in implementing the Habitat Agenda ... We shall intensify our efforts to eradicate

poverty and discrimination, to promote and protect all human rights and fundamental freedoms for all, and to provide for basic needs, such as education, nutrition and life span health care services, and especially, adequate shelter for all. To this end, we commit ourselves to improving the living conditions in human settlements in ways that are consonant with local need and realities, and we acknowledge the need to address the global, economic, social and environmental trends to ensure the creation of better living environments for all people.

Dari pernyatan-pernyataan di atas, beberapa dimensi sosial budaya yang menjadi perhatian dalam pembangunan berkelanjutan untuk mencapai lingkungan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat adalah:

(1) Pengentasan kemisikinan dan diskriminasi

(2) Hak asasi manusia

(3) Pemenuhan kebutuhan dasar (4) Potensi budaya lokal

Dalam deklarasi tersebut jelas diamanahkan bahwa kebutuhan sosial budaya– ekonomi, pendidikan, hak asasi, dan kesetaraan harus diakomodasi dengan baik dalam pembangunan kota. Bahkan keragaman sosial budaya menjadi potensi yang dapat dikembangkan. Adalah naif, ketika banyak anggapan bahwa globalisasi berarti adopsi bebas produk luar. Sementara kekayaan budaya sendiri belum dioptimalisasi untuk memperkaya pembangunan. Keragaman etnik dan keragaman tingkat ekonomi seringkali dianggap tidak berarti, sehingga yang dibangun adalah supermal dan bukannya free

market untuk menampung ekonomi menengah

bawah. Di samping itu, kebudayaan, adat-istiadat, tradisi masyarakat juga sering tidak tertampung dalam rencana kota. Adalah satu pemandangan lazim ketika badan jalan digunakan untuk perhelatan karena tidak disediakannya tempat yang cukup baik untuk hal tersebut.

Pembangunan kota berkelanjutan berwawasan lingkungan mestinya melaksanakan program-program pembangunan dalam kaitannya dengan kebutuhan sosial budaya masyarakat. Salah satu instrumen pembangunan kota adalah perencanaan kota, di


(4)

mana ruang kota diatur dan dikelola untuk menjamin kebutuhan sosial budaya warga kota dapat terakomodasi dengan baik. Dalam kata lain, keseluruhan rencana pembangunan kota harus berpangkal pada satu sasaran: kualitas kehidupan manusia. Pemikiran tentang kota yang memberi tempat yang lebih nyaman bagi manusia telah digagas lebih seratus rahun yang lalu pada abad ke 19 oleh seorang ahli tata kota Ebenezer Howard dalam bukunya Garden

City of Tomorrow (1898) dengan konsep Three Magnet (lihat gambar). Howard memaparkan

bahwa “human society and the beauty of

nature meant to be enjoyed together”

(Wheeler 2004: 13). Bahwa kota merupakan “symbol of society —a mutual help and

friendly cooperation, of fatherhood, motherhood, brotherhood, sisterhood, of wide

relation between man and man ... of science, art, culture, religion”. Dengan mengawinkan town dan country Howard memperkirakan

adanya suatu harapan baru dan peradaban baru bagi kota-kota modern yang sudah semakin sesak. (Wheeler 2004: 14).

Pemikiran Howard kemudian memberikan inspirasi bagi banyak perencana kota sesudahnya dan menghasilkan berbagai konsep kota dengan berbagai terminologi: green city,

eco-city, sustainable city, new urbanism, dan

sebagainya. Konsep perencanaan ini kemudian diperkuat dengan gagasan-gagasan pembangunan berkelanjutan dari berbagai sudut pandang. Keseluruhan konsep tersebut berdasar pada sustainable development yang menerapkan keseimbangan Three Es—

environment, equity, economy.

Gambar 1. Model Three Magnet Ebenezer Howard yang mengawinkan kemajuan budaya kota dengan


(5)

Gambar 2. Tiga komponen perencanaan lingkungan untuk pembangunan kota berkelanjutan Pada umumnya perencanaan kota

berkelanjutan—dengan berbagai variasi terminologi—didasarkan pada perencanaan lingkungan (environmental planning). Tujuan utama perencanaan lingkungan adalah mening-katkan dan melestarikan kualitas lingkungan bagi kesejahteraan warga kota (Miller and Groot, 1997:3). Harashima (1996: 14) mengemukakan tiga komponen dalam perenca-naan lingkungan yang terdiri dari (1) Hardware, yaitu urban structure dan land use yang merupakan komponen man made

environment dalam lingkungan; (2) Software,

yang terdiri dari social systems, regulation dan

laws; dan (3) Hardware, yang terdiri dari environmental ethics and environmental awareness.

Paling tidak terdapat beberapa alasan logis mengapa meningkatkan kualitas lingkungan kota merupakan suatu keharusan:

(1) Efisiensi dan produktivitas kota-kota sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara nasional. Kekuatan ekonomi kota akan menghasilkan sumber daya yang dibutuhkan oleh investasi pemerintah maupun swasta dalam infrastruktur,

pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kualitas lingkungan hidup.

(2) Peningkatan pembangunan kota sejalan dengan menurunnya kualitas lingkungan. Hal ini akan berdampak pada kesehatan manusia, yang akan mempengaruhi pembangunan ekonomi. Pencemaran air dan tanah, misalnya, menyebabkan timbulnya extra-cost bagi industri,

perumahan dan pelayanan publik. Penggunaan sumber daya alam yang tidak efisien akan meningkatkan biaya produksi dan operasional industri. Oleh karenanya, arah perencanaan dan pembangunan kota harus menyeimbangkan antara tekanan pertumbuhan dan kebutuhan untuk menjaga kualitas lingkungan.

(3) Beberapa pendapat menganggap bahwa pelestarian lingkungan bukan merupakan hal penting yang dapat meyelesaikan masalah-masalah urbanisasi dan ekonomi di perkotaan. Beberapa kota seolah-olah telah berhasil menerapkan keseimbangan dengan pembangunan yang efektif bagi kondisi lingkungannya. Namun banyak kota-kota lainnya gagal menyelaraskan kebutuhan akan keberlanjutan lingkungan


(6)

yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan kemunduran ekonomi.

Dalam environmental planning

terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu:

(1) Identifikasi dan penyusunan prioritas isu-isu lingkungan dan membentuk

stakeholder;

(2) Formulasi strategi-strategi pengelolaan lingkungan kota;

(3) Formulasi dan implemensi action plan lingkungan;

(4) Membentuk institusi bagi pengelolaan lingkungan kota (www.gdrc.org).

Dari keempat langkah di atas, pada poin (1) jelas dibutuhkannya partisipasi publik dengan membentuk stakeholder. Jika

stakeholder yang terbentuk merupakan

representasi masyarakat, maka kebutuhan sosial budaya masyarakat dapat terakomodasi dengan baik.

Namun partisipasi yang efektif juga merupakan satu kendala di Indonesia, di mana pendidikan masyarakat masih sangat rendah. Untuk menjamin aksesibilitas masyarakat yang luas ke perencanaan kota dan lingkungan, hal paling mendasar yang harus dilakukan adalah edukasi publik. Dengan adanya pendidikan dan sosialiasi masyarakat diharapkan dapat lebih objektif dan dewasa dalam menentukan kebutuhan-kebutuhannya sehingga memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses perencanaan.

Beberapa kota di dunia seperti San Jose California, Santa Monica California, Austin Texas, California dan banyak kota lainnya menerapkan rencana kota berkelanjutan dengan program di beberapa bidang, antara lain: kualitas udara, keanekaragaman hayati, ruang terbuka hijau, energi dan perubahan iklim, air bersih dan air limbah, manjemen limbah, pangan dan pertanian, kesehatan masyarakat, pembangunan ekonomi, tata pemerintahan yang baik, kesetaraan, informasi dan pendidikan publik. Dalam sudut pandang holistik, keseluruhan program-program terse-but bertujuan untuk meningkatkan dan menjaga kualitas hidup warga kota dengan empat poin terakhir menekankan pada dimensi sosial budaya masyarakat.

People Centered Ecological City: Prinsip dan

Studi Kasus

Model Ecological People Centered

City merupakan satu terjemahan dari konsep

pembangunan berkelanjutan di kawasan urban yang diterapkan dalam pembangunan dan perencanaan kota Curitiba, ibukota Parana, Brazil. Prinsip dasarnya mengintegrasikan perencanaan lingkungan dan perencanaan kota dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dengan fokus utama keberlanjutan lingkungan dan pemeliharaan kualitas kehidupan warga kota.

Kota penting dalam bidang pertanian di Brazil ini memiliki penduduk 1.6 juta dan luas wilayah 432 km persegi ini merupakan satu kota dengan masalah sosial yang umumnya juga terjadi di banyak negara dunia, utamanya negara-negara berkembang. Curitiba, sebagaimana Brazil dalam skala nasional, harus tumbuh dalam kekuasaan diktator militer, krisis ekonomi, banyaknya kaum migran berpendidikan rendah. Curitiba merupakan kota dengan pertumbuhan penduduk yang tertinggi di Brazil, mencapai 5.7 % pertahun. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol kemudian membangkitkan kesadaran akan pentingnya suatu perencanaan kota yang efektif dan dapat menjangkau persoalan-persoalan seputar pelayanan publik, perumahan dan sanitasi, sampai kepada lingkungan dan transportasi.

Dalam menetapkan arah pembangunan dan perencanan kota startegi yang diterapkan adalah percepatan transisi menuju sustainable

community and societies dengan sasaran

menjamin kualitas kehidupan warga Curitiba. Curitiba merupakan satu contoh peren-canaan kota jangka panjang yang inovatif dalam menciptakan kota menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan, yang kesemuanya itu tertuang dalam garis besar

Master Plan kota tahun 1965.

Berbagai aspek yang sangat beragam: fisik – lingkungan – sosial- ekonomi – budaya, dalam perencanaan kota dilaksanakan secara terintegrasi. Kebijakan tentang transportasi massal yang menjangkau keseluruhan area kota yang terintegrasi dengan rencana tata guna lahan (land use), misalnya, berhasil menghidupkan dan memperlancar aktivitas ekonomi ke seluruh wilayah kota (dan dengan demikian meningkatkan pendapatan kota), mengendalikan pertumbuhan kota, mengurangi


(7)

polusi dan meningkatkan kualitas kehidupan warga kota sekaligus.

Di samping rencana kunci berupa integrasi transportasi dan tata guna lahan, pembangunan kota Curitiba juga didukung oleh program-program peningkatan kesejahteraan sosial warga kota yang terintegrasi dengan program-program lingkungan, antara lain:

Program building capacity job line, pendidikan kewirausahaan dan inkubator bisnis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan perluasan kesempatan kerja telah menciptakan 15.000 lapangan kerja baru bagi 40.000 tenaga kerja yang belum memperoleh pekerjaan

Dalam program green exchange dan

garbage not garbage pemerintah telah

berhasil mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan. Warga kota di area slum yang tidak terjangkau kendaraan pengumpul sampah, dapat menukar sampahnya dengan tiket bus dan makanan di stasiun pengumpulan yang ditentukan. Anak-anak juga dapat menukar sampah-sampah

recycleable dengan mainan, alat tulis, atau

tiket pertunjukan. Hal ini juga merupakan cara efektif dalam edukasi publik untuk kesadaran lingkungan.

Program Garbage not garbage telah mampu mendaur ulang 70 % sampah kota oleh warga sendiri. Seminggu sekali, sebuah truk mengumpulkan kertas, metal, plastik, dan kaca yang telah disortir di masing-masing rumah tangga. Daur ulang kertas saja sebanding dengan terselamatkannya 1200 pohon satu hari. Selain itu, sebagaimana benefit lingkungan, pendapatan hasil program lingkungan disalurkan pada program sosial, termasuk menggaji para tuna wisma dan alkoholik di tempat persortiran sampah (ICLEI 2005).

Program pendukung yang tak kalah penting adalah upaya pemerintah dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, transparansi dan partisipasi masyarakat. Sistem transportasi, misalnya, telah mengalami berkali-kali perbaikan sistem dengan adanya berbagai complain, masukan, dan partisipasi dari warga sampai penerapan busway sekarang yang sudah mapan.

Masih dalam tujuan meningkatkan kualitas kehidupan warga kota, secara fisik perencanaan kota berorientasi kepada kepentingan manusia akan ruang kota yang sehat, nyaman, dan hidup (liveable city), yang terintegrasi dengan program-program ling-kungan. Pusat kota, misalnya, dijadikan bebas kendaraan dan membuka akses yang seluasnya bagi pejalan kaki (pedestrianisasi) dengan aktivitas ekonomi yang hidup selama 24 jam. Tampungan air pengendali banjir dijadikan

urban park. Ruang hijau ditingkatkan sampai

seluas 52 m2 perpenduduk. Kemudian waktu produktif dan kenyamanan semakin efektif dengan adanya transportasi massal dengan waktu tempuh yang pasti dan bebas macet. Kebijakan transportasi ini juga berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi. Membawa efek yang menguntungkan bagi pengurangan polusi.

Keseluruhan program perencanaan kota tersebut menjadikan Curitiba sebagai kota yang secara lingkungan fisik sehat dan bersih, dan secara sosial nyaman untuk beraktivitas dan berinteraksi, sehingga mempererat kesatuan warga.

Secara finansial, pembiayaan perencanaan kota Curitiba sangat efisien dan murah. Kebijakan busway dengan terminalnya yang berfungsi sebagai surface subway telah menghemat jutaan dolar dibanding jika sistem yang digunakan adalah subway atau lightrail (Horizon Solution Site 2005).

Model people centerede ecological

city yang diterapkan Curitiba ternyata juga

membawa efek ekonomi yang sangat luar biasa. Ruang kota yang nyaman, hijau, sehat, dan hidup di mana manusia ditempatkan secara sangat layak, telah menarik banyak wisatawan yang menghasilkan US $ 280 juta (lebih dari 2.6 trilyun rupiah dalam rate 9400/dolar AS), 4 % dari pendapatan kota. Pertumbuhan ekonomi kota juga mencapai 7.1 %, jauh di atas angka nasional Brazil yang hanya sekitar 4.1 % pertahun. Pendapatan perkapita warga kota juga mencapai angka 66 % lebih tinggi dari pendapatan Brazil dalam skala nasional. Angka-angka ini menunjukkan bahwa program terintegrasi lingkungan-sosial-ekonomi telah berhasil mengurangi kemiskinan, meningkat-kan kesejahteraan ekonomi dan ketahanan sosial yang sangat mengagumkan.

Beberapa faktor yang mendukung perencanaan kota jangka panjang di kota Curitiba terlaksana dengan baik adalah hal-hal


(8)

yang menyangkut manajemen yang tangguh dari pemerintah kota, termasuk political will dan strong leadership pemimpin-pemimpin kota. Jaime Lerner, mantan Walikota Curitiba yang kini menjadi Gubernur Parana, misalnya, telah terlibat dalam Master Plan Curitiba tahun 1965 sebagai arsitek. Ia kemudian membentuk IPPUC (Urban Planning Institute

of Curitiba) yang menjamin terlaksananya

secara konsisten Master Plan kota. Lerner juga menjabat sebagai Walikota Curitiba selama 3 periode dan menjadi presiden IPPUC selama bertahun-tahun. Hal yang mirip juga dilakukan, Cassio Tanaguchi, yang menjadi

senior official di IPPUC selama tujuh tahun.

Selain itu, dalam pelaksanaannya, pemerintah kota memanfaatkan dengan baik

“social capital” yang ada. Aparat pemerintah

kota, IPPUC, dinas-sinas pemerintah, lembaga riset, organisasi sosial, warga kota, Lembaga Swadaya Masyarakat bahkan lembaga-lembaga internasional semuanya terlibat dalam pembangunan kota Curitiba.

Tantangan dan Harapan untuk Kota Medan

Kota Medan, satu dari banyak kota di Indonesia yang terlihat masih gamang dalam menentukan arah kemajuan kota. Pembangunan ekonomi yang sangat

digalakkan, misalnya, masih sebatas peningkatan angka-angka dalam peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan kota, belum menyeimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi dalam satu kerangka kerja yang komprehensif dan integratif. Kebanyakan program pembangunan berorientasi kepada ekonomi, seperti terurai dalam tabel berikut.

Dari segi sosial budaya, masalah yang dihadapi kota Medan tidak jauh berbeda dengan maslah-masalah sosial yang dihadapi banyak kota di Indonesia, antara lain:

• Rendahnya ekonomi masyarakat memberi implikasi pada pemenuhan kebutuhan dasar yang rendah, perumahan dengan sanitasi yang jelek, sektor informal yang meningkat secara tidak terkendali dan tidak terakomodasi dalam ruang kota

• Partisipasi publik yang belum secara utuh menyentuh kepentingan publik. Kebijakan-kebijakan kota lebih banyak lahir dari keputusan sentral pemerintah kota.

• Penegakan hukum yang sangat lemah memberi tempat bagi tumbuh suburnya

Target Kebijakan Masalah Implikasi

Ekonomi Land Use: Pusat Bisnis di Pusat Kota

Arus lalu lintas terkonsentrasi ke pusat kota

- macet

- peningkatan polusi

- peningkatan ongkos kesehatan - peningkatan waktu tempuh - peningkatan konsumsi energi - mengurangi waktu produktif Ekonomi Transportasi angkutan

umum kapasitas kecil, tidak ada Mass Rapid Transportation

Tidak nyaman Waktu tempuh tidak menentu

- ketergantungan pada mobil pribadi - pertumbuhan jumlah kendaraan tidak

sebanding dengan kapasitas jalan - macet

- peningkatan polusi

- peningkatan ongkos kesehatan - peningkatan waktu tempuh - peningkatan konsumsi energi - mengurangi waktu produktif - stress

Ekonomi Perumahan Menengah dan Mewah

Daya beli tidak menjangkau

- perkampungan kumuh

- rendah akses ke pelayanan publik Ekonomi Bangunan berkepadatan

tinggi

Ruang terbuka hijau berkurang

- Filter debu, kebisingan, polutan, suplai oksigen berkurang

Ekonomi Ruang Kota berorientasi kendaraan

Tidak ada tempat yang nyaman bagi manusia

- no healthy and comfortable space in urban open space


(9)

premanisme yang menguasai berbagai sektor kehidupan.

• Ruang kota berorientasi kendaraan, tidak memberi tempat yang nyaman untuk pe-jalan kaki, ruang terbuka yang tidak me-madai sebagai wadah aktivitas sosial warga, sarana transportasi yang tidak nyaman meningkatkan ketergantungan pada kendaraan pribadi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Belajar dari keberhasilan berbagai kota di dunia dalam menerapkan konsep perencanaan kota berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup warga kota, mestinya Medan juga berpedoman kepada hal yang sama, sehingga pembangunan berke-lanjutan berwawasan lingkungan yang selama ini didengungkan dan tertulis dalam rencana kota tidak sekedar lip service. Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan antara lain:

• Pemberdayaan sosial ekonomi warga melalui program pelatihan ekonomi (misalnya kewirausahaan) skala kecil dan menengah yang secara fisik diakomodasi dalam rencana kota untuk memperkuat ketahanan ekonomi warga kota;

• Edukasi publik untuk memperluas partisi-pasi warga dalam setiap kegiatan pemba-ngunan kota;

• Mengakomodasi tradisi sosial budaya war-ga kota yang berawar-gam dalam perencanaan kota dan event-event kebudayaan dan seni;

• Satu yang menjadi kendala sekaligus po-tensi adalah keberagaman etnis. Hal ini mestinya dapat didekati dengan program pembangunan partisipatif, sosialisasi, dan edukasi publik tentang program pembangunan yang akan dijalankan;

• Perencanaan kota yang menjamin ke-nyamanan warga kota dalam melakukan berbagai aktivitas, termasuk kontak sosial antarwarga dan kenyamanan melaksanakan tradisi agama dan sosial budaya, ruang kota yang hijau, nyaman dan bebas polusi, prasarana publik yang

accessible untuk berbagi lapisan warga.

Berbagai program tersebut harus di-dukung oleh penegakan hukum dan peraturan perundangan yang tegas serta tata kepemerin-tahan yang bersih efektif untuk meningkatkan kepercayaan (akuntibilitas) publik. Selain itu, untuk mewujudkan idealisme sustainable

com-munity beberapa hal mendasar yang perlu

dila-kukan:

• Pendefinisian ulang makna pembangunan, yang lebih mengarah ke konservasi ketim-bang eksploitasi, yang menyeimketim-bangkan pembangunan fisik dan sumber daya manusia, yang menempatkan economy,

ecology dan equity secara seimbang dalam

setiap kebijakan pembangunan kota;

Strong political will pemerintah kota untuk

mewujudkan secara utuh sustainable city;

Menjadikan environmental planning seba-gai dasar perencanaan kota.


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Harashina, Sachihiko. 1996. "Environmental Planning on Urban Level". Discussion Paper 96-6. Tokyo, Dept. of Social Engineering, Tokyo Institute of Technology.

Horizon Solution Site. Efficient Transportation for Successful Urban Planning in Curitiba. http://www.solution-site.org/artman/publish/article_62.html, dibuka 4 April 2005.

ICLEI, Orienting Urban Planning to Sustainablity in Curitiba, Brazil.

http://www.iclei.org/localstrategies/summary/curitiba2.html, dibuka 4 April 2005.

Jacobs, Jane. 1961. The Death and Life of Great American Cities. New York, Columbia University Press.

Miller, Donald and Gert de Roo. 1997. Urban Environmental Planning. Avebury Publishers. Urban Environmental Management, The Environmemntal Planning and Manjement Guidebook.

http://www.gdrc.org, dibuka 18 Mei 2005.

United Nation Organization. 1996. The Istambul Declaration on Human Settlements (City

Summit). http://www.un.org.

Wheeler, Stephen M, and Timothy Beattley (ed). 2004. The Sustainable Urban Development


(1)

Gambar 2. Tiga komponen perencanaan lingkungan untuk pembangunan kota berkelanjutan Pada umumnya perencanaan kota

berkelanjutan—dengan berbagai variasi terminologi—didasarkan pada perencanaan lingkungan (environmental planning). Tujuan utama perencanaan lingkungan adalah mening-katkan dan melestarikan kualitas lingkungan bagi kesejahteraan warga kota (Miller and Groot, 1997:3). Harashima (1996: 14) mengemukakan tiga komponen dalam perenca-naan lingkungan yang terdiri dari (1) Hardware, yaitu urban structure dan land use yang merupakan komponen man made

environment dalam lingkungan; (2) Software,

yang terdiri dari social systems, regulation dan

laws; dan (3) Hardware, yang terdiri dari environmental ethics and environmental awareness.

Paling tidak terdapat beberapa alasan logis mengapa meningkatkan kualitas lingkungan kota merupakan suatu keharusan:

(1) Efisiensi dan produktivitas kota-kota sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara nasional. Kekuatan ekonomi kota akan menghasilkan sumber daya yang dibutuhkan oleh investasi pemerintah maupun swasta dalam infrastruktur,

pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kualitas lingkungan hidup.

(2) Peningkatan pembangunan kota sejalan dengan menurunnya kualitas lingkungan. Hal ini akan berdampak pada kesehatan manusia, yang akan mempengaruhi pembangunan ekonomi. Pencemaran air dan tanah, misalnya, menyebabkan timbulnya extra-cost bagi industri,

perumahan dan pelayanan publik. Penggunaan sumber daya alam yang tidak efisien akan meningkatkan biaya produksi dan operasional industri. Oleh karenanya, arah perencanaan dan pembangunan kota harus menyeimbangkan antara tekanan pertumbuhan dan kebutuhan untuk menjaga kualitas lingkungan.

(3) Beberapa pendapat menganggap bahwa pelestarian lingkungan bukan merupakan hal penting yang dapat meyelesaikan masalah-masalah urbanisasi dan ekonomi di perkotaan. Beberapa kota seolah-olah telah berhasil menerapkan keseimbangan dengan pembangunan yang efektif bagi kondisi lingkungannya. Namun banyak kota-kota lainnya gagal menyelaraskan kebutuhan akan keberlanjutan lingkungan


(2)

yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan kemunduran ekonomi.

Dalam environmental planning

terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu:

(1) Identifikasi dan penyusunan prioritas isu-isu lingkungan dan membentuk

stakeholder;

(2) Formulasi strategi-strategi pengelolaan lingkungan kota;

(3) Formulasi dan implemensi action plan lingkungan;

(4) Membentuk institusi bagi pengelolaan lingkungan kota (www.gdrc.org).

Dari keempat langkah di atas, pada poin (1) jelas dibutuhkannya partisipasi publik dengan membentuk stakeholder. Jika

stakeholder yang terbentuk merupakan

representasi masyarakat, maka kebutuhan sosial budaya masyarakat dapat terakomodasi dengan baik.

Namun partisipasi yang efektif juga merupakan satu kendala di Indonesia, di mana pendidikan masyarakat masih sangat rendah. Untuk menjamin aksesibilitas masyarakat yang luas ke perencanaan kota dan lingkungan, hal paling mendasar yang harus dilakukan adalah edukasi publik. Dengan adanya pendidikan dan sosialiasi masyarakat diharapkan dapat lebih objektif dan dewasa dalam menentukan kebutuhan-kebutuhannya sehingga memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses perencanaan.

Beberapa kota di dunia seperti San Jose California, Santa Monica California, Austin Texas, California dan banyak kota lainnya menerapkan rencana kota berkelanjutan dengan program di beberapa bidang, antara lain: kualitas udara, keanekaragaman hayati, ruang terbuka hijau, energi dan perubahan iklim, air bersih dan air limbah, manjemen limbah, pangan dan pertanian, kesehatan masyarakat, pembangunan ekonomi, tata pemerintahan yang baik, kesetaraan, informasi dan pendidikan publik. Dalam sudut pandang holistik, keseluruhan program-program terse-but bertujuan untuk meningkatkan dan menjaga kualitas hidup warga kota dengan empat poin terakhir menekankan pada dimensi sosial budaya masyarakat.

People Centered Ecological City: Prinsip dan Studi Kasus

Model Ecological People Centered

City merupakan satu terjemahan dari konsep

pembangunan berkelanjutan di kawasan urban yang diterapkan dalam pembangunan dan perencanaan kota Curitiba, ibukota Parana, Brazil. Prinsip dasarnya mengintegrasikan perencanaan lingkungan dan perencanaan kota dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dengan fokus utama keberlanjutan lingkungan dan pemeliharaan kualitas kehidupan warga kota.

Kota penting dalam bidang pertanian di Brazil ini memiliki penduduk 1.6 juta dan luas wilayah 432 km persegi ini merupakan satu kota dengan masalah sosial yang umumnya juga terjadi di banyak negara dunia, utamanya negara-negara berkembang. Curitiba, sebagaimana Brazil dalam skala nasional, harus tumbuh dalam kekuasaan diktator militer, krisis ekonomi, banyaknya kaum migran berpendidikan rendah. Curitiba merupakan kota dengan pertumbuhan penduduk yang tertinggi di Brazil, mencapai 5.7 % pertahun. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol kemudian membangkitkan kesadaran akan pentingnya suatu perencanaan kota yang efektif dan dapat menjangkau persoalan-persoalan seputar pelayanan publik, perumahan dan sanitasi, sampai kepada lingkungan dan transportasi.

Dalam menetapkan arah pembangunan dan perencanan kota startegi yang diterapkan adalah percepatan transisi menuju sustainable

community and societies dengan sasaran

menjamin kualitas kehidupan warga Curitiba. Curitiba merupakan satu contoh peren-canaan kota jangka panjang yang inovatif dalam menciptakan kota menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan, yang kesemuanya itu tertuang dalam garis besar

Master Plan kota tahun 1965.

Berbagai aspek yang sangat beragam: fisik – lingkungan – sosial- ekonomi – budaya, dalam perencanaan kota dilaksanakan secara terintegrasi. Kebijakan tentang transportasi massal yang menjangkau keseluruhan area kota yang terintegrasi dengan rencana tata guna lahan (land use), misalnya, berhasil menghidupkan dan memperlancar aktivitas ekonomi ke seluruh wilayah kota (dan dengan demikian meningkatkan pendapatan kota), mengendalikan pertumbuhan kota, mengurangi


(3)

polusi dan meningkatkan kualitas kehidupan warga kota sekaligus.

Di samping rencana kunci berupa integrasi transportasi dan tata guna lahan, pembangunan kota Curitiba juga didukung oleh program-program peningkatan kesejahteraan sosial warga kota yang terintegrasi dengan program-program lingkungan, antara lain:

Program building capacity job line, pendidikan kewirausahaan dan inkubator bisnis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan perluasan kesempatan kerja telah menciptakan 15.000 lapangan kerja baru bagi 40.000 tenaga kerja yang belum memperoleh pekerjaan

Dalam program green exchange dan

garbage not garbage pemerintah telah

berhasil mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan. Warga kota di area slum yang tidak terjangkau kendaraan pengumpul sampah, dapat menukar sampahnya dengan tiket bus dan makanan di stasiun pengumpulan yang ditentukan. Anak-anak juga dapat menukar sampah-sampah

recycleable dengan mainan, alat tulis, atau

tiket pertunjukan. Hal ini juga merupakan cara efektif dalam edukasi publik untuk kesadaran lingkungan.

Program Garbage not garbage telah mampu mendaur ulang 70 % sampah kota oleh warga sendiri. Seminggu sekali, sebuah truk mengumpulkan kertas, metal, plastik, dan kaca yang telah disortir di masing-masing rumah tangga. Daur ulang kertas saja sebanding dengan terselamatkannya 1200 pohon satu hari. Selain itu, sebagaimana benefit lingkungan, pendapatan hasil program lingkungan disalurkan pada program sosial, termasuk menggaji para tuna wisma dan alkoholik di tempat persortiran sampah (ICLEI 2005).

Program pendukung yang tak kalah penting adalah upaya pemerintah dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, transparansi dan partisipasi masyarakat. Sistem transportasi, misalnya, telah mengalami berkali-kali perbaikan sistem dengan adanya berbagai complain, masukan, dan partisipasi dari warga sampai penerapan busway sekarang yang sudah mapan.

Masih dalam tujuan meningkatkan kualitas kehidupan warga kota, secara fisik perencanaan kota berorientasi kepada kepentingan manusia akan ruang kota yang sehat, nyaman, dan hidup (liveable city), yang terintegrasi dengan program-program ling-kungan. Pusat kota, misalnya, dijadikan bebas kendaraan dan membuka akses yang seluasnya bagi pejalan kaki (pedestrianisasi) dengan aktivitas ekonomi yang hidup selama 24 jam. Tampungan air pengendali banjir dijadikan

urban park. Ruang hijau ditingkatkan sampai

seluas 52 m2 perpenduduk. Kemudian waktu produktif dan kenyamanan semakin efektif dengan adanya transportasi massal dengan waktu tempuh yang pasti dan bebas macet. Kebijakan transportasi ini juga berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi. Membawa efek yang menguntungkan bagi pengurangan polusi.

Keseluruhan program perencanaan kota tersebut menjadikan Curitiba sebagai kota yang secara lingkungan fisik sehat dan bersih, dan secara sosial nyaman untuk beraktivitas dan berinteraksi, sehingga mempererat kesatuan warga.

Secara finansial, pembiayaan perencanaan kota Curitiba sangat efisien dan murah. Kebijakan busway dengan terminalnya yang berfungsi sebagai surface subway telah menghemat jutaan dolar dibanding jika sistem yang digunakan adalah subway atau lightrail (Horizon Solution Site 2005).

Model people centerede ecological

city yang diterapkan Curitiba ternyata juga

membawa efek ekonomi yang sangat luar biasa. Ruang kota yang nyaman, hijau, sehat, dan hidup di mana manusia ditempatkan secara sangat layak, telah menarik banyak wisatawan yang menghasilkan US $ 280 juta (lebih dari 2.6 trilyun rupiah dalam rate 9400/dolar AS), 4 % dari pendapatan kota. Pertumbuhan ekonomi kota juga mencapai 7.1 %, jauh di atas angka nasional Brazil yang hanya sekitar 4.1 % pertahun. Pendapatan perkapita warga kota juga mencapai angka 66 % lebih tinggi dari pendapatan Brazil dalam skala nasional. Angka-angka ini menunjukkan bahwa program terintegrasi lingkungan-sosial-ekonomi telah berhasil mengurangi kemiskinan, meningkat-kan kesejahteraan ekonomi dan ketahanan sosial yang sangat mengagumkan.

Beberapa faktor yang mendukung perencanaan kota jangka panjang di kota Curitiba terlaksana dengan baik adalah hal-hal


(4)

yang menyangkut manajemen yang tangguh dari pemerintah kota, termasuk political will dan strong leadership pemimpin-pemimpin kota. Jaime Lerner, mantan Walikota Curitiba yang kini menjadi Gubernur Parana, misalnya, telah terlibat dalam Master Plan Curitiba tahun 1965 sebagai arsitek. Ia kemudian membentuk IPPUC (Urban Planning Institute

of Curitiba) yang menjamin terlaksananya

secara konsisten Master Plan kota. Lerner juga menjabat sebagai Walikota Curitiba selama 3 periode dan menjadi presiden IPPUC selama bertahun-tahun. Hal yang mirip juga dilakukan, Cassio Tanaguchi, yang menjadi

senior official di IPPUC selama tujuh tahun.

Selain itu, dalam pelaksanaannya, pemerintah kota memanfaatkan dengan baik

“social capital” yang ada. Aparat pemerintah

kota, IPPUC, dinas-sinas pemerintah, lembaga riset, organisasi sosial, warga kota, Lembaga Swadaya Masyarakat bahkan lembaga-lembaga internasional semuanya terlibat dalam pembangunan kota Curitiba.

Tantangan dan Harapan untuk Kota Medan

Kota Medan, satu dari banyak kota di Indonesia yang terlihat masih gamang dalam menentukan arah kemajuan kota. Pembangunan ekonomi yang sangat

digalakkan, misalnya, masih sebatas peningkatan angka-angka dalam peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan kota, belum menyeimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi dalam satu kerangka kerja yang komprehensif dan integratif. Kebanyakan program pembangunan berorientasi kepada ekonomi, seperti terurai dalam tabel berikut.

Dari segi sosial budaya, masalah yang dihadapi kota Medan tidak jauh berbeda dengan maslah-masalah sosial yang dihadapi banyak kota di Indonesia, antara lain:

• Rendahnya ekonomi masyarakat memberi implikasi pada pemenuhan kebutuhan dasar yang rendah, perumahan dengan sanitasi yang jelek, sektor informal yang meningkat secara tidak terkendali dan tidak terakomodasi dalam ruang kota

• Partisipasi publik yang belum secara utuh menyentuh kepentingan publik. Kebijakan-kebijakan kota lebih banyak lahir dari keputusan sentral pemerintah kota.

• Penegakan hukum yang sangat lemah memberi tempat bagi tumbuh suburnya

Target Kebijakan Masalah Implikasi

Ekonomi Land Use: Pusat Bisnis di Pusat Kota

Arus lalu lintas terkonsentrasi ke pusat kota

- macet

- peningkatan polusi

- peningkatan ongkos kesehatan - peningkatan waktu tempuh - peningkatan konsumsi energi - mengurangi waktu produktif Ekonomi Transportasi angkutan

umum kapasitas kecil, tidak ada Mass Rapid Transportation

Tidak nyaman Waktu tempuh tidak menentu

- ketergantungan pada mobil pribadi - pertumbuhan jumlah kendaraan tidak

sebanding dengan kapasitas jalan - macet

- peningkatan polusi

- peningkatan ongkos kesehatan - peningkatan waktu tempuh - peningkatan konsumsi energi - mengurangi waktu produktif - stress

Ekonomi Perumahan Menengah dan Mewah

Daya beli tidak menjangkau

- perkampungan kumuh

- rendah akses ke pelayanan publik Ekonomi Bangunan berkepadatan

tinggi

Ruang terbuka hijau berkurang

- Filter debu, kebisingan, polutan, suplai oksigen berkurang

Ekonomi Ruang Kota berorientasi kendaraan

Tidak ada tempat yang nyaman bagi manusia

- no healthy and comfortable space in urban open space


(5)

premanisme yang menguasai berbagai sektor kehidupan.

• Ruang kota berorientasi kendaraan, tidak memberi tempat yang nyaman untuk pe-jalan kaki, ruang terbuka yang tidak me-madai sebagai wadah aktivitas sosial warga, sarana transportasi yang tidak nyaman meningkatkan ketergantungan pada kendaraan pribadi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Belajar dari keberhasilan berbagai kota di dunia dalam menerapkan konsep perencanaan kota berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup warga kota, mestinya Medan juga berpedoman kepada hal yang sama, sehingga pembangunan berke-lanjutan berwawasan lingkungan yang selama ini didengungkan dan tertulis dalam rencana kota tidak sekedar lip service. Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan antara lain:

• Pemberdayaan sosial ekonomi warga melalui program pelatihan ekonomi (misalnya kewirausahaan) skala kecil dan menengah yang secara fisik diakomodasi dalam rencana kota untuk memperkuat ketahanan ekonomi warga kota;

• Edukasi publik untuk memperluas partisi-pasi warga dalam setiap kegiatan pemba-ngunan kota;

• Mengakomodasi tradisi sosial budaya war-ga kota yang berawar-gam dalam perencanaan kota dan event-event kebudayaan dan seni;

• Satu yang menjadi kendala sekaligus po-tensi adalah keberagaman etnis. Hal ini mestinya dapat didekati dengan program pembangunan partisipatif, sosialisasi, dan edukasi publik tentang program pembangunan yang akan dijalankan;

• Perencanaan kota yang menjamin ke-nyamanan warga kota dalam melakukan berbagai aktivitas, termasuk kontak sosial antarwarga dan kenyamanan melaksanakan tradisi agama dan sosial budaya, ruang kota yang hijau, nyaman dan bebas polusi, prasarana publik yang

accessible untuk berbagi lapisan warga.

Berbagai program tersebut harus di-dukung oleh penegakan hukum dan peraturan perundangan yang tegas serta tata kepemerin-tahan yang bersih efektif untuk meningkatkan kepercayaan (akuntibilitas) publik. Selain itu, untuk mewujudkan idealisme sustainable

com-munity beberapa hal mendasar yang perlu

dila-kukan:

• Pendefinisian ulang makna pembangunan, yang lebih mengarah ke konservasi ketim-bang eksploitasi, yang menyeimketim-bangkan pembangunan fisik dan sumber daya manusia, yang menempatkan economy,

ecology dan equity secara seimbang dalam

setiap kebijakan pembangunan kota;

Strong political will pemerintah kota untuk

mewujudkan secara utuh sustainable city;

Menjadikan environmental planning seba-gai dasar perencanaan kota.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Harashina, Sachihiko. 1996. "Environmental Planning on Urban Level". Discussion Paper 96-6. Tokyo, Dept. of Social Engineering, Tokyo Institute of Technology.

Horizon Solution Site. Efficient Transportation for Successful Urban Planning in Curitiba. http://www.solution-site.org/artman/publish/article_62.html, dibuka 4 April 2005.

ICLEI, Orienting Urban Planning to Sustainablity in Curitiba, Brazil.

http://www.iclei.org/localstrategies/summary/curitiba2.html, dibuka 4 April 2005.

Jacobs, Jane. 1961. The Death and Life of Great American Cities. New York, Columbia University Press.

Miller, Donald and Gert de Roo. 1997. Urban Environmental Planning. Avebury Publishers. Urban Environmental Management, The Environmemntal Planning and Manjement Guidebook.

http://www.gdrc.org, dibuka 18 Mei 2005.

United Nation Organization. 1996. The Istambul Declaration on Human Settlements (City

Summit). http://www.un.org.

Wheeler, Stephen M, and Timothy Beattley (ed). 2004. The Sustainable Urban Development