Partisipasi Politik Perempuan Di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan (Persoalan, Hambatan, dan Strategi)

(1)

Partisipasi Politik Perempuan

Di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

(Persoalan, Hambatan, dan Strategi)

TESIS

Oleh

DINA ANGGITA LUBIS

077024009/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

Partisipasi Politik Perempuan

Di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

(Persoalan, Hambatan, dan Strategi)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)

dalam Program Studi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DINA ANGGITA LUBIS

077024009/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : Partisipasi Politik Perempuan

di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan (Persoalan, Hambatan, dan Strategi)

Nama Mahasiswa : Dina Anggita Lubis Nomor Pokok : 077024009

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Chalida Fachruddin) (Dra. Sabariah Bangun, M.Soc, Sc) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. M. Arif Nasution,MA) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 10 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Chalida Fachruddin Anggota : 1. Dra. Sabariah Bangun M.Soc, Sc

2. Drs. Heri Kusmanto MA 3. Warjio SS. MA

4. Prof. Dr. M. Arif Nasution MA


(5)

PERNYATAAN

Partisipasi Politik Perempuan

Di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

(Persoalan, Hambatan, Strategi)

TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, atau kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar perpustakaan.

Medan, 13 September 2009 Penulis,


(6)

ABSTRAK

Partisipasi merupakan salah satu aspek mendasar dalam jalannya Demokrasi pemerintahan. Dalam penelitian ini, Partisipasi Politik Perempuan di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) cukup tinggi. Hal ini bisa di lihat dari keterlibatan mereka dalam kepengurusan partai. Namun, dalam kenyataannya di lihat dari tingkat keterwakilan di DPRD Kota Medan ternyata keterwakilan perempuan dari PKS sangat rendah. Padahal keterlibatan dan partisipasi politik perempuan dalam pembangunan merupakan hak asasi manusia dan sudah di atur dalam Undang-Undang.

Berdasarkan wacana diatas, maka pokok permasalahan penelitian ini mengenai Partisipasi Politik Perempuan di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan (Persoalan, Hambatan, dan Strategi). Jenis penelitian yang dilakukan adalah Deskriptif dengan pendekatan Kualitatif. Informan yang diwawancarai adalah Staff Pengurus DPD PKS Kota Medan. Teknik pengumpulan data berupa wawancara dengan informan dan studi kepustakaan. Selain itu, pengumpulan data-data mengenai penelitian ini di peroleh dari Sekretariat DPD PKS Kota Medan.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwasanya keterlibatan atau partisipasi politik perempuan di PKS cukup tinggi. Namun tidak diikuti dengan keterwakilan mereka di DPRD Kota Medan. Ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yang paling dominan adalah faktor budaya, dan faktor kurang dikenalnya perempuan-perempuan dari PKS. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut harus dipahami peran dan wewenang yang dimiliki dan digunakan untuk kemajuan kaum perempuan. Karena pada prinsipnya perempuan Indonesia secara hukum mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki berkiprah di bidang politik. Selain itu, pemerintah juga telah memberi akses pada perempuan duduk di Parlemen melalui pelaksanaan kuota 30%. Mengingat kualitas perempuan di PKS secara intelegensia dan potensi lainnya pada dasarnya sama dengan laki-laki, diharapkan di masa mendatang jumlah perempuan yang memasuki panggung politik dan menduduki possi strategis di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif semakin meningkat. Kata Kunci : Partisipasi Politik, Perempuan PKS.


(7)

ABSTRACT

Public participation is one of fundamental aspect in running the administration with democration. This study discussed a women political participation practiced on Partai Keadilan Sejahtera, Moslem Welfare Justice Party, the rate is noted quite high, seen based on their participation in taking some position on the party committee. But, in fact it seemly the women representative on DPRD Kota Medan level is so poorly since they took a few only, even their involvement and political participation as women in development constitute a human right and it has been ruled within the regulation under constitution.

In essentially, the theme as discussed to this study regarding the women political participation as practiced (a Study to a Political Representative of Women on DPD – District Committee Level). The respondent to this study such as informant, interviewed those staff as committee of DPD PKS Kota Medan. In collecting data, adopting an interview technique, and also with a library research. In addition, in collecting the data, also visited DPD PKS Kota Medan as the main operational office. By this research, it is known that their participation and involvement as women on political issues highly precisely, but their representative is noted poor to hold especially for DPRD Kota Medan. This matter is seen on some reasonable but the most dominant factor is the culture, and also for they mostly not known yet well. In order to have their reposition, it is urged to understand their role and superiority, also still they have willing to improve their capability. In principally, the women in Indonesia is recognized their right, obligation and have the same equal with men in taking their career on politic, even national government has offered them an access to sit on Parliament with a 30% quota for women. For future, the amount of women as representative should be encouraged for their ability to be more high and allow them to have many position either strategic one and usual works, so they can do their performance either for legislative, educative or judicative as well as, go improvement their role according to their capability. In actually, for many activities, the women capability and integrity and also intelligence is quite good.


(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu

Tiada daya dan upaya melainkan atas kehendak Allah SWT. Syukur terbaik hanyalah kepunyaan-Nya, penguasa atas segala yang ada di bumi dan di langit. Puji terbesar adalah milik-Nya, pemilik segala karunia yang melingkupi segenap makhluk di seluruh alam semesta. Atas setitik keridhoan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.

Tesis ini berjudul Partisipasi Politik Perempuan di DPD PKS Kota Medan

(Persoalan, Hambatan, dan Strategi). Disusun guna memenuhi salah satu syarat

untuk menyelesaikan pendidikan Pascasarjana Program Magister Studi Pembangunan di Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa dalam proses penyusunan Tesis ini melibatkan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan Terima kasih sedalam-dalamnya dan penghargaan yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan, baik moril maupun materil dalam bentuk dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran, informasi, data, dan lain-lain. Semoga Allah SWT membalas kebaikannya, Amin.


(9)

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan Terima kasih yang setulusnya terutama kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H Sp. A. (K).

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc.

3. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan Bapak Agus Suriadi S.Sos M.Si selaku Sekretaris Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan dan fasilitas yang mendukung selama perkuliahan di magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Chalida Fachruddin selaku Ketua Pembimbing dan Ibu Dra. Sabariah Bangun M.Soc, Sc selaku anggota pembimbing dalam penulisan Tesis ini, yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan demi sempurnanya tulisan ini.

5. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA dan Warjio SS MA selaku dosen pembanding yang sudah memberikan kritik dan masukan dalam penyempurnaan tulisan ini. 6. Seluruh Dosen Pengajar dan Staff di Magister Sudi Pembangunan Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak membantu di bidang akademik maupun administrasi.

7. Bapak Surianda Lubis S.Ag sebagai Ketua DPD PKS Kota Medan, Bapak Khairul Anwar Hasibuan sebagai Wakil Sekretaris I DPD PKS Kota Medan, Bapak Abdul Rahim Siregar sebagai Ketua Bapilu PKS Kota Medan, Ibu Sri Heriyani S.Si Apt sebagai Ketua Bidang Kewanitaan DPD PKS, Ibu Dhiyaul


(10)

Hayati sebagai Ketua Bidang Polhukam yang telah banyak memberikan bantuan dalam proses pengumpulan data penulisan Tesis saya ini.

8. Drs. H. Zulkifli Lubis dan Hj. Sri Hayati Arief, kedua orang tua yang selalu mendoakan dan mendampingi penulis dengan penuh kasih, serta tiada hentinya memberi semangat dalam penyelesaian Tesis ini.

9. Abangku M. Ershad Lubis S.HI , dan Adikku M. Hidayat Lbis S.sos yang selalu memberikan semangat, doa dalam menyelesaikan studi ini.

10.Ariansyah Putra, SH makasih atas dukungannya.

11.Seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 12 (k’ita, k’erna, k’nia, bang salman, bang manta, bu sutriani, bu ida, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu, makasih banyak atas dukungan dan kerjasamanya. Mudah-mudahan kita semua sukses, Amin). Teristimewa untuk kakak ku Marly Helena Ak S.sos MSP yang begitu perhatian, memberi semangat dalam penyelesaian Tesis ini. Makasih kak udah banyak bantuin anggi…

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan fikiran guna membantu penyelesaian Tesis ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat. Atas segala kekurangan dalam penulisan Tesis ini, penulis mohonkan maaf. Terima Kasih… Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.

Medan, Agustus 2009 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS DIRI

1. Nama Lengkap : Dina Anggita Lubis 2. Nama Panggilan : Anggi

3. Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 28 April 1984 4. Jenis Kelamin : Perempuan

5. Agama : Islam

6. Golongan Darah : B

7. Status : Belum Menikah

8. Nama Orang tua

Ayah : Drs. H. Zulkifli Lubis

Ibu : Hj. Sri Hayati Arief Matondang 9. Alamat : Jln. Karya Bersama No.11

Kel. Pangkalan Masyhur Kec. Medan Johor Medan.

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri No166321 : 1990 - 1996 2. SLTP Negeri 1 Tebing Tinggi : 1996 - 1997 3. SLTP Negeri 1 Tanjung Pinang : 1997 - 1999 4. SLTA Negeri 2 Tanjung Pinang : 1999 - 2000 5. SLTA Negeri 2 Pematang Siantar : 2000 - 2002 6. Universitas Riau : 2002 - 2006 7. Magister Studi Pembangunan

Universitas Sumatera Utara – Medan : 2007 – 2009

III. RIWAYAT PEKERJAAN


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ………... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 14

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.4 Kerangka Teori ………... 15

1.5 Kerangka Pemikiran ……….... 18

1.6 Pengalaman Lapangan ... 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 20

2.1 Pengertian Partisipasi ... 20

2.2 Pengertian Politik ... 24

2.3 Pengertian Partisipasi Politik ... 24

2.4 Teori Sosiologi tentang Wanita ... 32

2.4.1 Teori Struktural Fungsional ... 32

2.4.2 Teori Konflik ... 37

2.5 Teori Gender ... 37

2.5.1 Teori Nurture ... 37

2.5.2 Teori Nature ... 38

2.5.3 Teori Equilibrium ... 39


(13)

2.7 Partisipasi Politik Perempuan dalam Islam ... 44

2.8 Hubungan Partai Politik dengan Partisipasi Politik Perempuan ... 46

2.9 Keterwakilan Politik Perempuan ... 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 50

3.1 Jenis Penelitian ... 50

3.2 Definisi Konsep ... 50

3.3 Penentuan Informan ... 50

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 53

3.5 Teknik Analisis Data ... 53

3.6 Lokasi Penelitian ... 54

3.7 Jadwal Pelaksanaan ... 54

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55

4.1.1 Kondisi Geografis ... 55

4.1.2 Kondisi Demografis ... 55

4.2 Latar Belakang Berdirinya Partai Keadilan Sejahtera ... 56

4.2.1 Sejarah Berdirinya Partai Keadilan Sejahtera ... 56

4.2.2 Arah Kebijakan Umum Partai Keadilan Sejahtera ... 60

4.2.2.1 Visi Partai Keadilan Sejahtera ... 60

4.2.2.2 Misi Partai Keadilan Sejahtera ... 61

4.2.2.3 Platform Partai Keadilan Sejahtera ... 62

4.2.2.4 Prinsip Kebijakan ... 63

4.3 Struktur Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ... 69

4.4 Ideologi Partai ... 71

4.5 DPD PKS Kota Medan ... 71

4.6 Komposisi dan Personalia Pimpinan Daerah Kesatuan Perempuan PKS ... 73

4.7 Kebijakan Rekruitmen PKS Terhadap Perempuan ... 73

4.7.1 Rekruitmen dalam Kepengurusan Partai ... 73

4.7.2 Pembinaan Anggota ... 75


(14)

4.8 Kedudukan Perempuan dan Kemuliaannya dalam Islam …… 79

4.9 Kedudukan Wanita dan Posisi Peran Politik ………... 80

4.10 Partai Politik Islam memandang Perempuan ………. 82

4.11 Partisipasi Perempuan dalam Politik ……… 87

4.12 Partisipasi Perempuan PKS di DPRD Kota Medan ……. 92

4.13 Faktor-faktor penyebab rendahnya tingkat partisipasi perempuan Partai Keadilan Sejahtera di Kota Medan …. 102

4.13.1 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Perempuan ……….. 103

4.13.2 Faktor Penghambat Partisipasi Politik Perempuan ... 104

4.13.2.1 Hambatan dalam Budaya …………. 105

4.13.2.2 Hambatan dalam Sosialisasi ... 106

4.13.2.3 Hambatan Ekonomi ... 106

4.13.2.4 Hambatan Internal ... 107

4.14 Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Partai Keadilan Sejahtera di DPRD Kota Medan ….. 108

BAB V PENUTUP ... 117

5.1 Kesimpulan ... 117

5.2 Saran ... 119


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Caleg Perempuan Partai Politik

Pemilu Legislatif 2009 ... 4 2. Jumlah Calon Anggota Legislatif Perempuan per-Provinsi

Tahun 2009-20014 ... 6 3. Pendidikan Calon Anggota Legislatif

Periode 2009-2014 (dalam persen) ... 7 4. Komposisi Pemeluk Agama di Medan ... 56

5. Sejarah Partai Keadilan Sejahtera ... 57 6. Data Perempuan dalam Kabinet

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2009) ... 81

7. Dualisme Kategori Partai Islam ... 82 8. Platform Perempuan dalam Lima Partai Politik Islam

di Indonesia ... 83 9. Gambaran Representasi perempuan dalam

Konsep Partai-partai Islam ... 84 10. Platform dan Agenda Perempuan

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ... 85 11. Nama Anggota Dewan Perempuan di DPRD

Sumatera Utara Periode 2004-2009 ... 87 12. Daftar Caleg Perempuan Partai Keadilan Sejahtera

Tingkat Nasional DPR-RI ………... 88 13. Daftar Caleg Perempuan Partai Keadilan Sejahtera

DPRD Provinsi Sumatera Utara ... 89 14. Daftar Caleg Perempuan Partai Keadilan Sejahtera

DPRD Kota Medan ... ... 90

15. Daftar Calon Tetap Anggota Legislatif Perempuan

Kota Medan Pemilu Legislatif 2009 ... 91 16. Nama Anggota Dewan Perempuan di DPRD

Sumatera Utara Periode 2009-2014 ... 92 17. Caleg Terpilih Dapil I ... 94


(16)

18. Caleg Terpilih Dapil II ... 94

19. Caleg Terpilih Dapil III ... 95

20. Caleg Terpilih Dapil IV ... 95

21. Caleg Terpilih Dapil V ... 95

22. Jumlah Calon Anggota Legislatif Periode 2009 – 2014 (dalam Persen )... 109


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Alur Pemikiran Permasalahan Penelitian ………. 18

2. Komposisi dan Personalia Pimpinan Daerah Kesatuan

Perempuan PKS Masa Bakti 2004 – 2009 ... 73 3. Strategi Pemberdayaan Peran Politik Perempuan

Partai Keadilan Sejahtera ... 113


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 126

2. Daftar Pedoman Wawancara ... 127

3. Daftar Identitas Responden ... 129


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Peran perempuan di Tanah Air telah dimulai sejak zaman penjajahan. Munculnya tokoh perempuan Indonesia seperti R. A Kartini, R. Dewi Sartika, dan Cut Nyak Dien dapat menjadi contoh. Harus diakui bahwa meski sudah banyak tokoh perempuan yang sukses, namun pada sisi lain masih banyak pula hambatan yang dialami kaum perempuan untuk tampil dalam sektor publik. Misalnya, terkait peran perempuan dalam politik, hampir di seluruh negara, khususnya di negara berkembang, menghadapi sejumlah kendala baik struktural maupun kultural.

Kendala struktural tersebut sering kali berkaitan dengan permasalahan pendidikan, status sosial, ekonomi, dan pekerjaan. Pekerjaan perempuan masih sering diidentikkan dengan pekerjaan “kelas dua” yang sulit berimbang dengan laki-laki. Sementara kendala kultural terkait dengan faktor budaya dalam masyarakat seperti menempatkan perempuan sebagai untuk sekedar tinggal dirumah. Kini konsep kesetaraan gender dianggap sebagai sebuah jawaban untuk mengatasi persoalan perempuan tersebut. Gerakan ini sudah berkembang menjadi gerakan massal yang )

Reformasi yang dialami bangsa Indonesia pada tahun 1998 membawa perubahan pada sistem politik terutama sistem Pemilu. Perubahan ini membuka peluang bagi setiap elemen bangsa untuk terlibat di dalamnya, menuju kehidupan demokrasi yang lebih baik. Bagi kaum perempuan di Indonesia, perubahan sistem politik itu juga memberi harapan bagi mereka untuk dapat memperjuangkan kepentingannya dengan lebih nyata. Perubahan dalam sistem Pemilu antara lain, diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2003 merupakan Legitimasi kuota 30% bagi


(20)

keterwakilan perempuan sebagai caleg dari partai politik, dan jumlah partai politik peserta Pemilu tidak lagi dibatasi sehingga ada partai politik yang mengatasnamakan kaum perempuan Indonesia.

Kuota anggota legislatif perempuan sekurang-kurangnya 30% di partai politik dan parlemen, merupakan kebijakan yang positif bagi pemberdayaan partisipasi politik perempuan. Jumlah pemilih dalam Pemilu 2004 lebih dari 51% nya adalah perempuan. Seharusnya, idealnya kaum perempuan secara struktural memiliki kesempatan lebih besar untuk menjadi politisi, dibandingkan pada Pemilu sebelumnya. Namun kenyataannya tidaklah demikian, sebab jalan bagi munculnya banyak politisi perempuan di Indonesia masih menghadapi banyak kendala. Baik dari kaum perempuan itu sendiri maupun kondisi riil politik, dan sosial budaya yang acap kali belum men-support keberadaannya di dunia politik. ()

Upaya mencapai kuota minimum jumlah perempuan di parlemen tidak bisa dilepaskan dengan upaya peningkatan kualitas dari kaum perempuan itu sendiri. Tanpanya, kesempatan apapun yang diberikan melalui ketentuan untuk memberikan ruang politik yang lebih luas lagi bagi perempuan, tidak akan menghasilkan perbaikan yang berarti. Dengan demikian, diperlukan upaya yang sistematis dan terprogram untuk meningkatkan kapasitas politik perempuan. Salah satu kendala untuk terlaksananya peningkatan kapasitas perempuan dalam arena politik masih adanya pandangan yang kuat dimasyarakat yang menempatkan kaum perempuan hanya mengurusi suami dan anak-anak. Aktivitas perempuan dipanggung politik, di Indonesia dewasa ini masih merupakan sesuatu yang dianggap tabu.


(21)

Tabel 1. Jumlah Caleg Perempuan Partai Politik Pemilu Legislatif 2009

No Nama Partai JC Kuota Perempuan yang dipenuhi

Partai Politik Berdasarkan Total Jumlah Caleg

CL % CP %

1 Hanura 600 414 69,0 186 31,0

2 PKPB 141 86 60,9 55 39,0

3 PPPI 274 140 51,0 134 48,9

4 PPRN 288 212 73,6 76 26,3

5 GERINDRA 387 275 71,0 112 28,9

6 PBN/BARNAS 276 172 62,3 104 37,6

7 PKPI 315 173 54,9 142 45,0

8 PKS 579 364 62,8 215 37,1

9 PAN 592 413 69,7 179 30,2

10 PIB 55 35 63,6 20 36,3

11 P.Kedaulatan 243 154 63,3 89 36,6

12 PPD 159 92 57,8 67 42,1

13 PKB 392 258 65,8 134 34,1

14 PPI 276 184 66,6 92 33,3

15 PNI Marhaen 113 76 67,2 37 32,7

16 PDP 400 234 58,5 166 41,5

17 PKP 199 133 66,8 66 33,1

18 PMB 303 179 59,0 124 40,9

19 PPDI 50 34 68 16 32,0

20 PDK 250 143 57,2 107 42,8

21 RepublikaN 229 162 70,7 67 29,2

22 Partai Pelopor 106 65 61,3 41 38,6

23 Golkar 638 446 69,9 192 30,0


(22)

25 PDS 322 207 64,2 115 35,7

26 PNBK 171 115 67,2 56 32,7

27 PBB 392 263 67,0 129 32,9

28 PDI-P 628 407 64,8 221 35,1

29 PBR 314 185 58,9 129 41,0

30 Partai Patriot 125 102 81,6 23 18,4

31 Partai Demokrat 658 439 66,7 219 33,2

32 PKDI 145 100 68,9 45 31,0

33 PIS 315 192 60,9 123 39,0

34 PKNU 288 192 66,6 96 33,3

41 Partai Merdeka 89 57 64,0 32 35,9

42 PPNU 92 52 56,5 40 43,4

43 PSI 127 81 63,7 46 36,2

44 Partai Buruh 218 142 65,1 76 34,8

TOTAL 11.219 7.317 65,2 3.902 34,7

Sumber : Harian Kompas, Senin 9Februari 2009.

Keterangan : JC (Jumlah Calaeg); CP (Caleg Perempuan); CL (Caleg Laki-laki); DP (Daerah

Pemilihan); % (Persentase). Urutan diatas sesuai dengan nomor partai politik peserta Pemilu Legislatif 2009.

Salah satu hambatan bagi keterlibatan perempuan dalam aspek politik adalah adanya anggapan bahwa politik itu kotor. Hal ini berarti berkecimpung dalam dunia politik adalah dianggap tidak baik. Dengan anggapan ini kemudian muncul pandangan bahwa berpolitik, terutama bagi perempuan adalah tidak pantas. Apalagi perempuan yang Islam (muslimah) tidak pantas berpolitik. Politik hanya pantas untuk laki - laki.

Di Indonesia, pada periode 1992-1997, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR sebanyak 63 orang atau sekitar 12,5 peresen. Namun, pada tahun 1997-1999 turun menjadi 57 orang atau 11,5 peresen. Saat reformasi, saat bangsa ini bertekad mewujudkan demokrasi yang lebih sehat, yaitu pada periode 1999-2004,


(23)

angka tersebut malah turun menjadi 45 orang atau hanya 9 persen. (wri.or.id/gender/index.php).

Berbagai alasan dikemukakan oleh para pemimpin partai perihal penurunan keterwakilan perempuan di DPR. Pertama, partai politik kesulitan dalam merekrut anggota legislatif perempuan. Persoalan menghadang tidak hanya pada kuantitas tetapi juga kualitas calon. Alasan ini perlu kiranya dicurigai, karena jangan-jangan minimnya kader perempuan terkait dengan sistem pengkaderan partai yang memang tidak memberi tempat, perhatian, serta peluang pada perempuan. Kedua, partai politik mengaku sulit mengajak perempuan terlibat dalam wacana politik, apalagi mengajaknya terlibat dalam politik praktis. Pemimpin partai politik beralasan, banyak perempuan yang masih alergi dengan politik, karena mereka belum sadar politik. Tentu saja alasan terakhir ini tidak secara gampang bisa dipercaya. Sebaliknya, perlu ada kecurigaan ,jangan-jangan kesadaran politik pada perempuan tidak pernah muncul karena wilayah politik selama ini di klaim sebagai milik laki-laki. Rendahnya kesadaran politik, dengan demikian, bukan hanya kesalahan perempuan, tetapi merupakan kesalahan bersama, terutama kesalahan dalam mendefinisikan kata politik (Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, 2005 : 16-18).

Tabel 2. Jumlah Calon Anggota Legislatif Perempuan per-Provinsi Tahun 2009-20014

No Provinsi Jumlah

1. Nanggroe Aceh Darussalam 89

2. Sumatera Utara 213

3. Sumatera Barat 99

4. Riau 74

5. Kepulauan Riau 27

6. Jambi 49


(24)

8. Bangka Belitung 29

9. Bengkulu 39

10. Lampung 118

11. DKI Jakarta 236

12. Jawa Barat 635

13. Banten 177

14. Jawa tengah 467

15. DI Yogyakarta 58

16. Jawa Timur 505

17. Bali 50

18. Nusa Tenggara Barat 64 19. Nusa Tenggara Timur 96 20. Kalimantan Barat 75 21. Kalimantan Tengah 35 22. Kalimantan Selatan 78 23. Kalimantan Timur 52

24. Sulawesi Utara 60

25. Gorontalo 31

26. Sulawesi Tengah 51

27. Sulawesi Selatan 151 28. Sulawesi Tenggara 40

29. Sulawesi Barat 26

30. Maluku 41

31. Maluku Utara 27

32. Papua 60

33. Papua Barat 27

Sumber: Harian Kompas, Senin 9Februari 2009.

Dalam bidang pendidikan, diketahui bahwa perempuan yang buta huruf dua kali lebih besar daripada laki-laki (13,85 persen dan 6,26 persen). Demikian juga


(25)

dengan jenjang pendidikan yang ditamatkan. Pendidikan yang ditamatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Perbedaan yang makin mencolok terlihat pada jenjang pendidikan tinggi (Sarjana), yaitu laki-laki 18,10 persen sedangkan perempuan 13,47 persen (Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, 2005:25). Ini bisa kita lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Pendidikan Calon Anggota Legislatif Periode 2009-2014 (dalam persen)

No Pendidikan Laki-laki Perempuan

1 SLTA 13,2 21,2

2 Diploma 3,9 8,4

3 Strata-1 58,9 53,7

4 Strata-2 20 15

5 Strata-3 4 1,7

Sumber: Harian Kompas Senin 9 Februari 2009.

Menganalisis lebih jauh data Komisi Pemilihan Umum (KPU), terlihat bahwa calon anggota legislatif perempuan yang diajukan oleh partai memiliki kualitas yang memadai dan tidak berbeda dengan laki-laki. Jumlah calon anggota legislatif perempuan yang berpendidikan sarjana sebanyak 53,7 persen, sedangkan jumlah laki-laki dengan pendidikan yang sama 58,9 persen.

Masalah lainnya adalah secara internal kepartaian, meskipun partai politik adalah instrumen politik yang diharapkan mengembangkan demokratisasi, tetapi dalam rekruitmen partai politik pun, ternyata nuansa patriarki ini masih menguat. Sehingga amat menyulitkan kaum perempuan untuk berada pada posisi strategis dan pengambil kebijakan pada sebuah partai. Lebih banyak perempuan hanya di beri porsi mengurus posisi keperempuanan saja atau yang identik dengan dunia keperempuanan, dan dalam mekanisme selanjutnya maka akan menyulitkan bagi perempuan untuk tampil sebagai kandidat pemimpin.


(26)

Persoalan berikutnya adalah kemampuan secara finansial, juga sangat sedikit perempuan yang mempunyai kemandirian finansial sehingga mampu maju ke gelanggang dunia politik praktis seperti untuk maju menjadi pemimpin suatu daerah, yang tentunya memerlukan ongkos politik yang tidak sedikit.

Menurut Syafiq Hasyim (2001 : 124), masalah perempuan dan politik di Indonesia terhimpun sedikitnya dalam empat isu: keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang publik; komitmen partai politik yang belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan; kendala nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki; dan minat, hasrat, animo, para perempuan untuk terjun dalam kancah politik rendah; tapi untuk yang terakhir ini perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam.

Dalam penelitian ini, alasan penulis untuk memilih Partai Keadilan Sejahtera sebagai objek penelitian adalah karena menurut penulis Partai Keadilan Sejahtera begitu fenomenal dalam perpolitikan Indonesia dan memainkan peran yang khas selaku partai yang berasaskan Islam. Dan partai ini menjadi menarik untuk diangkat dalam sebuah penulisan Tesis karena dalam banyak pemberitaan media, partai ini juga kerap menyuarakan isu-isu yang reformis dan moderat dengan penekanan pembangunan ekonomi dan akhlak.

Partai Keadilan Sejahtera didirikan oleh orang yang berasal dari berbagai macam profesi, golongan maupun organisasi. Seperti Ulama dari pondok pesantren, alumnus Timur Tengah, Eropa dan Amerika, kalangan NU, Muhammadiyah, aktivis gerakan mahasiswa, pengusaha, petani, buruh, seniman, dan kaum profesional lainnya.

Partai Keadilan Sejahtera, sebagaimana disebutkan pada AD/ART Pasal 1, didirikan di Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 9 Jumadil Ula 1423 atau tanggal 20 April


(27)

2002. Dideklarasikan di Lapangan Monas Jakarta dihadapan sekitar 300.000 kader dan simpatisan partai. Sebelumnya partai ini bernama Partai Keadilan (PK) yang didirikan pada hari Senin tanggal 26 Rabiul Awal 1419H atau tanggal 20 Juli 1998 di Jakarta. Karena pada Pemilu 7 Juli 1999 tidak bisa meraih dukungan 2% (electoral

thereshold), maka untuk memenuhi persyaratan mengikuti Pemilu 2004, Partai

Keadilan melakukan fusi (penyatuan) dengan Partai Keadilan Sejahtera pada tahun 2002.

Kemudian mengutip pendapat Dr. Greg Fealy dari tulisan Drs. Heri Kusmanto, M.A dan Warjio, S.S, M.A dalam “Strategi Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera” terdapat beberapa argumentasi dalam melihat fenomena Partai Keadilan Sejahtera. Dan menurut pendapat penulis terlepas dari pengaruh interpretasi yang subjektif namun masih dalam tahap yang wajar, argumentasi berikut dapat dijadikan acuan untuk penelitian penulis. Berikut kutipannya:

“ Pertama, tidak seperti partai-partai Islam yang lain, Partai Keadilan Sejahtera mengambil sumber inspirasi ideologi dan organisasi utamanya dari luar negara dan menjadikan pemikiran Ikhwanul Muslimin di Mesir sebagai panduan”. “ Ketiga, Partai Keadilan Sejahtera adalah satu-satunya partai kader yang murni

dalam politik Indonesia saat ini. Partai Keadilan Sejahtera memiliki proses rekruitmen yang khas dan ketat, melalui training, seleksi ahli yang dapat menghasilkan dengan komitmen yang tinggi dan disiplin. Secara amannya Ahli Jawatan Kuasa Partai Keadilan Sejahtera dan ahlinya yang terpilih di parlemen dipilih berasaskan pengabdian mereka melalui proses demokrasi dalam partai.

“ Kelima, Partai Keadilan Sejahtera adalah partai yang sangat memperhatikan dan memperjuangkan ideologi yang dasar dibandingkan partai-partai besar lainnya. Di saat ramai partai-partai lain menamakan kurangnya perhatian mereka dalam hal nilai dan tujuan yang ingin dicapai, Partai Keadilan Sejahtera menunjukkan besarnya wacana dalam partai mengenai isu-isu yang bersifat konseptual dan doktrinal. Sejumlah buku, majalah, dokumen dalam halaman web yang dihasilkan oleh Partai Keadilan Sejahtera jauh melebihi apa yang dihasilkan oleh partai-partai lain”.

Argumentasi selanjutnya penulis kutip dari Djony Edward dalam kata pengantar bagi bukunya “Efek Bola Salju Partai Keadilan Sejahtera” sebagai berikut:


(28)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hadir sebagai sebuah partai politik yang tampilannya berbeda dibandingkan dengan partai politik yang ada. Mengingat PKS sebagai partai politik tidak hanya mengedepankan aspek politis dalam sepak terjangnya, tapi juga menjadikan moral agama sebagai basis gerakannya. Sehingga tidak jarang PKS dijuluki sebagai partai politik dakwah atau partai politik yang tampilannya lebih dirasakan sebagai gerakan dakwah.

Tahun 2004 mungkin menjadi salah satu momentum yang paling mengesankan bagi aktivis Partai Keadilan. Betapa tidak, sempat tidak lolos electoral threshold untuk ikut Pemilu 2004, namun justru menjadi “bintang” di pemilu 2004 setelah berubah menjadi PKS (sebelumnya bernama Partai Keadilan). Tidak saja aktivis PKS yang terhenyak atas fenomena PKS di 2004, namun public dan analis politik secara keseluruhan memberikan apresiasi atas prestasi PKS masuk dalam big seven pemenang pemilu 2004. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah fenomena baru dalam kancah perpolitikan Indonesia.

Ditengah euphoria parpol pasca reformasi, PKS menghadirkan prototype partai

yang berbasis kader-ideologis. Sepanjang sejarah perpolitikan nasional, tidak banyak partai yang mampu menghadirkan konstruksi parpol yang berbasis kader ideologis. Mungkin parpol yang sejenis adalah Partai Komunis Indonesia di zaman Pemilu 1955. Yang menegaskan persamaan diantara keduanya adalah Partai Keadilan Sejahtera dan PKI memiliki landasan ideologi politik yang kuat serta penguatan dan konsolidasi internal yang rapi melalui proses pengkaderan yang sistematis. Banyak parpol lain yang hanya mengandalkan mobilitas dan kohesivitas nilai ideologis, namun melupakan proses pengkaderan. Akhir-akhir ini, mayoritas parpol yang lahir adalah parpol yang tidak memiliki keduanya.


(29)

Faktor kohesivitas ideologi dan konsolidasi kader yang sistemik itulah kemudian menjadikan PKS begitu fenomenal. Perolehan sekitar 7,3% suara nasional dan 48 kursi di DPR membawa PKS menjadi parpol yang cukup diperhitungkan dalam kancah perpolitikan nasional empat tahun terakhir ini. Selain faktor ideologis dan konsolidasi kader yang solid, menurut Irvan Mawardi dalam Menghitung Peluang PKS di Pemilu 2009, ada beberapa faktor yang mendukung kesuksesan PKS pada pemilu 2004 adalah, Pertama PKS lahir dan hadir ditengah masyarakat dengan performa dan aksesoris yang populis. Slogan “bersih dan peduli” begitu memikat apresiasi masyarakat terhadap PKS. Dalam kegiatannya, PKS mampu menghadirkan aktivitas sosial yang memikat masyarakat kelas bawah, seperti kegiatan pengobatan gratis, kerja bakti, dll. Faktor Kedua, terjadi simbiosis mutualisme antara performa PKS yang menawarkan gagasan dan aksi populis dengan akseptasi masyarakat akan hadirnya parpol yang baik dan konstruktif. Pemilu 2004 sesungguhnya menjadi klimaks kekecewaan masyarakat terhadap prestasi parpol dan politisi. Dalam posisi kekecewaan yang demikian, hadirlah parpol yang dengan performa seperti PKS. Faktor Ketiga, kondisi massa mengambang (floating mass) ketika pemilu 2004 masih cenderung aktif dan “idealis”. Mereka yang mengambang ini umumnya kelas menengah dan juga mayoritas dari kalangan grass root. Floating mass ketika itu masih meyakini akan ada perubahan yang signifikan pasca pemilu 2004. Oleh karenanya mereka mesti aktif dan menjatuhkan pilihan kepada parpol yang memiliki peluang untuk melakukan perubahan itu. PKS menjadi salah satu pilihan mereka. Keempat, performa PKS dalam melaksanakan cita-cita dakwah politik dan politik dakwah begitu memikat kaum ideologis-revivalis Islam. Kebanyakan kaum muslim kelas menengah yang mengalami “pubertas” nilai keislaman begitu terkesima dengan produk dan label keislaman yang ditampilkan PKS dalam berpolitik. Pubertas dalam


(30)

konteks ini adalah muslim yang sempat kehilangan orientasi keislaman dan menemukan kembali nilai Islam lewat inspirasi yang bersifat simbolik. Mereka kemudian banyak yang meyakini bahwa ini PKS akan meniscayakan bangkitnya kekuatan politik Islam di Indonesia pasca bubarnya Masyumi. Kelima, PKS dalam mengelola dakwah yang berbasis politik masih cukup bisa diterima dikalangan semua elemen Islam di Indonesia, baik Islam radikal maupun moderat. Hal ini nampak dari barisan pengurus dan simpatisan kader PKS merepresentasikan unsur Muhammadiyah, NU, Majelis Mujahidin, dll

( ).

Sementara itu kontribusi perempuan dalam mendongkrak suara partai ini sangat signifikan. Dengan memakai pembedaan kategoris Kaase dan Marsh (1979: 41) tentang partisipasi politik konvensional dan non-konvensional, terlihat betapa krusialnya peran perempuan dalam perjalanan politik PKS. Sensus BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa 51%penduduk Indonesia adalah perempuan. Bisa diasumsikan bahwa dari 84% voter Pemilu 2004, perempuan mungkin saja lebih banyak ketimbang laki-laki. Secara konvensional, partisipasi politik kader perempuan PKS jelas tidak bisa dipungkiri, mengingat mereka tidak saja aktif di hari H pencoblosan, tapi juga berkampanye secara massif untuk menarik pemilih baru sesuai target yang ditentukan (Yusuf, 2003:41). Menurut Nursanita Nasution, anggota parlemen perempuan dari PKS, setiap kader perempuan sadar betapa krusialnya waktu lima menit di dalam bilik suara, dan karenanya mereka diniscayakan untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih partai dakwah ini.

Menurut Burhanuddin ( 2008 : 86) secara non-konvensional, kader perempuan PKS juga aktif melakukan mobilisasi konsensus dan aksi dalam berbagai demonstrasi


(31)

yang rajin di gelar oleh partai. Sistem sel kaderisasi partai melalui usrah juga tidak bisa mengetepikan peran kader perempuan. Dengan kata lain, PKS banyak berhutang budi kepada perempuan. Secara internal, hanya 4 perempuan yang menjadi pengurus DPP PKS dari total sekitar 56 pengurus. Itupun keempat-empatnya dikumpulkan di Departemen Kewanitaan. Majelis Syuro PKS juga didominasi laki-laki. Komposisi perempuan di lembaga-lembaga internal partai seperti Dewan Syariah, Majelis Pertimbangan Partai, serta pengurus DPW, dan lain-lain tidak jauh berbeda atau rata-rata representasi mereka di bawah 10%. (Sumber:

Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk memilih PKS sebagai objek penelitian. Dan PKS mewakili seluruh partai yang ada di Indonesia, untuk melihat keterwakilan politik perempuan di Parlemen.

1.2Perumusan Masalah

Dari fenomena yang telah penulis kemukakan diatas, maka penulis mengambil permasalahan utama yang akan menjadi bahan analisa penulis yaitu:

1. Bagaimana partisipasi politik perempuan di Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan dilihat dari tingkat keterwakilannya?

2. Faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya tingkat Keterwakilan Perempuan Partai Keadilan Sejahtera di Kota Medan?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Partisipasi Politik Perempuan di Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan dilihat dari segi keterwakilannya.

Deskripsi partisipasi politik dimaksud meliputi : peran memberikan pendidikan politik, peran menyampaikan aspirasi dan peran memberikan dukungan untuk menjadi praktisi politik serta hasil akhirnya yaitu yang berhasil duduk di parlemen.


(32)

Penelitian tentang partisipasi politik perempuan di Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan ini diharapkan dapat memberi beberapa manfaat, antara lain:

1. bagi pemerhati perempuan sebagai informasi dan data dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

2. bagi partai politik sebagai bahan rujukan dalam melakukan pendidikan politik kepada perempuan.

3. bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan dan merancang strategi untuk memberdayakan dan mencerdaskan perempuan dalam bidang politik.

1.4Kerangka Teori

Secara teoritis, keterwakilan memiliki empat sifat: Pertama, seseorang mempresentasikan nilai atau kepercayaan tertentu yang umumnya di wadahi dalam suatu partai politik. Kedua, geografis, seseorang mewakili konstituen dalam lokal wilayah tertentu. Ketiga, fungsional, seseorang mempresentasikan kepentingan dari suatu kelompok tertentu. Keempat, sosial yang merupakan bentuk representasi identitas kelompok tertentu. Secara garis besar, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik. Kegiatan itu mencakup tindakan-tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat politik, menjadi anggota suatu partai politik, dan lain sebagainya. Substansi partisipasi politik tidak lepas dari proses sosialisasi politik, pendidikan politik, dan rekruitmen politik.

Sosialisasi politik perempuan adalah proses penanaman nilai-nilai dan pembentukan sikap dan pola tingkah laku politik perempuan. Pendidikan politik menyangkut proses seseorang diperkenalkan dengan sistem politik, sedangkan rekruitmen politik adalah suatu proses saat mana suatu partai politik mencari anggota perempuan yang berbakat untuk menjadi kader pengurus atau menjadi calon legislatif


(33)

dari partai politik itu. Perempuan yang terjun ke dalam kegiatan politik dan mendapat jabatan politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah perempuan yang memperoleh jabatan politik karena mereka memiliki hubungan dengan laki-laki tertentu. Misalnya suaminya eksekutif, sang istri duduk di dewan. Ayahnya duduk di legisaltif, putrinya di kader untuk duduk di legislatif. Ayahnya memiliki reputasi sosial politik sehingga putrinya di anggap dan di posisikan cukup mampu menjadi anggota dewan.

Kelompok kedua adalah perempuan yang terjun ke dunia politik setelah bebas tugas dalam membesarkan anak-anaknya. Hal itu menyebabkan usia karir politiknya lebih pendek. Kelompok ketiga adalah perempuan yang dalam usia muda 30-an terjun dalam politik. Biasanya mereka telah cukup lama aktif dalam dunia ormas, LSM atau organisasi ekstra kampus. Mereka inilah yang termasuk jenis politisi perempuan profesional karir yang jumlahnya paling sedikit akibat proses sosialisasi, pendidikan, dan rekruitmen politik perempuan yang tidak berakar dan berjalan secara sistematis. Akibat dari rendahnya keterwakilan perempuan dan keberadaan perempuan dalam lembaga publik atau lembaga-lembaga politik, dapat diartikan pula sebagai masih kurangnya perempuan terlibat dalam struktur kekuasaan dan proses pengambilan keputusan dalam perumusan kebijakan, pembahasan dan penentuan prioritas program pembangunan. Hal tersebut dapat dianalogkan bahwa pengalokasian sumber dan perolehan hasil/manfaat pembangunan yang tidak dibagi secara adil dan merata, terutama yang menyangkut kepentingan dan kebutuhan perempuan.

Sejauh ini dapat dikatakan kontribusi kaum perempuan terhadap pembentukan konstitusi demokratik dan kebijakan penting lainnya tidak banyak. Salah satu sebabnya juga adalah kurangnya kemampuan perempuan mengartikulasikan masalah-masalah tersebut kepermukaan apalagi mendesakkan masalah-masalah dan kepentingan itu


(34)

kepada pengambil keputusan dan mengontrol pelaksanaannya. Hal ini disebabkan antara lain karena rendahnya partisipasi dan representasi politik perempuan baik dalam tataran politik formal maupun informal. Kondisi ini kemudian berkontribusi kepada rendahnya akses, partisipas dan representasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting di negeri ini (Buku Panduan Kesadaran Bernegara, 2006).

Selain rendahnya representasi atau keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik dalam arti jumlah atau kuantitas, maka ada gambaran lain yang melengkapinya yakni persoalan kualitas. Partisipasi mereka di bidang politik selama ini, jika memang itu ada, hanya terkesan memainkan peran sekunder. Mereka hanya di lihat sebagai pemanis atau penggembira, dan ini mencerminkan rendahya pengetahuan mereka di bidang politik. Bisa di amati bahwa betapa sedikitnya politisi atau tokoh perempuan yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai berbagai persoalan publik yang dihadapi masyarakat. Dalam situasi seperti itu maka tidaklah terlalu mengherankan jika banyak kebijakan politik dan ekonomi yang dihasilkan tidak memperhitungkan kepentingan perempuan. Berbagai kebijakan politik dan ekonomi di masa lalu memperlihatkan dengan jelas betapa perempuan menanggung beban paling berat atas nama pembangunan nasional yang merupakan perpaduan antara proses pembangunan ekonomi dan pentingnya stabilitas politik (Soetjipto,2005).

Menurut Soetjipto (2005:27) walaupun, saat ini hak-hak politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak politik tersebut tidak menjamin adanya pemerintahan/sistem politik yang demokratis di mana azas partisipasi, representasi dan akuntabilitas di beri makna yang sesungguhnya. Ini artinya, adanya keterwakilan perempuan didalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki


(35)

Partisipasi Politik Perempuan Bentuk dan Tingkatan

Keterwakilan Politik Perempuan serta Faktor rendahnya Keterwakilan

Perempuan

Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan

sensitivitas gender, tidak serta merta terwujud meskipun hak-hak politik perempuan sudah diakui.

1.5Kerangka Pemikiran

Pada setiap penelitian, selalu menggunakan kerangka pemikiran sebagai alur dalam menentukan arah penelitian. Hal ini untuk menghindari terjadinya perluasan pembahasan yang menjadikan penelitian tidak terarah/terfokus. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Alur Pemikiran Permasalahan Penelitian

1.6Pengalaman Lapangan

Banyak suka dan duka yang penulis rasakan dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini. Dari awal penulisan, dalam proses pengumpulan data, lalu melakukan wawancara dengan informan, sampai akhirnya selesai melakukan penelitian. Proses bimbingan dengan dosen dijalani selama lebih kurang 6 (enam) bulan hingga menjelang ujian Seminar Hasil. Alhamdulillah semua berjalan lancer, walaupun ada


(36)

hambatan-hambatan yang penulis rasakan dalam pengerjaan Tesis ini. Dalam penulisan Tesis ini penulis dibantu oleh 2 (dua) orang dosen pembimbing yang sangat banyak membantu. Orang tua yang selalu mendoakan dan mendukung penulis. Serta teman-teman yang juga selalu memberikan dorongan motivasi agar tetap semangat.

Pengalaman yang penulis dapatkan ketika melakukan penelitian juga banyak. Pengalaman yang sangat mengesankan ketika bertemu dengan Ketua Umum DPD PKS Kota Medan Bapak Surianda Lubis S. Ag yang juga menjabat sebagai anggota DPRD Kota Medan. Dan informan-informan lain yang juga sangat banyak membantu dalam menyelesaikan Tesis ini.

Wawancara dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti melalui telepon. Ini disebabkan karena para informan juga mempunyai kesibukan lain dalam pekerjaannya. Sehingga informan sulit untuk ditemui secara langsung dikarenakan masalah waktu. Walaupun begitu penulis tidak putus asa, dan menganggap itu semua sebagai pengalaman yang tidak akan terlupakan.


(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, prilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik (Wikipedia Indonesia, ensiklopedi bebas berbahasa Indonesia).

Istilah politik berasal dari Bahasa Yunani Polis yang artinya kota atau negara, yang kemudian muncul kata-kata polities yang artinya warga negara dan kata politikos yang artinya kewarganegaraan. Politik adalah seni tentang kenegaraan yang dijabarkan dalam praktek di lapangan, sehingga dapat dijelaskan bagaimana hubungan antar manusia (penduduk) yang tinggal disuatu tempat (wilayah) yang meskipun memiliki perbedaan pendapat dan kepentingannya, tetap mengakui adanya kepentingan bersama untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Penyelenggaraan kekuasaan negara dipercayakan kepada suatu badan / lembaga yaitu pemerintah.

2.1 Pengertian Partisipasi

Kata partisipasi merupakan “hal tentang turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan atau berperan serta. Peran politik terkait erat dengan aktivitas-aktivitas politik; mulai dari peranan para politikus profesional, pemberian suara, aktivitas partai sampai demonstrasi.


(38)

Dalam pengertian umum, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Kegiatan ini dapat berupa pemberian suara dalam Pemilu, menjadi anggota suatu partai dan lain sebagainya.

Dalam Ihromi, Kajian Wanita dalam Pembangunan (1995:491), Herbert McClosky mengatakan bahwa:

Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan(1995:491) mengatakan:

Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan maksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.

Partisipasi secara harfiah dimaknai sebagai pengambilan bagian atau pengikutsertaan (Echols, 1996:419). Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya The

Social Contract mengatakan, partisipasi sangat penting bagi pembangunan diri dan

kemandirian warga negara. Melalui partisipasi individu menjadi warga publik, mampu membedakan persoalan pribadi dengan persoalan masyarakat. Hal ini ditegaskan pula oleh John Stuart Mill dalam Miriam Budiarjo (1982), bahwa tanpa partisipasi nyaris semua orang akan ditelan oleh kepentingan pribadi dan pemuasan kebutuhan pribadi mereka yang berkuasa. Di sini partisipasi dalam kata lain menjadi ukuran adanya kemandirian dan kedewasaan individu (warga) dalam melihat batasan antara kepentingan privat dan publik.

Urusan publik memiliki hukum dan nilainya sendiri yang tidak bisa dicampur adukkan dengan urusan privat. Maka dari itu, penggunaan kekuasan untuk


(39)

kepentingan pribadi atau golongan dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang karena melukai partisipasi dan dan melanggar hukum publik. Dalam konteks ini, partisipasi menjadi fungsi demokrasi, agar kekuasaan selalu berorientasi pada publik. Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Bila suatu negara membatasi akses dan keterlibatan warganya dalam setiap pengambilan keputusan, maka demokrasinya belum dapat dikatakan berkembang secara baik. Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan partisipasi politik menjadi ukuran elementer, untuk melihat eksistensi demokrasi dalam suatu negara.

Demokrasi sebagai suatu sistem politik berupaya untuk memberikan wadah seluas-luasnya kepada rakyat untuk turut berpartisipasi atau ikut serta secara politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan yang otoriter, fasis dan anti demokrasi biasanya menenggelamkan adanya partisipasi politik warga. Urusan kekuasaan disederhanakan hanya sebatas milik para elite politik. Sedangkan rakyat dikondisikan ke arah apatisme. Apatisme sebenarnya merupakan produk sosial, ekonomi dan pengaturan politik tertentu. Seperti di masa orde baru, berbagai regulasi digunakan untuk membungkam partisipasi politik rakyat. Rakyat tidak bebas berekspresi dan berorganisasi. Adanya perbedaan pendapat, kritik dan protes massa dikendalikan dengan teror, kekerasan dan bentuk-bentuk represi lainnya, serta menjadi subjek dalam menentukan arah masa depan societynya.

Menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang (1994 : 4), partisipasi politik adalah kegiatan warga (privat citizen) yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang bertujuan mempengaruhi keputusan oleh pemerintah. Partisipasi ini dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal,


(40)

efektif atau tidak efektif. Partisipasi mencakup kegiatan-kegiatan, bukan mencakup sikap-sikap. Sementara para ahli lain mendefinisikan partisipasi politik mencakup orientasi-orientasi para warga negara terhadap politik, serta prilaku politik mereka yang nyata. Hal ini dapat terwujud dalam pengetahuan tentang politik, persepsi-persepsi tentang relevansi politik yang semua ini berkaitan dengan tindakan politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan. Termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan, serta merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan warga secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

Menurut Hasyim di antara peran politik perempuan yang dimaksud adalah: peran memberikan suara pada pemilihan, peran untuk menjadi anggota legislatif / parlemen; dan peran menjadi pemimpin tertinggi dalam suatu pemerintahan atau Presiden. Sementara menurut Fanin peran perempuan dalam politik dapat dikelompokkan kepada tiga peran; pertama, peran normatif: peran memilih atau dipilih dalam suatu proses Pemilihan Umum; perempuan memperoleh hak-hak politiknya untuk memilih atau dipilih setelah kemerdekaan yaitu dalam Pemilu 1955;

kedua, peran aktif: sebagai fungsionaris partai politik atau sebagai anggota legislatif;

dan ketiga, peran pasif: turut berpartisipasi dalam mengontrol jalannya pembangunan.

2.2 Pengertian Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.


(41)

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Disamping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

• Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).

• Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.

• Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.

• Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan

2.3 Pengertian Partisipasi Politik

1. Dari Wikipedia, partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.

2. Dari Wikipedia (2), partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

3. Menurut Michael Rush dan Phillip Althoff dalam bukunya Pengantar Sosiologi dan Politik, 1993: 23, partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik.

4. Menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, 1984: 140 bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam


(42)

menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.

Berdasarkan 4 definisi partisipasi politik diatas, maka penyusun dapat menarik satu definisi tentang partisipasi politik, yaitu keterlibatan warga negara dalam membuat keputusan, melaksanakan keputusan, mempengaruhi proses pengambilan keputusan, mempengaruhi kebijakan pemerintah termasuk yang berkaitan dengan keterlibatan aktif maupun keterlibatan pasif setiap individu dalam hierarki sistem politik.

Dalam bukunya partisipasi dan partai politik, Miriam Budiarjo (1998 : 9) mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup pemberian suara lewat pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contracting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya.

Sementara Milbrath dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa teori.

Pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua

adalah spektator, yakni orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga adalah gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye serta aktivis masyarakat. Keempat adalah pengkritik, yaitu orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional (Sastroatmodjo, 1995 : 74 – 75).


(43)

Goel dan Olsen dalam Sastroatmodjo (1995 : 77) menjelaskan partisipasi sebagai dimensi utama kehidupan stratifikasi sosial. Menurut mereka partisipasi dibagi dalam enam lapisan yakni pemimpin politik, aktivitas politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap dan informasi politik lainnya pada orang lain), warga negara marjinal (orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik) dan orang-orang yang terisolasi (orang yang jarang melakukan partisipasi politik). Partisipasi berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi Pertama, partisipasi yang bersifat sukarela (otonom). Kedua, atas desakan orang lain (mobilisasi). Hal ini senada dengan pendapat Nelson yang menyatakan dua sifat partisipasi yakni autonomous partisipation (partisipasi otonom) dan mobilized

partisipation (partisipasi yang dimobilisasi).

Partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa baik secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Myron Wiener dalam Huntington (1994 : 10) menekankan “ sifat sukarela dari partisipasi (tidak ada pemaksaan) dan mengemukakan menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat umum atas perintah pemerintah, tidak termasuk (partisipasi politik)”.

Dari pengertian ini maka, partisipasi dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh para aktifis perempuan pada hakekatnya adalah usaha menggali dan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh perempuan. Secara umum partisipasi tidak hanya pada bidang politik akan tetapi dalam segala bidang kehidupan. Perempuan mempunyai hak dan kewajibannya untuk ikut serta atau berpartisipasi aktif, hanya saja karena selama ini terjadi kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan yang diakibatkan oleh produk-produk kebijakan yang bias gender. Sehingga dibutuhkan


(44)

perjuangan keras dan keseluruhan dari segenap perempuan dalam segala lini, terlebih pada lini politik, karena sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan.

Menurut Lester dalam “ Political Participation” () menyebutkan adanya dua orientasi dalam partisipasi politik berhubungan dengan proses politik yaitu: partisipaasi politik yang berhubungan pada output proses politik (disebut partisipasi pasif) dan pada input proses politik (disebut partisipasi aktif), dimana aktifitas individu atau kelompok yang berkenaan dengan masukan-masukan proses pembuatan kebijakan. Dalam partisipasi politik berlaku proses-proses politik yang harus dipahami dan diikuti, baik laki-laki ataupun perempuan. Yang dikatakan oleh David Easton, proses politik adalah merupakan interaksi diantara lembaga-lembaga pemerintah dan kelompok-kelompok sosial. Hal ini menunjukkan, politik tidak hanya aktifitas yang ada pada tingkat elite tetapi melihat sudut pandang yang lebih pluralistic, yang menyertakan analisis pada aktifitas-aktifitas berbagai kelompok yang terorganisir diluar pemerintahan dengan memberikan penekanan pada individu-individu, kepentingan-kepentingan bersama dan nilai normatif. Sehingga berpartisipasi tidak sekedar ikut-ikutan tanpa tujuan dan arah yang jelas bagi setiap anggota, akan tetapi dalam proses partisipasi keterlibatan secara aktif mental, emosi dan prilaku untuk memperoleh sesuatu yang diharapkan menjadi bagian yang terpenting.

Partisipasi politik perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menggolkan instrumen hukum yang sensitif gender yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan.

Dalam konteks negara, partisipasi politik rakyat adalah keterlibatan rakyat secara perseorangan (privat citizen) untuk mengerti, menyadari, mengkaji, melobi dan


(45)

memprotes suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan mempengaruhi kebijakan agar aspiratif terhadap kepentingan mereka. Dari ilustrasi diatas, partisipasi rakyat bisa dipahami sebagai keterlibatan rakyat dalam pengertian politik secara sempit hubungan negara dan masyarakat (dalam bingkai governance) dan juga politik secara luas. Sedangkan politik secara luas yaitu semua bentuk keterlibatan masyarakat untuk mempengaruhi ataupun melakukan perubahan terhadap keputusan yang diambil. Partisipasi politik rakyat sebenarnya adalah tema sentral dari proses demokratisasi. Dalam kerangka inilah masyarakat bisa berperan aktif.

Lebih lanjut Huntington dan Nelson (1994 : 16 – 19) menjelaskan bahwa partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan atau prilaku yakni : 1. Kegiatan pemilihan mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye,

mencari dukungan, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah bentuk partisipasi yang jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi lainnya.

2. Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan yang menyangkut kepentingan umum.

3. Kegiatan organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

4. Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perseorangan yang ditujukan terhadap pejabat pemerintah dengan maksud memperoleh manfaat bagi satu orang atau sekelompok orang.


(46)

5. Tindak kekerasan (violence), sebagai suatu upaya untuk mempengaruhi keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang atau benda. Oleh karena itu kekerasan biasanya mencerminkan motivasi-motivasi yang lebih kuat. Kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik, mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah atau merubah sistem politik (revolusi).

Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat telah berkomitmen secara tegas memberi pengakuan yang sama bagi setiap warganya, baik itu perempuan maupun laki-laki sama hak nya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kecuali. Hak-hak politik perempuan ditetapkan melalui instrumen hukum maupun dengan meratifikasi berbagai konvensi yang menjamin hak-hak politik tersebut.

Undang – Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 46 menyebutkan sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.

Penegasan hak-hak politik perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya Konvensi Hak-hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women).

Ketentuan dalam konvensi PBB tentang Hak-hak Politik Perempuan menjelaskan sebagai berikut:

1. Perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa suatu diskriminasi.

2. Perempuan berhak untuk dipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi.


(47)

3. Perempuan berhak untuk memegang jabatan publik, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi (lihat Perisai Perempuan, 1999).

Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) melalui UU No. 7 tahun 1984, Pasal 7 secara tegas juga mengatur hak-hak politik perempuan, yakni negara peserta konvensi wajib membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya. Selain itu, konvensi tersebut jugPa menjamin persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki dalam hal:

1. hak untuk di pilih dan memilih

2. hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya.

3. hak untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat; dan

4. hak untuk berpartisipasi dalam organisasi / perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik.

Di tegaskan oleh Moore (1988) bahwa salah satu ciri yang penting dari kedudukan perempuan dalam masyarakat ialah mereka adakalanya mempunyai kekuasaan politik tetapi tidak mempunyai kekuatan, legitimasi, dan otoritas. Dalam banyak sistem politik di dunia sekarang ini, perempuan mempunyai kekuasaan politik, misalnya mereka mempunyai hak suara. Akan tetapi, mereka kurang memiliki otoritas yang nyata dalam menjalankan kekuasaan tersebut (Moore, 1988;134).


(48)

Pada bagian ini akan mencoba untuk menjelaskan tentang perkembangan pemikiran dan pergerakan perjuangan kaum perempuan secara umum. Gambaran ini akan membantu untuk melihat posisi perkembangan pemikiran Islam tentang kaum perempuan. Untuk memahami gerakan kesetaraan yang diperjuangkan oleh kaum perempuan terlebih dahulu perlu diuraikan teori-teori sosiologi yang digunakan sebagai pendekatan terhadap studi tentang wanita. Bila kita membuka teksbook sosiologi apa saja pada saat sekarang ini, maka akan ditemukan bagaimana lapangan sosiologi terbagi kepada dua kubu yang berbeda yakni “fungsionalis” dan “konflik”. Kedua teori struktural-fungsional dan teori sosial konflik kelihatannya juga diterapkan dalam kajian tentang wanita.

2.4.1 Teori struktural fungsional

Teori struktural-fungsional dapat ditelusuri pada pemikiran August Comte, yang menyatakan bahwa kehidupan manusia dapat dipelajari dengan menggunakan teknik-teknik yang diterapkan di dalam ilmu alam “Titik berat argumennya terletak pada asumsi bahwa terdapat suatu tatanan alamiah yang dengannya kehidupan manusia dapat dipahami. Pendekatan struktural fungsional ini adalah pendekatan teori sosiologi yang diaplikasikan dalam institusi keluarga. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat di dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman di dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman pada fungsi sesuai dengan posisi seseorang pada struktur sebuah sistem. Metode fungsionalisme bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dimasyarakat. Metode ini berprinsip bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi; masing-masing mempunyai fungsi tersendiri terhadap masyarakat.


(49)

Menurut Comte, wanita “secara konstitusional” bersifat inferior terhadap laki-laki. Oleh sebab itu, Comte percaya bahwa wanita menjadi subordinat laki-laki begitu mereka menikah. Wanita tidak punya hak untuk bercerai, sebab mereka adalah semata-mata budak laki-laki manja. Comte menegaskan bahwa untuk menyusun tatanan masyarakat yang baik dan maju bagi Perancis, diperlukan otoritas patriarkat dan kediktatoran politik. Positivisme Comte adalah sebuah filsafat mengenai stabilitas yang berlandaskan pada keabadian tentang “kebenaran” unit keluarga.

Herbert Spencer memperjelas analogi antara sosiologi dan biologi dengan dua macam analogi. Yang pertama adalah proses evolusi dari bentuk yang sederhana kepada bentuk yang komplek. Individu-individu di masyarakat, institusi-institusi sosial dan masyarakat itu sendiri berkembang dari yang sederhana kepada yang kompleks. Dalam kaitan ini wanita dianalisis dalam hubungan dengan “kedudukan” mereka di masyarakat: yakni fungsi mereka dalam keluarga. Keberadaan mereka di dalam keluarga serta peran sosial sebagai istri turut membantu mengikat keluarga sebagai sebuah unit, sedangkan laki-laki membuka hubungan ke luar. Dalam tulisan awalnya, Spencer memperjuangkan hak-hak laissezfaire bagi individu wanita, serta menyatakan bahwa sifat-sifat alamiah wanita tidak tetap, menurutnya, wanita memiliki hak untuk bersaing secara bebas dengan laki-laki. Begitupun ia menyarankan wanita untuk tidak bersaing dengan laki-laki. Analogi kedua adalah membandingkan organisme masyarakat dengan organisme individu, yakni kedua organisme tersebut tumbuh menjadi besar yang menjadikan keduanya lebih kompleks dan terjadi perbedan. Proses perbedaan yang lebih lanjut dalam struktur organisasi dibarengi dengan proses perbedaan dalam fungsi.


(50)

Sosiolog lainnya adalah Emile Durkheim yang menegaskan bahwa individu merupakan ekspresi dari kolektivitas tempat individu tersebut berada. Tanggung jawab setiap individu diberikan oleh masyarakat itu sendiri, namun kesadaran kolektivitas akan tetap melekat dalam setiap individu. Durkheim menerapkan teori tentang pembagian kerja dalam masyarakat. Sifat-sifat alamiah wanita yang inhern menciptakan suatu pembagian kerja, hierarki, dan otoritas laki-laki dan struktur moralitas. Sifat-sifat alamiah tersebut menempatkan perempuan dibawah kontrol logis kaum laki-laki dalam keluarga patriarkhat dan struktur sosial. Durkheim membincangkan perempuan dalam dua konteks tempat yakni dalam konteks positif perkawinan dan keluarga dimana wanita memainkan peran tradisional yang fungsional terhadap keluarga; dan dalam konteks negatif bunuh diri, perceraian dan seksualitas. Dalam keluarga, laki-laki memegang otoritas sebab keluarga membutuhkan seorang pemimpin, karenanya wanita tidak mempunyai wewenang terhadap laki-laki.

Pengaruh fungsionalisme dapat ditemui dalam pemikiran Feminisme Liberal. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung nilai-nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada yang sama dianggap mendiskriminasikan kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal ini bertumpu pada pandangan bahwa kebebasan persamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu membedakan kesempatan antara laki-laki dan perempuan.


(51)

Asumsinya, karena perempuan adalah makhluk rasional. Oleh sebab itu ketika mempersoalkan keterbelakangan kaum perempuan, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri. Dengan kata lain bila sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan maka jika kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah, yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan sendiri. Seperti halnya filsafat eksistensialisme, feminisme liberal memberikan landasan teoritis akan persamaan wanita dalam potensi rasionalitasnya dengan pria.

Untuk itu perempuan harus dipersiapkan agar mampu bersaing dengan bebas melalui program-program yang dapat meningkatkan taraf hidup kelurga serta kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan perempuan supaya mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki. Salah satu pengaruh feminisme liberal ini terefleksi dalam program global yang disebut Women in Development. Menurut mereka keterbelakangan kaum perempuan adalah akibat dari sikap irrasional yang berpangkal pada nilai-nilai tradisional dan kepasifan mereka dalam pembangunan. Oleh karena itu melibatkan kaum perempuan dalam industrialisasi dan program pembangunan dianggap sebagai cara untuk meningkatkan kaum perempuan. Menurut feminisme liberal, dasar hukum yang kuat diperlukan untuk menjamin persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Karenanya mereka memfokuskan perjuangan pada perubahan undang-undang yang dianggap mempertahankan sistem patriarkhat dalam keluarga.

(

Dalam tradisi feminisme liberal penyebab penindasan wanita diketahui karena kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individu maupun kelompok.


(52)

Cara pemecahan untuk mengubahnya yaitu menambah kesempatan-kesempatan bagi perempuan terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini muncul selama revolusi Prancis. Perubahan-perubahan sosial besar-besaran tersebut menyediakan argumen politik maupun moral untuk gagsan-gagasan mengenai “kemajuan, kontrak, sifat dasar dan alasan” yang memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional. Asumsinya apabila perempuan diberi jalan yang sama untuk bersaing, mereka akan berhasil.

2.4.2 Teori Konflik

Pemikiran Marx sangat dipengaruhi oleh filsafat Hegel dan ia menerapkannya pada hal-hal yang konkrit, yaitu sistem berpikir materialistis. Penindasan terhadap wanita di dalam keluarga menjadi sentral kritik. Suami sebagai kepala keluarga, mencari nafkah dan menghidupi keluarga diberikan posisi yang superior. Suami dalam keluarga adalah borjuis sedangkan istrinya mewakili proletariat. Marx mengkritik keberadaan perkawinan yang mempertahankan posisi dasar wanita sebagai barang kekayaan dia menyebut “sifat-sifat pembagian kerja” di dalam keluarga sebagai basis kekayaan dan ketidakadilan. Marx mengemukakan penindasan trhadap wanita dalam konteks faktor-faktor ekonomi yang membentuk struktur politik dan sosial serta kehidupan wanita di dalamnya.

2.5 Teori Gender

Dalam pembahasan mengenai gender, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya dua aliran atau teori yaitu: Teori Nurture dan Teori Nature. Namun demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang diilhami dari 2 konsep teori tersebut yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori equilibrium. Secara rinci teori-teori tersebut diuraikan sebagai berikut:


(53)

2.5.1 Teori Nurture

Menurut teori Nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas penindas (borjuis), dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar).

Aliran Nurture melahirkan paham sosial konflik yang banyak dianut masyarakat sosial komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham sosial konflik memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality) dalam segala aktifitas masyarakat seperti di DPR, Menteri, Gubernur, dan pimpinan partai politk. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuatlah program khusus (affirmative action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar bisa termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. Akibatnya sudah dapat di duga yaitu timbulnya reaksi negatif dari laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut.

2.5.2 Teori Nature

Menurut teori Nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya.

Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena


(54)

manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara struktural dan fungsional. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas (division of labour) begitu pula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami isteri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang menjadi kepala rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga di kenal ada pimpinan dan ada bawahan (anggota) yang masing-masing mempunyai tugas, fungsi, dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai tujuan.

Parson dan Bales berpendapat bahwa keluarga adalah sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling bantu membantu satu sama lain. Peranan keluarga semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini di mulai sejak dini melalui “Pola Pendidikan” dan pengasuhan anak dalam keluarga.

2.5.3 Teori Equilibrium (keseimbangan)

Di samping kedua teori tersebut maka terdapat kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik otomatis, bukan pula struktural fungsional tetapi dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihan sekaligus kekurangan,


(55)

kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan di lengkapi pihak lain dalam kerjasam ).

2.6 Bentuk dan Tingkatan Partisipasi Politik Perempuan

Kendati berbagai perangkat hukum telah melegitimasi partisipasi politik perempuan sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki. Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah publik yang relatif dekat dengan laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar budayanya di mana mayoritas masyarakat di dunia masih kental dengan ideologi patriarki.

Pentingnya partisipasi politik bagi perempuan disebabkan masalah partisipasi sangat berkaitan langsung dengan masalah-masalah lain. Menurut MacKinnon dalam (To Ward a Feminist Theory of the State : hal 215) mengatakan bahwa ketika hak politik terenggut maka hak-hak lainnya akan mengikuti (terenggut pula). Politik adalah ranah yang sangat fundamental bagi pemenuhan hak-hak lainnya. Hal ini mengingatkan kita akan pendapat yang mengatakan bahwa kekejaman politik adalah kekejaman yang paling menyengsarakan perempuan karena implikasi yang disebabkannya amat besar, yaitu dapat menggilas hak-hak perempuan di bidang lain seperti pendidikan, kesehatan, dan aktifitas sosial lainnya.

Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya partisipasi perempuan di ranah publik adalah pemahaman masyarakat umum (mainstream) yang menganggap bahwa perempuan yang aktif dan luas bergaul dengan siapapun seringkali dimaknai secara peyoratif (merendahkan). Partisipasi politik menurut Pary G. Moyser G dan Day N adalah bentuk keikutsertaan dalam proses formulasi, pengesahan dan pelaksanaan


(56)

kebijakan. Bentuk nyata partisipasi ini adalah keterwakilan perempuan baik dilegislatif maupun eksekutif. Diharapkan pada kedua ranah kuasa ini, dapat terbentuk kebijakan atau peraturan yang sensitif terhadap relasi yang adil dan setara dibarengi dengan komitmen pelaksanaannya di lapangan. Untuk ikut serta dalam partisipasi politik guna mewujudkan keterwakilannya di parlemen, perempuan di tuntut untuk terjun pada dunia politik.

Ada beberapa ruang partisipasi strategis yang dapat dimasuki oleh komunitas perempuan dalam era otonomi daerah. Pertama, partisipasi dalam perencanaan. Peran ini cukup penting untuk menjamin agar rencana-rencana pembangunan daerah nantinya benar-benar agresif dan benar-benar membela kepentingan masyarakat secara adil. Ruang-ruang partisipasi dalam hal ini antara lain dengan memberikan data-data kebutuhan obyektif masyarakat, memberikan pandangan kepada masyarakat untuk makin katif terlibat dalam proses perencanaan, memberikan kritik yang obyektif rasional terhadap rencana-rencana pembangunan daerah, di samping merumuskan sendiri program-program internal organisasi untuk pengembangan ke dalam maupun untuk partisipasi ke luar organisasi. Kedua, partisipasi dalam pengorganisasian. Dalam hal ini partisipasi itu dapat diwujudkan dalam bentuk sarana dan provokasi keterlibatan organisasi-organisasi non pemerintah dalam program-program pembangunan daerah. Pemerataan keterlibatan lembaga-lembaga bisnis dalam pembangunan sarana-sarana umum sehingga menggairahkan partisipasi sekaligus memeratakan pendapatan masyarakat. Begitu pula keterlibatan lembaga ormas dan LSM dalam pengembangan dalam sisi social seperti keagamaan, pendidikan, ketenagakerjaan dan sebagainya. Kesemuanya itu harus di desakkan kepada pemerintah daerah dalam upaya menciptakan sinergi antara berbagai komponen daerah dalam pengorganisasian pembangunan di daerah. Ketiga,


(1)

Fealy, Greg, . Dalam Tulisan Heri Kusmanto dan Warjio “Strategi Pembangunan

Partai Keadilan Sejahtera,

Gaffar, Afan, 2005. Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

G. Tan, Mely, 1996. Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hasyim, Syafiq, 2001. Perempuan dalam Fiqih Politik, dalam Buku Hal-hal yang tidak terpinggirkan Tentang isu-isu Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan. Huntington, P. Samuel & Joan Nelson, 1994, Partisipasi Politik, Jakarta: Rineka

Cipta.

Ihromi, T. O. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ihza, Yusril Mahendra, 2002. Dalam Jurnal Perempuan Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam : Perbandingan Partai Msyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat Islami (Pakistan), Jakarta: Paramadina.

Listiani, 2002. Gender dan Komunitas Perempuan Pedesaan, Medan: Bitra Indonesia. Majelis Pertimbangan Pusat PKS, 2007. Platform Kebijakan Pembangunan PKS,

Jakarta.

Moleong, L.J. 1988. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Moore, Henrietta L, 1988. Feminism and Antropology, Cambridge: Polity Press. Murniati A. Nunuk Prasetyo, 2004. Getar Gender, Perempuan Indonesia dalam

Perspektif SosiaL, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM, Magelang:

Indonesiatera.

Murniati A. Nunuk Prasetyo, 2004. Getar Gender, Perempuan Indonesia dalam

Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga, Magelang: Indonesiatera.

Mulia, Siti Musdah dan Anik Farida, 2005. Perempuan dan Politik, Jakarta: Gramedia.

Naqiyah, Najlah, 2005. Otonomi Perempuan, Malang: Bayumedia Publishing.

Nurrahmi NZ, 2009. Perempuan dan Politik (Skripsi), Medan: Universitas Sumatera Utara.

Rahman, Anita, 2000. Dalam Tulisannya, “ Masih adakah Keraguan terhadap


(2)

Rush, Michaell dan Phillip Althoff, 1993. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Rineka Cipta. Sihite, Romany, 2007. Perempuan, Kesetaraan, & Keadilan, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Soekanto, Soerjono, 2001. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soemandoyo, Priyo, 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi, Yogyakarta: LP3Y. Sucipto, Ani Widiani, 2005. Kendala-kendala Terhadap Partisipasi Perempuan dalam

Parlemen, Jakarta: Internasional IDEA Indonesia.

Sujarwa, 2001. Polemik Gender Antara Realitas dan Refleksi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Surbakti, Ramlan, 1999. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia. Ulfiah, Ulfi, 2007. Perempuan di Panggung Politik, Jakarta: Rahima.

Umar, Fatimah Nasif, 2001. Menggugat Sejarah Perempuan Mewujudkan Idealisme

Gender Sesuai Tuntutan Islam, Jakarta: Cendekia Sentra Mulim.

Wahid, Abul dan Muhammad Irfan, 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual, Bandung: Refika Aditama.

Warjio, Strategi Pembangunan PKS (1) : Memaknai 10 Tahun PKS, Harian Sumut Pos, Jumat 16 Mei 2008.

Warjio, Strategi Pembangunan PKS (2) : Memaknai 10 Tahun PKS, Harian Sumut Pos, Sabtu 17 Mei 2008.

Weld, Claude E, 1991. Studi Perbandingan Modernisasi Politik dalam Yahya Muhaimin dan Collin Mac Andrews, Masalah-masalah Pembangunan Politik, Yogyakarta: University Press.

Website

http://pendukungcalegperempuansumut.wordpress.com

islamlib.com/id/index.php?page=article&id=445 www. google. com


(3)

wri.or.id/gender/index.php

Jurnal

Jurnal Perempuan, 1999. Pelanggaran Hak Azasi Manusia Terhadap Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Jurnal Perempuan, 2004. Kuota Perempuan dalam Parlemen, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Jurnal Perempuan, 2004. Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Jurnal Perempuan, 2004. Hallo Senayan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Surat Kabar

Kompas, Kamis 22 Mei 2008.


(4)

Wawancara ini merupakan wahana untuk menggali informasi mengenai pendapat Informan yang berkaitan dengan judul penelitian Tesis

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan (Persoalan, Hambatan, dan Strategi). Jawaban yang Bapak / Ibu berikan tidak akan mempengaruhi keberadaan Bapak / Ibu. Karena penelitian ini semata-mata untuk keperluan akademis. Untuk itu kami mengharapkan informasi serta jawaban yang sesungguhnya (objektif) dari Bapak / Ibu sesuai dengan pandangan Bapak / Ibu mengenai hal tersebut.

Atas bantuan dan partisipasinya saya ucapkan Terima Kasih.

WAKTU WAWANCARA

Hari :

Tanggal :

Jam :

IDENTITAS RESPONDEN

DAFTAR PERTANYAAN INI DI ISI OLEH PENELITI PADA SAAT WAWANCARA DENGAN INFORMAN

1. Nama :

2. Umur :

3. Jenis Kelamin :

4. Status Perkawinan : 5. Pendidikan Terakhir : 6. Jabatan dalam Partai :


(5)

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN

di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

(Persoalan, Hambatan, dan Strategi) INTERVIEW GUIDE

1. Makna Politik?

2. Bagaimana anda melihat kondisi politik sekarang kaitannya dengan

perempuan?

3. Bagaimana dengan partisipasi politik perempuan menurut anda?

4. Pendapat anda tentang beberapa pendapat yang masih melarang perempuan berkiprah di panggung politik?

5. Bagaimana dengan kuota 30% bagi perempuan di Parlemen?

6. Bagaimana strategi pembangunan politik (garis politik) Partai Keadilan Sejahtera, khususnya bagi perempuan?

7. Bagaimana PKS merekrut anggotanya? 8. Mengapa PKS begitu fenomenal?

9. Adakah komitmen partai untuk pemberdayaan perempuan pada umumnya? Lalu bagaimana khususnya di partai sendiri kaitannya dengan perempuan? Seperti apa?

10.Bagaimana cara PKS mendongkrak representasi politik perempuan? 11.Tingkat pendidikan perempuan di PKS?

12.Bentuk-bentuk peran politik apa yang dimainkan oleh PKS?

13.Apa kendala terbesar yang di hadapi oleh PKS dalam meningkatkan keterwakilan perempuan?

14.Bagaimana cara yang paling tepat untuk meningkatkan keterwakilan perempuan atau setidaknya partisipasi perempuan dalam proses politik?

15.Perbedaan kepemimpinan pada masa Tiffatul Sembiring dan Hidayat Nur Wahid?

16.Pandangan PKS terhadapa partisipasi politik perempuan? 17.Partisipasi politik perempuan di PKS seperti apa?Alasannya? 18.Faktor Penarik dan Faktor Pendorongnya?

19. Partisipasi politik perempuan PKS di Kota Medan seperti apa? Apakah masih rendah? Lalu bagaimana dengan yang di daerah?


(6)

Dokumen yang terkait

Perbandingan Partisipasi Politik Perempuan di Partai Nasdem (Nasional Demokrat) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Kabupaten Batubara

2 76 172

Pengaruh Kebijakan Partai Politik Dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Di Pemerintahan (Studi Kasus pada DPW Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara)

1 59 169

Perempuan Dalam Partai Politik Islam Studi Etnografi Tentang Peran dan Posisi Perempuan Dalam Sistem Kaderisasi di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

0 29 122

HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP MODEL PENGKADERAN DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA KOTA MEDAN.

0 0 33

Perempuan Dalam Partai Politik Islam Studi Etnografi Tentang Peran dan Posisi Perempuan Dalam Sistem Kaderisasi di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

0 0 15

Perempuan Dalam Partai Politik Islam Studi Etnografi Tentang Peran dan Posisi Perempuan Dalam Sistem Kaderisasi di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

0 0 1

Perempuan Dalam Partai Politik Islam Studi Etnografi Tentang Peran dan Posisi Perempuan Dalam Sistem Kaderisasi di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

0 0 26

Perempuan Dalam Partai Politik Islam Studi Etnografi Tentang Peran dan Posisi Perempuan Dalam Sistem Kaderisasi di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

0 0 23

Perempuan Dalam Partai Politik Islam Studi Etnografi Tentang Peran dan Posisi Perempuan Dalam Sistem Kaderisasi di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

0 0 3

Perempuan Dalam Partai Politik Islam Studi Etnografi Tentang Peran dan Posisi Perempuan Dalam Sistem Kaderisasi di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan

0 0 4