Perubahan Konstitusi Secara Formal

Sementara itu, K. C. Wheare memiliki pendapat sendiri mengenai klasifikasidalam perubahan konstitusi, ia membaginya kedalam 4 empat jenis, yakni: 18 1. Some primary forces 2. Formal amandement 19 3. Judicial interpretation 4. Usage and convention Dalam tinjauan pustaka ini, dibagi menjadi 2 dua bagian pokok bahasan, yakni perihal perubahan formal konstitusi undang-undang dasar dan perubahan informalnya. Tinjauan teoritik inilah yang nantinya akan menjadi pisau bedah dalam melakukan penelitian atas perubahanan makna terhadap Pasal 6A Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia jika disandingkan dengan aturan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dalam hal ini aturan undang-undang tersebut telah menambah prasyarat pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.

B. Perubahan Konstitusi Secara Formal

Perubahan Konstitusi secara formal dapat dimaknai sebagai perubahan yang dilakukan berdasarkan prosedur yang ditentukan oleh konstitusi itu sendiri, Hampir semua negara menetapkan aturan mengenai perubahan konstitusi dalam konstitusinya kecuali Chechnya, Finlandia, dan Swedia. 20 Terkait dengan unsur- 18 Ibid, h. 109. 19 Formal amandement inilah yang oleh George Jellinek klasifikasikan sebagai verfassungsanderung Perubahan melalui prosedur formal, sementara ketiga jenis lainnya, yakni Some primary forces, Judisial interpretationUsage and conventiondiketegorikan ke dalam lingkup vervassungswandlung Perubahan secara informal. 20 Komisi Konstitusi, Op. Cit.,h. 23. unsur dasar yang harus ditetapkan dalam konstitusi mengenai perubahan konstitusi secara teoritik meliputi beberapa hal, yakni: 21 1. Usul inisiatif perubahan konstitusi 2. Syarat penerimaan atau penolakan usul tersebut menjadi agenda resmi bagi lembaga pengubah konstitusi 3. Pengesahan rancangan perubahan konstitusi 4. Pengumuman resmi pemberlakuan hasil perubahan konstitusi 5. Pembahasan tentang hal-hal yang tidak boleh diubah dalam konstitusi 6. Hal-hal yang hanya boleh diubah melalui putusan referendum atau klausa khusus 7. Lembaga-lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi seperti parlemen, negara bagian bersama parlemen, referendum, lembaga khusus, parlemen dan pemerintah, parlemen dan referendum, parlemen dan pemilu, pemerintahperdana menteri, presiden, atau raja. Pengaturan mengenai perubahan konstitusi secara formal di Indonesia, semenjak berlakunya 3 tiga Undang-Undang Dasar UUD, yakni UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah amandemen, adalah: a Pada Undang-Undang Dasar 1945 Ketentuan mengenai perubahan terletak pada pasal 37 ayat 1 yang berbunyi : Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang- kurangnya 23 dari pada jumlah anggota Majelis permusyawaratan Rakyat harus hadir ”dan ayat 2 yang berbunyi “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 23 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hadir Ketentuan tersebut berlaku pada periode awal Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setelah pmerintahan orde baru dibawah pimpinan Soeharto sebagai Presiden, selain ketentuan ditingkat undang-undang dasar, juga teerdapat kewajiban melakukan referendum untuk melakukan perubahan, diatur lebih lanjut oleh Ketetapan MPR Nomor 21 Ibid., h. 24. IVMPR1983tentang referendum yang ditingkat teknis pelaksanaan dinaungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Referendum. b Pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 Ketentuan mengenai perubahan terletak pada Bab VI Perubahan, Ketentuan2 Peralihan dan Ketentuan2 Penutup, tepatnya pada bagian 1 Perubahan, Pasal 190 ayat 1 yang menyatakan syarat kuorum kehadiran dan mekanisme perubahan berdasarkan undang-undang federal, secara utuh berbunyi: Dengan tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal 51, ajat kedua, maka Konstitusi ini hanja dapat diubah dengan undang-undang federal dan menjimpang dari ketentuan2nja hanja diperkenankan atas kuasa undang-undang federal; baik Dewan Perwakilan Rakjat maupun Senat tidak boleh bermupakat ataupun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, djika tidak sekurang- kurangnja dua-pertiga dari djumlah anggota-sidang menghadiri rapat. Sementara ayat 2 yang menyatakan bahwa “Undang-undang sebagai dimaksud dalam ajat pertama, dirundingkan pula oleh Senat menurut ketentuan2 Bagian 2 Bab IV. ” Ketentuan ini mengisyaratkan suatu mekanisme balances antara Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat Federal dalam memutuskan usulan perubahan, selanjutnya pengaturan tentang kondisi deadlock yang mungkin tercipta dalam perubahan ini diatur melalui ketentuan ayat 3 yang berbunyi: Usul undang-undang untuk mengubah Konstitusi ini atau menjimpang dari ketentuan2nja hanja dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat ataupun oleh Senat dengan sekurangkurangnja dua-pertiga djumlah suara anggota jang hadir. Djika usul itu dirundingkan lagi menurut jang ditetapkan dalam pasal 132, maka Dewan Perwakilan Rakjat hanja dapat menerimanja dengan sekurang-kurangnja tiga-perempat dari djumlah suara anggota jang hadir. Selain mekanisme perubahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Federal dan Senat, pengaturan terhadap pengumuman dan pelaksanaan perubahan undang-undang dasar tersebut juga dicantumkan secara tekstual oleh Konstitusi RIS 1950, melalui ketentuan Pasal 191, yakni pemerintah sebagai pihak yang mengumumkan, serta masa transisi terhadap alat kelengkapan negara, maupun aturan-aturan lama sebelum dan ketika perubahan dilakukan, posisi hukumnya tetap berlaku, hingga ada pengganti yang sesuai dengan perubahan undang-undang dasar. c Pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 Ketentuan mengenai perubahan terletak pada Bagian I mengenai Perubahan, tepatnya pada Pasal 140, mulai dari usulan perubahan undang- undang dasar yang harus tegas terhadap ketentuan yang akan diubah melalui suatu undang-undang sebagai dasar pijakan. Selanjutnya, usul perubahan yang berbentuk undang-undang tesebut diserahkan presiden kepada suatu badan yakni Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar. Isi dari majelis tersebut adalah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara dan anggota-anggota Komite Nasional Pusat yang tidak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Selain itu, Ketua Dewan Pewakilan Rakyat Sementara secara otomatis menjadi ketua Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar ini. Berdasarkan ketentuan Pasal141, apabila rancangan perubahan undang-undang dasar tersebut diterima oleh Majelis Perubahan Undang- Undang Dasar, maka pemerintah berkewajiban mengesahkan rancangan tersebut secepatnya. Serta pemerintah juga diharuskan mengumumkan perubahan tersebut seperlunya. Selain mekanisme perubahan dan pengesahan, ketentuan peralihan terhadap hasil perubahan juga ditampung, yakni alat kelengkapan kekuasaan negara tetap berlaku hingga dilakukan perubahan aturan, kecuali terhadap yang secara nyata bertentangan dengan perubahan undang-undang dasar tersebut. d Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ketentuan tersebut terletak pada BAB XVI mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar, tepatnya pada Pasal 37, dalam hal ini usulan perubahan diajukan dengan kuorum minimal sepertiga dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Usulan perubahan tersebut harus secara jelas dan berbentuk tertulis dengan menunjuk bagian mana yang akan diubah beserta alasan perubahannya. Dalam mekanisme perubahan, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang membahas usulan perubahan tersebut, juga memiliki kuorum minimal kehadiran, yakni dua pertiga darijumlah anggota keseluruhan, serta minimal disetujui oleh setengah ditambah satu dari jumlah anggota yang hadir. Selain mekanisme perubahan, juga terdapat larangan terhadap perubahan bentuk negara kesatuan republik Indonesia. Berdasarkan konstruksi mengenai pengaturan tata cara perubahan formal yang ada pada ketiga konstitusi yang berlaku tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut konsep konstitusi yang bersifat kaku rigid. 22 Perubahan konstitusi secara formal itu sendiri terjadi di Indonesia sebanyak satu kali perubahan dengan 4 empat tahapan. Pada tahapan pertama perubahan yang dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 konsentrasi MPR adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat DPR sebagai lembaga legislatif. 23 Tahapan kedua yang dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 terkait masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM. 24 Tahapan ketiga perubahan undang-undang dasar ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 dalam hal ini materi perubahan ketiga ini meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, dan ketentuan-ketantuan tentang Pemilihan Umum. 25 Serta tahapan terakhir keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 22 Indikator suatu naskah konstitusi dapat dikategorikan luwes flexible atau kaku rigid adalah i apakah terhadap naskah konstitusi tersebut dimungkinkan delakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan ii apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan kebutuhan zaman, penulis berpendapat, konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia memungkinkan untuk dilakukan perubahan dan tergolong mudah untuk diubah, dengan syarat usul 13 dan persetujuan 50 + 1 anggota MPR yang dianut, jikadibandingkan dengan sebelumnya yang membutuhkan referendum sebagai salah satu syarat perubahan, serta dengan perbandingan perubahan konstitusi di Amerika Serikat, dan Afrika Selatan yang cenderung sulit dan berliku. 23 yang meliputi Pasal 5 ayat 1, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat 2, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat 2 dan 3, Pasal 20, dan Passal 22 UUD 1945. Jimly Asshidiqie,Menuju Negara Hukum yang Demokratis,BIP, 2009, h. 172. 24 yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat 5, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945. 25 mengubah dan menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat 2 dan 3, Pasal 3 ayat 1, 3, dan 4, Pasal 6 ayat 1 dan 2, Pasal 6A ayat 1, 2, 3, dan 5, Pasal 7A, Pasal 7B Tahun 2002 melingkupi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghabusan Dewan Pertimbangan Agung DPA, ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan. 26 Pada perubahan formal yang dilakukan pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2002 tersebut, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan, Jimly Asshidiqie sendiri menyatakan bahwa perubahan formal tersebut sampai dengan 300, naskah konstitusi ini dapat digolongkan sebagai sebuah konstitusi baru dengan nama resmi “ Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” perubahan ini telah mengakibatkan berubahnya kedudukan dan hubungan beberapa lembaga negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru. Konstitusi yang baru ini juga menegaskan kembali demokrasi konstitusional sebagai batu pijakan bernegara Indonesia. ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7, Pasal 7C, Pasal 8 ayat 1 dan 2, Pasal 11 ayat 2 dan 3, Pasal 17 ayat 4, Bab VIIA, Pasal 22C ayat 1, 2, 3, dan 4, Pasal 22D ayat 1, 2, 3, dan 4, Bab VIIB, Pasal 22E ayat 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, Pasal Pasal 23 ayat 1, 2, dan 3, Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat 1, 2, dan 3, Pasal 23E ayat 1, 2, dan 3, Pasal 23F ayat 1, dan 2, Pasal 23G ayat 1 dan 2, Pasal 24 ayat 1 dan 2, Pasal 24A ayat 1, 2, 3, 4, dan 5, Pasal 24B ayat 1, 2, 3, dan 4, Pasal 24C ayat 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 UUD 1945. 26 meliputi Pasal 2 ayat 1, Pasal 6A ayat 4, Pasal 8 ayat 3, Pasal 11 ayat 1, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24 ayat 3, Bab XIII, Pasal 31 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5, Pasal 32 ayat 1, 2, 3, dan 4, Bab IV, Pasal 33 ayat 4 dan 5, Pasal 34 ayat 1, 2, 3, dan 4, Bab IV, Pasal 33 ayat 4 dan 5, Pasal 34 ayat 1, 2, 3, dan 4, Pasal 37 ayat 1, 2, 3, 4 dan 5, Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III, Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.

C. Perubahan Konstitusi Secara Informal