Perubahan Makna Pasal 6A ayat 2 UUD NRI

(1)

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Diajukan Sebagai Salah Satu Prasyaratan Meraih Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

ZIFFANY FIRDINAL 0810112196

Program Kekhususan : Hukum Tata Negara (PK VI)

PROGRAM SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG 2013


(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam sebuah negara (supreme law

of the land),1 secara teoritis, suatu undang-undang dasar merupakan kontrak sosial dari rakyat pada suatu negara. Sebagai sebuah kontrak sosial, konstitusi harus dijunjung tinggi sebagai landasan kebijakan negara. Indonesia sendiri telah memiliki kontrak sosial berupa Undang-Undang Dasar Negara yang apabila diperiodisasikan dapat diklasifikasikan kepada 4 (empat) periode, yakni semenjak digunakannya Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), lalu Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, dan berlaku kembalinya UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun secara umum, terdapat 3 (tiga) undang-undang dasar yang pernah

berlaku di Indonesia.2

Pada masa berlakunya UUD 1945, terjadi perubahan terkait isi dari Undang-Undang Dasar Tersebut, yakni pada Tahun 1999 hingga 2002.

1

Lihat Fatmawati, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Membangun Kesadaran Berkonstitusi, dalam Jurnal Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Volume I Nomor 1, November 2010, h.92.

2

Tiga Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia adalah UUD 1945 sebelum perubahan, UUD RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah perubahan. Walaupun secara substansi UUD 1945 dapat dikatakan baru, namun tetap merupakan perubahan UUD 1945 yang asli berdasarkan lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sehingga secara formal terdapat tiga (tiga) Undang-Undang Dasar yang pernah dan masih berlaku di Indonesia. Naskah resmi UUD NRI 1945 itu sendiri menurut Jimly Asshidiqie ada lima, yakni :

1. Naskah UUD 1945 yang diberlakukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959

2. Lampiran 1 berupa naskah Perubahan Pertama UUD 1945 yang disahkan pada tahun 1999 3. Lampiran 2 berupa naskah Perubahan Kedua UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2000 4. Lampiran 3 berupa naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2001 5. Lampiran 4 berupa naskah Perubahan Keempat UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2002. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, 2007,h. 98.


(3)

Perubahan mendasar tersebut berlangsung selama 4 (empat) tahapan,3 serta

menyebabkan perubahan struktur ketatanegaraan secara signifikan,4 dengan nama

resmi baru Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Termasuk pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang tertuang pada ketentuan Pasal 6A ayat (2) yang menatakan bahwa: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Dari sisi tekstual, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 6A ayat (2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa UUD NRI 1945 memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta pemilihan umum. Namun pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya melalui ketentuan Pasal 5 ayat (4) dinyatakan bahwa :

Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.

3

Penulis sependapat dengan Mahfud MD yang menyatakan bahwa UUD 1945 diubah secara formal sebanyak 1 (satu) kali, dimana terdapat 4 (empat) tahapan dalam proses perubahan tersebut. Hal ini didasari pada ke empat sidang MPR tidak ada satupun yang saling tumpang tindih dalam melakukan perubahannya, melainkan secara bertahap. Lihat Makalah : Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945, oleh Moh Mahfud MD, pada Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan Agenda Perubahan UUD Republik Indonesia 1945 yang diselengarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak Hukum UI tanggal 21 Nopember 2007. H. 6.

4

Dari sistem division of powers menjadi separations of powers, serta memunculkan lembaga baru semisal MK dan KY, menghapus DPA, serta perubahan signifikan lainnya terkait pembatasan kekuasaan (semisal presiden hanya boleh diangkat maksimal dua kali).


(4)

Selain melalui ketentuan Pasal 5 ayat (4) tersebut, dalam aturan peralihan di undang-undang yang sama Pasal 101, khusus untuk pemilihan umum tahun 2004, cukup dengan syarat pencalonan 3% (tiga persen) suara sah nasional, ataupun memperoleh 5% (lima persen) kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tidak jauh berbeda, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi payung hukum baru, memberikan ketentuan yang sama, bahkan lebih besar untuk syarat pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presidenmelalui Pasal 9 yang menyatakan bahwa:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (duapuluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presidden dan Wakil Presiden.

Ketentuan dalam undang-undang pemilu presiden tersebut, secara langsung menambah syarat pada prosedur pencalonan bagi Presiden dan Wakil Presiden, karena pada dasarnya, jika ditinjau dari sisi ketentuan UUD NRI 1945, pencalonan cukup dilakukan oleh partai politik peserta pemilihan umum. Terlebih jika dilihat pada ketentuan yang juga mendasari hadirnya undang-undang tersebut, yakni ketentuan pada Pasal 6A ayat (5) yang menyatakan bahwa “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.” Ketentuan pengaturan tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tersebut oleh UUD NRI 1945 sebenarnya menutup kemungkinan proses legislasi menambah syarat pencalonan, khususnya pembatasan dengan syarat kemenangan dan perolehan kursi tersentu di DPR bagi


(5)

partai politik maupun gabungannya dalam mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.

Terhadap pembatasan tersebut, kita dapat mendalaminya dengan mengacu pada perdebatan sengit ketika pembahasan Pasal 6A, fokus arah permasalahan hanya pada ketentuan ayat (3) yang mengisyaratkan mayoritas suara dari rakyat untuk memenangkan Pemilihan Presiden. Dalam risalah sidang pembahasan Pasal 6A pada umumnya, dan ayat (2) khususnya tidak ada sedikitpun fraksi

maupun anggota MPR yang menyinggung masalah ambang batas (presidential

threshold). Terlebih ayat (5) dari Pasal 6A telah mengunci rapat penambahan prasyarat pengajuan calon, tidak seperti prasyarat personal yang pada pembahasannya sengaja diberikan wewenang kepada undang-udang untuk memberikan batasan tambahan, tidak hanya sekedar yang ada dalam norma UUD NRI 1945.

Terkait dengan ketentuan undang-undang yang merubah makna Pasal 6A

ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut, telah dilakukan uji materil (judicial review) ke

Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan kewenangannya, lembaga tersebut menyatakan bahwa ketentuan Pasal 9 Undang-Undang 42 Tahun 2008 tersebut konstitusional. Walaupun terdapat pendapat berbeda di dalam Majelis Hakim

Konstitusi yang memutus perkara tersebut.5

Beberapa hal tersebutlah yang melatar belakangi ketertarikan penulis mengkaji perihal perubahan makna Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terkait Putusan Mahkamah Konstitusi

5

Lihat bagian pendapat berbeda (disenting opinion) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, oleh 3 (tiga) hakim konstitusi, yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mocthar.


(6)

Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, khususnya terhadap ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang pada penelitian ini adalah adanya perubahan makna terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jika disandingkan dengan ketentuan Pasal 9 Undnag-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Untuk memberikan batasan terhadap kajian terhadap rumusan permasalahan tersebut diajukan 3 (tiga) pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah latar belakang perumusan Pasal 6A ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

b. Bagaimanakah latar belakang perumusan Pasal 9 Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden?

c. Bagaimanakah bentuk perubahanmakna pada Pasal 6A ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dari rumusan masalah tersebut, tujuan dari penulisan skripsi ini juga dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) hal, yakni:

a. Mengetahui latar belakang perumusan Pasal 6A ayat (2)


(7)

b. Mengetahui latar belakang perumusan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

c. Mengkaji bentuk penyempitan makna Pasal 6A ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 D. Manfaat Penelitian

Dari hasil kajian yang akan dibahas oleh penulis, diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

a. Manfaat Teoritis

1. Untuk menambah khasana ilmu pengetahuan penulis secara umum, dan khususnya terkait tentang perubahan makna dari suatu konstitusi. 2. Agar dapat memperbandingkan kajian teoritis dengan praktik

dilapangan.

3. Melatih kemampuan penulis untuk membuat karya tulis ilmiah, khususnya skripsi.

b. Manfaat Praktis

Diharapakan nantinya, hasil penelitian ini dapat berguna bagi seluruh pihak terkait yang menjadi subyek pada kajian ini.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Untuk mencapai hasil yang diharapkan serta kebenaran dari penulisan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka penulisan skripsi ini

menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) yang


(8)

data sekunder berupa doktrin-doktrin dan asas-asas dalam ilmu hukum. Penelitian hukum normatif dapat berupa inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah (doktrin, dogma) hukum positif,

dan penemuan hukum incroncreto.6

2. Pendekatan Masalah

Dalam mengkaji pokok permasalahan,Menurut Johnny Ibrahim,

nilai ilmiah dari suatu pembahasan isu hukum (legal issue) yang dikaji

bergantung pada pendekatan (approach) yang dipergunakan, dalam hal ini

penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach),

pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan konseptual

(conseptual approach).7 Terhadap beragam pendekatan tersebut bukanlah permasalahan karena dalam penelitian hukum pada khususnya tidak ada satu teknik tertentu yang bisa memecahkan permasalahan “there is no single technique that is magically „right for all problem”8. Sementara,

dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sebagai berikut:9

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pada penelitian normatif harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.

6

Huma, Kursus Metodologi Penelitian, Gagog 5-7 Februari, BAB VI, Metode Pengumpulan Data,2010 ,h. 93

7

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing,2006,h. 299.

8Ibid

, h. 301.

9


(9)

b. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

Pendekatan sejarah bertujuan untuk memahami hukum secara lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga, atau suatu pengaturan hukum tertentu, sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu.

c. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual ini memiliki tujuan

pengabstraksikan hal-hal yang bersifat partikular menjadi umum/universal. Pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan konsep perubahan makna, serta dampaknya kedepan.

3. Metode Analisis Bahan Hukum

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah penelitian yang berupa hasil studi kepustakaan (data sekunder), yang berasal dari bahan hukum primer dan sekunder. Oleh karena itu penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

4. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Bahan Hukum Primer,yaitubahan-bahan penelitian yang berasal


(10)

1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

3) Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949

4) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

5) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

Republik Indonesia Nomor III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup

6) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

SementaraRepublik IndonesiaNomor IX/MPRS/1966

Tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

7) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

SementaraRepublik IndonesiaNomor XV/MPRS/1966

Tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presiden

8) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

SementaraRepublik IndonesiaNomor XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan Mprs


(11)

Nomor IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia

9) Ketetapan Majelis Permusyawaratan RakyatRepublik

IndonesiaNomor II/MPR/1973 Tentang Tata-Cara

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia

10)Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

IndonesiaNomorVI/MPR/1999 Tentang Tata Cara

Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia

11)Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

IndonesiaNomor IV/MPR/1983 tentang referendum

12)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985

Tentang Referendum

13)Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

14)Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

15)Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

16)Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


(12)

2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

17)Peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya buku-buku, hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum dan dari hasil karya dari khalayak umum.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, internet dan

sebagainya.10

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu dengan cara pengumpulan data dengan bersumber pada peratturan perundang-undangan dan bahan-bahan pustaka. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan

pemecahan permasalahan penelitian.11

6. Sumber Bahan Hukum

Dalam proses penyelesaian penelitian ini, penulis memperoleh

bahan hukum dari penelitian kepustakaan (Library Research) yang berasal

dari data skunder, yakni bahan hukum priemer berupa peraturan

10

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 117.

11Ibid.,


(13)

perundang-undangan, bahan hukum skunder terkait kepustakaan (buku-buku terkait), jurnal ilmiah, makalah dan lainnya, serta bahan hukum tersier yang merupakan suplemer berupa kamus hukum maupun bahasa. 7. Analisis Bahan Hukum

Analisa bahan hukum dilakukan dengan analisa kualitatif, dalam hal ini memetakan kebutuhan bahan dan diklasifikasikan lebih lanjut untuk ditelaah untuk menelaah perubahan makna Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 atas hadirnya ketentuan ambang batas pada prasyarat pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, apakah sudah benar atau tidak.


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstitusi

Konstitusi secara konseptual memiliki tiga karakter utama, pertama,

konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (a constitution is a supreme law

of the land), kedua, konstitusi sebagai suatu kerangka kerja suatu sistem

pemerintahan (a constitution is a frame work for goverment), dan ketiga,

konstitusi merupakan suatu instrumen yang memiliki legitimasi dalam membatasi

kekuasaan dan kewenangan pejabat pemerintah (constitution is a letimate way to

grant and limit powers of goverment officials).12

Pengertian dari konstitusi itu sendiri berasal dari kata latin constitutio yang

berkaitan erat dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip.13 Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konstitusi merujuk pada pengertian 1) segala

ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (undang-undang dasar, dsb) dan

2)undang-undang dasar suatu negara.14 Kedua pengertian yang digambarkan

tersebut merupakan pengertian konstitusi dalam artian luas dan sempit, sementara pada tulisan ini pengertian konstitusi lebih dititik beratkan dalam artian sempit, yakni konstitusi sebagai undang-undang dasar suatu negara, yang dalam hal ini adalah Indonesia.

12

Komisi Konstitusi, Buku I Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi tentang Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta,2004, h.17.

13

Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi,Penerbit Buku Kompas, 2010 h. 3. Bandingkan dengan Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, 1985, h. 41.

14

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, h.


(15)

Tidak dapat dipungkiri sebuah konstitusi memiliki masa tersendiri, hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa konstitusi merupakan suatu produk kesepakatan politik, dimana berlandaskan pada kondisi politik, ekonomi, sosial,

dan budaya pada saat dibuat.15 Karena itulah konstitusi memiliki keterbatasan

dalam menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan kontemporer, dimana persoalan-persoalan tersebut tidak dapat dijawab karenasifatnya yang insidentil ataupun temporeryang terkadang jauh dari logika konstitusi itu sendiri.

Oleh karena itu diperlukan upaya agar konstitusi tersebut dapat tetap menjawab permasalahan ketatanegaraan kontemporer,dalam hal ini melalui mekanisme perubahan konstitusi.George Jellinek mengklasifikasikan perubahan konstitusi secara garis besar kedalam 2 (dua) jenis cara, yakni melalui prosedur

formal (verfassungsanderung), dan melalui prosedur Informal (

verfassung-swandlung).16 Melengkapi pendapat George Jellinek, C. F. Strong membagi lagi

secara lebih rinci cara perubahan konstitusi dengan prosedur formal (

vervassung-sanderung) tersebut kedalam 4 (empat) cara, yakni:17

1. By the ordinary legislature but under certain restriction, (Perubahan melalui lembaga legislatif biasa, tetapi melalui aturan-aturan tertentu) 2. By the people through a referendum, (Perubahan melalui referendum) 3. By a majority for all units of a federal state,(Oleh mayoritas dari seluruh

negara bagian, dalam hal ini pada negara federal) 4. By special convention, (Oleh lembaga khusus)

15

Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,Jakarta, Rajawali Pers,2009, h.379,

dalam bukunya ini mahfud mengutip pernyataan K.C. Wheare yaitu “A constitution is indeed the resultanct of parallelogram of forces –political, economic and social- wich operate at that time of

it‟s adoption”, pendapat yang sama juga diutarakan oleh beliau dalam Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pres, 2009. h.153.

16

Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum tata Negara Jilid I, Jakarta, Sekertariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,2006, h. 144.

17

Lihat Saldi Isra dan Feri Amsari, Perubahan Konstotusi Melalui Tafsir MK, dalam Jurnal Konstitusi PUSaKO Fak. Hukum Univ. Andalas Vol 1. No. 1, November 2008, h. 108.


(16)

Sementara itu, K. C. Wheare memiliki pendapat sendiri mengenai klasifikasidalam perubahan konstitusi, ia membaginya kedalam 4 (empat) jenis,

yakni:18

1. Some primary forces 2. Formal amandement19 3. Judicial interpretation 4. Usage and convention

Dalam tinjauan pustaka ini, dibagi menjadi 2 (dua) bagian pokok bahasan, yakni perihal perubahan formal konstitusi (undang-undang dasar) dan perubahan informalnya. Tinjauan teoritik inilah yang nantinya akan menjadi pisau bedah dalam melakukan penelitian atas perubahanan makna terhadap Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia jika disandingkan dengan aturan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dalam hal ini aturan undang-undang tersebut telah menambah prasyarat pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.

B. Perubahan Konstitusi Secara Formal

Perubahan Konstitusi secara formal dapat dimaknai sebagai perubahan yang dilakukan berdasarkan prosedur yang ditentukan oleh konstitusi itu sendiri, Hampir semua negara menetapkan aturan mengenai perubahan konstitusi dalam

konstitusinya kecuali Chechnya, Finlandia, dan Swedia.20 Terkait dengan

18Ibid,

h. 109.

19 Formal amandement

inilah yang oleh George Jellinek klasifikasikan sebagai

verfassungsanderung (Perubahan melalui prosedur formal), sementara ketiga jenis lainnya, yakni

Some primary forces, Judisial interpretationUsage and conventiondiketegorikan ke dalam lingkup

vervassungswandlung (Perubahan secara informal).

20


(17)

unsur dasar yang harus ditetapkan dalam konstitusi mengenai perubahan

konstitusi secara teoritik meliputi beberapa hal, yakni:21

1. Usul inisiatif perubahan konstitusi

2. Syarat penerimaan atau penolakan usul tersebut menjadi agenda resmi

bagi lembaga pengubah konstitusi

3. Pengesahan rancangan perubahan konstitusi

4. Pengumuman resmi pemberlakuan hasil perubahan konstitusi

5. Pembahasan tentang hal-hal yang tidak boleh diubah dalam konstitusi

6. Hal-hal yang hanya boleh diubah melalui putusan referendum atau

klausa khusus

7. Lembaga-lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi

seperti parlemen, negara bagian bersama parlemen, referendum, lembaga khusus, parlemen dan pemerintah, parlemen dan referendum, parlemen dan pemilu, pemerintah/perdana menteri, presiden, atau raja. Pengaturan mengenai perubahan konstitusi secara formal di Indonesia, semenjak berlakunya 3 (tiga) Undang-Undang Dasar (UUD), yakni UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah amandemen, adalah:

a) Pada Undang-Undang Dasar 1945

Ketentuan mengenai perubahan terletak pada pasal 37 ayat (1) yang berbunyi :

Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis permusyawaratan Rakyat harus hadir”dan ayat (2) yang berbunyi “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hadir

Ketentuan tersebut berlaku pada periode awal Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setelah pmerintahan orde baru dibawah pimpinan Soeharto sebagai Presiden, selain ketentuan ditingkat undang-undang dasar, juga teerdapat kewajiban melakukan referendum untuk melakukan

perubahan, diatur lebih lanjut oleh Ketetapan MPR Nomor

21 Ibid


(18)

IV/MPR/1983tentang referendum yang ditingkat teknis pelaksanaan dinaungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Referendum.

b) Pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949

Ketentuan mengenai perubahan terletak pada Bab VI Perubahan, Ketentuan2 Peralihan dan Ketentuan2 Penutup, tepatnya pada bagian 1 Perubahan, Pasal 190 ayat (1) yang menyatakan syarat kuorum kehadiran dan mekanisme perubahan berdasarkan undang-undang federal, secara utuh berbunyi:

Dengan tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal 51, ajat kedua, maka Konstitusi ini hanja dapat diubah dengan undang-undang federal dan menjimpang dari ketentuan2nja hanja diperkenankan atas kuasa undang-undang federal; baik Dewan Perwakilan Rakjat maupun Senat tidak boleh bermupakat ataupun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, djika tidak sekurang-kurangnja dua-pertiga dari djumlah anggota-sidang menghadiri rapat.

Sementara ayat (2) yang menyatakan bahwa “Undang-undang

sebagai dimaksud dalam ajat pertama, dirundingkan pula oleh Senat menurut ketentuan2 Bagian 2 Bab IV.” Ketentuan ini mengisyaratkan

suatu mekanisme balances antara Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat

Federal dalam memutuskan usulan perubahan, selanjutnya pengaturan

tentang kondisi deadlock yang mungkin tercipta dalam perubahan ini

diatur melalui ketentuan ayat (3) yang berbunyi:

Usul undang-undang untuk mengubah Konstitusi ini atau menjimpang dari ketentuan2nja hanja dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat ataupun oleh Senat dengan sekurangkurangnja dua-pertiga djumlah suara anggota jang hadir. Djika usul itu dirundingkan lagi menurut jang ditetapkan dalam pasal 132, maka


(19)

Dewan Perwakilan Rakjat hanja dapat menerimanja dengan sekurang-kurangnja tiga-perempat dari djumlah suara anggota jang hadir.

Selain mekanisme perubahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Federal dan Senat, pengaturan terhadap pengumuman dan pelaksanaan perubahan undang-undang dasar tersebut juga dicantumkan secara tekstual oleh Konstitusi RIS 1950, melalui ketentuan Pasal 191, yakni pemerintah sebagai pihak yang mengumumkan, serta masa transisi terhadap alat kelengkapan negara, maupun aturan-aturan lama sebelum dan ketika perubahan dilakukan, posisi hukumnya tetap berlaku, hingga ada pengganti yang sesuai dengan perubahan undang-undang dasar.

c) Pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

Ketentuan mengenai perubahan terletak pada Bagian I mengenai Perubahan, tepatnya pada Pasal 140, mulai dari usulan perubahan undang-undang dasar yang harus tegas terhadap ketentuan yang akan diubah melalui suatu undang-undang sebagai dasar pijakan. Selanjutnya, usul perubahan yang berbentuk undang-undang tesebut diserahkan presiden kepada suatu badan yakni Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar. Isi dari majelis tersebut adalah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara dan anggota-anggota Komite Nasional Pusat yang tidak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Selain itu, Ketua Dewan Pewakilan Rakyat Sementara secara otomatis menjadi ketua Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar ini.


(20)

Berdasarkan ketentuan Pasal141, apabila rancangan perubahan undang-undang dasar tersebut diterima oleh Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar, maka pemerintah berkewajiban mengesahkan rancangan tersebut secepatnya. Serta pemerintah juga diharuskan mengumumkan perubahan tersebut seperlunya. Selain mekanisme perubahan dan pengesahan, ketentuan peralihan terhadap hasil perubahan juga ditampung, yakni alat kelengkapan kekuasaan negara tetap berlaku hingga dilakukan perubahan aturan, kecuali terhadap yang secara nyata bertentangan dengan perubahan undang-undang dasar tersebut.

d) Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ketentuan tersebut terletak pada BAB XVI mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar, tepatnya pada Pasal 37, dalam hal ini usulan perubahan diajukan dengan kuorum minimal sepertiga dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Usulan perubahan tersebut harus secara jelas dan berbentuk tertulis dengan menunjuk bagian mana yang akan diubah beserta alasan perubahannya. Dalam mekanisme perubahan, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang membahas usulan perubahan tersebut, juga memiliki kuorum minimal kehadiran, yakni dua pertiga darijumlah anggota keseluruhan, serta minimal disetujui oleh setengah ditambah satu dari jumlah anggota yang hadir. Selain mekanisme perubahan, juga terdapat larangan terhadap perubahan bentuk negara kesatuan republik Indonesia.

Berdasarkan konstruksi mengenai pengaturan (tata cara) perubahan formal yang ada pada ketiga konstitusi yang berlaku tersebut, dapat disimpulkan bahwa


(21)

Indonesia menganut konsep konstitusi yang bersifat kaku (rigid).22 Perubahan konstitusi secara formal itu sendiri terjadi di Indonesia sebanyak satu kali perubahan dengan 4 (empat) tahapan.

Pada tahapan pertama perubahan yang dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 konsentrasi MPR adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga

legislatif.23Tahapan kedua yang dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun

2000 terkait masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR,

dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.24

Tahapan ketiga perubahan undang-undang dasar ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 dalam hal ini materi perubahan ketiga ini meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, dan ketentuan-ketantuan tentang Pemilihan

Umum.25 Serta tahapan terakhir (keempat) dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR

22

Indikator suatu naskah konstitusi dapat dikategorikan luwes (flexible) atau kaku (rigid) adalah (i) apakah terhadap naskah konstitusi tersebut dimungkinkan delakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan (ii) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan kebutuhan zaman, penulis berpendapat, konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia memungkinkan untuk dilakukan perubahan dan tergolong mudah untuk diubah, dengan syarat usul 1/3 dan persetujuan 50% + 1 anggota MPR yang dianut, jikadibandingkan dengan sebelumnya yang membutuhkan referendum sebagai salah satu syarat perubahan, serta dengan perbandingan perubahan konstitusi di Amerika Serikat, dan Afrika Selatan yang cenderung sulit dan berliku.

23

yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Passal 22 UUD 1945. Jimly Asshidiqie,Menuju Negara Hukum yang Demokratis,BIP, 2009, h. 172.

24

yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.

25

mengubah dan menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B


(22)

Tahun 2002 melingkupi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghabusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian

dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.26

Pada perubahan formal yang dilakukan pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2002 tersebut, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan, Jimly Asshidiqie sendiri menyatakan bahwa perubahan formal tersebut sampai dengan 300%, naskah konstitusi ini dapat digolongkan sebagai sebuah konstitusi baru dengan nama resmi “ Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” perubahan ini telah mengakibatkan berubahnya kedudukan dan hubungan beberapa lembaga negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru. Konstitusi yang baru ini juga menegaskan kembali demokrasi konstitusional sebagai batu pijakan bernegara Indonesia.

ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.

26

meliputi Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24 ayat (3), Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5), Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III, Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.


(23)

C. Perubahan Konstitusi Secara Informal

Perubahan konstitusi secara formal hanya dapat diharapkan menyelesaikan permasalahan kenegaraan yang berlatar prefentif (pencegahan), karena prosedur yang harus dilalui cukup panjang, terlebih arus politisasi yang kuat melekat pada mekanisme tersebut tidak efisien untuk memecahkan permasalahan yang lebih bersifat insidensil dan membutuhkan respon cepat. Hal inilah yang menjadi alasan perubahan konstitusi juga dapat dilakukan secara informal, mengingat proses yang harus dilalui relatif lebih sederhana.Sebagaimana diuraikan diatas, perubahan konstitusi secara informal dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni:

a) Some primary force

Perubahan konstitusi dapat terjadi apabila terdapat tekanan kuat dari suatu kekuasaan ataupun kondisi tertentu, contoh nyata dari perubahan konstitusi dengan cara ini adalah di Jepang. Ketika Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu pasca pembom-atom-an Kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, pelucutan senjata dan militer menjadi syarat yang diajukan. Dari perkuliahan oleh Prof. Shimada dapat ditarik kesimpulan bahwa tekanan yang kuat dari pihak sekutulah yang mendesak perubahan (penggantian) konstitusi dilakukan. Ketika itu hak negara Jepang untuk mempersenjatai diri (membuat

militer/tentara) dinyatakan dicabut dan inkonstitusional untuk dilakukan.27

Di Indonesia sendiri hal ini pernah terjadi pasca perjanjian Konfrensi Meja Bundar yang menghasilkan tiga buah persetujuan pokok, yakni:

27

Konstitusi Jepang Tahun 1947 dibentuk pada masa Amerika Serikat mendudukinya,

secara umum, konstitusi jepang disebut juga dengan „konstitusi damai‟ karena larangan membentuk angkatan bersenjata, dan hanya boleh memiliki „pasukan bela diri‟, secara eksplisit dinyatakan dalam Article 9, Chapter II Renunciation Of War, The Constitution Of Japan (1947).


(24)

1) Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat

2) Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, dan

3) Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan

Belanda.

Dalam hal mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat, pembentukan Undang-Undang Dasarnya sendiri dikawal pada KMB ini, RUU yang akan disahkan oleh KNP (Komite Nasional Pusat) yang diakui sebagai badan

perwakilan di wilayah Republik Indonesia.28Hal ini dapat diartikan some primary

forces-lah yang menyebabkan pergantian UUD 1945 ke UUD RIS. Contoh

lainnya adalah keluarnya Dekrit Presiden29 pada tanggal 5 Juli Tahun 1959 yang

menjadi landasan hukum berganti (kembali) UUDS 1950 ke UUD 1945 sebelum amandemen. Latar belakang keluarnya Dekrit ini adalah pergulatan ideologi oleh para anggota konstituante yang tidak kurun mencapai kata sepakat untuk membuat konstitusi baru pengganti UUDS 1950, bahkan cenderung menimbulkan

perpecahan bangsa, dekrit tersebut dapat “dibenarkan” akibat keadaan darurat

yang timbul menyebabkan staatsnoodariecht(hukum darurat negara) dan

berdasarkan pada prinsip salus populi supreme lex (keselamatan rakyat adalah

dasar hukum yang tertinggi).30

b) Judicial Interpretation

Mengutip pendapat Satjipto Raharjo, bahwa salah satu sifat yang ada pada peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan norma yang dibentuknya. Dalam hal ini beliau memandang bentuk

28

Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok...Op. Cit.,h. 83-84., lihat juga Moh Mahfud MD,

Politik... Op. Cit, h. 133-136.

29

Dari segi konstitusionalitasnya, dekrit presiden tidak memiliki legitimasi namun dapat dibenarkan sebagai hukum darurat negara, serta (menurut pendapat Mahfud MD) merupakan pelaksanaan asas (Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi).

30


(25)

tulisan atau litera scripta hanyalah suatu usaha untuk menyampaikan ide atau pikiran. Ide atau pikiran tersebut tentu saja tidak akan mungkin tersampaikan secara utuh dalam untaian kata-kata di dalam perundang-undangan tersebut.

Dengan demikian, merupakan suatu keharusan bagi hukum itu sendiri pada khususnya “membedah” ide ataus pikiran yang ingin disampaikan oleh norma tertulis pada peraturan-perundang-undangan. Selain alasan tersebut, tidak dapat kita elakkan bahwa hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar prosedur hukum, dalam hal ini pola pikir atau nalar hukum

dapat mencakup pengetahuan dalam konteks sosial ditengah masyarakat.31

Proses pembedahan tersebut tentu saja dilakukan oleh “dokter bedah”

yang dalam hal ini adalah hakim yang secara kelembagaan merupakan organ pengadilan yang tergolong sebagai lembaga yudisial. inilah yang menjadi cikal

bakal dari Judicial Interpretation dan ketika dibawakan kedalam konteks

perubahan undang-undang dasar, maka istilah yang digunakan adalah pernafsiran

konstitusi (constitutional interpretation).

Bila menilik lebih dalam, dalam melakukan penafsiran hukum tentu memerlukan metode-metode yang sesuai. Secara umum metode-metode tersebut

diklasifikasi kan kedalam 6 (enam) cara interpretasi, yakni:32

1) Interpretasi Gramatikal

Interpretasi33 ini juga dapat disebut interpretasi menurut bahasa,

metide ini menekankan pentingnya bahasa dalam menentukan makna

31

Philippe Nonet & Philip Selznick, Jakarta, HUMA, Hukum Responsif, 2001, h. 59.

32

Sekjen dan Kepaniteraan MK dan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2011,h. 69-76.


(26)

terhadap suatu objek. Metode interpretasi gramatikal ini disebut juga cara penafsiran objektif, dimana cara penafsiran ini tergolong paling sederhana untuk mengetahui makna dari undang-undang dasar yang akan diinterpretasikan.

Terkait pendekatan contextualism yang dapat digunakan dalam

metode penafsiran ini dapat dikriteriakan kedalam 3 (tiga) hal, pertama,

noscitur a socis, yaitu arti suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya

dalam kumpulan-kumpulannya, kedua, ejusdemgeneris, asas ini

mengandung makna of the same class. Jadi suatu perkataan yang

digunakan dalam lingkungan atau kelompok yang sama, ketiga, expressum

facit cassare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang dicantumkan secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu

perundang-undangan.34 Misalnya, apabila di muka peraturan telah merinci tentang

„perdagangan, tenaga terampil, pekerja atau orang lain apapun‟, maka kata „orang lain apapun‟ harus diartikan dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya itu. Ketiga hal inilah yang menjadi pendekatan dalam menafsirkan hukum.

2) Interpretasi Teleogis atau Sosiologis

Interpretasi dalam hal ini dimaknai sebagai pemaknaan peraturan perundang-undangan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Fokus dari interpretasi ini adalah aktualisasi peraturan perundang-undangan yang ada.

33

Pusat Bahasa, Op. Cit., h. 535, interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran.

34


(27)

3) Interpretasi Sistematis atau Logis

Secara garis besar, pengertian dari interpretasi ini adalah menghubung-kan suatu undang-undang dengan undang-undang lain. Dengan kata lain mencari sistematika dan logika suatu peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk.

4) Interpretasi Historis

Penafsiran dengan metode ini bermaksud memaknai isi peraturan perundang-undangan melalui penelitian sejarah pembentukannya. Secara garis besar, interpretasi historis ini dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, pertama, menurut sejarah undang-undang tersebut dibentuk, dimana pencarian maksud ketentuan awal pembentukan undang-undang tersebut

dilihat dari pandangan subjektif para pembentuknya, kedua, menurut

sejarah hukum, dimana cara ini berusaha memahami suatu undang-undang dalam konteks keseluruhan sejarah hukum yang ada.

5) Interpretasi Komparatif atau Perbandingan

Ialah metode penafsiran yang dilakukan dengan cara membanding-kan antara beberapa aturan hukum untuk mencari kejelasan makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Perbandingan ini dilakukan

dengan cara membandingkan penerapan asas-asas hukumnya

(rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-undangan yang akan


(28)

membanding latar belakang atau sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.

6) Interpretasi futuristis

Ialah metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif, dimana

kecenderungan bentuk interpretasi lebih menitik beratkan pada sifat ius

constituendum (hukum atau undang-undang yang ingin dicitakan) daripada ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku saat ini).

Sementara pada metode penafsiran35 konstitusi, dimana praktek penafsiran

ini diterapkan pada proses judicial review, khususnya di Indonesia oleh

Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of the constitution

(satu-satunya penafsir konstitusi), dikenal 6 (enam) macam cara, yakni:36

1) Penafsiran Tekstual

Ialah penafsiran yang menekankan pada pengertian norma tertulis yang ada pada konstitusi atau undang-undang sebagaimana dipandang secara umum oleh mayoritas orang.

2) Penafsiran Historis (atau Penafsiran Orginalism)

Penafsiran ini dapat disamakan dengan interpretasi historis

sebagaimana dibahas sebelumnya yaitu untuk menelaah original intent dari

pembentukan konstitusi tersebut. Penafsiran ini biasanya di-gunakan untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan dan struktur dari konstitusi itu sendiri.

35 Ibid

, h, 1373, berasal dari kata tafsir, yang berarti 1) keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur‟an agar maksudnya mudah dipahami 2)keterangan; penjelasan. Ketika kata tafsir diberikan imbuhan pe-an, maka bermakna proses, cara, perbuatan menafsirkan; upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas;

36


(29)

3) Penafsiran Doktrinal

Adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami aturan undang-undang atau konstitusi melalui sistem preseden atau melalui praktik peradilan.

4) Penafsiran Prudensial

Merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan penuh per-timbangan antara kemanfaatan yang akan ditimbulkan oleh penafsiran tersebut dengan resiko yang harus ditanggung.

5) Penafsiran Struktural

Yaitu metode penafsiran yang dilakukan dengan cara mengaitkan aturan dalam undang-undang dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang struktur ketatanegaraan.

6) Penafsiran Etikal

Metode ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip moral dan etika yang terdapat di dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Pendekatannya lebih kepada falsafati, aspirasi ataupun moral yang bersumber dari konstitusi itu sendiri.

c) Usage and convention

Usage (kebiasaan) andconvention (konvensi) dapat diterima secara harafiah dalam hal menjadi salah satu sarana perubahan undang-undang dasar

secara informal. Konvensi ketatanegaraan37 memiliki posisi strategis sebagai

aturan politik dalam bekerjanya konstitusi secara empiris. Namun yang perlu

37

Merupakan istilah yang lebih tepat digunakan untuk mengartikan kata convention, lihat catatan kaki ke 133 Jimly Asshidiqie, Pengantar Hukum Tata Negara,Rajawali Pers,2009, h. 204.


(30)

digaris bawahi dalam hal ini adalah konvensi tidak dapat diberi sanksi oleh pengadilan apabila dilanggar pelaksanaanya. Tetapi posisi konvensi sebagai non-legalrules yang mengatur cara legal rules diterapkan merupakan suatu kenyataan dalam pelaksanaan di dalam praktik bernegara.

Contoh nyata perubahan yang terjadi terhadap norma yang terkandung di dalam undang-undang dasar tanpa perubahan formal oleh konvensi ketatanegaraan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen), yakni dengan dipraktikkannya sistem pertanggungjawaban menteri sebagaimana termuat dalam Maklumat Pemerintah tanggak 14 november 1945, padahal pertanggungjawaban

pemerintah pada UUD 1945 berada pada presiden.38

Perbedaan mendasar antara konvensi ketatanegaraan dengan kebiasaan

ketatanegaraan39 adalah unsur pengulangan pada kebiasaan. Tidak semua

konvensi merupakan pengulangan, contoh diatas merupakan sebuah konvensi yang baru pertama kali terjadi dan tidak belum terulang. Sehingga jika disilogiskan maka akan muncul kausa “setiap kebiasaan ketatanegaraan adalah konvensi ketatanegaraan” dan “tidak semua konvensi ketatanegaraan adalah kebiasaan”. Contoh dari kebiasaan ketatanegaraan yang menjadi konvensi ketatanegaraan adalah adanya pidato kenegaraan oleh preseden di

DPR dan DPD.40

38 Ibid

., h.205; lihat juga Moh Mahfud MD, Politik Hukum... Op. Cit., h.40.

39

Penulis juga berpendapat bahwa kata kebiasaan ketatanegaraan lebih tepat mengartikan

usage.

40

Pidato Kenegaraan biasanya dilaksanakan di DPR pada tanggal 16 Agustus setiap tahunnya, sementara bersama dengan DPD baru pertama kali dilaksanakan pada 2010 silam, dan dinilai akan menjadi kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan yang baru.


(31)

Praktik konvensi dinegara-negara lain misalnya ditemukan di Inggris, di sana disyaratkan seorang menteri harus punya kedudukan sebagai anggota parlemen, dan Raja atau Ratu akan mengangkat Ketua Partai yang menjadi pemenang dalam pemilu sebagai Perdana menteri.

Mekanisme perubahan undang-undang dasar secara garis besar dapat

dikelompokan kedalam 2 (dua) jenis, pertama, dengan cara informal (

verfassung-sanderung), dan kedua, dengan cara informal (verfassungswandlung). Lebih gamblang lagi, dapat diartikan bahwa perubahan konstitusi secara formal merupakan perubahan yang berdasarkan ketentuan konstitusi itu sendiri, Indonesia sendiri pernah mempraktekkannya ketika pe-rubahan Undang-Undang Dasar 1945 dikurun waktu 1999 hingga 2002.

Serta perubahan konstitusi secara informal dapat jabarkan lebih lanjut

melalui 3 (tiga) cara, pertama, melalui kekuatan kekuasaan yang utama seperti

yang terjadi di Jepang, pasca pernyaaan menyerah tanpa syarat kepada pihak sekutu (Amerika Serikat) dan ketika Indonesia dipaksa membuat konstitusi RIS

yang merupakan hasil Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, kedua, melalui

penafsiran konstitusi oleh lembaga yudisial, dalam hal ini di Indonesia

palaksanaannya oleh Mahkamah Konstitusi, dan ketiga, melalui kebiasaan dan


(32)

BAB III

PEMBAHASAN PERMASALAHAN

A. Latar Belakang Perumusan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

1) Sejarah Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia

Dalam mengkaji latar belakang perumusan ketentuan pengusulan

calon Presiden dan Wakil Presiden yang secara hukum positif (ius

constitutum) saat ini, yakni berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak

mungkin dilepaskan dari pendekatan sejarah (historical approach)

terhadap ketentuan-ketentuan sebelumnya. Dalam pokok bahasan ini, diklasifikasikan pengaturan tersebut kedalam 4 (empat) ketentuan undang-undang dasar yang sebelumnya berlaku sebelum amandemen ketiga ditahun 2001 merubah ketentuan terkait.

Pada hakikatnya, undang-undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia hanya 3 (tiga), yakni Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang merupakan dampak langsung dari Konfrensi Meja Bundar 1949, dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang pada mulanya dicanangkan menjadi perantara sebelum dibentuknya suatu undang-undang dasar baru hasil konstituante. KhususUndang-Undang Dasar Tahun 1945, terbagi lagi kedalam 3 (tiga) versi, yakni pasca kemerdekaan Indonesia (sidang 18 Agustus 1945), pemberlakuan kembali undang-undang dasar tersebut melalui Dekrit


(33)

Presiden Republik Indonesia 5 Juli 1959,41 dan versi terakhir setelah amandemen Undang-Undang Dasar Indonesia yang berlangsung pada tahun 1999-2002, yang secara formal dinamai sebagai Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.42

a) Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Periode 1945-1949) Sebagaimana diketahui, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, untuk pertama kalinya dilakukan pada 18 Agustus 1945, tepatnya ketika rapat yang mengesahkan Undang-Undang Dasar Tahun

1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.43 Secara

konstitusional, sandaran hukum pemilihan presiden dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 6 ayat (2), yakni melalui pemilihan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat.44

Namun pada masa awal kemerdekaan, kondisi empiris kenegaraan yang „belum‟ mampu mengadakan suatu pemilihan umum untuk

membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat membuat pilihan

penunjukan Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil

41

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 UUD 1945 periode pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949) bersama dengan penjelasan resmi dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No.7. UUD 1945, sementara pada Periode kedua (5 Juli 1959 s/d 1999) dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 didasari Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959.

42Lihat ketentuan Aturan Tambahan Pasal II UUD NRI 1945 yang menyatakan “Dengan

ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal” yang di sahkan pada 10 Agustus 2002

43

Sejarah ketatanegaraan h. 17

44

Secara utuh, ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi

Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.


(34)

Presiden dalam rapat pengesahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagaimana diterangkan sebelumnya. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan sistem yang terbentuk secara normatif di undang-undang dasar tersebut. Namun pada prakteknya, posisi Presiden sebagai kepala pemerintahan didistorsi oleh praktek ketatanegaraan, yakni melalui keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, tertanggal 16 Oktober 1945. Dalam hal ini posisi kepala pemerintahan diserahkan pada

Perdana Menteri.45 Selanjutnya agresi militer yang dilakukan oleh pihak

Belanda memaksakan Indonesia untuk membentuk Negara Federasi yang merupakan akibat langsung Konfrensi Meja Bundar 1949, Negara Federasi ini dibawahi oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).

b) Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi Republik Indonesia Serikat

Kondisi empiris Indonesia pasca kemerdekaan „memaksa‟ terbentuknya Republik Indonesia Serikat. Melalui 2 (dua) kali agresi amiliter yang dilakukan oleh Belanda (Tahun 1947 dan 1948), akhirnya Indonesiamelalui upaya diplomasi yang ditengahi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam forum yang bernama Konfrensi Meja Bundar,

bersama Belanda dan BFO (Byeenkomst voor Federal Overleg).46 Hasil

45

Selain Maklumat Wakil Presiden Nomor X tertanggal 16 Oktober 1945, Maklumat Pemerintah tertanggal 14 November 1945 yang mengesahkan Kabinet St. Syahrir (Perdana Menteri).

46

BFO (Byeenkomst voor Federal Overleg) dalam hal ini merupakan forum perkumpulan negara-negara bentukan Belanda, lebih lanjut dapat dilihat pada : Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, h 61-62.


(35)

konfrensi yang dilaksanakan pada 2 November 1949 dihasilkan 3 (tiga)

pokok persetujuan, antara lain:47

1. Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat;

2. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat;

3. Didirikannya Uni antara Republik Indonesia Serikat dengan

Kerajaan Belanda.

Sementara itu, berkaitan dengan pemulihan kedaulatan terdiri atas 3 (tiga) persetujuan induk, yakni:

1. Piagam Penyerahan kedaulatan;

2. Status Uni;

3. Persetujuan perpindahan.

Berdasarkan perundingan inilah dibentuk Negara Republik Indonesia Serikat, didasari oleh pemberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949, di dalamnya termasuk Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan termasuk Distrik Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara

Sumetera Timur, dan Negara Sumatera Selatan.48

Terkait pencalonan Presiden,49 hal ini didasari oleh ketentuan Pasal

69 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yakni melalui pemilihan oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut pada Pasal 2 Konstitusi tersebut. Persyaratan personal untuk dapat dipilih sebagai Presiden adalah minimal berusia 30 tahun dan memiliki

47ibid, h 62-63 48

Lihat ketentuan Pasal 2 Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

49

Pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat tidak dikenal adanya Wakil Presiden, karena yang termasuk alat-alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat ialah a) Presiden, b) Menteri-Menteri, c) Senat, d) Dewan Perwakilan Rakyat, e) Mahkamah Agung Indonesia, f) Dewan Pengawas Keuangan. Lebih lanjut dapat dilihat pada Ketentuan Umum pada BAB III Perlengkapan Republik Indonesia Serikat dalam Konstitusi tersebut.


(36)

hak untuk memilih. Menjadi catatan khusus dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, karena pada masa berlakunya Konstusi Republik Indonesia Serikat ini secara bulat dan munfakat Soekarno terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat pada 16 Desember 1949 berdasarkan ketentuan yang ada.

c) Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (1950-1959)

Salah satu dampak berdirinya Negara Repubik Indonesia Serikat adalah diakuinya kedaulatan Indonesia secara utuh oleh pihak Belanda. Namun bentuk negara federal yang ada sangat jauh dari cita-cita awal kemerdekaan Indonesia yang menginginkan suatu negara kesatuan. Keinginan untuk menyatukan diri kembali sebagai suatu negara kesatuan oleh rakyat Indonesia, tergambar melalui kondisi dilapangan, dalam hal ini

negara-negara pada Byeenkomst voor Federal Overleg sontak

menggabungkan dirinya ke Negara Republik Indonesia yang merupakan salah satu negara bagian di Republik Indonesia Serikat.

Pada akhirnya, hanya 3 (tiga) negara bagian saja yang terdapat di Republik Indonesia Serikat, yakni Negara Republik Indonesia, Negara

Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur.50 Hal ini berujung pada

permusyawaratan yang dilakukan oleh Negara Republik Indonesia dengan

50


(37)

Negara Republik Indonesia Serikat,51 persetujuan bersama yang terjadi pada 19 Mei 1950 menghasilkan kesepakatan untuk melaksanakan negara kesatuan yang telah dicanangkan berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 silam. Hasil dari kesepakatan tersebut berujung pada dibentuknya suatu undang-undang dasar sementara untuk melegalkan negara kesatuan yang disepakati.

Kedua pemerintah, dalam hal melaksanakan persetujuan tersebut membentuk panita bersama, dengan perwakilan dari Pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat yang diketuai olehProf. Mr. Soepomo, dan dari

Pemerintah Negara Republik Indonesia diketuai oleh A. Halim.52 Panita

bersama inilah yang membuat rencana undang-undang dasar sementara yang akhirnya disahkan melalui Undang-Undang Negara Federal Nomor 7 Tahun 1950 (Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat Normor 56).

Terkait pemilihan Presiden pada undang-undang dasar sementara ini, secara normatif bersandar pada ketentuan BAB II Alat Perlengkapan Negara, Bagian I Pemerintah, yakni Pasal 45 ayat (3) yang memberikan delegasi pengaturan prosedur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

kepada suatu undang-undang.53

51

Negara Republik Indonesia Serikat dalam hal ini mewakili Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur

52

Sejarah, Opt Cit, h. 71

53 Secara utuh, bunyi Pasal 45 ayat (3) tersebt adalah “

Presiden dan Wakil-Presiden dipilih menurut aturan jang ditetapkan dengan undang-undang” namun sepanjang pencarian

literatur yang telah dilakukan oleh penulis, undang-undang yang mengatur hal tersebt tidak ditemukan.


(38)

d) Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 (Dekrit Presiden 1959-1999)

Pada dasarnya, pengaturan pemilihan Preiden dan Wakil Presiden pada Undang-Undang Dasar 1945 pasca dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959, secara normatif konstitusi tetap sama dengan periode

sebelumnya,54 dalam hal ini dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat dengan suara terbanyak, pengaturan lebih lanjut terkait hal ini selanjutnya didelegasikan kedalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara Republik Indonesia (TAP MPR/S).

Pada periode berlakunya UUD 1945 setelah dekrit presiden, sepat dideklarasikannya Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS, yakni melalui TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Selanjutnya dinamika sosial politik di Indonesia yang begejolak semennjak peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia, melaui gerakan G.30.S/PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia) yang menyebabkan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar).

MPR sendiri memperkuat posisi supersemar dengan mengeluarkan

TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966 Tentang Surat Perintah

54

Hal ini mengacu pada ketentuan Passal 6 UUD 1945, yang menyatakan bahwa

Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak” namun mengingat pada Praktek sebelum Konstitusi Republik Indonesia Serikat

berlaku, hal ini tidak dapat dilakukan, karena MPR belum terbentuk, dan pemilihan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden hanya melalui rapat pengesahan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, selain itu, praktek ketatanegaraan dari Presidensial menjadi Parlementer berdasarkan Maklumat Nomor X Wakil Presiden Republik Indonesia.


(39)

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang isinya antara lain memberikan daya laku surat perintah terhadap Soeharto hingga pemilihan umum MPR terlaksana.

Selain memperkuat daya laku supersemar, MPRS juga meniadakan pemilihan Wakil Presiden dan memberikan mandat kepada Soeharto (pemegang supersemar) sebagai pemegang jabatan apabila Presiden berhalangan, dilakukan melalui TAP MPRS No. XV/MPRS/1966 Tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presiden. Pada akhirnya, MPRS mengangkat Soeharto menjadi Presiden berdasarkan TAP MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRSNomor IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia.

Pengaturan terhadap Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sendiri baru ditetapkan oleh MPR hasil Pemilihan Umum Tahun 1971, melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1973 Tentang Tata-Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada pengaturannya, dijelaskan secara rinci syarat personal untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, serta juga dijelaskan prosedur pencalonan Presiden dan Wakil

Presiden oleh fraksi ataupun gabungan fraksi.55

55

Terkait syarat personal Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, berdasarkan ketentuan Pasal 1 TAP MPR Nomor II/MPR/1973 ialah orang Indonesia asli dan harus memenuhi syarat antara lain : a. Warga Negara Indonesia; b. Telah berusia 40 tahun; c. Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan Umum; d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; e. Setia kepada Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, PANCASILA dan Undang-Undang Dasar 1945; f. Bersedia menjalankan Haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah


(40)

Setelah reformasi bergulir ditahun 1999, pasca lengsernya Soeharto (pengunduran diri) di tahun 1998, tepatnya setelah pemilihan umum tahun 1999, MPR hasil pemilu tersebut menetapkan aturan baru terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada pengaturan baru ini, terdapat 2 (dua) hal yang berubah, yakni terkait dapat dicalonkannya seorang Presiden dengan kuota minimal 70 orang anggota MPR dan ditiadakannya ketentuan “mampu bekerja sama” antara Presiden dan Wakil Presiden.56

2) Latar Belakang Perumusan Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pada dasarnya, ketentuan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dinyatakan oleh Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilandasi oleh semangat reformasi

ditetapkan oleh Majelis dan putusan-putusan Majelis; g. Berwibawa; h. Jujur; i. Cakap; j. Adil; k. Dukungan dari Rakyat yang tercermin dalam majelis; l. Tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA dan Undang -Undang Dasar 1945, seperti gerakan G-30-S/PKI dan/atau Organisasi terlarang lainnya; m. Tidak sedang menjalani pidana berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun; n. Tidak terganggu jiwa/ingatannya.

Sementara itu, terkait syarat pencalonan, diatur oleh ketentuan Pasal 9 yang menyatakan

bahwa “Calon Presiden diusulkan oleh Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.” Dalam hal ini apabila calon hanya satu, maka MPR langsung

mengesahkannya sebagai Presiden melalui Rapat Paripurna (Pasal 13 ayat (2)). Salah satu poin yang menjadi catatan adalah ketentuan yang mengharuskan pemilihan dilakukan secara tertutup apabila terdapat lebih dari 1 (satu) calon Presiden.

Terkait Wakil Presiden, prosedur pemilihannya sama dengan Presiden, namun ditambahkan syarat mampu bekerjasama sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 2 ayat (1) aturan ini.

56

Saldi Isra, Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden Di Bawah Undang-Undang Dasar 1945, pada:

htentangp://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkemba


(41)

yang salah satu butir tuntutannya adalah perubahan undang-udang dasar.57 Terkait pembahasannya sendiri, ketentuan pengusulan calon (Pengisian

Jabatan)58 Presiden dan Wakil Presiden, sejatinya telah dimulai semenjak

periode pertama perubahan undang-undang dasar, yakni pada tahun

1999,59 dan di periode kedua di tahun 2000,60 namun pada kedua periode

tersebut tidak tercapai kata sepakat atas usulan perubahan yang akan disahkan.

Pada tahapan ketiga perubahan undang-undang dasar-lah beberapa ketentuan Pasal 6A diakomodir untuk disahkan, khususnya terkait ketentuan syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan langsung oleh rakyat. Sementara terkait pemberhentian Presiden maupun Wakil Presiden dan mekanismenya, larangan Presiden untuk membubarkan serta membekukan DPR, Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya serta pemilihan Wakil Presiden, dan kekuasaan Presiden dalam membuat perjanjian

internasional.61

Rumusan baru terkait dengan putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pelaksana tugas kepresidenan apabila Presiden dan

57

Gerakan Reformasi mengajukan 4 tuntutan, yakni (a) Amandemen UUD 1945, (b) Berantas praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), (c) Cabut paket 5 UU Politik yang dipandang menghambat perkembangan demokrasi, dan (d) Cabut Dwifungsi ABRI, sehingga dapat disimpulkan bahwa amandemen (perubahan) UUD 1945 merupakan salah satu karya langsung reformasi 1998.

58

Pada risalah sidang pembentukan UUD NRI 1945, digunakan istilah „pengisian masa

jabatan‟ sebagai pokok bahasan pembentukan Pasal 6A UUD NRI 1945, lebih lanjut dapat dilihat

pada : Naskah Komprehensif, Opt Cit, h. 219

59

Pada rapat ke-1 PAH III BP MPR, 7 Oktober 1999, Ibid, h 156

60

Pada rapat ke-3 PAH I BP MPR, 6 Desember 1999, Ibid, h 164

61

Terkait perubahan ketentuan Pasal Perubahan Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan (3) UUD 1945, Ibid, h 6


(42)

Wakil Presiden berhalangan secara bersamaan, kekuasaan Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dan pembentukan dewan pertimbangan Presiden, baru berhasil disetujui MPR pada tahapan perubahan terakhir (keempat) UUD NRI

1945.62

Dalam pembahasan perubahan undang-undang dasar, khususnya terkait tata cata pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, tidak terlepas dari perdebatan awal, apakah sistem pemilihan yang dianut langsung atau

tidak langsung,63 selain itu, perdebatan yang muncul terkait ketentuan

Pemilihan Umum Presiden dan Wakilnya diwarnai pro kontra terkait

syarat personal seseorang untuk menjadi pimpinan Negara ini.64

Terkait prasyarat personal, secara original intent memang sengaja

diberikan kewenangan pada undang-undang untuk merincinya, hal ini tergambar jelas dari perdebatan prasyarat personal calon Presiden maupun Wakilnya sebagai berikut:

Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat memberian usulan terhadap materi Pasal 6 undang-undang dasar, yakni:

Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima

kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.65

62

Perubahan Pasal 6A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal Pasal 11 Ayat (1), dan Pasal 16 UUD 1945

63

Dalam hal ini dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ataupun melalui lembaga tersendiri yang dipilih melalui pemilu khusus.

64

Lihat Lihat, Ibid, h. 165

65Ibid,


(43)

Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP sendiri memberikan keterangan:

….Oleh karenanya kami mengusulkan untuk Pasal 6 ini

mungkin usulan hasil yang telah dirumuskan oleh BadanPekerja ini bisa kita sepakati menjadi Ayat (1). Tapi Ayat (2) perlu ada tambahan bahwa persyaratan bagi seorang Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang, karena sekarang ini pun sedang disiapkan tentang lembaga Kepresidenan, biarlah nanti itu

diatur di sana yang jelas mengenai persyaratan ini66

Andi Najmi Fuady yang mewakili F-KB menyatakan:

Jadi konstitusi hanya mensyaratkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden itu orang Indonesia yang nanti redaksinya bisa kita sempurnakan. Kemudian ada ayat berikutnya, „syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam

undang-undang‟67

Selanjutnya dapat dilihat pula berdasarkan pendapat Afandi dari F-TNI/Polri:

…. Saya berpendapat bahwa untuk syarat ini ada dua hal

yang penting yang satu adalah syarat status yang amat penting itu sudah disebutkan pada kewarganegaraan. Kemudian syarat yang kedua adalah syarat keadaan diri. Untuk itu maka kami berpendapat bahwa untuk Pasal 6 ini ada dua hal, satu syarat status, syarat status sebagaimana yang tertuang di dalam rancangan perubahan pada Pasal 6 oleh BP, “Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri”, ini menjadi Ayat (1) Pasal 6.

Kemudian untuk Ayat (2)-nya adalah “Syarat-syarat

menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang”, begitu saja. Alasannya sebagai berikut yang pertama seperti pemahaman kami ini bahwa untuk Pasal 6 ini adalah syarat-syarat ada dua hal tadi, syarat-syarat status, syarat-syarat keadaan diri. Kemudian syarat satu sangat penting dipisahkan tersendiri. Kemudian syarat-syarat keadaan diri secara lengkap itu diatur dengan undang-undang, agar bisa lebih teliti, lebih luwes, lengkap, utuh, terpadu.

Apabila kelak kemudian hari kemungkinan di dalam dinamika ada perubahan misalnya tentang umur tadi dengan

66Ibid,

h. 166-168

67Loc Cit,


(44)

kemajuan kita mungkin barangkali sedini mungkin orang itu dimungkinkan untuk mendapat pengalaman maturitas yang tinggi, mungkin lebih dini lagi, atau mungkin mortalitasnya makin panjang, umur makin panjang juga, usia efektif makin makmur. Ini perubahan akan lebih mudah apabila ditingkat undang- undang,

bukan di Undang-Undang Dasar, akan lebih luwes….68

Akhirnya Rapat Paripurna ke-7 (lanjutan-2) ST MPR, 9 November 2001 yang dipimpin oleh M. Amien Rais memutuskan perubahan Pasal 6 undang-undang dasar sesuai persetusuan Komisi A MPR, yakni:

Pasal 6

(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur

lebih lanjut dengan undang-undang.69

Dalam pembahasan mengenai lembaga kepresidenan, sangat jelas dipisahkan antara pengaturan terhadap syarat personal dan tata cara

pemilihan70 Presiden maupun Wakilnya. Hal ini terlihat dari rumusan

Badan Pekerja MPR yang memisahkan ketentuan Pasal 6 yang mengatur syarat personal dan Pasal 6A, begitupula dengan pembahasannya di MPR. Berkaitan dengan Pasal 6A, usulan Badan Pekerja MPR ditahapan perubahan ketiga adalah sebagai berikut:

Pasal 6A

Alternatif 1 Varian 1

(1)Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat.

68

Ibid, h.177-178

69Ibid,

h. 216

70

Dalam pembahasan di MPR, istilah yang muncul terkait tata cara pemilihan Presiden


(45)

(2) Paket calon Presiden dan calon Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menetapkan dua paket yang mendapat suara terbanyak

(3)Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara elektoral terbanyak

(4) Syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang

Alternatif 1 Varian 2

(1)Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat

(2) Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara rakyat terbanyak

(3)Syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang

Alternatif 2 varian 1

Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak dari pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden partai pemenang satu dan dua hasil pemilihan umum yang dilselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Alternatif 2 varian 2

(1)Calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditetapkan dalam satu paket oleh partai-partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum

(2) Paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden

(3)Dalam hal tidak ada paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara maka dua paket calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan

kedua dalam pemilihan umum, dipilih oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak dan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(4) Syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Perdebatan yang muncul pada mulanya terkait dipilih langsung oleh rakyat dengan melibatkan MPR atau tidak. Akhirnya semua fraksi mencapai kata sepakat soal pemilihan Presiden langsung, kemudian


(46)

muncul alternatif-alternatif baru terhadap pasal 6A, melalui Ketua PAH I, Jakob Tobing, membacakan hasil pembahasan mengenai pemilihan Presiden, yakni:

Alternatif 1 : Pasal 6A

(1)Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat.

(2)Paket-paket calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

(3)Paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan seuara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di masing-masing provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, disahkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

(4)

Alternatif 1:

Dalam hal ini tidak ada paket calonPresiden dan dan Wakil Presiden yang terpilih sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3), maka dua paket calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum, dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan paket yang memperolehsuara terbanyak disahkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Alternatif 2 :

Dalam hal ini tidak ada paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3), maka dua paket calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum, dipilih oleh rakyat secara langsung dan paket yang memperoleh suara terbanyak disahkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(5)Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Alternatif II : Pasal 6A

(1)Presiden dan Wakil Presiden dilipih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat.


(1)

konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang diamanatkan dalam UUD 1945.

3. Syarat dukungan partai politikatau gabungan partai politik yang memperoleh 20% (dua puluh perseratus) kursi di DPR atau 25% (dua puluh ima perseratus) suara sah nasionalsebelum pemilihan umum Presiden, menurut Mahkamah, merupakan dukungan awal; sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terhadap Calon Presiden dan WakilPresiden yang kelak akan menjadi Pemerintah sejak awal pencalonannya telah didukung oleh rakyat melalui partai politik yang telah memperoleh dukungan tertentu melalui Pemilu

Namun, terhadap putusan tersebut, dari 8 (delapan) orang hakim konstitusi yang mengikuti rapat permusyawaratan hakim, terdapat 3 (tiga) hakim konstitusi yang tidak sependapat dengan putusan tersebut, dan dituangkan kedalam pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Abdul Mukthie Fadjar,Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar, menurut mereka, apabila Mahkamah konsisten dengan pendapatnya dalam putusan perkara-perkara sebelumnya dalam penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) yang cenderung lebih menekankanpada tafsir tekstual dan original intent, maka permohonan para pemohon tersebut akan dikabulkan, karena dengan cara penafsiran tekstual dan original intent, bahkan juga dengan penafsiran sistematik atas Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjadi sumber legitimasi Pasal 9 Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut pandangan mereka, para pembentuk undang-undang dasar sejatinya mengamanahkan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu serta tidak memberi peluang bagi pembentuk undang-undang untuk


(2)

membuat kebijakan hukum (legal policy) dengan “akal-akalan” yang terkontaminasi motif politik ad hoc menentukan “presidential threshold”.

Alasan penggunaan Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Tata cara pelaksanaan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang” sebagai manifestasi mandat undang-undang dasar kepada pembentuk undang-undang-undang-undang dapat membuat syarat “threshold” tidak tepat, karena norma syarat telah diatur terlebih dahulu oleh ketentuan Pasal 6.

Begitu juga dengan argumentasi bahwa presidential threshold dimaksudkan agar calon Presiden dan Wakil Presiden mempunyai basis dukungan rakyat yang kuat dan luas, terkait keterpilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang harus meraih suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemiludengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di sedikitnya setengah jumlah provinsi di Indonesia. Pemilihan Umum Presiden di Tahun 2004 membuktikan sebaliknya, dalam hal ini tidak singkronnya pemilihan Presiden dengan Pemilihan Anggota DPR dengan menangnya Calon Presiden dan Wakil Presiden dari Partai yang bukan pemenang mutlak pemilu parlemen.

Pendapat berbeda dari beberapa hakim konstitusi inilah yang membuktikan bahwa secara tafsir hukum statis (original intent dan sistematis) ketentuan ambang batas tersebut tidak sesuai dengan Pasal 6A ayat (2), namun secara kelembagaan, Mahkamah Konstitusi menyatakan


(3)

presidential threshold tersebut konstitusional, karena menggunakan tafsir hukum dinamis


(4)

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pada penghujung kajian atas penyempitan makna Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini, berdasarkan uraian atas permasalahan yang telah dibahas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni:

1) Terhadap latar belakang perumusan ketentuan pengajuan paket calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik maupun gabungannya dengan syarat sebagai peserta pemilu adalah pendapat bersama MPR ketika perubahan undang-undang dasar dilakukan, karena berdasarkan risalah sidang pembahasan Pasal 6A pada umumnya, dan ayat (2) khususnya tidak ada sedikitpun fraksi maupun anggota MPR yang menyinggung masalah ambang batas (presidential threshold). Ketentuan ayat (5) dari Pasal 6A telah mengunci rapat penambahan prasyarat pengajuan calon, tidak seperti prasyarat personal yang pada pembahasannya sengaja diberikan wewenang kepada undang-udang untuk memberikan batasan tambahan, tidak hanya sekedar yang ada dalam norma UUD NRI 1945 berdasarkan Pasal 6 ayat (2).

2) Latar belakang perumusan ketentuan Presidential Threshold pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Menurut DPR didasari oleh


(5)

urgensi penyaringan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki basis dukungan yang kuat dari rakyat, angka 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional bertujuan agar dapat tercapainya fungsi pemerintahan Negara yang efektif, begitu pula dengan pemerintah, dalam pertimbangannya menyetujui hadirnya syarat jumlah kursi ataupun suara sah nasional suatu partai politik maupun gabungan partai politik demi menjaga efektifitas pemerintahan yang berjalan, selain itu juga mendasarkan pengaturan ambang batas tersebut berdasarkan alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945 yang mengamanatkan pembangunan nasional sebagai salah satu tujuan bernegara. Pada prinsipnya, pembahasan program dan anggaran yang merupakan kewenangan yang akan bersentuhan langsung dengan DPR tentunya akan lancar dengan dukungan awal minimal 20% kursi tersebut. Muara dari threshold tersebut akan mendukung terwujudnya pembangunnan yang berkesinambungan melalui system pemerintahan presidensial yang lebih efektif dan stabil.

3) Telah terjadi perubahan makna, dalam hal ini berbentukpenyempitan terhadap ketentuan normatif Pasal 6A ayat (2) terkait pencalonan Presiden dan Wakilnya oleh partai politik maupun gabungannya yang merupakan peserta pemilu parlemen di periode pemilu yang sama, hal ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, khususnya


(6)

amar yang menyatakan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan undang-undang dasar, karena memandang kebijakan hukum (legal policy) ambang batas pada pemilu Presiden (presidential threshold) konstitusional mengunakan tafsir hukum dinamis.

B. SARAN

Setelah merangkum kajian yang telah dibahas dalam kesimpulan di atas, penulis menyarankan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk segera melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini bertujuan untuk mempertegas ketentuan syarat pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, apakah menggunakan ketentuan ambang batas ataupun tidak, demi terciptanya kepastian hukum karena secara tafsir sistematis ataupun original intent ketentuan ambang batas sebagaimana diatur oleh Pasal 9 Udang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak mendapat pijakan yang kuat.