C. Perubahan Konstitusi Secara Informal
Perubahan konstitusi secara formal hanya dapat diharapkan menyelesaikan permasalahan kenegaraan yang berlatar prefentif pencegahan, karena prosedur
yang harus dilalui cukup panjang, terlebih arus politisasi yang kuat melekat pada mekanisme tersebut tidak efisien untuk memecahkan permasalahan yang lebih
bersifat insidensil dan membutuhkan respon cepat. Hal inilah yang menjadi alasan perubahan konstitusi juga dapat dilakukan secara informal, mengingat proses yang
harus dilalui relatif lebih sederhana.Sebagaimana diuraikan diatas, perubahan konstitusi secara informal dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni:
a Some primary force
Perubahan konstitusi dapat terjadi apabila terdapat tekanan kuat dari suatu kekuasaan ataupun kondisi tertentu, contoh nyata dari perubahan konstitusi
dengan cara ini adalah di Jepang. Ketika Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu pasca pembom-atom-an Kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika
Serikat, pelucutan senjata dan militer menjadi syarat yang diajukan. Dari perkuliahan oleh Prof. Shimada dapat ditarik kesimpulan bahwa tekanan yang
kuat dari pihak sekutulah yang mendesak perubahan penggantian konstitusi dilakukan. Ketika itu hak negara Jepang untuk mempersenjatai diri membuat
militertentara dinyatakan dicabut dan inkonstitusional untuk dilakukan.
27
Di Indonesia sendiri hal ini pernah terjadi pasca perjanjian Konfrensi Meja Bundar yang menghasilkan tiga buah persetujuan pokok, yakni:
27
Konstitusi Jepang Tahun 1947 dibentuk pada masa Amerika Serikat mendudukinya, secara umum, konstitusi jepang disebut juga dengan „konstitusi damai‟ karena larangan
membentuk angkatan bersenjata, dan hanya boleh memiliki „pasukan bela diri‟, secara eksplisit dinyatakan dalam Article 9, Chapter II Renunciation Of War, The Constitution Of Japan 1947.
1 Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
2 Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, dan
3 Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan
Belanda. Dalam hal mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat, pembentukan
Undang-Undang Dasarnya sendiri dikawal pada KMB ini, RUU yang akan disahkan oleh KNP Komite Nasional Pusat yang diakui sebagai badan
perwakilan di wilayah Republik Indonesia.
28
Hal ini dapat diartikan some primary forces-lah yang menyebabkan pergantian UUD 1945 ke UUD RIS. Contoh
lainnya adalah keluarnya Dekrit Presiden
29
pada tanggal 5 Juli Tahun 1959 yang menjadi landasan hukum berganti kembali UUDS 1950 ke UUD 1945 sebelum
amandemen. Latar belakang keluarnya Dekrit ini adalah pergulatan ideologi oleh para anggota konstituante yang tidak kurun mencapai kata sepakat untuk membuat
konstitusi baru pengganti UUDS 1950, bahkan cenderung menimbulkan perpecahan bangsa, d
ekrit tersebut dapat “dibenarkan” akibat keadaan darurat yang timbul menyebabkan staatsnoodariechthukum darurat negara dan
berdasarkan pada prinsip salus populi supreme lex keselamatan rakyat adalah dasar hukum yang tertinggi.
30
b Judicial Interpretation
Mengutip pendapat Satjipto Raharjo, bahwa salah satu sifat yang ada pada peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari
rumusan norma yang dibentuknya. Dalam hal ini beliau memandang bentuk
28
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok.....Op. Cit.,h. 83-84., lihat juga Moh Mahfud MD, Politik..... Op. Cit, h. 133-136.
29
Dari segi konstitusionalitasnya, dekrit presiden tidak memiliki legitimasi namun dapat dibenarkan sebagai hukum darurat negara, serta menurut pendapat Mahfud MD merupakan
pelaksanaan asas Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi.
30
Jimly Asshidiqie, Loc. Cit, h. 90.
tulisan atau litera scripta hanyalah suatu usaha untuk menyampaikan ide atau pikiran. Ide atau pikiran tersebut tentu saja tidak akan mungkin tersampaikan
secara utuh dalam untaian kata-kata di dalam perundang-undangan tersebut. Dengan demikian, merupakan suatu keharusan bagi hukum itu sendiri
pada khususnya “membedah” ide ataus pikiran yang ingin disampaikan oleh norma tertulis pada peraturan-perundang-undangan. Selain alasan tersebut, tidak
dapat kita elakkan bahwa hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar prosedur hukum, dalam hal ini pola pikir atau nalar hukum
dapat mencakup pengetahuan dalam konteks sosial ditengah masyarakat.
31
Proses pembedahan tersebut tentu sa ja dilakukan oleh “dokter bedah”
yang dalam hal ini adalah hakim yang secara kelembagaan merupakan organ pengadilan yang tergolong sebagai lembaga yudisial. inilah yang menjadi cikal
bakal dari Judicial Interpretation dan ketika dibawakan kedalam konteks perubahan undang-undang dasar, maka istilah yang digunakan adalah pernafsiran
konstitusi constitutional interpretation. Bila menilik lebih dalam, dalam melakukan penafsiran hukum tentu
memerlukan metode-metode yang sesuai. Secara umum metode-metode tersebut diklasifikasi kan kedalam 6 enam cara interpretasi, yakni:
32
1 Interpretasi Gramatikal
Interpretasi
33
ini juga dapat disebut interpretasi menurut bahasa, metide ini menekankan pentingnya bahasa dalam menentukan makna
31
Philippe Nonet Philip Selznick, Jakarta, HUMA, Hukum Responsif, 2001, h. 59.
32
Sekjen dan Kepaniteraan MK dan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2011,h. 69-76.
terhadap suatu objek. Metode interpretasi gramatikal ini disebut juga cara penafsiran objektif, dimana cara penafsiran ini tergolong paling sederhana
untuk mengetahui makna dari undang-undang dasar yang akan diinterpretasikan.
Terkait pendekatan contextualism yang dapat digunakan dalam metode penafsiran ini dapat dikriteriakan kedalam 3 tiga hal, pertama,
noscitur a socis, yaitu arti suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya dalam kumpulan-kumpulannya, kedua,
ejusdemgeneris, asas ini mengandung makna of the same class. Jadi suatu perkataan yang
digunakan dalam lingkungan atau kelompok yang sama, ketiga, expressum facit cassare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang dicantumkan secara
tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu perundang- undangan.
34
Misalnya, apabila di muka peraturan telah merinci tentang „perdagangan, tenaga terampil, pekerja atau orang lain apapun‟, maka kata
„orang lain apapun‟ harus diartikan dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya itu. Ketiga hal inilah yang menjadi pendekatan
dalam menafsirkan hukum.
2 Interpretasi Teleogis atau Sosiologis
Interpretasi dalam hal ini dimaknai sebagai pemaknaan peraturan perundang-undangan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Fokus dari
interpretasi ini adalah aktualisasi peraturan perundang-undangan yang ada.
33
Pusat Bahasa, Op. Cit., h. 535, interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran.
34
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,Op. Cit, h. 70.
3 Interpretasi Sistematis atau Logis
Secara garis besar, pengertian dari interpretasi ini adalah menghubung-kan suatu undang-undang dengan undang-undang lain.
Dengan kata lain mencari sistematika dan logika suatu peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk.
4 Interpretasi Historis
Penafsiran dengan metode ini bermaksud memaknai isi peraturan perundang-undangan melalui penelitian sejarah pembentukannya. Secara
garis besar, interpretasi historis ini dapat dilakukan dengan 2 dua cara, pertama, menurut sejarah undang-undang tersebut dibentuk, dimana
pencarian maksud ketentuan awal pembentukan undang-undang tersebut dilihat dari pandangan subjektif para pembentuknya, kedua, menurut
sejarah hukum, dimana cara ini berusaha memahami suatu undang-undang dalam konteks keseluruhan sejarah hukum yang ada.
5 Interpretasi Komparatif atau Perbandingan
Ialah metode penafsiran yang dilakukan dengan cara membanding- kan antara beberapa aturan hukum untuk mencari kejelasan makna suatu
ketentuan peraturan perundang-undangan. Perbandingan ini dilakukan dengan
cara membandingkan
penerapan asas-asas
hukumnya rechtsbeginselen dalam peraturan perundang-undangan yang akan
dikomparasikan, atau aturan hukumnya rechtsregel, disamping
membanding latar belakang atau sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
6 Interpretasi futuristis
Ialah metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif, dimana kecenderungan bentuk interpretasi lebih menitik beratkan pada sifat ius
constituendum hukum atau undang-undang yang ingin dicitakan daripada ius constitutum hukum atau undang-undang yang berlaku saat ini.
Sementara pada metode penafsiran
35
konstitusi, dimana praktek penafsiran ini diterapkan pada proses judicial review, khususnya di Indonesia oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of the constitution satu- satunya penafsir konstitusi, dikenal 6 enam macam cara, yakni:
36
1 Penafsiran Tekstual
Ialah penafsiran yang menekankan pada pengertian norma tertulis yang ada pada konstitusi atau undang-undang sebagaimana dipandang secara umum
oleh mayoritas orang.
2 Penafsiran Historis atau Penafsiran Orginalism
Penafsiran ini dapat disamakan dengan interpretasi historis sebagaimana dibahas sebelumnya yaitu untuk menelaah original intent dari
pembentukan konstitusi tersebut. Penafsiran ini biasanya di-gunakan untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan dan struktur dari konstitusi itu sendiri.
35
Ibid, h, 1373, berasal dari kata tafsir, yang berarti 1 keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-
Qur‟an agar maksudnya mudah dipahami 2keterangan; penjelasan. Ketika kata tafsir diberikan imbuhan pe-an, maka bermakna proses, cara, perbuatan menafsirkan; upaya untuk
menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas;
36
Hukum Acara MK... Op. Cit., h. 74-77.
3 Penafsiran Doktrinal
Adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami aturan undang-undang atau konstitusi melalui sistem preseden atau melalui
praktik peradilan.
4 Penafsiran Prudensial
Merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan penuh per- timbangan antara kemanfaatan yang akan ditimbulkan oleh penafsiran tersebut
dengan resiko yang harus ditanggung.
5 Penafsiran Struktural
Yaitu metode penafsiran yang dilakukan dengan cara mengaitkan aturan dalam undang-undang dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar
yang mengatur tentang struktur ketatanegaraan.
6 Penafsiran Etikal
Metode ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip moral dan etika yang terdapat di dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Pendekatannya lebih
kepada falsafati, aspirasi ataupun moral yang bersumber dari konstitusi itu
sendiri. c
Usage and convention
Usage kebiasaan andconvention konvensi dapat diterima secara harafiah dalam hal menjadi salah satu sarana perubahan undang-undang dasar
secara informal. Konvensi ketatanegaraan
37
memiliki posisi strategis sebagai aturan politik dalam bekerjanya konstitusi secara empiris. Namun yang perlu
37
Merupakan istilah yang lebih tepat digunakan untuk mengartikan kata convention, lihat catatan kaki ke 133 Jimly Asshidiqie, Pengantar Hukum Tata Negara,Rajawali Pers,2009, h. 204.
digaris bawahi dalam hal ini adalah konvensi tidak dapat diberi sanksi oleh pengadilan apabila dilanggar pelaksanaanya. Tetapi posisi konvensi sebagai
non-legalrules yang mengatur cara legal rules diterapkan merupakan suatu kenyataan dalam pelaksanaan di dalam praktik bernegara.
Contoh nyata perubahan yang terjadi terhadap norma yang terkandung di dalam undang-undang dasar tanpa perubahan formal oleh konvensi
ketatanegaraan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen, yakni dengan dipraktikkannya
sistem pertanggungjawaban menteri sebagaimana termuat dalam Maklumat Pemerintah tanggak 14 november 1945, padahal pertanggungjawaban
pemerintah pada UUD 1945 berada pada presiden.
38
Perbedaan mendasar antara konvensi ketatanegaraan dengan kebiasaan ketatanegaraan
39
adalah unsur pengulangan pada kebiasaan. Tidak semua konvensi merupakan pengulangan, contoh diatas merupakan sebuah konvensi
yang baru pertama kali terjadi dan tidak belum terulang. Sehingga jika disi
logiskan maka akan muncul kausa “setiap kebiasaan ketatanegaraan adalah konvensi ketatanegaraan
” dan “tidak semua konvensi ketatanegaraan adalah kebiasaan
”. Contoh dari kebiasaan ketatanegaraan yang menjadi konvensi ketatanegaraan adalah adanya pidato kenegaraan oleh preseden di
DPR dan DPD.
40
38
Ibid., h.205; lihat juga Moh Mahfud MD, Politik Hukum... Op. Cit., h.40.
39
Penulis juga berpendapat bahwa kata kebiasaan ketatanegaraan lebih tepat mengartikan usage.
40
Pidato Kenegaraan biasanya dilaksanakan di DPR pada tanggal 16 Agustus setiap tahunnya, sementara bersama dengan DPD baru pertama kali dilaksanakan pada 2010 silam, dan
dinilai akan menjadi kebiasaan konvensi ketatanegaraan yang baru.
Praktik konvensi dinegara-negara lain misalnya ditemukan di Inggris, di sana disyaratkan seorang menteri harus punya kedudukan sebagai anggota
parlemen, dan Raja atau Ratu akan mengangkat Ketua Partai yang menjadi pemenang dalam pemilu sebagai Perdana menteri.
Mekanisme perubahan undang-undang dasar secara garis besar dapat dikelompokan kedalam 2 dua jenis, pertama, dengan cara informal verfassung-
sanderung, dan kedua, dengan cara informal verfassungswandlung. Lebih gamblang lagi, dapat diartikan bahwa perubahan konstitusi secara formal
merupakan perubahan yang berdasarkan ketentuan konstitusi itu sendiri, Indonesia sendiri pernah mempraktekkannya ketika pe-rubahan Undang-Undang
Dasar 1945 dikurun waktu 1999 hingga 2002. Serta perubahan konstitusi secara informal dapat jabarkan lebih lanjut
melalui 3 tiga cara, pertama, melalui kekuatan kekuasaan yang utama seperti yang terjadi di Jepang, pasca pernyaaan menyerah tanpa syarat kepada pihak
sekutu Amerika Serikat dan ketika Indonesia dipaksa membuat konstitusi RIS yang merupakan hasil Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, kedua, melalui
penafsiran konstitusi oleh lembaga yudisial, dalam hal ini di Indonesia palaksanaannya oleh Mahkamah Konstitusi, dan ketiga, melalui kebiasaan dan
konvensi ketatanegaraan.
BAB III PEMBAHASAN PERMASALAHAN