Pengaruh Penambahan Vitamin A dan Minyak Sawit Kasar (MSK) Terhadap Keawetan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour.)
Oleh:
DEVI YULIAWATI
A54103017
PROGRAM STUDI
GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
(2)
(CPO) to The Durability of Torbangun ( Lour.) Soup (Under tuition of Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. and drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD.)
Breastfeeding women in Simalungun, North Sumatran have a tradition and belief to consume Torbangun leaves for one month after baby birth, because it is believed that Torbangun leaves will increase the production of human milk. Torbangun leaves were cooked with coconut milk and added with fish and chicken meat to increase the palatability. It is called Torbangun Soup. The addition of coconut milk has several detriments, they are : 1) Torbangun soup will be easier to oxidized because it has a large amount of lipid contain and 2) easy to be damaged by the activity of microorganism. Antioxidant supplementation can help to protect Torbangun Soup from lipid oxidation. Vitamin A is an example of natural antioksidant, and Crude Palm Oil (CPO) is an example of food based approach from vitamin A. it has very rich contain of ß-carotene which are the precursors of vitamin A. The concentration of vitamin a which supplemented is 300 mg/kg Torbangun soup, equals with 22 tablets of vitamin A 20.000 IU. The amount of CPO which is added is 26.52 g/kg Torbangun soup. The supplementation of CPO is limited with organoleptic acceptances and the solubility of CPO in Torbangun soup. For knowing the effects of antioxidant supplementation to the preservation of Torbangun soup, were done lipid quality chemical test such as pH, Titrable Acidity, Peroxide Value (PV), and Thiobarbituric Acids (TBA); calculating the amount of microorganism using Total Plate Count (TPC) method; organoleptic hedonic test which consist of aroma, color, texture, and viscosity; and the retention test of vitamin A and ß-carotene using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method. Results revealed that vitamin A and CPO supplementation can help to protect Torbangun soup from lipid oxidation. However, vitamin A supplementation is more effective than CPO, because : 1) it can supplemented in optimal dosage, 2) it can repress the formation of PV and TBA, which are the indicators of lipid oxidation, 3) it will not change aroma, color, and flavor of Torbangun leaves, and 4) easy to dissolved. The amount of microorganism in Torbangun soup which added with CPO (STM) until the end of storage (48 hours) is still under the level of food safety (105 CFU/g), whereas the amount of microorganism in Torbangun soup which added with vitamin A (STA) and Torbangun soup control (STK) are over the level of food safety. However, antioxidant supplementation has no directly relationship with the amount of microorganism. Results from HPLC analysis shows that the vitamin A retention in vitamin A which influenced by cooking is 30.38%, it is lower than the retention which influenced by storage for 48 hours (90.95%). The ß-carotene retention in STM which influenced by cooking is 94.59%, it is higher than the retention which influenced by storage for 48 hours (39.19%). However, the oxidation rate of STA (1217.84 RE/Minute) and TM (75.87 RE/minute) which are influenced by cooking is still higher than the oxidation rate of STA (0.64 RE/minute) and STM (0.23 RE/minute) which are influenced by cooking. Total retention of vitamin A in STA is 27.63%, whereas in STM is 97.93%. Besides, the ß-carotene retention from Torbangun leaves in STK which is influenced by cooking is 14.13%. Breastfeeding women need to consume 100 g STA and STM. Thus, by consuming 100 g STA will 5 times (4157.93 RE) and by consuming 100 g STM will 1.2 times (984.76 RE) fulfill the vitamin A requirements. Those amounts are still lower than upper lower tolerance (UL), that is 5000 RE.
(3)
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bambang Tri Waluyo dan Titik Wahyuni. Pendidikan TK ditempuh di Taman Kanak-Kanak PTPN VIII Tanjung Morawa, Sumatera Utara dari tahun 1989-1990 dan Taman Kanan-Kanak Bhayangkari Curug, Tangerang dari tahun 1990-1991. Pendidikan SD ditempuh di SD Islamic Village, Karawaci, Tangerang dari tahun 1991-1997. Penulis melanjutkan pendidikan SLTP di SLTP Dian Harapan Karawaci, Tangerang dari tahun 1997-1998, dan di SLTP Negeri 1 Subang, Jawa Barat dari tahun 1998-2000. Pendidikan SMU ditempuh di SMU Negeri 1 Subang, Jawa Barat dari tahun 2000-2003.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga pada tahun 2003 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada periode 2003/2004 pernah menjadi anggota Biro Hubungan Masyarakat Forum Keluarga Masjid GMSK (FKMG). Pada periode 2004/2005 pernah menjadi anggota Biro Kajian Strategis Himpunan Mahsiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA). Sejak tahun 2004-2006 penulis aktif sebagai staf Divisi Kajian Strategis Badan Konsultasi Gizi (BKG) dan pada periode 2006/2007 pernah menjabat sebagai ketua Divisi Kajian Strategis Badan Konsultasi Gizi (BKG). Pada tahun 2007 penulis menjadi asisten untuk mata kuliah Metabolisme Zat Gizi.
(4)
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. dan Bapak Drh. Rizal Damanik M.Rep.Sc, PhD sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan semangat dan masukan ilmu yang sangat berarti dan dengan sabar membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian tugas akhir ini.
2. Keluargaku tersayang : Papa, Mama, Eca, Ipam, dan Kkku sebagai sumber semangat, motivasi, finansial dan kasih sayang yang tidak pernah habis 3. Pak Mashudi yang telah banyak membantu dan menjadi teman untuk
berdiskusi tentang penelitian ini.
4. Ibu Ir. Cesilia Meti Dwiriani, Msc sebagai pembimbing akademik. 5. Ibu Dr.Ir Lilik Kustiyah, MS sebagai dosen pemandu seminar.
6. Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS sebagai dosen penguji yang telah begitu banyak memberikan saran.
7. Bu Dini, Mas Yudi, Pak Lalu, dan Pak Danu di Balitpasca Panen, Cimanggu Bogor atas bantuan dan bimbingannya.
8. Seluruh dosen dan staf Departemen GM (Teh Popon, Bu Yati, Teh Yati, Pak Ugan, dan Mas Rena) yang telah mendidik, membimbing, dan membantu dengan penuh kasih sayang, serta canda ria.
9. Temanku senasib dan sepenanggungan dalam suka dan duka (Betsy dan Deni Alam’39) : Andi, Inoel, Malie, Bambang, Ade, Wewew, Vivi, Tika, Tegar, Maning, Nining, MeiMei, Aris, Yudith, Sendi, dan seluruh GMSK’40. Terima kasih atas kenangan yang begitu indah.
10. Teman-teman di HIMAGITA dan BKG yang telah memberikan warna berbeda pada dunia.
11. Kakak-kakakku GMSK’37 (Mbak Nisa’14, Mbak Ama, dan Mbak Mada), GMSK’38, GMSK’39, dan Adik-Adikku GMSK’41,GM’42, serta IKK’42.
12. Semua Pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, memberi bantuan spiritual yang tidak dapat terhitung dan tergantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Juli 2007
(5)
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
PENDAHULUAN ... 1
Latar belakang... 1
Tujuan ... 2
Manfaat ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Daun Torbangun ... 3
Santan kelapa ... 5
Reaksi oksidasi ... 8
Antioksidan ... 9
Vitamin A ... 10
Minyak Sawit Kasar ... 12
Mikrobiologi pangan ... 17
BAHAN DAN METODE ... 23
Waktu dan tempat ... 23
Bahan dan alat ... 23
Metode penelitian ... 24
Pengolahan dan analisis data ... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
Uji kimiawi kerusakkan lemak ... 31
Nilai pH ... 31
Total Asam Tertritasi (TAT) ... 34
Bilangan peroksida ... 37
Thiobarbituric acids (TBA) ... 41
Hasil analisis Vitamin A dan ß-karoten ... 45
Pengaruh pengolahan dan penyimpanan ... 45
Peranan STA dan STM dalam memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) Vitamin A Uji organoleptik ... 48
Hasil uji mikrobiologi ... 49
(6)
Halaman
Sayur Torbangun vitamin A ... 51
Sayur Torbangun MSK ... 52
Hasil uji hedonik organoleptik ... 55
Aroma ... 55
Warna ... 57
Kekentalan ... 59
Tekstur ... 61
Kelebihan dan kekurangan penggunaan tablet vitamin A dan MSK sebagai antioksidan ... 63
KESIMPULAN DAN SARAN ... 65
Kesimpulan ... 65
Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 67
(7)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan daun katuk ... 4
2. Komposisi zat gizi sayur sop daun Torbangun (150 g) ... 5
3. Pengaruh penambahan air terhadap komposisi kimia santan ... 6
4. Kandungan asam lemak minyak sawit kasar ... 13
5. Karakteristik minyak sawit kasar ... 13
6. Komposisi karotenoid dalam minyak sawit kasar ... 16
7. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun pada berbagai jenis analisis ... 25
8. Hasil analisis proksimat sop daun Torbangun ... 25
9. Contoh untuk analisis HPLC ... 28
10. Kandungan vitamin A pada sop daun Torbangun dan bahan penyusunnya (RE/100 g) ... 46
(8)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Daun Torbangun. ... 3
2. Reaksi umum proses oksidasi lemak dan minyak ... 8
3. Struktur vitamin A ... 11
4. Tablet vitamin A 20.000 IU merek Kimia Farma ... 11
5. MSK di dalam kemasan botol ... 13
6. Struktur umum ß-karoten ... 17
7. Diagram alir penelitian ... 24
8. Diagram alir proses pengolahan sayur sop daun Torbangun ... 27
9. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai pH sop daun Torbangun ... 31
10. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap nilai pH sop daun Torbangun ... 32
10. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) sop daun Torbangun ... 34
11. Pengaruh sumber antioksidan terhadap nilai TAT sop daun Torbangun ... 36
12. Pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai TAT sop daun Torbangun ... 37
13. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai bilangan peroksida sop daun Torbangun ... 38
14. Pengaruh interaksi sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai bilangan peroksida sop daun Torbangun ... 38
15. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Thiobarbituric acids (TBA) sop daun Torbangun ... 42
16.Pengaruh interaksi sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Thiobarbituric acids (TBA) sop daun Torbangun... 43
17.Perubahan jumlah mikroorganisme sayur Torbangun kontrol (STK) ... 50
18.Perubahan jumlah sayur Torbangun dengan penambahan tablet vitamin A (STA) ... 52
20. Perubahan jumlah mikroorganisme sayur Torbangun dengan penambahan MSK (STM) ... 54
21. Nilai median uji aroma pada jam ke-12 ... 56
22. Nilai median uji aroma pada jam ke-36 ... 56
23. Nilai grand median uji aroma ... 57
(9)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
25. Nilai median uji warna pada jam ke-36 ... 58
26. Nilai grand median uji warna ... 59
27. Nilai median uji kekentalan jam ke-12 ... 60
28. Nilai median uji kekentalan pada jam ke-36 ... 60
29. Perbandingan nilai median uji kekentalan pada lama penyimpanan ke-12 jam dan ke-36 jam ... 61
30. Nilai median uji tekstur pada jam ke-12 ... 62
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perhitungan konversi tablet vitamin A yang dibutuhkan/Kg bahan . 71
2. Metode analisis uji mutu kimiawi kerusakan lemak ... 72
3. Prosedur analisis HPLC vitamin A dan ß-karoten ... 74
4. Perhitungan retensi vitamin A akibat proses pengolahan, penyimpanan, dan retensi total pada STA ... 75
5. Perhitungan retensi ß-karoten akibat proses pengolahan, penyimpanan, dan retensi total pada STM ... 77
6. Uji mikrobiologi dengan metode Total Plate Count (TPC) ... 79
7. Lembar penilaian organoleptik uji hedonik ... 80
8. Analisis data hasil uji mutu kimiawi kerusakan lemak ... 81
9. Perhitungan retensi vitamin A daun Torbangun pada STK... 86
10. Tingkat kecukupan vitamin A dari STA dan STM ... 87
11. Perhitungan jumlah mikroorganisme ... 88
12. Hasil analisis data organoleptik uji hedonik ... 90
13. Perhitungan biaya penggunaan antioksidan tablet vitamin A dan MSK ... 94
14. Metode analisis proksimat ... 95
15. Tabel data sampel yang dianalisis dengan metode HPLC ... 97
16. Gambar peak analisis dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) pada Berbagai Jenis Perlakuan Vitamin A dan ß-karoten ... 98
(11)
Oleh:
DEVI YULIAWATI
A54103017
PROGRAM STUDI
GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
(12)
(CPO) to The Durability of Torbangun ( Lour.) Soup (Under tuition of Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. and drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD.)
Breastfeeding women in Simalungun, North Sumatran have a tradition and belief to consume Torbangun leaves for one month after baby birth, because it is believed that Torbangun leaves will increase the production of human milk. Torbangun leaves were cooked with coconut milk and added with fish and chicken meat to increase the palatability. It is called Torbangun Soup. The addition of coconut milk has several detriments, they are : 1) Torbangun soup will be easier to oxidized because it has a large amount of lipid contain and 2) easy to be damaged by the activity of microorganism. Antioxidant supplementation can help to protect Torbangun Soup from lipid oxidation. Vitamin A is an example of natural antioksidant, and Crude Palm Oil (CPO) is an example of food based approach from vitamin A. it has very rich contain of ß-carotene which are the precursors of vitamin A. The concentration of vitamin a which supplemented is 300 mg/kg Torbangun soup, equals with 22 tablets of vitamin A 20.000 IU. The amount of CPO which is added is 26.52 g/kg Torbangun soup. The supplementation of CPO is limited with organoleptic acceptances and the solubility of CPO in Torbangun soup. For knowing the effects of antioxidant supplementation to the preservation of Torbangun soup, were done lipid quality chemical test such as pH, Titrable Acidity, Peroxide Value (PV), and Thiobarbituric Acids (TBA); calculating the amount of microorganism using Total Plate Count (TPC) method; organoleptic hedonic test which consist of aroma, color, texture, and viscosity; and the retention test of vitamin A and ß-carotene using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method. Results revealed that vitamin A and CPO supplementation can help to protect Torbangun soup from lipid oxidation. However, vitamin A supplementation is more effective than CPO, because : 1) it can supplemented in optimal dosage, 2) it can repress the formation of PV and TBA, which are the indicators of lipid oxidation, 3) it will not change aroma, color, and flavor of Torbangun leaves, and 4) easy to dissolved. The amount of microorganism in Torbangun soup which added with CPO (STM) until the end of storage (48 hours) is still under the level of food safety (105 CFU/g), whereas the amount of microorganism in Torbangun soup which added with vitamin A (STA) and Torbangun soup control (STK) are over the level of food safety. However, antioxidant supplementation has no directly relationship with the amount of microorganism. Results from HPLC analysis shows that the vitamin A retention in vitamin A which influenced by cooking is 30.38%, it is lower than the retention which influenced by storage for 48 hours (90.95%). The ß-carotene retention in STM which influenced by cooking is 94.59%, it is higher than the retention which influenced by storage for 48 hours (39.19%). However, the oxidation rate of STA (1217.84 RE/Minute) and TM (75.87 RE/minute) which are influenced by cooking is still higher than the oxidation rate of STA (0.64 RE/minute) and STM (0.23 RE/minute) which are influenced by cooking. Total retention of vitamin A in STA is 27.63%, whereas in STM is 97.93%. Besides, the ß-carotene retention from Torbangun leaves in STK which is influenced by cooking is 14.13%. Breastfeeding women need to consume 100 g STA and STM. Thus, by consuming 100 g STA will 5 times (4157.93 RE) and by consuming 100 g STM will 1.2 times (984.76 RE) fulfill the vitamin A requirements. Those amounts are still lower than upper lower tolerance (UL), that is 5000 RE.
(13)
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bambang Tri Waluyo dan Titik Wahyuni. Pendidikan TK ditempuh di Taman Kanak-Kanak PTPN VIII Tanjung Morawa, Sumatera Utara dari tahun 1989-1990 dan Taman Kanan-Kanak Bhayangkari Curug, Tangerang dari tahun 1990-1991. Pendidikan SD ditempuh di SD Islamic Village, Karawaci, Tangerang dari tahun 1991-1997. Penulis melanjutkan pendidikan SLTP di SLTP Dian Harapan Karawaci, Tangerang dari tahun 1997-1998, dan di SLTP Negeri 1 Subang, Jawa Barat dari tahun 1998-2000. Pendidikan SMU ditempuh di SMU Negeri 1 Subang, Jawa Barat dari tahun 2000-2003.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga pada tahun 2003 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada periode 2003/2004 pernah menjadi anggota Biro Hubungan Masyarakat Forum Keluarga Masjid GMSK (FKMG). Pada periode 2004/2005 pernah menjadi anggota Biro Kajian Strategis Himpunan Mahsiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA). Sejak tahun 2004-2006 penulis aktif sebagai staf Divisi Kajian Strategis Badan Konsultasi Gizi (BKG) dan pada periode 2006/2007 pernah menjabat sebagai ketua Divisi Kajian Strategis Badan Konsultasi Gizi (BKG). Pada tahun 2007 penulis menjadi asisten untuk mata kuliah Metabolisme Zat Gizi.
(14)
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. dan Bapak Drh. Rizal Damanik M.Rep.Sc, PhD sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan semangat dan masukan ilmu yang sangat berarti dan dengan sabar membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian tugas akhir ini.
2. Keluargaku tersayang : Papa, Mama, Eca, Ipam, dan Kkku sebagai sumber semangat, motivasi, finansial dan kasih sayang yang tidak pernah habis 3. Pak Mashudi yang telah banyak membantu dan menjadi teman untuk
berdiskusi tentang penelitian ini.
4. Ibu Ir. Cesilia Meti Dwiriani, Msc sebagai pembimbing akademik. 5. Ibu Dr.Ir Lilik Kustiyah, MS sebagai dosen pemandu seminar.
6. Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS sebagai dosen penguji yang telah begitu banyak memberikan saran.
7. Bu Dini, Mas Yudi, Pak Lalu, dan Pak Danu di Balitpasca Panen, Cimanggu Bogor atas bantuan dan bimbingannya.
8. Seluruh dosen dan staf Departemen GM (Teh Popon, Bu Yati, Teh Yati, Pak Ugan, dan Mas Rena) yang telah mendidik, membimbing, dan membantu dengan penuh kasih sayang, serta canda ria.
9. Temanku senasib dan sepenanggungan dalam suka dan duka (Betsy dan Deni Alam’39) : Andi, Inoel, Malie, Bambang, Ade, Wewew, Vivi, Tika, Tegar, Maning, Nining, MeiMei, Aris, Yudith, Sendi, dan seluruh GMSK’40. Terima kasih atas kenangan yang begitu indah.
10. Teman-teman di HIMAGITA dan BKG yang telah memberikan warna berbeda pada dunia.
11. Kakak-kakakku GMSK’37 (Mbak Nisa’14, Mbak Ama, dan Mbak Mada), GMSK’38, GMSK’39, dan Adik-Adikku GMSK’41,GM’42, serta IKK’42.
12. Semua Pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, memberi bantuan spiritual yang tidak dapat terhitung dan tergantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Juli 2007
(15)
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
PENDAHULUAN ... 1
Latar belakang... 1
Tujuan ... 2
Manfaat ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Daun Torbangun ... 3
Santan kelapa ... 5
Reaksi oksidasi ... 8
Antioksidan ... 9
Vitamin A ... 10
Minyak Sawit Kasar ... 12
Mikrobiologi pangan ... 17
BAHAN DAN METODE ... 23
Waktu dan tempat ... 23
Bahan dan alat ... 23
Metode penelitian ... 24
Pengolahan dan analisis data ... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
Uji kimiawi kerusakkan lemak ... 31
Nilai pH ... 31
Total Asam Tertritasi (TAT) ... 34
Bilangan peroksida ... 37
Thiobarbituric acids (TBA) ... 41
Hasil analisis Vitamin A dan ß-karoten ... 45
Pengaruh pengolahan dan penyimpanan ... 45
Peranan STA dan STM dalam memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) Vitamin A Uji organoleptik ... 48
Hasil uji mikrobiologi ... 49
(16)
Halaman
Sayur Torbangun vitamin A ... 51
Sayur Torbangun MSK ... 52
Hasil uji hedonik organoleptik ... 55
Aroma ... 55
Warna ... 57
Kekentalan ... 59
Tekstur ... 61
Kelebihan dan kekurangan penggunaan tablet vitamin A dan MSK sebagai antioksidan ... 63
KESIMPULAN DAN SARAN ... 65
Kesimpulan ... 65
Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 67
(17)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan daun katuk ... 4
2. Komposisi zat gizi sayur sop daun Torbangun (150 g) ... 5
3. Pengaruh penambahan air terhadap komposisi kimia santan ... 6
4. Kandungan asam lemak minyak sawit kasar ... 13
5. Karakteristik minyak sawit kasar ... 13
6. Komposisi karotenoid dalam minyak sawit kasar ... 16
7. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun pada berbagai jenis analisis ... 25
8. Hasil analisis proksimat sop daun Torbangun ... 25
9. Contoh untuk analisis HPLC ... 28
10. Kandungan vitamin A pada sop daun Torbangun dan bahan penyusunnya (RE/100 g) ... 46
(18)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Daun Torbangun. ... 3
2. Reaksi umum proses oksidasi lemak dan minyak ... 8
3. Struktur vitamin A ... 11
4. Tablet vitamin A 20.000 IU merek Kimia Farma ... 11
5. MSK di dalam kemasan botol ... 13
6. Struktur umum ß-karoten ... 17
7. Diagram alir penelitian ... 24
8. Diagram alir proses pengolahan sayur sop daun Torbangun ... 27
9. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai pH sop daun Torbangun ... 31
10. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap nilai pH sop daun Torbangun ... 32
10. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) sop daun Torbangun ... 34
11. Pengaruh sumber antioksidan terhadap nilai TAT sop daun Torbangun ... 36
12. Pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai TAT sop daun Torbangun ... 37
13. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai bilangan peroksida sop daun Torbangun ... 38
14. Pengaruh interaksi sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai bilangan peroksida sop daun Torbangun ... 38
15. Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Thiobarbituric acids (TBA) sop daun Torbangun ... 42
16.Pengaruh interaksi sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai Thiobarbituric acids (TBA) sop daun Torbangun... 43
17.Perubahan jumlah mikroorganisme sayur Torbangun kontrol (STK) ... 50
18.Perubahan jumlah sayur Torbangun dengan penambahan tablet vitamin A (STA) ... 52
20. Perubahan jumlah mikroorganisme sayur Torbangun dengan penambahan MSK (STM) ... 54
21. Nilai median uji aroma pada jam ke-12 ... 56
22. Nilai median uji aroma pada jam ke-36 ... 56
23. Nilai grand median uji aroma ... 57
(19)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
25. Nilai median uji warna pada jam ke-36 ... 58
26. Nilai grand median uji warna ... 59
27. Nilai median uji kekentalan jam ke-12 ... 60
28. Nilai median uji kekentalan pada jam ke-36 ... 60
29. Perbandingan nilai median uji kekentalan pada lama penyimpanan ke-12 jam dan ke-36 jam ... 61
30. Nilai median uji tekstur pada jam ke-12 ... 62
(20)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perhitungan konversi tablet vitamin A yang dibutuhkan/Kg bahan . 71
2. Metode analisis uji mutu kimiawi kerusakan lemak ... 72
3. Prosedur analisis HPLC vitamin A dan ß-karoten ... 74
4. Perhitungan retensi vitamin A akibat proses pengolahan, penyimpanan, dan retensi total pada STA ... 75
5. Perhitungan retensi ß-karoten akibat proses pengolahan, penyimpanan, dan retensi total pada STM ... 77
6. Uji mikrobiologi dengan metode Total Plate Count (TPC) ... 79
7. Lembar penilaian organoleptik uji hedonik ... 80
8. Analisis data hasil uji mutu kimiawi kerusakan lemak ... 81
9. Perhitungan retensi vitamin A daun Torbangun pada STK... 86
10. Tingkat kecukupan vitamin A dari STA dan STM ... 87
11. Perhitungan jumlah mikroorganisme ... 88
12. Hasil analisis data organoleptik uji hedonik ... 90
13. Perhitungan biaya penggunaan antioksidan tablet vitamin A dan MSK ... 94
14. Metode analisis proksimat ... 95
15. Tabel data sampel yang dianalisis dengan metode HPLC ... 97
16. Gambar peak analisis dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) pada Berbagai Jenis Perlakuan Vitamin A dan ß-karoten ... 98
(21)
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kepercayaan terhadap suatu jenis makanan yang dapat bermanfaat selama masa kehamilan dan menyusui berkembang luas di dalam kepercayaan wanita tradisional di Indonesia (Damanik et al. 2004). Makanan merupakan sumber utama dalam memenuhi kebutuhan gizi janin yang ada di dalam kandungan dan juga bayi yang telah dilahirkan melalui Air Susu Ibu (ASI). Sebagai contoh, wanita Batak yang sedang menyusui di Kabupaten Simalungun, Sumetera Utara mempunyai tradisi dan kepercayaan bahwa dengan mengkonsumsi daun Torbangun selama satu bulan setelah melahirkan akan meningkatkan produksi ASI (Damanik et al. 2001). Tradisi tersebut telah berjalan selama ratusan tahun dan sampai sekarang masih terus dilakukan.
Daun Torbangun tersebut diolah menjadi makanan yang dikenal dengan sayur sop daun Torbangun. Proses pengolahan sayur sop daun Torbangun biasanya dilakukan oleh ibu, ibu mertua, atau suami (Damanik et al. 2001). Pada masa kini, daun Torbangun dimasak dengan menggunakan santan dan ditambahkan potongan ayam atau ikan untuk meningkatkan palatabilitas.
Selain menambah cita rasa, pengunaan santan dalam pembuatan sop daun Torbangun dapat menyebabkan kerugian yaitu mudah teroksidasi karena kandungan lemaknya yang tinggi. Selanjutnya, selama penyimpanan, kerusakan fisik dan kimia dapat terjadi. Selain itu, penurunan mutu selama penyimpanan dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba yang tumbuh pada sayur santan daun Torbangun.
Antioksidan merupakan senyawa yang terdapat secara alami pada hampir semua bahan pangan. Senyawa tersebut berfungsi untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan karena terjadinya reaksi oksidasi lemak atau minyak yang menjadikan bahan pangan beraroma tengik. Walaupun antioksidan terdapat dalam bahan pangan secara alami, jika bahan pangan tersebut mengalami proses pengolahan, maka akan terjadi degradasi kimia dan fisika, sehingga fungsinya sebagai antioksidan semakin berkurang. Oleh karena itu, perlu ditambahkan zat antioksidan yang memberikan dua keuntungan, pada satu sisi mampu berfungsi sebagai antioksidan sehingga dapat meningkatkan keawetan, dan di sisi lain mampu memenuhi kebutuhan gizi mikro (vitamin dan mineral).
(22)
Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang dikenal sebagai zat gizi yang sangat diperlukan tubuh. Selain itu, vitamin A dapat berperan sebagai antioksidan dan mampu meningkatkan sistem imunitas tubuh. Menurut La Chance (1996) yang diacu dalam Muchtadi dan Astawan (2001), dengan konsumsi 3,2 mg karoten/hari mampu memberikan efek protektif. Salah satu bahan pangan yang kaya akan β-karoten sebagai pro vitamin A adalah minyak sawit kasar (MSK).
Pengkajian mengenai pengaruh penambahan antioksidan vitamin A dan karotenoid yang banyak terdapat pada MSK terhadap keawetan sayur sop daun Torbangun belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam aspek ini dalam suatu penelitian dengan harapan hasilnya dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Tujuan
Tujuan Umum :
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh penambahan vitamin A dan minyak sawit kasar (MSK) sebagai antioksidan terhadap keawetan sop daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour.).
Tujuan khusus :
1. Menetapkan konsentrasi antioksidan (vitamin A dan MSK) yang ditambahkan dan lama penyimpanan maksimal sayur sop daun Torbangun.
2. Mempelajari pengaruh antioksidan terhadap kerusakan lemak selama penyimpanan.
3. Menganalisis kadar vitamin A sayur sop daun Torbangun selama penyimpanan.
4. Menganalisis jumlah mikroorganisme dengan metode Total Plate Count
(TPC) dalam sayur sop daun Torbangun.
5. Mempelajari tingkat kesukaan sayur sop daun Torbangun
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk pengembangan produksi sayur santan daun Torbangun. Selain itu diharapkan dengan adanya penelitian ini sayur sop daun Torbangun dapat diterima oleh setiap kalangan masyarakat bukan hanya etnis Batak saja.
(23)
TINJAUAN PUSTAKA Daun Torbangun
Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) termasuk dalam bangsa solanes, suku labiatae, dan marga coleus (de Padva et al 1999). Tanaman ini memiliki nama-nama yang berbeda untuk setiap daerah dan suku bangsa, yaitu ajeran atau ajiran (Sunda), daun kucing (Jawa), Torbangun (Batak), sukan (melayu), daun kambing (Madura), iwak (Bali), dan kunu etu (Timor) (Syamsuhidayat & Hutapea 1991, diacu dalam Puspitasari 2003).
Daun Torbangun mempunyai sifat khas, yakni mampu menghangatkan tubuh. Daun Torbangun juga mampu menetralkan, dan membersihkan darah. Gambar daun Torbangun ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1 Daun Torbangun. Deskripsi botani
Daun Torbangun merupakan tanaman semak yang menjalar. Batangnya berkayu, lunak, dan beruas-ruas. Ruas yang menempel di tanah akan tumbuh akar, batang muda berwarna hijau pucat. Daun tunggal, mudah patah, berbentuk bulat telur, tebal, tepinya beringgit, berambut, panjang 6-7 cm, lebar 5-6 cm, bertulang menyirip, dan berwarna hijau muda. Bunga majemuk, berbentuk tandan, mahkota bentuk mangkok berwarna ungu. Bagian yang dapat digunakan yakni seluruh bagian tumbuhan. Jarang berbunga namun mudah sekali dibiakkan dengan stek dan cepat berakar di dalam tanah (Heyne 1987, diacu dalam Puspitasari 2003).
Komposisi zat gizi daun Torbangun
Komposisi zat gizi daun Torbangun yang terdapat dalam Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia tahun 1990 menyebutkan bahwa dalam 100 g daun Torbangun mengandung kalsium sebesar 279 mg, besi sebesar 13.6
(24)
mg, dan karoten total sebesar 13288 µkg. Kandungan kalsium, besi, dan karoten total pada daun Torbangun tersebut lebih besar dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus). Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi daun Torbangun dan katuk tercantum dalam Tabel 1 di bawah ini
Tabel 1 Komposisi zat gizi daun Torbangun dan daun katuk
Komposisi zat gizi Daun Torbangun Daun katuk Energi (kkal)
Protein (g) Lemak (g) Hidrat arang (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Phosfor (mg) Besi (mg)
Karoten total (µkg) Vitamin A
Vitamin B1 Vitamin C Air
Berat dapat dimakan 27 1.3 0.6 4.0 1.0 1.6 279 40 13.6 13288 0 0.16 5.1 92.5 66 59 6.4 1.0 9.9 1.5 1.7 233 98 3.5 10020 0 0 164 81 42 Sumber: Mahmud et al (1990)
Pemanfaatan daun Torbangun
Pemanfaatan daun Torbangun terutama dilakukan oleh masyarakat etnis Batak dalam bentuk olahannya, yakni sayur sop daun Torbangun. Masyarakat etnis batak percaya bahwa sayur sop daun Torbangun mampu meningkatkan produksi air susu ibu (ASI) (Damanik et al. 2001 & 2004).
Hal tersebut di atas ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah. Berdasarkan hasil penelitian Damanik (2006) bahwa pada saat minggu kedua (hari ke 14 hingga ke 28 setelah suplementasi sayur sop daun Torbangun), wanita yang telah mengkonsumsi sayur sop daun Torbangun tetap mengalami peningkatan kuantitas ASI. Selain itu, daun Torbangun juga mampu meningkatkan kesehatan wanita pasca melahirkan, berperan sebagai uterine cleansing agent, dan dalam bentuk sop daun Torbangun, mampu menggantikan energi yang hilang selama
(25)
proses melahirkan (Damanik, et al. 2001). Komposisi zat gizi sayur sop daun Torbangun dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi zat gizi sayur sop daun Torbangun (150g)
Zat gizi Rata-rata ± SD Lemak (g)
Protein (g) Karbohidrat (g) Air (g)
Mineral (mg) Seng Besi Kalsium Magnesium Pottasium
16,3 ± 4,6 2,4 ± 0,1 5,3 ± 0,3 121,5 ± 14,7
2,8 ± 0,1 6,8 ± 0,1 393,1 ± 6,5 124,1 ± 6,3 1219,2 ± 80,7 Sumber: Damanik et al. (2006)
Santan Kelapa
Santan kelapa adalah sebutan yang digunakan untuk cairan yang dihasilkan dari proses ekstraksi daging kelapa yang telah diparut secara manual atau menggunakan alat, dengan atau tanpa penambahan air (Gonzales 1990). Definisi lain dari santan kelapa adalah produk cair yang diperoleh dengan menyaring daging buah kelapa (Cocos nucifera) dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan (SNI 01-3816-1995 tentang santan kelapa). Santan berbentuk emulsi lemak dalam air dengan ukuran partikel lebih besar dari 1µ sehingga berwarna putih susu (Kirk & Othmer 1950)
Santan kelapa biasanya dihasilkan dari buah kelapa yang telah matang, berusia sekitar 12 bulan. Pada usia tersebut, daging buah kelapa telah mengeras dan tebal, dengan komposisi yang dimiliki adalah : kelembaban 50%, minyak 34%, protein 3.5%, serat 3%, abu 2.2%, dan karbohidrat 7.3%. Santan kelapa banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam mengolah ikan, daging sapi, daging unggas, dan sayur-sayuran sebagai makanan. Selain itu, santan kelapa juga dapat digunakan dalam proses pembuatan kue (Gonzales 1990).
Santan kelapa terdiri atas globula-globula kecil yang terdapat dalam fase minyak yang terdispersi di dalam air. Globula-globula tersebut hampir sama ukurannya dengan globula pada susu sapi (Gonzales 1990).
(26)
Emulsi santan relatif stabil karena memiliki fosfolipid, lesitin, dan sepalin yang diketahui berfungsi sebagai stabilizer (Gonzales 1990). Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh ukuran partikel, perbedaan densitas kedua fase, viskositas, muatan partikel, jumlah dan jenis emulsifier serta suhu penyimpanan (Soemaatmadja 1974). Lemak dalam santan, selain sebagai pelarut vitamin A, D, E, dan K juga dapat menambah citarasa bahan pangan atau memberi rasa gurih pada makanan dan menambah kalori (Winarno 1997).
Kualitas santan kelapa selain dipengaruhi oleh teknologi dalam pemrosesan, juga dipengaruhi oleh perbedaan varietas, tingkat kematangan buah kelapa, ukuran partikel daging buah, suhu pemrosesan, jumlah air yang digunakan, dan tekanan yang diberikan saat proses ekstraksi. Rasio berat daging buah kelapa dengan berat air yang terbaik adalah 1 : 3 agar ekstraksi berjalan baik, sehingga lemak yang tersisa pada ampas relatif rendah (Somaatmadja 1974). Penambahan air sangat mempengaruhi komposisi kimia santan. Tabel 3 menunjukkan komposisi kimia santan murni dan santan dengan penambahan air.
Tabel 3 Pengaruh penambahan air terhadap komposisi kimia santan.
Zat gizi dan kalori Santan murni + air (1 : 1) Kalori (Kal) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Kalsium (mg) Phospor (mg) Vitamin A (gram) Air (%) 324.0 4.2 34.3 5.6 14.0 1.9 0.0 54.9 122.0 2.0 10.0 7.6 25.0 0.1 0.0 80.0 Sumber: Cheosakul (1967) diacu dalam Somaatmadja (1974
Hasil penelitian Gonzales (1990) menunjukkan bahwa keefektifan dalam penambahan air ke dalam daging buah kelapa bergantung pada suhu air dan lama pencampuran. Efesiensi ekstraksi santan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan lama waktu pencampuran, yakni lebih dari 80o C saat protein mulai terkoagulasi.
Menurut Muchtadi (1989), bila dibandingkan dengan proses perebusan, pengukusan, dan penumisan, maka pemasakan sayuran di rumah tangga, akan berpengaruh dalam menurunkan kadar antioksidan alami sayuran. Kadar antioksidan yang mengalami penurunan terjadi pada vitamin C, alfa-tokoferol, dan senyawa fenol yang terkandung dalam sayuran. Namun, ternyata pemasakan dengan menambahkan santan, dapat mempertahankan kadar
(27)
alfa-tokoferol yang mungkin disebabkan karena adanya tambahan antioksidan ini dari minyak kelapa.
Kerusakan santan kelapa
Santan merupakan produk pangan yang mengandung kadar air, protein dan lemak cukup tinggi, sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme pembusuk dan santan menjadi mudah rusak. Kerusakan tersebut antara lain pecahnya emulsi santan, timbulnya aroma tengik, dan perubahan warna menjadi agak coklat (Soemaatmadja 1974).
Gonzales (1990) menyatakan bahwa selama santan disimpan atau didiamkan, butir lemak yang diselubungi lapisan protein dan karbohidrat akan memisah ke bagian atas dan membentuk kepala santan, sedangkan air tertinggal di bawah. Pemanasan santan juga bertujuan untuk menggumpalkan protein dan memecah emulsi santan, sehingga butir minyak bergabung serta menguapkan airnya dan diperoleh minyak. Disamping itu, pemanasan juga dapat membunuh mikroba dan menginaktivasi enzim (Bailey 1951).
Santan kelapa segar memiliki pH = 6 dan termasuk ke dalam makanan dengan pH rendah. Gonzales (1990) melaporkan bahwa densitas dan pH santan dipengaruhi oleh suhu, sedangkan kekentalan dan tegangan permukaan santan akan meningkat tetap pada suhu di atas 60oC lalu kemudian menurun secara perlahan. Hal tersebut mengacu pada terjadinya koagulasi protein yang terjadi mulai suhu 60oC. Namun, menurut Hagenmaier (1980) yang diacu di dalam Gonzales (1990) menyatakan bahwa koagulasi protein dimulai pada saat suhu 80oC. Protein santan seperti albumin, globulin, prolamin, dan glutelin mudah terkoagulasi oleh panas dan mengendap pada pH = 4.
Santan kelapa adalah emulsi dari lemak, protein, dan karbohidrat dalam air yang kemantapannya tidak bertahan lama. Dalam keadaan normal, santan kelapa hanya tahan disimpan selama 24 jam. Setelah itu santan akan mudah pecah dan menimbulkan bau serta rasa yang tidak sedap. Kandungan air dan protein yang tinggi di dalam santan dapat menyebabkan santan mudah mengalami kerusakan. Dengan adanya air, lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Adanya asam-asam lemak akan menimbulkan bau dan rasa tengik .
(28)
Reaksi oksidasi
Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas. Rancidity terbentuk karena adanya aldehida, bukan peroksida (Ketaren 1986). Menurut Nawar (1996) reaksi umum proses oksidasi lemak dan minyak diperlihatkan oleh Gambar 2.
Initiator
→
k1 radikal bebas (R?, ROO?) Initiation (Inisiasi) (1) R? + O2
→
2
k
ROO? (2)
ROO? + RH
→
k3 ROOH + R? Propagation (perambatan) (3)R? + R?
→
k4 (4) R? + ROO?
→
k5 nonradical products (5) ROO? + ROO?
→
k6 Termination (penghentian) (6)Gambar 2 Reaksi umum proses oksidasi lemak dan minyak (Nawar 1996)
Bentuk kerusakan lemak, terutama ketengikan yang paling penting disebabkan oleh aksi oksigen udara terhadap lemak. Dalam bahan pangan berlemak, unsur utama yang mudah mengalami oksidasi spontan adalah asam lemak tidak jenuh dan sejumlah kecil persenyawaan yang merupakan unsur yang cukup penting (Ketaren 1986).
Menurut Winarno (1997), kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh proses otooksidasi radikal asam lemak tak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porifirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase.
Reaksi oksidasi dapat mengakibatkan berbagai macam kerugian, kerugian-kerugian tersebut antara lain adalah: 1) penurunan nilai ekonomi yang cukup besar, 2) mempengaruhi efisiensi dari tahap-tahap pengolahan, 3) menimbulkan citarasa tengik yang tidak disukai konsumen, 4) perubahan warna,
(29)
kerusakan vitamin, penurunan nilai gizi, dan adanya reaksi polimerisasi (Sulaeman 1990).
Antioksidan
Salah satu cara yang paling sering dilakukan untuk mencegah terjadinya oksidasi adalah penambahan antioksidan ke dalam bahan pangan berlipid. Penggunaan antioksidan ini bertujuan untuk meminimalkan ketengikan, menghambat pembentukan produk oksidasi yang bersifat toksik yang berdampak pada penurunan kualitas gizi, dan untuk memperpanjang masa simpan makanan (Fatimah 2005).
Antioksidan yang digunakan dalam bahan pangan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) aktif pada konsentrasi rendah; 2) tidak menimbulkan keracunan; 3) tidak menimbulkan bau, rasa, dan warna pada bahan pangan; 4) mudah dicampur pada bahan pangan; 5) mudah diperoleh dan murah; 6) mudah dideteksi, diidentifikasi, maupun diukur (Ludenberg 1961 diacu dalam Priatna 1992).
Antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dikelompokkan sebagai pengurai peroksida dan penangkap radikal bebas. Sulfur dan fosfor dalam bentuk sulfida, dithiocarbamate, fosfat dan dithiophosphate berfungsi sebagai pengurai peroksida. Nitrogen dan oksigen dalam inhibitor sebagai
arylamines dan phenol berfungsi sebagai penangkap radikal bebas.
Winarno (1997) menyatakan bahwa adanya antioksidan dalam lemak akan mengurangi kecepatan proses oksidasi. Antioksidan terdapat secara alamiah dalam lemak nabati, dan kadang-kadang sengaja ditambahkan. Ada dua macam antioksidan, yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder.
Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentuk radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang termasuk ke dalam golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula buatan. Antioksidan primer yang berasal dari alam yang sering ditemukan adalah tokoferol, sedangkan antioksidan primer yang berasal dari bahan sintetik atau buatan misalnya adalah Butylated hydroxyanisole (BHA), Butylated hydroxytoluene (BHT), Propylgallate (PG), dan NDGA (Nordihidroquairetic Acid). Antioksidan sintetik yang ditambahkan ke dalam lemak atau bahan pangan untuk mencegah ketengikan biasanya adalah senyawa-senyawa fenol yang biasanya agak beracun. Oleh karena itu, penambahan antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, antara lain tidak berbahaya bagi kesehatan (Winarno 1997).
(30)
Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam (sequestran).
Menurut Surai (2003) ada bermacam-macam tanggapan sistem antioksidan dalam melindungi sel-sel dari radikal bebas, sistem tersebut meliputi:
þ Antioksidan yang larut dalam lemak alami (vitamin A, vitamin E, karotenoid, asam urat, dan lain-lain).
þ Antioksidan yang larut dalam air (asam askorbat, asam urat, dan lain-lain).
þ Enzim-enzim antioksidan (katalase, glutathione peroksidase, dan superoksida dismutase)
þ Sistem redoks tiol yang terdiri dari sistem glutathion
Ruxton (1994) dalam Subekti (1997) menyatakan bahwa istilah zat gizi antioksidan mengacu kepada kemampuan dari suatu zat gizi untuk mencegah kerusakan oksidatif pada sel. Sebagai contoh adalah ß-karoten, vitamin C, selenium, dan vitamin E.
Stabilitas antioksidan terhadap panas
Pemilihan antioksidan yang tahan terhadap pemanasan sangat penting untuk bahan pangan berlemak yang menggunakan suhu tinggi dalam proses pembuatannya atau dalam aplikasinya. Apabila digunakan antiosidan yang tidak tahan terhadap panas akan menyebabkan mutu bahan pangan tidak seperti yang diinginkan karena umur simpan bahan tersebut tidak dipenuhi.
Senyawa-senyawa antioksidan mempunyai ketahanan terhadap panas yang berbeda-beda. Menurut Francis (1985) dalam Andarwulan dan Fardiaz (1994) asam askorbat, karotenoid (terutama ß-karoten) dan tokoferol relatif tidak tahan terhadap panas, udara dan oksigen. Namun, senyawa-senyawa golongan flavonoid dan tanin relatif tahan panas.
Vitamin A
Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekusor atau provitamin A atau karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol. Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan, vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang (Almatsier 2000). Gambar vitamin A ditunjukkan oleh Gambar 3.
(31)
Menurut Winarno (1997), pada umumnya vitamin A mempunyai sifat stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Namun, mempunyai sifat yang mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar, dan lemak yang sudah tengik.
Gambar 3 Struktur vitamin A (Winarno 1997)
Diacu dalam Almatsier (2000), vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi pada waktu menggoreng dapat merusak vitamin A, begitupun oksidasi pada minyak yang tengik. Ketersediaan biologik vitamin A dapat meningkat dengan hadirnya vitamin E dan antioksidan lain.
Gambar 4 Tablet vitamin A 20.000 IU merek Kimia Farma
Berdasarkan Muhilal dan Sulaeman (2004), angka aman untuk kecukupan gizi vitamin A yang dianjurkan bagi wanita yang berusia diatas 10 tahun adalah 500 RE. Bagi wanita menyusui dengan usia bayi 0-12 bulan kebutuhannya ditambah 350 RE.
Hanya vitamin A dalam bentuk retinol dan retinoid saja yang dapat menyebabkan keracunan akut, karena penyerapannya cukup efisien (mendekati 90%) walaupun kecukupan gizinya baik. Karoten dan provitamin A lainnya yang
(32)
berasal dari makanan, sifatnya tidak beracun, karena efisiensi penyerapannya menurun jika intiknya meningkat. Gejala kelebihan vitamin A akan terjadi bila mengkonsumsi dalam bentuk vitamin A yang berlebih. Karoten tidak dapat menimbulkan gejala kelebihan, karena absorpsi karoten menurun bila konsumsi tinggi. Selain itu, sebagian karoten yang diserap tidak diubah menjadi vitamin A, akan tetapi disimpan di dalam lemak. Bila lemak di bawah kulit mengandung banyak karoten, warna kulit akan terlihat kekuningan (Almatsier 2000). Pada orang dewasa yang mengalami keracunan, gejalanya adalah mual, muntah, tekanan cairan cerebrospinal yang meningkat, pusing, penglihatan kabur, dan penurunan koordinasi (Allen & Haskell 2002).
Makanan yang kaya akan vitamin A dapat mencegah pembentukan radikal oksigen dan peroksida lemak, dan ß-karoten sangat efisien dalam menetralisir radikal oksigen. Vitamin A bersama dengan vitamin C, vitamin E, dan selenium dapat menetralisir efek peroksida dan mengurangi karsinogenesis (Weisburger 1991, diacu dalam Subekti 1997).
Degradasi dari vitamin A (retinoid dan karotenoid aktif) pada umumnya setara dengan degradasi oksidatif dari lemak tak jenuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi oksidasi lemak juga mampu meningkatkan degradasi vitamin A, baik pada oksidasi langsung maupun efek tak langsung dari radikal bebas (Fennema 1996).
Degradasi oksidatif dari vitamin A dan karotenoid dalam makanan dapat terjadi melalui peroksidasi langsung atau penyebab tidak langsung karena hasil sampingan oksidasi asam lemak berupa radikal-radikal bebas. β-karoten dan mungkin karoten lain memiliki kemampuan sebagai antioksidan dibawah kondisi kekurangan oksigen, dan mampu sebagai prooksidan dibawah kondisi konsentrasi oksigen tinggi (Fennema 1996).
Minyak Sawit Kasar
Minyak Sawit Kasar (MSK) merupakan hasil terpenting dari tanaman sawit. MSK terbagi menjadi dua, yakni inti sawit kasar yang dapat diolah lebih lanjut menjadi Processed Palm Oil (PPO) dan minyak inti sawit. Bentuk-bentuk olah lanjut MSK yang telah banyak dikembangkan secara komersial yang menunjukkan besarnya nilai manfaat MSK. Contoh MSK yang telah dikemas dalam botol, ditunjukkan oleh Gambar 5.
(33)
Gambar 5 Minyak sawit kasar.
Minyak sawit memiliki ketahanan terhadap oksidasi, tidak terbakar, dan tidak berbusa pada suhu tinggi (Bakrie 1998). Oleh karena itu, MSK sangat tepat dipakai untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga, industri, hotel, dan restauran setelah dilakukan pemurnian terlebih dahulu.
MSK diperoleh dari bagian mesokarp dan bagian inti (kernel) yang disebut minyak inti sawit. MSK tersusun atas unsur-unsur C, H, dan O seperti jenis minyak yang lainnya. Komposisi asam lemak MSK dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan Tabel 5 menunjukkan karakteristik MSK. Unsur lainnya dari MSK, seperti gum (getah atau lendir) yang terdiri dari pospatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin serta asam lemak bebas (Ketaren 1986).
Tabel 4 Kandungan asam lemak dalam MSK
Jenis asam lemak Jumlah (%) Asam miristat
Asam palmitat Asam stearat Asam oleat Asam linoleat
0,9 – 1,4 % 41,9 – 46,7 % 4,3 – 5,1 % 37,3 – 40,5 % 9,1 – 10,6 %
Sumber Bernardini (1983) diacu dalam Hendrawati (2001)
Tabel 5 Karakteristik MSK
Bilangan Iod Melting point
Bilangan penyabunan Fraksi tak tersabunkan Fraksi asam lemak bebas
50 – 58 27 – 500 C 195 – 205 0,5 – 2 3,7
Sumber Bernardini (1983) diacu dalam Hendrawati (2001)
Seperti umumnya minyak dan lemak yang dapat dikonsumsi, minyak sawit dan turunannya, seperti palm olein dan palm stearin mudah dicerna, diserap, dan digunakan pada proses metabolisme normal. Minyak sawit memiliki kandungan asam lemak yang komposisinya merupakan 51% asam lemak tak jenuh dan 49% asam lemak jenuh, sedangkan palm olein mempunyai lebih dari 56% asam lemak tak jenuh (Anonymous 2005).
(34)
Minyak sawit kaya akan komponen-komponen mikro yang memperkaya keunikan dan keragaman zat gizinya. Yang terpenting diantaranya adalah kandungan vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) dan karotenoid (umumnya alfa dan ß-karoten) (Anonymous 2005).
MSK adalah sumber terbanyak karotenoid alami, dengan konsentrasi antara 700-1000 ppm. Konsentrasi itu setara dengan 15 kali karotenoid yang terdapat pada wortel. Karotenoid yang terdapat di dalam minyak sawit terutama adalah ß-karoten (55%), alfa karoten (35%), dan sejumlah kecil likopen,
phytoene, dan zeacarotenes. Karotenoid alami dari minyak sawit ini mempunyai efek sebagai antioksidan dan anti-kanker, seperti yang telah diuji coba pada hewan percobaan (Anonymous 2005).
Mutu minyak sawit selain dipengaruhi oleh varietas tanaman, juga dipengaruhi olah kondisi proses ekstrasi dan kondisi penanganan setelah proses. Faktor-faktor mutu yang penting dalam penilaian mutu minyak sawit antara lain kadar asam lemak bebas, kadar air, kadar kotoran, dan terkadang bilangan Iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan dan warna (Ketaren 1986).
Dalam MSK masih terkandung kotoran-kotoran yang dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kotoran yang tidak larut dalam minyak (Fat Insoluble)
2. Kotoran yang terdiri dari biji atau partikel jaringan, lendir dan getah, serat-serat yang berasal dari kulit sawit, abu atau mineral (Fe, Cu, Mg, dan Ca) serta air dalam jumlah kecil.
3. Kotoran yang berbentuk suspensi koloid dalam minyak
Kotoran ini terdiri dari fosfolipid, karbohidrat, senyawa yang mengandung nitrogen, dan senyawa kompleks lainnya.
4. Kotoran yang terlarut dalam minyak (Fat Soluble Compound)
Kotoran yang termasuk dalam golongan ini terdiri dari asam lemak bebas, sterol, hidrokarbon, mono, dan digliserida yang dihasilkan dari hidrolisa trigliserida, zat warna yang terdiri dari karotenoid (total karoten yang terdapat dalam MSK mencapai 800-1000 ppm), klorofil. Zat warna lain yang dihasilkan dari proses oksidasi dan dekomposisi minyak yang terdiri dari keton, aldehida, dan resin serta zat lain yang belum dapat diidentifikasikan (Ketaren 1986).
(35)
Kerusakan minyak
Pemanasan minyak dengan menggunakan suhu tinggi dan dengan adanya oksigen, akan merusak asam-asam lemak tak jenuh yang ada di dalam minyak. Kerusakan minyak akibat pemanasan dapat dilihat dari kenaikan kekentalan, kenaikan bilangan peroksida, kenaikan kandungan asam lemak bebas, dan penurunan bilangan iod (Perkins 1967, diacu dalam Hendrawati 2001).
Menurut Ketaren (1986), kerusakan minyak karena pemanasan pada dasarnya disebabkan oleh beberapa reaksi, antara lain reaksi oksidasi, polimerasi, dan hidrolisis. Ketengikan pada minyak akibat proses oksidasi terjadi karena reaksi antara oksigen di udara dengan asam lemak tak jenuh dalam minyak. Proses oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar, selama proses pengolahan menggunakan suhu tinggi.
Hasil oksidasi minyak tidak hanya mengakibatkan rasa getir dan bau tengik, tetapi juga menurunkan nilai gizi, karena merusakan vitamin (karoten dan tokoferol) serta asam lemak esensial dalam lemak. Oksidasi terhadap ikatan tidak jenuh dalam asam lemak terjadi pada suhu kamar hingga 1000 C dan setiap satu ikatan tidak jenuh dapat mengabsorpsi dua atom oksigen, sehingga terbentuk senyawa peroksida yang labil (Ketaren 1986).
Kerusakan minyak juga dapat diakibatkan oleh reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis terutama terjadi pada minyak yang mengandung asam lemak jenuh berantai pendek. Asam lemak tersebut mudah menguap dan berbau tidak enak, misalnya asam butirat, asam valerat, asam kaproat, dan ester alifatis yaitu metil nonil keton (Perkins 1967 diacu dalam Hendrawati 2001).
Karoten
Karoten merupakan sumber vitamin A yang banyak terdapat di dalam bahan makanan nabati. Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A. Dalam tanaman terdapat beberapa jenis karoten, namun yang lebih banyak ditemukan adalah a-, ß-, ?- karoten, dan mungkin juga terdapat kriptoxantin. Dalam bahan makanan terdapat vitamin A dalam bentuk karoten sebagai ester dari vitamin A dan sebagai vitamin A yang bebas. Keaktifan biologis karoten jauh lebih rendah dibandingkan dengan vitamin A (Winarno 1997).
Sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau atau kuning biasanya banyak mengandung karoten. Ada hubungan langsung antara derajat kehijauan
(36)
sayuran dengan kadar karotennya. Semakin hijau daun tersebut, maka akan semakin tinggi kadar karotennya (Winarno 1997). Namun, menurut West et al.
(2003), ß-karoten dalam sayur-sayuran mempunyai bioavailabilitas yang rendah. Banyak faktor yang berpotensial mengurangi bioavailabilitas dan bioefesiensi dari ß-karoten, seperti jenis karotenoid, ikatan molekuler, jumlah karoten yang dikonsumsi dari makanan, matriks tempat karotenoid bergabung, efek absorpsi dan biokonversi, status gizi masing-masing individu, faktor genetik, dan interaksi antar faktor (West et al. 2003).
Kerusakan atau redegradasi karotenoid dapat disebabkan oleh oksidasi. Mekanisme oksidasi yang terjadi secara kompleks dan tergantung pada beberapa faktor. Karotenoid dapat dioksidasi melalui reaksi dengan oksigen yang tergantung pada cahaya, panas, dan adanya prooksidan maupun antioksidan (Francis 1985).
Menurut Meyer (1982), selama pemasakan, kehilangan karoten adalah kecil, berkisar 5-10%. Warna karoten sedikit sekali dipengaruhi oleh suasana asam, basa, volume air atau waktu pemanasan. Nilai gizi karoten dapat dipertahankan selama pemasakan karena sifatnya yang tidak larut dalam air.
Menurut Muchtadi dan Nuraida (1986) minyak sawit mengandung karoten sebanyak 600-1000 bps. Karoten pada minyak sawit pada umumnya tidak disenangi konsumen karena memberikan penampakan yang jelek, oleh karena itu dalam prosesnya dilakukan pemurnian (pemisahan karoten), yang berarti membuang komponen penting dari minyak sawit tersebut. Komposisi karotenoid dalam minyak sawit ada dalam Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi karotenoid dalam minyak sawit (Anonymous 2005)
Karotenoid Jumlah (%) a-karoten ß-karoten ?-karoten likopen phytoene phytofluene cis ß-karoten cis a-karoten ?-karoten d-karoten neurossporene ß-zeakaroten a-zeakaroten 35.2 56.0 0.33 1.30 1.27 0.68 0.68 2.49 0.69 0.83 0.29 0.74 0.23
Diantara jenis-jenis karotenoid, ß-karoten menunjukkan aktivitas sebagai provitamin A yang paling baik. Karotenoid yang mempunyai cincin hidroksil atau
(37)
adanya grup karbonil menunjukkan rendahnya aktivitas provitamin A jika dibandingkan ß-karoten jika hanya satu cincin yang dipengaruhi, dan tidak mempunyai aktivitas jika kedua cincin teroksigenasi (Fennema 1996). Gambar struktur dari ß-karoten dapat dilihat pada Gambar 6.
ß-karoten mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dengan mencari-cari oksigen bebas, hidroksil, dan radikal superoksida, serta dengan mereaksikan dengan peroksil radikal (ROO). Peroksil radikal menyerang ß-karoten untuk membentuk ROO- ß-karoten dimana peroksil radikal mengikatkan diri pada C ke 7 dari rantai karbon ß-karoten, elektron yang tidak berpasangan terdelokalisasi melewati sistem ikatan rangkap terkonjugasi. ß-karoten tidak bertindak sebagai pendonor H• seperti pada umumnya antioksidan fenolik. Antioksidan seperti ß-karoten dan ß-karoten lain, menyebabkan penurunan total kerugian dari aktivitas vitamin A tanpa memperhatikan mekanisme dimana inisiasi radikal bebas terjadi. Untuk retinol dan retinil ester penyerangan oleh radikal bebas terjadi pada posisi C14 dan C15 (Fennema 1996).
Gambar 6 Struktur umum ß-karoten
Oksidasi dari ß-karoten melibatkan pembentukan 5,6-epoksida, yang dapat terisomerisasi menjadi 5,8-epoksida (mutachrome). Paparan cahaya dapat menyebabkan oksidasi mutachrome menjadi produk degradasi pertama. Fragmentasi ß-karoten menjadi molekul senyawa yang memiliki berat jenis yang ringan dapat terjadi selama pemanasan. Volatil-volatil yang dihasilkan dapat berpengaruh terhadap flavor. Fragmentasi juga dapat terjadi selama proses oksidasi retinoid.
(38)
Mikrobiologi Pangan
Bahan baku energi yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme adalah glukosa. Dengan adanya oksigen, beberapa mikroorganisme mencerna glukosa dan menghasilkan air, karbondioksida, dan sejumlah besar energi (ATP) yang dapat digunakan untuk pertumbuhan. Metabolisme glukosa tersebut dilakukan oleh mikroorganisme aerobik. Akan tetapi beberapa mikroorganisme dapat mencerna bahan baku energinya tanpa adanya oksigen dan hasilnya, hanya sebagian dari bahan baku energi yang dipecah. Hasil akhir yang diperoleh bukan karbondioksida, air, dan sejumlah besar energi, tetapi hanya sejumlah kecil energi, karbondioksida, air, dan produk akhir organik lainnya. Zat-zat produk akhir ini termasuk sejumlah besar asam laktat, asam asetat, dan etanol, serta sejumlah kecil asam organik volatil lainnya, alkohol, dan ester dari alkohol tersebut. Pertumbuhan yang terjadi tanpa adanya oksigen sering dikenal sebagai fermentasi. Berbagai mikroorganisme mampu memfermentasikan bahan pangan, namun yang penting adalah bakteri pembentuk asam laktat, asam asetat, asam propionat, dan beberapa jenis khamir dan kapang (Buckle et.al 1987).
Selain menguraikan karbohidrat, kebanyakan makanan yang mengandung sejumlah lemak mudah mengalami hidrolisis dan oksidasi sehingga menyebabkan perubahan citarasa makanan. Meskipun kebanyakan pemecahan lemak pada makanan merupakan reaksi kimia non mikroba, tetapi berbagai bakteri, khamir dan kapang mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis dan mengoksidasi lemak (Fardiaz 1992b).
Mengacu kepada Fardiaz (1992b), makanan yang telah mengalami proses pengolahan biasanya masih mengandung mikroorganisme hidup yang mempunyai sifat-sifat fisiologi yang tidak normal karena telah mengalami stres selama pengolahan (pemanasan, pembekuan, iradiasi, dan sebagainya), serta dari lingkungan sekitarnya. Mikroorganisme semacam ini disebut mikroorganisme subletal. Mikroorganisme subletal dapat memperbaiki diri bila: 1) sel diinkubasi pada substrat atau lingkungan yang sesuai, 2) disimpan dalam suhu yang optimum (25oC – 37oC) dan waktu simpan yang sesuai, 3) sel yang telah sembuh masih mempunyai ketahanan terhadap komponen selektif di dalam medium seperti sel normal, 4) setelah sembuh, sel mampu berkembang biak dengan normal.
(39)
Mutu Mikrobiologi
Mutu suatu produk menunjukkan identitas produk tersebut. Diacu dalam Fardiaz (1993), dalam pengujian mutu bahan pangan diperlukan berbagai uji yang mencakup uji fisik, uji mikrobiologi, dan uji organoleptik. Uji mikrobiologi merupakan salah satu uji yang sangat penting, karena selain dapat menduga daya tahan simpan makanan juga dapat digunakan sebagai indikator sanitasi makanan atau indikator keamanan makanan.
Mikroorganisme indikator pada produk olahan pangan merupakan mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai batasan penetapan mutu suatu produk olahan pangan (Fardiaz 1992b). Mikroorganisme dapat mengakibatkan berbagai perubahan fisik dan kimiawi dari suatu bahan pangan. Apabila perubahan tersebut tidak diinginkan atau tidak dapat diterima oleh konsumen, maka bahan pangan tersebut mengalami kerusakan (Buckle et al. 1987). Diacu dalam Fardiaz (1994), dari segi mikrobiologi, makanan yang bermutu baik untuk dihidangkan adalah makanan yang tidak basi atau berbau menyimpang dan aman dikonsumsi.
Mikroba dalam Makanan
Diketahui ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya pencemaran makanan, sehingga makanan menjadi tidak aman untuk dimakan. Pertama adalah penanganan makanan tidak dilakukan dengan mengindahkan syarat-syarat kebersihan. Kedua adalah alat-alat yang digunakan untuk menyiapkan, mengolah, memasak, dan menyajikan makanan tidak dibersihkan semestinya, dan yang terakhir adalah makanan didiamkan terlalu lama di lingkungan yang temperaturnya memungkinkan berbagai mikroorganisme berkembang biak (Moehyi 1992).
Meskipun proses pengolahan pada umumnya dapat membunuh mikroorganisme, tetapi beberapa, termasuk spora dan beberapa sel vegetatif masih dapat hidup setelah proses pengolahan. Tetapi selama penyimpanan kering dan beku, mungkin terjadi penurunan jumlah mikroorganisme, yaitu tergantung dari kondisi penyimpanan, jenis bahan pangan, dan jenis mikroflora yang dominan (Fardiaz 1992a). Lain halnya dengan yang dikemukakan Buckle et al. (1987), bahwa seringkali organisme tumbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak dibandingkan pada bahan pangan mentah, karena zat-zat gizi tersedia lebih baik dan tekanan persaingan dari mikroorganisme lain telah berkurang.
(40)
Adanya mikroorganisme psikrotrofik pada makanan yang telah diproses dengan pemanasan biasanya menunjukkan adanya kontaminasi setelah pengolahan. Meskipun mikroorganisme-mikroorganisme psikotrofik biasanya mati karena proses pemanasan, mikroorganisme tersebut merupakan sumber enzim proteolitik, dan lipolitik yang tahan panas dan masih mungkin dapat menyebabkan kerusakan selama penyimpanan pada makanan yang telah dipanaskan (Fardiaz 1992a).
Beberapa mikroba dapat mempengaruhi asam, sehingga dapat merubah nilai pH (keasaman) produk dan lebih lanjut berpengaruh terhadap citarasa produk. Perubahan komposisi produk akibat adanya aktivitas mikroba ditandai dengan adanya perubahan bau, timbulnya asam, adanya busa, dan perubahan warna (Winarno, Fardiaz, & Fardiaz 1980).
Kebanyakan makanan mengandung sejumlah lemak yang mudah mengalami hidrolisa dan oksidasi sehingga menyebabkan perubahan citarasa makanan, meskipun kebanyakan pemecahan lemak terjadi karena proses kimia (reaksi non mikroba), tetapi beberapa bakteri, khamir, dan kapang mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis dan mengoksidasi lemak (Fardiaz 1992a).
Menurut anjuran Food and Drug Administration yang diacu dalam Fardiaz (1994), untuk menjamin makanan siap santap tidak busuk dan aman dikonsumsi maka sebaiknya makanan disimpan pada suhu lemari es, yaitu maksimal 40 C untuk makanan yang dikonsumsi dalam keadaan dingin, atau pada suhu diatas 550 C untuk makanan yang dikonsumsi dalam keadaan hangat atau panas. Suhu diantara 40C dan 550 C merupakan suhu kritis karena jasad renik dapat berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan dan keracunan makanan.
Hasil penelitian Sari (2001) menunjukkan bahwa sistem kontrol terhadap suhu harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : (1) sifat makanan termasuk Aw, pH serta jenis dan mikroba yang mungkin mencemari makanan, (2) masa simpan makanan, (3) cara pengolahan dan pengemasan, (4) cara mengkonsumsi makanan, misalnya harus dimasak terlebih dahulu atau dapat langsung dimakan. Alat pengukur suhu harus selalu diperiksa secara teratur dan diuji ketepatannya.
Uji Mikrobiologi
Metode yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah mikroba di dalam bahan pangan terdiri dari metode hitungan cawan (HC) atau Total Plate
(41)
Count (TPC), Most Probable Number (MPN), dan metode hitungan mikroskopik langsung. Metode lainnya yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah mikroba di dalam bahan pangan adalah metode turbidimetri (kekeruhan) dengan menggunakan spektrofotometer. Tetapi metode ini sukar diterapkan pada bahan pangan karena membutuhkan larutan medium yang bening (Fardiaz 1987).
Prinsip dari metode hitungan cawan adalah jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Metode HC ini merupakan cara yang paling sensitif untuk menentukan jumlah mikroba, karena : 1) hanya sel yang masih hidup yang dihitung, 2) beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus, 3) dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari satu sel mikroba dengan penampakkan pertumbuhan yang spesifik (Fardiaz 1987).
Selain keuntungan-keuntungan tersebut, metode HC juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu : 1) hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroba yang sebenarnya karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni, 2) medium dan kondisi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda, 3) mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni yang kompak dan jelas, tidak menyebar, 4) memerlukan persiapan dan waktu inkubasi yang lama sehingga pertumbuhan koloni dapat dihitung (Fardiaz 1987).
Uji mikrobiologi yang dilakukan terhadap bahan pangan mentah berbeda dengan bahan makanan yang telah mengalami proses pengolahan seperti pemanasan, pengeringan, pendinginan, pembekuan, iradiasi, penambahan bahan pengawet, dan sebagainya. Kandungan mikroorganisme pada bahan pangan mentah terutama dipengaruhi oleh jenis bahan pangan, sumber kontaminasi, dan penanganan atau penyimpanan sebelum dilakukan proses pengolahan. Kandungan mikroorganisme pada makanan olahan lebih spesifik karena selain dipengaruhi oleh jenis bahan pangan, juga dipengaruhi oleh ketahanan mikroorganisme terhadap proses pengolahan yang diterapkan pada makanan tersebut (Fardiaz 1992b).
Media biakan yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri terdapat dalam bentuk padat, semi padat, dan cair. Media padat diperoleh dengan menambahkan agar. Agar berasal dari ganggang merah dan digunakan sebagai
(42)
bahan pemadat karena tidak diuraikan oleh mikroorganisme. Agar dapat membeku pada suhu diatas 450C. kandungan agar sebagai media pemadat dalam media adalah 1.5-2%. Media harus disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan supaya tidak tercemar oleh mikroorganisme dan tidak menyebabkan kekeruhan media (Lay 1994).
Total mikroba
Total mikroba adalah jumlah flora mikroba tanpa menunjukkan jenis flora mikroba tertentu yang ada dalam pangan. Perhitungan total mikroba berperan dalam menentukan status sanitasi makanan. Bila makanan telah melalui proses pemanasan dan tetap ditemukan mikroba pada saat pengujian, hal ini berarti terjadi rekontaminasi atau pertumbuhan mikroba lagi (Shapton, D.A. & Shapton, N.F. 1993). Berdasarkan standar yang ditetapkan oleh New Hampshire Guideline yang diacu dalam Shapton, D.A. dan Shapton, N.F. (1993), serta menurut SNI-01-3816-1995 tentang santan kelapa, batas aman total mikroba dalam bahan makanan adalah kurang dari 1,0 x 105 CFU/g.
(43)
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2006 hingga Maret 2007. Lokasi yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Kimia Gizi, dan Laboratorium Sanitasi dan Keamanan Pangan, Program Studi S1 Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisis HPLC dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Pasca Panen, Cimanggu, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) serta tablet vitamin A (merek Kimia Farma) dan Minyak Sawit Kasar (MSK) sebagai antioksidan. Bahan pendukung lainnya antara lain bumbu-bumbu, yang meliputi akuades, santan, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, kemiri, garam, jeruk nipis. Bahan tambahan lainnya adalah bahan antioksidan, yang terdiri dari tablet vitamin A yang diperoleh dari apotek Kimia Farma Bogor dan MSK dari Balai Penelitian Serpong serta bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia dan uji mikrobiologi.
Bahan kimia yang digunakan untuk uji mikrobiologi antara lain Plate Count Agar/PCA (merek OXOID), NaCl 0,85%, alkohol 96%, alkohol 70%, spirtus, aquades. Untuk uji kimiawi kerusakan lemak adalah asam asetat, khloroform, KI jenuh, Na2S2O3 0,1 N, pati 1%, air destilata, HCl 4 M, Foaming agent, pereaksi TBA, NaOH 0.1 M, KHP standar atau (COOH)2.2H2O, dan
fenoftalein 0.1% dalam alkohol. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis HPLC vitamin A dan β-karoten adalah etanol (merek MERCK), akuades, KOH 50% (merek MERCK), asam askorbat (merek MERCK), heksan (merek MERCK), BHT (merek MERCK), Na2SO4 anhydrous (merek MERCK), fase gerak asetonitril
: metanol : THF (28 : 25 :2) (merek MERCK), alkohol (merek MERCK), dan sodium askorbat (merek MERCK)
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan sop daun Torbangun adalah baskom, pisau, panci kaca, gelas ukur, sendok sayur, sendok teh, talenan, ulekan, saringan, timbangan dan termometer. Alat-alat lain yang digunakan antara lain adalah alat untuk melakukan analisis kimia, uji mikrobiologi, dan analisis HPLC.
(44)
Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia dan uji mikrobiologi adalah cawan petri (diameter 10 cm), tabung reaksi (berulir dan tidak berulir), erlenmeyer (100 ml, 250 ml, 300 ml, 500 ml, dan 1000 ml), gelas piala (500 ml, 1500 ml, dan 2000 ml), gelas ukur (100 ml), labu takar (2000 ml), labu destilasi, gelas pengaduk, pipet (5 ml, dan 10 ml), Stearer, bulb, bunsen, alat titrasi, alat destilasi, batu didih, penangas air, blender, neraca analitik, mortar, kertas saring, sudip, rak tabung reaksi, botol penyemprot, jerigen, baskom, sikat, oven, inkubator, otoklaf, spektrofotometer, dan lemari es. Peralatan yang digunakan untuk analisis HPLC adalah neraca analitik, stearer, labu saponifikasi, alat saponifikasi, corong pemisah, kertas saring (merek Whatman 41), freeze dryer, evaporator, milipore (merek GELMAN), kolom C-18, dan alat HPLC (merek WATERS).
Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu : penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan.
Penelitian pendahuluan
Resep standar Analisis Penentuan jumlah Aox Proksimat & lama penyimpanan
Penelitian lanjutan
Uji mutu kimiawi Uji organoleptik : Uji vitamin A UjiMikrobiologi Lemak : & β-karoten :
pH, TAT, TBA Aroma, warna HPLC TPC bilangan peroksida tekstur, kekentalan
Gambar 7 Diagram alir penelitian 1. Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan terdiri atas dua tahap, yakni penetapan resep standar yang digunakan selama penelitian dan penentuan jumlah antioksidan serta lama penyimpanan. Resep ini diperoleh dari hasil diskusi dengan satu
(45)
orang wanita asli suku Batak. Resep standar pembuatan sayur sop daun Torbangun dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Komposisi bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun pada berbagai jenis analisis
No Bahan-bahan Resep standar Analisis lemak, TPC,uji hedonik
Analisis HPLC
1 Daun Torbangun segar 250 g 400 g 200 g
2 Santan 575 ml 920 ml 460 ml
3 Bawang putih 2.40 g 3.84 g 1.92 g
4 Bawang merah 9.94 g 15.9 g 7.95 g
5 Kemiri 9.2 g 14.72 g 7.36 g
6 Kunyit 1.79 g 2.86 g 1.43 g
7 Jahe 1.98 g 6.33 g 1.58 g
8 Laos 1.89 g 3.02 g 1.57 g
9 Sereh 1 tangkai 1 tangkai 1 tangkai
10 Merica 0.43 g 0.69 g 0.34 g
11 Garam Secukupnya Secukupnya Secukupnya
12 Air jeruk nipis 2 sdm 3 sdm 2.5 sdm
Total berat formula ± 725 g ± 1320 g ± 660 g
Proses pembuatan sop daun Torbangun adalah sebagai berikut:
1. Daun Torbangun disortasi dan dipisahkan dari tangkai, kemudian ditimbang.
2. Bumbu-bumbu dibersihkan atau dikupas kemudian ditimbang dan dicuci. 3. Kemiri dan kunyit disangrai atau dibakar terlebih dahulu sebelum
dihaluskan.
4. Daun kemudian diremas-remas dengan menggunakan garam dan diperas untuk mengurangi bau langu dan cairan hitam dari daun. Setelah itu, dicuci bersih dan ditiriskan.
5. Bumbu-bumbu dihaluskan. Kemudian, santan dimasak bersama bumbu dan sereh yang telah ditumbuk hingga mendidih. Setelah santan mendidih, daun Torbangun dimasukkan, lalu masak hingga matang. Setelah matang, sop daun Torbangun diangkat dan dihidangkan bersama air perasan jeruk nipis.
6. Dikemas.
Tabel 8 Hasil analisis Proksimat sop daun Torbangun
Zat Gizi Jumlah (mg/100 g)
Karbohidrat 3.83
Air 84.43
Abu 0.9
Protein 3.84
(46)
Jenis antioksidan yang digunakan adalah antioksidan gizi yakni vitamin A. Vitamin A murni yang digunakan adalah tablet vitamin A 20.000 IU (merek Kimia Farma). Sebagai pembandingnya, digunakan antioksidan food based approach
yakni MSK karena kaya akan ß-karoten.
Untuk menentukan jumlah tablet vitamin A yang akan ditambahkan, digunakan standar penambahan vitamin A dan ß-Karoten yakni sebesar 10-300 mg/kg bahan (SNI 01-0222-1995 tentang bahan tambahan makanan). Untuk tujuan optimalisasi, vitamin A yang ditambahkan adalah sebesar 300 mg/kg bahan. Perlakuan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
• Sop daun Torbangun kontrol, disingkat : STK
• Sop daun Torbangun dengan penambahan vitamin A, disingkat : STA • Sop daun Torbangun dengan penambahan MSK, disingkat : STM
Tablet vitamin A yang digunakan mempunyai kandungan vitamin A sebesar 20.000 IU (sesuai informasi pada kemasan), dan mempunyai bobot per tablet adalah 0,44 gram. Dengan menggunakan perhitungan secara konversi, maka diperoleh penambahan tablet vitamin A adalah sebanyak 21,78 tablet, dibulatkan menjadi 22 tablet vitamin A/kg sop daun Torbangun. Perhitungan konversi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Penentuan jumlah MSK yang akan ditambahkan adalah dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit MSK, hingga diperoleh angka 35 gram. Angka 35 gram ini dianggap sebagai ambang batas penambahan MSK ke dalam sayur sop daun Torbangun, karena jika ditambahkan lagi, maka akan berpengaruh negatif terhadap aroma, warna, dan rasa sayur sop daun Torbangun.
Penentuan daya simpan maksimal dilakukan dengan cara memasak sayur sop daun Torbangun tanpa penambahan antioksidan. Sayur tersebut kemudian dikemas ke dalam gelas air mineral (plastik jenis PET) dan ditutup dengan menggunakan plastik sealler. Sayur tersebut diamati setiap jamnya untuk melihat perubahan yang terjadi. Pada waktu simpan 45 jam, kemasan sudah sangat menggelembung, dan titik pengamatan diakhiri. Setelah dibuka, contoh mengeluarkan bau yang tidak sedap. Kemudian, untuk mempermudah waktu maksimal penyimpanan pada saat penelitian utama dilakukan, maka titik akhir penyimpanan dibuat selama 48 jam yang terbagi ke dalam lima titik pengamatan, yakni titik ke-0 jam, ke-12 jam, ke-24 jam, ke-36 jam, dan ke-48 jam. Gambar 8 menunjukkan diagram alir proses pengolahan hingga penyimpanan sayur sop daun Torbangun.
(47)
2. Penelitian Lanjutan
Penelitian lanjutan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan antioksidan dan juga lama penyimpanan terhadap daya awet sayur sop daun Torbangun. Untuk mengetahui keefektifan antioksidan yang ditambahkan, maka dilakukan analisa laboratorium untuk menguji mutu kimiawi lemak yang meliputi nilai pH, Total Asam Tertitrasi (TAT), bilangan peroksida, dan Thiobarbituric Acid
(TBA). Uji vitamin A dan ß-Karoten dilakukan dengan cara metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Pengujian mutu mikrobiologi yang dilakukan hanya untuk menunjang data-data lain yang telah diperoleh, dengan harapan memperoleh informasi mengenai faktor lain yang dapat merusak mutu sayur bersantan, selain kerusakan non mikroba. Terakhir adalah pengujian mutu hedonik melalui uji organoleptik dilakukan terhadap warna, aroma, tekstur, dan kekentalan contoh.
Daun segar disortasi Santan + bumbu-bumbu
dan dibersihkan dan antioksidan
Diremas-remas dan Dimasak hingga
dicuci bersih mendidih
dimasak hingga matang
Diangkat, ditambahkan perasan jeruk nipis
Gambar 8 Diagram alir proses pengolahan sop daun Torbangun
Uji mutu kimiawi sayur sop daun Torbangun masing-masing dilakukan terhadap STK, STA, dan STM. Contoh-contoh tersebut diujikan pada lima titik pengamatan, yakni titik ke-0 jam, ke-12 jam, ke-24 jam, ke-36 jam, dan ke-48 jam. Uji mutu kimiawi meliputi nilai pH, nilai TAT untuk mengetahui kandungan asam lemak, bilangan peroksida untuk mengetahui jumlah hidroperoksida yang terbentuk, dan TBA untuk mengetahui jumlah malonaldehide yang terbentuk
(48)
seiring dengan meningkatnya titik pengamatan. Masing-masing uji mutu kimiawi dilakukan secara duplo dengan dua kali pengulangan. Prosedur analisis pH, TAT, bilangan peroksida, dan TBA ada pada Lampiran 2.
Pengujian vitamin A dan ß-Karoten dilakukan pada contoh yang tercantum di dalam Tabel 9.
Tabel 9 Contoh untuk analisis HPLC
No Contoh Jenis Analisis
1 Sayur Torbangun Kontrol (STK) ß-Karoten
2 Sayur Torbangun dengan penambahan vitamin A (STA) Vitamin A 3 Sayur Torbangun dengan penambahan MSK (STM) ß-Karoten
4 Tablet Vitamin A Vitamin A
5 Minyak Sawit Kasar (MSK) ß-Karoten
Metode yang digunakan adalah dengan HPLC karena mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi. Contoh yang dianalisis masing-masing hanya pada titik ke-0 jam dan ke-48 jam. Tujuan dari analisis HPLC ini adalah untuk mengetahui retensi vitamin A akibat pengolahan, penyimpanan, serta retensi total. Analisis HPLC ini dilakukan dengan dua kali pengulangan perlakuan. Metode analisis HPLC dapat dilihat pada Lampiran 3. Rumus dan cara perhitungan retensi vitamin A pada STA akibat pengolahan, penyimpanan, dan retensi total dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan untuk STM dapat dilihat pada Lampiran 5.
Uji mikrobiologi dilakukan terhadap semua contoh, yakni STK, STA, dan STM pada semua titik pengamatan. Pengujian dilakukan secara duplo dengan dua kali ulangan perlakuan. Pada ulangan pertama, pengenceran dilakukan sebanyak 10 x, 100 x, dan 1000 x. Pada ulangan kedua, pengenceran dilakukan sebanyak 100 x, 1000 x dan 10000 x. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi contoh yang Tidak Bisa Untuk Dihitung (TBUD). Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan Hitungan Cawan (HC) atau Total Plate Count (TPC). Metode untuk melakukan analisis TPC ada pada Lampiran 6. Rumus yang digunakan untuk menghitung koloni dalam contoh adalah :
Koloni per ml atau = Jumlah koloni per cawan x 1
Per gram faktor pengenceran
Uji organoleptik contoh dilakukan oleh 20 orang panelis. Jumlah panelis ini sudah memenuhi persyaratan jumlah untuk panelis agak terlatih. Panelis terdiri atas mahasiswa Mayor Ilmu Gizi angkatan 42 yang telah diberi penjelasan secukupnya. Uji meliputi analisis warna, aroma, tekstur, dan kekentalan. Skala
(49)
intensitas yang digunakan dari 1 hingga 7, yakni sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka, netral, agak suka, suka, dan sangat suka. Contoh yang diujikan STK, STA, dan STM dengan dua titik pengamatan, yakni ke-12 jam, dan ke-36 jam. Lembar kuisioner untuk uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 7.
Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data yang diperoleh dari hasil uji kimiawi diolah secara statistik dengan uji kenormalan data menggunakan program Minitab 14. Setelah seluruh data dipastikan terdistribusi secara normal, maka dilakukan uji ragam ANOVA dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 6.12. Model yang digunakan adalah pendekatan rancangan faktorial dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor tersebut meliputi sumber antioksidan dan lama penyimpanan. Sumber antioksidan terdiri atas tiga taraf yaitu sop daun Torbangun kontrol, sop daun Torbangun dengan penambahan vitamin A, dan sop daun Torbangun dengan penambahan MSK, sedangkan lama penyimpanan terdiri atas lima taraf, yakni titik ke-0 jam, ke-12 jam, ke-24 jam, ke-36 jam, dan ke-48 jam. Jika analisis ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk melihat perlakuan atau pasangan perlakuan mana yang berpengaruh terhadap nilai pH, TAT, bilangan peroksida, dan TBA. Seluruh hasil yang diperoleh dengan program SAS versi 6.12 dicek kebenarannya dengan menggunakan program Minitab versi 14. Model matematisnya adalah sebagai berikut :
Yijr = µ + Ai + Bj + ABij + ABij + eijr
Keterangan:
Yijr = Nilai respon yang timbul akibat penambahan sumber antioksidan ke-i,
dan lama penyimpanan ke-j pada ulangan ke-r µ = Rata-rata umum
Ai = pengaruh perlakuan sumber antioksidan ke-i
Bj = pengaruh perlakuan lama penyimpanan ke-j
ABij = pengaruh interaksi perlakuan sumber antioksidan ke-i dan lama
penyimpanan ke-j
eijr = galat unit percobaan dalam kombinasi perlakuan ij
r = ulangan
Hasil uji HPLC untuk mengetahui retensi vitamin A pada STA dan STM setelah proses pengolahan dan penyimpanan, serta retensi total dicari dengan menggunakan rumus yang dapa dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
(50)
Hasil uji mikrobiologi dengan metode TPC disajikan secara deskriptif dikaitkan dengan nilai pH dan TAT pada contoh masing-masing. Seluruh data yang didapatkan dilakukan pengentrian data dengan program Microsoft Excell 2003.
Analisis data yang diperoleh dari uji organoleptik diolah secara statistik dengan uji Friedman menggunakan program Minitab versi 14. Model yang digunakan adalah rancangan pendekatan faktorial non parametrik dengan dua faktor dan satu kali ulangan. Faktor ini meliputi sumber antioksidan, dan lama penyimpanan. Sumber antioksidan terdiri atas tiga taraf, yakni sop daun Torbangun kontrol, sop daun Torbangun dengan penambahan vitamin A, dan sop daun Torbangun dengan penambahan MSK, sedangkan waktu simpan terdiri dari dua taraf, yakni pada titik ke-12 jam, dan pada titik ke-36 jam. Uji Friedman
dilakukan untuk mengetahui apakah sumber antioksidan dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, warna, tekstur, dan kekentalan pada contoh. Jika ada yang berpengaruh, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Friedman.
(51)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Kimiawi Kerusakan Lemak Nilai pH
Nilai pH pada STK, STA, dan STM menunjukkan kecenderungan penurunan selama penyimpanan. Penurunan nilai pH tersebut menandakan terjadinya peningkatan keasaman pada sayur sop daun Torbangun. Proses peningkatan keasaman tersebut diduga akibat adanya peningkatan jumlah asam lemak sebagai hasil dari pemecahan lemak yang berasal dari santan, dan MSK murni pada STM baik secara lipolisis, yang mampu menghasilkan asam-asam lemak bebas, maupun oksidasi, yang mampu membentuk asam-asam organik, serta akibat adanya aktivitas mikroorganisme yang mampu menguraikan lemak menjadi asam-asam lemak dengan bantuan enzim lipase. Grafik pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai pH sop daun Torbangun dapat dilihat pada Gambar 9.
4.5 4.7 4.9 5.1 5.3 5.5 5.7 5.9 6.1 6.3 6.5 6.7 6.9
Lama Penyimpanan (jam)
Nilai pH
STK STA STM
STK 5.87 5.67 5.46 5.03 4.77
STA 5.87 5.72 5.65 5.38 5.24
STM 6.74 6.66 6.62 5.57 5.47
0 12 24 36 48
Gambar 9 Pengaruh sumber antioksidan dan lama penyimpanan terhadap nilai pH sop daun Torbangun
Pada saat lama penyimpanan ke-0 jam, STK dan STA mempunyai nilai pH yang sama (pH=5.87). Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan Vitamin A tidak berpengaruh terhadap pH sayur sop daun Torbangun. Namun, STM menunjukkan nilai pH yang lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan kedua contoh lainnya. Nilai pH STM pada saat lama penyimpanan ke-0 jam
(52)
dapat lebih tinggi diduga disebabkan oleh pH MSK yang memang sudah tinggi, karena di dalam MSK, masih terkandung residu. Oleh karena itu, saat MSK dimasukkan ke dalam sayur, pH sayur meningkat. Selisih nilai pH awal antara STM dengan kedua contoh yang lain adalah 0,87.
Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa interaksi sumber antioksidan dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai pH (p=0.05). Hasil uji kenormalan data dan hasil uji ANOVA terhadap nilai pH dapat dilihat pada Lampiran 8. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap nilai pH sop daun Torbangun berdasarkan hasil uji lanjut Duncan terdapat pada Gambar 10.
Keterangan : Nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berpengaruh nyata pada taraf uji 5%
Gambar 10 Pengaruh interaksi perlakuan terhadap nilai pH sop daun Torbangun Penurunan pH dari lama penyimpanan ke-0 jam hingga ke-48 jam menunjukkan bahwa STK mempunyai pH akhir yang terendah secara nyata (pH=4.77). STA mempunyai pH akhir sebesar 5.24; dan STM mempunyai pH akhir yakni 5.47. Dengan demikian, seluruh contoh memberikan nilai pH di bawah pH netral (pH=7.00), sehingga menunjukkan kondisi umum contoh yang telah asam.
Berdasarkan grafik yang ada pada Gambar 10 hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa STM selama hari pertama penyimpanan (jam ke-0, 12, dan 24) mempunyai nilai pH tertinggi (a=0.05) dibandingkan dengan STK maupun STA. Nilai pH STM pada ketiga titik tertinggi tersebut, tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Nilai pH STA pada saat lama penyimpanan ke-0 jam dan ke-12 jam tidak berbeda nyata dengan STK. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa selama 12 jam pertama penyimpanan, pH contoh dapat dijaga
4.77h 5.03g 5.24f 5.38e,f 5.46e 5.47d,e 5.57c,d,e 5.65c,d 5.67c 5.72b,c 5.865b 6.74a 6.66a 6.62a
5.87b 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 0_ST M 12_S TM 24_S TM 0_ST K 0_ST A 12_S TA 12_S TK 24_S TA 36_S TM 48_S TM 24_S TK 36_S TA 48_S TA 36_S TK 48_S TK Interaksi Nilai pH
(1)
(2)
116
(3)
(4)
118
(5)
(6)