Selain peraturan-peraturan tersebut, sejak akhir tahun 2003, Badan POM telah mengembangkan program keamanan pangan terpadu yaitu Program Piagam
Bintang Keamanan Pangan. Program ini terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang keamanan pangan yaitu Piagam Bintang Satu, Piagam Bintang Dua, dan Piagam
Bintang Tiga. Namun demikian, di Indonesia telah diakui beberapa sertifikasi keamanan
pangan yang menyangkut pengadaan pangan oleh jasa boga. Beberapa sertifikasi tersebut bersifat wajib dimiliki oleh jasa boga sebagai ijin usahanya yang tertuang
dalam peraturan pemerintah, dan beberapa yang lain bersifat sukarela, atau merupakan persyaratan kerjasama dari rekan bisnis usaha jasa boga itu sendiri.
Beberapa jenis sertifikasi keamanan pangan untuk usaha jasa boga yang diakui di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Sertifikasi Laik Hygiene Sanitasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1096MenkesPERVI2011, Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi merupakan
persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap usaha jasa boga, dengan demikian sertifikat ini bersifat wajib mandatory.
Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang terhadap jasaboga yang telah
memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sertifikat ini diterbitkan oleh Dinas Kesehatan KabupatenKota daerah
setempat dimana usaha jasa boga tersebut beroperasi. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dikeluarkan sesuai golongan jasaboga serta berlaku selama 3
tiga tahun dan untuk selanjutnya dapat diperpanjang jika memenuhi syarat. Kepala Dinas Kesehatan KabupatenKota atau Kepala KKP membentuk
Tim Pemeriksa yang bertugas melakukan penilaian, kunjungan dan pemeriksaan untuk menilai kelaikan persyaratan bangunan, peralatan,
ketenagaan, dan bahan makanan baik fisik, kimia, maupun bakteriologis dan seluruh rangkaian proses produksi pangan.
Pemeriksaan terhadap bahan pangan harus dilakukan melalui uji laboratorium terhadap sampel pangan di laboratorium yang memiliki
kemampuan.
Tim Pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan kepada Kepala Dinas Kesehatan KabupatenKota atau Kepala KKP yang telah menugaskannya
dalam berita acara kelaikan fisik Lampiran 3, berita acara pemeriksaan sampel makanan Lampiran 5, dan surat rekomendasi laik higiene sanitasi
Lampran 6. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dapat dikeluarkan setelah pemohon dinyatakan telah memenuhi persyaratan oleh Tim Pemeriksa
yang melihat langsung ke lokasi pengolahan pangan Lampran 7.
2. Program Piagam Bintang Keamanan Pangan
Pada akhir tahun 2003, Badan POM menyelenggarakan Pilot Project program Piagam Bintang Keamanan Pangan. Program ini merupakan salah
satu kegiatan dari Sistem Keamanan Pangan Terpadu yang terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang keamanan pangan, yaitu Piagam Bintang Satu,
Piagam Bintang Dua, dan Piagam Bintang Tiga. Piagam Bintang Satu diberikan kepada industri pangan yang telah
menerapkan prinsip-prinsip dasar keamanan pangan. Piagam Bintang Dua diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan Cara Produksi
Pangan yang Baik CPPB dan mengembangkan prosedur serta mengisi lemar kerja. Piagam Bintang Tiga diberikan kepada industri pangan yang telah
menerapkan manajemen Keamanan Pangan berdasarkan prinsip Hazard Analysis and Critical Control Point
HACCP. Namun demikian, sifat dari Program Piagam Bintang Keamanan Pangan ini adalah sukarela voluntary
sebagai penghargaan Pemerintah kepada industri pangan atas usaha mereka menerapkan keamanan pangan di industrinya.
3. Program CPPB Cara Produksi Pangan yang Baik
Program persyaratan kelayakan dasar merupakan suatu ukuran untuk mengetahui suatu unit pengolahan pangan sudah memenuhi persyaratan, baik
dalam segiaspek sanitasi dan higiene maupun dalam aspek cara berproduksi. Program persyaratan kelayakan dasar sebaiknya terdokumentasi dengan baik
dalam standard operating procedures SOP yang tertulis dan sebaiknya dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang bekerja di industri pangan
yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan kelayakan dasar ini jika
diperlukan dapat ditinjau ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna menjamin bahwa program yang didesain dan direncanakan,
diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai NACMCF, 1998.
Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik CPPB atau good
manufacturing practice GMP dan standar prosedur operasional sanitasi atau
sanitation standard operation procedures SSOP. Di Indonesia, BPOM telah
menerbitkan pedoman CPPB atau GMP sesuai Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.5.1639 tahun 2003. Surat Keputusan ini menetapkan
bahwa seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pengolahan pangan wajib berpedoman pada CPPB. Hanya saja SK BPOM No. HK 00.05.5.1639
berlaku wajib untuk industri rumah tangga. Untuk usaha jasa boga, belum ada pedoman CPPB yang khusus disusun untuk pengolahan pangan siap saji jasa
boga, namun demikian prinsip-prinsip hygiene sanitasi dapat diadaptasi pada usaha jasa boga. Pedoman penerapan GMP disusun berdasarkan pedoman
umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. Pada Usaha jasa boga,
penerapan GMP lebih ditekankan pada GHP Good Hygiene Practice. Menurut Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan Ditjen POM,
1996, tujuan penerapan CPPB adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan
konsumen, baik lokal maupun internasional. Sedangkan tujuan khusus penerapan GHP adalah : 1 memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting
dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi;
2 mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan,
proses, mutu produk akhir serta persyaratan higiene personal; 3 mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara
untuk meningkatkan keamanan pangan.
Pedoman penerapan CPPB ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara
produksi pangan yang baik dalam rangka : 1 melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi
persyaratan; 2 memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak; 3 mempertahankan dan
meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional; 4 memberikan bahan acuan dalam program pendidikan
kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Standar prosedur operasional sanitasi atau sanitation standard operation
procedures SSOP juga merupakan salah satu unsurkomponen program
persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses.
Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan
sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC 2003 dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : desain
bangunan, fasilitas dan peralatan produksi, pengendalian proses produksi pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan
mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan rekaman, pemeliharaan dan sanitasi pemeliharaan dan pembersihan,
program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan pemantauan,
higienekebersihan personilkaryawan status kesehatan karyawan, kebersihan personil, prosedur penerimaan tamupengunjung, transportasi persyaratan,
penggunaan dan pemeliharaan, informasi produk, serta pelatihan. Dalam penerapan CPPB untuk industri jasa boga, untuk menyajikan
pangan siap saji yang bermutu baik dan aman, perlu diketahui variabel yang memerlukan pemantauan khusus. Yang perlu diketahui oleh pengusaha jasa
boga adalah sumber pencemaran bahan berbahaya yang mungkin masuk ke dalam pangan, pemantauan terhadap proses pemasakan, dan kondisi
penyimpanan atau penyajian yang aman. Tempat atau wadah penyimpanan
harus sesuai dengan jenis bahan pangan contohnya bahan pangan yang cepat rusak disimpan dalam lemari pendingin dan bahan pangan kering disimpan
ditempat yang kering dan tidak lembab. Penyimpanan bahan pangan harus memperhatikan suhu seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Suhu penyimpanan bahan makanan No
Jenis bahan makanan Digunakan dalam waktu
3 hari atau kurang
1 minggu atau kurang
1 minggu atau lebih
1 Daging, ikan, udang
dan olahannya -5
o
sd 0
o
C -10
o
sd -5
o
C -10
o
C 2
Telor, susu dan olahannya
5
o
sd 7
o
C -5
o
sd 0
o
C -5
o
C 3
Sayur, buah dan minuman
10
o
C 10
o
C 10
o
C 4
Tepung dan biji 25
o
C atau suhu ruang
25
o
C atau suhu ruang
25
o
C atau suhu ruang
Permenkes No.10962011
Selain itu, penyimpanan pangan yang telah masak atau jadi tidak dicampur dengan bahan pangan mentah. Tabel 4 menyajikan suhu penyimpanan pangan
jadimasak. Tabel 4. Suhu penyimpanan pangan jadi masak
No Jenis pangan
Suhu penyimpanan Disajikan
dalam waktu lama
Akan segera disajikan
Belum segera disajikan
1 Makanan kering
25
o
sd 30
o
C 2
Makanan basah berkuah
60
o
C -10
o
C 3
Makanan cepat basi santan, telur, susu
65,5
o
C -5
o
sd -1
o
C 4
Makanan disajikan dingin
5
o
sd 10
o
C 10
°C Permenkes No.10962011
Pengangkutan makanan jadimasaksiap saji tidak boleh bercampur dengan bahan berbahaya dan beracun B3, menggunakan kendaraan khusus
pengangkut makanan jadimasak dan harus selalu higienis, setiap jenis makanan jadi mempunyai wadah masing-masing dan bertutup, wadah harus
utuh, kuat, tidak karat dan ukurannya memadai dengan jumlah makanan yang
akan ditempatkan, isi tidak boleh penuh untuk menghindari terjadi uap makanan yang mencair kondensasi.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan pemanasan terhadap suatu pangan adalah pHkeasaman, dan komposisi makanan. Makanan
berasam tinggi pH rendah memerlukan pemanasan yang lebih sedikit dibandingkan makanan netral pH sekitar 7. Makanan yang mengandung
garam, gula, protein dan lemak dalam jumlah tinggi memerlukan pemanasan yang lebih tinggi dibandingkan makanan dengan kandungan bahan-bahan
tersebut dalam jumlah lebih rendah.
4. Sistem HACCP Hazard Analysis Critical Control Point
Pemerintah melalui BSN Badan Standarisasi Nasional telah mengadopsi sistem HACCP CAC HACCP System : Guidlines for application menjadi
SNI 01-4852-1998 Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis,HACCP-serta Pedoman Penerapannya dan telah menetapkan
panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-2002 tentang panduan penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACCP
Suprapto, 1999. Di Indonesia, penerapan HACCP masih bersifat sukarela voluntary dan biasanya karena kebutuhan sebagai persyaratan perdagangan.
HACCP atau Hazard Analysis Critical Control Point adalah suatu pendekatan
sistem manajemen
yang bersifat
sistematis untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan NACMCF, 1998. Hazard Analysis Critical Control Point HACCP
intinya adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap
penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan
dengan pendekatan pencegahan preventive yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen.
Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu
pangan guna memenuhi tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir
Prinsip 1 Prinsip 2
Prinsip 7 Prinsip 6
Prinsip 5 Prinsip 4
Prinsip 3
diproduksi, didistribusikan, dan disajikan. Oleh karena itu dengan diterapkannya sistem HACCP akan mencegah resiko komplain karena adanya
bahaya pada suatu produk pangan.
Gambar 1. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan menurut standar
NACMCF National
Advisory Committee
on Microbiological Criteria for Foods
dan CAC Codex Alimentarius Commission
Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan Hazard Analysis Critical Control Point
HACCP pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut : 1 Analisis bahaya dan penetapan resiko, 2 Identifikasi
titik kendali kritis atau CCP critical control point, 3 Penetapan batas kritis untuk setiap CCP yang telah diidentifikasi, 4 Penetapan prosedur
pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor, 5 Menentukan tindakan koreksi yang harus diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi
penyimpangan pada batas kritisnya, 6 Penetapan dan pengembangan sistem 1.Menyusun Tim HACCP
2. Mendeskripsikan Produk 3. Identifikasi Penggunaan
Produk 4. Menyusun Diagram Alir
5. Melakukan Verifikasi Diagram Alir di tempat
6. Mendaftar semua Bahaya Potensial Melakukan Analisis Bahaya
Menentukan Tindakan Pengendalian 7. Menentukan CCP
8. Menetapkan Batas Kritis untuk Setiap CCP
9. Menetapkan Sistem Monitoring untuk Setiap CCP
10. Menetapkan tindakan koreksi untuk penyimpangan yang
mungkin terjadi
11. Menetapkan Prosedur Verifikasi
12. Menetapkan Cara Penyimpanan Catatan dan
Dokumentasi
dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi record keeping dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP, 7 Penetapan prosedur
verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan baik.
Implementsi prinsip-prinsip di atas tergantung dari jenis perusahaannya. Bagi perusahaan jasa boga, sistem HACCP tersebut dapat dilakukan dengan
cara yang sederhana dan mudah untuk diterapkan di lapangan. Untuk menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP, tahap pertama
yang harus dipenuhi adalah adanya komitmen dari manajemen kepemimpinan perusahaan dengan fokus keamanan pangan serta pemenuhan terhadap
persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP. Hal ini berarti dari pihak manajemen puncak hingga seluruh karyawanstaf yang terlibat dalam proses
produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaan.
Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP Hazard Analysis Critical Control Point
dalam industri pangan menurut standar NACMCF 1997 dan CAC 1997 disajikan pada Gambar 1. Langkah 1
sampai 5 pada Gambar 1 merupakan lima tahap pendahuluan sedangkan langkah 6 sampai 12 merupakan tujuh langkah prinsip penerapan dan
pengembangan sistem HACCP.
Langkah 1 Menyusun Tim HACCP
Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP adalah membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua komponen dalam
usaha pangan jasa boga yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan yang aman.
Langkah 2 Mendeskripsikan Produk
Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi
produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk,
termasuk jenis
produk, komposisi,
formulasi, proses
pengolahan, penyimpanan, cara penyajian, serta keterangan lain yang berkaitan dengan
produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan evaluasi.
Langkah 3 Identifikasi Penggunaan Produk
Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk
harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya
kelompok vegetarian, kelompok diet bahan pangan tertentu, kelompok penderita penyakit tertentu, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus
dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.
Langkah 4 Menyusun Diagram Alir Proses
Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan
penyajian produk. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain
bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang
ingin mengerti proses dan verifikasinya.
Langkah 5 Melakukan Verifikasi Diagram Alir Proses
Diagram alir proses yang dibuat harus lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan di lapangan, sehingga tim HACCP harus kembal meninjau proses
produksinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak
tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
Langkah 6 Analisa Bahaya Prinsip 1
Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan
untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan
produk, distribusi, hingga tahap penyajian ke konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi
dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen. Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya,
penetapan tindakan pencegahan preventive measure, dan penentuan kategori resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan
daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk
yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya.
Tabel 5. Jenis-jenis bahaya Jenis Bahaya
Contoh
Biologi Sel Vegetatif : Salmonella sp, Eschericia coli
Kapang : Aspergillus, Penicillium, Fusarium Virus : Hepatitis A
Parasit : Cryptosporodium sp Spora Bakteri :
Kimia Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diijinkan,
residu pestisida, logam berat, bahan allergen Fisik
Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau kerikil, rambut, kuku, perhiasan, plastic, serangga dan
kotorannya Bahaya hazard adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau
resiko secara fisik, kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia dapat dilihat pada Tabel 5.
Bahaya-bahaya hazard tersebut di atas dapat dikategorikan ke dalam enam kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik bahaya Kelompok Bahaya
Karakteristik Bahaya Bahaya A
Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok beresiko
lansia, bayi, immunocompromised
Bahaya B Produk mengandung ingridient sensitif terhadap
bahaya biologi, kimia atau fisik
Bahaya C Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang
terkendali yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya
kimia atau fisik
Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi
setelah pengolahan sebelum pengemasan
Bahaya E Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan
selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya
Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah
pengemasan atau di tangan konsumen atau tidak ada pemanasan akhir atau tahap pemusnahan
mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik untuk bahan baku atau tidak ada cara
apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya
kimia atau fisik
Tindakan pencegahan preventive measure adalah kegiatan yang dapat menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman.
Beberapa bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui penerapan prasyarat dasar pendukung sistem HACCP seperti GHP Good
Hygiene Practices , SSOP Sanitation Standard Operational Procedure ,
SOP Standard Operational Procedure, dan sistem pendukung lainnya. Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya,
maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka dapat diterapkan kategori
resiko I sampai VI Tabel 7 . Selain itu, bahaya yang ada dapat juga
dikelompokkan berdasarkan signifikansinya Tabel 8. Signifikansi bahaya dapat diputuskan oleh tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya
reasonably likely to occur dan keparahan severity suatu bahaya.
Tabel 7. Penetapan kategori resiko Karakteristik Bahaya
Kategori Resiko Jenis Bahaya
Tidak mengandung bahaya A sampai F +
I Mengandung satu bahaya B sampai F
+ + II
Mengandung dua bahaya B sampai F + + +
III Mengandung tiga bahaya B sampai F
+ + + + IV
Mengandung empat bahaya B sampai F + + + + +
V Mengandung lima bahaya B sampai F
A+kategori khusus dengan atau tanpa
bahaya B-F VI
Kategori resiko paling tinggi semua produk yang mempunyai bahaya A
Tabel 8. Signifikansi bahaya
Tingkat Keparahan Severity L
M H
Peluang Terjadi Reasonable likely to occur
l Ll
Ml Hl
m Lm
Mm Hm
h Lh
Mh Hh
Umumnya dianggap signifikan dan akan diteruskandipertimbangkan dalam penetapan CCP
Keterangan : L=l= low, M=m= medium, H=h=high
Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka
mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya
yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan critical control point.
Langkah 7 Menentukan Critical Control Point Prinsip 2
CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan
pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses
sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan.
Gambar 2. Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis CCP atau CCP decision tree
Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji dengan menggunakan diagram alir pohon penentuan titik
kendali kritis CCP atau CCP decision tree yang dapat dilihat pada Gambar 2. Decision tree
ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan
baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap bahaya atau
untuk menghindari kontaminasi silang. Suatu CCP dapat digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP secara
bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan mikrobiologi.
Langkah 8 Penetapan Critical Limit Prinsip 3
Critical limit CL atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus
dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan
memisahkan antara yang diterima dan yang ditolak, berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP
dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah dapat disesuaikan, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan
dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan
studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi maupun kimia, CODEX dan lain sebagainya.
Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus dikendalikan untuk menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis
dapat digolongkan ke dalam batas fisik suhu, waktu, batas kimia pH, kadar garam.
Tabel 9. Contoh Critical Limit Batas Kritis pada CCP Critical Control Point
Komponen Kritis Proses Penerimaan Udang
Segar Suhu
Pemasakan Rendang Daging Sapi
Suhu pemasakan Waktu pemasakan
Penambahan asam ke minuman asam
pH produk akhir Deteksi logam pada
pengolahan biji-bijian Kalibrasi detektor
Sensitivitas detektor
Penggunaan batas mikrobiologi jumlah mikroba dan sebagainya sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali
jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut. Tabel 9 menunjukkan
contoh batas kritis suatu proses dalam industri pangan.
Langkah 9 Menetapkan Sistem Monitoring CCP Prinsip 4
Kegiatan pemantauan monitoring adalah pengujian dan pengamatan terencana dan terjadwal terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP dan
CL untuk menjamin bahwa CL tersebut menjamin keamanan produk. CCP dan CL dipantau oleh personel yang terampil serta dengan frekuensi yang
ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan, misalnya kepraktisan. Pemantauan dapat berupa pengamatan observasi yang direkam dalam suatu
checklist atau pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu
data sheet. Pada tahap ini, tim HACCP perlu memperhatikan mengenai cara
pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau dan orang yang melakukan pemantauan.
Langkah 10 Menetapkan Tindakan Koreksi Prinsip 5
Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan,
sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses
produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksidiperbaiki, atau produk ditahantidak disajikan dan diuji keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat
dilakukan selain menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi produk dan kerja ulang produk.
Langkah 11 Menetapkan Prosedur Verifikasi Prinsip 6
Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang
ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin.
Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin
bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika ada informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi
keracunan pangan oleh produk tersebut.
Langkah 12 Menetapkan Cara Penyimpanan Catatan dan Dokumentasi
Prinsip 7
Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan
dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP, CL, rekaman pemantauan CL, tindakan koreksi yang
dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya. Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan kepada inspektur pengawas
makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga digunakan oleh operator.
Pendataan tertulis seluruh program HACCP menjamin bahwa program tersebut dapat diperiksa kembali dan dipertahankan selama periode waktu
tertentu. Dokumentasi program HACCP termasuk juga catatan mengenai seluruh CCP kritis yang telah ditetapkan di dalam proses produksi pangan.
Verifikasi yaitu metode, prosedur atau uji yang digunakan untuk menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan.
2.4. Implementasi Sistem HACCP Dalam Industri Jasa Boga
Katering
Penerapan HACCP bersifat spesifik untuk setiap produk pangan dan setiap proses. HACCP dapat diterapkan dalam pengolahan dan penyajian berbagai
pangan siap saji atau katering, sehingga keamanan pangan tersebut lebih terjamin. Untuk pangan semacam ini, yang hanya memerlukan waktu beberapa jam dari
mulai pemasakan pangan sampai pangan siap dikonsumsi, maka kegiatan pengawasan mutu secara konvensional yang hanya mengandalkan hasil
pengamatan produk akhir saja mulai dirasa tidak cukup apalagi jika kemudian terjadi kasus keracunan akibat mengkonsumsi pangan. Oleh karena itu penerapan
HACCP menjadi perlu diimplementasikan oleh pengusaha jasa boga atau katering.
Penyusunan rencana HACCP untuk pangan jasa boga dapat disederhanakan dengan menggunakan pendekatan tiga jenis diagram alir yang
disajikan pada Gambar 3. Penyusunan rencana HACCP dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut yaitu langkah 2 sampai 5, produk dapat dikelompokkan
berdasarkan tiga jenis diagram alir proses yang disajikan pada Gambar 3. Pada langkah 6 Prinsip 1, analisis bahaya dilakukan dengan
mempertimbangkan frekuensi produk melewati danger zone suhu kritis, yaitu suhu di antara 5°C dan 60°C yang merupakan suhu kritis karena jasad renik dapat
berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan atau keracunan pangan. Langkah 7 Prinsip 2, CCP Critical Control Point umumnya berupa
penerimaan, persiapan thawing, sortasi, pencucian, pemasakan, reheating, dan penyajian. Langkah 8 Prinsip 3 CL Critical Limit atau batas kritis pada pangan
siap saji umumnya berupa kombinasi suhu dan waktu.
A :
Penerimaan Bahan Baku receive
Penyimpanan Produk hold Penyiapan prepare
Penyimpanan Bahan Baku store
Penyajian Produk serve