KECUKUPAN SISTEM KEAMANAN PANGAN UNTUK
Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi sistem HACCP cukup efektif sampai kepada masyarakat terutama unit usaha pengguna jasa boga, sebaliknya
sosialisasi program piagam bintang keamanan pangan, CPPB, dan sertifikat laik hygiene sanitasi masih kurang.
Tabel 11. Hasil wawancara unit usaha pengguna jasa boga n=28 Kategori
Pengguna Jasa Boga
Jumlah Unit Usaha Pengguna
Jasa Boga Asal
Pengetahuan Sertifikat
Jenis Usaha Pengguna Jasa Boga
Tidak mengenal sama sekali
1 -
Pabrik Non Pangan
Mengenal sertifikat HACCP
26 Informasi dari
media cetak dan relasi
Asrama Polisi = 1, Asrama AD AL =2,
Kantor Non Pangan = 4, Sekolah = 5,
Pabrik Non Pangan = 14 Mengenal
sertifikat HACCP dan program
CPPB 1
Pelatihan Pabrik Pangan
Keluhan dan kasus KLB
- Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa media cetak serta informasi
dari rekanan cukup efektif sebagai media promosi HACCP. Selain itu, bila dilihat dari latar belakang jenis usaha pengguna jasa boga, 1 unit usaha yang
mengenal HACCP dan CPPB melalui pelatihan, hal ini dapat difahami karena unit usaha pengguna jasa boga tersebut merupakan unit usaha yang bergerak
dalam produksi pangan. Untuk 1 unit usaha yang tidak mengenal semua sertifikat keamanan pangan yang ditanyakan, hal ini dapat dimengerti karena
unit usaha pengguna jasa boga tersebut bergerak dalam bidang non pangan yaitu alat-alat berat untuk pembangunan jalan, sehingga informasi mengenai
jaminan kemanan pangan jasa boga sangat terbatas. Sedangkan untuk 26 unit usaha yang hanya mengenal HACCP melalui media cetak dapat dimaklumi
karena jenis usaha pengguna jasa boga yang juga dibidang non pangan. Untuk menumbuhkan pengetahuan pengguna jasa boga akan sertifikat
keamanan pangan terutama sertifikat laik hygiene sanitasi oleh jasa boga, diperlukan sosialisasi pemerintah yang lebih luas lagi dan dapat menjangkau
unit usaha pengguna jasa boga padat karya yang jumlah pekerjanya lebih
banyak lagi. Media promosi dapat digunakan sebagai alternatif alat sosialisasi mengenai program keamanan pangan. Menurut Kennedy 2009, peran
media sangat dibutuhkan dalam menyampaikan pesan kepada khalayak, dengan adanya media akan mempermudah khalayak untuk memahami pesan
yang disampaikan kepada mereka. Dengan menggunakan media promosi, diharapkan sosialisasi serta penyuluhan keamanan pangan akan lebih efektif,
hanya saja menurut Efriza 2009, dalam menggunakan media promosi untuk penyuluhan dan menyampaikan pesan kepada masyarakat, perlu diperhatikan
golongan responden yang akan menerima pesan serta memilih media promosi yang tepat supaya pesan yang disampaikan dapat diterima dan
diimplementasikan. Pendalaman lebih lanjut melalui wawancara dengan responden
menunjukkan bahwa semua unit usaha pengguna jasa boga, selama menggunakan jasa boga tidak terdapat keluhan keracunan pangan atau kasus
KLB keracunan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikat laik hygiene dan sanitasi yang telah dimiliki oleh jasa boga cukup efektif untuk menekan
kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa KLB keracunan pangan oleh jasa boga. Adapun pengetahuan dan kebutuhan jasa boga akan penerapan dan
sertifikasi HACCP lebih disebabkan karena tuntutan pengguna jasa boga yang kebanyakan lebih mengenal sistem HACCP.
Tahap penelitian selanjutnya, dilakukan pengumpulan data sekunder berupa data jumlah Kejadian Luar Biasa KLB penyakit atau keracunan
yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga dan data jumlah pertumbuhan usaha jasa boga.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan POM RI tahun 2012, Antara tahun 2001 sampai 2011 terjadi kasus Kejadian Luar Biasa KLB
keracunan pangan yang terlaporkan dengan jumlah orang yang mengkonsumsi dan jumlah korban KLB keracunan pangan yang dapat dilihat
pada Tabel 12. Data yang ditunjukkan pada Tabel 12 memberikan informasi bahwa
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan walaupun fluktuatif tetapi secara umum jumlahnya
meningkat dari tahun 2001 sebanyak 26 KLB menjadi 128 KLB pada tahun 2011. Demikian pula dengan jumlah korban KLB keracunan pangan juga
mengalami fluktuatif tetapi secara umum jumlahnya terus meningkat, dari tahun 2001 sebanyak 1183 korban menjadi 6901 korban pada tahun 2011.
Tabel 12. Total KLB keracunan pangan yang terlaporkan, jumlah orang yang mengkonsumsi dan jumlah korban KLB keracunan pangan
tahun 2001 – 2011 TAHUN
JUMLAH KLB
MAKAN KASUSKORBAN MENINGGAL
2001 26
1965 1183
16 2002
43 6543
3635 10
2003 34
8651 1843
12 2004
164 22297
7366 51
2005 184
23864 8949
49 2006
159 21145
8733 40
2007 179
19120 7471
54 2008
197 25268
8943 79
2009 115
7815 3239
17 2010
163 10195
5510 68
2011 128
18144 6901
11
Sama halnya dengan jumlah korban yang meninggal akibat KLB keracunan pangan, dari tahun 2001 sebanyak 16 korban meninggal dan
mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebanyak 79 korban meninggal. Angka ini terus fluktuatif hingga tahun 2011 menjadi 11 korban meninggal,
walaupun angka ini turun tetapi tetap tinggi untuk kasus kehilangan nyawa akibat keracunan pangan.
Perlu digaris bawahi bahwa semua data jumlah KLB keracunan pangan ini adalah kasus KLB yang terlaporkan. WHO menyebutkan bahwa
setiap satu kasus yang berkaitan dengan KLB keracunan pangan di suatu Negara berkembang, maka paling tidak terdapat 99 kasus lain yang tidak
dilaporkan. Ini berarti, jumlah korban KLB keracunan pangan yang sebenarnya jauh di atas angka yang dihimpun oleh BPOM.
Untuk jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan sepanjang tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat dari Tabel 13. Presentase jenis pangan
penyebab KLB keracunan pangan untuk pangan jasa boga secara umum menempati urutan kedua terbesar setelah masakan rumah tangga yaitu
sebesar 21.62 Tabel 13. Persentase ini cukup tinggi untuk suatu usaha yang pengelolaannya diatur oleh pemerintah melalui Permenkes. Tingginya
angka jenis pangan jasa boga sebagai penyebab KLB keracunan pangan dibandingkan masakan rumah tangga pada rentang tahun 2001 sampai 2002
dapat disebabkan pada kurun waktu tersebut belum adanya Peraturan Menteri Kesehatan mengenai hygiene dan sanitasi untuk usaha jasa boga. Angka ini
berbalik menurun menjadi lebih kecil dibandingkan masakan rumah tangga pada tahun 2003 sampai 2011 kemungkinan hal ini dapat disebabkan pada
tahun 2003 Permenkes mengenai hygiene sanitasi jasa boga telah dikeluarkan oleh pemerintah, dan dapat juga dimungkinkan oleh system pelaporan dan
monitoring yang sudah lebih baik. Tabel 13. Jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan tahun 2001 – 2011
Tahun Jenis Pangan
Total KLB
Masakan Rumah
Tangga Pangan
Olahan Pangan
Jasa Boga
Jajanan Lain-
lain Tidak
dilaporkan 2001
5 5
11 5
26 2002
8 8
15 7
5 43
2003 11
9 10
2 2
34 2004
88 25
25 20
6 164
2005 78
28 39
33 6
184 2006
68 21
43 26
1 159
2007 104
22 27
18 8
179 2008
82 31
51 31
2 197
2009 47
28 18
22 115
2010 71
28 32
22 4
6 163
2011 58
16 30
16 8
128 Total
620 221
301 202
23 25
1392 44.54
15.88 21.62
14.51 1.65
1.80 100.00
Pada Tabel 13 terlihat bahwa presentase tertinggi jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan justru disebabkan oleh masakan rumah
tangga yaitu sebesar 44.54. Tingginya masakan rumah tangga sebagai penyebab KLB keracunan pangan dapat disebabkan masakan rumah tangga
yang dimasak secara massal yang diperuntukkan untuk orang banyak, tidak terdapat regulasi mengenai hygiene dan sanitasi yang wajib diikuti oleh
pengolah masakan rumah tangga, dan seyogyanya disediakan oleh jasa boga. Perlu bagi pihak-pihak yang berwenang untuk memikirkan bagaimana
mengatur pengelola masakan rumah tangga yang dimasak secara massal dan diperuntukkan bagi konsumen dengan jumlah yang cukup banyak, agar
mengetahui wawasan mengenai hygiene dan sanitasi pengelolaan pangan yang baik.
Gambar 4. Persentase Jenis Pangan Penyebab KLB Keracunan Pangan Terlapor Tahun 2001-2011.
Jika difokuskan pada tiga terbesar kontribusi persentase jenis pangan penyebab KLB Keracunan Pangan terhadap total kasus KLB yang dapat
dilihat pada Gambar 4, yaitu masakan rumah tangga, pangan olahan, dan pangan jasa boga yang terlaporkan sepanjang tahun 2001 sampai 2011
terlihat bahwa pangan jasa boga sebagai penyebab KLB memiliki kecendrungan turun selama rentang tahun 2001 sampai 2004, berbeda dengan
dua penyebab lainnya yang memiliki kecendrungan naik selama rentang tahun yang sama.
Namun demikian, untuk ketiga jenis penyebab KLB, persentase ini menunjukkan fluktuatif selama tahun 2004 sampai 2011. Hal ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Menurut data yang dihimpun oleh BPOM, penyebab KLB keracunan pangan termasuk pangan produk jasa boga
sepanjang tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat pada Tabel 14 yang menunjukkan bahwa agen penyebab KLB keracunan pangan yang dapat
dideteksi adalah karena adanya cemaran mikroba yang tinggi termasuk cemaran mikroba patogen 19.76 dan bahan kimia 12.64.
Tabel 14. Penyebab KLB keracunan pangan yang terlaporkan tahun 2001 – 2011
Tahun Penyebab
Total Mikroba Kimia
Tidak TerdeteksiTidak dapat ditentukan
2001 6
5 15
26 2002
12 6
25 43
2003 9
1 24
34 2004
36 22
106 164
2005 28
14 142
184 2006
25 15
119 159
2007 29
25 125
179 2008
54 37
106 197
2009 22
10 83
115 2010
16 22
125 163
2011 38
19 71
128 Total
275 176
941 1392
19.76 12.64
67.60 100.00
Adanya mikroba pada pangan salah satunya dapat disebabkan oleh kondisi sanitasi dan hygiene sarana produksi dan tempat mengolah pangan
yang buruk. Menurut Cahyono, 2009, pemeriksaan terhadap sarana produksi makananminuman skala rumah tangga menengah dan besar menemukan
sekitar 33,15 - 42,18 sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan
sanitasi, sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan TPM yang mencakup jasa boga, restoranrumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar
19,98 yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31 dari rumah makanrestoran yang diawasi yang memenuhi syarat
untuk diberi kategori golongan. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau usaha berskala besar. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Gumilar 1999 yang menyatakan bahwa tingkat kontaminasi makanan ternyata lebih banyak pada penanggungjawab usaha jasa boga yang
tidak pernah mengikuti pelatihan penyuluhan. Presentase tertinggi penyebab KLB keracunan pangan berdasarkan
Tabel 14, justru tidak terdeteksi atau tidak dapat ditentukan penyebabnya sebesar 67.60. Hal ini dapat disebabkan antara lain oleh kesalahan
penanganan sampel, keterbatasan kapasitas SDM dan fasilitas laboratorium, ketidakjelasan mekanisme penyelidikan dan pelaporan KLB keracunan
pangan, dan keterbatasan dalam akses ke laboratorium rujukan BPOM, 2009.
Sedangkan profil persentase penyebab KLB keracunan pangan yang tidak terdeteksi atau tidak dapat ditentukan ini dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Persentase penyebab KLB keracunan pangan yang tidak terdeteksi tahun 2001 – 2011.
Tahun Total KLB
Penyebab yang tidak terdeteksitidak dapat ditentukan
2001 26
15 57.69
2002 43
25 58.14
2003 34
24 70.59
2004 164
106 64.63
2005 184
142 77.17
2006 159
119 74.84
2007 179
125 69.83
2008 197
106 53.81
2009 115
83 72.17
2010 163
125 76.69
2011 128
71 55.47
Dari data pada Tabel 15 menunjukkan bahwa walaupun persentase tertinggi penyebab KLB keracunan pangan adalah dikarenakan hal-hal yang
tidak bisa ditentukan atau penyebabnya tidak terdeteksi, profil persentase penyebab yang tidak terdeteksi inipun tiap tahun nya mengalami fluktuatif.
Namun demikian nilainya setiap tahun selalu cukup tinggi yaitu lebih dari 50. Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun terakhir
belum ada metode penanganan sampel yang efektif serta system deteksi dini guna penanganan investigasi KLB keracunan pangan.
Mencermati perkembangan pola dan frekuensi kejadian keracunan pangan di tengah-tengah masyarakat, maka sistem deteksi dini dan
investigasi KLB keracunan pangan merupakan hal yang sangat penting karena dapat memberikan sumbangsih besar dalam menjaga keamanan
pangan, terutama dalam mengungkap kelemahan mata rantai produksi pangan termasuk pangan siap saji Imari, 2011.
Dalam rangka mengatasi hal ini, Badan POM RI telah menyusun langkah-langkah guna meningkatkan kemampuan SDM untuk surveilan KLB
keracunan pangan dan program-program terkait penanganan KLB keracunan pangan BPOM, 2011. Hanya saja, sebaik-baiknya program yang telah
disusun, perlu ada evaluasi untuk memperbaiki dan meningkatkan keefektifan sistem yang dibangun. Pada era otonomi daerah saat ini, Pemerintah Daerah
KabupatenKota merupakan ujung tombak terhadap penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan di daerah, karena itu program yang
telah disusun oleh pemerintah harus melibatkan tiga tingkatan administrasi pemerintahan yaitu tingkat Pemerintah KabupatenKota, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Pusat. Untuk mengetahui indikasi tingkat kecukupan sistem keamanan
pangan pada industri jasa boga, dapat dilihat tren data pertumbuhan jumlah usaha jasa bogakatering dan data korban kasus KLB keracunan pangan yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Depok tahun 2008 sampai 2011 yang dapat dilihat pada Gambar 5.
Dari Gambar 5 diketahui bahwa tren pertumbuhan usaha jasa boga bersertifikat dan tidak pada rentang tahun 2008 – 2011 seiring dengan
peningkatan korban kasus KLB keracunan pangan. Walaupun penyebab KLB Keracunan Pangan di Kota Depok yang terlaporkan sepanjang tahun 2008 –
2011 melibatkan masakan rumah tangga, jajanan, dan jasa boga, namun demikian berdasarkan investigasi langsung ke lapangan oleh Dinas Kesehatan
Kota Depok, diketahui bahwa semua jasa boga atau katering yang menyebabkan KLB keracunan pangan belum memiliki sertifikat laik hygiene
dan sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Depok. Hal ini menunjukkan bahwa Sertifikat ini penting dan cukup dalam upaya menekan
kasus KLB keracunan pangan oleh pangan jasa boga. Hal penting lainnya adalah masih kurangnya pengetahuan pengguna jasa boga tentang sertifikasi
keamanan pangan yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi, tercermin dari tidak adanya pengguna jasa boga yang mempersyaratkan unit usaha jasa boga
untuk memiliki sertifikat keamanan pangan ini Tabel 11 sebelum melakukan kerjasama. Padahal pengetahuan dan kepedulian konsumen yang
tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan Cahyono, 2009.
Gambar 5. Tren Pertumbuhan Usaha Jasa Boga dan Korban KLB Keracunan Pangan Terlapor di Kota Depok Tahun 2008-2011.
Jika diamati dari Gambar 5 diketahui bahwa sampai tahun 2011, tercatat ada sebanyak 100 usaha jasa boga yang beroperasi di wilayah Kota
Depok. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Depok, hingga akhir tahun 2011
ada sebanyak 63 usaha jasa boga yang telah memiliki Sertifikat dan 37 usaha jasa boga yang belum memiliki Sertifikat Laik Hygiene dan Santasi. Hal ini
menunjukkan bahwa kurangnya kepedulian pengusaha jasa boga terhadap jaminan keamanan pangan yang diwujudkan dalam kepemilikan sertifikat
laik hygiene sanitasi. Selain itu perlu ada pengawasan dan tindakan tegas dari instansi berwenang di tingkat wilayah tempat jasa boga beroperasi.
Pengawasan dan tindak lanjut pengawasan yang dilakukan oleh instansi berwenang harus ditingkatkan dan memberikan efek jera Rahayu, 2007,
dengan mengeluarkan perda misalnya, sehingga instansi pemerintah yang berwenang di tingkat daerah memiliki kekuatan hukum dalam mengambil
tindakan terhadap temuan untuk usaha jasa boga yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi serta jika ditemui kasus KLB keracunan
pangan yang dihasilkan oleh jasa boga. Hasil Kajian BPKN bidang pangan 2011, merekomendasikan perlu adanya pembinaan dan pengawasan intensif
dari instansi berwenang untuk usaha jasa boga supaya senantiasa dapat menghasilkan pangan siap saji yang aman dan bergizi.
Meskipun program keamanan pangan untuk jasa boga khususnya kewajiban Sertifikat Laik Hygiene dan Sanitasi dinilai cukup, namun
demikian kenyataan di lapangan masih saja terjadi kasus KLB keracunan pangan. Berdasarkan data yang diperoleh sepanjang tahun 2012 ini, diperoleh
beberapa kasus KLB akibat keracunan pangan di beberapa tempat berbeda yang dapat dilihat pada Tabel 16.
Dari keenam data kejadian KLB keracunan pangan yang dihimpun sepanjang tahun 2012 Tabel 16, terlihat bahwa sebagian besar kasus KLB
keracunan pangan terutama pangan siap saji disebabkan oleh masakan rumah tangga dan warung yang memang tidak memiliki kewajiban bersertifikat laik
hygiene sanitasi. Untuk kasus keempat dari Tabel 16 terlihat bahwa usaha jasa bogakatering yang menyebabkan kasus KLB keracunan pangan adalah
usaha jasa bogakatering yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi jasa boga yang memiliki sertifikat laik
hygiene sanitasi terhadap kasus KLB keracunan pangan sangat kecil sehingga
dapat dilihat bahwa sertifikat laik hyhiene sanitasi cukup untuk menekan kemungkinan KLB keracunan pangan.
Berdasarkan data kasus-kasus KLB keracunan pangan, perlu untuk membedakan antara kecukupan sistem keamanan pangan dengan pelaksanaan
sistem keamanan pangan di lapangan. Menurut kajian di atas, diketahui bahwa sistem keamanan yang telah diprogramkan pemerintah untuk industri
jasa boga cukup untuk menekan kasus KLB keracunan pangan akibat jasa boga. Tetapi berbeda halnya dalam pelaksanaan di lapangan.
Tabel 16. Kasus KLB keracunan kangan sepanjang tahun 2012 di beberapa tempat berbeda.
Waktu dan Lokasi Jumlah Korban
Tempat Kasus
Sumber 5 Mei 2012,
Kampung Kandang Sapi Lor, Tangerang
Selatan, Banten Belasan warga
kampong Acara Pesta Khitanan
KLB akibat keracunan pangan ini terjadi setelah warga menyantap pangan di sebuah
pesta khitanan yang dimasak oleh para kerabat keluarga di lokasi dekat tempat
pesta tersebut Dinkes
Tangerang
10 Mei 2012, Desa Hargosari,
Kecamatan Sine, Ngawi
14 warga Sawah tanam
padi Korban merasa pusing, perut mual, dan
munah-muntah setelah makan makanan yang dimasak di rumah oleh pemilik sawah
metrotv.com
27 Mei 2012, Bukit Duri, Tebet, Jakarta
Selatan 41 orang Acara
Ulang Tahun KLB akibat keracunan pangan setelah
menyantap nasi kuning di acara ulang tahun seorang anak setempat, korban merasa
mual, muntah, pusing, suhu badan naik dan mengalami keringat dingin.
Tribun Jakarta, Edisi 28 Mei
2012
7 Juni 2012, pabrik elektronik di daerah
jalan raya bogor 81 orang Pabrik
elektronik KLB akibat keracunan pangan dengan
gejala diare dan mual setelah menyantap makan siang yang disediakan oleh usaha
jasa bogakatering perusahaan. Berdasarkan informasi yang diperoleh,
usaha jasa bogakatering tersebut belum memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi.
Dinkes Depok
17 Juni 2012, Kampung Pabuaran,
Desa Kertajaya, Kecamatan Rumpin,
Kabupaten Bogor 38 orang Acara
Hajatan KLB akibat keracunan pangan sehabis
menyantap hidangan
hajatan, korban
mengalami mual dan kepala pusing setelah menyantap hidangan pada hajatan tersebut
yang dimasak oleh bantuan para tetangga di lokasi dekat acara hejatan tersebut
Media Bogor+, Edisi 19 Juni
2012
Dari data yang diperoleh di Dinas Kesehatan Kota Depok, diketahui bahwa untuk jasa boga yang sudah mendaftar tetapi belum memenuhi
persyaratan hygiene
dan santasi
sesuai Permenkes
No. 1096MenkesPERVI2011, maka jasa boga yang bersangkutan belum
mendapatkan sertifikat. Kenyataan di lapangan, belum ada tindak lanjut yang
jelas untuk jasa boga seperti ini, sementara jasa boga yang bersangkutan tetap melakukan usahanya walaupun sertifikat laik hygiene sanitasinya belum
terbit. Tidak adanya aspek perangkat hukum untuk jasa boga yang telah beroperasi tetapi belum memiliki sertifikat merupakan kendala utama yang
dirasa oleh Dinas Kesehatan Kota Depok ketika melakukan pengawasan, demikian pula di lapangan ditemukan kesulitan dalam mengambil tindak
lanjut pengawasan yang harus dilakukan untuk jasa boga tidak bersertifikat yang diketahui telah menyebabkan KLB keracunan pangan. Oleh karena itu
perlu ada perangkat hukum sehingga instansi pemerintah yang berwenang di tingkat daerah memiliki kekuatan hukum dalam mengambil tindakan
terhadap temuan untuk usaha jasa boga yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi serta jika ditemui kasus KLB keracunan pangan yang
dihasilkan oleh jasa boga. Ada empat masalah utama keamanan pangan jasa boga yang
berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat luas, yaitu 1 produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan pangan, seperti
ditemukannya cemaran mikroba dan cemaran kimia berbahaya pestisida, logam berat, obat-obat pertanian; 2 masih banyak terjadi kasus kercunan
pangan yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum dapat diidentifikasi penyebabnya; 3 masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung
jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan; 4 rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan
pengetahuan yang terbatas; 5 walaupun pengawasan dari Dinas Kesehatan daerah setempat kini mulai digalakkan, tetapi frekuensi dan keefektifan serta
kemampuan SDM yang bertugas masih perlu untuk ditingkatkan; 6 perlu adanya payung hukum di tingkat pelaksana daerah sehingga penerapan
kebijakan menjadi tegas dan jelas. Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai dampak
terhadap pemerintah, pengusaha jasa boga, dan pengguna jasa boga. Oleh karena itu diperlukan peran serta ketiga perangkat tersebut untuk menjamin
mutu dan keamanan pangan.