KECUKUPAN SISTEM KEAMANAN PANGAN UNTUK

Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi sistem HACCP cukup efektif sampai kepada masyarakat terutama unit usaha pengguna jasa boga, sebaliknya sosialisasi program piagam bintang keamanan pangan, CPPB, dan sertifikat laik hygiene sanitasi masih kurang. Tabel 11. Hasil wawancara unit usaha pengguna jasa boga n=28 Kategori Pengguna Jasa Boga Jumlah Unit Usaha Pengguna Jasa Boga Asal Pengetahuan Sertifikat Jenis Usaha Pengguna Jasa Boga Tidak mengenal sama sekali 1 - Pabrik Non Pangan Mengenal sertifikat HACCP 26 Informasi dari media cetak dan relasi Asrama Polisi = 1, Asrama AD AL =2, Kantor Non Pangan = 4, Sekolah = 5, Pabrik Non Pangan = 14 Mengenal sertifikat HACCP dan program CPPB 1 Pelatihan Pabrik Pangan Keluhan dan kasus KLB - Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa media cetak serta informasi dari rekanan cukup efektif sebagai media promosi HACCP. Selain itu, bila dilihat dari latar belakang jenis usaha pengguna jasa boga, 1 unit usaha yang mengenal HACCP dan CPPB melalui pelatihan, hal ini dapat difahami karena unit usaha pengguna jasa boga tersebut merupakan unit usaha yang bergerak dalam produksi pangan. Untuk 1 unit usaha yang tidak mengenal semua sertifikat keamanan pangan yang ditanyakan, hal ini dapat dimengerti karena unit usaha pengguna jasa boga tersebut bergerak dalam bidang non pangan yaitu alat-alat berat untuk pembangunan jalan, sehingga informasi mengenai jaminan kemanan pangan jasa boga sangat terbatas. Sedangkan untuk 26 unit usaha yang hanya mengenal HACCP melalui media cetak dapat dimaklumi karena jenis usaha pengguna jasa boga yang juga dibidang non pangan. Untuk menumbuhkan pengetahuan pengguna jasa boga akan sertifikat keamanan pangan terutama sertifikat laik hygiene sanitasi oleh jasa boga, diperlukan sosialisasi pemerintah yang lebih luas lagi dan dapat menjangkau unit usaha pengguna jasa boga padat karya yang jumlah pekerjanya lebih banyak lagi. Media promosi dapat digunakan sebagai alternatif alat sosialisasi mengenai program keamanan pangan. Menurut Kennedy 2009, peran media sangat dibutuhkan dalam menyampaikan pesan kepada khalayak, dengan adanya media akan mempermudah khalayak untuk memahami pesan yang disampaikan kepada mereka. Dengan menggunakan media promosi, diharapkan sosialisasi serta penyuluhan keamanan pangan akan lebih efektif, hanya saja menurut Efriza 2009, dalam menggunakan media promosi untuk penyuluhan dan menyampaikan pesan kepada masyarakat, perlu diperhatikan golongan responden yang akan menerima pesan serta memilih media promosi yang tepat supaya pesan yang disampaikan dapat diterima dan diimplementasikan. Pendalaman lebih lanjut melalui wawancara dengan responden menunjukkan bahwa semua unit usaha pengguna jasa boga, selama menggunakan jasa boga tidak terdapat keluhan keracunan pangan atau kasus KLB keracunan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikat laik hygiene dan sanitasi yang telah dimiliki oleh jasa boga cukup efektif untuk menekan kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa KLB keracunan pangan oleh jasa boga. Adapun pengetahuan dan kebutuhan jasa boga akan penerapan dan sertifikasi HACCP lebih disebabkan karena tuntutan pengguna jasa boga yang kebanyakan lebih mengenal sistem HACCP. Tahap penelitian selanjutnya, dilakukan pengumpulan data sekunder berupa data jumlah Kejadian Luar Biasa KLB penyakit atau keracunan yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga dan data jumlah pertumbuhan usaha jasa boga. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan POM RI tahun 2012, Antara tahun 2001 sampai 2011 terjadi kasus Kejadian Luar Biasa KLB keracunan pangan yang terlaporkan dengan jumlah orang yang mengkonsumsi dan jumlah korban KLB keracunan pangan yang dapat dilihat pada Tabel 12. Data yang ditunjukkan pada Tabel 12 memberikan informasi bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan walaupun fluktuatif tetapi secara umum jumlahnya meningkat dari tahun 2001 sebanyak 26 KLB menjadi 128 KLB pada tahun 2011. Demikian pula dengan jumlah korban KLB keracunan pangan juga mengalami fluktuatif tetapi secara umum jumlahnya terus meningkat, dari tahun 2001 sebanyak 1183 korban menjadi 6901 korban pada tahun 2011. Tabel 12. Total KLB keracunan pangan yang terlaporkan, jumlah orang yang mengkonsumsi dan jumlah korban KLB keracunan pangan tahun 2001 – 2011 TAHUN JUMLAH KLB MAKAN KASUSKORBAN MENINGGAL 2001 26 1965 1183 16 2002 43 6543 3635 10 2003 34 8651 1843 12 2004 164 22297 7366 51 2005 184 23864 8949 49 2006 159 21145 8733 40 2007 179 19120 7471 54 2008 197 25268 8943 79 2009 115 7815 3239 17 2010 163 10195 5510 68 2011 128 18144 6901 11 Sama halnya dengan jumlah korban yang meninggal akibat KLB keracunan pangan, dari tahun 2001 sebanyak 16 korban meninggal dan mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebanyak 79 korban meninggal. Angka ini terus fluktuatif hingga tahun 2011 menjadi 11 korban meninggal, walaupun angka ini turun tetapi tetap tinggi untuk kasus kehilangan nyawa akibat keracunan pangan. Perlu digaris bawahi bahwa semua data jumlah KLB keracunan pangan ini adalah kasus KLB yang terlaporkan. WHO menyebutkan bahwa setiap satu kasus yang berkaitan dengan KLB keracunan pangan di suatu Negara berkembang, maka paling tidak terdapat 99 kasus lain yang tidak dilaporkan. Ini berarti, jumlah korban KLB keracunan pangan yang sebenarnya jauh di atas angka yang dihimpun oleh BPOM. Untuk jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan sepanjang tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat dari Tabel 13. Presentase jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan untuk pangan jasa boga secara umum menempati urutan kedua terbesar setelah masakan rumah tangga yaitu sebesar 21.62 Tabel 13. Persentase ini cukup tinggi untuk suatu usaha yang pengelolaannya diatur oleh pemerintah melalui Permenkes. Tingginya angka jenis pangan jasa boga sebagai penyebab KLB keracunan pangan dibandingkan masakan rumah tangga pada rentang tahun 2001 sampai 2002 dapat disebabkan pada kurun waktu tersebut belum adanya Peraturan Menteri Kesehatan mengenai hygiene dan sanitasi untuk usaha jasa boga. Angka ini berbalik menurun menjadi lebih kecil dibandingkan masakan rumah tangga pada tahun 2003 sampai 2011 kemungkinan hal ini dapat disebabkan pada tahun 2003 Permenkes mengenai hygiene sanitasi jasa boga telah dikeluarkan oleh pemerintah, dan dapat juga dimungkinkan oleh system pelaporan dan monitoring yang sudah lebih baik. Tabel 13. Jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan tahun 2001 – 2011 Tahun Jenis Pangan Total KLB Masakan Rumah Tangga Pangan Olahan Pangan Jasa Boga Jajanan Lain- lain Tidak dilaporkan 2001 5 5 11 5 26 2002 8 8 15 7 5 43 2003 11 9 10 2 2 34 2004 88 25 25 20 6 164 2005 78 28 39 33 6 184 2006 68 21 43 26 1 159 2007 104 22 27 18 8 179 2008 82 31 51 31 2 197 2009 47 28 18 22 115 2010 71 28 32 22 4 6 163 2011 58 16 30 16 8 128 Total 620 221 301 202 23 25 1392 44.54 15.88 21.62 14.51 1.65 1.80 100.00 Pada Tabel 13 terlihat bahwa presentase tertinggi jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan justru disebabkan oleh masakan rumah tangga yaitu sebesar 44.54. Tingginya masakan rumah tangga sebagai penyebab KLB keracunan pangan dapat disebabkan masakan rumah tangga yang dimasak secara massal yang diperuntukkan untuk orang banyak, tidak terdapat regulasi mengenai hygiene dan sanitasi yang wajib diikuti oleh pengolah masakan rumah tangga, dan seyogyanya disediakan oleh jasa boga. Perlu bagi pihak-pihak yang berwenang untuk memikirkan bagaimana mengatur pengelola masakan rumah tangga yang dimasak secara massal dan diperuntukkan bagi konsumen dengan jumlah yang cukup banyak, agar mengetahui wawasan mengenai hygiene dan sanitasi pengelolaan pangan yang baik. Gambar 4. Persentase Jenis Pangan Penyebab KLB Keracunan Pangan Terlapor Tahun 2001-2011. Jika difokuskan pada tiga terbesar kontribusi persentase jenis pangan penyebab KLB Keracunan Pangan terhadap total kasus KLB yang dapat dilihat pada Gambar 4, yaitu masakan rumah tangga, pangan olahan, dan pangan jasa boga yang terlaporkan sepanjang tahun 2001 sampai 2011 terlihat bahwa pangan jasa boga sebagai penyebab KLB memiliki kecendrungan turun selama rentang tahun 2001 sampai 2004, berbeda dengan dua penyebab lainnya yang memiliki kecendrungan naik selama rentang tahun yang sama. Namun demikian, untuk ketiga jenis penyebab KLB, persentase ini menunjukkan fluktuatif selama tahun 2004 sampai 2011. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Menurut data yang dihimpun oleh BPOM, penyebab KLB keracunan pangan termasuk pangan produk jasa boga sepanjang tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat pada Tabel 14 yang menunjukkan bahwa agen penyebab KLB keracunan pangan yang dapat dideteksi adalah karena adanya cemaran mikroba yang tinggi termasuk cemaran mikroba patogen 19.76 dan bahan kimia 12.64. Tabel 14. Penyebab KLB keracunan pangan yang terlaporkan tahun 2001 – 2011 Tahun Penyebab Total Mikroba Kimia Tidak TerdeteksiTidak dapat ditentukan 2001 6 5 15 26 2002 12 6 25 43 2003 9 1 24 34 2004 36 22 106 164 2005 28 14 142 184 2006 25 15 119 159 2007 29 25 125 179 2008 54 37 106 197 2009 22 10 83 115 2010 16 22 125 163 2011 38 19 71 128 Total 275 176 941 1392 19.76 12.64 67.60 100.00 Adanya mikroba pada pangan salah satunya dapat disebabkan oleh kondisi sanitasi dan hygiene sarana produksi dan tempat mengolah pangan yang buruk. Menurut Cahyono, 2009, pemeriksaan terhadap sarana produksi makananminuman skala rumah tangga menengah dan besar menemukan sekitar 33,15 - 42,18 sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi, sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan TPM yang mencakup jasa boga, restoranrumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98 yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31 dari rumah makanrestoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi kategori golongan. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau usaha berskala besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gumilar 1999 yang menyatakan bahwa tingkat kontaminasi makanan ternyata lebih banyak pada penanggungjawab usaha jasa boga yang tidak pernah mengikuti pelatihan penyuluhan. Presentase tertinggi penyebab KLB keracunan pangan berdasarkan Tabel 14, justru tidak terdeteksi atau tidak dapat ditentukan penyebabnya sebesar 67.60. Hal ini dapat disebabkan antara lain oleh kesalahan penanganan sampel, keterbatasan kapasitas SDM dan fasilitas laboratorium, ketidakjelasan mekanisme penyelidikan dan pelaporan KLB keracunan pangan, dan keterbatasan dalam akses ke laboratorium rujukan BPOM, 2009. Sedangkan profil persentase penyebab KLB keracunan pangan yang tidak terdeteksi atau tidak dapat ditentukan ini dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Persentase penyebab KLB keracunan pangan yang tidak terdeteksi tahun 2001 – 2011. Tahun Total KLB Penyebab yang tidak terdeteksitidak dapat ditentukan 2001 26 15 57.69 2002 43 25 58.14 2003 34 24 70.59 2004 164 106 64.63 2005 184 142 77.17 2006 159 119 74.84 2007 179 125 69.83 2008 197 106 53.81 2009 115 83 72.17 2010 163 125 76.69 2011 128 71 55.47 Dari data pada Tabel 15 menunjukkan bahwa walaupun persentase tertinggi penyebab KLB keracunan pangan adalah dikarenakan hal-hal yang tidak bisa ditentukan atau penyebabnya tidak terdeteksi, profil persentase penyebab yang tidak terdeteksi inipun tiap tahun nya mengalami fluktuatif. Namun demikian nilainya setiap tahun selalu cukup tinggi yaitu lebih dari 50. Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun terakhir belum ada metode penanganan sampel yang efektif serta system deteksi dini guna penanganan investigasi KLB keracunan pangan. Mencermati perkembangan pola dan frekuensi kejadian keracunan pangan di tengah-tengah masyarakat, maka sistem deteksi dini dan investigasi KLB keracunan pangan merupakan hal yang sangat penting karena dapat memberikan sumbangsih besar dalam menjaga keamanan pangan, terutama dalam mengungkap kelemahan mata rantai produksi pangan termasuk pangan siap saji Imari, 2011. Dalam rangka mengatasi hal ini, Badan POM RI telah menyusun langkah-langkah guna meningkatkan kemampuan SDM untuk surveilan KLB keracunan pangan dan program-program terkait penanganan KLB keracunan pangan BPOM, 2011. Hanya saja, sebaik-baiknya program yang telah disusun, perlu ada evaluasi untuk memperbaiki dan meningkatkan keefektifan sistem yang dibangun. Pada era otonomi daerah saat ini, Pemerintah Daerah KabupatenKota merupakan ujung tombak terhadap penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan di daerah, karena itu program yang telah disusun oleh pemerintah harus melibatkan tiga tingkatan administrasi pemerintahan yaitu tingkat Pemerintah KabupatenKota, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Untuk mengetahui indikasi tingkat kecukupan sistem keamanan pangan pada industri jasa boga, dapat dilihat tren data pertumbuhan jumlah usaha jasa bogakatering dan data korban kasus KLB keracunan pangan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Depok tahun 2008 sampai 2011 yang dapat dilihat pada Gambar 5. Dari Gambar 5 diketahui bahwa tren pertumbuhan usaha jasa boga bersertifikat dan tidak pada rentang tahun 2008 – 2011 seiring dengan peningkatan korban kasus KLB keracunan pangan. Walaupun penyebab KLB Keracunan Pangan di Kota Depok yang terlaporkan sepanjang tahun 2008 – 2011 melibatkan masakan rumah tangga, jajanan, dan jasa boga, namun demikian berdasarkan investigasi langsung ke lapangan oleh Dinas Kesehatan Kota Depok, diketahui bahwa semua jasa boga atau katering yang menyebabkan KLB keracunan pangan belum memiliki sertifikat laik hygiene dan sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Depok. Hal ini menunjukkan bahwa Sertifikat ini penting dan cukup dalam upaya menekan kasus KLB keracunan pangan oleh pangan jasa boga. Hal penting lainnya adalah masih kurangnya pengetahuan pengguna jasa boga tentang sertifikasi keamanan pangan yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi, tercermin dari tidak adanya pengguna jasa boga yang mempersyaratkan unit usaha jasa boga untuk memiliki sertifikat keamanan pangan ini Tabel 11 sebelum melakukan kerjasama. Padahal pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan Cahyono, 2009. Gambar 5. Tren Pertumbuhan Usaha Jasa Boga dan Korban KLB Keracunan Pangan Terlapor di Kota Depok Tahun 2008-2011. Jika diamati dari Gambar 5 diketahui bahwa sampai tahun 2011, tercatat ada sebanyak 100 usaha jasa boga yang beroperasi di wilayah Kota Depok. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Depok, hingga akhir tahun 2011 ada sebanyak 63 usaha jasa boga yang telah memiliki Sertifikat dan 37 usaha jasa boga yang belum memiliki Sertifikat Laik Hygiene dan Santasi. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kepedulian pengusaha jasa boga terhadap jaminan keamanan pangan yang diwujudkan dalam kepemilikan sertifikat laik hygiene sanitasi. Selain itu perlu ada pengawasan dan tindakan tegas dari instansi berwenang di tingkat wilayah tempat jasa boga beroperasi. Pengawasan dan tindak lanjut pengawasan yang dilakukan oleh instansi berwenang harus ditingkatkan dan memberikan efek jera Rahayu, 2007, dengan mengeluarkan perda misalnya, sehingga instansi pemerintah yang berwenang di tingkat daerah memiliki kekuatan hukum dalam mengambil tindakan terhadap temuan untuk usaha jasa boga yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi serta jika ditemui kasus KLB keracunan pangan yang dihasilkan oleh jasa boga. Hasil Kajian BPKN bidang pangan 2011, merekomendasikan perlu adanya pembinaan dan pengawasan intensif dari instansi berwenang untuk usaha jasa boga supaya senantiasa dapat menghasilkan pangan siap saji yang aman dan bergizi. Meskipun program keamanan pangan untuk jasa boga khususnya kewajiban Sertifikat Laik Hygiene dan Sanitasi dinilai cukup, namun demikian kenyataan di lapangan masih saja terjadi kasus KLB keracunan pangan. Berdasarkan data yang diperoleh sepanjang tahun 2012 ini, diperoleh beberapa kasus KLB akibat keracunan pangan di beberapa tempat berbeda yang dapat dilihat pada Tabel 16. Dari keenam data kejadian KLB keracunan pangan yang dihimpun sepanjang tahun 2012 Tabel 16, terlihat bahwa sebagian besar kasus KLB keracunan pangan terutama pangan siap saji disebabkan oleh masakan rumah tangga dan warung yang memang tidak memiliki kewajiban bersertifikat laik hygiene sanitasi. Untuk kasus keempat dari Tabel 16 terlihat bahwa usaha jasa bogakatering yang menyebabkan kasus KLB keracunan pangan adalah usaha jasa bogakatering yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi jasa boga yang memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi terhadap kasus KLB keracunan pangan sangat kecil sehingga dapat dilihat bahwa sertifikat laik hyhiene sanitasi cukup untuk menekan kemungkinan KLB keracunan pangan. Berdasarkan data kasus-kasus KLB keracunan pangan, perlu untuk membedakan antara kecukupan sistem keamanan pangan dengan pelaksanaan sistem keamanan pangan di lapangan. Menurut kajian di atas, diketahui bahwa sistem keamanan yang telah diprogramkan pemerintah untuk industri jasa boga cukup untuk menekan kasus KLB keracunan pangan akibat jasa boga. Tetapi berbeda halnya dalam pelaksanaan di lapangan. Tabel 16. Kasus KLB keracunan kangan sepanjang tahun 2012 di beberapa tempat berbeda. Waktu dan Lokasi Jumlah Korban Tempat Kasus Sumber 5 Mei 2012, Kampung Kandang Sapi Lor, Tangerang Selatan, Banten Belasan warga kampong Acara Pesta Khitanan KLB akibat keracunan pangan ini terjadi setelah warga menyantap pangan di sebuah pesta khitanan yang dimasak oleh para kerabat keluarga di lokasi dekat tempat pesta tersebut Dinkes Tangerang 10 Mei 2012, Desa Hargosari, Kecamatan Sine, Ngawi 14 warga Sawah tanam padi Korban merasa pusing, perut mual, dan munah-muntah setelah makan makanan yang dimasak di rumah oleh pemilik sawah metrotv.com 27 Mei 2012, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan 41 orang Acara Ulang Tahun KLB akibat keracunan pangan setelah menyantap nasi kuning di acara ulang tahun seorang anak setempat, korban merasa mual, muntah, pusing, suhu badan naik dan mengalami keringat dingin. Tribun Jakarta, Edisi 28 Mei 2012 7 Juni 2012, pabrik elektronik di daerah jalan raya bogor 81 orang Pabrik elektronik KLB akibat keracunan pangan dengan gejala diare dan mual setelah menyantap makan siang yang disediakan oleh usaha jasa bogakatering perusahaan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, usaha jasa bogakatering tersebut belum memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi. Dinkes Depok 17 Juni 2012, Kampung Pabuaran, Desa Kertajaya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor 38 orang Acara Hajatan KLB akibat keracunan pangan sehabis menyantap hidangan hajatan, korban mengalami mual dan kepala pusing setelah menyantap hidangan pada hajatan tersebut yang dimasak oleh bantuan para tetangga di lokasi dekat acara hejatan tersebut Media Bogor+, Edisi 19 Juni 2012 Dari data yang diperoleh di Dinas Kesehatan Kota Depok, diketahui bahwa untuk jasa boga yang sudah mendaftar tetapi belum memenuhi persyaratan hygiene dan santasi sesuai Permenkes No. 1096MenkesPERVI2011, maka jasa boga yang bersangkutan belum mendapatkan sertifikat. Kenyataan di lapangan, belum ada tindak lanjut yang jelas untuk jasa boga seperti ini, sementara jasa boga yang bersangkutan tetap melakukan usahanya walaupun sertifikat laik hygiene sanitasinya belum terbit. Tidak adanya aspek perangkat hukum untuk jasa boga yang telah beroperasi tetapi belum memiliki sertifikat merupakan kendala utama yang dirasa oleh Dinas Kesehatan Kota Depok ketika melakukan pengawasan, demikian pula di lapangan ditemukan kesulitan dalam mengambil tindak lanjut pengawasan yang harus dilakukan untuk jasa boga tidak bersertifikat yang diketahui telah menyebabkan KLB keracunan pangan. Oleh karena itu perlu ada perangkat hukum sehingga instansi pemerintah yang berwenang di tingkat daerah memiliki kekuatan hukum dalam mengambil tindakan terhadap temuan untuk usaha jasa boga yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi serta jika ditemui kasus KLB keracunan pangan yang dihasilkan oleh jasa boga. Ada empat masalah utama keamanan pangan jasa boga yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat luas, yaitu 1 produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan pangan, seperti ditemukannya cemaran mikroba dan cemaran kimia berbahaya pestisida, logam berat, obat-obat pertanian; 2 masih banyak terjadi kasus kercunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum dapat diidentifikasi penyebabnya; 3 masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan; 4 rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan yang terbatas; 5 walaupun pengawasan dari Dinas Kesehatan daerah setempat kini mulai digalakkan, tetapi frekuensi dan keefektifan serta kemampuan SDM yang bertugas masih perlu untuk ditingkatkan; 6 perlu adanya payung hukum di tingkat pelaksana daerah sehingga penerapan kebijakan menjadi tegas dan jelas. Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai dampak terhadap pemerintah, pengusaha jasa boga, dan pengguna jasa boga. Oleh karena itu diperlukan peran serta ketiga perangkat tersebut untuk menjamin mutu dan keamanan pangan.

4.2. EVALUASI KONDISI PADA USAHA JASA BOGA ATAU

KATERING DALAM RANGKA SERTIFIKASI SISTEM HACCP DI PT ELN

4.2.1. Sanitasi dan Hygiene

Perusahaan industri pangan siap saji atau katering PT ELN termasuk usaha jasa boga dengan kriteria Golongan A3 dan belum menerapkan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP. Untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh perusahaan pengguna jasa katering dan dalam rangka memenuhi kategori usaha jasa boga atau katering Golongan B sesuai Permenkes RI No. 1096PERVI2011, maka PT ELN berkeinginan untuk memenuhi persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga kategori Golongan B dan menerapkan sistem HACCP. Berdasarkan pengamatan observasi yang dilakukan di lapangan, wawancara, pengamatan keadaan nyata perusahaan atas penerapan Hygiene dan Sanitasi di PT ELN dibandingkan dengan standar yang ada berdasarkan Kriteria menurut Permenkes No. 1096PERVI2011, dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil evaluasi kondisi penerapan hygiene dan sanitasi di PT ELN No. ASPEK URAIAN BOBOT No. ASPEK URAIAN BOBOT 1 Lokasi, Bangunan, Fasilitas 4 10 Makanan 6 2 Pencahayaan 1 11 Perlindungan Makanan 9 3 Penghawaan 1 12 Peralatan Makan dan Masak 17 4 Air Bersih 5 13 Khusus Golongan A.1 5 5 Air Kotor 1 14 Khusus Golongan A.2 3 6 Fasilitas Cuci Tangan dan Toilet 3 15 Khusus Golongan A.3 8 7 Pembuangan Sampah 2 16 Khusus Golongan B 6 8 Ruang Pengolahan Makanan 2 17 Khusus Golongan C - 9 Karyawan 9 NILAI 82 Tabel 17 menunjukkan bahwa kondisi penerapan hygiene dan sanitasi di PT ELN diperoleh nilai bobot sebesar 82. Nilai bobot 82 ini masih termasuk dalam range kategori Golongan A3 nilai bobot 74 – 83. Oleh karena itu, berdasarkan standar permenkes, PT ELN harus melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk mencapai nilai bobot minimal 83 agar dapat masuk ke kategori usaha jasa boga Golongan B nilai bobot 83 – 92. Hasil selengkapnya dari pemeriksaan kondisi hygiene dan sanitasi perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil identifikasi dari ketidaksesuaian nilai bobot terhadap penerapan hygiene dan santasi berdasarkan Kriteria menurut Permenkes No. 1096PERVI2011 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Ketidaksesuaian kondisi PT ELN dalam penerapan hygiene dan sanitasi berdasarkan kriteria menurut Permenkes tahun 2011 No. ASPEK KETIDAKSESUAIAN URAIAN 1 Pencegahan Kontaminasi Silang - Status kesehatan dan kebersihan karyawan - Penggunaan atribut kerja - Pada lokasi kerja tidak terdapat himbauan tertulis dalam hal hygiene dan sanitasi 2 Pemeliharaan Sarana dan Pengendalian Hama - Program pest control belum dilaksanakan dengan baik 3 Persyaratan Fasilitas Sanitasi - Perusahaan baru memiliki fasilitas dua bak pencuci 4 Persyaratan Bangunan - Pertemuan sudut lantai dan dinding tidak konus Dari Tabel 18, diketahui terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam penerapan hygiene dan sanitasi berdasarkan kriteria menurut Permenkes. Ketidaksesuaian pertama adalah berkaitan dengan upaya untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh status kesehatan karyawan, kebersihan karyawan, dan kebiasaan karyawan hygiene karyawan. Walaupun semua karyawan yang bekerja bebas dar penyakit infeksi, kulit, bisul dan infeksi saluran pernafasan atas ISPA namun masih ada karyawan yang bekerja dengan luka terbuka walaupun sudah mengering. Selain itu masih ada karyawan yang menggunakan kosmetik saat melakukan pengolahan makanan, bahkan terkadang ada pengolah pangan yang tidak menggunakan penutup mulut serta sarung tangan saat menjamah pangan masak. Ketidakpraktisan dalam bekerja jika menggunakan penutup mulut dan sarungtangan merupakan keluhan sebagian besar karyawan. Hal ini merupakan kendala psikologis bagi para karyawan dalam penerapan hygiene karyawan, padahal manusia adalah sumber dari berbagai bakteri terutama bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi pangan melalui tenaga pengolah pangan Longree, 1980. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan dan pemantauan kesehatan karyawan yang sedang bertugas secara visual, misalnya penggunaan atribut penutup kepala, penutup mulut, dan sarung tangan, atau luka dan penyakit kulit, yang dapat dilakukan langsung oleh pihak penanggungjawab usaha jasa boga sebelum kegiatan pengolahan pangan dimulai. Depkes 2001, menguraikan bahwa bakteri dapat mengkontaminasi pangan melalui rambut, kulit penyakit kulit, kuku, saluran nafas penyakit saluran nafas, tangan, bersin, meludah, menguap, dan batuk. Semua karyawan diberikan pelatihan dalam hal sanitasi dan hygiene sekaligus untuk memperbaiki sikap dan perilaku karyawan dalam berkomitmen untuk mendukung program rencana penerapan sistem manajemen keamanan pangan di perusahaan.. Apabila ditemui ada karyawan yang tidak menjaga kebersihan dan tingkah laku karyawan selama proses pengolahan pangan, maka karyawan yang bersangkutan dapat ditegur atau diperingatkan dan dicatat terlebih dahulu. Bila karyawan yang diperingatkan dan dicatat telah 5 kali tetapi masih berperilaku yang tidak sesuai dengan aturan penerapan hygiene dan sanitasi serta kebiasaan karyawan yang baik, maka diperlukan adanya tindakan tegas berupa sangsi dari penanggung jawab usaha jasa boga. Menurut penelitian Nurlela 1998 penyuluhan dan pelatihan terbukti telah meningkatkan pengetahuan dan sikap penjamah pangan tentang hygiene dan sanitasi pangan. Pada lokasi pengolahan tidak terdapat satupun postertulisan himbauan untuk menjaga hygien dan sanitasi karyawan, karenanya sebagai mediator pengingat, perlu untuk menempelkan di tempat yang strategis