Permasalahan Keamanan Pangan Pada Industri Jasa Boga
tahun 2006, dalam kurun waktu 8 bulan terjadi 62 KLB. Dari 11.745 orang yang mengkonsumsi pangan, 4.235 di antaranya jatuh sakit dan 10 di antaranya
meninggal dunia BPKN, 2011. Kejadian Luar Biasa KLB menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 2004 adalah adanya 2 orang penderita atau lebih dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi pangan dan adanya dugaan pangan
sebagai sumber keracunan yang dibuktikan secara epidemilogis menunjukkan hubungan sebab akibat.
Hasil penelitian Sparingga 2011 menunjukkan bahwa dugaan penyebab KLB keracunan pangan paling banyak disebabkan oleh mikroba yaitu sebesar 21
persen, sedangkan bahan kimia 13 persen dan sisanya tidak ada sampel. Sedangkan kasus-kasus keracunan pangan penyebab kejadian luar biasa diperoleh
data karena beberapa hal yaitu : 1 pangan rumah tangga 562 kasus; 2 pangan olahan 205 kasus; 3 pangan jasa boga atau jasa katering 271 kasus; 4
pangan jajanan 186 kasus; 5 lain-lain 15 kasus; 6 tidak dilaporkan 25 kasus.
Menurut Fardiaz 1994 dari Bryan 1988 yang dilaporkan oleh Ganowiak 1992, di negara Amerika Serikat, sebanyak 11 kasus keracunan pangan yang
terjadi disebabkan oleh pangan yang dipersiapkan oleh industri jasa boga katering dan restoran, 20 kasus disebabkan oleh pangan yang dimasak di
rumah, dan hanya 3 kasus disebabkan oleh makanan yang diproduksi oleh industi pangan. Hal ini menunjukkan bahwa di negara-negara yang sudah
majupun pangan jasa boga atau katering memegang peranan penting sebagai penyebab keracunan pangan. Dengan kata lain, pangan siap saji merupakan
pangan berisiko tinggi dari segi keamanannya jika tidak dipersiapkan dengan baik. Menurut data Center for Disease Control and Prevention, faktor-faktor
penyebab keracunan pangan di negara Amerika Serikat ternyata yang terbanyak 37 disebabkan oleh suhu penyimpangan yang tidak tepat seperti praktek
pendinginan yang tidak tepat. Hal ini disebabkan di negara-negara tersebut banyak pangan yang disajikan dan dikonsumsi dalam keadaan dingin, misalnya berbagai
salad, baik yang berasal dari bahan nabati maupun hewani. Selain suhu pendinginan, penyimpanan hangat yang tidak tepat juga menjadi faktor.
Penyebab-penyebab keracunan lain yang cukup tinggi yaitu higiene pekerja pengolah makanan yang tidak baik 19, peralatan yang tercemar 16, proses
pemasakan yang kurang termasuk pemanasan kembali yang tidak cukup 11, bahan baku dari sumber tercemar 6, dan penyebab-penyebab lain seperti
menyiapkan makanan terlalu lama lebih dari 12 jam sebelum dikonsumsi 11. Di Indonesia diperkirakan penyebab utama kasus keracunan dari pangan
katering diantaranya adalah penggunaan bahan mentah yang tercemar mikroorganisme patogen, pangan didiamkan cukup lama sebelum dikonsumsi,
dan proses pemanasan kembali yang tidak cukup. Seringkali pangan katering tersebut dipersiapkan pada malam hari dan baru dihidangkan untuk makan siang
pada hari berikutnya, sedangkan proses pemanasan kembali mungkin tidak cukup karena jumlah pangan yang dipersiapkan terlalu banyak. Selain itu jika selama
waktu menunggu tersebut telah terbentuk racun bakteri yang relatif tahan panas, misalnya enterotoksin Staphylococcus aureus, kemungkinan pemanasan yang
diberikan tidak cukup untuk menginaktifkan racun tersebut. Penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya dan cemaran kimia sukar untuk dideteksi secara
langsung karena gejalanya pada umumnya tidak bersifat akut Fardiaz, 1994. Masih banyaknya kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh pangan
yang disediakan oleh industri jasa boga disebabkan pengusaha atau pedagang makanan, termasuk pengusaha katering dan restoran, pada umumnya tidak
mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam praktek sanitasi yang baik dalam pengolahan dan penyajian makanan sehingga makanan yang dihidangkan
cukup terjamin keamanannya. Menurut survei yang dilakukan di Indonesia, sebanyak 87,5 dari manager katering dan 19,7 dari perusahaan katering belum
pernah mendapatkan petunjuk atau pengetahuan mengenai sanitasi pangan Purawidjaja, 1992.
Di negara-negara yang telah maju pada umumnya telah dilakukan inspeksi secara rutin terhadap kesehatan dan praktek sanitasi di industri-industri jasa boga.
Akan tetapi kegiatan inspeksi tersebut umumnya hanya dapat digunakan untuk mendeteksi masalah yang dihadapi, sedangkan untuk mencegah supaya pangan
tersebut tidak terkontaminasi oleh bakteri patogen diperlukan suatu sistem managemen yang baik. Pengawasan pangan yang mengandalkan pada uji produk
akhir tidak dapat mengimbangi kemajuan yang pesat dalam industri pangan dan tidak dapat menjamin keamanan makanan yang beredar di pasaran, karenanya
dibutuhkan suatu tindakan preventif yang efektif untuk mengidentifikasi berbagai bahaya sejak tahap awal persiapan, pengolahan sampai penyajian makanan,
menilai risiko-risiko yang terkait dan menentukan kegiatan dimana prosedur pengendalian akan berdaya guna. Sehingga, prosedur pengendalian lebih
diarahkan pada kegiatan tertentu yang penting dalam menjamin keamanan makanan.
Jumlah inspektur pangan yang masih sangat terbatas di Indonesia menyebabkan prioritas inspeksi terutama hanya dilakukan terhadap industri
pangan, sedangkan industri jasa boga yang jumlahnya semakin banyak belum mendapat inspeksi yang memadai. Cara yang terbaik untuk mengatasi hal ini
adalah dengan memberikan penyuluhan dan pembinaan kepada pengusaha- pengusaha pangan, baik pengusaha katering, restoran, hotel, maupun pedagang
pangan jajanan mengenai praktek sanitasi yang baik dalam mengolah dan mempersiapkan serta menyajikan pangan, serta pengetahuan mengenai
kemungkinan bahaya yang timbul jika praktek pengolahan dan persiapan pangan tidak dilakukan dengan benar.