Study on Implementation of Artificial Sweetener Regulation in Indonesia and Case Study on home food industry (IRTP) in Jakarta

(1)

PEMANIS BUATAN DI INDONESIA

DAN STUDI KASUS PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA

PANGAN (IRTP) DI WILAYAH DKI JAKARTA


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Kajian Implementasi Regulasi Pemanis Buatan di Indonesia dan Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Wilayah DKI Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Jakarta, Agustus 2009

Dwi Jarwati NRP F 252050105


(3)

ABSTRACT

DWI JARWATI. Study on Implementation of Artificial Sweetener Regulation in Indonesia and Case Study on home food industry (IRTP) in Jakarta. Under the direction of C. HANNY WIJAYA and NURI ANDARWULAN.

Artificial Sweetener is a food additive widely used by food industries especially in beverage industry. It can improve the taste, has low calorie and has stability at heating process.

The aims of this study were to evaluate the data of BPOM registered foods using artificial sweetener during 1992 – 2007 and to conduct case study on implementation of artificial sweetener by home food industry (IRTP).

Results of the study on registered foods showed that there was almost no change in the categories of food using artificial sweetener, before and after establishment of the regulation on artificial sweetener (Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan). However, it was increasing the number of food products that used artificial sweetener, for single artificial sweetener up to 116% and for combination increased 255%. Artificial sweetener is most widely used in powdered drinks, while sugar free candy used the most combination of artificial sweetener.

Results of the case study on IRTP indicate that the understanding of the respondents about Good Manufacturing Practices (GMP) does not affect its implementation. The survey shows that 37,6% respondents are said to know and 52,4% knew the basic principles of food safety (GMP), but the results of observation in the field show less. Only 17% respondents got Good value, while 57% respondents got Fair value and 26% respondents got Poor value. Artificial sweetener used by 27% respondents consist of 23% using mix of sugar and artificial sweetener, and 4% using only artificial sweetener. Survey conducted in 7 chemical shops in East Jakarta and Central Jakarta showed that artificial sweetener was very easily obtained without distribution rules. The artificial sweetener that was sold freely in the market were sodium saccharin and sodium cyclamate, which were packed in sachet or bulk packaging.


(4)

RINGKASAN

Penggunaan BTP khususnya pemanis buatan pada beragam produk pangan yang beredar di pasaran cenderung mengalami peningkatan. Adanya tuntutan konsumen tertentu yang ingin membatasi asupan kalorinya mendorong produsen makanan mengganti gula dengan pemanis buatan, karena selain dapat memberikan rasa manis pada makanan, pemanis buatan memiliki nilai kalori yang sangat kecil. Dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung pemanis buatan diharapkan asupan kalorinya dapat ditekan, sehingga berat badan dapat dikontrol.

Adanya kecenderungan penggunaan pemanis buatan yang semakin meluas tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang penggunaan pemanis buatan pada produk pangan. Sebelum tahun 2004, regulasi pemanis buatan yang berlaku adalah Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan yang mengatur penggunaan 4 jenis pemanis buatan. Selain regulasi tersebut, Badan POM RI juga mengeluarkan izin khusus penggunaan pemanis buatan pada produk pangan. Selama periode tahun 1993 hingga 2000 telah dikeluarkan izin khusus sebanyak 7 jenis pemanis buatan yaitu maltitol, isomalt, asesulfam K, alitam, silitol, manitol dan sukralosa. Namun keberadaan izin khusus ini memang tidak diketahui oleh masyarakat luas, hanya diketahui industri pangan yang telah mengajukan izin khusus tersebut. Jadi, sebelum diberlakukan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, sebenarnya pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya pada produk pangan ada 11 jenis. Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan BTP Pemanis Buatan dalam Produk Pangan mengatur penggunaan 13 jenis pemanis buatan dan penambahan jenis pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya pada berbagai produk pangan, yaitu laktitol dan neotam. Dengan diberlakukannya 13 jenis pemanis buatan tersebut, bagi masyarakat yang kontra telah menimbulkan gejolak, karena Badan POM RI dianggap membuat peraturan yang longgar tentang pemanis buatan. Oleh karena itu melalui pengkajian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka proses manajemen risiko. Proses manajemen risiko merupakan salah satu komponen analisis risiko. Proses manajemen risiko terdiri dari 4 (empat) tahapan yaitu Evaluasi Risiko, Mengkaji Opsi Manajemen Risiko, Implementasi Keputusan Manajemen Risiko, Monitoring dan Review. Tahapan manajemen risiko yang dilakukan pada kajian ini adalah Monitoring dan Review. Monitoring dan review dilakukan terhadap pemberlakuan regulasi pemanis buatan oleh Badan POM RI.

Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1) melakukan kajian terhadap implementasi Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan yang dilakukan dengan membandingkan penggunaan pemanis buatan pada produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI sebelum dan sesudah pemberlakuan regulasi tersebut, meliputi: a) mengkaji jenis dan kadar pemanis buatan tunggal yang digunakan pada produk pangan yang terdaftar pada kurun waktu 1992-2003 (sebelum diberlakukan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan) dan 2004-2007 (sesudah diberlakukan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan), b) mengkaji jenis pemanis buatan kombinasi yang digunakan pada produk pangan yang


(5)

terdaftar pada kurun waktu 1992-2003 dan 2004-2007; 2) studi kasus pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di wilayah Jakarta, meliputi: a) mengkaji penggunaan pemanis buatan oleh IRTP dan distribusi pemanis buatan di wilayah Jakarta, b) mengkaji persepsi pengusaha IRTP mengenai aspek-aspek Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB) dan penerapannya.

Kajian implementasi penggunaan pemanis buatan pada produk pangan yang terdaftar di Badan POM dilaksanakan dengan inventarisasi data produk pangan yang menggunakan pemanis buatan yang terdaftar di Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM RI antara tahun 1992 hingga 2007. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) nomor file, (2) nomor persetujuan pendaftaran, (3) nama dan alamat produsen, (4) tahun persetujuan pendaftaran (5) jenis pangan (6) jenis pemanis buatan (7) kadar pemanis buatan (dalam satuan ppm). Data dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu yang terdaftar tahun 1992-2003 dan tahun 2004-2007. Data yang terkumpul dibuat matriks untuk membandingkan jumlah per jenis pangan yang menggunakan pemanis buatan (tunggal atau kombinasi) selama tahun 1992-2003 dan 2004-2007, jenis pemanis buatan (tunggal atau kombinasi) yang digunakan pada produk pangan selama tahun 1992-2003 dan 2004-2007, kadar tiap-tiap pemanis buatan tunggal yang digunakan pada produk pangan selama tahun 1992-2003 dan 2004-2007. Studi kasus pada IRTP mencakup kegiatan penyusunan kuesioner, penetapan responden, pelaksanaan survei dan pengolahan data. Survei dilakukan untuk mengetahui implementasi penggunaan pemanis buatan oleh IRTP dan mengetahui persepsi IRTP tentang aspek-aspek CPPB serta penerapannya.

Jenis pemanis buatan yang digunakan secara tunggal pada tahun 1992-2003 ada 5 jenis dari 11 jenis yang diizinkan (berdasarkan Permenkes 722 dan izin khusus) yaitu aspartam, sorbitol, asesulfam K, siklamat dan sakarin. jenis pemanis buatan yang paling banyak digunakan dalam pangan adalah sorbitol. Hal ini sesuai dengan regulasi pemanis buatan bahwa fungsi dari sorbitol tidak hanya sebagai pemanis, namun juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai perisa, bahan pengisi, penstabil, pengental, anti kempal, humektan, sekuestran dan bahan utama, sehingga industri banyak menggunakan sorbitol pada produknya.

Jenis pemanis buatan yang digunakan secara tunggal pada kurun waktu 2004-2007 ada 8 jenis dari 13 jenis yang diizinkan berdasarkan SK Kepala BPOM yaitu aspartam, asesulfam K, isomalt, maltitol, sorbitol, siklamat, sakarin, dan sukralosa. Jenis pemanis buatan yang paling banyak digunakan dalam pangan adalah aspartam, karena sebagian besar pangan yang menggunakan pemanis buatan adalah minuman serbuk berperisa buah, sehingga penggunaan aspartam menguntungkan karena aspartam memiliki rasa manis seperti gula, tetapi tanpa rasa pahit atau metallic aftertaste, dan dapat memperbaiki cita rasa.

Hasil kajian pada kadar pemanis buatan tunggal pada produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI tahun 2004-2007, terdapat penyimpangan yaitu ditemukannya 2 (dua) produk yang menggunakan pemanis buatan melebihi batas maksimum persyaratan yakni minuman beralkohol dan permen rendah kalori. Temuan ini merupakan human error, namun hasilnya tidak signifikan, karena hanya 2 dari 820 produk (0,2%).

Hasil kajian pada jenis pangan yang menggunakan pemanis buatan secara kombinasi, baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya regulasi pemanis buatan oleh Badan POM RI tahun 2004, ada peningkatan baik dari jumlah produk maupun jenis pangan terutama kelompok minuman.

Ada 9 jenis kombinasi pemanis buatan yang digunakan pada berbagai produk pangan yang terdaftar pada tahun 1992-2003. Pada tahun 2004-2007 terjadi


(6)

pangan yang paling banyak menggunakan pemanis buatan kombinasi adalah minuman serbuk, ada 116 produk yang terdaftar tahun 1992-2007. Jenis pangan yang cukup banyak menggunakan pemanis buatan kombinasi selain minuman serbuk adalah kembang gula. Ada 69 produk yang terdaftar selama tahun 1992-2007, dengan variasi kombinasi pemanis buatan yang paling banyak. Hingga tahun 2007, pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya, namun belum pernah digunakan dalam produk pangan baik secara tunggal maupun kombinasi adalah Laktitol.

Hasil survei pada 30 IRTP menunjukkan bahwa responden yang menggunakan pemanis buatan pada produknya ada 27% yang terdiri dari 4% responden menggunakan pemanis buatan saja dan 23% responden menggunakan campuran gula dan pemanis buatan. Umumnya penggunaan pemanis buatan tersebut tidak sesuai dengan batas maksimum persyaratan, karena responden menggunakan pemanis buatan tersebut berdasarkan sensori saja. Hasil survei terbatas pada 7 toko kimia di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat menunjukkan bahwa jenis pemanis buatan yang dijual secara bebas di pasaran ada 2 macam yaitu natrium siklamat dan natrium sakarin. Pemanis buatan tersebut dijual dalam kemasan rencengan (sachet) yang berlabel dengan merek Cap Nona, Cap Gentong, Cap Cangkir dan Cap Tiga T serta kemasan kiloan tanpa label. Tidak ada informasi takaran penggunaan pada label kemasan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah mengingat bahaya penggunaan pemanis buatan bila digunakan tanpa batas maksimum, sehingga distribusi dan perdagangannya perlu mendapatkan pengawasan.

Persepsi responden tentang aspek-aspek dalam CPPB cukup baik, karena sebagian besar Sangat Tahu (rata-rata 37,6% responden) dan Tahu (rata-rata 52,4% responden) tentang aspek-aspek CPPB. Namun hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa hanya 17% IRTP yang mendapatkan nilai Baik, selebihnya 57% IRTP mendapat nilai Cukup dan 26% mendapat nilai Kurang, artinya 90% responden yang tahu aspek-aspek CPPB (52,4% responden Sangat Tahu + 37,6% responden Tahu), 16% diantaranya tidak menerapkan CPPB sama sekali dan 57% responden belum menerapkan CPPB secara menyeluruh. Hal ini perlu mendapat perhatian pemerintah untuk dilakukan penyuluhan terus menerus agar kesadaran IRTP untuk menerapkan CPPB semakin meningkat, sehingga IRTP mampu menghasilkan pangan yang aman dan bermutu.

Berdasarkan hasil kajian terhadap implementasi regulasi pemanis buatan pada produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI dapat disimpulkan bahwa jenis pangan yang menggunakan pemanis buatan baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya regulasi pemanis buatan oleh Badan POM RI tahun 2004, hampir tidak mengalami perubahan, walaupun ada peningkatan dari segi jumlah produk. Peningkatan jumlah produk kemungkinan berkaitan dengan adanya perkembangan industri baru atau pengembangan produk dari industri yang sudah ada (menambah varian produk), tidak terkait langsung dengan diberlakukannya regulasi tersebut.

Berdasarkan studi kasus implementasi regulasi pemanis buatan pada IRTP menunjukkan bahwa IRTP belum menerapkan regulasi pemanis buatan dengan benar, karena IRTP menggunakan pemanis buatan tersebut tidak sesuai dengan batas maksimum persyaratan dan hanya berdasarkan sensori saja. Selain itu, IRTP juga belum sepenuhnya menerapkan CPPB, karena hasil penilaian terhadap praktek CPPB masih jauh dari harapan pemerintah.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan

kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan

kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

KAJIAN IMPLEMENTASI REGULASI

PEMANIS BUATAN DI INDONESIA

DAN STUDI KASUS PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN

(IRTP) DI WILAYAH DKI JAKARTA

DWI JARWATI

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Studi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(9)

Judul Tugas Akhir : Kajian Implementasi Regulasi Pemanis Buatan di Indonesia dan Studi Kasus Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di wilayah DKI Jakarta

Nama : Dwi Jarwati

NRP : F 252050105

Program Studi : Teknologi Pangan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. DR. Ir. C Hanny Wijaya, M.Agr. (Ketua)

DR. Ir. Nuri Andarwulan, M.S. (Anggota)

Diketahui

Ketua Program Studi

Magister Profesi Teknologi Pangan

DR. Ir. Lilis Nuraida, MSc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(10)

PRAKATA

Segala puji, hormat dan syukur kami panjatkan kepada TUHAN yang telah melimpahkan kasih dan rahmat-Nya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tugas akhir berjudul Kajian Implementasi Regulasi Pemanis Buatan di Indonesia dan Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di wilayah DKI Jakarta disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Teknologi Pangan.

Selama proses penyelesaian tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr. dan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S., selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahannya selama proses penyusunan tugas akhir ini hingga selesai.

2. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc., selaku dosen penguji yang telah memberi banyak masukan untuk perbaikan tugas akhir ini.

3. Badan Pengawas Obat dan Makanan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan sekolah pascasarjana.

4. Dr. M. Hayatie Amal, MPH., selaku Direktur Penilaian Keamanan Pangan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan sekolah pascasarjana dan memberikan dukungan selama penyelesaian tugas akhir ini. 5. Dra. Kustiani Adisuparto, Apt., Dewi Sakti Murniati, S.IP., MAP., dan rekan-rekan

di Direktorat Penilaian Keamanan Pangan yang selalu memberikan dukungan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Mbak Tika, sebagai asisten koordinator program studi pascasarjana teknologi pangan yang selalu membantu pelaksanaan sidang komisi dan memberikan dukungan semangat untuk penyelesaian tugas akhir ini.

7. Keluargaku tercinta: ibu, suami, mbak Endang, mas Kris, Juliana, dan anak-anak (Grace, Advent dan Hanna) yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil serta dorongan semangat dalam penyelesaian studi.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis berharap tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Jakarta, Agustus 2009 Dwi Jarwati


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 17 Maret 1969 sebagai anak

bungsu dari almarhum Bapak Drs. Suhardi dan Ibu Soemarmi. Tahun 1988,

penulis lulus dari SMA Negeri 2 Klaten dan pada tahun yang sama

melanjutkan studi di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Penulis

menyelesaikan program Sarjana Farmasi pada tahun 1993 dan melanjutkan

pendidikan Profesi Apoteker pada perguruan tinggi yang sama dan lulus pada

tahun 1994.

Sejak tahun 1997, penulis bekerja di Direktorat Pengawasan Makanan

dan Minuman Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan,

Departemen Kesehatan yang pada tahun 2000 menjadi Badan Pengawas

Obat dan Makanan.

Untuk mendalami ilmu pangan, penulis melanjutkan pendidikan

Pascasarjana Program Studi Teknologi Pangan pada tahun 2006 melalui

beasiswa yang diperoleh dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………... ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ………. xi

PENDAHULUAN

Latar Belakang ……….………..

Tujuan ……….……….

Kegunaan ………..……….

1

5

5

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Tambahan Pangan ………..

Pemanis Buatan ……….

Regulasi Pemanis Buatan ……….…………...

Analisis Risiko ………....

Industri Rumah Tangga Pangan ……….………

6

7

11

14

19

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu ……….………...

Bahan ………..………

Metode ……….

21

21

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Implementasi Penggunaan Pemanis Buatan pada Produk

Pangan Terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 – 2007 ……..

Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) ………....

26

44

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ……….………

Saran ……….………..

55

56

DAFTAR PUSTAKA ………...

58


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Hasil sampling pangan secara nasional ………... 3

2

Hasil sampling PJAS secara nasional ………...

4

3

Batas maksimum penggunaan pemanis buatan ………...

12

4

Izin khusus penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan …... 13

5

Jenis pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya di Indonesia... 14

6 Jenis dan jumlah produk pangan yang menggunakan pemanis buatan

tunggal yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 – 2007 …...

27

7 Jenis pemanis buatan yang digunakan secara tunggal pada berbagai

produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 – 2003

32

8 Jenis pemanis buatan yang digunakan secara tunggal pada berbagai

produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 2004 – 2007

33

9

Kadar pemanis buatan tunggal pad akelompok pangan yang terdaftar di

Badan POM RI pada tahun 1992 – 2003 ……….

35

10 Kadar pemanis buatan tunggal pad akelompok pangan yang terdaftar di

Badan POM RI pada tahun 2004 – 2007 ……….

36

11 Produk pangan yang menggunakan pemanis buatan secara kombinasi

pada tahun 1992 – 2007 ………..………..

38

12 Jenis kombinasi pemanis buatan yang digunakan pada berbagai produk

pangan yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 – 2003 ………

40

13 Jenis kombinasi pemanis buatan yang digunakan pada berbagai produk

pangan yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 2004 – 2007 ………

41

14 Jenis-jenis kombinasi pemanis buatan yang digunakan pada minuman

serbuk yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 – 2007 ……….

43

15 Jenis-jenis kombinasi pemanis buatan yang digunakan pada kembang

gula yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 – 2007 ……….

44


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Komponen analisis risiko ………...………..

15

2

Proses manajemen risiko ………....……….……. 16

3 Histogram jenis dan jumlah kelompok pangan yang menggunakan

pemanis buatan tunggal yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun

1992-2003 dan 2004-2007 ………..…...…...

28

4 Proporsi

jenis

pangan yang menggunakan pemanis buatan tunggal

pada tahun 1992 – 2003 ………...…....….

29

5 Proporsi

jenis

pangan yang menggunakan pemanis buatan tunggal

pada tahun 2004 – 2007 ………...…...

30

6 Jenis pemanis buatan yang digunakan secara tunggal pada produk

pangan pada tahun 1992 – 2003 ………...….

31

7 Jenis pemanis buatan yang digunakan secara tunggal pada produk

pangan pada tahun 2004 – 2007 ………....….

32

8 Histogram jenis dan jumlah kelompok pangan yang menggunakan

pemanis buatan kombinasi yang terdaftar di Badan POM RI pada

tahun 1992-2003 dan 2004-2007 ………...

39

9

Jenis produk pangan yang menggunakan pemanis buatan kombinasi

yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 – 2007…...

43

10 Proporsi jumlah responden menurut jenis produknya ……….…

45

11 Status badan hukum responden ……….. 46

12 Tingkat pendidikan responden ……….…

46

13 Distribusi frekuensi wilayah pemasaran produk ……….…

47

14 Penggunaan pemanis oleh responden ………..

47

15 Persepsi responden tentang aspek-aspek CPPB ……….…. 49


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Lampiran Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547

tahun 2004 tentang penggunaan pemanis uatan berdasarkan kategori

pangan………..………...

60

2 Tiga belas pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya oleh Codex

Alimentarius Commision dan di Indonesia ………..

97

3 Kuesioner untuk mengetahui implementasi regulasi pemanis buatan

oleh IRTP dan persepsi responden tentang aspek-aspek CPPB …..…..

133

4 Pedoman pemeriksaan sarana produksi pangan industri rumah tangga.

138

5 Formulir pemeriksaan sarana produksi industri rumah tangga pangan…

146

6 Kadar pemanis buatan yang digunakan secara tunggal pada berbagai

produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun

1992-2007... 147


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan mendasar dan merupakan hak asasi setiap orang. Tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan bermartabat, serta sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk mendapatkan pangan yang aman, bermutu dan layak bagi konsumen merupakan tanggung jawab produsen, pemerintah dan konsumen sendiri. Pemerintah wajib mengupayakan agar pangan yang beredar aman, bermutu, bergizi, tersedia secara memadai dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pemerintah mengatur dan mengawasi keamanan pangan yang beredar dengan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat dijadikan landasan hukum. Produsen harus berusaha menghasilkan produk pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan konsumen juga harus lebih selektif dalam memilih produk pangan yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi. Pada kenyataannya, belum semua orang di Indonesia bisa mendapatkan akses terhadap produk pangan yang aman. Sampai saat ini di Indonesia masih sering ditemukan adanya produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan keamanan, misalnya penggunaan bahan yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan (BTP) atau penggunaan BTP secara berlebihan sehingga melampaui ambang batas maksimal yang diperkenankan.

Penggunaan BTP khususnya pemanis buatan pada beragam produk pangan yang beredar di pasaran cenderung mengalami peningkatan. Ada berbagai alasan penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan. Adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang cenderung menginginkan memiliki tubuh yang langsing membuat produsen makanan berusaha mengganti gula sebagai pemanis pada produknya dengan pemanis buatan, karena selain dapat memberikan rasa manis pada makanan, pemanis buatan memiliki nilai kalori yang sangat kecil. Dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung pemanis buatan diharapkan asupan kalorinya dapat ditekan, sehingga berat badan dapat dikontrol.

Adanya kecenderungan penggunaan pemanis buatan yang semakin meluas tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Kurangnya sosialisasi ke masyarakat kemungkinan menjadi pemicu adanya pertentangan penggunaan pemanis buatan ini. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kontra


(17)

dengan penggunaan pemanis ini seringkali memberikan informasi yang kurang tepat kepada masyarakat. Apalagi setelah diberlakukannya regulasi pemanis buatan pada tahun 2004 yang mengizinkan penggunaan 13 jenis pemanis buatan. Bahkan Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ) pada bulan Maret 2007 telah melakukan penelitian kandungan pemanis buatan pada beberapa produk pangan yang beredar. Hasilnya telah dipublikasikan ke media massa, sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat untuk mengkonsumsi produk pangan yang mengandung pemanis buatan, karena menurut informasi yang disampaikan oleh LKJ tersebut bahwa dengan mengkonsumsi pemanis buatan dapat menyebabkan kanker. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (Badan POM RI) selaku pemerintah yang telah menetapkan kebijakan tersebut, seharusnya meredam gejolak di masyarakat dengan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat terkait dengan keamanan penggunaan pemanis buatan tersebut.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia masih banyak permasalahan terkait dengan penggunaan pemanis buatan. Meski sudah ada ketentuan batas maksimum penggunaan yang diizinkan, penggunaan pemanis buatan masih sering dilakukan melebihi batas maksimum yang diperbolehkan. Produk-produk yang melanggar ketentuan ini umumnya dibuat oleh para perajin dan pedagang makanan jajanan serta industri rumah tangga pangan yang belum mendapat pembinaan atau penyuluhan. Pemakaian pemanis buatan banyak dipakai pedagang kecil dan industri rumahan karena dapat menghemat biaya produksi. Harga pemanis buatan jauh lebih murah dibandingkan dengan gula asli. Pemanis buatan hanya sedikit ditambahkan untuk memperoleh rasa manis yang kuat.

Dalam rangka pemantauan mutu dan keamanan produk pangan, Badan POM RI telah melakukan sampling baik pada sarana produksi maupun sarana distribusi guna dilakukan pengujian laboratorium. Sampling ini merupakan pengawasan rutin yang dilakukan Balai Besar/Balai POM. Pelaksanaan sampling dilakukan sesuai dengan Petunjuk Teknis Seri Sampling Produk Pangan dan Sampling Rutin Produk Pangan yang disusun oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan.

Penetapan jumlah dan lokasi sampling adalah √n dimana n adalah jumlah kabupaten/kota yang ada dalam cakupan wilayah Balai Besar/Balai POM, jika hasil dari √n berupa nilai pecahan, maka dilakukan pembulatan. Nilai di atas 0,5 dilakukan pembulatan ke atas. Khusus untuk kabupaten/kota pada periode sampling tahun sebelumnya dengan hasil uji produk pangan telah memenuhi syarat ≥ 90%, maka kabupaten/kota tersebut tidak dijadikan sasaran sampling tahun berikutnya. Jumlah


(18)

sampel pangan ditetapkan oleh masing-masing Balai Besar/Balai POM, karena hal ini bekaitan dengan anggaran/dana yang tersedia.

Pengujian laboratorium dilakukan untuk parameter uji yang terkait langsung dengan aspek keamanan pangan dan klaim yang dicantumkan pada label. Pengujian cemaran mikroba terhadap produk yang sudah ada SNI-nya, maka parameter yang diuji mengacu pada SNI produk yang bersangkutan. Sedangkan produk yang belum mempunyai SNI, parameter uji mengikuti tabel prioritas dalam Petunjuk Teknis Seri Sampling Produk Pangan dan Sampling Rutin Produk Pangan yang disusun oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan. Hasil sampling untuk periode tahun 2005 hingga 2007 secara nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil sampling pangan secara nasional*

No Uraian Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007

1. Jumlah sampel yang diuji 27.296 25.967 23.142

2. Jumlah sampel memenuhi syarat 23.372 (85,62%) 23.341 (89,89%) 19.874 (85,88%) 3. Jumlah sampel tidak memenuhi syarat 3.924 (14,38%) 2.626 (10,11%) 3.268 (14,12%) Jenis Pelanggaran:

 Menggunakan pemanis buatan bukan untuk makanan diet/rendah kalori

844 (3,09%) 620 (2,39%) 554 (2,39%)

 Menggunakan pengawet melebihi batas maksimum yang diizinkan

216 (0,79%) 382 (1,47%) 205 (0,89%)  Menggunakan formalin pada

makanan

282 (1,03%) 198 (0,76%) 185 (0,80%)  Menggunakan boraks pada

makanan

307 (1,13%) 184 (0,71%) 169 (0,73%)  Menggunakan pewarna bukan untuk

makanan

445 (1,63%) 351 (1,35%) 309 (1,34%)  Mengandung cemaran mikroba

melebihi batas maksimum

225 (0,83%) 558 (2,15%) 362 (1,56%)  Lain-lain (kadar abu, kadar air, bobot

tuntas, label, BTP belum diizinkan)

1605 (5,88%) 333 (1,28%) 1484 (6,41%) *Laporan Inspeksi dan Sertifikasi Pangan tahun 2005 - 2007

Terdapat pelanggaran pada penggunaan pemanis buatan bukan untuk makanan diet atau makanan rendah kalori. Hasil sampling pada periode tahun 2005 hingga 2007 menunjukkan bahwa pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran yang cukup tinggi dibanding pelanggaran yang lain, yaitu rata-rata 2,62% dari total sampel yang diuji. Jika dilihat dari regulasi pemanis buatan yang berlaku, sebenarnya penggunaan pemanis buatan bukan pada makanan diet/rendah kalori bukan merupakan pelanggaran, karena sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, penggunaan pemanis buatan tidak dikhususkan pada makanan diet/rendah kalori, seperti ditunjukkan pada Lampiran 1.


(19)

Badan POM RI juga melakukan monitoring terhadap Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS). Pelaksanaan sampling dilakukan sesuai dengan Petunjuk Teknis Sampling Produk Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang disusun oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan. Sasaran sampling adalah sarana distribusi pangan meliputi warung, kios, dan pedagang di sekitar sekolah.

Hasil sampling PJAS secara nasional untuk periode tahun 2005 hingga 2007 dapat dilihat pada Tabel 2. Pelanggaran pada penggunaan pemanis buatan (siklamat dan sakarin) yang melebihi batas maksimum persyaratan merupakan pelanggaran yang cukup tinggi dibanding pelanggaran yang lain, disamping pelanggaran kandungan cemaran mikroba yang melebihi batas maksimum.

Tabel 2 Hasil sampling PJAS secara nasional*

No. Uraian Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 1. Jumlah sampel yang diuji 861 2.903 1.242 2. Jumlah sampel memenuhi syarat 517 (60,05%) 2.064 (71,10%) 540 (43,48%) 3. Jumlah sampel tidak memenuhi syarat 344 (39,95%) 839 (28,90%) 702 (56,52%) Jenis Pelanggaran:

 Menggunakan pewarna dilarang (Rhodamin B, Methanyl Yellow, Amaranth)

90 (10,45%) 150 (5,17%) 60 (4,83%)

 Mengandung boraks 34 (3,95%) 96 (3,31%) 47 (3,79%)

 Mengandung formalin 7 (0,81%) 40 (1,38%) 6 (0,48%)

 Menggunakan siklamat melebihi batas maksimum persyaratan

93 (10,80%) 458 (15,78%) 191 (15,38%)

 Menggunakan sakarin melebihi batas maksimum persyaratan

29 (3,37%) 85 (2,92%) 66 (5,31%)

 Mengandung benzoat melebihi batas maksimum persyaratan

10 (1,16%) 8 (0,27%) 20 (1,61%)

 Mengandung sorbat melebihi batas maksimum persyaratan

- 2 (0,07%) -

 Mengandung cemaran mikroba melebihi batas maksimum

81 (9,41%) - 312 (25,12%)

*Laporan Inspeksi dan Sertifikasi Pangan tahun 2005 – 2007

Sejauh ini pengawasan post market memang belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya, khususnya pengawasan terhadap pemanis buatan, karena keterbatasan anggaran, fasilitas dan sumber daya manusia. Terlebih kondisi laboratorium penguji di Balai maupun Balai Besar POM yang masih belum mampu menguji ke-13 jenis pemanis buatan yang telah diizinkan penggunaannya di Indonesia. Laboratorium penguji Badan POM RI yaitu Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional sampai saat ini baru mampu melakukan pengujian terhadap 4 (empat) jenis pemanis buatan yaitu aspartam, asesulfam K, sakarin dan siklamat. Sejauh ini sampling dan pengujian hanya dilakukan terhadap penggunaan sakarin dan siklamat, karena sakarin dan siklamat adalah pemanis buatan yang paling sering


(20)

Memperhatikan kasus di atas, melalui pengkajian ini akan digali dan dianalisis permasalahan dalam implementasi regulasi pemanis buatan pada produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI dan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di wilayah DKI Jakarta. Pengkajian ini merupakan proses manajemen risiko yang merupakan salah satu komponen analisis risiko. Proses manajemen risiko terdiri dari 4 (empat) tahapan yaitu Evaluasi Risiko, Mengkaji Opsi Manajemen Risiko, Implementasi Keputusan Manajemen Risiko, Monitoring dan Review. Tahapan manajemen risiko yang dilakukan pada kajian ini adalah Monitoring dan Review. Monitoring dan review dilakukan terhadap pemberlakuan regulasi pemanis buatan oleh Badan POM RI.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap implementasi Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, dengan membandingkan penggunaan pemanis buatan pada produk pangan terdaftar sebelum dan sesudah pemberlakuan regulasi tersebut, meliputi: (1) mengkaji jenis dan kadar pemanis buatan tunggal yang digunakan pada produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI pada kurun waktu 1992-2003 dan 2004-2007, (2) mengkaji jenis pemanis buatan kombinasi yang digunakan pada produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI pada kurun waktu 1992-2003 dan 2004-2007.

Studi kasus pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di wilayah Jakarta, meliputi: a) mengkaji penggunaan pemanis buatan oleh IRTP dan distribusi pemanis buatan di wilayah Jakarta, b) mengkaji persepsi pengusaha IRTP mengenai aspek-aspek Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB) dan penerapannya.

Kegunaan

Hasil kajian diharapkan dapat digunakan oleh pihak Pemerintah sebagai (1) masukan dalam rangka pelaksanaan manajemen risiko terhadap Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, (2) masukan dalam rangka pengawasan pre market dan post market, (3) masukan dalam rangka penyusunan kebijakan untuk pembinaan keamanan pangan terhadap IRTP.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Tambahan Pangan

CAC (2006) menguraikan definisi Bahan Tambahan Pangan (BTP) sebagai komponen yang tidak biasa dikonsumsi sebagai pangan dan bukan merupakan ingridien pangan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.

Penggunaan BTP seharusnya menghasilkan produk pangan yang aman, sehat dan ekonomis dalam jumlah yang cukup. Dalam CAC (2006) dinyatakan bahwa penggunaan BTP dianjurkan bila mempunyai manfaat, tidak menimbulkan bahaya terhadap kesehatan, tidak menyesatkan konsumen, dan memberikan fungsi secara teknologi. Tujuan penggunaan BTP harus memenuhi satu syarat atau lebih berikut ini: mempertahankan mutu gizi pangan, menyediakan ingridien yang dibutuhkan dalam memproduksi pangan untuk konsumen yang memerlukan diet khusus, meningkatkan mutu atau stabilitas pangan atau untuk meningkatkan sifat organoleptis dengan ketentuan bukan untuk menipu konsumen serta membantu proses pengolahan.

BTP tidak boleh digunakan bila bertujuan untuk menutupi kesalahan atau kekurangan selama proses pengolahan, merahasiakan kecacatan, kerusakan atau kejelekan lainnya, menipu konsumen, menurunkan zat gizi yang diperlukan tubuh, efek yang dihasilkan dapat dicapai melalui penerapan Good Manufacturing Practices (GMP), dan untuk mencapai efek yang diinginkan dibutuhkan dalam jumlah yang banyak.

Dziezak (1986) yang disitasi oleh Wirakartakusumah dan Syarief (2001) mengelompokkan BTP menjadi 2 (dua) yaitu: (1) bahan tambahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan memperbaiki nilai gizi, mempertahankan kesegaran, sifat organoleptik, dan membantu pengolahan; (2) bahan tambahan yang tidak sengaja ditambahkan.

Berdasarkan asal bahannya, BTP dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu alami dan sintetik. BTP alami mempunyai sifat kurang pekat, mudah terpengaruh oleh panas dan kondisi lainnya serta memerlukan bahan dalam jumlah yang lebih banyak


(22)

murah. Namun, BTP sintetik memiliki beberapa kelemahan, yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang membahayakan kesehatan dan seringkali bersifat karsinogenik yang merangsang terjadinya kanker pada manusia dan hewan (Winarno 1997).

Indonesia mengatur penggunaan BTP dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan dan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan

.

Menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, BTP yang diizinkan digunakan dalam pangan terdiri dari golongan antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap, pengental, pengawet, pengeras, pewarna alam, pewarna sintetik, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, dan sekuestran.

Pemanis Buatan

Pemanis Buatan adalah bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan rasa manis pada produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu (BPOM 2004).

Ada 13 jenis pemanis buatan yang diizinkan ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu, yaitu alitam, asesulfam K, aspartam, isomalt, laktitol, maltitol, manitol, neotam, sakarin (dan garam natrium, kalium, kalsium), siklamat (asam siklamat dan garam natrium, kalium, kalsium), silitol, sorbitol, dan sukralosa (BPOM 2004).

1. Alitam

Alitam atau L-α-aspartil-N-[2,2,4,4-tetrametil-3-trietanil]-D-alanin amida, hidrat dan merupakan senyawa yang disintesis dari asam amino L-asam aspartat, D-alanin, dan senyawa amida yang disintesis dari 2,2,4,4-tetrametiltienanilamin (Auerbach et al. 2001).

Alitam memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 2000 kali tingkat kemanisan sukrosa dengan nilai kalori 1,4 kkal/g atau setara dengan 5,85 kJ/g dan Acceptable Daily Intake (ADI) 0,34 mg/kg berat badan. Penggunaannya dengan pemanis buatan lainnya bersifat sinergis (Auerbach et al. 2001; BPOM 2004).


(23)

CAC (Codex Alimentarius Commission) dan Indonesia mengatur maksimum penggunaan alitam pada berbagai produk pangan berkisar antara 40 - 300 mg/kg produk dan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) pada sediaan pemanis buatan (BPOM 2004; GSFA 2008).

2. Asesulfam K

Asesulfam K atau garam kalium dari 6-methyl-1,2,3-oxathiazin-4(3H)-one-2,2-dioxide memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 200 kali tingkat kemanisan sukrosa tetapi tidak berkalori dan ADI 15 mg/kg berat badan. Kombinasi penggunaan asesulfam K dengan asam aspartat dan natrium siklamat bersifat sinergis dalam mempertegas rasa manis gula (Lipinski & Hanger 2001; BPOM 2004).

CAC mengatur maksimum penggunaan asesulfam K pada berbagai produk pangan berkisar antara 110 - 5000 mg/kg produk dan CPPB pada sediaan pemanis buatan. Indonesia mengatur maksimum penggunaan asesulfam K pada berbagai produk pangan berkisar antara 110 - CPPB (BPOM 2004; GSFA 2008).

3. Aspartam

Aspartam atau L-aspartil-fenilalanin metil ester memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 60 - 220 kali tingkat kemanisan sukrosa dengan nilai kalori sebesar 0,4 kkal/g atau setara dengan 1,67 kJ/g dan ADI 50 mg/kg berat badan (Butcho et al. 2001; BPOM 2004).

CAC mengatur maksimum penggunaan aspartam pada berbagai produk pangan berkisar antara 300 - 10.000 mg/kg produk dan CPPB pada sediaan pemanis buatan. Indonesia mengatur maksimum penggunaan aspartam pada berbagai produk pangan berkisar antara 110 hingga CPPB (BPOM 2004; GSFA 2008).

4. Isomalt

Isomalt merupakan campuran dari 6-α-D-glucopyranosyl-D-sorbitol (1,6-GPS) dan 1-o-α-glucopyranosyl-D-mannitol dihydrate (1,1-GPM dihydrate). Isomalt berbentuk kristal berwarna putih, tidak berbau, dan berasa manis dengan tingkat kemanisan relatif sebesar 0,45 – 0,60 kali tingkat kemanisan sukrosa. Nilai kalori isomalt sebesar ≥ 2 kkal/g atau setara dengan ≥ 8,36 kJ/kg dan ADI tidak dinyatakan karena termasuk Generally Recognized as Safe (GRAS) (Wijers & Strater 2001; BPOM 2004).


(24)

CAC dan Indonesia mengatur penggunaan isomalt pada berbagai produk pangan sebagai CPPB. Selain sebagai pemanis, isomalt berfungsi sebagai anti kempal, pengemulsi, bulking agent, dan glazing agent (BPOM 2004; GSFA 2008).

5. Laktitol

Laktitol dengan rumus kimia C12H24O11 atau 4-o-

-D-galactopyranosil-D-glucitol, dihasilkan dengan cara mereduksi glukosa dari disakarida laktosa. Laktitol berasa manis seperti gula tanpa purna rasa (aftertaste), dengan tingkat kemanisan relatif sebesar 0,4 kali kemanisan sukrosa. Nilai kalori laktitol sebesar 2 kkal/g atau setara dengan 8,36 kJ/g dan ADI tidak dinyatakan karena termasuk GRAS (Mesters et al. 2001; BPOM 2004).

CAC dan Indonesia mengatur maksimum penggunaannya pada berbagai produk pangan sebagai CPPB. Selain sebagai pemanis, laktitol berfungsi sebagai pengemulsi, penstabil, pengental, dan bulking agent (BPOM 2004; GSFA 2008).

6. Maltitol

Maltitol atau (1-4)-glucosylsorbitol termasuk golongan poliol yang dibuat dengan cara hidrogenasi maltosa yang diperoleh dari hirolisis pati. Maltitol berasa manis seperti gula dengan tingkat kemanisan relatif sebesar 0,9 kali tingkat kemanisan sukrosa. Nilai kalori laktitol sebesar 2,1 kkal/g atau setara engan 8,78 kJ/g dan ADI tidak dinyatakan karena termasuk GRAS (BPOM 2004; Kato & Moskowits 2001).

CAC dan Indonesia mengatur maksimum penggunaannya pada berbagai produk pangan CPPB. Selain sebagai pemanis, maltitol berfungsi sebagai pengemulsi, penstabil, pengental, dan bulking agent (BPOM 2004; GSFA 2008).

7. Manitol

Manitol dengan rumus kimia C6H14O6 merupakan monosakarida poliol. Manitol

berasa manis dengan tingkat kemanisan relatif sebesar 0,5 kali tingkat kemanisan sukrosa. Nilai kalori manitol sebesar 1,6 kkal/g atau 6,69 kJ/g dan ADI tidak dinyatakan karena termasuk GRAS (BPOM 2004; Le & Mulderrig 2001).

CAC dan Indonesia mengatur maksimum penggunaannya pada berbagai produk pangan CPPB. Selain sebagai pemanis, maltitol berfungsi sebagai pengemulsi, penstabil, pengental, anti kempal dan bulking agent (BPOM 2004; GSFA 2008).


(25)

8. Neotam

Neotam atau (N-[N-(3,3-dimethylbutyl)-L-α-aspartyl]-L-phenylalanine 1-methyl ester merupakan pemanis buatan dengan tingkat kemanisan relatif sebesar 7.000 – 13.000 kali tingkat kemanisan sukrosa. Neotam termasuk pemanis non-nutritif yaitu tidak memiliki nilai kalori. Penggunaan neotam dalam produk pangan dapat secara tunggal maupun kombinasi dengan pemanis lain seperti aspartam, garam asesulfam, siklamat, sukralosa dan sakarin (Stargel et al. 2001).

CAC mengatur penggunaan neotam dalam berbagai produk pangan berkisar antara 12-1000 mg/kg produk dan CPPB untuk sediaan pemanis buatan. Penggunaan neotam di Indonesia diatur berkisar antara 8 – 250 mg/kg produk dan CPPB untuk sediaan pemanis buatan (BPOM 2004; GSFA 2008).

9. Sakarin

Sakarin sebagai pemanis buatan biasanya dalam bentuk garam berupa kalsium, kalium atau natrium sakarin. Natrium sakarin paling banyak digunakan karena memiliki kelarutan dan stabilitas yang tinggi serta sangat murah. Sakarin tidak mengandung kalori, tapi mempunyai tingkat kemanisan 300 kali lebih manis dari sukrosa, tetapi pada konsentrasi yang tinggi, sakarin mempunyai after taste pahit (Pearson 2001)).

CAC mengatur penggunaan sakarin dalam berbagai produk pangan berkisar antara 80 - 2500 mg/kg produk dan CPPB untuk sediaan pemanis buatan. Penggunaan sakarin di Indonesia diatur berkisar antara 15 – 3.000 mg/kg produk dan 4.545 mg/kg produk untuk sediaan pemanis buatan (BPOM 2004; GSFA 2008).

10. Siklamat

Asam siklamat, atau asam sikloheksilsulfamat mempunyai rumus kimia C6H13NO3S dan berat molekul 179,24. Siklamat memiliki tingkat kemanisan relatif

sebesar 40 kali kemanisan sukrosa, tidak berkalori dan memiliki ADI 0-11 mg/kg berat badan (Bopp & Price 2001; BPOM 2004).

CAC mengatur penggunaan siklamat dalam berbagai produk pangan berkisar antara 250 – 3.000 mg/kg produk dan CPPB untuk sediaan pemanis buatan. Penggunaan siklamat di Indonesia diatur berkisar antara 100 – 3.000 mg/kg produk dan CPPB untuk sediaan pemanis buatan (BPOM 2004; GSFA 2008).


(26)

11. Silitol

Silitol adalah senyawa poliol dengan 5 atom karbon dengan tingkat kemanisan yang relatif sama dengan sukrosa. Secara alami terdapat dalam beberapa buah dan sayur. Nilai kalori silitol sebesar 2,4 kkal/g atau setara dengan 10,03 kJ/g dan ADI tidak dinyatakan karena termasuk GRAS (BPOM 2004; Olinger & Pepper 2001).

CAC dan Indonesia mengatur penggunaan silitol pada berbagai produk pangan sebagai CPPB, kecuali pada kategori pangan 09.2.5 sebesar 35.000 mg/kg produk (BPOM 2004; GSFA 2008).

12. Sorbitol

Sorbitol merupakan monosakarida poliol dengan rumus kimia C6H14O6.

Sorbitol memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 0,6 kali tingkat kemanisan sukrosa dengan nilai kalori sebesar 2,6 kkal/g atau setara dengan 10,87 kJ/g dan ADI tidak dinyatakan karena termasuk GRAS (BPOM 2004; Le & Mulderrig 2001).

CAC dan Indonesia mengatur maksimum penggunaan sorbitol pada berbagai produk pangan sebagai CPPB, kecuali pada kategori pangan 08.1.2 sebesar 5.000 mg/kg dan kategori pangan 09.2.5 sebesar 35.000 mg/kg (BPOM 2004; GSFA 2008).

13. Sukralosa

Sukralosa atau 1,6-dichloro-1,6-dideoxy- -D-fructofuranosyl-4-chloro-4-deoxy--D-galactopyranoside dengan rumus kimia C12H19Cl3O8. Sukralosa memiliki

tingkat kemanisan relatif sebesar 600 kali tingkat kemanisan sukrosa tanpa nilai kalori dan ADI 0 – 15 mg/kg berat badan (BPOM 2004; Goldsmith & Merkel 2001).

CAC mengatur maksimum penggunaan sukaralosa pada berbagai produk pangan berkisar antara 120 – 5.000 mg/kg produk, sedangkan Indonesia menetapkan antara 150 – 5.000 mg/kg produk dan CPPB untuk sediaan pemanis buatan (BPOM 2004; GSFA 2008).

Regulasi Pemanis Buatan

Penggunaan pemanis buatan pada produk pangan diatur dalam Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Ada 4 jenis pemanis buatan yang diatur penggunaannya dalam produk pangan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.


(27)

Badan POM RI juga mengeluarkan izin khusus penggunaan pemanis buatan yang tidak ada dalam Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Selama periode tahun 1993 hingga 2000 telah dikeluarkan izin khusus sebanyak 7 jenis pemanis buatan yaitu maltitol, isomalt, asesulfam K, alitam, silitol, manitol dan sukralosa, seperti pada Tabel 4. Jadi, sebelum tahun 2004, pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan dan izin khusus ada 11 jenis yaitu aspartam, sakarin (dan garam natrium), siklamat (garam natrium dan garam kalsium), sorbitol, maltitol, isomalt, asesulfam K, alitam, silitol, manitol dan sukralosa.

Pada tahun 2004 Badan POM RI menerbitkan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. Ada 13 jenis pemanis buatan yang diizinkan ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu, yaitu alitam, asesulfam K, aspartam, isomalt, laktitol, maltitol, manitol, neotam, sakarin (dan garam natrium, kalium, kalsium), siklamat (asam siklamat dan garam natrium, kalium, kalsium), silitol, sorbitol, dan sukralosa (BPOM 2004).

Tabel 3 Batas maksimum penggunaan pemanis buatan *)

No. Nama BTP Jenis/Bahan Pangan Batas Maksimum Penggunaan 1. Aspartam Hanya dalam bentuk sediaan

2. Sakarin (dan garam natrium)

Pangan Berkalori Rendah: a. Permen Karet b. Permen c. Saus

d. Es Krim dan sejenisnya e. Es Lilin

f. Jem dan Jeli g. Minuman ringan h. Minuman yogurt

i. Minuman ringan fermentasi

50 mg/kg (Sakarin) 100 mg/kg (Na Sakarin) 300 mg/kg (Na Sakarin) 200 mg/kg (Na Sakarin) 300 mg/kg (Na Sakarin) 200 mg/kg (Na Sakarin) 300 mg/kg (Na Sakarin) 300 mg/kg (Na Sakarin) 50 mg/kg (Sakarin) 3. Siklamat (garam

natrium dan garam kalsium)

Pangan Berkalori Rendah:

a. Permen Karet b. Permen c. Saus

d. Es Krim dan sejenisnya e. Es Lilin

f. Jem dan Jeli g. Minuman ringan h. Minuman yogurt

i. Minuman ringan fermentasi

Dihitung sebagai asam siklamat: 500 mg/kg 1 g/kg 3 g/kg 2 g/kg 3 g/kg 2 g/kg 3 g/kg 3 g/kg 500 mg/kg

4. Sorbitol a. Kismis

b. Jem dan jeli; Roti c. Pangan lain

5 g/kg 300 g/kg 120 g/kg *) Permenkes RI nomor 722/Menkes/Per/IX/88


(28)

Jenis-jenis pemanis buatan yang dizinkan penggunaannya pada ke-3 regulasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Sebelum tahun 2004, ada 11 jenis pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya pada berbagai produk pangan berdasarkan Permenkes RI nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan dan izin khusus. Jika dibandingkan sebelum dan sesudah tahun 2004, ada penambahan jenis pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya pada berbagai produk pangan, yaitu laktitol dan neotam.

Tabel 4 Izin khusus penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan*

No. Tanggal Nama

Pemanis Bahan Pangan Kadar

1. 3-5-1993 Isomalt Cokelat dan cokelat susu, kembang gula, permen karet, jam, selai, marmalad, es krim dan sejenisnya, yogurt, biskuit, produk panggang, cake, sereal sarapan, makanan ringan ekstrudat

Secukupnya

2. 14-7-1993 dan

30-5-1997

Maltitol minuman ringan, jeli, kembang gula, permen karet, produk cokelat, susu dan hasil olahnya

Secukupnya

3. 6-9-1993 Asesulfam K Minuman ringan, kembang gula, saos dan sejenisnya, produk roti, sari buah, susu dan hasil olahnya, pangan ringan, marmalad, jam dan jeli

Secukupnya

4. 20-10-1995 Alitam Minuman, tepung dan hasil olahnya, kembang gula, yogurt, es krim, jam, jeli

Secukupnya 5. 30-10-1995

30-5-1997

Silitol - Kembang gula, permen karet - Sereal, jam, jeli, saus, mustard

Secukupnya

6. 30-5-1997 Manitol - Produk bakeri Secukupnya

7. 27-10-2000 Sukralosa - Desert dengan dasar susu (es krim, es susu, puding)

- Desert dengan dasar lemak - Desert dengan dasar buah-buahan - Kembang gula lunak dan keras - Roti dan produk bakeri - Table Top Sweetener

- Pangan diet (pangan untuk bayi dan anak) - Pangan diet untuk mengurangi berat badan - Pangan diet (pangan suplemen untuk

penggunaan dietary) 400 mg/kg 250 mg/kg 1250 mg/kg 1500 mg/kg 750 mg/kg GMP 400 mg/kg 1250 mg/kg 800 mg/kg

*

Kompilasi izin khusus Direktorat Standardisasi Produk Pangan

CAC mengatur penggunaan pemanis buatan dalam Codex General Standard for Food Additives. Ada 24 jenis pemanis yang diizinkan penggunaannya dalam produk pangan yaitu asesulfam K, alitam, aspartam, garam aspartam-asesulfam, kalsium siklamat, kalsium sakarin, asam siklamat, eritritol, isomal (isomaltitol), laktitol, maltitol, sirup maltitol, manitol, neotam, sirup poliglisitol, kalium sakarin, sakarin, natrium siklamat, natrium sakarin, sorbitol, sirup sorbitol, sukralosa, thaumatin, dan silitol. Tiga belas jenis pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya dalam GSFA tersebut sama dengan yang diizinkan di Indonesia, yaitu alitam, asesulfam K, aspartam, isomalt, laktitol, maltitol, manitol, neotam, sakarin (dan garam natrium,


(29)

kalium, kalsium), siklamat (asam siklamat dan garam natrium, kalium, kalsium), silitol, sorbitol, dan sukralosa, seperti pada Lampiran 2.

Tabel 5 Jenis pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya di Indonesia

No.

Sebelum Tahun 2004 Sesudah tahun 2004 Permenkes RI No.

722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan

Izin khusus

Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan BTP Pemanis

Buatan dalam Produk Pangan

1. Aspartam Isomalt Alitam 2. Sakarin Maltitol Asesulfam K 3. Siklamat Asesulfam K Aspartam 4. Sorbitol Alitam Isomalt

5. Silitol Maltitol

6. Manitol Manitol

7. Sukralosa Sakarin

8. Siklamat

9. Sukralosa

10. Silitol

11. Sorbitol

12. Laktitol

13. Neotam

Analisis Risiko

Analisis risiko merupakan ‘generasi ketiga’ dari sistem keamanan pangan. Ketiga generasi tersebut adalah:

1) Good Hygienic Practices dan pendekatan serupa dalam produksi dan penyiapan pangan untuk menurunkan prevalensi dan konsentrasi bahaya

2) HACCP dan pendekatan serupa yang secara pro-aktif mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya pada tahap-tahap proses dan menitikberatkan pada tindakan pencegahan

3) Analisis risiko yang secara sistematis memfokuskan pada penanggulangan kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan jika mengkonsumsi pangan yang mengandung bahaya dan terdapatnya bahaya pada seluruh rantai pangan.

Melalui analisis risiko diharapkan dapat diperoleh suatu proses yang secara sistematis dan transparan; dapat mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi ilmiah maupun non-ilmiah yang relevan tentang bahaya kimia, mikrobiologis maupun fisik yang mungkin terdapat dalam pangan, sebagai landasan pengambilan keputusan untuk memilih opsi terbaik dalam menangani risiko tersebut berdasarkan berbagai alternatif yang diidentifikasi (Rahayu & Kusumaningrum 2004).


(30)

Komponen Analisis Risiko

Sebagai proses pengambilan keputusan yang terstruktur, menurut CAC yang dipakai sebagai acuan oleh Rahayu dan Kusumaningrum (2004), analisis risiko dibagi dalam 3 komponen, meliputi: kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko, seperti pada Gambar 1. Risiko yang dimaksud adalah kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan dan tingkat gangguan kesehatan sebagai akibat adanya bahaya (hazard) dalam pangan.

Kajian Risiko adalah suatu proses penentuan tingkat risiko yang berlandaskan data-data ilmiah yang terdiri dari 4 (empat) tahapan, yakni: i) identifikasi bahaya; ii) karakterisasi bahaya; iii) kajian pemaparan; iv) karakterisasi risiko.

Manajemen risiko secara prinsip adalah suatu proses yang terpisah dari kajian risiko yang meliputi pembuatan dan penerapan kebijakan dengan mempertimbangkan masukan dari pihak-pihak terkait mengenai kajian risiko dan faktor lain yang relevan untuk melindungi kesehatan konsumen dan mempromosikan perdagangan yang ‘fair’, dan jika diperlukan memilih opsi pencegahan dan pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi risiko.

Gambar 1 Komponen analisis risiko

Komunikasi Risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara interaktif dalam pelaksanaan proses analisis risiko mengenai risiko, faktor yang berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko, antara pengkaji risiko, manajer risiko dan pihak

Kajian Risiko Landasan

ilmiah

Manajemen Risiko Landasan kebijakan

Komunikasi Risiko Pertukaran informasi dan opini


(31)

terkait lainnya, seperti pihak pemerintah, konsumen, industri dan akademisi informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian risiko dan landasan keputusan manajemen risiko.

Manajemen Risiko

Menurut Rahayu dan Kusumaningrum (2004), manajemen risiko merupakan bagian yang esensial dalam analisis risiko. Proses manajemen risiko terdiri dari tahapan-tahapan yang meliputi identifikasi dan evaluasi suatu risiko keamanan pangan, pengkajian semua opsi yang mungkin untuk mengendalikan risiko tersebut, pengambilan keputusan manajemen risiko, dan penjaminan bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan yang terbaik, seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Proses Manajemen Risiko

Proses manajemen risiko merupakan proses yang berkesinambungan. Dengan demikian setiap model manajemen risiko harus fleksibel, sehingga memungkinkan untuk dilakukan review terhadap berbagai kegiatan, melakukan

Evaluasi Risiko - Identifikasi masalah - Pengembangan profil

risiko

- Pengurutan bahaya - Pembentukan komisi

kajian risiko

Mengkaji Opsi Manajemen Risiko - Identifikasi opsi - Seleksi opsi - Pengambilan

keputusanakhir manajemen Monitoring dan

Review - Review hasil - Pengkajian

keberhasilan tindakan yang diambil

Implementasi

Keputusan Manajemen Risiko

- Pelaksanaan tindakan terbaik untuk


(32)

manajemen risiko tidak harus selalu mempunyai urutan yang sama, yang penting adalah perhatian harus diberikan pada semua tahapan.

Evaluasi Risiko

Evaluasi risiko adalah proses yang meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Identifikasi masalah keamanan pangan

Identifikasi yang dimaksukan adalah menentukan masalah keamanan pangan yang akan dikaji. Informasi permasalahan dapat diperoleh berdasarkan pengalaman pada waktu inspeksi, uji toksisitas, data surveilan penyakit, keterbatasan aturan standar, serta studi laboratorium, klinis dan epidemiologi.

b. Mengembangkan profil risiko

Pengembangan profil adalah suatu analisis keadaan yang dapat memberikan informasi yang cukup tentang masalah keamanan pangan yang menggambarkan kapan dan bagaimana munculnya masalah tersebut dan kemungkinan cara pemecahan-pemecahannya, yang akan digunakan oleh manajer risiko untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan kajian risiko terhadap masalah tersebut.

c. Mengurutkan bahaya untuk kajian risiko dan menetapkan prioritas untuk manajemen risiko

Dalam menentukan urutan bahaya maupun prioritas perlu disusun terlebih dahulu tujuan dan kriteria untuk manajemen risiko. Tujuan tersebut misalnya: untuk menurunkan tingkat cemaran mikrobiologis pada produk pangan pada saat penjualan, menurunkan jumlah penyakit yang disebabkan patogen tertentu, dan sebagainya.

d. Penetapan kebijakan kajian risiko

Penetapan kebijakan kajian risiko merupakan tanggung jawab manajemen risiko yang dilakukan bersama-sama dengan pengkaji risiko. Kebijakan kajian risiko merupakan acuan yang terdokumentasi tentang pemilihan opsi-opsi dan penilaiannya untuk pengambilan keputusan dalam kajian risiko. Kebijakan tersebut harus memberikan pemahaman yang jelas tentang manfaat dan lingkup kajian risiko dan cara pelaksanaan kajian risiko.


(33)

e. Pembentukan komisi kajian risiko

Komisi kajian risiko dibentuk sesudah ada keputusan diperlukannya kajian risiko, dengan melibatkan keahlian di berbagai bidang, termasuk ahli mikrobiologi/kimia dan matematika/statistik.

f. Interpretasi hasil-hasil kajian risiko

Interpretasi hasil-hasil kajian risiko dilakukan jika kajian risiko sudah selesai, untuk meninjau apakah hasil-hasil kajian risiko sudah dapat menjawab pertanyaan manajemen risiko ataupun mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pengkajian Opsi-opsi Manajemen Risiko

Pengkajian opsi-opsi manajemen dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Identifikasi opsi-opsi manajemen risiko yang tersedia

Proses identifikasi opsi manajemen dapat dilakukan dengan membuat daftar semua kejadian, perubahan ataupun hal-hal lain yang dapat mempengaruhi tujuan manajemen risiko yang sudah ditentukan.

b. Memilih opsi manajemen yang sesuai

Pemilihan opsi manajemen meliputi suatu analisis yang sistematis, perbandingan dan evaluasi dampak yang mungkin terjadi dari berbagai opsi yang ada, untuk menurunkan atau mencegah terjadinya risiko. Manajer risiko dapat menggunakan berbagai cara untuk menentukan pilihan, misalnya dengan mempertimbangkan perlunya ‘zero risk’, ‘cost-benefit analysis’, dan sebagainya.

c. Menentukan keputusan akhir manajemen

Keputusan akhir manajemen harus diambil berdasarkan pada ketersediaan informasi ilmiah, teknis dan ekonomis serta informasi lain yang relevan. Prioritas harus lebih ditekankan pada pencegahan bahaya daripada pengendalian bahaya.

Implementasi Keputusan Manajemen Risiko

Keputusan manajemen risiko dapat diimplementasikan oleh berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintahan, industri pangan, dan konsumen. Jenis dan metode implementasi dapat berbeda-beda disesuaikan dengan pihak yang terkait, misalnya melalui inspeksi rutin oleh inspektor, penerapan GMP atau HACCP oleh industri


(34)

Monitoring dan Review

Keputusan manajemen risiko harus dipantau secara periodik. Berdasarkan pada perkembangan informasi ilmiah yang baru atau temuan-temuan selama monitoring, dimungkinkan untuk memperbaiki keputusan manajemen risiko yang ditetapkan ataupun tujuan manajemen risiko. Selama monitoring, manajer risiko dapat mengukur keberhasilan suatu proses atau prevalensi maupun tingkat bahaya tertentu pada bagian spesifik pada rantai pangan.

Berdasarkan hasil monitoring ada kemungkinan diperlukan revisi dan pengulangan kajian risiko, pengambilan keputusan baru, dan implementasi keputusan, sehingga merupakan suatu proses yang berulang (iteratif). Perubahan-perubahan tujuan umum yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat, informasi maupun data baru, atau inovasi teknologi merupakan faktor-faktor yang menentukan perlu tidaknya peninjauan kembali opsi-opsi manajemen risiko dan memperbanyak proses analisis risiko.

Industri Rumah Tangga Pangan

Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) menurut definisi Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Namun demikian, Badan POM RI tidak memiliki batasan tentang berapa tenaga kerja dan modal bagi IRTP yang menjadi objek pengawasannya. Menurut UU No. 9 tahun 1995, usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-. Kriteria lainnya menurut UU tersebut adalah: milik WNI, berdiri sendiri, berafiliasi langsung atau tidak langsung dengan usaha menengah atau besar dan berbentuk badan usaha perorangan, baik berbadan hukum maupun tidak.

IRTP sebagai produsen yang memproduksi pangan untuk dikonsumsi seyogyanya mendapat perhatian pemerintah. IRTP harus mampu menghasilkan pangan olahan yang bersih, higienis, dan bebas dari cemaran bakteri patogen dan bahan kimia berbahaya yang dapat membahayakan dan merugikan masyarakat. Untuk mewujudkan itu, adalah tugas pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap IRTP agar hasil produksinya aman untuk dikonsumsi dengan tetap membentuk jaring pengaman sosial dan memberdayakan serta mengembangkan potensi ekonomi rakyat. Setidaknya, ketika program pembangunan kurang mampu


(35)

menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, IRTP dengan segala kekurangannya mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja. Oleh karena itu, disamping melakukan pengawasan terhadap IRTP agar mampu menghasilkan pangan yang bermutu dan aman dikonsumsi, pemerintah juga diharapkan dapat memberikan kebijakan-kebijakan yang mendorong untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat.

Dalam upaya peningkatan mutu dan keamanan pangan, IRTP harus didukung oleh peningkatan pengetahuan dan ketrampilan SDM. Pengembangan dan peningkatan kualitas SDM ini dilakukan melalui berbagai pelatihan, yaitu pelatihan dasar dan lanjutan, serta bimbingan teknis bagi tenaga penyuluh keamanan pangan dan District Food Inspector kabupaten/kota.

Pengawasan keamanan pangan harus melibatkan peran dan tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam satu jaringan yang bersinergi, yang mencakup 3 subsistem yaitu pengawasan oleh produsen/pelaku usaha, pengawasan oleh pemerintah dan pengawasan oleh masyarakat. Badan POM dalam melakukan pengawasan bekerja sama dengan berbagai pihak terutama pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota berupaya secara maksimal untuk mencegah, memantau dan mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan BTP ilegal misalnya penggunaan formalin sebagai pengawet pangan atau penggunaan BTP yang tidak sesuai dengan takaran penggunaannya.


(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, selama 10 (sepuluh) bulan sejak bulan April 2008 sampai dengan bulan Januari 2009. Data sekunder berupa data pendaftaran produk pangan dalam negeri diperoleh dari Direktorat Penilaian Keamanan Pangan dan data hasil inspeksi / sampling pangan dan pangan jajanan anak sekolah diperoleh dari Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Badan POM RI. Data primer diperoleh melalui survei yang dilakukan pada IRTP dan toko kimia yang berada di wilayah Jakarta.

Bahan

Bahan yang digunakan berupa data sekunder, meliputi: (1) data penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 – 2007, (2) data hasil sampling pangan dan PJAS nasional dari Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan.

Data primer diperoleh melalui survei pada IRTP dan 7 toko kimia di Jakarta, dengan alat bantu berupa: (1) kuesioner sebagai instrumen untuk mengetahui persepsi produsen tentang aspek-aspek CPPB dan implementasi penggunaan pemanis buatan dalam produknya, (2) pedoman pemeriksaan sarana produksi IRTP dan formulir pemeriksaan sarana produksi IRTP untuk mengetahui penerapan CPPB IRTP.

Metode

Penelitian dilaksanakan melalui beberapa tahapan kegiatan sesuai dengan tujuan penelitian dan hasil yang diharapkan yaitu: (1) Kajian Implementasi Penggunaan Pemanis Buatan pada Pangan yang Terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 - 2007 (2) Studi Kasus pada IRTP.

Kajian Implementasi Penggunaan Pemanis Buatan pada Pangan yang Terdaftar di Badan POM RI meliputi (a) Kajian jenis dan kadar pemanis buatan tunggal yang digunakan pada produk pangan dan (b) kajian jenis pemanis buatan kombinasi yang digunakan pada produk pangan.

Studi Kasus pada IRTP meliputi (a) kajian penggunaan pemanis buatan oleh IRTP didukung dengan data distribusi pemanis buatan di toko kimia di Jakarta (b) kajian terhadap persepsi pengusaha IRTP mengenai aspek-aspek CPPB dan penerapannya.


(37)

Kajian Implementasi Penggunaan Pemanis Buatan

pada Produk Pangan Terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 - 2007

Penggunaan Pemanis Buatan Tunggal Pada Produk Pangan

Kegiatan diawali dengan inventarisasi data produk pangan yang menggunakan pemanis buatan yang terdaftar di Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM RI antara tahun 1992 hingga 2007. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) nomor file, (2) nomor persetujuan pendaftaran, (3) nama dan alamat produsen, (4) tahun persetujuan pendaftaran (5) jenis pangan (6) jenis pemanis buatan (7) kadar pemanis buatan. Kadar pemanis buatan untuk tiap-tiap produk dihitung dengan mengkonversikan kadar pemanis buatan yang digunakan dalam produk pangan dari satuan % atau persajian menjadi satuan ppm. Kemudian, dibuat interval dari kadar terendah hingga kadar tertinggi. Dari interval tersebut dihitung rata-rata kadar pemanis buatan untuk tiap jenis pemanis pada masing-masing jenis produknya.

Data yang terkumpul dibuat matriks yang membandingkan jumlah per jenis pangan yang menggunakan pemanis buatan selama tahun 1992 – 2003 dan selama tahun 2004 - 2007, jenis pemanis buatan yang digunakan pada produk pangan selama tahun 1992 – 2003 dan selama tahun 2004 - 2007, kadar tiap-tiap pemanis buatan yang digunakan pada produk pangan selama tahun 1992 – 2003 dan selama tahun 2004 – 2007.

Pengolahan data dilakukan untuk mengetahui kesesuaian implementasi penggunaan pemanis buatan yang digunakan secara tunggal pada produk pangan terhadap regulasi pemanis buatan, meliputi jenis pemanis, jenis produk pangan dan kadarnya.

Penggunaan Pemanis Buatan Secara Kombinasi Pada Produk Pangan

Kegiatan yang dilakukan sama dengan kegiatan kajian jenis pemanis buatan yang digunakan secara tunggal pada produk pangan yang terdaftar di BPOM antara tahun 1992 hingga 2007, perbedaannya adalah jenis pemanis buatan yang digunakan merupakan kombinasi.

Dari data base Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, dikelompokkan tiap nomor file dan nomor persetujuan pendaftaran yang sama, sehingga dapat diketahui kombinasi pemanis buatan yang digunakan untuk produk tersebut. Data yang


(38)

menggunakan pemanis buatan kombinasi antara tahun 1992 – 2003 dan 2004 – 2007 serta kombinasi pemanis buatan yang digunakan pada produk pangan antara tahun 1992 – 2003 dan 2004 – 2007.

Pengolahan data dilakukan untuk mengetahui kesesuaian implementasi penggunaan pemanis buatan yang digunakan secara kombinasi pada produk pangan terhadap regulasi pemanis buatan, meliputi jenis pemanis dan jenis produk pangan.

Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga Pangan

Penyusunan Kuesioner. Kuesioner merupakan salah satu instrumen untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk memperoleh data tentang pemahaman pengusaha industri rumah tangga pangan mengenai pengetahuan keamanan pangan.

Kuesioner terdiri dari 3 (tiga) bagian meliputi identitas responden, persepsi produsen IRTP tentang aspek-aspek CPPB dan implementasi regulasi pemanis buatan oleh IRTP (Lampiran 3). Disamping kuesioner, penulis menggunakan Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi IRTP (Lampiran 4) dan Formulir Pemeriksaan Sarana Produksi IRTP untuk mengkaji penerapan CPPB yang telah dilakukan oleh IRTP (Lampiran 5).

Identitas responden meliputi nama dan alamat perusahaan, jenis produk pangan, status badan hukum, nama pemilik/penanggungjawab, umur, pendidikan terakhir pengusaha, dan cakupan wilayah pemasaran produk.

Persepsi produsen IRTP tentang aspek-aspek CPPB berisi 41 pernyataan yang terdiri dari 13 unsur CPPB yaitu:

1. Lingkungan Produksi 2. Bangunan dan Fasilitas 3. Peralatan Produksi 4. Suplai Air

5. Fasilitas Dan Kegiatan Higiene Dan Sanitasi 6. Pengendalian Hama

7. Kesehatan dan Higiene Karyawan 8. Pengendalian Proses

9. Label Pangan 10. Penyimpanan

11. Manajemen Pengawasan 12. Pencatatan Dan Dokumentasi 13. Pelatihan Karyawan


(39)

Data yang dihasilkan dari survei ini berupa jawaban pernyataan dengan alternatif jawaban: ST = Sangat Tahu, T = Tahu, R = Ragu-ragu, TT = Tidak Tahu, STT = Sangat Tidak Tahu.

Penerapan CPPB pada IRTP dilakukan dengan melakukan pengamatan di lapang menggunakan Formulir Pemeriksaan Sarana Produksi IRTP dan hasilnya dinilai berdasarkan Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi IRTP yang disusun oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI.

Untuk mendukung hasil survei terhadap IRTP, dilakukan juga survei terbatas di 7 (tujuh) toko kimia yang menjual pemanis buatan di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Pusat, untuk mengetahui distribusi pemanis buatan di tingkat yang paling mudah diakses oleh masyarakat.

Penetapan Kriteria dan Jumlah Responden. Responden dipilih dari IRTP yang ada di DKI Jakarta yang diduga menggunakan pemanis buatan pada produknya. Sesuai dengan data produk pangan yang terdaftar di Badan POM RI, maka IRTP yang dipilih adalah IRTP yang memproduksi minuman baik minuman serbuk maupun minuman yang siap minum.

Dengan menggunakan variabel estimasi proporsi populasi dengan tingkat kepercayaan 95% dihitung dengan menggunakan rumus (Nazir 2003) sebagai berikut:

n = z α/22pq

E2 dengan:

E = galat estimasi = error estimation

p = proporsi populasi, 0.5 apabila tidak diketahui q = 1 – p

α = taraf keterandalan

100 (1 – α)% = tingkat keyakinan

Pada penelitian ini, diharapkan galat estimasi (tingkat kesalahan) tidak lebih dari 18% dengan tingkat keyakinan 95%. Dengan demikian, maka nilai α = 0.05, dan α/2 = 0.025, sehingga z0.025 = 1.96 (diperoleh dari tabel distribusi normal standar). Dengan

nilai E = 0.18; p = 0.5; q = 0.5, maka diperoleh jumlah responden untuk penelitian ini adalah:


(40)

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka ditetapkan jumlah responden sebanyak 30 (tiga puluh) IRTP.

Pelaksanaan survei. Survei dilaksanakan melalui pengisian kuesioner dan wawancara. Responden merupakan pengusana IRTP, diminta mengisi kuesioner sesuai dengan persepsi mereka tentang aspek-aspek CPPB. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana IRTP menggunakan pemanis buatan pada produknya. Disamping itu, dilakukan pengamatan terhadap kondisi IRTP menggunakan formulir pemeriksaan IRTP dan dinilai menggunakan Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi IRTP.

Survei terbatas ke 7 (tujuh) toko kimia di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Pusat dilakukan untuk mengetahui distribusi pemanis buatan di tingkat yang paling mudah diakses oleh masyarakat. Hal ini bermanfaat untuk mendukung hasil survei terhadap IRTP.

Pengolahan data. Keluaran dari kajian ini berupa :

(a) Profil responden meliputi jenis produk pangan yang diproduksi oleh IRTP, status badan hukum IRTP, pendidikan pengusaha, dan cakupan wilayah pemasaran produk

(b) gambaran implementasi regulasi pemanis buatan. Dari ke-30 IRTP dihitung jumlah IRTP yang menggunakan pemanis berupa gula, gula dan pemanis buatan, serta yang menggunakan pemanis buatan saja; data didukung dengan hasil survei distribusi pemanis buatan di toko kimia.

(c) gambaran persepsi pengusaha IRTP tentang aspek-aspek CPPB Tiap-tiap unsur CPPB yang ditanyakan kepada ke-30 reponden, dihitung jumlah dari masing-masing alternatif jawaban yaitu ST, T, R, TT, atau STT. Kemudian dihitung persentase untuk masing-masing alternatif jawaban tersebut..

(d) gambaran penerapan CPPB oleh IRTP. Dari ke-30 IRTP dilihat penerapan CPPBnya menggunakan formulir pemeriksaan sarana produksi IRTP, kemudian hasilnya dinilai menggunakan Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi IRTP.


(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Implementasi Penggunaan Pemanis Buatan

pada Produk PanganTerdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992 - 2007

Penggunaan Pemanis Buatan Tunggal Pada Produk Pangan

Data produk pangan yang menggunakan pemanis buatan diperoleh dari database Direktorat Penilaian Keamanan Pangan selama tahun tahun 1992 hingga 2007, karena pada tahun 2008 entry data pendaftaran pangan sempat terhenti dikarenakan adanya uji coba sistem registrasi yang baru. Data dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok pangan yang menggunakan pemanis buatan tunggal, yaitu yang terdaftar pada tahun tahun 1992 – 2003 dan yang terdaftar pada tahun tahun 2004 – 2007. Pengelompokan tersebut ditujukan untuk melihat kecenderungan industri pangan dalam menggunakan pemanis buatan pada produknya terkait dengan diberlakukannya Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan BTP Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.

Perbandingan kelompok pangan yang menggunakan pemanis buatan tunggal pada tahun 1992 – 2003 dengan 2004 – 2007 dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan jenis pangan yang menggunakan pemanis buatan, ada pengurangan dan penambahan jenis pangan baru setelah dibelakukannya Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan BTP Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.

Pengurangan jenis pangan yang menggunakan pemanis buatan tunggal terdapat pada jenis pangan Ikan dan Hasil Olahnya, Lemak Hewani-nabati dan Minuman Gula Asam. Pengurangan jenis pangan tersebut sebenarnya tidak terkait dengan pemberlakuan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan BTP Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, namun kemungkinan disebabkan tidak adanya pendaftaran jenis pangan tersebut pada tahun 2004 hingga 2007. Karena menurut regulasi yang berlaku, pemanis buatan diizinkan penggunaannya pada jenis pangan tersebut.

Penambahan jenis pangan yang menggunakan pemanis buatan pada tahun 2004 - 2007 dibandingkan pada tahun 1992 - 2003 terdapat pada jenis pangan: Penguat Rasa, Jam, Kue/Roti, Dekorasi (Pengisi Roti), Es Krim, Krimer Nabati, Minuman Beralkohol, Minuman Beroksigen, Minuman Susu, dan Yogurt.


(42)

722/Menkes/Per/IX/88 dan izin khusus, terdapat penambahan 2 jenis pangan yaitu minuman beralkohol dan krimer nabati. Penambahan jenis pangan Penguat Rasa, Jam, Kue/Roti, Dekorasi (Pengisi Roti), Es Krim, Minuman Beroksigen, Minuman Susu, dan Yogurt lebih terkait dengan pengembangan produk oleh industri pangan, seperti minuman beroksigen yang baru ada pada sekitar tahun 2005.

Tabel 6 Jenis dan jumlah produk pangan yang menggunakan pemanis buatan tunggal yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992-2007

No. JENIS PRODUK PANGAN JUMLAH PRODUK PANGAN 1992-2003 2004-2007 I Bahan Tambahan Pangan

1. Bahan Pengembang 2. Perisa

3. Pengemulsi 4. Pewarna Makanan 5. Sediaan Pemanis Buatan 6. Penguat Rasa

4 20 1 61 36 - 24 3 11 128 35 2 II Makanan

1. Agar-agar / Jeli 2. Jam

3. Saus 4. Biskuit

5. Ikan dan Hasil Olahnya 6. Kecap

7. Kembang Gula 8. Lemak Hewani-Nabati 9. Makanan Ringan 10. Kue / Roti

11. Dekorasi (Pengisi Roti)

20 - 10 1 4 1 33 1 5 - - 14 4 25 1 - 4 46 - 11 8 1 III Minuman

1. Sirup Berperisa 2. Susu Bubuk

3. Makanan Diet Khusus 4. Minuman Sari Buah 5. Minuman Gula Asam 6. Minuman Isotonik 7. Minuman Jeli 8. Minuman Berperisa 9. Minuman Serbuk 10. Minuman Teh 11. Es Krim 12. Krimer Nabati 13. Minuman Beralkohol 14. Minuman Beroksigen 15. Minuman Susu 16. Yogurt 39 5 3 7 1 3 3 41 77 3 - - - - - - 80 19 15 3 - 10 17 91 197 23 2 5 5 8 25 3

JUMLAH 379 820

Selain penambahan jenis pangan, jumlah produk pangan yang menggunakan pemanis buatan pada tahun 2004 - 2007 mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu dari 379 produk pangan menjadi 820 produk pangan (meningkat 116%) dibanding tahun 1992 - 2003. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan industri pangan untuk menekan biaya produksi karena krisis ekonomi, adanya penambahan


(43)

varian baru pada jenis pangan yang sama dan adanya permintaan dari konsumen tertentu yang ingin membatasi asupan kalorinya, karena pemanis buatan tidak atau sangat kecil kandungan kalorinya.

Gambar 3 menunjukkan histogram jenis dan jumlah kelompok pangan yang menggunakan pemanis buatan tunggal yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992-2003 dan 2004-2007, untuk melihat sejauh mana penambahan jenis dan jumlah produk pangan yang menggunakan pemanis buatan.

Gambar 3 Histogram jenis dan jumlah kelompok pangan yang menggunakan pemanis buatan tunggal yang terdaftar di Badan POM RI pada tahun 1992-2003 dan 2004-2007

Berdasarkan histogram di atas dapat dilihat bahwa pengurangan jenis pangan dan penambahan jenis pangan pada masing-masing kategori (BTP, Makanan, dan Minuman) pada tahun 1992 – 2003 dibanding tahun 2004 – 2007, ternyata sangat kecil. Artinya pada tahun 1992 – 2003 dan 2004 – 2007 jenis pangan yang menggunakan pemanis buatan sebenarnya hampir sama.

Proporsi jenis produk pangan yang menggunakan pemanis buatan tunggal pada tahun 1992 – 2003 dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahun 1992 hingga tahun 2003 yakni sebelum diberlakukannya Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan BTP Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, jenis pangan yang paling banyak menggunakan pemanis buatan


(1)

Minuman Teh 3 375 - 455 402 3 250 - 500 375 600 ppm Minuman Susu -

- - 20 50 - 131 62 600 ppm Minuman Beralkohol -

- - 1 1000 1.000 700 ppm

JUMLAH 103 257

2. Asesulfam K Makanan

Saus 0 0 0 2 100 100 350 ppm

Kembang Gula 0 0 0 1 1000 1.000 2.000 ppm

Minuman

Makanan Diet Khusus -

- - 3 48 - 70 59 500 ppm Minuman Isotonik -

- - 3 160 160 600 ppm

Minuman Ringan /

Berkarbonasi -

- - 7 50 - 100 71 600 ppm Minuman Serbuk -

- - 13 50 - 450 142 600 ppm Minuman Teh -

- - 4 233 - 300 275 500 ppm Minuman Susu -

- - 5 50 50 500 ppm Minuman Beroksigen -

- - 8 93 93 600 ppm

Minuman Sari Mengkudu 1 300 300 CPPB

JUMLAH 1 46

3. Isomalt Kembang Gula - - - 5

960.000 -

980.000 976.000 CPPB


(2)

4. Maltitol Makanan Diet Khusus - - - 1 2000 2.000 CPPB

JUMLAH - 1

5. Siklamat Bahan Tambahan Pangan

Sediaan Pemanis Buatan 23

995.000 -

1.000.000 999.783 - 18

800.000 -

1.000.000 987.647 CPPB

Makanan

Agar-agar dan Jelly 16 1.000 - 1.750 1.547 2000 ppm 9 600 - 1620 973 1000 ppm Saus 2 1.600 - 2.150 1.875 3000 ppm 1 450 450 500 ppm Kecap -

- - 4 200 200 500 ppm Makanan Ringan 4 100 - 300 150 - 1 100 100 250 ppm

Biskuit 1 800 800 - -

- - 1600 ppm

Minuman

Sirup Beraroma 26 100 - 5.600 1.304 3000 ppm 68 100 - 700 500 1000 ppm Minuman Isotonik -

- - 1 190 190 1000 ppm

Minuman Lidah Buaya, Jelly

& Nata de coco -

- - 17 200 - 1.000 329 1000 ppm

Minuman Ringan /

Berkarbonasi 10 2.000 - 3.000 2.333 3000 ppm 55 230 - 1.000 532 1000 ppm Minuman Serbuk 31 400 - 1700 1.250 3000 ppm 43 300 - 1.750 752 1000 ppm Minuman Teh -

- - 13 230 - 700 559 1000 ppm Minuman Beralkohol -

- - 2 49 49 250 ppm Minuman Sari Buah - - 3 10 - 20 13 1000 ppm


(3)

- Es Krim -

- - 2 80 - 100 90 250 ppm Yogurt -

- - 3 370 - 390 373 400 ppm

JUMLAH 113 240

6. Sakarin Bahan Tambahan Pangan

Sediaan Pemanis Buatan 4 1.000.000 1.000.000 - 4 1.000.000 1.000.000 CPPB

Makanan

Saus 8 250 - 300 283 300 ppm 20 250 - 500 340 500 ppm

Kecap 1 700 700 - -

- -

Makanan Ringan 1 100 100 - 4 98 - 100 98.5 100 ppm

Minuman

Minuman Ringan /

Berkarbonasi 10 100 - 400 178 300 ppm 3 150 - 200 168 500 ppm Sirup Beraroma/Buah 9 200 - 400 289 300 ppm -

- - Minuman Serbuk 6 250 - 300 283 300 ppm -

- - Minuman Beralkohol -

- - 2 58 58 80 ppm

JUMLAH 39 33

7. Sorbitol Bahan Tambahan Pangan

Bahan Pengembang 4

20.000 -

260.000 80.000 120.000 ppm 24 200.000 -


(4)

Essence 19 17.000 17.000 120.000 ppm 3

10.000 -

200.000 136.667 CPPB Pewarna Makanan 61

750.000 -

975.000 847.727 120.000 ppm 128 500.000 -

990.000 855.608 CPPB Pengemulsi 1 260.000 260.000 120.000 ppm 11

50.000 -

960.000 413.120 CPPB

Sediaan Pemanis Buatan - - - 6

891.000 -

991.500 953.717 CPPB

Penguat Rasa - - - 1 567500 567.500 CPPB

Makanan

Kembang Gula 24 2.300 - 994.500 497.164 120.000 ppm 28 7.960 - 971.000 695.045 CPPB Ikan dan hasil olahnya 4 150 - 9.600 2.480 120.000 ppm -

- - Lemak Hewani - Nabati 1 3.000 3.000 120.000 ppm -

- -

Kue, Roti - - - 8 190 - 20.000 8.653 CPPB

Jam - - - 1 670000 670.000 CPPB

Biskuit - - - 1 440000 440.000 CPPB

Dekorasi (Pasta, Pengisi

Roti) - - - 1 242300 242.300 CPPB

Minuman

Sirup Beraroma/Buah 2 90.000 - 92.000 91.000 120.000 ppm - - - - Minuman Serbuk 1 25.000 25.000 120.000 ppm 5 6.5 - 7.35 6,78 CPPB

Susu Bubuk - - - 2 8.000 - 17.200 14.467 CPPB

Minuman Buah / Sari Buah 6 33.000 -90.000 78.500 120.000 ppm - - - -

Minuman Isotonik 1 8000 8.000 CPPB

Minuman Diet Khusus 5 8.150 - 850.000 221.308 CPPB

JUMLAH 123 225


(5)

8. Sukralosa Bahan Tambahan Pangan

Sediaan Pemanis Buatan -

- - 1 5000 5.000 CPPB

Makanan

Kembang Gula -

- - 1 645.000 645.000 1500 ppm

Jam -

- - 3 400 - 600 533 1.250 ppm

Minuman

Minuman Ringan /

Berkarbonasi -

- - 2 100 100 600 ppm Minuman Isotonik -

- - 2 100 - 560 330 600 ppm Minuman Diet Khusus -

- - 1 296 296 800 ppm Minuman Teh -

- - 3 65 65 250 ppm

JUMLAH - 13


(6)