BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BPH Benign Prostate Hyperplasia
BPH Benign Prostate Hyperplasia adalah pembesaran jinak dari kelenjar prostat. Penyebab dari BPH tidak diketahui secara jelas, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dihydrotestoteron DHT dan proses aging penuaan.
Prostat terletak mengelilingi urethra posterior, pembesaran dari prostat mengakibatkan urethra pars prostatika menyempit dan menekan dasar dari kandung kemih.
Penyempitan ini dapat menghambat keluarnya urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi kandung kemih, dimana perubahan struktur ini oleh penderita dirasakan sebagai
keluhangejala LUTS. LUTS Lower Urinary Tract Symptoms adalah istilah umum untuk menjelaskan
berbagai gejala berkemih yang dikaitkan dengan BPH. Keluhan pasien BPH berupa LUTS terdiri atas gejala obstruksi voiding symptoms maupun iritasi storage symptoms.
Gambar 2.1. Gambaran prostat normal dibandingkan dengan BPH
Obstruksi yang disebabkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat merupakan komponen statis yang menyumbat urethra posterior tetapi juga
disebabkan oleh peningkatan tonus otot polos merupakan komponen dinamis yang terdapat pada stroma prostat, kapsul prostat, dan leher kandung kemih.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan tonus otot polos prostat Otot ini dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus pada BPH terkait rangsangan dari
α
1
-adrenoceptors Kim, 2011.
BPH dapat dimulai pada usia 40 tahun dan semakin sering dengan bertambahnya usia. Mengenai hampir seluruh pria, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai gejala
walaupun prostatnya mungkin telah membesar. BPH umumnya menjadi masalah seiring dengan waktu, dengan gejala bertambah buruk bila tidak ditangani.
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan awal dan berbagai pemeriksaan tambahan. Bila terdapat masalah berkemih maka Anamnese, Pemeriksaan Fisik
DRE= Digital Rectal Examination, Pemeriksaan Laboratorium PSA=Prostate-specific antigen dan terkadang Biopsi dan Ultrasonografi TRUS = TransRectal UltraSonography
ataupun TAUS= TransAbdominal UltraSonography digunakan untuk menemukan jenis kelainan dari prostat BPH, kanker prostat atau prostatitis.
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala serta untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan akibat pembesaran prostat dibuatlah
sistem skoring yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem yang dianjurkan oleh WHO ini adalah International Prostate Symptom Score IPSS. Skor ini
juga berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH Barry et al, 1992; Mc Nicholas et al, 2011.
Analisis gejala ini terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan LUTS yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 lihat
lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup quality of life atau QoL yang terdiri atas tujuh
kemungkinan jawaban. LUTS dibagi atas ringan IPSS 0-7, sedang IPSS 8-19 atau berat IPSS 20-35 tergantung pada banyaknya gejala yang mengganggu kualitas hidup dan
aktivitas penderita. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seseorang pasien memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring 7 berarti pasien perlu mendapatkan
terapi medikamentosa atau terapi lain. Semua informasi ini dapat membantu dalam memahami seberapa mengganggunya gejala berkemih dan menentukan tatalaksana yang
terbaik.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. International Prostate Symptoms Score IPSS
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Bila LUTS dikaitkan dengan BPH, tingkat gangguan dari gejala atau yang mempengaruhi kualitas
hidup harus dipertimbangkan disaat menentukan pilihan tatalaksana terbaik. Masalah medis yang lain mungkin dapat mempengaruhi tatalaksana BPH.
2.2. Alpha
1
a
-adrenoceptors antagonists Tamsulosin
Jaringan otot yang mengalami hiperplasia pada prostat memiliki banyak reseptor α
1
, begitu pula di saluran kemih dan jaringan penis corpus carvenosum. Berbagai subtipe
α
1
- adrenoceptors telah diteliti dan diidentifikasi dalam kandung kemih, prostat dan jaringan
penis corpus carvenosum. Menurut klasifikasi oleh International Union of Pharmacology, α
1
-adrenoceptor diklasifikasikan menjadi tiga subtipe, α
1a-
, α
1b-
dan α
1d-
. Pada Tabel 2 dapat dilihat rincian subtipe dan lokasinya Traish et al, 2000; El-Gamal, 2006 ; Taylor et al, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. subtipe
α
1
-adrenoceptors dan lokasinya Taylor et al, 2008
Subtipe Reseptor Lokasi
α
1
a
Sel stroma prostat, otot polos pembuluh darah, urethra, vas deferens, otot polos corpus carvenosum, kandung kemih
α
1
b
Sel epitel prostat, otot polos pembuluh darah
α
1
d
Sel stroma prostat, urethra, vas deferens, kandung kemih, otot destrusor
α
1
dan α
2
Pembuluh darah penis, otot polos corpus carvenosum
Pada BPH efek dari α
1
a
-adrenoceptors antagonists adalah dengan memblokade adrenoreceptors α
1a
dalam prostat, yang merelaksasi otot polos, menyebabkan perbaikan pengeluaran urin dan mengurangi frekuensi berkemih serta memperkecil residu urine dalam
kandung kemih Tjay, 2007 ; Taylor et al, 2008. Alpha
1
-adrenoceptors antagonists berguna pada BPH ringan – sedang. Obat-obat ini
tidak bisa mengecilkan prostat yang membesar, berbeda dengan obat BPH lainnya, yakni anti androgen
– 5α-reductase inhibitors seperti finasteride dan dutasteride Tjay, 2007; Fine and Ginsberg, 2008.
Alpha
1
a
-adrenoceptors antagonists merupakan antagonis adrenoreceptors α
1a
yang sangat selektif, dikembangkan untuk menghindari efek samping dari obat golongan α-
adrenoceptors antagonists
lainnya, α
1
a
-adrenoceptors antagonists
secara khusus
dikembangkan untuk mengobati LUTS pada BPH Traish et al, 2000; Fine and Ginsberg, 2008.
Alpha
1
-adrenoceptors antagonists selektif yang digunakan untuk terapi BPH, juga memblokir aksi noradrenalin pada tingkat reseptor
α
1
di otot polos corpus cavernosum. noradrenalin mengaktifkan
α-adrenoceptors yang terletak pada membram otot polos corpus cavernosum menyebabkan kontraksi otot polos dan detumescence penis, sehingga Alpha
1a
- adrenoceptors antagonists memiliki efek ereksi Seracu et al, 2009. Telah diketahui bahwa
efek samping berupa hipotensi ortostatik penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau
penurunan tekanan darah diastolik ≥ 10 mmHg pada perubahan posisi dari telentang menjadi
berdiri lebih jarang diketemukan pada α
1a
-adrenoceptors antagonists dibanding obat golongan α-adrenoceptors antagonists lainnya. Oleh karena itu, untuk pasien dengan
komorbiditas kardiovaskuler, penggunaan tamsulosin untuk manajemen klinis BPH mungkin pilihan yang lebih aman daripada subtipe nonselektif
α
1
- adrenoceptors antagonists Kirby, 2005; Fine and Ginsberg, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Menurut nomenklatur, α
1
a
-adrenoceptors antagonists bekerja predominan di prostat, corpus cavernosum penis serta dasar dan leher dari kandung kemih El-Gamal, 2006;
Praveen, 2011. Alpha
1
a
-adrenoceptors antagonists dalam hal ini Tamsulosin juga berperan terhadap blokade adrenoreceptors α
1a
dan α
1d
dalam kandung kemih yang nantinya menghambat ketidakstabilan otot detrusor dan keluhan iritatif. Terdapat bukti uji klinis efektivitas
dari α
1
- adrenoceptors antagonists dalam mengurangi Disfungsi Ereksi, menurunkan gejala LUTS dan
peningkatan aliran darah El-Gamal, 2006; Taylor et al, 2008. Blokade dari α
1
a
-adrenoceptors yang sebagian besar berada dalam jaringan corpus cavernosum mungkin bertanggung jawab terhadap efek terapi kontraksi otot polos penis
yang disebabkan oleh aksi noradrenalin pada α
1
-adrenoreceptors menyebabkan penis flaksid, maka blokade pada reseptor ini oleh
α
1
a
-adrenoceptors antagonists mengakibatkan menurunkan level tonus simpatik pada penis dan peningkatan Nitrat Oksida NO yang
menyebabkan otot polos corpus cavernosum relaksasi dan peningkatan aliran darah ke dalam ruang lacunar pada corpos cavernosum, sehingga meningkatkan dan memperbaiki fungsi
ereksi dan α
1
a
-adrenoceptors antagonists merupakan alternatif yang baik untuk tatalaksana LUTSBPH dengan Disfungsi Ereksi Lowe, 2005; Leungwattanakij et al, 2005; Taylor et al,
2008; Kojima et al, 2009; Gacci et al, 2011. Alpah
1
a
-adrenoceptors antagonists Tamsulosin dimetabolisme dalam hati oleh enzim CYP 450. Clearance dari Tamsulosin relatif lambat 2,88 Ljam. Setelah administrasi dosis
tunggal Tamsulosin 0,4 mg, mencapai waktu paruhnya 9 – 13 jam. Dikatakan bahwa salah
satu kelebihan dari golo ngan α
1
a
-adrenoceptors antagonists Tamsulosin adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain dan efek samping hipotensi yang lebih
sedikit. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun Narayan et al, 2003.
2.3. Anatomi dan Mekanisme Ereksi Penis
Secara fisiologis ereksi penis adalah hasil dari relaksasi otot polos meliputi dilatasi arteri, relaksasi sinusoidal dan kompresi vena, ketika aliran darah ke penis melebihi aliran
darah dari penis Lowe, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Penis memiliki jaringan erektil berupa dua corpus cavernosum tersusun dari dua silinder paralel jaringan erektil dan satu corpus spongiosum silinder tunggal terletak
dibagian ventral, mengelilingi urethra, sedangkan bagian ujungnya membentuk glans penis. Jaringan erektil berupa jaringan berongga sinusoid-sinusoid yang tersusun dari sel-sel otot
polos. Kontraksi dan relaksasi sel-sel otot polos ini bersifat involunter atau tidak disadari. Sinusoid dibatasi oleh tunica albuginea yaitu jaringan ikat yang kuat. Tunica albuginea pada
corpus cavernosum lebih tebal daripada di corpus spongiosum. Tunica albuginea ini merupakan pembatas sebesar apa jaringan erektil penis bisa terisi darah dan membesar saat
ereksi. Pada glans penis tidak terdapat tunica albuginea. Radix penis bulbospongiosum diliputi oleh otot bulbokavernosus sedangkan corpus cavernosum diliputi oleh otot
Ischiocavernosus El-Sakka and Lue, 2004; Kirby, 2005. Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom parasimpatik S2-S4 dan simpatik
T10-L2 serta persarafan somatik S2-S4 sensoris dan motoris. Dari neuron di sumsum tulang belakang dan ganglia perifer, saraf simpatis dan parasimpatis bergabung dan
membentuk saraf cavernosa, yang memasuki corpus cavernosum dan corpus spongiosum untuk mempengaruhi peristiwa neurovaskular saat ereksi dan detumescence. Saraf somatik
bertanggung jawab untuk sensasi dan kontraksi otot-otot bulbocavernosus dan ischiocavernosus Dean and Lue, 2005; Kirby, 2005.
Sumber perdarahan penis berasal dari arteri iliaka interna cabang dari arteri iliaka komunis yang kemudian menjadi arteri pudenda interna yang selanjutnya menjadi arteri penis
komunis dan kemudian bercabang tiga menjadi arteri cavernosa arteri penis profundus, arteri dorsalis penis dan arteri bulbouretralis. Arteri cavernosa memasuki corpus cavernosum
dan membagi diri menjadi arteriol-arteriol helisin yang bentuknya seperti spiral bila penis dalam keadaan flaksid. Dalam keadaan tersebut arteriol helisin pada corpora berkontraksi dan
menahan aliran darah arteri ke dalam rongga lakunar. Sebaliknya dalam keadaan ereksi, arteriol helisin tersebut berelaksasi sehingga aliran darah arteri bertambah cepat dan mengisi
rongga-rongga lakunar. Keadaan relaksasi atau kontraksi dari otot-otot polos trabekel dan arteriol menentukan penis dalam keadaan ereksi atau flaksid Kirby, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Peran Vaskuler Pembuluh Darah Ereksi sebenarnya sangat terkait dengan darah dan pembuluh darah. Tingkat ereksi
tergantung pada keseimbangan antara aliran darah arteri menuju penis dan aliran darah vena keluar dari penis. Ketika aliran darah arteri rendah atau sedikit maka penis dalam kondisi
flaksid, sedangkan bila aliran arteri meningkat dan aliran darah vena keluar rendah, maka terjadilah ereksi.
Peran Otot Polos Otot polos terdapat pada dinding pembuluh darah dan jaringan erektil. Apabila otot
polos pembuluh darah berkontraksi, maka pembuluh darah menyempit vasokontriksi yang menyebabkan aliran darah berkurang. Sebaliknya bila otot polos pembuluh darah melebar
vasodilatasi maka aliran darah akan bertambah. Begitu pula dengan otot polos jaringan erektil. Bila kontriksi maka akan susah mengembang
terisi darah sehingga penis flaksid. Bila relaksasi, tahanan jaringan erektil berkurang sehingga mudah terisi darah dan mengembang ereksi. Otot polos ini bersifat tidak disadari, dan di
bawah pengaruh saraf otonom. Peran Saraf
Ereksi adalah proses yang otonom atau tidak bisa dikontrol karena melibatkan otot polos pembuluh darah dan jaringan erektil. Pada saat kondisi flaksid, saraf otonom yang
dominan adalah saraf simpatis. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi arteri dan kontraksi otot polos jaringan erektil corpus cavernosum dan spongiosa akibatnya aliran ke penis akan
rendah. Sebaliknya pada saat kondisi ereksi, stimulasi parasimpatis dominan. Parasimpatis menyebabkan vasodilatasi arteri dan relaksasi otot polos jaringan erektil sehingga aliran
darah ke penis meningkat. Secara ringkas, struktur diatas bertanggung jawab atas tiga jenis ereksi:
1. Ereksi psikogenik diawali secara sentral sebagai respon terhadap rangsang audiovisual atau imajinasi. Impuls dari otak memodulasi pusat ereksi di tulang
belakang T10-L2 dan S2-S4 untuk mengaktifkan proses ereksi. 2. Ereksi reflexogenik terjadi akibat pacuan pada reseptor sensoris pada penis, yang
dengan interaksi spinal, menyebabkan aksi saraf somatis dan parasimpatis. 3. Ereksi nokturnal sebagian besar terjadi selama rapid-eye-gerakan tidur REM.
Mekanisme ini belum diketahui EI-Sakka and Lue, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Anatomi Penis
Universitas Sumatera Utara
Pada corpus cavernosum ditemukan adanya neurotransmiter yang bukan adrenergik dan bukan pula kolinergik non-adrenergic non-cholinergic = NANC yang ternyata adalah
Nitric Oxide NO. NO merupakan mediator neural akan menyebabkan serangkaian perubahan enzimatis yang menyebabkan relaksasi otot polos corpus cavernosum sehingga
terjadi proses ereksi Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011. Secara lebih rinci, Setelah rangsangan seksual, terjadi aktivitas serat parasimpatis
yang mensyarafi otot polos corpus cavernosum dan sel endotel sinusoidal melepaskan asetilkolin, yang mengaktifkan produksi endothelial Nitric Oxide Synthase eNOS, yang
kemudian mensintesis Nitric Oxide NO. NO yang merupakan neurotransmiter mengaktifkan enzim Guanylate Cyclase yang akan mengkonversikan Guanosine Triphosphate GTP
menjadi Cyclic Guanosine Monophosphate cGMP sehingga kadar cGMP meningkat. Mekanisme vasodilator kedua melibatkan produksi Cyclic Adenosine Monophosphate
cAMP dari Adenosine Triphosphate ATP oleh Adenylate Cyclase AC. Vasoactive Intestinal Polypeptide VIP dan Prostaglandin E1 PGE1 mengaktifkan AC. Baik cGMP
dan cAMP merangsang kalsium keluar kadar kalsium intrasel menurun dari otot polos corpus cavernosum, sehingga terjadi relaksasi otot polos penis corpus cavernosum dan
pembuluh darah penis, sehingga aliran darah meningkat ke jaringan trabecular dan ruang sinusoidal. Meningkatkan aliran darah penis, menyebabkan ereksi. Kompresi venula
subtunical mengurangi aliran vena dari corpus cavernosum dan memelihara tumescence. NO dilepaskan bila ada rangsangan seksual. cGMP ini tidak terus menerus ada karena selanjutnya
akan dipecah oleh enzim Phosphodiesterase 5 PDE5 yang akan mengakhiri menurunkan kadar cGMP sehingga ereksi akan berakhir Traish et al, 2000; Lowe, 2005; Kirby, 2005;
Muneer et al, 2007; Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011.
Gambar 2.3. Mekanisme Ereksi
Universitas Sumatera Utara
Stimulasi seksual
Impuls parasimpatis
Pelepasan Nitric Oxide NO
dinding pembuluh darah penis
Mengaktifkan enzim Guanylate Cyclase
Menyebabkan peningkatan senyawa Cyclic Guanosine Monophosphate cGMP
Menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah penis dan
relaksasi otot polos trabecular
EREKSI
Arteri cavernosa dan arteri helisin vasodilatasi
→ darah mengalir ke dalam jaringan cavernosa.
Relaksasi otot polos dinding trabecular → si osoid dilatasi → e beri rua g
akibat kenaikan aliran darah.
Penis membesar
Antara dinding trabecular bagian luar jaringan cavernosa dan tunika albugenia
menyempit.
Akibatnya vena yang keluar dari sinosoid melalui dinding trabecula dan tunika albugenia plexus
venosus subtunica menjadi tertekan.
Mengurangi aliran darah vena keluar dari sinosoid → ve oklusi penutupan venosa terjadi secara
pasif, sementara
itu kontraksi
otot Ischiocavernosus mengerutkan bagian proksimal
corpus cavernosus → menimbulkan penutupan
vena. Bila didegradasi oleh enzim
phosphodiesterase-5 PDE-5 → menurunkan kadar cGMP
FLACCID
Terjadi akibat kontraksi arteri mengurangi aliran darah menuju sinosoid dan kontraksi trabecula
menyebabkan pengosongan
sinosoid dan
menarik dinding trabecular bagian luar menjauhi tunika albugenia.
Membuka aliran vena Diperantai
syaraf simpatis Menghidrolisis Guanine Triphosphate
GTP menjadi cGMP.
Universitas Sumatera Utara
2.4. BPH dengan Fungsi Seksual
Beberapa penelitian berbasis beragam populasi – termasuk sampel dari Asia, Eropa,
Amerika Utara dan Amerika Selatan, menunjukkan hubungan yang konsisten antara LUTS dengan Disfungsi Ereksi ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk mencapai
atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan dan atau disfungsi ejakulasi pada pria dengan BPH. Disfungsi
Ereksi dapat diklasifikasikan menjadi psikogenik, organik atau gabungan psikogenik dan organik. Faktor organik dibagi lagi menjadi gangguan vaskulogenik paling sering, saraf,
dan endokrin. Setiap faktor yang mempengaruhi fungsi pembuluh darah merupakan faktor risiko untuk Disfungsi Ereksi Lowe, 2005;
Mc Vary, 2005; Muneer et al, 2007.
Prevalensi Disfungsi Ereksi pada pria berusia 40-70 tahun dengan komorbiditas diperkirakan 9,7 secara keseluruhan, dengan tingkat 39 pada pria dengan penyakit
jantung, 29 pada pria dengan diabetes, dan 15 pada mereka dengan hipertensi. Bila dikelompokkan berdasarkan usia, prevalensi Disfungsi Ereksi meningkat dari 40 dengan
Disfungsi Ereksi ringan dan 5 dengan Disfungsi Ereksi berat pada usia 40 tahun, menjadi 70 dan 15, masing-masing pada usia 70 tahun. Analisis lebih lanjut dari data ini
menunjukkan LUTS menjadi independen faktor risiko untuk Disfungsi Ereksi Taylor et al, 2008.
Studi The Multinational Study of Aging Male MSAM-7, yang mengevaluasi kuesioner respondens 12.815 orang, menunjukkan bahwa Disfungsi Ereksi dikaitkan dengan
keparahan LUTS, analisis ini menemukan bahwa LUTS dan usia lebih kuat menjadi faktor risiko Disfungsi Ereksi daripada kondisi komorbid lain seperti diabetes, hipertensi atau
hiperlipidemia Rosen et al, 2003. Faktor psikososial dinyatakan sebagai penyebab selain faktor fisiologis. Perubahan gaya hidup karena nokturia dapat mempengaruhi terjadinya
disfungsi ereksi Taylor et al, 2008; Seo et al, 2011; Kim, 2011. Patogenesis yang mendasari hubungan antara LUTS dan Disfungsi Ereksi belum
sepenuhnya dipahami. Hipotesis yang ada termasuk 1 Penurunan aktivitas eNOSNO pada prostat dan otot polos penis, 2 Peningkatan Aktivasi Rho-kinase, 3 Efek hiperaktivitas
otonom pada LUTS, pertumbuhan prostat dan Disfungsi Ereksi, 4 Ketidakseimbangan α-
adrenoceptors 5 Aterosklerosis pelvis pada prostat, kandung kemih dan penis Mc Vary,
2005; Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011.
Sudah diketahui bahwa produksi eNOSNO prostat berkurang pada BPH zona transisional dibandingkan dengan jaringan prostat normal, sehingga mengurangi relaksasi
Universitas Sumatera Utara
tonus prostat. Penurunan ini berpengaruh terhadap fungsi berkemih yang selanjutnya berkembang menjadi BPH atau LUTS
Mc Vary, 2005 .
Peningkatan Rho kinase-aktivitas menyebabkan kontraksi otot polos meningkat, yang selanjutnya
memberikan kontribusi
untuk ganguan
fungsi ereksi
dan perubahan tonus kandung kemih Ponholzer et al, 2007; Taylor et al, 2008.
Kompleksitas dari patogenesis yang menghubungkan BPHLUTS dan Disfungsi Ereksi mengarah ke suatu penyebab yang sama yang saling berhubungan. Oleh karena itu,
pilihan terapi dapat tumpang tindih, memungkinkan pencegahan atau tatalaksana dari kedua kondisi tersebut ditangani bersamaan Van Dijk, 2010. Dari sebuah penelitian menyebutkan,
nilai fungsi seksual keseluruhan terdapat peningkatan pada kelompok α
1
a
-adrenoceptors antagonists Tamsulosin dibanding dengan placebo.
Untuk menilai derajat kekerasan ereksi sekaligus diagnosa sederhana Disfungsi Ereksi dipakai instrumen khusus dengan menggunakan Erection Hardness Score EHS yaitu tes
mandiri yang sederhana, tervalidasi klinis dan menunjukkan kualitas ereksi serta kemampuan untuk penetrasi. EHS pertama kali diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada
tahun 1998. EHS adalah diagram mengenai kualitas kekerasan ereksi yang terdiri dari grade 1 sampai 4.
PATOGENESIS
Penurunan aktivitas eNOS
Aterosklerosis pelvis
Meningkatnya Aktivasi Rho-kinase
Hiperaktivitas otonom
Perubahan fungsional corpus cavernosa,
prostat, urethra, dan kandung kemih
Penurunan fungsi dari saraf dan endotelium Perubahan relaksasi atau kontraktilitas otot
polos Insufisiensi arterial, penurunan aliran darah,
dan kerusakan jaringan akibat hipoksia BPHLUTS
ED
Ketidakseimbangan α-adrenoceptors
Universitas Sumatera Utara
EHS Grade 1 = Penis membesar, namun tidak keras → termasuk disfungsi ereksi berat.
EHS Grade 2 = Penis keras, namun tidak cukup untuk ereksi → termasuk disfungsi ereksi sedang.
EHS Grade 3 = Penis cukup keras untuk penetrasi, namun tidak maksimal sub- optimal
→ termasuk disfungsi ereksi ringan. EHS Grade 4 = Penis keras seluruhnya dan tegang sepenuhnya optimal
→ tidak mengalami disfungsi ereksi.
Gambar 2.4. Alat Ukur EHS
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Teori
2.6. Alur Penelitian
PASIEN BPH
Memenuhi Kriteri Inklusi
Dilakukan penilaian tingkat kekerasan ereksi dengan Erection Hardness Score EHS
Pemberian α
1a
-adrenoceptors antagonists Tamsulosin selama 1 bulan
Evaluasi ulang tingkat kekerasan ereksi dengan menggunakan Erection Hardness Score EHS
BPH
LUTS EREKSI
α
1a
-adrenoceptors antagonists Tamsulosin
RESPON ?
Universitas Sumatera Utara
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN