Kondisi dan posisi masyarakat adat dalam perumusan kebijakan

54 1999 tentang Hak Tanah Ulayat, Perda Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Perda Propinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari, Perda Propinsi Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya dan SK Kepala Daerah lainnya. daftar Peraturan daerah bisa dilihat di lampiran Keterlibatan masyarakat adat juga didorong melalui penandatanganan MOU dengan instansi pemerintah atau komisi negara. Penandatanganan MOU ini dianggap penting karena instansi pemerintah merupakan eksekutor atau pelaksana dalam proses perumusan maupun implementasi kebijakan. Penandatanganan MOU juga dimaksudkan untuk membangun kesepahaman bersama mengenai hak-hak masyarakat adat dalam perumusan kebijakan. Penandatanganan MOU juga dimaksudkan untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan serta menghindari kesalahpahaman dalam penanganan berbagai kasus, persoalan dan konflik yang berkaitan dengan masyarakat adat. Beberapa inisitif perumusan kebijakan yang melibatkan masyarakat adat di tingkat nasional, antara lain: 1. Perumusan RUU PPMA Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat 2. Revisi UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa 3. Judicial Review UU No. 411999 tentang Kehutanan 4. Judisial Review UU No. 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan 5. MOU AMAN dengan Kementerian Lingkungan Hidup 6. MOU AMAN dengan Komnas HAM 7. MOU AMAN dengan BPN Badan Pertanahan Nasional, yang ditindaklanjuti dengan MOU AMAN daerah dengan beberapa BPN di daerah

4.3 Kondisi dan posisi masyarakat adat dalam perumusan kebijakan

Hasil studi di delapan masyarakat adat menunjukkan bahwa secara umum masyarakat adat belum banyak dilibatkan dalam perumusan kebijakan publik. Berbagai perumusan kebijakan di level local, regional dan nasional belum banyak melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan. Sebagian besar masih dilakukan secara top down dan kurang memperhatikan aspirasi dan suara dari komunitas adat. Kalaupun ada upaya untuk melibatkan mereka dalam proses perumusan kebijakan, lebih banyak dilakukan dengan mengundang mereka hadir dalam kegiatan sosialisasi pengambilan keputusan. Di beberapa kesempatan mereka juga dimintai saran dan pendapat. Namun, tidak ada jaminan saran dan pendapat yang disampaikan akan diterima dan diakomodir. Hal ini terbukti dari berbagai kebijakan yang dihasilkan yang justru tidak berdampak positif bagi masyarakat adat. Mereka yang sebenarnya menjadi penerima manfaat utama dari kebijakan, justru tidak mendapatkan apa-apa, bahkan harus kehilangan akses atas 55 wilayah dan sumber dayanya. Kebijakan yang dihasilkan juga membuat mereka terisolasi, terkena dampak polusi, kehilangan sumber daya dan dampak negative lainnya. Masyarakat adat mulai terlibat aktif dalam proses pembuatan kebijakan publik sejak tahun 1999 mereka bergabung dan mendirikan sebuah asosiasi bernama AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Upaya masyarakat adat untuk terlibat dalam perumusan kebijakan yang sebelumnya dilakukan secara diam-diam, sporadis, tidak terorgaanisir, tanpa konsep dan rumusan yang jelas mulai berubah. AMAN secara aktif membantu dan mewaikili masyarakat adat dalam proses perumusan kebijakan di daerah maupun di puast. AMAN juga berhasil membangun kesadaran di kalangan komunitas adat dan masyarakat luas eksistensi dan posisi masyarakat adat dalam perumusan kebijakan. Bahkan, AMAN bisa membangun kepercayaan diri masyarakat adat dan membuat perjuangan mereka lebih high profile. Dalam berbagai kegiatan dialog dan perumusan kebijakan, mereka terus menekankan mengenai pentingnya peran dan posisi masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum negara ini berdiri. Upaya untuk menunjukkan eksistensi dan kesetaraan masyarakat adat itu disampaikan melalui moto perjuangan: ”Kalau negara tak mengakui kami, kami pun tak akan mengakui negara”. Dalam perumusan kebijakan di tingkat komunal yang difasilitasi AMAN ini, misalnya perumusan Peraturan desa, masyarakat adat masih berpartisipasi dengan memberikan pendapat atas namanya sendiri. Mereka masih bisa terlibat langsung dalam perumusan kebijakan public, baik secara langsung mewakili dirinya sendiri maupun mewakili komunitasnya. Beragam pengambilan keputusan di level local, seperti di desa maupun kecamatan, masih melibatkan masyarakat secara langsung. Namun Posisi dan partisipasi masyarakat adat akan semakin berkurang untuk level yang lebih tinggi misalnya berhubungan dengan pihak kedua di tingkat lokal, regional atau nasional. Pada tingkat lokal dan nasional keterwakilan masyarakat adat berada ditangan pendamping dari ornop yang bertindak sebagai representatif MA

4.4 Partisipasi dalam Perumusan kebijakan versi Masyarakat Adat