Implementasi Kebijakan Kajian Ditpolkom | Website Direktorat Politik dan Komunikasi KAJIAN MASY ADAT

61 dalam diskusi pengumpulan aspirasi yang dilakukan oleh DPRD, KOmnas HAM dan AMAN pada tahap awal proses penyusunan draft Raperda PPMA. Meski demikian, keberadaan Perda dipicu oleh persoalan yang dialami masyarakat adat yang berkonflik dengan masyarakat dengan perusahaan. Lain halnya yang terjadi Lombok Utara, DPRD lamban sekali merespon gagasan masyarakat yang telah berupa dokumen lengkap untuk pengajuan raperda perlindungan hutan adat. Dokumen yang dipersiapkan oleh ornop ini melibatkan masyarakat adat pada tahap penelitian dan diskusi untuk menetapkan tema-tema yang diangkat dalam raperda. Keterlibatan masyarakat adat terbatas pada pemuka adat dan aktivis masyarakat yang dapat berpartisipasi dalam penelitian dan diskusi. Sedangkan perumusan kebijakan dalam konteks masyarakat Toro dilakukan dengan melibatkan pimpinan adat yang terdiri atas Totua Ngata, Tina Ngata dan Maradika Kepala Desa Ngata Toro, juga diperbantukan oleh AMAN SULTENG. Mengingat hubungannya dengan BBTNLL, maka perumusan kebijakan melibatkan langsung Pemerintah Kabupaten Sigi, dalam hal ini adalah Bupati Sigi. Sedangkan dalam konteks masyarakat Simoro dan Pakuli, dilakukan dengan melibatkan perwakilan masyarakat yang bergabung dalam juru runding yang berhadapan langsung dengan BBTNLL, hanya saja dalam prosesnya dibantu oleh keberadaan POKJA IV FPIC yang memang sengaja dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Baik di masyarakat Toro, Simoro dan Pakuli, masyarakat agaknya hanya berperan dalam proses awal penyusunan kebijakan awal, sedangkan perumusan kebijakan dilakukan oleh elite-elite masyarakat yang mewakili masyarakat.

4.7.3 Implementasi Kebijakan

Implementasi dari kebijakan yang dapat diamati ditemukan masyarakat adat Lusan di Paser serta Masyarakat Adat Buani dan Peraturan Pengelollan Hutan Desa Bentek di Lombok Utara. Sedangkan di Perda PPMA di Malinau belum dapat dicermati karena baru saja disyahkan pada akhir 2012. Kebijakan pengaturan hutan yang diatur oleh Lembaga Adat Desa Lusan tidak sepenuhnya dijalankan oleh masyarakat. Mereka menganggap peraturan adat yang kemudian diajukan menjadi Perdes belum disyahkan. Sehingga banyak temuan pelanggaran penebangan kayu yang dilakukan oleh masyarakat. Awiq-awiq yang menjadi panduan masyarakat adat Buani dalam mengelola dan memberlakukan hutan adat dipegang teguh oleh masyarakat. Tidak sekalipun mereka berniat melanggar karena denda spiritual lebih berat dari materi. Akan halnya peraturan pengelolaan hutan desa yang dikeluarkan oleh Karama Desa Bentek mengikat secara sosial pada semua warga dan spiritual pada hutan adatnya masing-masing. 62 Dalam masyarakat Toro, kebijakan terpenting adalah pengakuan Bupati Sigi pada tanggal 27 Juli 2011 yang memberikan landasan hukum bagi masyarakat Toro untuk mengelola dan memanfaatkan hutan yang mereka miliki. Implementasi dari pengakuan tersebut membuat masyarakat bergerak lebih bebas dalam menjaga, mengelola, dan memanfaatkan hutan. Pengakuan hutan Toro oleh Pemkab Sigi juga diakui oleh pihak BBTNLL, sehingga konflik yang semula sering muncul antara masyarakat dan BBTNLL frekuensinya jadi sangat berkurang, terutama sejak diikutsertakannya masyarakat dalam kegiatan-kegiatan BBTNLL dalam pengawasan dan pengelolaan hutan. Bagi masyarakat Simoro dan Pakuli, kebijakan terpenting adalah hasil FPIC yang ditandatangani oleh masyarakat sebagai Pihak Pertama dan BBTNLL sebagai Pihak Kedua. Penandatanganan Surat Perjanjian Kerjasama itu menjadi dasar bagi pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dilkaukan oleh BBTNLL yang secara langsung akan dilakukan oleh masyarakat. Sebagai kompensasi, BBTNLL akan memberikan sejumlah insentif bagi masyarakat selama kegiatan RHL tersebut berjalan.

4.7.4 Evaluasi Kebijakan