Perumusan Kebijakan Kajian Ditpolkom | Website Direktorat Politik dan Komunikasi KAJIAN MASY ADAT

60 Keterlibatan masyarakat adat dalam proses penyusunan agenda masih minimal dalam musyawarah-musyawarah kampung. Dari tiga wilayah yang dikunjungi, keterlibatan perempuan dalam memberikan usulan sangat terbatas sekali. Partisipasi mereka pasif dalam bentuk kehadiran dan mempersiapkan logistik jika dibutuhkan. Sementara di masyarakat adat Toro maupun Simoro dan Pakuli, seluruhnya berhubungan erat dengan keberadaan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. Secara geografis, wilayah Simoro dan Pakuli berbatasan langsung dengan tapal Lore Lindu, sedangkan wilayah Toro secara definitif adalah area Lore Lindu itu sendiri. Dengan kondisi seperti ini, sulit untuk meredam konflik dengan pihak BBTNLL. Baik Toro maupun Simoro dan Pakuli pernah mengalami pasang surut hubungan dengan BBTNLL. Dengan begitu seringnya koflik antara masyarakat dan BBTNLL, maka tidak mengherankan jika masyarakat berperan dalam penyusunan kebijakan, walaupun tentu saja keberadaan pihak ketiga muncul, misalnya dalam konteks masyarakat Toro ada AMAN, sedangkan masyarakat Simoro dan Pakuli terdapat POKJA IV. Penyusun agenda juga dilakukan oleh organisasi pendamping masyarakat seperti AMAN Seknas dan Koslata di Mataram yang mendorong produk regulasi yang akan melindungi masyarakat adat. Proses yang mereka lalui agak berbeda mengingat cakupan wilayah dan penggagas regulasi tidak sama. Tim yang dibentuk oleh KOslata disetujui oleh pemerintah daerah walaupun produk yang dihasilkan tidak mendapat respon baik. Proses yang dijalani AMAN dapat dibedakan menjadi dua, proses nasional dengan DPR RI dan proses dengan DPRD setingkat kabupaten. Proses nasional terhadang oleh kepentingan partai pengusung karena membawa dua gagasan RUU yang hampir sama, sedangkan di tingkat kabupaten telah membuahkan Perda meskipun waktu yang dibutuhkan hampir dua tahun. Peran Pemerintah dalam membuat regulasi, menyetujui dan mendukung gagasan usulan yang berasal dari masyarakat adat belum maksimal. Peran paling menonjolkan ditunjukan oleh DPRD Malinau yang telah mengeluarkan Perda PPMA sedangkan kabupaten belum terlihat. Kabupaten Paser pada tahun 2001 pernah mengeluarkan pernyataan bahwa di Kabupaten Paser tidak ditemukan masyarakat adat berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Universitas Hasanudin. Hal ini ditentang oleh Dewan Adat Paser dan aktivis yang peduli pada masyarakat adat di Kabupaten Paser.

4.7.2 Perumusan Kebijakan

Penyusunan kebijakan di wilayah penelitian berada berbeda dari cakupan dan subtansi. Malinau dan Lombok Utara menyusun kebijakan di level kabupaten sedangkan Paser hanya pada tingkat desa berupa raperdes. Jika melihat substansi, ada sedikit kesamaan Paser dengan Lombok Utara yang berniat melindungi hutan adat hanya cakupan berbeda. Malinau mengatur lebih luas dengan memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat termasuk sumberdaya yang ada di dalamnya. Sebagian kecil Masyarakat Adat yang berada di Kabupaten Malinau terlibat 61 dalam diskusi pengumpulan aspirasi yang dilakukan oleh DPRD, KOmnas HAM dan AMAN pada tahap awal proses penyusunan draft Raperda PPMA. Meski demikian, keberadaan Perda dipicu oleh persoalan yang dialami masyarakat adat yang berkonflik dengan masyarakat dengan perusahaan. Lain halnya yang terjadi Lombok Utara, DPRD lamban sekali merespon gagasan masyarakat yang telah berupa dokumen lengkap untuk pengajuan raperda perlindungan hutan adat. Dokumen yang dipersiapkan oleh ornop ini melibatkan masyarakat adat pada tahap penelitian dan diskusi untuk menetapkan tema-tema yang diangkat dalam raperda. Keterlibatan masyarakat adat terbatas pada pemuka adat dan aktivis masyarakat yang dapat berpartisipasi dalam penelitian dan diskusi. Sedangkan perumusan kebijakan dalam konteks masyarakat Toro dilakukan dengan melibatkan pimpinan adat yang terdiri atas Totua Ngata, Tina Ngata dan Maradika Kepala Desa Ngata Toro, juga diperbantukan oleh AMAN SULTENG. Mengingat hubungannya dengan BBTNLL, maka perumusan kebijakan melibatkan langsung Pemerintah Kabupaten Sigi, dalam hal ini adalah Bupati Sigi. Sedangkan dalam konteks masyarakat Simoro dan Pakuli, dilakukan dengan melibatkan perwakilan masyarakat yang bergabung dalam juru runding yang berhadapan langsung dengan BBTNLL, hanya saja dalam prosesnya dibantu oleh keberadaan POKJA IV FPIC yang memang sengaja dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Baik di masyarakat Toro, Simoro dan Pakuli, masyarakat agaknya hanya berperan dalam proses awal penyusunan kebijakan awal, sedangkan perumusan kebijakan dilakukan oleh elite-elite masyarakat yang mewakili masyarakat.

4.7.3 Implementasi Kebijakan