Agenda setting Proses Penyusunan agenda

59 pengorganisasian dan pendampingan yang dibagi menjadi pemula, pengerak dan pemimpin yang diiuti oleh wakil-wakil dari masyarakat adat yang beberapa diantaranya maju hingga ketingkat nasional sebagai tokoh masyarakat adat. AMAN dan berbagai LSM lainnya juga membangun kesadaran mereka dalam proses pengambilan keputusan dengan mensosilisasikan berbagai RUU dan UU, Perda dan Raperda, atau kebijakan lainnya yang berdampak bagi kehidupan mereka. Mereka disadarkan akan hak-haknya sebagai warga negara untuk terlibat dalam proses pembuatan RUU atau Raperda dan melakukan advokasi terhadap UU atau Perda yang dianggap bertentangan dengan UU dan merugikan hak dan berdampak buruk bagi kehidupan mereka. Partisipasi masyarakat terlihat menonjol khususnya dalam advokasi kebijakan, terutama dalam aksis protes menentang suatu kebijakan atau menuntut pencabutan kebijakan tertentu yang dianggap metugikan mereka.

4.7 Partisipasi Masyarakat Adat dalam Tahapan Penyusunan kebijakan

Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijabarkan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: a penyusunan agenda; b perumusan formulasi kebijakan; c. implementasi kebijakan; d evaluasi kebijakan. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir penilaian kebijakan dikaitkan dengan tahap pertama penyusunan agenda, atau tahap di tengah Dunn, 1994.

4.7.1 Agenda setting Proses Penyusunan agenda

Secara garis besar proses penyusunan agenda yang dilakukan oleh masyarakat adat dipicu oleh persoalan yang muncul karena pihak ketiga dan jelas-jelas merugi mereka secara materi, mental dan spiritual. Masyarakat adat pada dasarnya cinta damai dan tidak ingin berkonflik dengan pihak manapun sebab mereka sadar akan keterbatasan keterampilan, pengetahuan dan sumberdaya. Hal sangat jelas disampaikan oleh semua narasumber dari masyarakat adat bahwa mereka tidak punya kemampuan melawan orang luar karena tidak berpendidikan dan tidak punya kepercayaan diri untuk berkomunikasi. Keinginan melawan muncul setelah mereka kehabisan cara untuk memperjuangan hak-hak mereka. Kepercayaan diri mereka timbul setelah ada pendamping yang menjadi teman seiring, walaupun progres tetap saja tidak sama. Masyarakat Merap misalnya, lebih memilih menunggu setelah laporan mereka tidak ditanggapi. Hal yang berbeda dilakukan oleh masyarakat Setarap yang berani melakukan aksi demo dan menginap di kantor pemerintah Malinau. Pendampingan oleh pihak yang dipercaya oleh masyarakat adat, dalam hal ini aktivis sosial, pekerja LSMornopNGO dan tetua masyarakat adat, membawa perkembangan positif bagi masyarakat adat. Mereka merasa mempunyai kepercayaan diri setelah mendapat peningkatan kapasitas berupa diskusi atau pelatihan dan kunjungan perbandingan. 60 Keterlibatan masyarakat adat dalam proses penyusunan agenda masih minimal dalam musyawarah-musyawarah kampung. Dari tiga wilayah yang dikunjungi, keterlibatan perempuan dalam memberikan usulan sangat terbatas sekali. Partisipasi mereka pasif dalam bentuk kehadiran dan mempersiapkan logistik jika dibutuhkan. Sementara di masyarakat adat Toro maupun Simoro dan Pakuli, seluruhnya berhubungan erat dengan keberadaan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. Secara geografis, wilayah Simoro dan Pakuli berbatasan langsung dengan tapal Lore Lindu, sedangkan wilayah Toro secara definitif adalah area Lore Lindu itu sendiri. Dengan kondisi seperti ini, sulit untuk meredam konflik dengan pihak BBTNLL. Baik Toro maupun Simoro dan Pakuli pernah mengalami pasang surut hubungan dengan BBTNLL. Dengan begitu seringnya koflik antara masyarakat dan BBTNLL, maka tidak mengherankan jika masyarakat berperan dalam penyusunan kebijakan, walaupun tentu saja keberadaan pihak ketiga muncul, misalnya dalam konteks masyarakat Toro ada AMAN, sedangkan masyarakat Simoro dan Pakuli terdapat POKJA IV. Penyusun agenda juga dilakukan oleh organisasi pendamping masyarakat seperti AMAN Seknas dan Koslata di Mataram yang mendorong produk regulasi yang akan melindungi masyarakat adat. Proses yang mereka lalui agak berbeda mengingat cakupan wilayah dan penggagas regulasi tidak sama. Tim yang dibentuk oleh KOslata disetujui oleh pemerintah daerah walaupun produk yang dihasilkan tidak mendapat respon baik. Proses yang dijalani AMAN dapat dibedakan menjadi dua, proses nasional dengan DPR RI dan proses dengan DPRD setingkat kabupaten. Proses nasional terhadang oleh kepentingan partai pengusung karena membawa dua gagasan RUU yang hampir sama, sedangkan di tingkat kabupaten telah membuahkan Perda meskipun waktu yang dibutuhkan hampir dua tahun. Peran Pemerintah dalam membuat regulasi, menyetujui dan mendukung gagasan usulan yang berasal dari masyarakat adat belum maksimal. Peran paling menonjolkan ditunjukan oleh DPRD Malinau yang telah mengeluarkan Perda PPMA sedangkan kabupaten belum terlihat. Kabupaten Paser pada tahun 2001 pernah mengeluarkan pernyataan bahwa di Kabupaten Paser tidak ditemukan masyarakat adat berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Universitas Hasanudin. Hal ini ditentang oleh Dewan Adat Paser dan aktivis yang peduli pada masyarakat adat di Kabupaten Paser.

4.7.2 Perumusan Kebijakan