Kajian Morfologi Proses Persembuhan Kerusakan Segmental Pada Tulang Domba Yang Diimplan Dengan Komposit Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K)
KAJIAN MORFOLOGI PROSES PERSEMBUHAN
KERUSAKAN SEGMENTAL PADA TULANG DOMBA YANG
DIIMPLAN DENGAN KOMPOSIT
HIDROKSIAPATIT-KITOSAN (HA-K)
AYU BERLIANTY
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Morfologi Proses
Persembuhan Kerusakan Segmental pada Tulang Domba yang Diimplan dengan
Komposit Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K) adalah karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Ayu Berlianty
NIM B04062278
ABSTRACT
AYU BERLIANTY. Morphological Study of Segmental Defect Healing Process
on Sheep’s Bone Implanted with Hydroxyapatite-Chitosan (HA-C) Composite.
Under direction of SRIHADI AGUNGPRIYONO and KIAGUS DAHLAN.
This research was aimed to study the morphology of healing process on
sheep’s bone implanted with hydroxyapatite-chitosan (HA-C) composite. This
research would also present information about the potency of HA-C composite as
synthetic bone graft biomaterial or bone implant. Three local sheeps were used in
this study. HA-C composite was implanted on the medial of the left tibia bone
while the same part of right tibia was treated as control without implant. All
implant were harvested at 30, 60, and 90 days post-operation. The observation
parameters were the condition, shape, and degradation degree of the implant,
bonding between implant and host bone, new bone ingrowth into the implant, and
signs of inflammation reaction around the implant. The result showed that the
healing process on control bone was faster than those of the implanted bone. As
far as 90 days observation in this present study was concerned, HA-C implant did
not show characteristics for biodegradability, bioresorbability, osteoconductivity,
and bioactivity. However, it showed biocompatibility properties for host body. It
is suggested that the implant used in this study is more suitable to be developed as
synthetic bone graft biomaterial for application on large defects with healing time
longer than 90 days.
Keywords: hydroxyapatite, chitosan, bone implant, bone healing, tibia bone,
sheep.
RINGKASAN
AYU BERLIANTY. Kajian Morfologi Proses Persembuhan Kerusakan
Segmental pada Tulang Domba yang Diimplan dengan Komposit HidroksiapatitKitosan (HA-K). Dibimbing oleh SRIHADI AGUNGPRIYONO dan KIAGUS
DAHLAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji morfologi proses persembuhan
pada tulang domba yang diimplan dengan komposit hidroksiapatit-kitosan (HAK). Penelitian ini akan memberikan informasi mengenai potensi komposit HA-K
sebagai biomaterial pengganti tulang sintetis atau implan tulang. Tiga ekor domba
lokal digunakan dalam penelitian ini. HA-K diimplantasikan pada bagian medial
dari tulang tibia kiri, sementara bagian yang sama dari tibia kanan diperlakukan
sebagai kontrol tanpa implan. Seluruh implan kemudian dipanen pada hari ke-30,
60, dan 90 pascaoperasi. Parameter pengamatan antara lain keadaan, bentuk, dan
tingkat degradasi implan, ikatan antara implan dengan tulang, pertumbuhan tulang
baru ke dalam implan, dan tanda-tanda reaksi inflamasi di sekitar implan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa proses persembuhan pada tulang kontrol
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan tulang yang diberi perlakuan
implan. Sejauh waktu pengamatan 90 hari pada penelitian ini, implan HA-K
belum menunjukkan sifat biodegradabilitas, bioresorbabilitas, osteokonduktivitas,
dan bioaktivitas, namun telah menunjukkan sifat biokompatibilitas bagi tubuh.
Oleh karena itu, implan yang digunakan dalam penelitian ini lebih tepat
dikembangkan sebagai biomaterial sintetik pengganti tulang untuk aplikasi pada
defek berukuran besar yang membutuhkan waktu persembuhan lebih lama dari 90
hari.
Kata kunci: hidroksiapatit, kitosan, implan tulang, persembuhan tulang, tulang
tibia, domba.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN MORFOLOGI PROSES PERSEMBUHAN
KERUSAKAN SEGMENTAL PADA TULANG DOMBA YANG
DIIMPLAN DENGAN KOMPOSIT
HIDROKSIAPATIT-KITOSAN (HA-K)
AYU BERLIANTY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Kajian Morfologi Proses Persembuhan Kerusakan Segmental
pada Tulang Domba yang Diimplan dengan Komposit
Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K)
: Ayu Berlianty
: B04062278
Disetujui
drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet(K)
Pembimbing I
Dr. Ir. Kiagus Dahlan, M.Sc.
Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai bulan April
2009 hingga Agustus 2010 dengan judul Kajian Morfologi Proses Persembuhan
Kerusakan Segmental pada Tulang Domba yang Diimplan dengan Komposit
Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K).
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluarga tersayang (Ayah Suwoto, Ibu Widya Thaher, dan adik Fadjaruddin
Qadr) atas segala dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan.
2. drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet(K) dan Dr. Ir. Kiagus Dahlan, M.Sc.
selaku pembimbing skripsi atas segala bimbingan, arahan, dan waktu yang
telah diberikan kepada penulis.
3. Dr. drh. Hj. Gunanti, MS atas saran dan arahan pada prosedur bedah tulang.
4. drh. Riki Siswandi, drh. M. Fakhrul Ulum, Bapak Engkos, Bapak Katim, dan
seluruh staf di Laboratorium Bedah dan Radiologi, Laboratorium Patologi,
dan Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas bantuannya.
5. drh. Usamah Afiff, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik.
6. Tim penelitian “Domba-Shaker”: Asmawati, Rachmat Ayu Dewi Haryati,
Gendis Aurum Paradisa, Dwi Kolina Pratiwi, Santi Purwanti, dan Raditya
Pradana Putra atas kerjasama dan bantuannya selama ini.
7. Ibnu Habibi Rahman atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya selama ini.
8. Nurussifa, drh. Winda, Gita, drh. Zhouzh, Astria, Putra, Bakhtiar, Hadi, Edo,
Galuh, Fiona, Sekar, Sonni, Kak Agus, warga kost “Bateng 69”, dan Angkatan
“43sculapius” atas bantuan dan persahabatannya.
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna sehingga penulis terbuka terhadap saran dan kritik yang diberikan.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kemajuan ilmu maupun
bagi para pembacanya.
Bogor, Februari 2011
Ayu Berlianty
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1988
dari ayah yang bernama Suwoto dan ibu yang bernama Widya
Thaher. Penulis merupakan anak sulung dari dua bersaudara.
Tahun 1994 penulis lulus dari TK Taman Indria Depok. Tahun
2000 penulis lulus dari SD Negeri Depok Baru 3, kemudian
pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTP Negeri 2 Depok.
Selanjutnya pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Depok dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan
dan organisasi internal kampus. Penulis juga aktif dalam Himpunan Minat Profesi
Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (Himpro HKSA), Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI), dan Komunitas Seni Steril (KSS)
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… x
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… xi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… xii
PENDAHULUAN…………………………………………………………..…..
Latar Belakang ………………………………………………………….
Tujuan Penelitian ……………………………………………………….
Manfaat Penelitian …………………………………………………..….
1
1
3
3
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………….…..
Tulang …………………………………………………………………..
Matriks Ekstraseluler Tulang (Bone Extracellular Matrix) ………….…
Klasifikasi Tulang ………………………………………………………
Proses Histogenesis Tulang …………………………………………….
Proses Modeling dan Remodeling Tulang………………………………
Persembuhan Kerusakan Tulang…………………………………….….
Biomaterial Pengganti Tulang…………………………………………..
Hidroksiapatit (HA)……………………………………………………..
Kitosan (K)…………………………………………………………..….
Komposit Hidroksiapatit dan Kitosan (HA-K).…………………………
Domba Lokal (Ovis ammon aries) Sebagai Hewan Coba….………..….
4
4
5
6
8
10
11
14
15
16
17
18
MATERI DAN METODE PENELITIAN…………………………………..….
Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………….…….
Materi Penelitian……………………………………………………. ….
Metode Penelitian……………………………………………………….
20
20
20
21
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………
Gambaran Makroskopis Tulang……………………………………..….
Gambaran Mikroskopis Preparat Tulang Gosok…………………….….
Gambaran Mikroskopis Preparat Tulang Dekalsifikasi…………………
26
26
29
32
SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………….….… 48
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...… 49
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Persembuhan tulang pada fraktur tulang sederhana………………………... 12
2. Format data hasil pengamatan evaluasi histologi terhadap preparat
dekalsifikasi…………………………………...……………………………. 24
3. Hasil pengamatan makroskopis terhadap tulang perlakuan pada
berbagai periode pengamatan………………………….…………………… 26
4. Hasil evaluasi histologi terhadap preparat dekalsifikasi pada
berbagai periode pengamatan…………...………………………………..… 32
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Struktur kanalikuli dan osteosit yang terkurung dalam lakuna…………....
5
2. Osteon yang merupakan unit struktural primer tulang. Terdiri atas lamellamel konsentris dan saluran Havers………………………........................
7
3. Berbagai gambaran struktur tulang. Tulang kompak dan cancellous (A),
dan potongan melintang tulang panjang (B)……………………................
8
4. Proses osifikasi intrakartilagenous…………………………………...........
9
5. Proses remodeling tulang…………………...….…………………….……
10
6. Proses persembuhan tulang………………...…………………………...…
11
7. Struktur kimia kitosan…...…………………...……….…………………...
17
8. Diagram prosedur penelitian…………………...……………………....….
25
9. Sayatan melintang dari tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama
30 hari (A), 60 hari (C), dan 90 hari (E), serta tulang tibia kontrol selama
30 hari (B), 60 hari (D), dan 90 hari (F) pascaoperasi. Tanda panah merah
menunjukkan lokasi defek tulang. Sayatan ini menunjukkan bagian
struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n = pertumbuhan jaringan
baru yang menutupi defek, dan s = sumsum tulang. Bar A, B, C, dan D =
2,5 mm; E dan F = 2 mm………………………………………………….
28
10. Gambaran mikroskopis dari tulang tibia yang diberi perlakuan implan
selama 30 hari (A), 60 hari (C), dan 90 hari (E), serta tulang tibia kontrol
selama 30 hari (B), 60 hari (D), dan 90 hari (F) pascaoperasi. Tanda
panah merah menunjukkan daerah pertumbuhan tulang baru. Lingkaran
merah menunjukkan lokasi defek tulang. Pewarnaan Hematoksilin. Bar =
0,5 mm…………………………………………………………………….
31
11. Gambaran mikroskopis tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama
30 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan kondisi implan yang
masih utuh serta bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n =
woven bone, p = periosteum, dan s = bagian sumsum tulang. Pewarnaan
HE. Bar = 2 mm…………………………………………………………...
34
12. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak merah di gambar
11. Gambar ini memperlihatkan daerah perbatasan antara implan dengan
jaringan tulang baru (woven bone) yang dibatasi oleh jaringan ikat.
Keterangan gambar: i = implan, j = jaringan ikat, dan n = woven bone.
Pewarnaan HE. Bar = 10 µm……………………………………………...
34
13. Gambaran mikroskopis daerah pinggir defek pada tulang tibia perlakuan
selama 30 hari pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru
(woven bone) yang terdiri atas: ob = osteoblas, os = osteosit, h = saluran
Havers, m = matriks tulang, dan v = pembuluh darah. Pewarnaan HE.
Bar = 10 µm……………………………………………………………….
35
xiii
14. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak hijau di gambar
11. Gambar ini memperlihatkan daerah sumsum tulang yang sel-selnya
berproliferasi dan bertransformasi menjadi sel-sel osteogenik. Pada
daerah tersebut juga terdapat struktur tulang rawan. Keterangan: c =
tulang rawan, o = sel-sel osteogenik, dan v = pembuluh darah. Pewarnaan
HE. Bar = 10 µm…………………………………………………………..
35
15. Gambaran mikroskopis tulang tibia kontrol selama 30 hari pascaoperasi.
Gambar ini memperlihatkan daerah defek tulang yang telah menutup
serta bagian periosteumnya (p). Pewarnaan HE. Bar = 20 µm…………… 36
16. Gambaran mikroskopis daerah defek tulang tibia kontrol selama 30 hari
pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru yang terdiri atas:
os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE.
Bar = 10 µm……………………………………………………………….
36
17. Gambaran mikroskopis tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama
60 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan kondisi implan yang
masih utuh serta bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n =
jaringan tulang baru, p = periosteum, dan s = sumsum tulang. Pewarnaan
HE. Bar = 2 mm…………………………………………………………...
38
18. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak merah (A) dan
kotak biru (B) di gambar 17. Gambar A memperlihatkan daerah
perbatasan antara implan dengan jaringan tulang baru yang dibatasi oleh
jaringan ikat. Lingkaran di Gambar A memperlihatkan serpihan implan
yang diinfiltrasi oleh jaringan ikat. Gambar B memperlihatkan
terbentuknya matriks tulang baru pada daerah sumsum tulang.
Keterangan gambar: i = implan, j = jaringan ikat, s = sumsum tulang, n =
jaringan tulang baru, m = matriks tulang, dan p = periosteum. Pewarnaan
HE. Bar A = 20 µm; B = 10 µm…………………………………………...
38
19. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak hijau di gambar
18 A. Gambar ini memperlihatkan struktur tulang baru yang terbentuk di
daerah pinggir defek tulang, yang terdiri atas: os = osteosit, h = saluran
Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE. Bar = 10 µm…………...
39
20. Gambaran mikroskopis tulang tibia kontrol selama 60 hari pascaoperasi.
Gambar ini memperlihatkan daerah defek tulang yang telah menutup
serta bagian periosteumnya (p). Pewarnaan HE. Bar = 20 µm……………
40
21. Gambaran mikroskopis daerah defek tulang tibia kontrol selama 60 hari
pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru yang terdiri atas:
os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE.
Bar = 10 µm…………………………………………………………….....
40
22. Gambaran mikroskopis tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama
90 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan kondisi implan yang
masih utuh serta bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, dan
n = jaringan tulang baru. Pewarnaan HE. Bar = 2 mm………………..…..
41
23. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak kuning (A) dan
kotak hijau (B) di gambar 22. Gambar A memperlihatkan daerah
xiv
perbatasan antara implan dengan jaringan tulang baru. Gambar B
memperlihatkan daerah jaringan ikat yang membungkus implan.
Keterangan gambar: i = implan, j = jaringan ikat, v = pembuluh darah,
dan n = jaringan tulang baru yang terbentuk. Pewarnaan HE. Bar A = 20
µm; B = 10 µm………………………………………………………………….
42
24. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak biru di gambar
22. Gambar ini memperlihatkan jaringan tulang baru yang telah menutupi
lokasi defek tulang yang seharusnya terisi implan. Struktur tulang ini
terdiri atas: os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang.
Pewarnaan HE. Bar = 10 µm……………………………………………...
42
25. Gambaran mikroskopis tulang tibia kontrol selama 90 hari pascaoperasi.
Gambar ini memperlihatkan daerah defek tulang yang telah menutup.
Pewarnaan HE. Bar = 20 µm……………………………………………...
43
26. Gambaran mikroskopis daerah defek tulang tibia kontrol selama 90 hari
pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru yang terdiri atas:
os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE.
Bar = 10 µm……………………………………………………………….
43
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap tahun jutaan orang di dunia menderita berbagai penyakit tulang
yang diakibatkan oleh trauma, tumor, atau patah tulang (Murugan & Ramakrishna
2004). Di Indonesia, berbagai kasus penyakit seperti kanker tulang, penyakit
periodontis, trauma, patah tulang, dan lain-lain terus meningkat dewasa ini
(Darwis 2008). Salah satu tindakan terapi pada kasus penyakit tulang adalah
dengan teknik implantasi untuk menggantikan jaringan tulang yang hilang atau
rusak. Banyaknya kerusakan tulang yang substansial pada berbagai kasus di atas
semakin meningkatkan kebutuhan akan bahan implan atau biomaterial yang
mampu menggantikan fungsi dari jaringan tulang yang rusak (Bhat 2002).
Biomaterial merupakan suatu material, baik bersifat alamiah maupun
buatan, yang dapat berinteraksi dengan sistem tubuh dengan tujuan untuk
memperbaiki, memulihkan, dan menggantikan jaringan yang rusak atau sebagai
penghubung dengan lingkungan fisiologis tubuh (Darwis 2008).
Biomaterial pengganti tulang yang ideal harus memiliki sifat antara lain:
osteoinduktif, osteokonduktif, biokompatibel, bioaktif, stabil secara biomekanis,
bebas dari agen penyakit, serta mengandung faktor antigen minimal (Kalfas
2001), bioresorbabel (Samsiah 2009) dan biodegradabel (Pane 2008). Sifat-sifat
tersebut hadir dalam biomaterial alamiah yaitu autograft. Autograft adalah
biomaterial yang berasal dari bagian lain tubuh pasien itu sendiri. Namun
autograft memiliki keterbatasan karena membutuhkan sayatan tambahan, waktu
operasi yang lebih lama, serta meningkatkan kehilangan darah bagi pasien.
Sedangkan allograft, yaitu biomaterial yang berasal dari spesies yang sama,
berpotensi menularkan berbagai penyakit dan menimbulkan reaksi penolakan
jaringan bagi individu penerima donor (Kalfas 2001). Adapun jenis biomaterial
pengganti tulang lainnya yaitu xenograft, yang berasal dari spesies berbeda
misalnya sapi, memiliki keterbatasan dalam kemungkinan perbedaan karakter
mineral tulangnya (Stavropoulos 2008). Oleh karena itu, salah satu solusinya
adalah pengembangan biomaterial sintetik yang sesuai untuk mengatasi berbagai
keterbatasan tersebut.
2
Biomaterial sintetik pengganti tulang (synthetic bone graft) harus memiliki
struktur serta komposisi yang mendekati tulang asli. Komposisi tulang terdiri atas
mineral tulang dan bahan organik (Samuelson 2007). Mineral tulang sebagian
besar tersusun oleh mineral apatit yang komponen utamanya adalah kalsium fosfat
yang memiliki berbagai fase. Hidroksiapatit (HA) merupakan fase paling stabil
dibandingkan dengan yang lainnya (Saraswathy et al. 2001). HA dapat diperoleh
secara sintetik dengan mereaksikan kalsium dengan fosfat (Nurlaela 2009).
Sumber kalsium banyak dijumpai di alam, antara lain pada cangkang telur
(Prabakaran et al. 2005), ganggang laut (Fernandes & Laranjeira 2000), dan batu
koral (Sivakumar et al. 1996). Sedangkan komponen organik tulang terdiri atas
molekul-molekul proteoglikan seperti glycosaminoglycan (Samuelson 2007).
Kitosan (K) merupakan polimer dari D-glucosamine yang terdapat dalam jumlah
melimpah di alam, yang dapat dimanfaatkan sebagai komponen organik pada
pembuatan biomaterial sintetik pengganti tulang (Hua et al. 2005).
Penggabungan HA dengan K (komposit HA-K) diharapkan dapat
mendekati struktur asli tulang serta dapat meningkatkan sinergisme dari masingmasing bahan sehingga berpotensi sebagai biomaterial sintetik pengganti tulang
yang ideal. Murugan dan Ramakrishna (2004) telah meneliti komposit HA-K
secara in vitro dengan menggunakan cairan phosphate buffered saline dibawah
kondisi fisiologis. Hasilnya menunjukkan bahwa komposit tersebut dapat
digunakan sebagai bahan pengganti tulang. Penelitian tersebut diperkuat oleh uji
in vivo yang dilakukan oleh Shin et al. (2009) tentang efek penggunaan komposit
HA-K pada regenerasi kerusakan tulang calvarial tikus menunjukkan hasil bahwa
komposit ini dapat berfungsi sebagai biomaterial yang efektif untuk proses
regenerasi tulang periodontal.
Biomaterial sintetik yang ada di Indonesia sekarang ini merupakan
produksi impor dengan harga yang relatif mahal (Darwis 2008). Oleh karena itu,
tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor terpacu untuk memanfaatkan bahan baku
alami yang murah dan mudah didapatkan, yaitu cangkang telur sebagai sumber
kalsium untuk pembuatan HA. Penelitian oleh Departemen Fisika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB menunjukkan bahwa komposit HAK dari cangkang telur ayam berpeluang untuk dikembangkan sebagai biomaterial
3
substitusi tulang (Nurlaela 2009). Berdasarkan hasil tersebut maka dilakukan
penelitian lanjutan secara in vivo untuk menguji potensi dari komposit HA-K
tersebut sebagai bahan implan tulang sintetik. Material yang telah mengalami
proses karakterisasi baik secara fisika, mekanik, dan kimia kemudian diimplankan
pada tulang tibia dari tiga ekor domba lokal untuk kemudian dievaluasi tingkat
serta kecepatan pertumbuhan tulang pada kasus persembuhan kerusakan
segmental tulang. Hasil dari penelitian ini akan terus dikembangkan sehingga
dapat memberikan kontribusi pada kesehatan manusia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara morfologi proses
persembuhan kerusakan segmental pada tulang domba yang diimplan dengan
implan komposit HA-K berbasis cangkang telur ayam dan mengetahui potensi
dari implan tersebut sebagai biomaterial sintetik pengganti tulang.
Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini dapat diperoleh informasi mengenai potensi implan
komposit HA-K berbasis cangkang telur ayam sebagai biomaterial sintetik
pengganti tulang. Informasi ini akan berguna sebagai informasi awal untuk
penelitian-penelitian aplikatif selanjutnya sebagai upaya penyiapan biomaterial
sintetik pengganti tulang untuk manusia dengan harga yang lebih terjangkau.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tulang
Tulang merupakan jaringan ikat khusus yang berfungsi sebagai alat
penyokong, pelekatan, perlindungan, dan penyimpanan mineral. Konsekuensinya,
jaringan ini dilengkapi dengan rigiditas, kekuatan yang sangat besar, serta
elastisitas yang sangat terbatas. Kemampuan jaringan ini untuk menyimpan
mineral terutama kalsium (Ca), kebanyakan dalam bentuk kristal hidroksiapatit,
merupakan sifat utama yang membedakan tulang dari jaringan ikat lainnya
(Samuelson 2007).
Tulang secara eksternal diselaputi oleh sebuah jaringan bernama
periosteum. Periosteum berisi pembuluh darah, lapisan tebal serabut kolagen yang
tersusun padat tidak beraturan, dan sel-sel yang mampu berdiferensiasi menjadi
osteoblas (sel osteogenik). Semua bagian tulang diselaputi oleh periosteum,
kecuali bagian yang terdapat artikulasi dengan tulang lainnya. Tulang memiliki
ruang internal di bagian tengahnya yaitu rongga sumsum, yang di dalamnya
terdapat sel stem dari sel darah. Rongga sumsum dilapisi oleh selapis jaringan ikat
tipis tervaskularisasi bernama endosteum. Endosteum juga memiliki sel-sel
osteogenik seperti halnya periosteum (Kalfas 2001; Samuelson 2007).
Tulang tersusun atas tiga jenis sel utama yaitu osteoblas, osteosit, dan
osteoklas. Osteoblas adalah sel yang berperan dalam aktivitas sintesis komponen
organik tulang, yang disebut sebagai prebone atau osteoid. Osteoblas terletak
dalam suatu garis di sepanjang permukaan jaringan tulang. Saat aktif, osteoblas
cenderung berbentuk kubus dan bersifat basofilik. Sedangkan saat kurang aktif,
maka bentuknya akan menjadi lebih kempis dan kurang basofilik. Ketika aktivitas
sintesis matriks berhenti dan osteoblas telah memasuki matriks tersebut maka
osteoblas berubah namanya menjadi osteosit.
Osteosit berada di dalam suatu ruangan berbentuk oval bernama lakuna
yang terletak di dalam matriks yang telah termineralisasi. Lakuna memiliki
penjuluran halus yang disebut kanalikuli. Kanalikuli menghubungkan antar lakuna
yang berdekatan sehingga osteosit mampu mencapai pembuluh darah untuk
pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme (Gambar 1).
5
Kanalikuli
Osteosit
Gambar 1 Struktur kanalikuli dan osteosit yang terkurung dalam lakuna (IOF
2009).
Sitoplasma osteosit memiliki ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan sitoplasma osteoblas, serta memiliki organel sel yang lebih sedikit
sehubungan dengan aktivitas metaboliknya. Osteosit memfasilitasi pemeliharaan
lingkungan ekstraseluler yang telah termineralisasi. Saat terstimulasi oleh hormon
paratiroid (PTH), osteosit mampu segera melepaskan mineral (termasuk Ca) dari
matriks ekstraseluler dengan menyekresikan hidrolase. Proses ini dikenal sebagai
osteocytic osteolysis yang berperan penting dalam pelepasan Ca secara cepat.
Osteoklas merupakan sel raksasa multinukleus (≥ 6-50 inti) yang terlibat
dalam resorpsi dan remodeling tulang. Sel ini, yang terlihat asidofilik secara
sitologi, memiliki banyak lisosom serta organel sel lainnya yang berkembang
baik. Osteoklas yang diketahui berasal dari sumsum tulang, merupakan turunan
dari sejumlah gabungan monosit. Pada proses pertumbuhan dan remodeling
tulang, osteoklas secara kontinu akan melakukan penyerapan (osteoclasia). Proses
osteoclasia merupakan hasil dari sekresi beberapa macam material termasuk asam
dan enzim hidrolitik. Asam yang disekresikan seperti asam laktat dan sitrat,
memiliki pH rendah sehingga memudahkan pelepasan mineral. Sedangkan enzim
hidrolitik, seperti acid hydrolase, collagenase, dan lainnya, mampu mencerna
matriks ekstraseluler. Osteoclasia terutama diatur oleh sistem endokrin, antara
lain: kelenjar tiroid yang menyekresikan hormon kalsitonin dan kelenjar paratiroid
yang menyekresikan hormon paratiroid (Samuelson 2007).
Matriks Ekstraseluler Tulang (Bone Extracellular Matrix)
Sebagian besar jaringan tulang terdiri atas matriks ekstraseluler, yang
kurang lebih 2/3 bagiannya berupa material anorganik dan sisanya berupa material
organik. Sebagian besar material organik terdiri atas serabut kolagen tipe I
(~94%) dan sejumlah kecil bahan dasar (Samuelson 2007; IOF 2009). Secara
6
umum tulang tersusun oleh 30% substansi organik, 55% substansi anorganik
(mineral), dan 15% air (Aoki 1991).
Material anorganik tulang seperti kalsium (Ca) dan fosfor (P) tersedia
dalam jumlah yang sangat banyak. Sebagian besar Ca dan P membentuk kristal
hidroksiapatit, yang terletak berdampingan dengan serabut kolagen. Selain itu,
beberapa mineral lain juga terdapat dalam jumlah sedikit antara lain: bikarbonat
(HCO3-), magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), tembaga (Cu), seng (Zn),
mangan (Mn), dan lainnya. Kristal hidroksiapatit tersusun di sepanjang serabut
kolagen dan di dalam celah serabut tersebut. Bahan dasar matriks tulang terdiri
atas protein non-kolagenous, glikoprotein, proteoglikan, peptida, karbohidrat, dan
lemak (Kalfas 2001). Molekul-molekul proteoglikan kecil terutama terdiri atas
sulfated glycosaminoglycans, chondroitin 4-sulfate, dan keratan sulfate, melekat
pada hyaluronans, membentuk suatu satuan komposit yaitu hyaluronic
proteoglycan aggregate yang melapisi kristal hidroksiapatit (Samuelson 2007).
Proteoglikan dalam komposit tersebut bersifat instrumental dalam inisiasi
dan inhibisi proses mineralisasi tulang. Selama proses mineralisasi normal
berlangsung, jumlah dari proteoglikan dalam ECM (Extracellular Matrix) relatif
menurun. Jadi terdapat suatu hubungan timbal balik dalam jumlah proteoglikan
dan derajat mineralisasi dalam tulang yang sedang tumbuh. Bahan dasar yang
terutama terdiri atas satuan komposit tersebut, memungkinkan air untuk
bersentuhan dengan kristal sehingga terjadi pertukaran ion. Sejumlah kecil
glikoprotein dan protein matriks hadir dalam bahan dasar ECM dan berfungsi
sebagai bahan pelekat (Samuelson 2007).
Klasifikasi Tulang
Terdapat tiga tipe utama tulang yaitu woven bone, cortical bone, dan
cancellous bone. Woven bone terdapat selama perkembangan embrio, selama
persembuhan fraktur (pembentukan kalus), dan pada beberapa kasus patologis
seperti hiperparatiroidisme. Tulang ini tersusun atas berkas kolagen yang tersusun
acak serta ruang vaskular yang tidak beraturan dan dilapisi deretan sel osteoblas.
Cortical bone, yang juga disebut tulang kompak atau tulang lamelar,
merupakan bentuk kelanjutan woven bone yang telah mengalami remodeling.
7
Remodeling terjadi akibat infiltrasi pembuluh darah ke dalam woven bone melalui
permukaan periosteal dan endosteal tulang. Unit struktural primer tulang kompak
dinamakan osteon atau sistem Haversian. Osteon tersusun oleh osteosit, lakuna,
dan kanalikuli yang tersusun dalam matriks ekstraseluler tulang yang berlapislapis membentuk lamel-lamel tulang (Gambar 2). Lamel-lamel tulang berbentuk
silinder mengelilingi sebuah saluran longitudinal yang disebut saluran Havers
(Kalfas 2001; Samuelson 2007). Saluran Havers mengandung pembuluh darah,
nervus vasomotorik, sel-sel osteoblas dan osteoprogenitor. Osteon-osteon dapat
saling berhubungan melalui suatu saluran horisontal yang bernama saluran
Volkmann. Melalui saluran Volkmann, pembuluh darah dan syaraf dari
periosteum dan endosteum dapat mencapai saluran Havers sehingga pertukaran
nutrisi dan sisa metabolisme dapat terjadi (Samuelson 2007).
Osteosit
Kanalikuli
Saluran Havers
Gambar 2 Osteon yang merupakan unit struktural primer tulang. Terdiri atas
lamel-lamel konsentris dan saluran Havers (IOF 2009).
Osteon terbentuk di sepanjang pinggiran tulang kompak dengan
pembentukan asimetris lamel-lamel interstitial yang mengelilingi sebuah
pembuluh darah. Lamel dan jaringan osteogenik terdekat kemudian mengelilingi
pembuluh darah tersebut dan osteon muda terbentuk. Osteoblas, yang sekarang
merupakan bagian dari endosteum, mensekresikan matriks osteoid secara
konsentris, dan osteosit menjadi terbenam dalam matriks tersebut. Ukuran osteon
semakin mengecil dan sejumlah kecil jaringan osteogenik, syaraf, dan pembuluh
darah tinggal di dalamnya (Samuelson 2007). Kekuatan mekanik dari tulang
kompak bergantung pada kepadatan susunan osteonnya (Kalfas 2001).
Cancellous bone (trabecular bone) terletak di antara permukaan bagian
dalam tulang kompak. Cancellous bone berisi elemen hematopoietik dan bony
trabeculae (Kalfas 2001). Bony trabeculae (trabekula tulang) merupakan spikula
8
tulang yang saling berhubungan membentuk jaring-jaring yang saling
berhubungan (Dorland 2002). Jaring-jaring yang saling berhubungan tersebut
terisi oleh sumsum tulang. Trabekula terutama terdapat pada bagian ujung tulang
panjang. Cancellous bone secara berkelanjutan akan mengalami remodeling pada
permukaan internal lapisan endosteum tulang (Kalfas 2001).
Gambaran struktur tulang trabekular dan tulang kompak dapat terlihat jelas
pada tulang panjang. Bila tulang panjang dipotong (Gambar 3 A dan B), maka
akan terlihat bagian tulang kompak dan tulang trabekular. Bagian luarnya
dibentuk oleh tulang kompak, sedangkan bagian dalamnya dibentuk oleh tulang
trabekular yang mirip bunga karang (spongy). Bagian tengah tulang panjang
dinamakan sebagai diafise, dan kedua ujungnya dinamakan epifise. Antara epifise
dan diafise terdapat daerah pertumbuhan tulang yaitu metafise, yang
memungkinkan pertumbuhan memanjang tulang. Diafise hampir seluruhnya
tersusun atas tulang kompak, dan sedikit tulang trabekular pada bagian tengah
yang berbatasan dengan sumsum tulang. Sedangkan epifise, hampir seluruhnya
terdiri atas tulang trabekular dan selapis tipis tulang kompak pada bagian luarnya
(Mills 2007).
(A)
(B)
Kartilago persendian
Lakuna
Lamela
Kanalikuli
Osteon
Tulang kompak
Epifise
Tulang
cancellous
Saluran
Havers
Garis epifiseal
Tulang spongy
Rongga sumsum
Diafise
Endosteum
Periosteum
Periosteum
Saluran
Volkmann
Epifise
Kartilago persendian
Gambar 3 Berbagai gambaran struktur tulang. Tulang kompak dan cancellous
(A), dan potongan melintang tulang panjang (B) (IOF 2009).
Proses Histogenesis Tulang
Pertumbuhan tulang terbentuk dari jaringan ikat, baik pada masa embrio
maupun pascanatal. Dilihat dari proses perkembangannya, tulang dibedakan
menjadi dua pola, yakni osifikasi intramembranous dan intrakartilagenous.
9
Pada osifikasi intramembranous, tulang langsung berkembang dari
jaringan ikat, yang dimulai dari tengah mesenkim yang disebut “pusat
pertulangan”. Mesenkim akan mengalami peningkatan vaskularisasi dan
proliferasi. Selanjutnya terjadi perubahan bentuk sel yang menghasilkan sel
osteogenik dan osteoblas. Osteoblas kemudian menjadi aktif menghasilkan
matriks dan serabut kolagen, yang mula-mula masih lunak (osteoid). Osteoid
tersebut kemudian mengalami kalsifikasi oleh garam Ca berupa kristal
hidroksiapatit (Hartono 1989). Tulang-tulang yang mengalami proses ini adalah
sejumlah tulang yang berfungsi sebagai pelindung seperti tulang frontal dan
parietal tengkorak, tulang rahang bawah, dan rahang atas (Samuelson 2007).
Pada osifikasi intrakartilagenous (Gambar 4), jaringan ikat mula-mula
menumbuhkan “tulang rawan miniatur”, yaitu suatu tulang rawan hialin,
bentuknya mirip tulang dewasa hanya formatnya kecil. Tulang rawan ini
selanjutnya akan dirombak, dan digantikan dengan tulang. Osifikasi dimulai dari
tengah tulang rawan dan meluas ke seluruh arah sesuai dengan pertumbuhan
tulang rawan (Hartono 1989). Proses pembentukan tulang ini terjadi pada
pembentukan tulang panjang dan tulang pendek (tulang-tulang penahan bobot
tubuh) seperti tulang femur, tibia, dan lain-lainnya. Pada masa fetus, hampir
semua tulang tubuh merupakan tulang rawan. Namun seiring dengan
perkembangan fetus dan setelah kelahiran, tulang rawan tersebut berkembang
menjadi tulang untuk menyediakan kekuatan terhadap tekanan-tekanan yang
makin bertambah (Mills 2007; Samuelson 2007).
Gambar 4 Proses osifikasi intrakartilagenous (Reza 2008).
10
Proses Modeling dan Remodeling Tulang
Modeling tulang adalah suatu kondisi saat proses resorpsi dan
pembentukan tulang terjadi pada permukaan tulang yang berlainan (pembentukan
dan resorpsi tidak berpasangan). Contohnya pada pertambahan panjang dan
diameter tulang panjang. Modeling tulang terjadi sejak kelahiran hingga dewasa
dan proses ini berperan dalam penambahan massa dan perubahan bentuk
kerangka. Pada kondisi ini proses pembentukan tulang lebih dominan terjadi
daripada proses resorpsi tulang.
Remodeling tulang adalah pergantian jaringan tulang tua dengan jaringan
tulang muda. Kondisi ini sebagian besar terjadi pada kerangka hewan dewasa
untuk mempertahankan massa tulang. Proses ini mencakup pembentukan dan
resorpsi tulang secara bersamaan (berpasangan). Remodeling merupakan sebuah
proses yang dinamis termasuk penggantian dan pengisian kembali baik tulang
kompak
maupun
trabekular.
Proses
ini
terus-menerus
terjadi
untuk
mempertahankan massa tulang serta integritas dan fungsi kerangka. Proses ini
kompleks dan dikendalikan oleh susunan syaraf pusat melalui hormon dan oleh
tekanan mekanis. Proses ini bergantung pada keterpaduan aksi dari osteoblas,
osteosit, dan osteoklas. Secara bersamaan, ketiga sel ini membentuk BMU (Basic
Multicellular Unit) atau unit remodeling tulang yang berperan dalam proses
remodeling pada hewan dewasa (Mills 2007).
Proses remodeling tulang terjadi dalam beberapa fase (Gambar 5), yaitu:
1. Aktivasi: pre-osteoklas terstimulasi menjadi
osteoklas dewasa yang aktif.
2. Resorpsi: osteoklas mencerna matriks tulang tua.
3. Pembalikan: akhir dari proses resorpsi, saat
osteoklas digantikan oleh osteoblas.
4. Pembentukan: osteoblas menghasilkan matriks
tulang yang baru.
5. Fase pasif: osteoblas selesai menghasilkan
matriks dan terbenam di dalamnya. Beberapa
osteoblas membentuk sederet sel yang berjejer
di permukaan tulang yang baru.
Gambar 5 Proses remodeling
tulang (IOF 2009).
11
Persembuhan Kerusakan Tulang
Kerusakan segmental tulang akibat defek pengeboran prinsipnya hampir
sama dengan kerusakan pada patah tulang (fraktur). Namun dalam persembuhan
kerusakan segmental tersebut, di dalam defek pengeboran diberi suatu
biomaterial/implan tulang. Boden et al. (1995) menyebutkan bahwa proses
penyatuan implan tulang dalam spinal fusion model hampir sama dengan proses
persembuhan tulang yang terjadi dalam keadaan persembuhan fraktur.
Fraktur merupakan kerusakan dalam suatu jaringan ikat makhluk hidup,
dan persembuhannya dapat dicapai melalui pertumbuhan sel. Tahap-tahap
persembuhan tulang dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 1.
Proses Persembuhan Fraktur
Minggu Ke-1
Minggu Ke-2 sampai ke-3
Hematoma dan inflamasi
Kalus halus
Minggu Ke-4 sampai ke-16
Minggu Ke-17 dan seterusnya
Kalus keras
Remodelling
Gambar 6 Proses persembuhan tulang (Anonim 2010).
12
Tabel 1 Persembuhan tulang pada fraktur tulang sederhana
Waktu
Perubahan yang terjadi
4 minggu
Remodeling tulang: proses penyerapan dan pembentukan tulang terus
berlangsung.
Penghilangan kalus eksternal.
Pelekukan kalus internal untuk membentuk sumsum tulang.
Hemoraghi dan pembentukan hematoma.
Penggumpalan darah pada daerah fraktur.
Invasi makrofag untuk menghilangkan debris, sel darah merah, dan fibrin.
Nekrosis sel osteosit pada daerah fraktur.
Secara histologi, persembuhan tulang dapat dibagi menjadi beberapa fase:
1. Fase hemoraghi dan pembentukan jaringan granulasi.
Pada fraktur traumatis sederhana pada tulang panjang, patahan tulang
mengalami pergeseran dari lokasi normalnya dan jaringan lunak di sekitarnya ikut
terlukai (Cheville 2006). Selama 24-48 jam pertama setelah pelukaan, gambaran
histologi persembuhan tulang memperlihatkan adanya eksudat traumatik berisi
serum dan darah akibat pecahnya pembuluh darah (Watson-Jones 1952).
Hemoraghi terjadi di sepanjang daerah fraktur dan otot apabila darah merembes
keluar dari periosteum yang sobek. Koagulasi darah dengan segera membentuk
bekuan darah yang mengisi celah fraktur.
Kerusakan vaskular mengakibatkan terjadinya nekrosis pada jaringan tulang di
sekitar fraktur. Osteosit mati akibat kehilangan nutrisi yang biasanya disuplai
melalui pembuluh darah. Periosteum dan sumsum lebih tervaskularisasi dengan
baik sehingga kejadian nekrosis pada bagian ini lebih sedikit (Cheville 2006).
Bekuan darah selanjutnya berubah menjadi jaringan granulasi untuk
melindungi tulang yang rusak (Samuelson 2007). Jaringan granulasi merupakan
jaringan ikat fibroblastik tervaskularisasi pada persembuhan luka. Monosit
memasuki daerah fraktur dan berubah menjadi makrofag yang berperan utama
dalam proses persembuhan tulang (Cheville 2006).
13
2. Fase pembentukan kalus.
Dalam waktu 48 jam setelah fraktur, bekuan darah diserbu oleh sel-sel
osteogenik dari lapisan periosteum, endosteum, dan sumsum tulang. Sel-sel ini
berproliferasi di pinggir fraktur dan secara cepat menyerbu bekuan darah dan
daerah nekrotik sekitarnya untuk membentuk kalus. Kalus merupakan massa
jaringan yang berfungsi melekatkan ujung-ujung tulang yang patah (Cheville
2006). Proses pembentukan kalus yang berasal dari periosteum, endosteum, dan
sumsum tulang tersebut bertemu dalam satu proses yang sama (Rizka 2010).
Proses terus berlangsung ke bagian dalam dan luar tulang sehingga menjembatani
permukaan fraktur satu sama lain. Awalnya, kalus merupakan jaringan granulasi
(kalus lunak) yang kemudian akan berubah menjadi jaringan tulang dan tulang
rawan (kalus keras) (Cheville 2006).
3. Fase pembentukan tulang rawan.
Dalam waktu satu minggu, sel-sel yang berproliferasi mulai berdiferensiasi
menjadi kondroblas dan tulang rawan terbentuk. Material matriks terdeposit
mengelilingi sel. Dalam proses kalsifikasi tulang rawan, vesikula kecil matriks
dilepaskan di bawah pengaruh enzim yang meningkatkan konsentrasi lokal
orthophosphate dan mengarah pada pembentukan hidroksiapatit. Pada 7 sampai
10 hari, pH kalus meningkat sehingga membantu proses deposisi garam kalsium.
Tulang rawan yang terbentuk bersifat hanya sementara karena akan segera
digantikan oleh woven bone. Matriks ekstraseluler tulang rawan mengalami
kalsifikasi, sehingga menyebabkan kondrosit mati. Proses perubahan tulang rawan
menjadi tulang terjadi melalui mekanisme osifikasi intrakartilagenous.
4. Fase pembentukan tulang baru.
Selama kalus yang terbentuk sebelumnya menghilang, osteoblas menghasilkan
osteoid dengan susunan yang lebih teratur. Molekul kolagen berorientasi di
sekeliling pembuluh darah untuk membentuk sistem Haversian. Osteoklas
kemudian melekat pada permukaan trabekula tulang untuk meresorpsi tulang.
Woven bone yang lebih dahulu terbentuk secara bertahap berubah menjadi
cortical bone dan kalus berlanjut mengalami remodeling. Secepatnya, dengan
ketepatan serta respon kalus yang minimal, susunan tulang terbentuk kembali dan
kalus tidak teraba lagi (Cheville 2006).
14
Ada kalanya fraktur terjadi cukup parah sehingga membutuhkan tindakan lain
untuk membantu persembuhan tulang yang sempurna. Tindakan tersebut dapat
berupa cangkok tulang atau bone graft (Samuelson 2007).
Jika menggunakan suatu bone graft, persembuhan tulang akan dimulai
dengan terisinya perbatasan antara tulang-graft dengan jaringan tulang baru. Graft
akan mengalami vaskularisasi dan secara perlahan akan digantikan oleh
pertumbuhan tulang baru. Perbatasan antara tulang-graft akan sembuh dalam 1
sampai 3 bulan, namun proses remodeling terhadap graft dapat berlangsung
berbulan-bulan sampai tahunan yang lamanya tergantung pada besarnya graft.
Biomaterial Pengganti Tulang
Biomaterial merupakan suatu material, baik bersifat alamiah maupun
buatan, yang dapat berinteraksi dengan sistem tubuh dengan tujuan untuk
memperbaiki (repair), memulihkan (restore), dan menggantikan jaringan yang
rusak (replace) atau sebagai penghubung (interface) dengan lingkungan fisiologis
tubuh (Darwis 2008).
Pemilihan biomaterial yang tepat sangatlah diperlukan dalam proses
implantasi. Tentunya biomaterial yang dipilih adalah yang bersifat osteoinduktif,
osteokonduktif, biokompatibel, bioaktif, stabil secara biomekanis, bebas penyakit,
serta mengandung faktor antigen minimal (Kalfas 2001), bioresorbabel (Samsiah
2009) dan biodegradabel (Pane 2008).
Osteoinduktif adalah kemampuan biomaterial untuk menginduksi sel-sel
sumsum tulang atau osteoprogenitor berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang dewasa
(Laurencin 2009). Osteokonduktif adalah kemampuan biomaterial untuk
mendukung pelekatan sel-sel osteoblas baru dan osteoprogenitor, menyediakan
struktur saling berhubungan sehingga sel-sel baru dapat berpindah dan pembuluh
darah baru dapat terbentuk (Laurencin 2009). Sifat biokompatibel adalah
kemampuan biomaterial untuk menyesuaikan dengan kecocokan tubuh penerima,
tidak mempunyai efek toksik maupun melukai fungsi biologis (Dorland 2002).
Sedangkan bioaktif adalah kemampuan biomaterial untuk bereaksi dengan
jaringan tubuh dan menghasilkan suatu ikatan yang sangat baik (Purnama 2006).
15
Autograft adalah biomaterial yang berasal dari tubuh pasien itu sendiri.
Autograft memiliki kerugian karena ketersediaannya terbatas serta dapat
meningkatkan resiko kehilangan darah, menimbulkan rasa sakit, dan memperbesar
luka akibat operasi tambahan (Schnettler et al. 2004; Nandi et al. 2009). Allograft
adalah biomaterial yang berasal dari spesies yang sama. Allograft berpeluang
menularkan berbagai penyakit dan menimbulkan ketidakcocokan respon imun
(Nandi et al. 2009). Xenograft adalah biomaterial yang berasal dari spesies, genus,
maupun famili yang berbeda. Misalnya xenograft yang berasal dari tulang sapi.
Namun graft tersebut memiliki keterbatasan dalam perbedaan karakter mineral
tulang (Stavropoulos 2008).
Biomaterial sintetik pengganti tulang merupakan alternatif yang dapat
mengatasi keterbatasan beberapa metode sebelumnya. Penggunaan biomaterial
sintetik secara tepat untuk substitusi tulang tidak akan menimbulkan inflamasi
serta tidak menyebabkan respon iritasi (Nurlaela 2009). Saat ini penggunaan
biomaterial sintetik yang memiliki kemiripan dengan fase anorganik tulang telah
mengalami peningkatan di bidang operasi rekonstruksi tulang karena sifat
biokompatibilitasnya yang unggul (Schnettler et al. 2004).
Hidroksiapatit (HA)
Secara umum penyusun utama komponen anorganik tulang adalah kalsium
fosfat yang mempunyai dua fase yaitu amorf dan kristal. Senyawa kalsium fosfat
kristal hadir dalam empat fase, yaitu dikalsium fosfat (DKF, CaHPO4.2H2O), okta
kalsium fosfat (OKF, Ca8H2PO4.5H2O), trikalsium fosfat (TKF, Ca3(PO4)2) dan
hidroksiapatit (HA, Ca10(PO4)6(OH)2). Senyawa kalsium fosfat yang paling stabil
adalah hidroksiapatit (Saraswathy et al. 2001). HA terdiri atas kalsium dan fosfat
dengan rasio perbandingan 1,67 (Pane 2008).
Penggunaan HA sebagai material implan untuk aplikasi medis semakin
meningkat saat ini. Beberapa penelitian seperti di India, telah memanfaatkan
bahan alam seperti batu koral, ganggang laut, dan cangkang telur ayam sebagai
sumber CaCO3 untuk pembentukan HA. Bahan alam diyakini lebih dapat diterima
oleh tubuh karena memiliki persamaan sifat fisiko kimia (Nurlaela 2009). Dua
16
penggunaan HA yang paling umum antara lain sebagai pelapis implan titanium
atau sebagai bahan pembentuk komposit (Pattanayak et al. 2005).
HA banyak digunakan dalam dunia orthopedik karena sifat fisis, kimia,
mekanis, dan biologisnya sangat mirip dengan komponen utama tulang manusia
(Pattanayak et al. 2005; Pane 2008). Sifat HA yang paling menarik adalah
kemampuan biokompatibilitasnya yang sangat baik. HA mampu berkontak dan
menyatu secara kimiawi dengan jaringan tulang (Pane 2008). Selain itu, HA
memiliki beberapa sifat yang menonjol lainnya yakni: osteokonduktif, berpori,
bioresorbabel, bioaktif, tidak korosi, inert, tahan aus (Samsiah 2009), serta mudah
didapatkan dalam jumlah banyak (Pane 2008).
Beberapa penelitian telah membuktikan kemampuan HA sebagai bahan
pengganti tulang. Salah satunya terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh
Reddy dan Swamy (2010), tentang penggunaan HA sebagai biomaterial pengganti
tulang pada beberapa kasus orthopedik. Berdasarkan penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa untuk lesio kecil, HA sendiri saja sudah cukup namun untuk
lesio yang lebih besar, lebih ideal untuk mencampurkan HA dengan autogenous
bone graft untuk mempercepat persembuhan. Terdapat pertumbuhan tulang baru
serta persembuhan lesio yang baik. Selain itu, tidak ditemukan reaksi imunogenik
tubuh terhadap material HA.
Uji mekanik memperkuat pendapat bahwa HA menyatu ke dalam tulang
lebih kuat daripada autogenous bone graft. Hal tersebut karena kemampuan
biodegradasi HA lebih lambat daripada autogenous bone graft sehingga mampu
memberi kekuatan mekanis yang lebih lama (Reddy & Swamy 2010).
Kitosan (K)
Kitosan adalah biopolimer karbohidrat hasil ekstraksi kitin, yang
merupakan biopolimer alami kedua disamping selulosa yang terdapat dalam
jumlah melimpah. Kitin merupakan komponen struktural primer dari eksoskeleton
hewan arthropoda (contohnya crustacean), dinding sel fungi, dan kutikula
serangga. Kitin merupakan polisakarida dan polimer linear dari N-acetyl-Dglucosamine monomers yang bergabung dalam ikatan 1,4β-glikosidik (Shin et al.
2009). Kitosan merupakan derivat kitin yang diperoleh
KERUSAKAN SEGMENTAL PADA TULANG DOMBA YANG
DIIMPLAN DENGAN KOMPOSIT
HIDROKSIAPATIT-KITOSAN (HA-K)
AYU BERLIANTY
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Morfologi Proses
Persembuhan Kerusakan Segmental pada Tulang Domba yang Diimplan dengan
Komposit Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K) adalah karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Ayu Berlianty
NIM B04062278
ABSTRACT
AYU BERLIANTY. Morphological Study of Segmental Defect Healing Process
on Sheep’s Bone Implanted with Hydroxyapatite-Chitosan (HA-C) Composite.
Under direction of SRIHADI AGUNGPRIYONO and KIAGUS DAHLAN.
This research was aimed to study the morphology of healing process on
sheep’s bone implanted with hydroxyapatite-chitosan (HA-C) composite. This
research would also present information about the potency of HA-C composite as
synthetic bone graft biomaterial or bone implant. Three local sheeps were used in
this study. HA-C composite was implanted on the medial of the left tibia bone
while the same part of right tibia was treated as control without implant. All
implant were harvested at 30, 60, and 90 days post-operation. The observation
parameters were the condition, shape, and degradation degree of the implant,
bonding between implant and host bone, new bone ingrowth into the implant, and
signs of inflammation reaction around the implant. The result showed that the
healing process on control bone was faster than those of the implanted bone. As
far as 90 days observation in this present study was concerned, HA-C implant did
not show characteristics for biodegradability, bioresorbability, osteoconductivity,
and bioactivity. However, it showed biocompatibility properties for host body. It
is suggested that the implant used in this study is more suitable to be developed as
synthetic bone graft biomaterial for application on large defects with healing time
longer than 90 days.
Keywords: hydroxyapatite, chitosan, bone implant, bone healing, tibia bone,
sheep.
RINGKASAN
AYU BERLIANTY. Kajian Morfologi Proses Persembuhan Kerusakan
Segmental pada Tulang Domba yang Diimplan dengan Komposit HidroksiapatitKitosan (HA-K). Dibimbing oleh SRIHADI AGUNGPRIYONO dan KIAGUS
DAHLAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji morfologi proses persembuhan
pada tulang domba yang diimplan dengan komposit hidroksiapatit-kitosan (HAK). Penelitian ini akan memberikan informasi mengenai potensi komposit HA-K
sebagai biomaterial pengganti tulang sintetis atau implan tulang. Tiga ekor domba
lokal digunakan dalam penelitian ini. HA-K diimplantasikan pada bagian medial
dari tulang tibia kiri, sementara bagian yang sama dari tibia kanan diperlakukan
sebagai kontrol tanpa implan. Seluruh implan kemudian dipanen pada hari ke-30,
60, dan 90 pascaoperasi. Parameter pengamatan antara lain keadaan, bentuk, dan
tingkat degradasi implan, ikatan antara implan dengan tulang, pertumbuhan tulang
baru ke dalam implan, dan tanda-tanda reaksi inflamasi di sekitar implan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa proses persembuhan pada tulang kontrol
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan tulang yang diberi perlakuan
implan. Sejauh waktu pengamatan 90 hari pada penelitian ini, implan HA-K
belum menunjukkan sifat biodegradabilitas, bioresorbabilitas, osteokonduktivitas,
dan bioaktivitas, namun telah menunjukkan sifat biokompatibilitas bagi tubuh.
Oleh karena itu, implan yang digunakan dalam penelitian ini lebih tepat
dikembangkan sebagai biomaterial sintetik pengganti tulang untuk aplikasi pada
defek berukuran besar yang membutuhkan waktu persembuhan lebih lama dari 90
hari.
Kata kunci: hidroksiapatit, kitosan, implan tulang, persembuhan tulang, tulang
tibia, domba.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN MORFOLOGI PROSES PERSEMBUHAN
KERUSAKAN SEGMENTAL PADA TULANG DOMBA YANG
DIIMPLAN DENGAN KOMPOSIT
HIDROKSIAPATIT-KITOSAN (HA-K)
AYU BERLIANTY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Kajian Morfologi Proses Persembuhan Kerusakan Segmental
pada Tulang Domba yang Diimplan dengan Komposit
Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K)
: Ayu Berlianty
: B04062278
Disetujui
drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet(K)
Pembimbing I
Dr. Ir. Kiagus Dahlan, M.Sc.
Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai bulan April
2009 hingga Agustus 2010 dengan judul Kajian Morfologi Proses Persembuhan
Kerusakan Segmental pada Tulang Domba yang Diimplan dengan Komposit
Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K).
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluarga tersayang (Ayah Suwoto, Ibu Widya Thaher, dan adik Fadjaruddin
Qadr) atas segala dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan.
2. drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet(K) dan Dr. Ir. Kiagus Dahlan, M.Sc.
selaku pembimbing skripsi atas segala bimbingan, arahan, dan waktu yang
telah diberikan kepada penulis.
3. Dr. drh. Hj. Gunanti, MS atas saran dan arahan pada prosedur bedah tulang.
4. drh. Riki Siswandi, drh. M. Fakhrul Ulum, Bapak Engkos, Bapak Katim, dan
seluruh staf di Laboratorium Bedah dan Radiologi, Laboratorium Patologi,
dan Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas bantuannya.
5. drh. Usamah Afiff, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik.
6. Tim penelitian “Domba-Shaker”: Asmawati, Rachmat Ayu Dewi Haryati,
Gendis Aurum Paradisa, Dwi Kolina Pratiwi, Santi Purwanti, dan Raditya
Pradana Putra atas kerjasama dan bantuannya selama ini.
7. Ibnu Habibi Rahman atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya selama ini.
8. Nurussifa, drh. Winda, Gita, drh. Zhouzh, Astria, Putra, Bakhtiar, Hadi, Edo,
Galuh, Fiona, Sekar, Sonni, Kak Agus, warga kost “Bateng 69”, dan Angkatan
“43sculapius” atas bantuan dan persahabatannya.
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna sehingga penulis terbuka terhadap saran dan kritik yang diberikan.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kemajuan ilmu maupun
bagi para pembacanya.
Bogor, Februari 2011
Ayu Berlianty
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1988
dari ayah yang bernama Suwoto dan ibu yang bernama Widya
Thaher. Penulis merupakan anak sulung dari dua bersaudara.
Tahun 1994 penulis lulus dari TK Taman Indria Depok. Tahun
2000 penulis lulus dari SD Negeri Depok Baru 3, kemudian
pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTP Negeri 2 Depok.
Selanjutnya pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Depok dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan
dan organisasi internal kampus. Penulis juga aktif dalam Himpunan Minat Profesi
Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (Himpro HKSA), Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI), dan Komunitas Seni Steril (KSS)
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… x
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… xi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… xii
PENDAHULUAN…………………………………………………………..…..
Latar Belakang ………………………………………………………….
Tujuan Penelitian ……………………………………………………….
Manfaat Penelitian …………………………………………………..….
1
1
3
3
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………….…..
Tulang …………………………………………………………………..
Matriks Ekstraseluler Tulang (Bone Extracellular Matrix) ………….…
Klasifikasi Tulang ………………………………………………………
Proses Histogenesis Tulang …………………………………………….
Proses Modeling dan Remodeling Tulang………………………………
Persembuhan Kerusakan Tulang…………………………………….….
Biomaterial Pengganti Tulang…………………………………………..
Hidroksiapatit (HA)……………………………………………………..
Kitosan (K)…………………………………………………………..….
Komposit Hidroksiapatit dan Kitosan (HA-K).…………………………
Domba Lokal (Ovis ammon aries) Sebagai Hewan Coba….………..….
4
4
5
6
8
10
11
14
15
16
17
18
MATERI DAN METODE PENELITIAN…………………………………..….
Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………….…….
Materi Penelitian……………………………………………………. ….
Metode Penelitian……………………………………………………….
20
20
20
21
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………
Gambaran Makroskopis Tulang……………………………………..….
Gambaran Mikroskopis Preparat Tulang Gosok…………………….….
Gambaran Mikroskopis Preparat Tulang Dekalsifikasi…………………
26
26
29
32
SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………….….… 48
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...… 49
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Persembuhan tulang pada fraktur tulang sederhana………………………... 12
2. Format data hasil pengamatan evaluasi histologi terhadap preparat
dekalsifikasi…………………………………...……………………………. 24
3. Hasil pengamatan makroskopis terhadap tulang perlakuan pada
berbagai periode pengamatan………………………….…………………… 26
4. Hasil evaluasi histologi terhadap preparat dekalsifikasi pada
berbagai periode pengamatan…………...………………………………..… 32
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Struktur kanalikuli dan osteosit yang terkurung dalam lakuna…………....
5
2. Osteon yang merupakan unit struktural primer tulang. Terdiri atas lamellamel konsentris dan saluran Havers………………………........................
7
3. Berbagai gambaran struktur tulang. Tulang kompak dan cancellous (A),
dan potongan melintang tulang panjang (B)……………………................
8
4. Proses osifikasi intrakartilagenous…………………………………...........
9
5. Proses remodeling tulang…………………...….…………………….……
10
6. Proses persembuhan tulang………………...…………………………...…
11
7. Struktur kimia kitosan…...…………………...……….…………………...
17
8. Diagram prosedur penelitian…………………...……………………....….
25
9. Sayatan melintang dari tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama
30 hari (A), 60 hari (C), dan 90 hari (E), serta tulang tibia kontrol selama
30 hari (B), 60 hari (D), dan 90 hari (F) pascaoperasi. Tanda panah merah
menunjukkan lokasi defek tulang. Sayatan ini menunjukkan bagian
struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n = pertumbuhan jaringan
baru yang menutupi defek, dan s = sumsum tulang. Bar A, B, C, dan D =
2,5 mm; E dan F = 2 mm………………………………………………….
28
10. Gambaran mikroskopis dari tulang tibia yang diberi perlakuan implan
selama 30 hari (A), 60 hari (C), dan 90 hari (E), serta tulang tibia kontrol
selama 30 hari (B), 60 hari (D), dan 90 hari (F) pascaoperasi. Tanda
panah merah menunjukkan daerah pertumbuhan tulang baru. Lingkaran
merah menunjukkan lokasi defek tulang. Pewarnaan Hematoksilin. Bar =
0,5 mm…………………………………………………………………….
31
11. Gambaran mikroskopis tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama
30 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan kondisi implan yang
masih utuh serta bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n =
woven bone, p = periosteum, dan s = bagian sumsum tulang. Pewarnaan
HE. Bar = 2 mm…………………………………………………………...
34
12. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak merah di gambar
11. Gambar ini memperlihatkan daerah perbatasan antara implan dengan
jaringan tulang baru (woven bone) yang dibatasi oleh jaringan ikat.
Keterangan gambar: i = implan, j = jaringan ikat, dan n = woven bone.
Pewarnaan HE. Bar = 10 µm……………………………………………...
34
13. Gambaran mikroskopis daerah pinggir defek pada tulang tibia perlakuan
selama 30 hari pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru
(woven bone) yang terdiri atas: ob = osteoblas, os = osteosit, h = saluran
Havers, m = matriks tulang, dan v = pembuluh darah. Pewarnaan HE.
Bar = 10 µm……………………………………………………………….
35
xiii
14. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak hijau di gambar
11. Gambar ini memperlihatkan daerah sumsum tulang yang sel-selnya
berproliferasi dan bertransformasi menjadi sel-sel osteogenik. Pada
daerah tersebut juga terdapat struktur tulang rawan. Keterangan: c =
tulang rawan, o = sel-sel osteogenik, dan v = pembuluh darah. Pewarnaan
HE. Bar = 10 µm…………………………………………………………..
35
15. Gambaran mikroskopis tulang tibia kontrol selama 30 hari pascaoperasi.
Gambar ini memperlihatkan daerah defek tulang yang telah menutup
serta bagian periosteumnya (p). Pewarnaan HE. Bar = 20 µm…………… 36
16. Gambaran mikroskopis daerah defek tulang tibia kontrol selama 30 hari
pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru yang terdiri atas:
os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE.
Bar = 10 µm……………………………………………………………….
36
17. Gambaran mikroskopis tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama
60 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan kondisi implan yang
masih utuh serta bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n =
jaringan tulang baru, p = periosteum, dan s = sumsum tulang. Pewarnaan
HE. Bar = 2 mm…………………………………………………………...
38
18. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak merah (A) dan
kotak biru (B) di gambar 17. Gambar A memperlihatkan daerah
perbatasan antara implan dengan jaringan tulang baru yang dibatasi oleh
jaringan ikat. Lingkaran di Gambar A memperlihatkan serpihan implan
yang diinfiltrasi oleh jaringan ikat. Gambar B memperlihatkan
terbentuknya matriks tulang baru pada daerah sumsum tulang.
Keterangan gambar: i = implan, j = jaringan ikat, s = sumsum tulang, n =
jaringan tulang baru, m = matriks tulang, dan p = periosteum. Pewarnaan
HE. Bar A = 20 µm; B = 10 µm…………………………………………...
38
19. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak hijau di gambar
18 A. Gambar ini memperlihatkan struktur tulang baru yang terbentuk di
daerah pinggir defek tulang, yang terdiri atas: os = osteosit, h = saluran
Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE. Bar = 10 µm…………...
39
20. Gambaran mikroskopis tulang tibia kontrol selama 60 hari pascaoperasi.
Gambar ini memperlihatkan daerah defek tulang yang telah menutup
serta bagian periosteumnya (p). Pewarnaan HE. Bar = 20 µm……………
40
21. Gambaran mikroskopis daerah defek tulang tibia kontrol selama 60 hari
pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru yang terdiri atas:
os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE.
Bar = 10 µm…………………………………………………………….....
40
22. Gambaran mikroskopis tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama
90 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan kondisi implan yang
masih utuh serta bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, dan
n = jaringan tulang baru. Pewarnaan HE. Bar = 2 mm………………..…..
41
23. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak kuning (A) dan
kotak hijau (B) di gambar 22. Gambar A memperlihatkan daerah
xiv
perbatasan antara implan dengan jaringan tulang baru. Gambar B
memperlihatkan daerah jaringan ikat yang membungkus implan.
Keterangan gambar: i = implan, j = jaringan ikat, v = pembuluh darah,
dan n = jaringan tulang baru yang terbentuk. Pewarnaan HE. Bar A = 20
µm; B = 10 µm………………………………………………………………….
42
24. Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak biru di gambar
22. Gambar ini memperlihatkan jaringan tulang baru yang telah menutupi
lokasi defek tulang yang seharusnya terisi implan. Struktur tulang ini
terdiri atas: os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang.
Pewarnaan HE. Bar = 10 µm……………………………………………...
42
25. Gambaran mikroskopis tulang tibia kontrol selama 90 hari pascaoperasi.
Gambar ini memperlihatkan daerah defek tulang yang telah menutup.
Pewarnaan HE. Bar = 20 µm……………………………………………...
43
26. Gambaran mikroskopis daerah defek tulang tibia kontrol selama 90 hari
pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru yang terdiri atas:
os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE.
Bar = 10 µm……………………………………………………………….
43
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap tahun jutaan orang di dunia menderita berbagai penyakit tulang
yang diakibatkan oleh trauma, tumor, atau patah tulang (Murugan & Ramakrishna
2004). Di Indonesia, berbagai kasus penyakit seperti kanker tulang, penyakit
periodontis, trauma, patah tulang, dan lain-lain terus meningkat dewasa ini
(Darwis 2008). Salah satu tindakan terapi pada kasus penyakit tulang adalah
dengan teknik implantasi untuk menggantikan jaringan tulang yang hilang atau
rusak. Banyaknya kerusakan tulang yang substansial pada berbagai kasus di atas
semakin meningkatkan kebutuhan akan bahan implan atau biomaterial yang
mampu menggantikan fungsi dari jaringan tulang yang rusak (Bhat 2002).
Biomaterial merupakan suatu material, baik bersifat alamiah maupun
buatan, yang dapat berinteraksi dengan sistem tubuh dengan tujuan untuk
memperbaiki, memulihkan, dan menggantikan jaringan yang rusak atau sebagai
penghubung dengan lingkungan fisiologis tubuh (Darwis 2008).
Biomaterial pengganti tulang yang ideal harus memiliki sifat antara lain:
osteoinduktif, osteokonduktif, biokompatibel, bioaktif, stabil secara biomekanis,
bebas dari agen penyakit, serta mengandung faktor antigen minimal (Kalfas
2001), bioresorbabel (Samsiah 2009) dan biodegradabel (Pane 2008). Sifat-sifat
tersebut hadir dalam biomaterial alamiah yaitu autograft. Autograft adalah
biomaterial yang berasal dari bagian lain tubuh pasien itu sendiri. Namun
autograft memiliki keterbatasan karena membutuhkan sayatan tambahan, waktu
operasi yang lebih lama, serta meningkatkan kehilangan darah bagi pasien.
Sedangkan allograft, yaitu biomaterial yang berasal dari spesies yang sama,
berpotensi menularkan berbagai penyakit dan menimbulkan reaksi penolakan
jaringan bagi individu penerima donor (Kalfas 2001). Adapun jenis biomaterial
pengganti tulang lainnya yaitu xenograft, yang berasal dari spesies berbeda
misalnya sapi, memiliki keterbatasan dalam kemungkinan perbedaan karakter
mineral tulangnya (Stavropoulos 2008). Oleh karena itu, salah satu solusinya
adalah pengembangan biomaterial sintetik yang sesuai untuk mengatasi berbagai
keterbatasan tersebut.
2
Biomaterial sintetik pengganti tulang (synthetic bone graft) harus memiliki
struktur serta komposisi yang mendekati tulang asli. Komposisi tulang terdiri atas
mineral tulang dan bahan organik (Samuelson 2007). Mineral tulang sebagian
besar tersusun oleh mineral apatit yang komponen utamanya adalah kalsium fosfat
yang memiliki berbagai fase. Hidroksiapatit (HA) merupakan fase paling stabil
dibandingkan dengan yang lainnya (Saraswathy et al. 2001). HA dapat diperoleh
secara sintetik dengan mereaksikan kalsium dengan fosfat (Nurlaela 2009).
Sumber kalsium banyak dijumpai di alam, antara lain pada cangkang telur
(Prabakaran et al. 2005), ganggang laut (Fernandes & Laranjeira 2000), dan batu
koral (Sivakumar et al. 1996). Sedangkan komponen organik tulang terdiri atas
molekul-molekul proteoglikan seperti glycosaminoglycan (Samuelson 2007).
Kitosan (K) merupakan polimer dari D-glucosamine yang terdapat dalam jumlah
melimpah di alam, yang dapat dimanfaatkan sebagai komponen organik pada
pembuatan biomaterial sintetik pengganti tulang (Hua et al. 2005).
Penggabungan HA dengan K (komposit HA-K) diharapkan dapat
mendekati struktur asli tulang serta dapat meningkatkan sinergisme dari masingmasing bahan sehingga berpotensi sebagai biomaterial sintetik pengganti tulang
yang ideal. Murugan dan Ramakrishna (2004) telah meneliti komposit HA-K
secara in vitro dengan menggunakan cairan phosphate buffered saline dibawah
kondisi fisiologis. Hasilnya menunjukkan bahwa komposit tersebut dapat
digunakan sebagai bahan pengganti tulang. Penelitian tersebut diperkuat oleh uji
in vivo yang dilakukan oleh Shin et al. (2009) tentang efek penggunaan komposit
HA-K pada regenerasi kerusakan tulang calvarial tikus menunjukkan hasil bahwa
komposit ini dapat berfungsi sebagai biomaterial yang efektif untuk proses
regenerasi tulang periodontal.
Biomaterial sintetik yang ada di Indonesia sekarang ini merupakan
produksi impor dengan harga yang relatif mahal (Darwis 2008). Oleh karena itu,
tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor terpacu untuk memanfaatkan bahan baku
alami yang murah dan mudah didapatkan, yaitu cangkang telur sebagai sumber
kalsium untuk pembuatan HA. Penelitian oleh Departemen Fisika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB menunjukkan bahwa komposit HAK dari cangkang telur ayam berpeluang untuk dikembangkan sebagai biomaterial
3
substitusi tulang (Nurlaela 2009). Berdasarkan hasil tersebut maka dilakukan
penelitian lanjutan secara in vivo untuk menguji potensi dari komposit HA-K
tersebut sebagai bahan implan tulang sintetik. Material yang telah mengalami
proses karakterisasi baik secara fisika, mekanik, dan kimia kemudian diimplankan
pada tulang tibia dari tiga ekor domba lokal untuk kemudian dievaluasi tingkat
serta kecepatan pertumbuhan tulang pada kasus persembuhan kerusakan
segmental tulang. Hasil dari penelitian ini akan terus dikembangkan sehingga
dapat memberikan kontribusi pada kesehatan manusia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara morfologi proses
persembuhan kerusakan segmental pada tulang domba yang diimplan dengan
implan komposit HA-K berbasis cangkang telur ayam dan mengetahui potensi
dari implan tersebut sebagai biomaterial sintetik pengganti tulang.
Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini dapat diperoleh informasi mengenai potensi implan
komposit HA-K berbasis cangkang telur ayam sebagai biomaterial sintetik
pengganti tulang. Informasi ini akan berguna sebagai informasi awal untuk
penelitian-penelitian aplikatif selanjutnya sebagai upaya penyiapan biomaterial
sintetik pengganti tulang untuk manusia dengan harga yang lebih terjangkau.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tulang
Tulang merupakan jaringan ikat khusus yang berfungsi sebagai alat
penyokong, pelekatan, perlindungan, dan penyimpanan mineral. Konsekuensinya,
jaringan ini dilengkapi dengan rigiditas, kekuatan yang sangat besar, serta
elastisitas yang sangat terbatas. Kemampuan jaringan ini untuk menyimpan
mineral terutama kalsium (Ca), kebanyakan dalam bentuk kristal hidroksiapatit,
merupakan sifat utama yang membedakan tulang dari jaringan ikat lainnya
(Samuelson 2007).
Tulang secara eksternal diselaputi oleh sebuah jaringan bernama
periosteum. Periosteum berisi pembuluh darah, lapisan tebal serabut kolagen yang
tersusun padat tidak beraturan, dan sel-sel yang mampu berdiferensiasi menjadi
osteoblas (sel osteogenik). Semua bagian tulang diselaputi oleh periosteum,
kecuali bagian yang terdapat artikulasi dengan tulang lainnya. Tulang memiliki
ruang internal di bagian tengahnya yaitu rongga sumsum, yang di dalamnya
terdapat sel stem dari sel darah. Rongga sumsum dilapisi oleh selapis jaringan ikat
tipis tervaskularisasi bernama endosteum. Endosteum juga memiliki sel-sel
osteogenik seperti halnya periosteum (Kalfas 2001; Samuelson 2007).
Tulang tersusun atas tiga jenis sel utama yaitu osteoblas, osteosit, dan
osteoklas. Osteoblas adalah sel yang berperan dalam aktivitas sintesis komponen
organik tulang, yang disebut sebagai prebone atau osteoid. Osteoblas terletak
dalam suatu garis di sepanjang permukaan jaringan tulang. Saat aktif, osteoblas
cenderung berbentuk kubus dan bersifat basofilik. Sedangkan saat kurang aktif,
maka bentuknya akan menjadi lebih kempis dan kurang basofilik. Ketika aktivitas
sintesis matriks berhenti dan osteoblas telah memasuki matriks tersebut maka
osteoblas berubah namanya menjadi osteosit.
Osteosit berada di dalam suatu ruangan berbentuk oval bernama lakuna
yang terletak di dalam matriks yang telah termineralisasi. Lakuna memiliki
penjuluran halus yang disebut kanalikuli. Kanalikuli menghubungkan antar lakuna
yang berdekatan sehingga osteosit mampu mencapai pembuluh darah untuk
pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme (Gambar 1).
5
Kanalikuli
Osteosit
Gambar 1 Struktur kanalikuli dan osteosit yang terkurung dalam lakuna (IOF
2009).
Sitoplasma osteosit memiliki ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan sitoplasma osteoblas, serta memiliki organel sel yang lebih sedikit
sehubungan dengan aktivitas metaboliknya. Osteosit memfasilitasi pemeliharaan
lingkungan ekstraseluler yang telah termineralisasi. Saat terstimulasi oleh hormon
paratiroid (PTH), osteosit mampu segera melepaskan mineral (termasuk Ca) dari
matriks ekstraseluler dengan menyekresikan hidrolase. Proses ini dikenal sebagai
osteocytic osteolysis yang berperan penting dalam pelepasan Ca secara cepat.
Osteoklas merupakan sel raksasa multinukleus (≥ 6-50 inti) yang terlibat
dalam resorpsi dan remodeling tulang. Sel ini, yang terlihat asidofilik secara
sitologi, memiliki banyak lisosom serta organel sel lainnya yang berkembang
baik. Osteoklas yang diketahui berasal dari sumsum tulang, merupakan turunan
dari sejumlah gabungan monosit. Pada proses pertumbuhan dan remodeling
tulang, osteoklas secara kontinu akan melakukan penyerapan (osteoclasia). Proses
osteoclasia merupakan hasil dari sekresi beberapa macam material termasuk asam
dan enzim hidrolitik. Asam yang disekresikan seperti asam laktat dan sitrat,
memiliki pH rendah sehingga memudahkan pelepasan mineral. Sedangkan enzim
hidrolitik, seperti acid hydrolase, collagenase, dan lainnya, mampu mencerna
matriks ekstraseluler. Osteoclasia terutama diatur oleh sistem endokrin, antara
lain: kelenjar tiroid yang menyekresikan hormon kalsitonin dan kelenjar paratiroid
yang menyekresikan hormon paratiroid (Samuelson 2007).
Matriks Ekstraseluler Tulang (Bone Extracellular Matrix)
Sebagian besar jaringan tulang terdiri atas matriks ekstraseluler, yang
kurang lebih 2/3 bagiannya berupa material anorganik dan sisanya berupa material
organik. Sebagian besar material organik terdiri atas serabut kolagen tipe I
(~94%) dan sejumlah kecil bahan dasar (Samuelson 2007; IOF 2009). Secara
6
umum tulang tersusun oleh 30% substansi organik, 55% substansi anorganik
(mineral), dan 15% air (Aoki 1991).
Material anorganik tulang seperti kalsium (Ca) dan fosfor (P) tersedia
dalam jumlah yang sangat banyak. Sebagian besar Ca dan P membentuk kristal
hidroksiapatit, yang terletak berdampingan dengan serabut kolagen. Selain itu,
beberapa mineral lain juga terdapat dalam jumlah sedikit antara lain: bikarbonat
(HCO3-), magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), tembaga (Cu), seng (Zn),
mangan (Mn), dan lainnya. Kristal hidroksiapatit tersusun di sepanjang serabut
kolagen dan di dalam celah serabut tersebut. Bahan dasar matriks tulang terdiri
atas protein non-kolagenous, glikoprotein, proteoglikan, peptida, karbohidrat, dan
lemak (Kalfas 2001). Molekul-molekul proteoglikan kecil terutama terdiri atas
sulfated glycosaminoglycans, chondroitin 4-sulfate, dan keratan sulfate, melekat
pada hyaluronans, membentuk suatu satuan komposit yaitu hyaluronic
proteoglycan aggregate yang melapisi kristal hidroksiapatit (Samuelson 2007).
Proteoglikan dalam komposit tersebut bersifat instrumental dalam inisiasi
dan inhibisi proses mineralisasi tulang. Selama proses mineralisasi normal
berlangsung, jumlah dari proteoglikan dalam ECM (Extracellular Matrix) relatif
menurun. Jadi terdapat suatu hubungan timbal balik dalam jumlah proteoglikan
dan derajat mineralisasi dalam tulang yang sedang tumbuh. Bahan dasar yang
terutama terdiri atas satuan komposit tersebut, memungkinkan air untuk
bersentuhan dengan kristal sehingga terjadi pertukaran ion. Sejumlah kecil
glikoprotein dan protein matriks hadir dalam bahan dasar ECM dan berfungsi
sebagai bahan pelekat (Samuelson 2007).
Klasifikasi Tulang
Terdapat tiga tipe utama tulang yaitu woven bone, cortical bone, dan
cancellous bone. Woven bone terdapat selama perkembangan embrio, selama
persembuhan fraktur (pembentukan kalus), dan pada beberapa kasus patologis
seperti hiperparatiroidisme. Tulang ini tersusun atas berkas kolagen yang tersusun
acak serta ruang vaskular yang tidak beraturan dan dilapisi deretan sel osteoblas.
Cortical bone, yang juga disebut tulang kompak atau tulang lamelar,
merupakan bentuk kelanjutan woven bone yang telah mengalami remodeling.
7
Remodeling terjadi akibat infiltrasi pembuluh darah ke dalam woven bone melalui
permukaan periosteal dan endosteal tulang. Unit struktural primer tulang kompak
dinamakan osteon atau sistem Haversian. Osteon tersusun oleh osteosit, lakuna,
dan kanalikuli yang tersusun dalam matriks ekstraseluler tulang yang berlapislapis membentuk lamel-lamel tulang (Gambar 2). Lamel-lamel tulang berbentuk
silinder mengelilingi sebuah saluran longitudinal yang disebut saluran Havers
(Kalfas 2001; Samuelson 2007). Saluran Havers mengandung pembuluh darah,
nervus vasomotorik, sel-sel osteoblas dan osteoprogenitor. Osteon-osteon dapat
saling berhubungan melalui suatu saluran horisontal yang bernama saluran
Volkmann. Melalui saluran Volkmann, pembuluh darah dan syaraf dari
periosteum dan endosteum dapat mencapai saluran Havers sehingga pertukaran
nutrisi dan sisa metabolisme dapat terjadi (Samuelson 2007).
Osteosit
Kanalikuli
Saluran Havers
Gambar 2 Osteon yang merupakan unit struktural primer tulang. Terdiri atas
lamel-lamel konsentris dan saluran Havers (IOF 2009).
Osteon terbentuk di sepanjang pinggiran tulang kompak dengan
pembentukan asimetris lamel-lamel interstitial yang mengelilingi sebuah
pembuluh darah. Lamel dan jaringan osteogenik terdekat kemudian mengelilingi
pembuluh darah tersebut dan osteon muda terbentuk. Osteoblas, yang sekarang
merupakan bagian dari endosteum, mensekresikan matriks osteoid secara
konsentris, dan osteosit menjadi terbenam dalam matriks tersebut. Ukuran osteon
semakin mengecil dan sejumlah kecil jaringan osteogenik, syaraf, dan pembuluh
darah tinggal di dalamnya (Samuelson 2007). Kekuatan mekanik dari tulang
kompak bergantung pada kepadatan susunan osteonnya (Kalfas 2001).
Cancellous bone (trabecular bone) terletak di antara permukaan bagian
dalam tulang kompak. Cancellous bone berisi elemen hematopoietik dan bony
trabeculae (Kalfas 2001). Bony trabeculae (trabekula tulang) merupakan spikula
8
tulang yang saling berhubungan membentuk jaring-jaring yang saling
berhubungan (Dorland 2002). Jaring-jaring yang saling berhubungan tersebut
terisi oleh sumsum tulang. Trabekula terutama terdapat pada bagian ujung tulang
panjang. Cancellous bone secara berkelanjutan akan mengalami remodeling pada
permukaan internal lapisan endosteum tulang (Kalfas 2001).
Gambaran struktur tulang trabekular dan tulang kompak dapat terlihat jelas
pada tulang panjang. Bila tulang panjang dipotong (Gambar 3 A dan B), maka
akan terlihat bagian tulang kompak dan tulang trabekular. Bagian luarnya
dibentuk oleh tulang kompak, sedangkan bagian dalamnya dibentuk oleh tulang
trabekular yang mirip bunga karang (spongy). Bagian tengah tulang panjang
dinamakan sebagai diafise, dan kedua ujungnya dinamakan epifise. Antara epifise
dan diafise terdapat daerah pertumbuhan tulang yaitu metafise, yang
memungkinkan pertumbuhan memanjang tulang. Diafise hampir seluruhnya
tersusun atas tulang kompak, dan sedikit tulang trabekular pada bagian tengah
yang berbatasan dengan sumsum tulang. Sedangkan epifise, hampir seluruhnya
terdiri atas tulang trabekular dan selapis tipis tulang kompak pada bagian luarnya
(Mills 2007).
(A)
(B)
Kartilago persendian
Lakuna
Lamela
Kanalikuli
Osteon
Tulang kompak
Epifise
Tulang
cancellous
Saluran
Havers
Garis epifiseal
Tulang spongy
Rongga sumsum
Diafise
Endosteum
Periosteum
Periosteum
Saluran
Volkmann
Epifise
Kartilago persendian
Gambar 3 Berbagai gambaran struktur tulang. Tulang kompak dan cancellous
(A), dan potongan melintang tulang panjang (B) (IOF 2009).
Proses Histogenesis Tulang
Pertumbuhan tulang terbentuk dari jaringan ikat, baik pada masa embrio
maupun pascanatal. Dilihat dari proses perkembangannya, tulang dibedakan
menjadi dua pola, yakni osifikasi intramembranous dan intrakartilagenous.
9
Pada osifikasi intramembranous, tulang langsung berkembang dari
jaringan ikat, yang dimulai dari tengah mesenkim yang disebut “pusat
pertulangan”. Mesenkim akan mengalami peningkatan vaskularisasi dan
proliferasi. Selanjutnya terjadi perubahan bentuk sel yang menghasilkan sel
osteogenik dan osteoblas. Osteoblas kemudian menjadi aktif menghasilkan
matriks dan serabut kolagen, yang mula-mula masih lunak (osteoid). Osteoid
tersebut kemudian mengalami kalsifikasi oleh garam Ca berupa kristal
hidroksiapatit (Hartono 1989). Tulang-tulang yang mengalami proses ini adalah
sejumlah tulang yang berfungsi sebagai pelindung seperti tulang frontal dan
parietal tengkorak, tulang rahang bawah, dan rahang atas (Samuelson 2007).
Pada osifikasi intrakartilagenous (Gambar 4), jaringan ikat mula-mula
menumbuhkan “tulang rawan miniatur”, yaitu suatu tulang rawan hialin,
bentuknya mirip tulang dewasa hanya formatnya kecil. Tulang rawan ini
selanjutnya akan dirombak, dan digantikan dengan tulang. Osifikasi dimulai dari
tengah tulang rawan dan meluas ke seluruh arah sesuai dengan pertumbuhan
tulang rawan (Hartono 1989). Proses pembentukan tulang ini terjadi pada
pembentukan tulang panjang dan tulang pendek (tulang-tulang penahan bobot
tubuh) seperti tulang femur, tibia, dan lain-lainnya. Pada masa fetus, hampir
semua tulang tubuh merupakan tulang rawan. Namun seiring dengan
perkembangan fetus dan setelah kelahiran, tulang rawan tersebut berkembang
menjadi tulang untuk menyediakan kekuatan terhadap tekanan-tekanan yang
makin bertambah (Mills 2007; Samuelson 2007).
Gambar 4 Proses osifikasi intrakartilagenous (Reza 2008).
10
Proses Modeling dan Remodeling Tulang
Modeling tulang adalah suatu kondisi saat proses resorpsi dan
pembentukan tulang terjadi pada permukaan tulang yang berlainan (pembentukan
dan resorpsi tidak berpasangan). Contohnya pada pertambahan panjang dan
diameter tulang panjang. Modeling tulang terjadi sejak kelahiran hingga dewasa
dan proses ini berperan dalam penambahan massa dan perubahan bentuk
kerangka. Pada kondisi ini proses pembentukan tulang lebih dominan terjadi
daripada proses resorpsi tulang.
Remodeling tulang adalah pergantian jaringan tulang tua dengan jaringan
tulang muda. Kondisi ini sebagian besar terjadi pada kerangka hewan dewasa
untuk mempertahankan massa tulang. Proses ini mencakup pembentukan dan
resorpsi tulang secara bersamaan (berpasangan). Remodeling merupakan sebuah
proses yang dinamis termasuk penggantian dan pengisian kembali baik tulang
kompak
maupun
trabekular.
Proses
ini
terus-menerus
terjadi
untuk
mempertahankan massa tulang serta integritas dan fungsi kerangka. Proses ini
kompleks dan dikendalikan oleh susunan syaraf pusat melalui hormon dan oleh
tekanan mekanis. Proses ini bergantung pada keterpaduan aksi dari osteoblas,
osteosit, dan osteoklas. Secara bersamaan, ketiga sel ini membentuk BMU (Basic
Multicellular Unit) atau unit remodeling tulang yang berperan dalam proses
remodeling pada hewan dewasa (Mills 2007).
Proses remodeling tulang terjadi dalam beberapa fase (Gambar 5), yaitu:
1. Aktivasi: pre-osteoklas terstimulasi menjadi
osteoklas dewasa yang aktif.
2. Resorpsi: osteoklas mencerna matriks tulang tua.
3. Pembalikan: akhir dari proses resorpsi, saat
osteoklas digantikan oleh osteoblas.
4. Pembentukan: osteoblas menghasilkan matriks
tulang yang baru.
5. Fase pasif: osteoblas selesai menghasilkan
matriks dan terbenam di dalamnya. Beberapa
osteoblas membentuk sederet sel yang berjejer
di permukaan tulang yang baru.
Gambar 5 Proses remodeling
tulang (IOF 2009).
11
Persembuhan Kerusakan Tulang
Kerusakan segmental tulang akibat defek pengeboran prinsipnya hampir
sama dengan kerusakan pada patah tulang (fraktur). Namun dalam persembuhan
kerusakan segmental tersebut, di dalam defek pengeboran diberi suatu
biomaterial/implan tulang. Boden et al. (1995) menyebutkan bahwa proses
penyatuan implan tulang dalam spinal fusion model hampir sama dengan proses
persembuhan tulang yang terjadi dalam keadaan persembuhan fraktur.
Fraktur merupakan kerusakan dalam suatu jaringan ikat makhluk hidup,
dan persembuhannya dapat dicapai melalui pertumbuhan sel. Tahap-tahap
persembuhan tulang dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 1.
Proses Persembuhan Fraktur
Minggu Ke-1
Minggu Ke-2 sampai ke-3
Hematoma dan inflamasi
Kalus halus
Minggu Ke-4 sampai ke-16
Minggu Ke-17 dan seterusnya
Kalus keras
Remodelling
Gambar 6 Proses persembuhan tulang (Anonim 2010).
12
Tabel 1 Persembuhan tulang pada fraktur tulang sederhana
Waktu
Perubahan yang terjadi
4 minggu
Remodeling tulang: proses penyerapan dan pembentukan tulang terus
berlangsung.
Penghilangan kalus eksternal.
Pelekukan kalus internal untuk membentuk sumsum tulang.
Hemoraghi dan pembentukan hematoma.
Penggumpalan darah pada daerah fraktur.
Invasi makrofag untuk menghilangkan debris, sel darah merah, dan fibrin.
Nekrosis sel osteosit pada daerah fraktur.
Secara histologi, persembuhan tulang dapat dibagi menjadi beberapa fase:
1. Fase hemoraghi dan pembentukan jaringan granulasi.
Pada fraktur traumatis sederhana pada tulang panjang, patahan tulang
mengalami pergeseran dari lokasi normalnya dan jaringan lunak di sekitarnya ikut
terlukai (Cheville 2006). Selama 24-48 jam pertama setelah pelukaan, gambaran
histologi persembuhan tulang memperlihatkan adanya eksudat traumatik berisi
serum dan darah akibat pecahnya pembuluh darah (Watson-Jones 1952).
Hemoraghi terjadi di sepanjang daerah fraktur dan otot apabila darah merembes
keluar dari periosteum yang sobek. Koagulasi darah dengan segera membentuk
bekuan darah yang mengisi celah fraktur.
Kerusakan vaskular mengakibatkan terjadinya nekrosis pada jaringan tulang di
sekitar fraktur. Osteosit mati akibat kehilangan nutrisi yang biasanya disuplai
melalui pembuluh darah. Periosteum dan sumsum lebih tervaskularisasi dengan
baik sehingga kejadian nekrosis pada bagian ini lebih sedikit (Cheville 2006).
Bekuan darah selanjutnya berubah menjadi jaringan granulasi untuk
melindungi tulang yang rusak (Samuelson 2007). Jaringan granulasi merupakan
jaringan ikat fibroblastik tervaskularisasi pada persembuhan luka. Monosit
memasuki daerah fraktur dan berubah menjadi makrofag yang berperan utama
dalam proses persembuhan tulang (Cheville 2006).
13
2. Fase pembentukan kalus.
Dalam waktu 48 jam setelah fraktur, bekuan darah diserbu oleh sel-sel
osteogenik dari lapisan periosteum, endosteum, dan sumsum tulang. Sel-sel ini
berproliferasi di pinggir fraktur dan secara cepat menyerbu bekuan darah dan
daerah nekrotik sekitarnya untuk membentuk kalus. Kalus merupakan massa
jaringan yang berfungsi melekatkan ujung-ujung tulang yang patah (Cheville
2006). Proses pembentukan kalus yang berasal dari periosteum, endosteum, dan
sumsum tulang tersebut bertemu dalam satu proses yang sama (Rizka 2010).
Proses terus berlangsung ke bagian dalam dan luar tulang sehingga menjembatani
permukaan fraktur satu sama lain. Awalnya, kalus merupakan jaringan granulasi
(kalus lunak) yang kemudian akan berubah menjadi jaringan tulang dan tulang
rawan (kalus keras) (Cheville 2006).
3. Fase pembentukan tulang rawan.
Dalam waktu satu minggu, sel-sel yang berproliferasi mulai berdiferensiasi
menjadi kondroblas dan tulang rawan terbentuk. Material matriks terdeposit
mengelilingi sel. Dalam proses kalsifikasi tulang rawan, vesikula kecil matriks
dilepaskan di bawah pengaruh enzim yang meningkatkan konsentrasi lokal
orthophosphate dan mengarah pada pembentukan hidroksiapatit. Pada 7 sampai
10 hari, pH kalus meningkat sehingga membantu proses deposisi garam kalsium.
Tulang rawan yang terbentuk bersifat hanya sementara karena akan segera
digantikan oleh woven bone. Matriks ekstraseluler tulang rawan mengalami
kalsifikasi, sehingga menyebabkan kondrosit mati. Proses perubahan tulang rawan
menjadi tulang terjadi melalui mekanisme osifikasi intrakartilagenous.
4. Fase pembentukan tulang baru.
Selama kalus yang terbentuk sebelumnya menghilang, osteoblas menghasilkan
osteoid dengan susunan yang lebih teratur. Molekul kolagen berorientasi di
sekeliling pembuluh darah untuk membentuk sistem Haversian. Osteoklas
kemudian melekat pada permukaan trabekula tulang untuk meresorpsi tulang.
Woven bone yang lebih dahulu terbentuk secara bertahap berubah menjadi
cortical bone dan kalus berlanjut mengalami remodeling. Secepatnya, dengan
ketepatan serta respon kalus yang minimal, susunan tulang terbentuk kembali dan
kalus tidak teraba lagi (Cheville 2006).
14
Ada kalanya fraktur terjadi cukup parah sehingga membutuhkan tindakan lain
untuk membantu persembuhan tulang yang sempurna. Tindakan tersebut dapat
berupa cangkok tulang atau bone graft (Samuelson 2007).
Jika menggunakan suatu bone graft, persembuhan tulang akan dimulai
dengan terisinya perbatasan antara tulang-graft dengan jaringan tulang baru. Graft
akan mengalami vaskularisasi dan secara perlahan akan digantikan oleh
pertumbuhan tulang baru. Perbatasan antara tulang-graft akan sembuh dalam 1
sampai 3 bulan, namun proses remodeling terhadap graft dapat berlangsung
berbulan-bulan sampai tahunan yang lamanya tergantung pada besarnya graft.
Biomaterial Pengganti Tulang
Biomaterial merupakan suatu material, baik bersifat alamiah maupun
buatan, yang dapat berinteraksi dengan sistem tubuh dengan tujuan untuk
memperbaiki (repair), memulihkan (restore), dan menggantikan jaringan yang
rusak (replace) atau sebagai penghubung (interface) dengan lingkungan fisiologis
tubuh (Darwis 2008).
Pemilihan biomaterial yang tepat sangatlah diperlukan dalam proses
implantasi. Tentunya biomaterial yang dipilih adalah yang bersifat osteoinduktif,
osteokonduktif, biokompatibel, bioaktif, stabil secara biomekanis, bebas penyakit,
serta mengandung faktor antigen minimal (Kalfas 2001), bioresorbabel (Samsiah
2009) dan biodegradabel (Pane 2008).
Osteoinduktif adalah kemampuan biomaterial untuk menginduksi sel-sel
sumsum tulang atau osteoprogenitor berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang dewasa
(Laurencin 2009). Osteokonduktif adalah kemampuan biomaterial untuk
mendukung pelekatan sel-sel osteoblas baru dan osteoprogenitor, menyediakan
struktur saling berhubungan sehingga sel-sel baru dapat berpindah dan pembuluh
darah baru dapat terbentuk (Laurencin 2009). Sifat biokompatibel adalah
kemampuan biomaterial untuk menyesuaikan dengan kecocokan tubuh penerima,
tidak mempunyai efek toksik maupun melukai fungsi biologis (Dorland 2002).
Sedangkan bioaktif adalah kemampuan biomaterial untuk bereaksi dengan
jaringan tubuh dan menghasilkan suatu ikatan yang sangat baik (Purnama 2006).
15
Autograft adalah biomaterial yang berasal dari tubuh pasien itu sendiri.
Autograft memiliki kerugian karena ketersediaannya terbatas serta dapat
meningkatkan resiko kehilangan darah, menimbulkan rasa sakit, dan memperbesar
luka akibat operasi tambahan (Schnettler et al. 2004; Nandi et al. 2009). Allograft
adalah biomaterial yang berasal dari spesies yang sama. Allograft berpeluang
menularkan berbagai penyakit dan menimbulkan ketidakcocokan respon imun
(Nandi et al. 2009). Xenograft adalah biomaterial yang berasal dari spesies, genus,
maupun famili yang berbeda. Misalnya xenograft yang berasal dari tulang sapi.
Namun graft tersebut memiliki keterbatasan dalam perbedaan karakter mineral
tulang (Stavropoulos 2008).
Biomaterial sintetik pengganti tulang merupakan alternatif yang dapat
mengatasi keterbatasan beberapa metode sebelumnya. Penggunaan biomaterial
sintetik secara tepat untuk substitusi tulang tidak akan menimbulkan inflamasi
serta tidak menyebabkan respon iritasi (Nurlaela 2009). Saat ini penggunaan
biomaterial sintetik yang memiliki kemiripan dengan fase anorganik tulang telah
mengalami peningkatan di bidang operasi rekonstruksi tulang karena sifat
biokompatibilitasnya yang unggul (Schnettler et al. 2004).
Hidroksiapatit (HA)
Secara umum penyusun utama komponen anorganik tulang adalah kalsium
fosfat yang mempunyai dua fase yaitu amorf dan kristal. Senyawa kalsium fosfat
kristal hadir dalam empat fase, yaitu dikalsium fosfat (DKF, CaHPO4.2H2O), okta
kalsium fosfat (OKF, Ca8H2PO4.5H2O), trikalsium fosfat (TKF, Ca3(PO4)2) dan
hidroksiapatit (HA, Ca10(PO4)6(OH)2). Senyawa kalsium fosfat yang paling stabil
adalah hidroksiapatit (Saraswathy et al. 2001). HA terdiri atas kalsium dan fosfat
dengan rasio perbandingan 1,67 (Pane 2008).
Penggunaan HA sebagai material implan untuk aplikasi medis semakin
meningkat saat ini. Beberapa penelitian seperti di India, telah memanfaatkan
bahan alam seperti batu koral, ganggang laut, dan cangkang telur ayam sebagai
sumber CaCO3 untuk pembentukan HA. Bahan alam diyakini lebih dapat diterima
oleh tubuh karena memiliki persamaan sifat fisiko kimia (Nurlaela 2009). Dua
16
penggunaan HA yang paling umum antara lain sebagai pelapis implan titanium
atau sebagai bahan pembentuk komposit (Pattanayak et al. 2005).
HA banyak digunakan dalam dunia orthopedik karena sifat fisis, kimia,
mekanis, dan biologisnya sangat mirip dengan komponen utama tulang manusia
(Pattanayak et al. 2005; Pane 2008). Sifat HA yang paling menarik adalah
kemampuan biokompatibilitasnya yang sangat baik. HA mampu berkontak dan
menyatu secara kimiawi dengan jaringan tulang (Pane 2008). Selain itu, HA
memiliki beberapa sifat yang menonjol lainnya yakni: osteokonduktif, berpori,
bioresorbabel, bioaktif, tidak korosi, inert, tahan aus (Samsiah 2009), serta mudah
didapatkan dalam jumlah banyak (Pane 2008).
Beberapa penelitian telah membuktikan kemampuan HA sebagai bahan
pengganti tulang. Salah satunya terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh
Reddy dan Swamy (2010), tentang penggunaan HA sebagai biomaterial pengganti
tulang pada beberapa kasus orthopedik. Berdasarkan penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa untuk lesio kecil, HA sendiri saja sudah cukup namun untuk
lesio yang lebih besar, lebih ideal untuk mencampurkan HA dengan autogenous
bone graft untuk mempercepat persembuhan. Terdapat pertumbuhan tulang baru
serta persembuhan lesio yang baik. Selain itu, tidak ditemukan reaksi imunogenik
tubuh terhadap material HA.
Uji mekanik memperkuat pendapat bahwa HA menyatu ke dalam tulang
lebih kuat daripada autogenous bone graft. Hal tersebut karena kemampuan
biodegradasi HA lebih lambat daripada autogenous bone graft sehingga mampu
memberi kekuatan mekanis yang lebih lama (Reddy & Swamy 2010).
Kitosan (K)
Kitosan adalah biopolimer karbohidrat hasil ekstraksi kitin, yang
merupakan biopolimer alami kedua disamping selulosa yang terdapat dalam
jumlah melimpah. Kitin merupakan komponen struktural primer dari eksoskeleton
hewan arthropoda (contohnya crustacean), dinding sel fungi, dan kutikula
serangga. Kitin merupakan polisakarida dan polimer linear dari N-acetyl-Dglucosamine monomers yang bergabung dalam ikatan 1,4β-glikosidik (Shin et al.
2009). Kitosan merupakan derivat kitin yang diperoleh