Kebebasan Beragama Menurut UUD NRI Tahun 1945.

B. Kebebasan Beragama Menurut UUD NRI Tahun 1945.

UUD NRI Tahun 1945 sebagai Hukum Dasar Negara mengatur secara jelas dan terperinci mengenai hak asasi manusia sebagai perwujudan paham konstitusionalisme. Menurut Abdul Mukhti Fadjar yang dikutip oleh Agung Ali Fahmi, negara konstitusional menjadi dasar yang paling tepat dan kokoh bagi sebuah negara demokrasi yang bersandar pada konstitusi yang kokoh pula. Dan, konstitusi yang kokoh adalah konstitusi yang jelas faham konstitusionalismenya, yaitu yang mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial secara seimbang dan saling mengawasi, serta memberikan jaminan yang cukup luas dalam arti penghormatan to respect, perlindungan to fullfil hak warga negara dan hak asasi manusia dan perlindungan to protect. 104 Pengaturan mengenai hak asasi manusia di Indonesia sudah dimulai sejak pembentukan Undang-Undang Dasar. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI Pada tanggal 11 Juli 1945 memutuskan agar dibentuk Panitia Kecil Perancang UUD. Rancangan UUD yang dibuat oleh Panitia Kecil tersebut pada tanggal 13 Juli dikemukakan dalam rapat oleh Ketua Panitia Kecil Soepomo. Atau dengan kata lain, konstitusionalisme adalah faham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi 105 104 Agung Ali Fahmi,Implementasi kebebasan beragama menurut UUD Republik Indonesia tahun 1945 Jakarta: FH- UI, 2010, hal 31 105 Fatmawati, Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2011, hal 491 Dalam rancangan UUD tersebut telah diatur beberapa hak yaitu hak atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Pasal UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 28 ayat 1, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Pasal 28 ayat 2, hak atas kebebasan beragama dan beribadah Pasal 29, hak untuk ikut serta dalam pembelaan negara Pasal 30 ayat 1, dan hak untuk mendapatkan pengajaran Pasal 31 ayat1. Dalam rapat tanggal 15 Juli 1945, timbul 2 dua pendapat yang berbeda mengenai urgensi dimasukkannya hak berserikat dan hak kemerdekaan berpikir.Dengan disetujuinya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, maka bertambahlah jaminan hak yang diatur dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2 UUD 1945 sebelum perubahan. Pengaturan tentang HAM selanjutnya adalah dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat TAP MPR Nomor XVIIMPR1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia tentang HAM dan Piagam HAM dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. 106 Pemaknaan kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari nilai-nilai bangsa dalam sila pertama pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hamid S. Attamimi yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Pancasila adalah Norma Dasar Negara staatsfundamentalnorm 107 106 Ibid, hal 492 107 Jimly Asshiddiqie ,M. Ali sa’faat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum Jakarta: Setjen Kepaniteraan MK-RI, 2006, hal 171 . Oleh karena itu, pancasila harus menjadi dasar atau pijakan bagi pembentukan Undang- Undang Dasar. Dalam kaitannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa maka undang-undang dasar, harus mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah untuk memelihara budi pekerti manusia yang luhur, menjamin kebebasan beragama, dan memberikan fasilitas bagi masyarakat agar dapat menjalankan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA agama dan peribadatannya sengan aman dan nyaman. 108 Dan menurut Abdulkadir Besar yang dikutip oleh Agung Ali Fahmi bahwa konsekuensi logis dari ketentuan UUD 1945 mengatur kebebasan beragama adalah bahwa Negara Indonesia ikut bertanggung jawab mengenai ketakwaan setiap warga negaranya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, negara bertanggung jawab mengenai adanya kesempatan dan kemudahan fasilitas beribadah bagi setiap warga negara. 109 Kebebasan beragama dalam sejarah konstitusi Indonesia mempunyai kedudukan yang berbeda dengan hak asasi lainnya karena hanya kebebasan beragama yang merupakan hak asasi yang bersifat Universal yang diatur dalam UUD 1945. Menurut Moh. Mahfud MD yang dikutip oleh Agung Ali fahmi lebih tegas menyatakan bahwa UUD 1945 tidak banyak memberikan perhatian kepada hak asasi manusia. Bahkan UUD 1945 menurut pandangan Mahfud, tidak berbicara sedikitpun tentang hak asasi manusia yang universal kecuali dalam dua hal, yaitu Sila ke 4 Pancasila yang meletakkan asas kemanusiaan yang adil dan beradab dan Pasal 29 yang menderivasikan jaminan kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah 110 108 Novie Soegiharti,Kajian Hegemoni Gramshi Tentang Reaksi Sosial Formal Terhadap Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Indonesia Jakarta: FISIP-UI, 2009, hal 15 109 Op cit, Agung Ali Fahmi, hal 67 110 Ibid, hal 40 . Selebihnya dari itu UUD 1945 hanya berbicara tentang hak asasi warga negara atau hak asasi manusia yang partikularistik. Lebih dari itu, hanya dua pasal yang berbicara secara eksplisit tentang hak asasi warga negara, yaitu Pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kemanusian. Dan, Pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat mendapatkan pengajaran. Jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 diatur dalam pasal 29 yang berbunyi: 111 111 Pasal 29 UUD Tahun 1945 1 Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pelaksanaan jaminan pasal 29 di atas dilaksanakan pada tahun 1965, dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, yang kemudian diangkat menjadi undang-undang dengan UU No. 5 Tahun 1969. Salah satu perlindungan yang diberikan oleh negara melalui undang-undang ini ialah pengakuan terhadap agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia Perlindungan dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 UU itu, bahwa terdapat 6 agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tetapi tidaklah berarti bahwa hanya 6 agama itu yang boleh hidup di Indonesia, karena pada paragraf berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa agama-agama lainnya, seperti Yahudi, Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di Indonesia. Agama-agama itu juga boleh hidup di Indonesia dan mendapatkan jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dalam proses amandemen undang-undang dasar, isu hak asasi manusia menjadi perhatian penting. Sehingga pengaturan hak asasi manusia dalam undang- undang dasar semakin banyak dan luas. Dampak ini juga dialami dalam penjaminan kebebasan beragama dan beribadah yang selama ini hanya diatur pada pasal 29 tetapi sekarang juga mendapat jaminan melalui pasal 28 E ayat 1, dan pasal 28 I ayat 1. Dalam pasal 28 E ayat 1 berbunyi : 112 Pasal 28 I ayat 1 berbunyi : 1Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 2 Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya 113 Dari isi pasal-pasal di atas , dapatlah dikatakan bahwa konsep kebebasan beragama adalah sama dengan konsep ham yang di atur dalam instrumen internasional yaitu DUHAM dan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kebebasan beragama di Indonesia merupakan salah satu hak yang bersifat Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 112 Pasal 28 E ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 113 Pasal 28 I ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA fundamental yang telah melekat secara langsung dalam diri manusia, sehingga kebebasan tersebut bersifat nonderogable rights. Konsep lainnya ialah meskipin sudah mendapatkan jaminan konstitusonal, setiap warga negara juga diingatkan bahwa dalam menjalankan kebebasannya dalam beragama bukanlah kebebasan absolut dan liberal, melainkan kebebasan yang terbatas atau terikat oleh batasan yang diatur juga dalam konstitusi. Pembatasan pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia karena pelaksanaan hak asasi manusia tidaklah mungkin meninggalkan kewajiban asasinya untuk menghormati hak asasi orang lain. Jika hak asasi ini dilaksanakan tanpa mengindahkan kewajiban asasi, maka pelaksanaan hak asasi itu akan berbenturan dengan pelaksanaan hak asasi orang lain. Dengan demikian yang akan terjadi justru kekaucauan dalam masyarakat yang selalu ingin memaksakan hak-haknya meskipun dengan jalan melanggar hak orang lain. Karena itu, Pasal 28 J ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Pembatasan hak asasi manusia menurut UUD 1945 hanya dapat dilaksanakan melalui Undang-undang. Hal ini mengingat, Undang-Undang di bentuk oleh badan legislatif yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum langsung oleh seluruh warga Negara yang telah memenuhi syarat. Dengan demikian, produk hukum yang dibentuk oleh badan legislatif ini sekaligus mencerminkan kehendak rakyat yang diwakilinya. 114 114 Op cit, Agung Ali Fahmi, hal 96 Dalam pasal 28 J ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 berbunyi: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan melalui undang-undang juga diatur dalam UU No.12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik. Dengan demikian, pasal 28 J ayat 2 UUD sejalan dengan pasal 18 ayat 3 Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Menurut Novie Sugiharti dalam Tesisnya menjelaskan mengenai syarat pembatasan melalui undang-undang, yaitu: 115 1. Pembatasan untuk melindungi masyarakat Restriction for Protection of public safety. Pembatasan kebebasan beragama memanifestasikan agama di publik dapat dilakukan pemerintah pada musyawarah keagamaan, prosesi keagamaan, dan upacar kematian dalam rangka melindungi kebebasan-kebebasan individu lain hidup, integritas, kesehatan 2. Pembatasan untuk melindungi ketertiban masyarakat. Restriction for Protection of public order. Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftarkan badan hukum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan rumah ibadah untuk keperluan umum, dan pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana. 3. Pembatasan untuk melindungi kesehatan masyarakat Restriction for Protection of public healty.pembatasan diijinkan untuk kepentingan kesehatan masyarakat dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk mengintervensi dalam mencegah terjadinya epidemik atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja seharian untuk menjadi anggota Asuransi kesehatan guna mencegah penyakit TBC. 4. Pembatasan untuk melindungi moral masyarakat Restriction for Protection of Morals. Justifikasi kebebasan memanifestasikan agama dan kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi. 115 Op cit, Novie Sugiharto, hal 15-16 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan sosial. Oleh karena itu, pembatasan tidak hanya diambil dari tradisi atau agama tertentu saja. Pembatasan ini dilakukan untuk tidak disembelih oleh keagamaan tertentu. 5. Pembatasan untuk melindungi kebebasan mendasar dan kebebasan orang lain Restriction for Protection of the fundamental rights and freedom of others. a. Proselytism penyebaran agama. Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, maka pemerintah dapat mencampuri kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas- aktivitas missionaris dalam rangka melindungi kebebasan orang lain agar tidak dikonversikan. b. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, dan pendidikan. Perlunya pengaturan pembatasan kebebasan beragama tidak hanya mengakomodasi kepentingan agama tertentu, akan tetapi untuk melindungi ketertiban masyarakat yang lebih luas. Kasus yang biasanya terjadi dalam hubungan antar warga negara terkait kehidupan beragama adalah proselytism yang dilakukan dengan tidak etis, penodaan agama, dan penyalahgunaan agama. Proselytism yang dilakukan dengan tidak etis merupakan paksaan untuk berpindah agama. Proselytism yang merupakan pemaksaan, selain dilarang dalam UUD negara tertentu, juga dilarang dalam Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam, yang menyatakan: “Dilarang untuk menggunakan pemaksaan dalam bentuk apa pun kepada manusia atau untuk memanfaatkan kemiskinan atau ketidaktahuannya guna mengubah kepercayaannya ke suatu agama atau ateisme. 116 116 Op cit, Fatmawati, hal 506 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Berdasarkan alasan di atas, maka negara sebagai pihak yang berhak untuk melakukan pembatasan dapat mengeluarkan peraturan berbentuk undang-undang. Pemerintah Indonesia telah mengatur pembatasan kebebasan beragama melalui UU Nomor 1PNPS1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan DanAtau Penodaan Agama yang sudah diundangkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1969. Bahkan UU ini, memerintahkan pemerintah untuk memasukkan pasal baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana menjadi pasal 156a yang berbunyi : 117 Dengan adanya pembatasan melalui undang-undang ini, banyak masyarakat yang merasakan bahwa hal itu merupakan kesewenang- wenangan pemerintah sebagai penguasa yang menimbulkan diskriminasi melalui pemidanaan dan penyesatan kelompok minoritas dari suatu agama resmi. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 118 bahkan lebih tegas Novie sogiharti mengatakan bahwa 119 117 Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 1PNPS Tahun 1965 118 Op cit, Frans H Winarta, hal 86 119 Op cit, Novie Sugiharti, hal 15 Negara sama sekali tidak berhak menentukan mana agama resmi dan yang tidak resmi, mana agama induk dan agama sempalan. Negara juga tidak berhak mengklaim kebenaran agama mayoritas dan mengabaikan kelompok minoritas. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Berangkat dari alasan itu maka pada tanggal 20 Oktober 2009 ada upaya dari beberapa orang dan yayasan melakukan Pengujian Undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi. Hal yang sangat dipertentangkan dari pengujian ini menurut pemohon adalah bahwa negara telah mencampuri kebebasan beragama masyarakat dengan melakukan pembatasan yang sangat bertentangan dengan Pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 28I ayat 1, dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 jo. Pasal 18 ayat 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik . 120 Setelah menerima permohonan dan memeriksa, Mahkamah Konstitusi menemukan beberapa fakta hukum yang menjadi perselisihan hukum antara pihak, yakni: Dari hasil putusan ini kita dapat melihat bagaimana bentuk pembatasan undang-undang dasar yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya menjawab pertanyaan apakah ada kebebasan tanpa batas di Indonesia? 121 120 Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc cit, hal 77 121 M. Atho Mudzhar, Pengaturan Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama di Indonesia dan Berbagai Negara, Padang: 2010, hal 16-17 A. Undang-undang ini dinilai inkonstitusional, karena: 1. Tidak memenuhi syarat formal legislasi karena dibentuk pada masa Demokrasi Terpimpinmasa revolusi dan diberi bentuk hukum yang tidak sesuai dengan UUD 1945; 2. Menimbulkan diskriminasi karena adanya pembatasan mengenai sejumlah agama yang diakui oleh negara; 3. Negara tidak berhak mencampuri urusan keyakinan beragama dalam hal menentukan penafsiran mana yang “benar” dan “salah”; 4. Tidak menjamin kebebasan beragama dan bertentangan dengan HAM karena dapat menghukum orang yang memiliki keyakinan berbeda dari penafsiran keagamaan yang diakui oleh negara; 5. Pembatasan yang dilakukan oleh negara hanya boleh dilaksanakan sebatas pada perilaku warga negara saja dan bukan membatasi keyakinan keberagamaan seseorang; UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 6. Melakukan kriminalisasi terhadap kebebasan beragama karena memberikan ancaman pidana atas dasar delik penyalahgunaan dan penodaan agama yang dapat digunakan oleh rezim berkuasa untuk menekan kaum beragama minoritas lainnya B. Undang-undang ini dinilai konstitusional, karena: 1. Membicarakan aturan penyalahgunaan dan penodaan agama, bukan untuk menghambat kebebasan beragama di Indonesia. 2. Kebebasan beragama bukanlah merupakan hal mutlak yang sebebasbebasnya melainkan juga harus tunduk pada pembatasan yang ada dalam Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. 3. Pengaturan dalam UU Pencegahann Penodaan Agama merupakan bentuk perlindungan negara untuk menjamin kerukunan dan toleransi beragama, sehingga tetap penting untuk dipertahankan. 4. Semata-mata ditujukan untuk memberikan jaminan perlindungan atas ketertiban umum bagi masyarakat Indonesia. 5. Jika tidak ada UU Pencegahan Penodaan Agama maka kebebasan beragama di Indonesia dapat disalahgunakan untuk saling hujat menghujat antara penganut satu agama dengan penganut agama lainnya, sehingga menimbulkan anarki. 6. Masih sangat dibutuhkan meskipun secara formal perlu diperbaiki, namun secara substansial masih relevan, sehingga dapat terus digunakan Berdasarkan fakta hukum diatas, Mahkamah Konstitusi memutuskan menyatakan bahwa menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Adapun salah satu alasan Mahkamah Konstitusi ialah: 122 Bahwa beragama dalam pengertian melaksanakan atau mengamalkan keyakinan merupakan ranah forum externum yang terkait dengan hak asasi manusia orang Bahwa secara historis perumusan Pasal 28J UUD 1945 dilatarbelakangi oleh dianutnya pendirian bahwa hak asasi manusia bukanlah hak tanpa batas, hak asasi manusia tidaklah bersifat mutlak. Berdasarkan penafsiran secara sistematis hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945 yang merupakan satu- satunya pasal yang mengatur tentang kewajiban asasi. Bahwa beragama dalam pengertian meyakini suatu agama tertentu merupakan ranah forum internum, merupakan kebebasan, merupakan hak asasi manusia yang perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah Pasal 28I ayat 4 UUD 1945. Negara dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan Pasal 28I ayat 4 UUD 1945 122 Ibid, hal 292-293 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA lain, terkait dengan kehidupan kemasyarakatan, dengan kepentingan publik, dan dengan kepentingan negara. Demikian pula tentang kegiatan penafsiran terhadap teks kitab suci suatu agama dalam rangka memperoleh suatu pemahaman sebagai bekal pengamalan merupakan asas forum internum, namun dengan sengaja “menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum” merupakan ranah forum externum karena telah terkait dengan hak asasi manusia orang lain, kehidupan kemasyarakatan, kepentingan publik, dan kepentingan negara. Sampai sejauh ini, sebenarnya tidak menjadi masalah dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, bahkan negara melalui Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Terkait dengan agama yang bersangkutan kegiatan itu sangat mulia karena merupakan ajakan beragama, ajakan melakukan kesalihan atau kebaikan. Namun demikian, manakala penafsiran atau kegiatan dimaksud bersifat menyimpang, maka hal tersebut akan membuat keresahan pemeluk agama yang bersangkutan, mengusik ketentramannya, dan mengganggu ketertiban masyarakat; Bahwa dengan pertimbangan itulah Mahkamah berpendapat bahwa negara berkepentingan untuk membentuk peraturan perundang-undangan, in casu UU Pencegahan Penodaan Agama, sebagai pelaksanaan tanggung jawabnya untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum. UU Pencegahan Penodaan Agama adalah implementasi dari pembatasan sebagaimana dimaksud Pasal 28J ayat 2 UUD 1945, yakni pembatasan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis Dari putusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan gambaran bahwa kebebasan beragama freedom of religion sebagai salah satu hak asasi manusia, bukanlah kebebasan yang bebas nilai, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial itu merupakan kewajiban asasi yang sejalan dengan hak asasi yang wajib dilaksanakan untuk terlaksananya penegakan ham yang adil. Kewajiban asasi yang menjadi batasan bagi hak asasi tidak selalui dimaknai sebagai tindakan negara yang diskriminasi. Melainkan negara bertindak sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban asasi sebagai perwujudan hak asasi manusia yang tidak merugikan siapapun. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Bersamaan dengan diberikannya hak atas kebebasan beragama, negara juga berhak memberikan pengaturan dan batas atas pelaksanaan kebebasan beragama. Pelaksanaan tersebut harus secara tegas dilakukan melalui hukum. Jadi, UU No.1pnps1965 adalah wujud kewajiban negara untuk mewujudkan hak asasi manusia, sehingga memberikan batasan hak asasi guna menjaga hak asasi orang lain. dan dengan adanya undang-undang ini bukti bahwa negara tidak melepaskan tanggung jawabnya dalam melaksanakan sila pertama pancasila, karena hubungan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

C. Pelaksanaan Jaminan Kebebasan Beragama