C. Tinjauan Tentang Negara Hukum.
Sebelum meninjau tentang negara hukum, perlu dibahas secara ringkas mengenai Negara. mempelajari apa yang dimaksud dengan negara, sifat-sifat
negara, dan apa yang menjadi tujuan dan fungsi negara. 1. Pengertian Negara.
Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik yang ditulis oleh Miriam Budiarjo mengutip beberapa pendapat para sarjana yaitu:
53
1. Roger H. Soltau :Negara adalah alat agency atau wewenang authority yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan
bersama, atas nama masyarakat 2. Harold J. Laski
:Negara adalah suatu masyarakat yang diintegerasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa
secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah sekelompok
manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara
kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat
memaksa dan mengikat.
3. Max Weber :Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
Jadi dari tiga pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa negara adalah suatu alat yang mempunyai daerah teritorial yang dapat memerintah dan
menuntut masyarakatnya untuk patuh terhadap penguasa atas dasar wewenang yang sah.
2. Sifat-sifat Negara Negara mempunyai sifat-sifat khusus atas dasar wewenang yang diberikan
oleh masyarakat. Sifat-sifat khusus itu adalah sifat memaksa, sifat
53
Miriam budiarjo, opcit, hal 39-40
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
monopoli, dan sifat mencakup semua. Sifat-sifat inilah yang membedakan negara dengan asosiasi atau organisasi lainnya.
1. Sifat memaksa, negara bertujuan mewujudkan rasa aman, dan mencegah timbulnya anarki dalam masyarakat. Oleh karena itu, negara
membuat peraturan agar ditaati, dalam penegakan peraturan tersebut pemerintah melalui polisi, tentara, dan lembaga lainnya memiliki sifat
memaksa yaitu dapat menggunakan kekerasan fisik secara legal. 2. Sifat monopoli, negara mempunyai monopoli dalam menetapkan
tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran politik dilarang hidup dan
disebarluaskan, oleh karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.
3. Sifat mencakup semua, negara dalam membuat peraturan perundang- undangan memberlakukan untuk semua orang terkecuali. Keadaan
demikian memang perlu, sebab kalau seseorang maupun kelompok dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas negara, maka usaha
negara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan akan gagal. 3. Tujuan dan Fungsi Negara
Negara dibentuk oleh masyarakat dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan akhir setiap negara adalah
mewujudkan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi rakyatnya. Tujuan negara pada umumnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu : 1 tujuan
negara dihubungkan dengan tujuan terakhir dari hidup manusia, yang sebetulnya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bukan bidang kenegaraan melainkan bidang eschatologie yaitu menyangkut hari kiamat 2 tujuan negara yang dihubungkan dengan kebutuhan kelompok
masyarakat secara empiris pada saat tertentu . Dari peninjauan secara empiris tentang tujuan negara dapat ditinjau
beberapa teori, yaitu teori Shang Yang, tujuan negara adalah kekuasaan demi kekuasaan , suatu negara kekuasaan, negara sebagai pusat dari segala kekuasaan.
Menurut teori Nicollo Machevelli bahwa tujuan negara adalah kemakmuran dan persamaan. Menurut teori Imannuel Kant, tujuan negara adalah menegakkan hak
dan kebebasan warga negaranya, yang berarti bahwa negara harus menjamin kedudukan hukum individu dalam negara itu.
Untuk mencapai tujuan negara maka negara harus mempunyai fungsi- fungsi. Menurut Miriam Budiarjo fungsi-fungsi mutlak yang dimiliki suatu negara
adalah:
54
1. Melaksanakan penertiban; untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus
melakukan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara sebagai stabilisator.
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini dianggap sangat penting, terutama bagi negara-negara baru.
3. Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4. Menegakkan keadilan; hal ini dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.
Adapun ajaran yang lain mengenai fungsi negara ialah menurut montesquieu yaitu negara bertugas sebagai 1 Fungsi Legislatif; membuat undang-undang, 2
Fungsi Eksekutif; melaksanakan undang-undang, 3 Fungsi Yudikatif;
54
Ibid, hal 26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengawasi agar peraturan ditaati. Pelaksanaan tugas ini menurut Van Volen Hoven masih belum lengkap maka ia mengajukan empat fungsi negara, yaitu:
1. Fungsi Regeling fungsi perundang-undangan 2. Fungsi Bestuur fungsi pemerintahan
3. Fungsi Rechtspraak fungsi kehakiman 4. Fungsi Politie fungsi kepolisian
Meninjau sifat, dan fungsi negara di atas telah tercerminkan bahwa negara membutuhkan hukum sebagai dasar pelaksanaan sifat, dan fungsi negara untuk
mencapai tujuan negara. Menurut Plato, yang dikutip oleh Nukhtoh Arfawie Kurde bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah yang diatur oleh
hukum.
55
Dan menurut Aristoteles yang dikutip oleh Nukhtoh Arfawie Kurde menyatakan suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan
konstitusi dan berkedaulatan hukum.
56
Aristoteles berpendapat bahwa pengertian Negara Hukum itu timbul dari polis yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota dan berpenduduk
sedikit, tidak seperti negara sekarang ini yang mempunyai wilayah yang luas dan berpenduduk banyak. Dalam polis itu segala urusan negara dilakukan dengan
Bagi, Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaan yang
menetukan baik-buruknya suatu hukum, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja . Pendapat inilah yang pertama sekali
memperkenalkan negara hukum dan ajaran inilah yang sampai sekarang menjiwai negarawan untuk menciptakan suatu negara hukum.
55
Nuktoh Arfawie Kurde, op cit, hal 14
56
Ibid, hal 14
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
musyawarah, di mana seluruh warga negaranya ikut serta dalam penyelenggaraan negara.
57
Dalam perkembangannya, perumusan negara hukum selanjutnya dikenalkan oleh Imanuel Kant, sejalan dengan lahirnya faham liberalisme yang
menentang kekuasaan absolut dari para raja. Imanuel kant memberikan gambaran tentang negara hukum berfungsi sebagai penjaga malam, artinya tugas negara
hanya menjaga hak-hak rakyat jangan diganggu atau dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat negara tidak boleh ikut campur tangan, negara hanya sebagai
nachtwachters staat. Lebih lanjut Aristoteles mengatakan, aturan konstitutional dalam negara
berkaitan secara erat, juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum, selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab
itu supremasi hukum adalah sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata- mata sebagai keperluan yang tidak layak.
58
Dalam pandangan Imanuel Kant negara tidak mungkin ikut campur tangan dalam urusan individu warganya. Akan tetapi tuntutan perkembangan masyarakat
menghendaki paham liberalisme itu tidak bisa dipertahankan lagi, sehingga negara terpaksa harus ikut campur tangan dalam urusan kepentingan rakyat. Hanya saja
campur tangan itu masih menurut hukum-hukum yang sudah ditentukan, sehingga lahirlah negara hukum formil. Dari pandangan ini, terlihatlah jelas bahwa negara
hukum yang dikhendaki adalah sebuah negara yang memiliki unsur-unsur: 1 perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, 2 pemisahan kekuasaan.
57
Ibid, hal 16
58
Ibid, hal 17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada negara hukum formil sebagaimana dikemukakan oleh F.J. stahl yang dikutip oleh Nukhtoh Arfawie Kurde unsur-unsurnya bertambah menjadi empat,
yaitu:
59
1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia 2. Pemisahan kekuasaan
3. Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang- undangan
4. Adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri Kedua unsur terdahulu tidak boleh dipisahkan satu sama lain, karena kedua-
duanya mempunyai hubungan yang erat. Pemisahan kekuasaan itu justru diadakan untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
60
A.V. Dicey salah seorang pemikir Inggris yang mengemukakan tiga unsur utama negara hukum yang dikutip oleh Nukhtoh Arfawie Kurde , yaitu:
Konsep negara hukum di atas berkembang di Eropa kontinental sedangkan Di Inggris serta negara-negara
Anglo Saxon lainnya berkembang pengertian Rule of Law. Di Inggris ide negara hukum sudah terlihat dalam pikiran John Locke,
yang membagi kekuasaan dalam negara ke dalam tiga kekuasaan, antara lain membedakan antara penguasa pembentuk undang-undang dan pelaksana undang-
undang, dan berkait erat dengan konsep rule of law yang berkembang di inggris pada waktu itu. Di Inggris rule of law dikaitkan dengan tugas-tugas hakim dalam
rangka menegakkan rule of law.
61
59
Ibid, hal 18
60
Moh. Kusnardi,Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat studi hukum tata negara UI, 1976, hal 76
61
Nukhtoh Arfawie Kurde, op cit, hal 18-19
1. Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara hukum kedaulatan hukum.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Equality Before the Law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam
kualifikasinya sebagai pejabat negara.
3. Constitution Based on Individual Rights, artinya konstitusi itu bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi
manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak-hak asasi itu harus dilindungi.
Dari rumusan di atas, tercermin adanya pengakuan kedaulatan hukum atau supremasi dari hukum untuk membatasi kekuasaan-kekuasaan penguasa. Dengan
demikian, maka tujuan dari rule of law pada hakekatnya ialah melindungi individu terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang.
Dari konsep negara hukum di atas yaitu rechtstaat dan rule of law dapat kita identifikasi perbedaan dan persamaan antara keduanya. Kedua konsep
tersebut sama-sama menekankan perlindungan hak-hak asasi manusia. Untuk mencapai itu perlu dilakukan pembatasan ataupun pemisahan kekuasaan karena
dengan itu dapat diminimalkan sekaligus mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia. Sedangkan perbedaannya terletak dalam lembaga peradilannya.
Keduanya menawarkan lingkungan yang berbeda: pada konsep rechtstaat terdapat lembaga peradilan admionistrasi yang merupakan peradilan yang berdiri sendiri,
tetapi dalam konsep the rule of the law tidak terdapat peradilan administrasi sebagai lingkungan yang berdiri sendiri karena menganggap sama kedudukannya
di depan hukum sehingga bagi warga negara maupun pemerintah harus disediakan peradilan yang sama.
Pada abad ke XX telah muncul istilah welfare state sebagai reaksi atas konsep negara hukum di atas. Lahirnya konsep negara hukum rechtstaat yang
begitu revolusioner menentang absolutisme telah melahirkan pemisahan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kekuasaan yang meletakkan pemerintah pada posisi di bawah parlemen. Baik rechtstaat maupun rule of law yang lahir pada abad ke XIX dan yang menitik
beratkan individualisme telah menjadikan pemerintah sebagai penjaga malam nachwachterstaat yang lingkup tugasnya sangat sempit, terbatas pada
pelaksanaan keputusan-keputusan parlemen yang dituangkan dalam undang- undang. Di dalam konsep negara hukum abad XIX itu pemerintah dituntut pasif
dalam arti hanya menjadi wasit atau pelaksana berbagai keinginan takyat yang dituangkan dalam undang-undang oleh parlemen. Kekuasaan pemerintah dibatasi
secara ketat agar tidak terjerumus pada pola absolutisme seperti sebelum lahirnya konsep negara hukum. Pembatasan itu dituangkan di dalam konstitusi sehingga
paham negara hukum berkait erat dengan konstitusionalisme. Konstitusionalisme menurut Carl J. Friedrich yang dikutip oleh Moh. Mahfud MD dalam bukunya
Hukum dan pilar-pilar demokrasi,
62
Setelah perang dunia I, konsep negara hukum formal mulai mendapat gugatan karena ternyata telah menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di
tengah-tengah masyarakat. Individualisme liberal yang mendasari konsep tersebut telah menyebabkan dominannya para pemilik modal dalam lembaga perwakilan
rakyat karena dengan kekayaan yang dimiliki mereka dapat merekayasa pemilu merupakan gagasan bahwa pemerintah
merupakan suatu kumpulan aktivita yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang memberi jaminan bahwa
kekuasaan tidak dapat disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas memerintah. Konsep negara demikianlah yang disebut negara hukum formal.
62
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta, Gama Media, 1999, hal 129
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
untuk mengisi parlemen sehingga wakil-wakil yang terpilih adalah dari kalangan mereka.
Menurut Soekarno dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi
63
Selanjutnya soekarno menjelaskan bagaimana cara kaum pemilik modal masuk dalam parlemen.
djilid pertama cetakan ketiga, yaitu:
para pemilik modal muncul karena mereka mempunyai perusahaan-perusahaan, mereka punya perniagaan, punya pertukangan. Untuk suburnya dan selamatnya
mereka punya perusahaan, perniagaan, dan pertukangan itu, perlulah mereka mendapat kekuasaan. Mereka sendirilah yang lebih tahu mana undang-undang,
mana aturan-aturan, mana tjara pemerintahan, jang paling baik buat kepentingan mereka,dan bukan kaum radja, bukan kaum ningrat, bukan kaum penghulu agama.
64
Parlemen yang didominasi oleh kaum pemilik modal ini kemudian membuat produk hukum yang menguntungkan kaum kapitalis sehingga
Kekuasaan yang masih ada di tangan raja, dibentengi oleh kaum ninggrat dan kaum penghulu agama. “Welnu” kata kaum burdjuis, “kekuasaan itu harus
direbut” tetapi buat merebut, orang harus mempunyai kekuatan Padahal kaum burdjuis belum mempunyai kekuatan itu “nah” kata kaum burjuis sekali lagi,
“kita memakai kekuatan rakyat-djelata” dan begitulah maka rakyat-djelata itu oleh kaum burdjuis lalu diajak bergerak, diabui matanya, bahwa pergerakannya
itu ialah untuk mendatangkan “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan” “Liberte, Fraternite, Egalite” adalah semboyannya pergerakan burdjois memakai
tenaga rakyat itu.
Rakyat menurut, ja, rakyat berkelahi mati-matian Apakah sebabnya rakyat mau diajak bergerak? Sebabnya ialah bahwa nasibnya rakyat di bawah pemerintahan
otokrasi itu adalah nasib jang sengsara sekali, dan bahwa rakyat itu masih kurang sadar jang ia hanya mendjadi perkakas burdjuis sahadja.
Pergerakan menang Radja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu agama runtuh, pendek kata: otokrasi runtuh, diganti dengan cara pemerintahan baru yang
dinamakan “demokrasi”. Di negeri diadakan parlemen, dan “rakyat boleh mengirim utusan ke-parlemen itu”. Tjara pemerintahan inilah jang kini dipakai
oleh semua negeri di Eropah Barat dan Amerika.
63
Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta: Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal 171
64
Ibid, hal 172
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
eksploitasi dari kaum kaya kepada kaum tak punya menjadi mempunyai landasan hukum. Menghadapi kenyataan ini maka pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa,
karena menurut prinsip negara hukum formal pemerintah hanya bertugas menjalankan keputusan-keputusan oleh parlemen tanpa boleh campur tangan
terhadap apa yang dilakukan masyarakat sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang.
Kenyataan ini menjadi pendorong ketidakpuasan sehingga muncullah gagasan negara hukum material welfare state. Gagasan ini juga didorong seperti
ekses-ekses industrialisasi dan sistem kapitalis, tersebarnya paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata serta kemengan beberapa
partai sosialis di eropa.
65
Menurut gagasan ini, cakupan perlindungan hak asasi semakin diperluas. Karena, dalam paham ini perlindungan juga diberikan sampai kepada hak-hak
sosial dan ekonomi. Untuk itu pemerintah diberikan kewenangan yang lebih luas dengan freises ermessen, yakni kewenangan untuk turut campur dalam berbagai
kegiatan masyarakat dengan cara-cara pengaturan, penetapan, dan materiile daad.
Gagasan ini mendorong pemerintah agar aktif dan bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakatnya sehingga harus ikut campur
tangan dalam kegiatan masyarakat.
66
65
Moh. Mahfud MD, op cit, Hal 130
66
Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III HUBUNGAN KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM