Pemodelan spasial untuk penentuan lokasi instalasi pengolahan air limbah (ipal) batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah

(1)

PEMODELAN SPASIAL UNTUK PENENTUAN LOKASI

INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) BATIK

DI KOTA PEKALONGAN, JAWA TENGAH

PUTRI YASMIN NURUL FAJRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pemodelan Spasial untuk Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013 Putri Yasmin Nurul Fajri NIM F451110091


(4)

RINGKASAN

PUTRI YASMIN NURUL FAJRI. Pemodelan Spasial untuk Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan YULI SUHARNOTO.

Kota Pekalongan terletak di Pantai Utara Pulau Jawa, dengan letak astronomis

antara 6°50’44’’LS dan 109°37’55’’ BT serta 6°55’44’’ LS dan -109°42’19’’ BT. Pada tahun 2011 tingkat kepadatan penduduk Kota Pekalongan mencapai 7.027 orang/km2 dengan 76% dari penduduk Kota Pekalongan bekerja di sektor industri yang 69,5% diantaranya bekerja di industri batik. Jumlah industri pada tahun 2011 mencapai 2.916 unit yang mencakup industri kecil hingga industri besar. Sebanyak 99,8% industri di Kota Pekalongan didominasi oleh industri kecil dengan 83,1% diantaranya bergerak dibidang industri tekstil batik atau printing. Dari keseluruhan industri batik di Kota Pekalongan, hanya 0,6% industri yang memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) batik dan selebihnya mengalirkan air limbah batiknya ke badan air (saluran drainase dan kali). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada tahun 2003, pemerintah Kota Pekalongan telah membangun IPAL batik di Kelurahan Jenggot dan pada tahun 2009 dibangun IPAL batik di Kelurahan Kauman. Akan tetapi, lokasi dan kapasitas IPAL tersebut dinilai kurang efektif dalam menanggulangi debit air limbah batik diseluruh Kota Pekalongan yang mencapai 3.131 m3/hari. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menentukan lokasi IPAL batik yang paling tepat di Kota Pekalongan melalui pembuatan model menggunakan ArcObject. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini meliputi identifikasi pengaruh limbah batik terhadap kualitas badan air di Kota Pekalongan, menentukan prioritas kriteria – kriteria lokasi IPAL batik di Kota Pekalongan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process), membuat program penentuan lokasi IPAL yang sesuai dengan menggunakan ArcObject melalui bahasa pemrograman VBA (Visual Basic for Application) dan menentukan lokasi yang paling tepat untuk pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) di Kota Pekalongan.

Dalam penelitian ini, diperoleh masalah lingkungan yang dihadapi oleh Kota Pekalongan terkait dengan limbah batik diantaranya adalah terlampauinya beberapa baku mutu parameter kualitas perairan yang mengakibatkan meningkatnya sedimentasi perairan, blooming enceng gondok, keruhnya badan air dan matinya beberapa organisme perairan. Berdasarkan studi literatur, diketahui kriteria – kriteria IPAL batik yang meliputi kriteria teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan.

Dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), prioritas kriteria tersebut secara berurutan adalah: beban lingkungan, debit limbah, kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, ketersediaan energi dan ekonomi. Keseluruhan prosedur penentuan lokasi IPAL batik tersebut terangkum dalam suatu program model spasial yang dibangun menggunakan ArcObject. Berdasarkan hasil keluaran program dan hasil analisis, diperoleh enam lokasi IPAL yang tepat di Kota Pekalongan. Keenam lokasi IPAL batik tersebut berada di Kelurahan Jenggot, Kelurahan Kauman, Kelurahan Tirto, Kelurahan Pabean, Kelurahan Landungsari dan Kelurahan Degayu.

Kata kunci: Batik, Limbah batik, Instalasi Pengolahan Air Limbah Batik, Pemodelan spasial


(5)

SUMMARY

PUTRI YASMIN NURUL FAJRI. Spatial Modelling to Determine The Fit Location of Batik Waste Water Treatments in Pekalongan City, Central Java. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO and YULI SUHARNOTO.

Pekalongan located at North Java Beach in 6°50’44’’S and 109°37’55’’E,

6°55’44’’ S and -109°42’19’’ E. In 2011, population density of Pekalongan was 7,027 individu/km2 and 76% of the societies work in industrial sector with 69.5% of them work in industrial batik sectors. The total of industries in 2011 was 2,916 unit (small and medium industrial scale). The 99.8% of industries in Pekalongan are dominated by small scale industries with 83.1% of them were batik industries. In Pekalongan, it is only 0.6% of all textile industries which have wastewater treatment plants and the others textile industries disposed their wastewater into water bodies directly. For solving that problems, in 2003, The government of Pekalongan built the batik wastewater treatment plant in Jenggot and in 2009, it is continued build the batik wastewater treatment plant in Kauman. However, the locations and the capacities of the wastewater treatment plants could not handle the debit of wastewater from whole district in Pekalongan. Based on the reason, this research aimed to determine the best location of batik wastewater treatment plant by building a model using ArcObject. The specific objective of this research consist of indentified the impact of batik wastewater to water bodies qualities, determined the criteria of batik wastewater treatment, arrange the criteria of batik wastewater treatment using analytical hierarchy process, built a model to determine the best location of batik wastewater treatment plant and determined some the best location of batik wastewater treatment in Pekalongan.

This research informed that the environmental problems due to batik wastewater in Pekalongan affected the water bodies quality. There are some water quality parameters were not comply to the The Government Regulations No. 82/2001. It implied to the increase of sedimentation, blooming algae, decrease of turbidity and the death of terestrial water biota. Based on literature study, the criteria of batik wastewater treatment consist of technical criteria, social, economy and environment.

By using the AHP method, this research found that the priorities of wastewater are environmental load, wastewater debit, poppulation density, education, energy and economy. Whole procedures of determine the location for batik waste water treatment plant were resumed as a model using ArcObject. Based on the output of the program and analysis result, the result of the research recommended six location for batik wastewater treatment plant in Pekalongan. They are Jenggot, Kauman, Tirto, Pabean, Landungsari and Degayu district.

Keywords: Batik, Batik wastewater, Batik Wastewater Treatment Plant, Spatial modelling


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

PEMODELAN SPASIAL UNTUK PENENTUAN LOKASI

INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) BATIK

DI KOTA PEKALONGAN, JAWA TENGAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(8)

Judul Tesis : Pemodelan Spasial untuk Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah

Nama : Putri Yasmin Nurul Fajri

NIM : F451110091

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Arie Dr Ir Yuli Suharnoto, MEng

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr Satyanto K Saptomo, STP, MSi


(9)

Judul Tesis : Pemodelan Spasial untuk Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah

Nama : Putri Yasmin Nurul Fajri NIM : F451110091

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini ialah : Pemodelan Spasial untuk Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini, diantaranya:

1. BKLN KEMENDIKNAS atas beasiswa yang diberikan kepada penulis;

2. Bapak Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc. dan Bapak . Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng. selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan; 3. Pemerintah Daerah Kota Pekalongan (BAPEDA, KLHD, PU dan

DEPERINDAGKOP Kota Pekalongan) yang telah memberikan dukungan dan memberikan data penelitian;

4. Bapak Umar Saleh dan Ibu Royinah Zakaria selaku orang tua Penulis; 5. Putri Balqies, ST yang telah memberi pengetahuan penulis mengenai batik; 6. Rizky Oktavian, S.Tp. yang telah memberikan bimbingan dan bantuan dalam

terlaksananya penelitian ini;

7. Chandra Wangsa S, S.Kom. dan Yousef Esmaeili dari forum Gisarea yang telah memberikan pengarahan mengenai ArcObject;

8. Teman – teman SIL 2011 yang telah memacu penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

9.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013 Putri Yasmin Nurul Fajri


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Karakteristik air limbah batik 3

Karakteristik Lokasi IPAL Batik Kota Pekalongan 7

Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah Tekstil 10

Kriteria Penentuan Lokasi IPAL 11

Analytical Hierarchy Process 12

Penggunaan GIS pada penentuan lokasi IPAL 13

Penggunaan ArcObject pada penentuan lokasi IPAL 15

3 METODE 16

Bahan 17

Alat 18

Identifikasi pengaruh limbah batik terhadap kualitas badan air di Kota

Pekalongan 18

Penentuan kriteria lokasi IPAL batik 19

Persiapan Data 19

Penilaian kriteria menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process) 22 Perancangan Model Penentuan Lokasi IPAL yang Tepat 25 Penentuan Lokasi yang Paling Tepat untuk Pembangunan IPAL Batik 26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Pengaruh limbah batik terhadap kualitas badan air di Kota Pekalongan 30 Penentuan prioritas kriteria lokasi IPAL batik menggunakan AHP 38 Identifikasi kriteria lokasi IPAL batik di setiap kelurahan di Kota

Pekalongan 43

Pengembangan model spasial penentuan lokasi IPAL batik 52 Lokasi yang Paling Tepat untuk Pembangunan IPAL Batik 56

5 SIMPULAN DAN SARAN 72

 Simpulan 72

 Saran 72

DAFTAR PUSTAKA 74

LAMPIRAN 79


(12)

DAFTAR TABEL

1. Penggunaan logam berat pada proses pewarnaan batik. 7

2. Penggunaan SIG dalam penentuan lokasi instalasi pengolahan air limbah 14

3. Penerapan ArcObject dalam mengatasi permasalahan lingkungan 16

4. Skala penilaian perbandingan berpasangan 23

5. Ilustrasi perbandingan berpasangan 24

6. Angka kepadatan penduduk di Kota Pekalongan tahun 2011. 27

7. Penggunaan lahan di Kota Pekalongan. 29

8. Nilai rata-rata parameter fisika kimia sungai – sungai (2007-2011). 34

9. Referensi spesifikasi kriteria teknis lokasi IPAL 40

10. Studi literatur tingkat prioritas kriteria sosial, ekonomi dan lingkungan. 43

11. Hasil analisis bobot fokus terhadap tingkat kepentingan kriteria pada

penentuan lokasi IPAL batik. 44

12. Beban lingkungan tiap sungai di hilir Kota Pekalongan. 46

13. Beban lingkungan tiap sungai yang mengalir di Kelurahan Kuripan Lor

dan Landungsari. 46

14. Kelas kriteria lokasi IPAL batik 54

15. Nilai bobot setiap alternatif 60

16. Spesifikasi lokasi IPAL batik yang direkomendasikan 70

DAFTAR GAMBAR

1. Jarak rumah terhadap industri batik di Kelurahan Jenggot Tahun 2008. 9

2. Tahapan penelitian. 17

3. Peta prediksi daerah rawan genangan di Kota Pekalongan tahun (a) 2031, (b) tahun 2051, (c) tahun 2071 dan (d) tahun 2092 20

4. Peta penentuan status beban lingkungan di Kota Pekalongan. 22

5. Diagram alir pembuatan program penentuan lokasi IPAL batik. 26

6. Kondisi banjir rob Pekalongan. 30

7. Kondisi saluran drainase di Kali Bremi (a) dan kondisi air sawah di dekat

Kali Bremi (b) 31

8. Aktivitas pencucian batik di Kali Asem Binatur. 32

9. Pembuangan limbah cair pabrik batik dan printing ke bantaran Sungai

Pekalongan. 35

10. Kondisi perairan Sungai Bremi. 36

11. Kondisi Sungai Meduri 36

12. Struktur hirarki parameter penentuan lokasi IPAL batik. 42

13. Distribusi besaran air limbah barik yang tidak tertangani di Kota

Pekalongan. 45

14. Sebaran beban lingkungan di setiap kelurahan di Kota Pekalongan. 47

15. Sebaran kepadatan penduduk di setiap kelurahan di Kota Pekalongan. 48

16. Sebaran penduduk dengan pendidikan terakhir lebih dari sama dengan

SMA di setiap kelurahan di Kota Pekalongan. 50

17. Sebaran industri besar/pasar/swalayan di setiap kelurahan di Kota


(13)

18. Sebaran jumlah pemberian subsidi pemerintah Kota Pekalongan di setiap

kelurahan. 52

19. GUI Program penentuan lokasi IPAL batik. 54

20. Tahap persiapan data. 55

21. Diagram alir penentuan peta kriteria 56

22. Peta kriteria. 57

23. Peta kandidat lokasi. 59

24. Kelurahan yang terhubung dengan lokasi IPAL di Kelurahan Tirto. 62

25. Peta kandidat lokasi di Kelurahan Tirto. 63

26. Peta kandidat lokasi di Kelurahan Landungsari. 64

27. Kandidat lokasi di zona Barat Laut Kota Pekalongan. 65

28. Peta kandidat lokasi di Kelurahan Pabean. 67

29. Kelurahan yang terhubung dengan lokasi IPAL di Kelurahan Degayu. 68

30. Peta kandidat lokasi di Kelurahan Degayu. 69

31. Peta jaringan perpipaan air limbah batik setiap kelurahan. 71

32. Hasil overlay dengan peta RT / RW Kota Pekalongan. 73

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta penggunaan lahan di Kota Pekalongan 79

2. Manual penggunaan model penentuan lokasi IPAL 88

3. Modul yang digunakan pada list data 93

4. Modul yang digunakan pada proses spasial 94


(14)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Batik merupakan tekstil yang berasal dari kerajinan tangan tradisional dan diwariskan kepada generasi di Jawa dan sekitarnya sejak awal abad kesembilan belas. Berdasarkan definisinya, batik merupakan bahan yang dihiasi oleh pola titik-titik dan garis yang dihasilkan oleh penerapan lilin panas dengan menggunakan canting tulis sebagai pena-nya. Pada dasarnya, motif yang diterapkan melambangkan status sosial, masyarakat lokal, alam, sejarah dan warisan budaya (UNESCO, 2009). Akan tetapi, pada perkembangannya, terjadi pengembangan citra penggunaan batik yang sebelumnya memberi kesan formal, menjadi kesan formal dan informal (Permata, 2012). Karena perkembangan citra penggunaan batik dan dengan ditetapkannya batik sebagai warisan budaya Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009, terdapat kecenderungan peningkatan permintaan batik di Indonesia (Oparinde, 2012). Meskipun ada beberapa kota di Indonesia yang memproduksi batik seperti Yogyakarta, Solo, Cirebon, Tuban dan Lasem, tetapi Pekalongan dikenal sebagai kota penghasil batik terbesar (Paramita, 2010).

Pekalongan sebagai salah satu kota di Jawa Tengah dikenal sebagai sentra produksi batik di Indonesia. Industri batik merupakan industri utama yang berperan terhadap sektor ekonomi Kota Pekalongan selain sektor perikanan dan kelautan (Paramita, 2010). Meskipun terdapat peningkatan pendapatan masyarakat Kota Pekalongan dengan meningkatnya permintaan pasar akan batik tetapi, kota ini juga menghadapi masalah lingkungan yang cukup serius, terutama pada kualitas badan air. Hampir setiap sungai di Kota Pekalongan memiliki kualitas air yang buruk. Industri tekstil di Kota Pekalongan merupakan faktor utama penyebab tercemarnya sungai – sungai yang digunakan oleh masyarakat di kota ini.

Nicholson (2005) menyebutkan bahwa tercemarnya hampir seluruh sungai – sungai di Kota Pekalongan merupakan dampak dari pembuangan limbah cair industri tekstil batik printing dan sablon ke badan air. Salah satunya terjadi di Sungai Banger, pada tahun 1992 terdapat tiga pabrik tekstil batik printing dan sablon di bantaran Sungai Banger yaitu, PT Kesamtex, PT Bintang Triputratez dan CV Ezritek. Ketiga pabrik ini pada tahun 1995 telah meningkatkan produk operasional dan membuang limbah cair ke Kali Banger. Pembuangan limbah cair ini kemudian memperparah kondisi Kali Banger. Dampak yang paling nyata adalah adanya perubahan warna dan timbulnya bau dari air, kematian ikan dan minum ternak kecil di sekitar kali. Masyarakat yang paling merasakan dampak pencemaran kali tersebut adalah masyarakat di Kelurahan Dekoro yang letaknya dekat dengan Kali Banger. Pada tahun 1998, masyarakat Kelurahan Dekoro tidak dapat menggunakan air karena pencemaran air yang serius. Hampir semua sumur masyarakat di kelurahan tersebut telah tercemar (Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup, 2007).

Berdasarkan penelitian Nicholson (2005), pencemaran kali di Kota Pekalongan merupakan akibat pembuangan limbah air pada proses pewarnaan batik dan sablon di sepanjang produksi. Pencemaran tersebut berdampak pada parameter kualitas air seperti COD (Chemical Oxygen Demand), kandungan tembaga, kandungan Fosfor, kandungan Nitrogen dan lain-lain berada di atas ambang baku mutu menurut Keputusan Menteri


(15)

2

Negara Lingkungan Hidup Nomor: 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air (Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup, 2007).

Dengan mengacu pada fakta-fakta sebagaimana disebutkan pada penjelasan di atas, pada tahun 2003 Pemerintah Pekalongan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) batik yang terletak di Kelurahan Jenggot dan pada tahun 2009, Pemerintah Pekalongan membangun IPAL batik yang terletak di Kelurahan Kauman (Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup Kota Pekalongan, 2007). Namun, pembangunan IPAL batik terpadu tersebut dinilai belum memadai dalam menangani pencemaran air. Pusat penelitian mitigasi bencana Universitas Gajah Mada (2006) dalam Mardiatno (2012), melaporkan bahwa IPAL batik di Kelurahan Jenggot hanya bisa mencakup sekitar 400 Volume m3 per hari debit air limbah pembuangan. Sementara itu, total debit air limbah di Pekalongan meningkat tajam menjadi 700 Volume m3 per hari. Selain itu, keduanya IPAL di Kelurahan Jenggot dan Kelurahan Kauman tidak terletak pada lokasi yang dapat mencakup semua air limbah batik untuk seluruh produksi batik di Pekalongan.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, diperlukan penentuan lokasi IPAL batik yang tepat di Kota Pekalongan melalui perumusan karakteristik air limbah dari industri-industri batik dan penentuan kriteria lokasi IPAL batik yang tepat. Untuk mempermudah dalam penentuan lokasi IPAL batik tersebut maka digunakan pendekatan sistem informasi geografi (SIG) dengan pemrograman ArcObject menggunakan bahasa pemrograman VBA (Visual Basic for Application) dalam memetakan IPAL yang tepat pada daerah kajian. Penentuan lokasi IPAL tersebut menggunakan prinsip desentralisasi lokasi. Hal ini didasarkan pada Thomas (2009) yang menyatakan sentralisasi IPAL akan menyebabkan terjadinya kehilangan pada penyaluran air limbah menuju IPAL dan dapat mengakibatkan air limbah memasuki aliran sungai. Dengan demikian, solusi terkait permasalah limbah cair dari industri-industri batik di Kota Pekalongan dapat tercapai.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membangun program yang dapat menentukan lokasi IPAL batik yang paling tepat di Kota Pekalongan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi pengaruh limbah batik terhadap kualitas badan air di Kota Pekalongan

b. Menentukan prioritas kriteria – kriteria lokasi IPAL batik di Kota Pekalongan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process)

c. Membuat program penentuan lokasi IPAL yang sesuai dengan menggunakan ArcObject melalui bahasa pemrograman VBA (Visual Basic for Application), d. Menentukan lokasi yang paling tepat untuk pembangunan Instalasi Pengelolaan

Air Limbah (IPAL) di Kota Pekalongan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memudahkan penentuan lokasi IPAL batik dalam membangun IPAL batik. Dengan demikian, permasalahan limbah cair yang diakibatkan lokasi IPAL kurang tepat dapat ditangani dengan baik.


(16)

3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada persepsi bahwa pengelolaan limbah cair di Pekalongan hanya mencakup wilayah Kota Pekalongan. Adapun limbah batik dari wilayah Kabupaten Pekalongan dan sekitarnya yang terbawa oleh arus sungai diasumsikan termasuk tanggung jawab Kota Pekalongan. Asumsi ini didasarkan pada elevasi wilayah. Kota Pekalongan memiliki elevasi yang landai (Pemerintah Kota Pekalongan, 2011) sehingga, memudahkan kontaminan yang berasal dari daerah dengan ketinggian yang lebih tinggi terbawa oleh sungai hingga mendegradasi kualitas air permukaan di Kota Pekalongan. Dengan demikian, pertimbangan kondisi kualitas air permukaan yang telah ada perlu dilibatkan dalam penentuan lokasi IPAL batik.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik air limbah batik

Sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep- 51/Menlh/10/1995 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri, limbah cair didefinisikan sebagai limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Sementara itu, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Kawasan Industri menjelaskan bahwa air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair. Berdasarkan definisi tersebut, air hasil buangan dari limbah batik yang berasal dari kegiatan pembuatan batik hingga pencucian batik dikategorikan sebagai air limbah.

Pada proses pembuatan batik, digunakan beberapa jenis senyawa kimia diantaranya soda api (NaOH), Asam klorida (HCl), Hidrogen peroksida (H2O2),

Natrium ditonit (Na2S2O4), Natrium karbonat (Na2CO3) Natrium silikat Na2SiO3) dan

naftol sebagai pewarna kain. Berikut pengaruh ketujuh senyawa kimia tersebut terhadap manusia dan lingkungan (ICPC, 2010):

a. Soda api (Natrium hidroksida/ NaOH)

Pada proses pembuatan batik, soda api biasa digunakan untuk fiksasi pewarna, campuran warna untuk pewarna indigo dan naftol, untuk mengontrol tingkat keasaman dan zat campuran pada proses pengelantangan dengan hidrogen peroksida (H2O2).

Berdasarkan PP No. 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, soda api merupakan bahan yang bersifat iritan dan termasuk ke dalam bahan berbahaya dan beracun yang dapat digunakan di Indonesia. Selanjutnya, sesuai dengan PP No. 85 tahun 1999 tentang pengelolaaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) maka, sudah seharusnya hasil buangan dari soda api pada jumlah dan konsentrasi tertentu (51<LD50<500 mg/kg bb) disimpan, dikumpulkan, dimanfaatkan dan diangkut serta

diolah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan laporan ICPC (2010), keterpaparan terhadap soda api dalam jangka panjang dapat menyebabkan iritasi hidung, pneumonitis, kerontokan rambut sementara, edema interselular, erythema, pembusukan zat keratin, dan terbakar. Kontak dengan mata dapat mengakibatkan luka bernanah, perforasi, opasifikasi, dan kebutaan. Penghirupan atau penelanan dapat merusak sistem pernapasan dan gastrointestinal


(17)

4

dengan penyakit penyumbatan paru-paru yang tidak dapat disembuhkan, batuk-batuk, terbakar, kesulitan bernapas, koma dan bahkan kanker saluran esofagus/ kerongkongan. b. Asam klorida (HCl)

Berdasarkan PP No. 74/2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun HCl (asam klorida)termasuk dalam daftar bahan berbahaya dan beracun yang dapat digunakan di Indonesia. Karakteristik HCl adalah berwarna kekuningan dengan aroma kuat yang menusuk dan bersifat sangat korosif (ICPC, 2010). Dalam proses pembatikan, HCl banyak digunakan sebagai unsur saponifikasi pada zat warna indigosol. Saponifikasi adalah reaksi hidrolisis antara basa-basa alkali dengan asam lemak yang akan menghasilkan gliserol dan garam.

Agency for Toxic Substances and Desease Registry (2010) menjelaskan bahwa keterpaparan yang tinggi terhadap Asam klorida dapat menyebabkan kebutaan, bernapas dengan cepat, penyempitan bronkiolus, warna biru pada kulit, pengumpulan cairan di paru-paru, dan bahkan kematian, pembengkakan dan kejang pada tenggorokan dan mati lemas. Pada beberapa orang mungkin menyebabkan asma. Pada keterpaparan HCl untuk jangka panjang pada tingkat rendah dapat menimbulkan permasalahan pernapasan, iritasi pada mata dan kulit, serta perubahan warna pada gigi.

c. Natrium Nitrit (NaNO2)

Natrium nitrit biasanya berbentuk bubuk kristal putih kekuning-kuningan yang dapat dilarutkan dalam air. Roth et al. (1987) menyebutkan bahwa Natrium nitrit merupakan agen oksidasi yang kuat. Senyawa ini seringkali digunakan sebagai unsur oksidasi untuk pembentukan pewarna tangki (vat dye) Leuco menjadi bentuk yang tidak dapat dilarutkan (fiksasi). Penggunaan senyawa ini beresiko menyebabkan iritasi, mata merah dan sakit. Bila terhirup dapat menyebabkan keracunan, menyebabkan iritasi pada sistem pernapasan dan keracunan sistemik. Bila tertelan dapat mengiritasi mulut, saluran esofagus/ kerongkongan, perut, dll. Dalam jumlah yang melampaui batas dapat mempengaruhi darah dan pembuluh darah. Selain itu, paparan senyawa ini terhadap kulit dapat menyebabkan iritasi, kulit merah dan sakit.

d. Hidrogen peroksida (H2O2)

Agency for Toxic Substances and Desease Registry (2010) menyebutkan bahwa Hidrogen peroksida merupakan senyawa oksidasi kuat. Hidrogen peroksida bersifat mudah terbakar. Dalam industri batik, senyawa ini banyak digunakan untuk pengelantangan oksidatif pada katun pewarnaan dengan Indigo dan pewarna tangki (vat dyes). Penggunaan senyawa ini dapat beresiko iritan pada hidung, paru-paru, dan tenggorokan. Kontak pada mata dapat menyebabkan mata pedih dan berair serta kerusakan parah pada kornea. Paparan senyawa ini terhadap kulit dapat menyebabkan pemutihan atau pengelantangan sementara pada kulit. Hidrogen peroksida juga telah terbukti dapat menyebabkan kerusakan DNA (genetik) pada sistem pengujian manusia di laboratorium.

e. Natrium Ditionit (Na2S2O4)

Natrium ditionit atau yang biasa dikenal dengan Natrium hidrosulfit, berbentuk bubuk kristal putih dengan aroma belerang. Senyawa ini merupakan garam yang larut dalam air, dan dapat digunakan sebagai agen pereduksi dalam bentuk larutan encer. Senyawa ini dalam industri batik biasa digunakan sebagai pengelantangan reduktif pada


(18)

5 katun dan pereduksi pewarna tangki (vat dyes) serta Indigo ke dalam bentuk yang dapat larut dalam air. EPA (1997) menyebutkan bahwa Natrium Ditionit (Na2S2O4) bersifat

eksplosif. Penumpahan senyawa ini dengan campuran air dapat menciptakan api atau bahaya ledakan. Wadahnya dapat meledak jika dipanaskan. Jika terhirup, akan menyebabkan cedera parah atau kematian.

f. Natrium Karbonat (Na2CO3)

Natrium karbonat merupakan bubuk kristal putih yang dikenal juga sebagai abu soda. Natrium Karbonat (Na2CO3) dalam industri batik biasa digunakan untuk

menyesuaikan pH pada kolam pewarna, memperbaiki kemurnian pada pewarna dalam proses pewarnaan. International Programme on Chemical Safety (2013) menyebutkan bahwa senyawa ini dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan. Kontak yang melampaui batas dapat menyebabkan kerusakan pada dinding penyekat hidung. Cairan Natrium karbonat dapat menyebabkan iritasi parah atau terbakar pada kulit pada LD50

lebih dari 2000 mg/kg bb. g. Natrium silikat (Na2SiO3)

Natrium silikat (water glass) merupakan senyawa alkali yang kuat. Dalam industri batik, senyawa ini sering digunakan sebagai bahan pengikat untuk zat-zat pewarna reaktif dan sebagai stabilisator dalam proses pengelantangan dengan peroksida. Keterpaparan terhadap senyawa ini beresiko urtikaria sentuhan, iritasi parah, nyeri dan rasa terbakar hingga fibrogenesis pada paru-paru. Bila senyawa ini tertelan dapat menyebabkan nyeri seketika dan rasa terbakar yang parah pada saluran esofagus/ kerongkongan dan sistem gastrointestinal dengan muntah, mual, dan diare. Lebih lanjut, senyawa ini dapat menyebabkan pembengkakan dan kehancuran jaringan pada membran mukosa di mulut, tenggorokan, saluran esofagus/ kerongkongan, dan perut. h. Zat pewarna

Air limbah pada industri batik dapat dengan mudah dikenal karena warnanya yang berasal dari bahan pewarna yang digunakan pada proses pembuatan batik. Cemaran tersebut menghasilkan warna yang bervariasi tergantung pada jenis dan jumlahnya berdasarkan kapasitas produksinya. Zat warna yang paling banyak digunakan adalah naftol, zat warna azo dan warna reaktif deterjen yang banyak digunakan untuk pencucian meliputi deterjen kationik dan non-ionik. Polyvinil alkohol (PVA) juga digunakan sebagai pengganti kanji. Penggunaan PVA tersebut semakin menambah berat badan air limbah yang ada (Nugroho, et al., 2005).

Pewarna naftol biasanya digunakan bersama garam diazonium untuk mewarnai katun yang digunakan untuk batik dalam suhu ruang. Berdasarkan laporan ICPC (2010), pewarna Naftol dan Azo masih banyak digunakan sebagai pewarna batik meskipun pada tahun 1996 bahan pewarna ini telah dilarang di Uni Eropa karena sifat alamiah pewarna ini yang berbahaya dan karsinogen. Pada dasarnya, garam diazonium yang bersifat karsinogenik dapat diserap langsung bahkan melalui kulit yang sehat (Kusumawati, 2008). Dampak pencampuran dua zat ini diantaranya dapat menyebabkan keram dan nyeri perut, muntah, berkeringat, kerusakan hati, gangguan fungsi tekanan darah, radang ginjal, diare, anemia, sawan, dan kematian. Selain itu, dapat menyebabkan kemerahan parah dan nyeri.

Andarani (2010) menjelaskan bahwa pewarna azo yang biasa digunakan sebagai pewarna sintetis pada batik, dibedakan menjadi empat jenis yaiu, FD&C Red No. 2


(19)

6

(Amaranth) nomor indeks 16185, FD&C Yellow nomor indeks 5 (Tartrazine) No Indeks 191406, FD&C Yellow No 5 (Sunset Yellow) nomor indeks 1509856 dan FD&C Red No 4 (Panceau SX) nomor indeks 147008. Keempat jenis pewarna azo tersebut, dibedakan berdasarkan karakteristik warna yang dihasilkan dan campuran yang digunakan. Berikut perbedaan keempat pewarna azo tersebut :

o Amaranth termasuk golongan mono azo yang mempunyai satu ikatan N=N.

Amaranth berupa tepung berwarna merah kecoklatan yang mudah larut dalam air, menghasilkan larutan berwarna merah lembayang atau merah kebiruan. Selain itu juga mudah larut dalam propilonglikol, gliserol, dan larut sebagian dalam alcohol 95%. Agak tahan terhadap cahaya, asam asetat 10%, HCL 10-30%, dan NaOH 10%, sedangkan terhadap NaOH 30% kurang tahan dan menjadi agak keruh.

o Tartrazine merupakan tepung berwarna kuning jingga yang mudah larut dalam

air, menghasilkan larutan kuning keemasan. Kelarutanya dalam alkohol 95% hanya sedikit, dalam gliserol dan glikol mudah larut. Tartanizie tahan terhadap cahaya, asam asetat, HCL, dan NaOH 10%, NaOH 30% akan menjadikan warna berubah kemerah-merahan.

o Sunset Yellow termasuk golongan mono azo, berupa tepung berwarna jingga, sangat mudah larut dalam air, dan menghasilkan larutan jingga kekuningan dan mudah larut dalam gliserol dan glikol.

o Panceau SX berupa tepung merah, mudah larut dalam air dan memberikan

larutan berwarna jingga. Pewarna tersebut mudah larut dalam gliserol, glikol dan alkohol 95%. Sifat ketahanannya hampir sama dengan amaranth, sedikit luntur oleh asam asetat 10%, NaOH 30% akan membuat larutan berwarna kekuningan. Zat warna tekstil batik selain menggunakan zat warna seperti di atas, juga menggunakan logam berat sebagai pewarna sebagaimana tertera pada Tabel 1. Zat warna yang digunakan pada proses batik, merupakan suatu senyawa yang pada umumnya akan memberikan nilai COD dan BOD yang tinggi. Penghilangan zat warna dari air limbah tekstil akan menghasilkan OD 80-6000 mg/L dan COD 150-12000 mg/L. selain itu, terdapat Total Suspended Solid (TSS) 15 – 8000 mg/L dah Klorin 1000-16000 mg/L serta menghasilkan warna 50 - 2500 Pt-Co (KLHD Kota Pekalongan, 2010).


(20)

7

Pada dasarnya, sebelum tahun 1980, kondisi air kali di Kota Pekalongan dalam keadaan yang jernih (Nicholson, 2005). Akan tetapi, sejak tahun 1992, kondisi kali menjadi berwarna kecoklatan, kemerahan, kehitaman bahkan berwarna hitam pekat. Perubahan warna tersebut mengindikasikan telah terjadi pencemaran yang berasal dari bahan buangan air limbah batik yang berupa bahan anorganik dan organik .

Karakteristik air limbah batik didasarkan pada analisis mengenai zat yang digunakan dalam proses pembatikan dan dengan mengacu pada data yang diperoleh dari pencatatan kualitas air limbah batik di Kota Pekalongan oleh KLHD Kota Pekalongan tahun 2009-2012 serta dengan didukung oleh penelitian Junaidi (2006). Karakteristik air limbah dari industri batik dicirikan dengan konsentrasi fenol, COD, BOD, minyak dan lemak yang tinggi.

Karakteristik Lokasi IPAL Batik Kota Pekalongan

Pengolahan limbah industri batik pada umumnya dilakukan dengan menggunakan proses anaerobik dengan bentuk reaktor yang bersekat (anaerobic baffled reactor). Pemilihan proses ini menguntungkan karena cocok untuk daerah tropis dan memberikan kontak yang lebih baik antara lumpur aktif yang ada dengan air limbah (upflow dan downflow).

IPAL Batik di Kelurahan Jenggot

 Spesifikasi IPAL batik di Kelurahan Jenggot

Tujuan pendirian IPAL Jenggot menurut Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup (2007) adalah untuk mengatasi pencemaran air kali khususnya di Saluran Asem Binatur dari limbah sentra industri batik Kelurahan Jenggot Kecamatan Pekalongan Selatan. Selain itu, pendirian IPAL tersebut juga ditujukan untuk membantu permasalahan limbah dari para pengrajin batik yang berada disentra industri batik di Kelurahan Jenggot.

KLHD Kota Pekalongan (2010) menjelaskan bahwa pengelolaan IPAL Jenggot menggunakan sistem pengelolaan limbah secara alami dengan sistem rawa buatan. Pada Tabel 1 Penggunaan logam berat pada proses pewarnaan batik.

Tahapan Penggunaan Senyawa Jenis logam berat

Persiapan kain

Warna putih Titanium dioksida, Seng oksida, Seng sulfit, Timbal sulfide

Titaniun (Ti), Seng (Zn), Timbal (Pb) Pewarnaan Warna merah Besi oksida, Kadmium

merah, Timbal merah

Besi (Fe), Timbal (Pb) Warna biru Cobalt biru, Besi biru,

Tembaga Pthalocyanine

Co, Fe, Cu Warna kuning Seng kromat, Ferit

kuning, Kadmium liyhopone

Zn, Fe, Cd

Warna metalik Debu seng, Serbuk Tembaga

Zn,Cu Sumber : UNESO (2010)


(21)

8

sistem rawa buatan tersebut, terjadi pengolahan air limbah dengan sistem constructed wetland melalui proses fisika, kimia dan biologi yang bekerja secara alami yang berlangsung di dalam ekosistem bahan pengisi, air dan tumbuhan. Padatan tersuspensi dihilangkan dengan pengendapan di dalam bak sedimentasi dan penyaringan, Nitrogen amoniak dihilangkan dengan penguapan langsung ke atmosfer, penyerapan melalui reaksi pertukaran ion pada permukaan partikel bahan pengisi serta pengambilan oleh tanaman dan mikroorganisme untuk diubah menjadi Nitrogen nitrat. Nitrogen nitrat tersebut selanjutnya diambil oleh tumbuhan di sekitar akar selama periode pertumbuhan aktif. Nitrat juga dihilangkan dengan dinitrifikasi secara biologi yang dilanjutkan dengan pelepasan gas Nitro oksida dan Nitrogen fosfor molekuler ke atmosfer.

Fosfor dihilangkan dengan pengendapan secara kimia dan diadsorpsi dalam bentuk Ortophosphat, selanjutnya diserap oleh mineral dan fraksi organik dalam matrik bahan pengisi. Kemudian, logam berat dihilangkan melalui adsorpsi dan pengendapan serta pengambilan oleh tanaman. Keberadaan mikroorganisme dihilangkan secara alami dengan kematian, retensi, sedimentasi, penangkapan, radiasi, desikasi dan adsorpsi.

 Permasalahan IPAL batik di Kelurahan Jenggot

Walaupun telah beroperasi dari tahun 2003, IPAL Jenggot memiliki beberapa permasalahan yang telah menghambat pelaksanaan kegiatan pengolahan limbah cair yang berasal dari industri batik terpadu (Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup Kota Pekalongan, 2009).

a. Kapasitas IPAL

Permasalahan utama dari IPAL Jenggot adalah kapasitas IPAL yang tidak mencukupi bagi limbah batik di Kelurahan Jenggot dan sekitarnya. Air limbah dari industri batik terpadu di Kelurahan Jenggot telah tersalur dan terkumpul dalam aliran drainase serta dibuang ke Saluran Asem Binatur dengan debit 700 m3, yang terdiri dari 94 unit dari sentra industri batik skala kecil di Kelurahan Jenggot dan 12 unit dari sentra industri batik skala kecil di Kelurahan Kradenan. Akan tetapi, karena lahan yang tersedia hanya 3.900 m2 maka IPAL Kelurahan Jenggot hanya mampu mengolah limbah cair sebanyak 400 m3. Oleh karena itu, terdapat limpasan sebesar 300 m3 yang masih terbuang langsung ke badan kali.

b. Limbah masih bercampur dengan limbah rumah tangga, sehingga menambah beban bagi alat pengolah air limbah batik

c. Pintu air sering dibuka tutup oleh penduduk setempat, sehingga kadang mengganggu proses pengolahan

d. Terdapat sampah plastik di dalam limbah yang akan diolah, sehingga harus perlu dilakukan pembersihan sampah agar tidak sampai masuk menyumbat pompa

e. Dimensi tinggi sekat pada tahapan pre-treament hanya berukuran 3 meter, sementra debit limbah yang terjadi membutuhkan kapasitas yang lebih besar agar dapat berfungsi maksimal

f. Terdapat pipa distribusi yang tersumbat sehingga distribusi air tidak merata, akibatnya tanaman yang ada tumbuh tidak merata.

Menurut Nurdalia (2006), sebagian besar kapasitas buangan air limbah pada kawasan industri batik di Jenggot sebesar 600 liter sehari, sedangkan kapasitas buangan 601 – 1500 liter tiap harinya yaitu sebanyak 25%. Kapasitas buangan tersebut pada umumnya dilakukan oleh pengusaha batik cap dan sisanya adalah pengusaha atau buruh


(22)

9

yang menghasilkan sisa buangan air untuk mencuci plangkan (alat untuk menyablon kain batik).

 Jarak rumah terhadap industri batik

Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa sebagian besar industri-industri batik di Kelurahan Jenggot berada disekitar lingkungan masyarakat dan memiliki pola menyebar. Nurdalia (2006) menyebutkan bahwa sekitar 55 % rumah penduduk berada dekat dengan industri batik.

IPAL batik di Kelurahan Kauman

IPAL Kauman sebagai salah satu sarana pengolahan air limbah terpadu, mengolah air limbah batik dari sentra industri rumah tangga di Kelurahan Kauman sebelum dilepas ke lingkungan. Parameter kualitas air dan air limbah dinyatakan dalam himpunan nilai parameter kualitas air yang ditentukan agar badan air dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya dan menjaga kemampuan badan air dalam menampung air limbah tanpa menurunkan daya dukung perairan tersebut. Parameter kualitas air tersebut meliputi tiga aspek, yaitu parameter fisis, biologi dan kimiawi.

Menurut KLHD Kota Pekalongan (2009), air limbah diIPAL Kauman secara umum mengandung senyawa-senyawa organik, kandungan padatan tersuspensi dan minyak/lemak. Adanya senyawa-senyawa tersebut dapat dirasakan dengan adanya bau dan warna keruh yang ditimbulkan. Proses terjadinya bau tersebut, disebabkan oleh degradasi fisik, kimia maupun biologis. Senyawa organik yang ada pada air limbah di sentra batik Kauman pada dasarnya berasal dari lemak dan soda serta bahan-bahan organik lainnya terlarut pada air buangan. Adanya senyawa organik ini akan mengurangi kandungan oksigen dalam air karena oksigen dibutuhkan untuk oksidasi senyawa organik secara kimiawi maupun biologis. Air dengan kandungan oksigen rendah akan mengganggu kehidupan air atau makhluk air akan mati sehingga proses pembusukan akan terjadi dan menimbulkan bau. Oleh karena itu, pada pengolahannya, dilakukan analisis mengenai kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) dan BOD (Biological Oxygen Demand).

Sumber : Farida (2008).

Gambar 1 Jarak rumah terhadap industri batik di Kelurahan Jenggot Tahun 2008. 55%

10%

18%

25%

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

0-20 meter 21-40 meter 41-60 meter >60 meter

J

um

la

h

rum

a

h

(%)

Jarak antar rumah


(23)

10

Selain senyawa organik, air limbah di IPAL Kauman juga mengandung padatan tersuspensi yang berasal dari bahan baku, dan bahan kimia pembantu pada pembuatan batik. Padatan tersuspensi dapat berupa senyawa organik, senyawa non-organik dan padatan murni. Adanya padatan tersuspensi ini akan mengganggu atau menghambat cahaya yang masuk ke dalam badan air yang dapat mengakibatkan terganggnya kehidupan perairan. Padatan tersuspensi pada air limbah tersebut, terdapat senyawa organik, senyawa anorganik dan padatan murni. Dalam penanganannya, menggunakan proses koagulasi dan flokulasi.

Kandungan minyak/lemak yang terdapat pada limbah cair IPAL Kauman berasal dari bahan baku dengan jumlah yang cukup melimpah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu karena akan megganggu jalannya proses selanjutnya. Pada proses penghilagannya, menggunakan oil trap yang dilengkapi dengan scrapper maupun secara manual.

Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah Tekstil

Wang (2011) menjelaskan bahwa pada peoses pembuatan tekstil, sumber utama penghasil air limbah tekstil terdapat pada tahap pre-treatment dan kemudian diperberat dengan proses pewarnaan dan pencucian. Oleh karena itu, karakteristik air limbah pada pembuatan tekstil dicirikan dengan komponen yang kompleks, mengandung bahan organik, konsentrasi warna yang tinggi dan kandungan warna yang berubah-ubah.

All egre et al. (2006) menyebutkan beberapa unit proses pengolahan limbah pada Instalasi Pengolahan Air Limbah dengan penilaian bahwa jika perbandingan BOD/COD >0,5, maka unit IPAL tidak dapat menggunakan proses biologi. Adapun beberapa jenis proses pengolahan air limbah tekstil yang dijelaskan, diantaranya: proses fisika-kimia (physicochemical wastewater treatment), biokimia, kombinasi proses pengolahan dan teknologi lain. Proses fisika-kimia (physicochemical wastewater treatment) Fisika kimia Meliputi ekualisasi dan homogenisasi, Flotasi, koagulasi, flokulasi dan sedimentasi, oksidasi kimia (reaksi Fenton dan oksidasi ozon), adsorpsi, proses pemisahan menggunakan membran (reverse osmosis, nanofiltrasi, ultrafiltrasi dan microfioltrasi).

Proses pengolahan secara biologis dibedakan menjadi pengolahan secara aerobik dan anaerobik. Pengolahan air limbah secara aerobik meliputi proses lumpur aktif dan biofilm. Pengolahan air limbah dengan sistem anaerobik dilakukan dengan menggunakan dekomposisi bakteri anaerobik pada kondisi anaerobik.

Proses pengolahan air limbah dengan kombinasi biokimia dan fisika-kimia meliputi proses hydrolytic acidification-contact oxidation-air floatation, anaerobic-aerobic-biological carbon contacts, koagulasi dengan oksidasi ABR dan proses pengolahan dengan pengolahan fisika-kimia menggunakan UASB. Proses pengolahan air limbah dengan menggunakan teknologi meiputi oksidasi fisika-kimia, oksidasi elektrokimia, teknologi ultrasonik, proses fisik berenergi tinggi.

Dari kesluruhan proses tersebut, Wang (2011) menyimpulkan bahwa eknologi yang didasarkan pada sistem membran merupakan metode alternatif ramah lingkungan terbaik yang dapat diadopsi pada proses pengolahan air limbah tekstil dalam skala besar. Penerapan DAF (dissolve air flotation) pada proses flotasi dengan menggunakan pengolahan fisika kimia dapat berguna untuk menghilangkan warna pada air limbah tekstil.


(24)

11 Kriteria Penentuan Lokasi IPAL

Sejak tahun 2003, beberapa penelitian mengenai penentuan lokasi IPAL terpadu telah dilakukan di berbagai negara. Meinzinger (2003) telah merumuskan kerangka kerja dalam memilih lokasi IPAL di Cristchurch, Selandia baru. Pada penelitian tersebut, Meinzinger (2003) dalam memilih lokasi IPAL terpadu di Cristchurch mensyaratkan pertimbangan berbagai kriteria yang meliputi kriteria teknis seperti kondisi iklim wilayah kajian, jenis tanah dan topografi; kriteria lingkungan terdiri dari kedalaman air tanah, keberadaan dan jarak dari air permukaan (seperti, sungai dan bendungan d); kriteria sosial meliputi jenis penggunaan lahan dan jarak ke daerah tempat tinggal; dan kriteria ekonomi berupa jenis dan tipe tanah dan pendapatan. Norese et al. (2004) di Kota Turin, Italia, dengan menggunakan metode ELECTRE III merumuskan kriteria – kriteria penentuan lokasi IPAL tekstil yang meliputi kemudahan akses (jarak dari jalan raya terdekat, dampak terhadap lalu lintas dan kemudahan akses terhadap kendaraan), kondisi sosial (kepadatan penduduk, dampak terhadap lanskap, nilai alami, keanekaragaman hayati dan nilai pertanian), kriteria lingkungan serta aspek teknis.

Anagnostopoulos et al. (2006) dalam penentuan lokasi IPAL di Rodopi, Yunani mempertimbangkan empat kriteria yang terdiri dari kesesuaian lahan (kemiringan lahan dan kesesuaian tanah), perlindungan sumber daya alam (sungai, danau dan keanekaragaman hayati), kriteria sosial (pemukiman, jaringan jalan dan penggunaan lahan) serta operasional instalasi pengolahan air limbah (suhu dan kemudahan akses jalan). Anagnostopoulos et.al. (2007) pada lokasi penelitian yang sama ( Rodopi, Yunani), menambahkan kriteria teknis seperti elevasi akuifer, jarak dari drainase, jarak dari garis pantai, jenis batuan, jarak dari jalur kereta api dalam penentuan lokasi IPAL dengan Fuzzy Analytical Hierarchy Process.

Di Mahaweli, Sri Lanka, Ratnapriya et al. (2009) menjelaskan bahwa kemiringan, jarak dari hutan, jarak dari warga dan akses jalan harus diperhatikan dalam memilih lokasi IPAL tekstil untuk melindungi daerah tangkapan air di daerah hulu Mahaweli. Kaya (2010) menjelaskan dalam pemilihan lokasi IPAL di Malatya, Turki, perlu dipertimbangkan beberapa kriteria yaitu, akses jalan, energi yang tersedia, daerah banjir, kualitas air yang diharapkan dari outlet IPAL, area lalu lintas, beban lingkungan, dampak visual dan bau yang mungkin ditimbulkan oleh IPAL, kepadatan penduduk di wilayah kajian, luas IPAL diperlukan, perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, dampak terhadap pertanian dan perencanaan pemerintah kota. Mahamid et al. (2010) merumuskan sebelas kriteria penentuan lokasi pengolahan limbah di Ramallah, Palestina, yang meliputi jarak terhadap pemukiman Israel, jarak terhadap lahan terbangun di Ramallah, yaitu area perlindungan alam, jarak terhadap mata air, jarak terhadap sumur – sumur, akses jalan, area hutan, kemiringan lahan, jenis tanah, kondisi politik dan ukuran instalasi pengolahan limbah. Rusteberg et al. (2010) dalam penentuan lokasi IPAL di Jalur Gaza, Palestina, melibatkan empat kriteria penting yang meliputi kriteria lingkungan yang terdiri atas kualitas dan kuantitas air yang diharapkan, kesehatan masyarakat, kriteria sosial dan kriteria ekonomi.

Ibrahim et al. (2011) merumuskan kriteria pemilihan lokasi IPAL di Mesir Utara. Kriteria –kritera tersebut meliputi penggunaan lahan, jarak terhadap tempat tinggal,, akses jalan, dan jaringan drainase. Sejalan dengan Meinzinger (2003), dalam pemilihan lokasi IPAL pertanian di Yunani, Kalavrouziotis et al. (2011) memasukkan kriteria sosial, kriteria lingkungan dan kriteria teknis sebagai kriteria – kirteria lokasi IPAL dan menambahkan kriteria spasial dalam pertimbangannya. Dalam menentukan lokasi IPAL


(25)

12

di Iran, Karimi et al. (2011) mempertimbangkan kriteria teknis, kriteria ekonomi dan kriteria lingkungan sebagai kriteria lokasi IPAL di Iran. Sementara itu, Murali (2011) menyebutkan kriteria lokasi IPAL yang terdiri dari ketersediaan bahan,ketersediaan energi, emisi, kesesuaian lahan, pendidikan, kesehatan, peraturan – peraturan yang berlaku dan biaya operasional.

Di India, Deepa et al. (2012) menyebutkan kriteria pemilihan lokasi IPAL terdiri dari peta penggunaan lahan, kemiringan, kepadatan penduduk, jenis tanah, dan biaya. Chelsea Municipal Council (2011), mensyaratkan 19 kriteria dalam penentuan lokasi IPAL. Kriteria – kriteria tersebut meliputi kedekatan terhadap jaringan kali, jarak terhadap zona yang dilindungi, akses jalan, kualitas outlet IPAL, jarak terhadap lahan basah, lokasi IPAL harus berada di luar zona banjir, zonasi terhadap pemukiman, ketersediaan lahan, zonasi kepadatan penduduk, kendali terhadap bau, kebisingan dan pencahayaan, desain IPAL, kemacetan lalu lintas, polusi dan debu, konstruksi IPAL, area yang dibutuhkan, topografi, jenis tanah, kesesuaian lokasi dengan stabilitas geoteknik dan lanskap. Asante et al. (2012), dalam penentuan IPAL di Accra Metropolis, Ghana, mendasarkan kriteria pemilihan lokasi pada kriteria kemiringan lahan. Penutupan lahan, jarak terhadap akses jalan, jarak dari jaringan kali, jarak dari pemukiman padat serta jarak dari bandara.

AnalyticalHierarchyProcess

Penentuan lokasi IPAL yang tepat di suatu daerah merupakan isu penting sebelum mendesain dan membangun instalasi pengolahan air limbah (Karimi et al., 2011 . Akan tetapi, dalam pengambilan keputusan mengenai lokasi yang tepat untuk pembangunan IPAL harus memperhatikan keseimbangan berbagai kepentingan baik dari segi teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan (Anagnostopoulos et al., 2007). Salah satu solusi dari empat kepentingan tersebut adalah metode MCDM (Multi Criteria Decission Method) karena metode ini didasarkan pada penilaian terhadap berbagai kriteria dan alternatif serta mengaplikasikan pembobotan untuk mengukur konsistensi dari masing-masing kriteria yang dipilih (Nas, 2010). Metode MCDM juga telah secara luas digunakan sebagai metode pengambilan keputusan (Deepa et al., 2012). Mollaghasemi et al. (1997) dan Sumathi et al. (2008) menjelaskan keunggulan penggunaan metode MCDM yaitu dapat memperjelas masalah keputusan, membantu untuk menghasilkan solusi alternatif yang berguna, dan membantu untuk mengevaluasi alternatif berdasarkan nilai-nilai pembuat keputusan dan preferensi.

Metode MCDM secara definitif merupakan metode pengambilan keputusan dari permasalahan yang kompleks dan melibatkan berbagai kriteria. Proses pengambilan keputusan tersebut dilakukan melalui perankingan dari divergensi pengambil keputusan atau melalui pengumpulan data. Salah satu teknik MCDM yang paling umum digunakan adalah teknik pengambilan keputusan dengan AHP (Analytical Hierarchy Process). Teknik ini merupakan proses analisis yang diterapkan pada permasalahan yang memiliki beragam alternatif dan beragam kriteria (Kaya, 2010). Chang et al. (2007) menambahkan bahwa pada saat ini, AHP telah menjadi salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam pemecahan permasalahan MCDM. Hal ini didasarkan pada keunggulan Analytical Hierarchy Process yaitu,


(26)

13

 Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam.

 Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.

 Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan dengan AHP pertama kali diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty. Saaty (1988), Cheng et al. (2004), dan Bandyopadhyay et al. (2007) mendefinisikan AHP sebagai teknik analisis dan pengambilan keputusan yang sistematis untuk permasalahan MCDM melalui kelas prioritas dan pendapat para ahli terhadap suatu permasalahan. Model pendukung keputusan tersebut menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (1991), hirarki pada AHP didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dengan level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki tersebut, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.

Pada penerapannya, proses analisis menggunakan AHP terdiri dari tujuh tahap (Saaty, 2001) yaitu, mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan, membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama dan membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Tahapan selanjutnya, mendefinisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. Kemudian nilai eigen dihitung dan diuji konsistensinya, lalu menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan serta memeriksa konsistensi hirarki.

Penggunaan GIS pada penentuan lokasi IPAL

Geographic Information System (GIS) atau yang biasa dikenal dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem basis data dengan sebagian besar data spasial diindeks, dan seperangkat prosedur spasial dioperasikan berdasarkan koordinat geografi tertentu untuk menjawab pertanyaan tentang entitas spasial dalam geodatabase yang dimiliki (Smith, 1987). Menurut Aronoff (1989), sistem informasi geografi didefinisikan sebagai suatu sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data bereferensi geografi melalui proses pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis data, serta keluaran (output) sebagai hasil akhir. Hasil akhir (output) dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. Dalam perkembangannya, SIG berbasis komputer dimulai pada awal tahun 1960an dan penerapan SIG pada komputer berbasis desktop dimulai pada era 1990an (Starr, 1991).

Penggunaan SIG memiliki sejumlah keunggulan yang tidak dimiliki oleh pemetaan secara konvensional. Efisiensi dan efektivitas dalam menyelesaikan dan memecahkan persoalan yang terkait dengan lokasi atau ruang menjadi pilihan yang tepat. Selain itu, dalam upaya perencanaan dan pemecahan permasalahan lingkungan diperlukan pula kemampuan prediksi dengan data yang terus diperbarui. Kemampuan tersebut mampu dipenuhi oleh SIG yang didukung oleh perangkat keras dan perangkat


(27)

14

lunak komputer (ESRI, 2009). Hingga saat ini, perangkat lunak SIG terus berkembang, diantaranya ArcView, Ilwis, ArcGIS, MapWindow, dll.

Dengan berbagai keunggulan tersebut, metode SIG banyak diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan lingkungan, termasuk dalam penentuan lokasi instalasi pengolahan air limbah di suatu kawasan. Analisa penentuan lokasi instalasi pengolahan limbah dengan menggunakan SIG dimulai pada tahun 2003 oleh Meinzinger (2003) di Selandia Baru. Selanjutnya, penelitian mengenai penggunaan SIG untuk menentukan lokasi instalasi pengolahan limbah terus berkembang seperti pada Tabel 2.

Secara garis besar, dalam penentuan lokasi instalasi pengolahan limbah, didasarkan pada penilaian pengambilan keputusan melalui berbagai kriteria yang disesuaikan oleh karakteristik kawasan yang dikaji. Kriteria – kriteria tersebut

Tabel 2 Penggunaan SIG dalam penentuan lokasi instalasi pengolahan air limbah

Nama Tahun Lokasi Judul

Meinzinger 2003 Cristchurch, Selandia Baru

GIS-based site identification for the land application of wastewater. Anagnostopoulos et

al.

2006 Evos,Yunani Natural systems for wastewater treatment site selection using gis and fuzzy AHP.

Anagnostopoulos et al.

2007 Rodopi prefecture, Yunani

Using GIS and fuzzy logicfor wastewater treatment processes site selection: the case of Rodopi Prefecture.

Ratnapriya et al. 2009 Mahaweli, Srilanka

Location optimization of wastewater treatment plants using GIS: a case study in upper mahaweli catchment, Sri Lanka.

Mahamid et.al. 2010 Ramalah, Palestina

Multicriteria and landfill site selection using GIS: a case study from Ramalah, Palestine.

Nas et al. 2010 Konya, Turki Selection of MSW landfill site for Konya, Turkey, using GIS and multicriteria evaluation.

Ibrahim et al. 2011 El Mahalla, Mesir Utara, Mesir

Combining FAHP and GIS to select the best location for a wastewater lift station in EL Mahalla El Kubra, North Egypt.

Asante et.al. 2012 Accra,Ghana Site suitability analysis for a central wastewater treatment plants in Accra Metropolitan area using geographic information system.

Deepa et al. 2012 Shollinganallur, India

Suitable site selection of decentralized treatment plants using multicriteria approach in GIS.

Dong et al. 2012 Beijing, Cina A spatial mult-objective optimization for sustainable urban wastewater system layout planning.


(28)

15 selanjutnya dilakukan overlay dan diberi bobot masing – masing (Ibrahim et al., 2011). Lokasi yang memiliki bobot terbesar dan memenuhi sebagian kriteria – kriteria yang ditetapkan melalui proses SIG akan memiliki peringkat tertinggi dan menjadi prioritas utama. Demikian sebaliknya, pada lokasi yang hanya memenuhi beberapa kriteria atau tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan, maka tidak akan dipilih sebagai lokasi instalasi pengolahan limbah pada kawasan studi.

Penggunaan ArcObject pada penentuan lokasi IPAL

ArcObject merupakan suatu pemrograman yang menjadi dasar bagi pengembangan perangkat lunak ArcView dan ArcMap sebagai perangkat lunak untuk mengolah data – data spasial berbasis geografis (Zeiler, 2001). ArcObject dapat dioperasikan menggunakan beberapa bahasa pemrograman, diantaranya VBA (Visual Basic for Application ) dengan bahasa VB 6 sebagai bahasa dasar khusus pada ArcGIS 9, C#, phyton, VB.Net (khusus untuk ArcGIS 10) dll. Pengembangan program menggunakan ArcObject, pengguna dihadapkan pada serangkaian bahasa pemrograman, sedangkan pada ArcGIS atau ArcView, terdapat graphic user interface (GUI) yang memudahkan pengguna mengolah data – data spasial. Namun demikian, penggunaan ArcObject tetap dibutuhkan terutama pada data- data yang membutuhkan serangkaian proses spasial yang panjang. Burke (2003) menyebutkan bahwa salah satu keunggulan penggunaan ArcObject dapat memudahkan pengguna dalam mengolah data spasial tanpa harus mengulang serangkaian proses yang telah dilakukan oleh pengguna sebelumnya.

ArcObject merupakan program berbasis pada Microsoft's Component Object Model (COM) dengan prinsip Object Oriented Technology (OOT). dengan Cara pengembangan ArcObject didasarkan pada abstraksi objek-objek yang ada di dunia nyata (Zeiler, 2001). Dasar pembuatan program ini adalah dengan mempertimbangkan kombinasi antara struktur data dan perilaku dalam satu entitas (Weiderman, 1997). Dalam pengembangan sistem berorientasi objek ini, konsep – konsep yang yang digunakan meliputi :

 Kelas yaitu, konsep OOT yang merangkum data dan abstraksi prosedural untuk menggambarkan isi dan perilaku berbagai entitas. Dalam ArcObject terdapat tiga kelas yaitu, abstract classes, coclasses dan classes (Zeiler, 2001).

 Objek dalam OOT digambarkan sebagai sesuatu yang nyata dan memiliki atribut dan metode. Pada pengoperasian ArcObject, objek dapat dimisalkan sebagai feature, raster, TIN dll.

 Atribut menggambarkan data yang dapat memberikan informasi kelas atau keberadaan objek atribut.

 Pada operasi ArcObject, metode merupakan serangkaian prosedur atau fungsi yang tergabung bersama dengan atribut.

Message merupakan alat komunikasi antar objek. Hubungan antar objek ditentukan oleh masalah domain dan tanggung jawab sistem.

Event adalah suatu kejadian pada waktu yang terbatas yang menggambarkan rangsangan (stimulus) dari luar sistem.

State adalah abstraksi dari nilai atribut dan link dalam sebuah objek. State merupakan tanggapan dari objek terhadap event masukan.


(29)

16

Hingga kini, ArcObject telah banyak digunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan lingkungan, beberapa penelitian mengenai penerapan ArcObject dapat dilihat pada Tabel 3.

3

METODE

Pada penelitian ini, penentuan lokasi instalasi pengolahan limbah (IPAL) batik yang tepat di Kota Pekalongan dilakukan melalui lima tahap, yaitu 1) identifikasi pengaruh limbah batik terhadap badan air di Kota Pekalongan; 2) penentuan prioritas kriteria lokasi IPAL batik; 3) perancangan model penentuan lokasi IPAL batik yang sesuai; 4) penentuan lokasi yang paling tepat untuk pembangunan IPAL batik. Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 3 Penerapan ArcObject dalam mengatasi permasalahan lingkungan

Nama Tahun Lokasi Judul

Zhang 2006 Beijing, Cina Development and validation of a watershed forest management information system

An Weizhe 2007 Pennsylvania, USA

The study of GIS-based hydrological model in highway environmental assessment

Sasso 2008 Panama An object oriented programming for a GIS data-driven simulation model of traffic on an inland waterway.

Vijay et al. 2009 India Development of GIS-based

environmental information system: an Indian scenario

Cao 2010 Philadelphia Mapping the ecological interview: geographic visualization for exploring qualitative and quantitative activity space data

Liu et al. 2011 Galveston Bay, Texas, USA

Algorithmic foundation and software tools for extracting shoreline features from remote Sensing Imagery and LiDAR data

Demetriou et.al. 2012 Paphos,Yunani A spatial multi-criteria model for the evaluationof land redistribution plans


(30)

17

Gambar 2 Tahapan penelitian. Bahan

Bahan yang diolah dalam penelitian ini terdiri atas data hidrologi, data penggunaan lahan di lokasi penelitian, data Digital Elevation Model (DEM), data sebaran industri batik, data dan dokumen kualitas air dan data sosial ekonomi di Kota Pekalongan.

a) Data hidrologi, meliputi :

 Data debit bulanan (Januari 2005 – Juli 2012) DAS (daerah aliran sungai) Pesantren Kletik yang diperoleh dari Dinas PSDA ( Pengelolaan Sumber Daya Air ) di Kota Pekalongan

 Peta sebaran kali di Kota Pekalongan yang diperoleh dari BAPEDA Kota Pekalongan

 Peta rawan banjir dan prediksi banjir 80 tahunan yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan (2011)


(31)

18

a) Data penggunaan lahan dan penutupan lahan, meliputi :

 Peta sebaran pusat perdagangan di Kota Pekalongan

 Peta Rencana Pola Ruang Kota Pekalongan tahun 2009-2029 yang diperoleh dari BAPEDA Kota Pekalongan

b) Data DEM berupa data ASTER-GDEM dengan resolusi 30 x 30 meter yang diunduh dari http://gdem.ersdac.jspacesystems.or.jp/search.jsp

c) Data sebaran industri batik di Kota Pekalongan yang diperoleh dari Departemen Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Pekalongan

d) Data dan dokumen kualitas air yang diperoleh dari KLH Kota Pekalongan, meliputi:

 Data Kualitas air kali di Kota Pekalongan yang diperoleh dari KLH Kota Pekalongan dari tahun 2002 hingga 2012

 Data kualitas air (inlet dan outlet) IPAL batik Kauman dan Jenggot tahun 2009 - 2011.

e) Data sosial ekonomi dalam penelitian ini meliputi:

 Data tingkat pendidikan per kelurahan di Kota Pekalongan

 Data jumlah penduduk per kelurahan di Kota Pekalongan

 Data subsidi per kelurahan yang diberikan pemerintah Kota Pekalongan Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi perangkat lunak untuk mengolah data spasial dan peninjauan di lapangan yang masing – masing perangkat terdiri atas :

 Perangkat komputer dan printer sebagai media pengolahan data

 Kamera untuk mendokumentasikan kualitas lingkungan Kota Pekalongan Perangkat lunak (software) yang digunakan adalah :

 Perangkat lunak ArcGIS 9.3 yang berlisensi (concurrent license) untuk mengolah data spasial.

 Perangkat lunak Google Earth untuk digitasi.

 Perangkat lunak Microsoft Office 2010 untuk penulisan tesis dan pengolahan data.

 Perangkat lunak Notepad++

Identifikasi pengaruh limbah batik terhadap kualitas badan air di Kota Pekalongan

Identifikasi pengaruh limbah batik terhadap kualitas badan air didasarkan pada hasil analisis kualitas air oleh KLHD Kota Pekalongan pada tahun 2007 hingga 2012. Selain itu, identifikasi kondisi badan air di Kota Pekalongan juga didasarkan pada peninjauan langsung di beberapa badan air di Kota Pekalongan baik di saluran drainase maupun di sepanjang kali yang berada di Kota Pekalongan. Langkah selanjutnya, dilakukan studi pustaka terkait pengaruh limbah batik terhadap kualitas badan air di Kota Pekalongan.


(32)

19 Penentuan kriteria lokasi IPAL batik

Penentuan prioritas kriteria lokasi IPAL batik diawali dengan identifikasi kriteria lokasi IPAL batik yang paling tepat baik dari aspek teknis, peraturan yang berlaku maupun aspek penunjang lainnya. Penentuan lokasi IPAL batik ini didasarkan pada studi literatur dengan merangkum kriteria – kriteria lokasi IPAL tekstil yang umum dilakukan. Studi literatur lebih difokuskan pada telaah jurnal terkini. Setelah diperoleh informasi mengenai kriteria – kriteria lokasi IPAL tekstil, dilakukan analisis terhadap kemungkinan penerapan kriteria tersebut di Kota.

Persiapan Data

Setelah diperoleh kriteria lokasi IPAL batik yang paling tepat di Kota Pekalongan, dilakukan persiapan data baik data yang bersifat spasial, maupun data atribut. Pada tahapan ini, data - data yang yang meliputi data hidrologi, penggunaan lahan, DEM (Digital elevation model), data industri maupun data kualitas air kali dan IPAL batik disesuaikan dengan format data yang digunakan untuk pengembangan model penentuan lokasi IPAL. Berikut persiapan data yang dilakukan :

Data hidrologi

Pada penelitian ini, data hidrologi meliputi data debit kali, peta sebaran sungai dan peta rawan banjir. Berikut persiapan data hidrologi yang digunakan pada penelitian ini : 1. Data debit sungai

Data hidrologi berupa data debit bulanan (Januari 2005 – Juli 2012) DAS Pesantren Kletik digunakan sebagai masukan dalam menentukan karakteristik sungai baik di Kali Meduri, Kali Asem Binatur, Kali Banger dan Kali Pekalongan. Pertimbangan debit sungai ini dilakukan karena terdapat limbah batik yang masuk ke badan sungai di Kota Pekalongan akibat pembuangan air limbah secara langsung ke badan air oleh industri batik di sekitar bantaran kali.

Data debit kali tersebut diolah dengan menghitung rata-rata debit tahunan, periode ulang debit sungai dengan persamaan Weilbul (Persamaan 1) dan pendugaan peluang kejadian debit sungai.

1 m n

Tr  (1)

Dengan Tr adalah periode ulang dengan n sebagai jumlah kejadian data dan m adalah nomor urut ranking debit dari terkecil ke terbesar. Peluang kejadian berbanding terbalik dengan periode ulang dan dinyatakan dengan P = 1/Tr dengan P adalah peluang kejadian. Pengolahan data tersebut digunakan untuk mengidentifikasi debit yang mungkin terjadi di badan sungai yang berada di Kota Pekalongan. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan lokasi IPAL yang ideal terhadap kemungkinan dampak limpasan dari kejadian melimpahnya air kali akibat meningkatnya masukan curah hujan. Data tahun 2005 – 2011 dinilai tepat untuk menggambarkan kondisi debit tertinggi karena pada tahun 2010 terekam kejadian La Nina yang tergolong kuat (Null, 2012) dan dampak La Nina tahun 2010 dapat dirasakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kota Pekalongan.


(33)

20

2. Peta sebaran sungai

Peta sebaran kali di Kota Pekalongan dengan mendigitasi sebaran kali melalui Google Earth. Selanjutnya, dilakukan penyatuan dari kali tersebut menggunakan ArcGIS 9.3. Pada tahapan berikutnya, dilakukan pengelompokan kali menjadi kali utama dan anak kali berdasarkan peta jaringan irigasi dari Kementerian Pekerjaan Umum Kota Pekalongan (2011).

3. Peta prediksi daerah rawan banjir

Peta prediksi daerah rawan banjir yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) selanjutnya dilakukan georeferencing dengan proyeksi UTM 49S dengan koordinat sesuai dengan koordinat Kota Pekalongan. Untuk memperoleh zona kawasan banjir akibat kenaikan muka air laut, maka dilakukan digitasi pada peta daerah rawan banjir periode 20 tahun, 40 tahun, dan 80 tahun sebagaimana Gambar 3.

Penggunaan lahan

Peta penggunaan lahan dalam format *.dwg yg diperoleh dari BAPEDA Kota Pekalongan selanjutnya diubah menjadi format data feature (*.shp) dengan mengubah koordinat sesuai dengan koordinat Kota Pekalongan. Kemudian, dilakukan pemisahan klasifikasi tiap penutupan lahan yang meliputi pemukiman, tambak, lahan kosong, lahan pertanian, kali, industri dan tempat pembuangan akhir.

Dalam penenlitian ini, diasumsikan bahwa lokasi IPAL dapat dibangun di mana saja, kecuali rawa, badan air dan permukiman. Dengan demikian, dilakukan pemisahan shapefile penutupan lahan rawa, badan air dan permukiman terhadap penutupan lahan lainnya.

(a) (b)

(c) (d)

Sumber : Diposaptono (2001)

Gambar 3 Peta prediksi daerah rawan genangan di Kota Pekalongan tahun (a) 2031, (b) tahun 2051, (c) tahun 2071 dan (d) tahun 2092


(1)

94

Lampiran 6.

Modul yang digunakan pada proses spasial

Private Sub Proses_Click()

Dim pMap As IMap

Dim pFc As IFeatureClass Dim pMxDocument As IMxDocument Dim pDataset As IDataset Dim pWorkspace As IWorkspace Dim pFeatureLayer As IFeatureLayer Dim pEnumLayer As IEnumLayer Dim gp As Object

Dim filename() As String Dim pLayer As ILayer Dim pID As New UID Dim k As Integer Dim i As Integer

Set gp = CreateObject("esriGeoprocessing.GpDispatch.1") Set pMxDocument = Application.Document

Set pMap = pMxDocument.FocusMap

pID = "{E156D7E5-22AF-11D3-9F99-00C04F6BC78E}" Set pEnumLayer = pMap.Layers(pID, True)

pEnumLayer.Reset

Set pLayer = pEnumLayer.Next

i = 0 k = 0

ReDim filename(0 To pMap.LayerCount - 1) Do While Not pLayer Is Nothing If i = 17 Then

Exit Do End If

If TypeOf pMap.Layer(k) Is IGroupLayer Then Set pGroupLayer = pMap.Layer(k)

pGroupLayer.Visible = False

ElseIf TypeOf pMap.Layer(k) Is IFeatureLayer Then Set pFeatureLayer = pMap.Layer(k)

Set pFc = pFeatureLayer.FeatureClass Set pDataset = pFc

Set pWorkspace = pDataset.Workspace

filename(i) = pWorkspace.PathName + "\" + pFeatureLayer.Name + ".shp" End If

‘copying

Select Case i Case 0

gp.CopyFeatures_management filename(0),\IPAL_BATIK\\PETA_DASAR.shp" Case 1

gp.MultipartToSinglepart_management filename(1),"\IPAL_BATIK\DESA.shp" Case 2

gp.CopyFeatures_management filename(2), "\IPAL_BATIK\JALAN.shp" Case 3

gp.CopyFeatures_management filename(3), "\IPAL_BATIK\SUNGAI.shp" Case 4

gp.CopyFeatures_management filename(4), "\IPAL_BATIK\DRAINASE.shp" Case 5

gp.CopyFeatures_management filename(5), "\IPAL_BATIK\ELEVASI.shp" Case 6


(2)

95

gp.CopyFeatures_management filename(6), "\IPAL_BATIK\BANJIR.shp" Case 7

gp.CopyFeatures_management filename(7), "\IPAL_BATIK\LAHAN_TERBANGUN.shp" Case 8

gp.CopyFeatures_management filename(8), "\IPAL_BATIK\KEMIRINGAN.shp" Case 9

gp.MultipartToSinglepart_management filename(9), "\IPAL_BATIK\PERDAGANGAN.shp"

Case 10

gp.MultipartToSinglepart_management filename(10), "\IPAL_BATIK\BEBAN_LINGKUNGAN.shp" Case 11

gp.MultipartToSinglepart_management filename(11), "\IPAL_BATIK\pendidikan.shp"

Case 12

gp.MultipartToSinglepart_management filename(12), "\IPAL_BATIK\EKONOMI.shp" Case 13

gp.MultipartToSinglepart_management filename(13), "\IPAL_BATIK\debit batik.shp"

Case 14

gp.MultipartToSinglepart_management filename(14), "\IPAL_BATIK\JUMLAH_PENDUDUK.shp" End Select

Set pLayer = pEnumLayer.Next k = k + 2

i = i + 1 Loop

‘============================================================================

'processing 'zona banjir

gp.Buffer_analysis "\IPAL_BATIK\BANJIR.shp", "\IPAL_BATIK\temp0.shp", "10" gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\DESA.shp", "\IPAL_BATIK\temp0.shp",

"\IPAL_BATIK\temp1.shp" 'pemukiman

gp.Clip_analysis "\IPAL_BATIK\temp1.shp", "\IPAL_BATIK\LAHAN_TERBANGUN.shp", "\IPAL_BATIK\temp2.shp"

gp.Buffer_analysis "\IPAL_BATIK\temp2.shp", "\IPAL_BATIK\temp3.shp", "150" gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\temp3.shp", "\IPAL_BATIK\temp0.shp",

"\IPAL_BATIK\temp_.shp"

gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\temp_.shp", "\IPAL_BATIK\temp2.shp", "\IPAL_BATIK\temp4.shp"

gp.Buffer_analysis "\IPAL_BATIK\PETA_DASAR.shp", "\IPAL_BATIK\temp5.shp", "-0.7"

gp.Buffer_analysis "\IPAL_BATIK\temp5.shp", "\IPAL_BATIK\temp6.shp", "200" gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\temp6.shp", "\IPAL_BATIK\temp5.shp",

"\IPAL_BATIK\temp7.shp"

gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\temp4.shp", "\IPAL_BATIK\temp7.shp", "\IPAL_BATIK\temp8.shp"

'drainase


(3)

96

gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\temp8.shp", "\IPAL_BATIK\temp9.shp", "\IPAL_BATIK\temp10.shp"

'jaringan jalan

gp.Buffer_analysis "\IPAL_BATIK\JALAN.shp", "\IPAL_BATIK\temp11.shp", "5" gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\temp10.shp", "\IPAL_BATIK\temp11.shp",

"\IPAL_BATIK\temp12.shp" 'jaringan sungai

gp.Buffer_analysis "\IPAL_BATIK\SUNGAI.shp", "\IPAL_BATIK\temp13.shp", "50" gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\temp12.shp", "\IPAL_BATIK\temp13.shp",

"\IPAL_BATIK\temp14.shp" 'elevasi

gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\temp14.shp", "\IPAL_BATIK\ELEVASI.shp", "\IPAL_BATIK\temp15.shp"

'kemiringan

gp.Erase_analysis "\IPAL_BATIK\temp15.shp", "\IPAL_BATIK\KEMIRINGAN.shp", "\IPAL_BATIK\peta_kriteria.shp"

End Sub


(4)

97

Lampiran 7. Modul yang digunakan pada desentralisasi lokasi

Private Sub Desentralisasi_lokasi_Click() Dim gp As Object

Set gp = CreateObject("esriGeoprocessing.GpDispatch.1") Dim k As Object

'energi

gp.AddField_management "\IPAL_BATIK\PERDAGANGAN.shp", "psr", "LONG", "", "", "", "", "NULLABLE", "NON_REQUIRED", ""

gp.CalculateField_management "\IPAL_BATIK\PERDAGANGAN.shp", "psr", "avalue", "VB", "Dim avalue as integer\nIf [PASAR] = 0 Then\navalue = 6\n\nelseIf [PASAR] >0 and [PASAR]<3 Then\navalue = 5\n\nelseIf [PASAR] >3 and [PASAR]<5 Then\navalue = 4\n\nelseIf [PASAR] >5 and [PASAR]<7 Then\navalue = 3\n\nelseIf [PASAR] >7 and

[PASAR]<15 Then\navalue = 2\n\nelse\navalue = 1\nend if"

‘beban lingkungan

gp.AddField_management "\IPAL_BATIK\BEBAN_LINGKUNGAN.shp", "b_ling", "LONG", "", "", "", "", "NULLABLE", "NON_REQUIRED", ""

gp.CalculateField_management "\IPAL_BATIK\BEBAN_LINGKUNGAN.shp", "b_ling", "avalue", "VB", "dim value as integer\nIf [BL] > = 0 and [BL] < 4 Then\navalue = 1\nelseIf [BL] > = 4 and [BL] < 7 Then\navalue = 2\nelseIf [BL] > = 7 and [BL] < 10 Then\navalue = 3\nelseIf [BL] > = 10 and [BL] < 13 Then\navalue = 4\nelseIf [BL] > = 13 and [BL] < 20 Then\navalue = 5\nelse\navalue = 6\nend if"

'pendidikan

gp.AddField_management "\IPAL_BATIK\pendidikan.shp", "sklh", "LONG", "", "", "", "", "NULLABLE", "NON_REQUIRED", ""

gp.CalculateField_management "\IPAL_BATIK\pendidikan.shp", "sklh",

"pendidikan", "VB", "Dim pendidikan as integer\nIf [Pendidikan] >= 0 and [Pendidikan] < 3 Then\npendidikan = 1\n\nelseIf

[Pendidikan] >3 and [Pendidikan] <5 Then\npendidikan =

2\n\nelseIf [Pendidikan] >=5 and [Pendidikan] <8 Then\npendidikan = 3\n\nelseIf [Pendidikan] >=8 and [Pendidikan] <10

Then\npendidikan = 4\n\nelseIf [Pendidikan] >=10 and [Pendidikan] <15 Then\npendidikan = 5\n\nelse\npendidikan = 6\nend if"

'ekonomi

gp.AddField_management "\IPAL_BATIK\EKONOMI.shp", "eko", "LONG", "", "", "", "", "NULLABLE", "NON_REQUIRED", ""

gp.CalculateField_management "\IPAL_BATIK\EKONOMI.shp", "eko", "eko", "VB", "dim eko as integer\nIf [EKONOMI] >= 0 and [EKONOMI] < 7

Then\neko = 6\nelseIf [EKONOMI] >= 7 and [EKONOMI] < 14 Then\neko = 5\nelseIf [EKONOMI] >= 14 and [EKONOMI] < 21 Then\neko =

4\nelseIf [EKONOMI] >= 21 and [EKONOMI] < 28 Then\neko = 3\nelseIf [EKONOMI] >= 28 and [EKONOMI] < 35 Then\neko = 2\nelse\neko = 1\nend if"

'debit batik

gp.AddField_management "\IPAL_BATIK\debit batik.shp", "btk", "LONG", "", "", "", "", "NULLABLE", "NON_REQUIRED", ""

gp.CalculateField_management "\IPAL_BATIK\debit batik.shp", "btk", "a", "VB", "dim a as integer\nif [debit_WW] >= 0 and [debit_WW]<= 10 then\na = 1\nelseif [debit_WW] > 10 and [debit_WW]<= 20 then\na =

2\nelseif [debit_WW] > 20 and [debit_WW] <= 50 then\na = 3\nelseif [debit_WW] > 50 and [debit_WW] <= 100 then\na = 4\nelseif [debit_WW] > 100 and [debit_WW] <= 120 then\na = 5\nelse\na = 6\nend if"


(5)

98

'Kepadatan penduduk

gp.AddField_management "\IPAL_BATIK\JUMLAH_PENDUDUK.shp", "pndk", "LONG", "", "", "", "", "NULLABLE", "NON_REQUIRED", ""

gp.CalculateField_management "\IPAL_BATIK\JUMLAH_PENDUDUK.shp", "pndk", "avalue", "VB", "dim value as integer\nIf [kepadatan] > = 0 and [kepadatan] < 30 Then\navalue = 6\nelseIf [kepadatan] > = 30 and [kepadatan] < 60 Then\navalue = 5\nelseIf [kepadatan] > = 60 and [kepadatan] < 90 Then\navalue = 4\nelseIf [kepadatan] > = 90 and [kepadatan] < 150 Then\navalue = 3\nelseIf [kepadatan] > = 150 and [kepadatan] < 200 Then\navalue = 2\nelse\navalue = 1\nend if" scoring

'perdagangan

gp.SpatialJoin_analysis "\IPAL_BATIK\peta_kriteria.shp",

"\IPAL_BATIK\PERDAGANGAN.shp", "\IPAL_BATIK\temp17.shp", "JOIN_ONE_TO_ONE"

'beban lingkungan

gp.SpatialJoin_analysis "\IPAL_BATIK\temp17.shp",

"\IPAL_BATIK\BEBAN_LINGKUNGAN.shp", "\IPAL_BATIK\temp18.shp", "JOIN_ONE_TO_ONE"

'pendidikan

gp.SpatialJoin_analysis "\IPAL_BATIK\temp18.shp",

"\IPAL_BATIK\pendidikan.shp", "\IPAL_BATIK\temp20.shp", "JOIN_ONE_TO_ONE"

'ekonomi

gp.SpatialJoin_analysis "\IPAL_BATIK\temp20.shp", "\IPAL_BATIK\EKONOMI.shp", "\IPAL_BATIK\temp21.shp", "JOIN_ONE_TO_ONE"

'debit batik

gp.SpatialJoin_analysis "\IPAL_BATIK\temp21.shp", "\IPAL_BATIK\debit batik.shp", "\IPAL_BATIK\temp22.shp", "JOIN_ONE_TO_ONE" 'jumlah penduduk

gp.SpatialJoin_analysis "\IPAL_BATIK\temp22.shp",

"\IPAL_BATIK\JUMLAH_PENDUDUK.shp", "\IPAL_BATIK\temp23.shp", "JOIN_ONE_TO_ONE"

gp.AddField_management "\IPAL_BATIK\temp23.shp", "nilai", "LONG", "", "", "", "", "NON_NULLABLE", "NON_REQUIRED", ""

gp.CalculateField_management "\IPAL_BATIK\temp23.shp", "nilai", "[b_ling]*6+ [btk]*5+ [pndk]*4+ [sklh]*3+ [psr]*2+ [eko]*1", "VB", ""

gp.CalculateAreas_stats "\IPAL_BATIK\temp23.shp", "\IPAL_BATIK\temp26.shp" gp.AddField_management "\IPAL_BATIK\temp26.shp", "pilih", "LONG", "", "", "",

"", "NON_NULLABLE", "NON_REQUIRED", ""

gp.CalculateField_management "\IPAL_BATIK\temp26.shp", "pilih", "a", "VB", "dim a as integer\nif [F_AREA]>= 20000 and [nilai]>=65 then\na = 1\nelse \na = 0\nend if"

gp.Select_analysis "\IPAL_BATIK\temp26.shp",

"\IPAL_BATIK\kandidat_lokasi.shp", """pilih""=1" End Sub


(6)

99

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada 12 Juni 1989 di Bekasi, Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua

dari dua bersaudara pasangan Rozinah Zakaria dan Umar Saleh. Penulis menyelesaikan

pendidikan tingkat dasar di SD Muhammadiyah 02 Noyontaan Pekalongan pada tahun

2002, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Pekalongan pada tahun 2004 dan

pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 1 Pekalongan pada tahun 2007. Pada tahun

2007, penulis melanjutkan studi strata I di Institut Pertanian Bogor Departemen

Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam melalui

jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2011, penulis melanjutkan

studi Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Departemen Teknik Sipil dan

Lingkungan, Fakultas Teknik Pertanian melalui beasiswa BKLN KEMENDIKNAS.

Selama perkuliahan Pascasarjana Strata II; penulis mendapatkan beasiswa

unggulan dari Kementerian Pendidikan Nasional; mengikuti program BOOST H2O

(

Building Opportunity Out of Science and Technology: Helping Hydrologic Outreach

)

dari Universitas Kentucky dan Universitas Georgia, Amerika Serikat; serta AGU

(

American Geophysical Union

)

Falls Meeting

di San Fransisco, California, Amerika

Serikat.

Selama pendidikan strata II, penulis aktif sebagai asisten peneliti di Fakultas

Kehutanan dan bekerja di ERM Indonesia (

Environmental Resources Management

Indonesia). Selama pendidikan strata ini, penulis juga telah menghasilkan beberapa

karya ilmiah diantaranya;

Model of Greenspace Range Effect Towards Surface

Temperature In Urban Area

(Prosiding Eco-Settlement International Seminar),

Predicting Meteorological components using remote sensing

,

Vulnerability Assessment

and Mainstreaming Climate change adaptation in forestry sector

,

Climate Change

Adaptation in Forestry Sector

,

Modelling The Effect Of Greenspace On Surface

Temperature in Urban Area (Case Study: Bogor, West Java)

dan

Gabion Design to

Control Gully Erosion for Water and Land Conservation in Indonesia, Program of

Determination Fit Reservoir In Indonesia Under Climate Change Scenario

(Prosiding

American Geophysical Union

2013). Penulis juga terlibat di dalam kegiatan survey

sistem informasi geografi di beberapa perkebunan di Jawa Barat, mengikuti pelatihan

terkait dengan sistem informasi geografi dan pelatihan mengenai perubahan iklim.

Selain itu, penulis juga terlibat dalam beberapa kegiatan analisis lingkungan pada tahun

2013, kegiatan desain layout sistem K3 di perusahaan minyak dan gas. Selama

menempuh pendidikan Pasca Sarjana, penulis juga aktif dalam kegiatan pencinta alam.