Prevalensi Halitosis pada Pasien yang Berkunjung Ke RSGM USU Tahun 2015

(1)

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN

Selamat Pagi,

Saya Cindy Amallia Aryetta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan dokter gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Saya akan melakukan penelitian dengan judul “Prevalensi Halitosis Pada Pasien yang Berkunjung ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sumatera Utara” yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi halitosis pada pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut USU dan untuk mengetahui persentase halitosis berdasarkan faktor penyebab halitosis. Manfaat penelitian ini adalah memberikan pengetahuan kepada Bapak/Ibu mengenai faktor-faktor penyebab yang dapat menimbulkan halitosis.

Bapak/Ibu sekalian, ada beberapa faktor penyebab timbulnya halitosis di dalam rongga mulut maupun di luar rongga mulut seperti gigi berlubang, peradangan pada gusi, adanya tumpukan bakteri pada permukaan lidah , mulut kering (xerostomia), sinusitis, polip hidung dan merokok.

Penelitian yang akan saya lakukan menggunakan kuesioner, pemeriksaan rongga mulut dan pengukuran tingkat halitosis menggunakan alat Breath Checker. Dalam penelitian ini, saya akan meminta Bapak/Ibu untuk mengisi identitas diri dan kuesioner mengenai keluhan utama pada rongga mulut Bapak/Ibu. Setelah pengisian kueioner selesai, kuesioner dikembalikan kepada saya. Selanjutnya saya akan melakukan pemeriksaan menggunakan kaca mulut, sonde dan probe untuk melihat kondisi rongga mulut Bapak/Ibu. Setelah itu saya akan mengukur tingkat halitosis Bapak/Ibu dengan menggunakan alat Breath Checker. Pemeriksaan dan pengukuran yang saya lakukan tidak akan menimbulakan rasa sakit pada rongga mulut Bapak/Ibu.

Partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela. Kerahasian data Bapak/Ibu akan dijamin sepenuhnya. Bila data Bapak/Ibu dipublikasikan kerahasiaan akan tetap dijaga. Jika selama menjalankan penelitian ini terjadi keluhan pada


(2)

Bapak/Ibu silahkan menghubungi saya Cindy Amallia Aryetta di nomor telepon 081397859809.

Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan, partisipasi dan kesediaan waktu Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.

Peneliti,


(3)

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SUBYEK PENELITIAN (INFORMED CONCENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan*) Alamat :

Telah membaca semua keterangan dan mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang risiko, keuntungan dan hak saya sebagai subjek penelitian yang berjudul Prevalensi Halitosis Pada Pasien yang Berkunjung ke Rumah Sakit Gigi dan Mlut Universitas Sumatera Utara. Setelah saya memahaminya, maka saya dengan sadar dan tanpa paksaan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini untuk diteliti oleh peneliti Cindy Amallia Aryetta sebagai mahasiswa FKG USU, dengan catatan apabila suatu ketika merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini. Biaya penelitian tidak dibebankan kepada saya.

Mahasiswa Peneliti Medan, Oktober 2015

Peserta Penelitian

(Cindy Amallia Aryetta)


(4)

Lampiran 3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT

No :

Tanggal : ………

A. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : ………

No. Rekam medis RSGM USU : ………

Tempat/tanggal lahir : ………

Jenis kelamin : ………

Agama : ………

Pekerjaan : ………

Alamat : ………

……….……….

Telepon/HP : ………


(5)

B. KUESIONER

“Prevalensi Halitosis Pada Pasien Yang Berkunjung Ke Rumah Sakit Gigi Dan Mulut Universitas Sumatera Utara”

Petunjuk pengisian :

Kuesioner diisi oleh Bapak/Ibu yang telah bersedia menjadi subjek penelitian

Jawaban diisi pada kolom jawab yang telah tersedia

• Apabila ada pertanyaan yang tidak dimengerti, Bapak/Ibu dapat menanyakan atau meminta penjelasan kepada peneliti

• Dimohon Bapak/Ibu menjawab pertanyaan dengan jujur sesuai dengan keadaan yang sedang Bapak/Ibu rasakan

Pertanyaan :

1. Apakah Anda memiliki keluhan bau mulut ?

Jawab : ………...Ya/Tidak

Jika pada jawaban pertanyaan no. 1 Anda menjawab Ya, maka lanjutkan menjawab pertanyaan berikut :

2. Kapan Anda pertama kali menyadari bahwa Anda memiliki bau mulut ?

Jawab : ………..tahun/bulan/minggu yang lalu

3. Bagaimana Anda mengetahui Anda memiliki bau mulut ? Jawab :

a. Menyadari sendiri, jika demikian, bagaimana? ……… ……….. b. Seseorang yang memberitahu. Siapa? ……….

c. Lainnya ……….

4. Apakah Anda pernah memeriksakan bau mulut Anda dengan dokter gigi?

Jawab : ……… Ya/Tidak


(6)

b. Nama dan alamat dokter gigi ……… ………... c. Jenis pemeriksaan apakah yang Anda terima (misalnya instrument penilaian

intensitas bau mulut, pemeriksaan gingival,dll). Jelaskan :

………...

5. Pada waktu kapan Anda menyadari bau mulut tersebut ? Lingkari : (jawaban boleh lebih dari satu)

Setelah bangun Saat lapar Saat lelah Ketika haus Pagi hari Sore hari Sepanjang hari Selama bekerja Ketika berbicara dengan orang lain Setelah mengonsumsi makanan

tertentu, sebutkan : ………. lainnya……….

6. Apakah Anda seorang perokok ?

Jawab : ………..… Ya/Tidak

7. Apakah Anda memiliki riwayat penyakit sistemik ?

Jawab : ………...…Ya/Tidak


(7)

C. LEMBAR PEMERIKSAAN

1. ODONTOGRAM


(8)

3. SALIVA : Normal Ada kelainan ...

4. PETA MUKOSA DAN JARINGAN LUNAK

5. SKOR INDEKS PERIODONTAL

16 21 24


(9)

Kriteria pemberian skor dengan indeks periodonotal

Kode Kriteria

0 Negatif Tidak ada kerusakan jaringan periodontal, tidak ada kehilangan fungsi akibat kerusakan jaringan pendukung

1 Gingivitis ringan Ada daerah yang mengalami peradangan pada tepi gingiva bebas tetapi tidak mengelilingi gigi

2 Gingivitis sedang Peradangan mengelilingi gigi, tetapi perlekatan epitel masih utuh

6 Gingivitis disertai pembentukan saku

periodontal

Perlekatan epitel terputus, adanya saku periodontal, fungsi pengunyahan normal, gigi masih utuh pada soketnya dan tidak tilting

8 Kerusakan periodontal yang berat dan kehilangan fungsi

pengunyahan

Gigi goyang, tilting, bunyinya tumpul pada waktu dilakukan perkusi dengan logam atau gigi terlihat tidak stabil berada dalam soket

Skor periodontal indeks = Total skor penilaian pemeriksaan pada gigi Jumlah gigi yang diperiksa

= ………. ……….. = ……….


(10)

Skor PI Kondisi Klinis

0 – 0,2 Normal

0,3 – 0,9 Gingivitis ringan

0,7 – 1,9 Kerusakan jaringan periodontal ringan

1,6 – 5,0 Kerusakan jaringan periodontal berat

3,8 – 8,0 Stadium lanjut penyakit periodontal

6. PEMERIKSAAN BREATH CHECKER

Skor pengukuran dengan breath checker :

Skor Kriteria

0 Tidak ada bau mulut

1 Adanya sedikit bau mulut

2 Adanya bau mulut yan terdeteksi sedang

3 Adanya bau mulut terdeteksi jelas

4 Adanya bau mulut terdeteksi kuat


(11)

(12)

DAFTAR PUSTAKA

1. Kukkamalla MA, Cornelio SM, Bhat KM, Avadhani M, Goyal R. Halitosis – a social malady. Journal of Dental and Medical Sciences. 2014; 13: 55-61. 2. Hughes FJ, McNab R. Oral malodour – a review. Archives Of Oral Biology

53. 2008; 1 (Suppl): 1-7.

3. Scully C. Oral and maxillofacial medicine. Wright. 2004; 109-111.

4. Ghapanchi J, Darvishi M, Mardani M, Sharifian N. Prevalence and cause’s of bad breath in patients attended Shiraz dentistry school a cross sectional study. Elixir Human Physio. 2012; 53: 12051-4.

5. Arora L, Sharma A. A study to find out the dental and associated psychosocial factors in patients of halitosis. Delhi Psychiatry. Journal 2012; 15: 122-9. 6. Scully C, Greenman J. Halitosis (breath odor). Periodontology 2000. 2008;

48: 66-75.

7. Sing M.P, Bansal P, Kaur S. The association of periodontal disease with oral malodor before and after antibiotic rinse using FITSCAN Breath Checker : a clinical study. Journal of The International Clinical Dental Research Organization. July-December 2014; 6(2): 103-106.

8. Putri N.N. Manfaat mengonsumis campuran larutan madu dan bubuk kayu manis terhadap penurunan tingkat halitosis. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. 2014.

9. Sanz M, Roldan S, Herrera D. Fundamentals of breath malodour. J Contemp Dent Pract. 2001 Nov 15; 2(4): 1-17.

10. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat pencegahan dan pemeriksaan. USU Press 2012; 49-61.

11. Vandana K.L, Sridhar A. Oral malodor: a review. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2008 Apr; 2(2): 768-773.

12. Patil H S, Kulloli A, Kella M. Unmasking oral malodor : a review. People’s Journal of Scientific Research. 2012; 5(1): 61-7.


(13)

13. Attia E L, Marshall K G. Scientific section review article. CMA Journal. 1982 Jun; 126: 1281-5.

14. Porter S R, Scully C. Clinical review oral malodour (halitosis). 2006; 333: 632-5.

15. Ettikan S. Bad breath. Journal of Dental and Medical Sciences. 2014 Jun; 13; 44-9.

16. Scully C, Felix D H. Oral medicine : update for the practioner oral malodour. British Dental Journal. 2005; 199: 498-500.

17. Bollen C M L, Beikler T. Halitosis: the multidisciplinary approach. International Journal of Oral Science. 2012; 4: 55-63.

18. Oeding M. Halitosis: a clinical review. The academy of dental learning & OSHA training. 2012; 9-11.

19. Widagdo Y, Suntya K. Volatile sulfur compounds sebagai penyebab halitosis. Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Univ. Mahasaraswati Denpasar.

20. Scully C. Medical problem in dentistry 6th edition. 2012; 82.

21. Marawar P P. Sodhi N K A. Pawar B R. Mani A M. Halitosis: a silent affliction. Chronicles of Young Scientists. 2012 Dec; 3(4): 251-7.

22. Yeagaki K, Coil J M. Examination, classification, and treatment of halitosis: clinical perspectives. J Can Dent Assoc. 2000; 66(5): 257-261.

23. Ongole R, Shenoy N. Halitosis: much beyond oral malodor. Kathmandu University Medical Journal. 2010; 8(2): 269-275.

24. Rosing C K, Loesche W. Halitosis: an overview of epidemiology, etiology and clinical management. Braz Oral Res. 2011; 25(5): 466-71.

25. Beharvand M, Maleki Z, Mohammadi S, Alavi K, Meghaddam E J. Assessment of oral malodor: a comparasion of the organoleptic method with sulfide monitoring. The Journal of Contemporary Dentl Practice. 2008; 9(5): 1-7.

26. American Dental Assosiation. Oral malodor association report. JADA. 2003 Feb; 134: 209-25.


(14)

27. Agarwal V, Kumar P, Gupta G, Khatri M, Kumar A. Diagnosis of oral malodor: a review of the literature. Indian Journal of Dental Science. 2013; 5(3): 89-91.

28. Oliveira-Neto J M, Sato S, Pedrazzi V. How to deal with morning bad breath: a randomized, crossover clinical trial. Journal of Indian Society of Periodontology. 2013; 17(6): 757-59.

29. Tanita Corp. Manual book of Tanita breath alert. http://www.pdfmanualy.com /t/tanita/tanita-um-076-manual.pdf (November 08.2014).

30. Tanita Corp.Tanita Breath Checker tanita-breath-checker.html (November 10.2014).

31. Tanita Corp. Instruction manual Tanita breath checker /en/.downloads/download/?file=855638166&langenUS (November 08.2014). 32. Tanita Corp. Tanita breath checker

breathchecker/html (November 10.2014).

33. Aylikci B U, Colak H. Halitosis: from diagnosis to management. Journal of Natural Science, Biology and Medicine. 2013; 4(1): 14-20.

34. BANA tes 35. Puscasu C G, Dumitriu A S, Dumitriu H T. The significance of BANA test in

diagnosis of certain forms of periodontal disease. OHDMBSC. 2006; 5(3): 31-5.

36. Supardi S, Surahman. Metodologi penelitian untuk mahasiswa farmasi. Trans Info Media. Jakarta. 2014; 51-69.

37. Elfindri, Hasnita E, Abidin Z, Machmud R, Elmiyasna. Metodologi penelitian kesehatan. Baduose Media. Jakarta. 2012; 163.

38. Sibarani M R. Karies: etiologi, karakteristik klinis dan tatalaksana. Departemen Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Majalah Kedokteran UKI. 2014; 30(1): 14-22.

39. Kidd E A M. Dasar-dasar karies penyakit dan penanggulangannya. EGC. 1991; 1,48.


(15)

40. Langlais R P, Miller C S. Color atlas of common oral diseases. Lippincott Williams Wilkins. 1998; 56-7.

41. Sultana N, Sham M E. Xerostomia: an overview. Internation Journal of Dental Clinics. 2011; 3(2): 58-61.

42. Suyono S, Waspadji S, Soegondo S, Soewondo P, Subekti I, dkk. Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit FK UI. 2009; 12. 43. Posumah H A, Ali H R, Loho E. Gambaran foto waters pada penderita dengan

dugaan klinis sinusitis maksilaris di bagian radiologi FK UNSRAT. Jurnal e-Biomedik. 2013; 1:129-134.

44. Silviani D, Adityawarman, Dwianasari L. Hubungan lama periode hemodialisis dengan status albumin penderita gagal ginjal kronik di unit hemodialisis. Mandala of Health. 2011; 5: 1-3.

45. Eldarrat A, Alkhabuli J, Malik A. The prevalence of self-reported halitosis and oral hygiene practices among Lybian students and office workers. Lybian J Med. 2008; 1-7.

46. Krishna K V, Arunkumar S, Arunkumar J S, Shakuntala G K, Koti S V. International journal of medical and health sciences. Int J Med Health Sci. 2015; 4(1): 116-123.

47. Kusuma A R P. Pengaruh merokok terhadap kesehatan gigi dan rongga mulut. Majalah Universitas Islam Sultan Agung. 2014; 1-8.

48. Gunardi I, Wimardhani S Y. Oral probiotik: pendekatan baru terhadap halitosis. Indonesian Journal of Dentistry. 2009; 16(1): 64-71.

49. Agtini M D. Pola status kesehatan gigi dan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Indonesia pada tahun 1990-2007. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2009; 19(3): 144-153.

50. Tangerman A, Winkel E G. Extra oral halitosis : an overview. Journal of Breath Research. 2010: 4: 1-6.


(16)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross

sectional, dimana data yang menyangkut variabel bebas (pasien RSGM Universitas

Sumatera Utara) dan variabel terikat (halitosis) dikumpulkan dalam waktu bersamaan untuk mendapatkan gambaran dan prevalensi halitosis pada pasien RSGM Universitas Sumatera Utara menurut faktor penyebab halitosis.36

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang skrining Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sumatera Utara karena rumah sakit ini merupakan salah satu tempat rujukan pasien gigi dan mulut di Sumatera Utara khususnya kota Medan dan juga memiliki sarana dan rekam medis yang lengkap sehingga dipertimbangkan akan membantu peneliti menemukan subyek penelitian baik dengan keluhan bau mulut ataupun tidak. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2015.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

3.3.2 Sampel

Sampel yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan teknik non probability

sampling yaitu setiap subyek dalam populasi tidak mempunyai kesempatan yang


(17)

digunakan adalah purposive sampling, dimana subyek yang dipilih berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh peneliti.36,37

3.3.2.1 Besar Sampel

Pada penelitian ini untuk mendapatkan besar sampel, peneliti menggunakan persentase halitosis dari penelitian yang dilakukan oleh Ghapanchi yaitu sebesar 94%. Perhitungan besar sampel menggunakan rumus :4

n = Zα2 . P . Q d2

Dengan keterangan : N : jumlah sampel

Zα : tingkat kemaknaan (nilai Zα yang dipakai adalah 1,96) P : proposi = 0,94

Q : 1-P = 1-0,94 = 0,06 d : presisi = 0,05

Sehingga perhitungan yang didapatkan adalah : N = 1,962 . 0,94 . (1 – 0,94)

(0,05)2 = 86,6 = 87 orang

Maka jumlah minimal subyek yang diperlukan pada penelitian ini adalah sebanyak 87 orang.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara. 2. Bersedia menjadi subyek penelitian.


(18)

3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang tidak dapat diperiksa rongga mulutnya atau tidak dapat membuka mulutnya.

2. Pasien yang makan dan minum (kopi, teh atau jus) dan melakukan kebersihan mulut 4 jam sebelum pengukuran.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel Bebas

Pasien Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sumatera Utara.

3.5.2 Variabel Terikat

Halitosis.

3.5.3 Definisi Operasional

1. Pasien Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sumatera Utara

Pasien RSGM USU adalah pasien yang berkunjung dan mendaftar sebagai pasien RSGM. Cara pengukuran melihat buku rekam medis pasien RSGM USU dan dicatat pada lembar pemeriksaan. Hasil pengukuran yang didapatkan yaitu dalam skala ukur kategorik. Pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU dilihat faktor penyebab halitosis fisiologis dan patologis yaitu :

a. Faktor penyebab fisiologis yaitu penyebab halitosis yang bersifat sementara seperti morning halitosis, merokok dan makanan yang berbau khas seperti bawang dan durian.9,16 Pengukuran dilakukan melalui kuesioner dengan pertanyaan-pertanyaan yang diadopsi dari Journal Canadian Dental Association, pemeriksaan rongga mulut dan pengukuran menggunakan Breath Chceker.22 Hasil pengukuran yang didapatkan akan menunjukkan halitosis fisiologis apabila pasien menjawab memiliki faktor penyebab fisiologis, pemeriksaan klinis rongga mulut normal dan pengukuran dengan Breath Checker tidak menunjukkan skor ≥ 2. 7,29 Hasil yang didapatkan dalam skala ukur kategorik.


(19)

b. Faktor penyebab patologis yaitu penyebab halitosis yang permanen dan tidak dapat dihilangkan dengan metode pembersihan mulut biasa.10 Pengukuran dilakukan dengan pemeriksaan rongga mulut dan pengukuran menggunakan Breath Checker. Hasil yang didapatkan dalam skala ukur kategorik. Halitosis patologis dapat disebabkan oleh faktor penyebab intra oral dan ekstra oral.

1) Intra Oral yaitu faktor penyebab halitosis yang berasal dari dalam rongga mulut.10 Yaitu :

i. Karies: proses demineralisasi struktur gigi disebabkan oleh asam yang dihasilkan oleh mikro-organisme dan ditandai dengan terbentuknya kavitas pada permukaan email, dentin atau sementum.38 Cara pengukuran dilakukan dengan pemeriksaan rongga mulut menggunakan kaca mulut dan sonde yang tajam sampai terasa menyangkut.39 Hasil pengukuran karies yang didapatkan yaitu dalam skala ukur kategorik dan dicatat dalam lembar pemeriksaan.

ii. Penyakit periodontal: merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang terakumulasi dalam plak yang menyebabkan gingiva mengalami peradangan.10 Cara pengukuran dilakukan dengan pemeriksaan rongga mulut menggunakan indeks periodontal Russel dan Ramfjord yaitu pemeriksaan rongga mulut dengan menggunakan kaca mulut dan probe pada bagian interproksimal, fasial, bukal, lingual dari 6 gigi (16, 21, 24, 44, 41, 36). Hasil pemeriksaan dapat di nilai dengan skor dari indeks periodontal yaitu 0 (negatif) = tidak ada kerusakan jaringan periodontal, 1 (gingivitis ringan) = ada daerah yang mengalami peradangan pada margin gingiva bebas tetapi tidak mengelilingi gigi, 2 (gingivitis sedang)= peradangan mengelilingi gigi, tetapi perlekatan epitel masih utuh, 6 (gingivitis disertai pembentukan poket periodontal) = perlekatan epitel terputus, adanya poket periodontal, fungsi pengunyahan normal, gigi masih utuh pada soketnya dan tidak tilting, dan 8 (kerusakan periodontal yang berat dan kehilangan fungsi pengunyahan)= gigi goyang, tilting, bunyinya tumpul pada waktu dilakukan perkusi dengan logam atau gigi terlihat tidak stabil berada dalam soket.10 Skor periodontal diperoleh dari total skor dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa. Hasil pengukuran yang didapatkan yaitu dalam skala ukur kategorik dicatat dalam lembar pemeriksaan.


(20)

iii. Coated tongue: permukaan dorsal lidah yang ditutupi oleh debris dan

keratinisasi papilla filiform yang berlebihan. Secara klinis, tekstur lidah seperti berbulu dan terlihat ada bercak berwarna putih kekuningan yang dapat terhapus.40 Cara pengukuran dilakukan dengan pemeriksaan rongga mulut menggunakan kaca mulut atau spatel. Apabila pada saat kaca mulut atau spatel di swap pada permukaan lidah, maka bercak putih kekuningan tersebut akan terhapus. Hasil ukur yang di dapat yaitu dalam skala ukur kategorik dan dicatat dalam lembar pemeriksaan.

iv. Xerostomia: suatu kondisi klinis dari mulut kering yang disebabkan oleh penurunan produksi saliva.41 Cara pengukuran dilakukan dengan pemeriksaan rongga mulut menggunakan kaca mulut. Apabila pada saat kaca mulut ditempelkan pada mukosa terasa lengket atau saliva terlihat kental, maka dapat dikatakan xerostomia. Hasil pengukuran xerostomia yang didapatkan yaitu dalam skala ukur kategorik dicatat dalam lembar pemeriksaan.

2) Ekstra Oral yaitu faktor penyebab yang berasal dari luar rongga mulut seperti saluran pencernaan atau adanya gangguan sistemik, seperti:10

i. Diabetes mellitus: adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin.42 Cara pengukuran dilakukan melalui pertanyaan dalam kuesioner yang diadopsi dari Journal Canadian

Dental Association.22 Hasil ukur yang didapat dalam skala ukur kategorik.

ii. Sinusitis: suatu peradangan membran mukosa yang dapat mengenai satu ataupun beberapa sinus paranasal.43 Cara pengukuran dilakukan melalui pertanyaan dalam kuesioner yang diadopsi dari Journal Canadian Dental Association.22 Hasil ukur yang didapat dalam skala ukur kategorik.

iii. Gagal ginjal: penurunan fungsi ginjal yang irreversible yang biasanya pada keadaan tertentu memerlukan terapi hemodialisis.44 Cara pengukuran dilakukan melalui pertanyaan dalam kuesioner yang diadopsi dari Journal Canadian Dental

Association.22 Hasil ukur yang di dapat dalam skala ukur kategorik..

iv. Sirosis hati: merupakan sirosis yang ditandai dengan nekrosis sel hati dan peradangan yang diikuti dengan perubahan fungsi normal hati dengan jaringan fibrosis dan regenerasi nodul hepatosit dan kekacauan pembuluh darah.20 Cara


(21)

pengukuran dilakukan melalui pertanyaan dalam kuesioner yang diadopsi dari

Journal Canadian Dental Association.22 Hasil ukur yang di dapat dalam skala ukur kategorik.

2. Halitosis

Halitosis adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan bau nafas yang tidak sedap yang berasal dari dalam maupun luar rongga mulut dan dapat melibatkan kesehatan dan kehidupan sosial seseorang.9,10 Cara pengukuran halitosis dapat ditentukan dari pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner yang diadopsi dari

Journal Canadian Dental Association dan pengukuran tingkat halitosis menggunakan Breath Checker, dimana apabila alat ini menunjukkan skor ≥ 2 pasien dinyatakan memilki halitosis.21,29 Hasil ukur yang didapatkan dalam skala kategorik dan dicatat dalam lembar pemeriksaan.

3.6 Sarana Penelitian 3.6.1 Alat

a. Tanita Breath Checker b. Sonde

c. Probe d. Kaca mulut e. Pinset f. Kapas

g. Lampu senter / unit h. Kantong sampah i. Lembar pemeriksaan

3.6.2 Bahan

a. Masker b. Sarung tangan c. Larutan Sterilisasi


(22)

3.7 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sumatera Utara, subyek diberikan lembar penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan. Apabila subyek bersedia berpastisipasi dalam penelitian, maka subyek penelitian menandatangani lembar informed concent.

Identitas pasien diperoleh dari wawancara dengan pasien. Halitosis diketahui dengan cara pengisian kuesioner, pemeriksaan rongga mulut dan pengukuran dengan menggunakan Breath Checker. Pada saat dilakukan pengukuran menggunakan Breath

Checker, pasien diminta untuk menghembuskan nafas tepat didepan sensor Breath Checker selama kurang lebih 4 detik.31

Pada saat pengisian lembar pemeriksaan, pemeriksaan rongga mulut, dan pengukuran menggunakan Breath Checker, satu orang asisten berada disamping pemeriksa bertugas untuk mengisi lembar pemeriksaan yang dijumpai pada subyek penderita. Selanjutnya alat disterilkan, lalu dilakukan hal yang sama pada subyek

lain.

3.8 Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara manual dan komputerisasi. Analisis data menggunakan analisis univariat dan dihitung dalam bentuk persentase. Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi :

1. Distribusi dan frekuensi pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara berdasarkan jenis kelamin.

2. Distribusi dan frekuensi pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara berdasarkan usia.

3. Distribusi dan frekuensi keluhan halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

4. Distribusi dan frekuensi faktor penyebab halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

5. Distribusi dan frekuensi faktor penyebab fisiologis halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.


(23)

6. Distribusi dan frekuensi faktor penyebab intra oral halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

7. Distribusi dan frekuensi faktor penyebab ekstra oral halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

8. Distribusi dan frekuensi halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

3.9 Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup :

1. Lembar persetujuan (Informed Consent)

Peneliti melakukan pendekatan dan memberikan lembar persetujuan kepada subyek penelitian kemudian menjelaskan terlebih dahulu tujuan penelitian, tindakan yang akan dilakukan serta menjelaskan manfaat yang akan diperoleh dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penelitian. Bagi responden yang setuju, maka dimohonkan untuk menandatangani lembar persetujuan agar dapat berpatisipasi dalam kegiatan penelitian.

2. Ethical Clearance

Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, karena itu data yang di tampilkan dalam bentuk data kelompok bukan bentuk data pribadi subjek.


(24)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Data Demografis Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini berjumlah 87 orang pasien yang berkunjung ke RSGM USU dan terdaftar dalam rekam medis yang melibatkan 36 orang pria (41%) dan 51 orang wanita (59%) (Tabel 4).

Tabel 4. Distribusi dan Frekuensi Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU Berdasarkan Jenis Kelamin.

Jenis Kelamin Frekuensi (F) Persentase (%)

Pria 36 orang 41%

Wanita 51 orang 59%

Total 87 orang 100%

Pada penelitian ini, usia subjek dibagi menjadi lima kelompok usia yaitu kelompok usia 10 – 19 tahun dijumpai 14 orang (16%), kelompok usia 20 – 29 tahun dijumpai 28 orang (32%), kelompok usia 30 – 39 tahun dijumpai 20 orang (23%), kelompok usia 40 – 49 tahun dijumpai 15 orang (17%), dan kelompok usia 50 – 59 tahun dijumpai 10 orang (12%) (Tabel 5).

Tabel 5. Distribusi dan Frekuensi Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU Berdasarkan Usia.

Usia Frekuensi (F) Persentase (%)

10 – 19 tahun 14 orang 16%

20 – 29 tahun 28 orang 32%

30 – 39 tahun 20 orang 23%

40 – 49 tahun 15 orang 17%

50 – 59 tahun 10 orang 12%

Total 87 orang 100%

Dari penelitian ini tercatat 32 orang (36%) yang mengeluhkan adanya halitosis, 21 orang (24%) yang tidak ada keluhan halitosis dan 35 orang (40%) yang tidak tahu ada atau tidaknya keluhan halitosis (Tabel 6).


(25)

Tabel 6. Distribusi dan Frekuensi Keluhan Halitosis pada Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU.

Keluhan Halitosis Frekuensi (F) Persentase (%)

Ada 32 orang 36%

Tidak Ada 21 orang 24%

Tidak Tahu 35 orang 40%

Total 87 orang 100%

4.2 Pemeriksaan Faktor Penyebab Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada 87 orang pasien yang berkunjung ke RSGM USU ditemukan sebanyak 10 orang (11,5%) yang memiliki faktor fisiologis, 72 orang (82,7%) memiliki faktor penyebab intra oral dan 3 orang (3,4%) memiliki faktor penyebab ekstra oral. Selain itu, pada penelitian ini juga ditemukan 2 orang yang mengeluhkan halitosis tetapi tidak memiliki faktor penyebab halitosis (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi dan Frekuensi Faktor Penyebab Halitosis pada Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU.

Faktor Penyebab Frekuensi (F) Persentase (%)

Fisiologis 10 orang 11,5%

Intra Oral 72 orang 82,7%

Ekstra Oral 3 orang 3,4%

Tidak Ditemukan 2 orang 2,4%

Total 87 orang 100%

Pada penelitian ini, penyebab halitosis berdasarkan faktor fisiologis terdiri dari morning halitosis pada 3 orang (3,5%) dan merokok pada 6 orang (7%). Sementara itu, 1 orang (1%) yang memiliki morning halitosis dan juga merokok (Tabel 8). Tabel 8. Distribusi dan Frekuensi Faktor Penyebab Fisiologis Halitosis pada Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU.

Faktor Penyebab Fisiologis Frekuensi (F) Persentasee (%)

Morning halitosis 3 orang 3,5%

Merokok 6 orang 7%

Bawang - -

Morning halitosis + Merokok 1 orang 1%

Morning halitosis + Bawang - -

Merokok + Bawang - -


(26)

Pada hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dari 87 orang pasien yang berkunjung ke RSGM USU ditemukan sebanyak 72 orang (82,7%) yang memiliki faktor penyebab intra oral. Pasien yang menunjukkan satu faktor penyebab intra oral terdiri dari 32 orang (37%) yang memiliki karies, 20 orang (23%) yang memiliki penyakit periodontal, 7 orang (8%) yang memiliki coated tongue, dan 4 orang (4,5%) yang xerostomia. Sementara itu, juga ditemukan pasien yang memiliki dua faktor penyebab intra oral yaitu 2 orang (2,4%) yang memiliki karies dan penyakit periodontal, 2 orang (2,4%) yang memiliki karies dan coated tongue, 1 orang (1%) yang memiliki karies dan xerostomia, 1 orang (1%) yang memilki penyakit periodontal dan coated tongue, 1 orang (1%) yang memilki penyakit periodontal dan xerostomia serta 2 orang (2,4%) yang memiliki coated tongue dan xerostomia (Tabel 9). Tabel 9. Distribusi dan Frekuensi Faktor Penyebab Intra Oral Halitosis pada Pasien

yang Berkunjung ke RSGM USU.

Faktor Intra Oral Frekuensi (F) Persentase (%)

Karies 32 orang 37%

Penyakit Periodontal 20 orang 23%

Coated Tongue 7 orang 8%

Xerostomia 4 orang 4,5%

Karies + Penyakit Periodontal 2 orang 2,4%

Karies + Coated Tongue 2 orang 2,4%

Karies + Xerostomia 1 orang 1%

Penyakit Periodontal +

Coated Tongue 1 orang 1%

Penyakit Periodontal +

Xerostomia 1 orang 1%

Coated Tongue + Xerostomia 2 orang 2,4%

Total 72 orang 82,7%

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada 87 orang pasien yang berkunjung ke RSGM USU juga ditemukan 3 orang (3,4%) yang memiliki faktor ekstra oral penyebab halitosis yaitu 2 orang (2,4%) diabetes mellitus dan 1 orang (1%) sinusitis (Tabel 10).


(27)

Tabel 10. Distribusi dan Frekuensi Faktor Penyebab Ekstra Oral Halitosis pada Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU.

Faktor Ekstra Oral Frekuensi (F) Persentase (%)

Diabetes Melitus 2 orang 2,4%

Sinusitis 1 orang 1%

Gagal Ginjal - -

Sirosis hati - -

Diabetes Melitus + Sinusitis - -

Diabetes Melitus + Gagal

ginjal - -

Diabetes Melitus + Sirosis

hati - -

Sinusitis + Gagal ginjal - -

Sinusitis + Sirosis hati - -

Gagal ginjal + Sirosis hati - -

Total 3 orang 3,4%

Berdasarkan hasil dari pengumpulan data dengan kuesioner dan pengukuran halitosis menggunakan Breath Checker pada penelitian ini, diperoleh data jumlah pasien yang memiliki halitosis sebanyak 85 orang (97,6%). Sementara itu, pada penelitian ini jumlah pasien yang tidak memilki halitosis hanya 2 orang (2,4%) (Tabel 11).

Tabel 11. Distribusi dan Frekuensi Halitosis Pada Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU.

Pasien Frekuensi (F) Persentase (%)

Halitosis 85 orang 97,6%

Tidak Halitosis 2 orang 2,4%


(28)

BAB 5

PEMBAHASAN

Halitosis merupakan salah satu penyakit sosial masyarakat yang sudah ada sejak lama, karena menyebabkan ketidakharmonisan sosial dan rasa malu yang telah dicatat dalam literatur selama ribuan tahun.1 Halitosis yang berasal dari bahasa Latin,

halitus (nafas) dan osis (keadaan) adalah istilah umum yang digunakan untuk

menggambarkan bau nafas tidak sedap yang berasal dari rongga mulut serta dapat melibatkan kesehatan dan kehidupan sosial seseorang.9,10 Penelitian ini melibatkan 87 orang pasien yang berkunjung ke RSGM USU, terdiri dari 36 pria (41%) dan 51 wanita (59%). Menurut Ettikan, wanita lebih cepat berusaha untuk mencari perawatan untuk penyakitnya ke tenaga profesional dari pada pria.15 Begitu juga pada penelitian ini pasien RSGM USU yang terdata lebih banyak wanita dibandingkan pria.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pasien yang berkunjung ke RSGM USU yang memiliki halitosis dapat ditemukan pada semua rentang usia, namun persentase paling tinggi dapat ditemukan pada rentang usia 20 – 29 tahun yaitu sebanyak 32%. Sementara itu, persentase paling rendah pada rentang usia 10 – 19 tahun yaitu 13%. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan Ghapanchi dkk, yang menunjukkan persentase paling tinggi ditemukan pada rentang usia 20 – 40 tahun sebanyak 49%. Sementara itu, pasien dengan persentase terendah pada rentang usia 10-20 tahun sebanyak 11%.5 Menurut literatur, resiko seseorang dapat mengalami halitosis lebih tinggi pada orang dengan rentang usia lebih dari 20 tahun dibandingkan pada orang dengan usia di bawah 20 tahun.Hal ini diduga dipengaruhi oleh aktivitas seseorang, yang biasanya pada usia lebih dari 20 tahun menjadi lebih produktif sehingga kurangnya waktu untuk memperhatikan kesehatan rongga mulut.4,10

Penelitian ini juga memperoleh data mengenai keluhan halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa pasien RSGM USU lebih banyak menjawab tidak mengetahui ada atau tidak keluhan


(29)

halitosis (40%). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Eldarrat dkk, dimana sebanyak 50% subyek penelitian mengeluhkan adanya halitosis, sementara itu, hanya 13% yang tidak mengetahui ada atau tidak keluhan halitosis.45 Eldarrat dkk menyatakan, perbedaan pada persentase keluhan halitosis diduga dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan tingkat kesadaran setiap orang akan keluhan halitosis yang dirasakan.45 Namun demikian, untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan tingkat kesadaran setiap orang terhadap keluhan halitosis, masih diperlukan penelitian lebih lanjut.

Pada penelitian ini digunakan kuesioner untuk mengetahui persentase halitosis berdasarkan faktor fisiologis. Hasil penelitian berdasarkan kuesioner menunjukkan beberapa pasien memiliki faktor fisiologis yang menyebabkan halitosis yaitu terdiri dari 3 orang (3,5%) morning halitosis dan 6 orang (7%) merokok. Selain itu, pada hasil penelitian ini juga ditemukan 1 orang (1%) yang memiliki dua faktor penyebab halitosis yaitu morning halitosis dan merokok (Tabel 8). Morning halitosis terjadi disebabkan oleh berkurangnya aliran saliva secara drastis pada saat tidur, yang menyebabkan sisa-sisa makanan dan sel-sel mati pada mukosa mulut secara biologis mengalami pembusukan. Hal ini yang menimbulkan halitosis pada saat bangun tidur tetapi ini dapat dihilangkan dengan hanya menyikat gigi dan berkumur, karena faktor penyebab fisiologis bersifat sementara.12,46 Begitu juga dengan merokok yang juga dapat menimbulkan halitosis disebabkan karena pada saat merokok, kandungan rokok seperti tar, nikotin dan gas karbonmonoksida, menyebabkan penurunan laju aliran saliva.47

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada 87 orang pasien yang berkunjung ke RSGM USU, diperoleh data 72 orang pasien (82,7%) yang memiliki faktor patologis intra oral penyebab halitosis. Pada penelitian ini, persentase tertinggi faktor patologis intra oral yang menyebabkan halitosis adalah karies sebanyak (37%). Sementara itu, faktor lainnya seperti penyakit periodontal (23%), coated tongue (8%) dan xerostomia (4,5%). Selain itu, beberapa orang pasien pada penelitian ini ditemukan memiliki dua faktor penyebab halitosis sekaligus seperti karies dan penyakit periodontal, karies dan coated tongue, karies dan xerostomia penyakit


(30)

periodontal dan coated tongue, penyakit periodontal dan xerostomia dan juga coated

tongue dan xerostomia. Faktor patologis intra oral seperti karies yang dalam

menyebabkan terjadinya impaksi makanan di dalam kavitas yang terbuka dan mengalami pembusukan, plak pada supragingiva yang menyebabkan penyakit periodontal, debris-debris yang menempel pada dorsum lidah yang menyebabkan

coated tongue dan penurunan laju alir saliva yang menyebabkan xerostomia.12,48

Selanjutnya, faktor-faktor tersebut bersama dengan mikroorganisme gram negatif di dalam rongga mulut, memecah substrat protein menjadi rantai peptida dan menghasilkan asam amino yang mengandung sulfur seperti cysteine menghasilkan hidrogen sulfida (H2S), methionine menghasilkan metil mercaptan (CH3SH) dan

cystine menghasilkan dimetil sulfida (CH3SCH3). VSCs juga merupakan senyawa sulfur yang mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium dan terdeteksi.19,48

Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan Ghapanchi dkk, dengan persentase tertinggi faktor penyebab patologis halitosis adalah karies sebanyak 62%, sementara itu penyakit periodontal sebanyak 55% dan xerostomia 9%.5 Berbeda dengan data yang diperoleh dari evaluasi yang dilakukan Quirynen dkk, bahwa persentase tertingginya adalah coated tongue sebanyak 43%, penyakit periodontal 11% dan kombinasi dua faktor penyebab tersebut sebanyak 22% dan berbeda juga dengan penelitian yang dilakukan Arora dkk, yang menunjukkan hasil persentase tertinggi faktor patologis penyebab halitosis adalah penyakit periodontal 73,67%, sedangkan karies sebanyak 53,29%.6 Hal ini dapat diduga dipengaruhi dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu dan ras atau khas daerah tertentu.47 Hal lain yang dapat mempengaruhi adalah prevalensi terbanyak penyakit yang diderita masyarakat pada suatu daerah tertentu. Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi karies di Indonesia mencapai 73,3%.49 Hal tersebut sama halnya dengan penelitian ini yang menunjukkan karies adalah faktor intra oral penyebab halitosis dengan persentase terbanyak. Namun, pada penelitian ini belum dilakukan pengukuran tipe (kedalaman) karies yang


(31)

menyebabkan halitosis, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan karies dengan halitosis.

Penyebab halitosis multifaktorial, selain faktor fisiologis dan faktor patologis yang berasal dari dalam rongga mulut itu sendiri, terdapat juga faktor ekstra oral yang dapat menimbulkan halitosis yaitu penyakit sistemik. Pada penelitian ini, ditemukan pasien yang memiliki faktor penyebab halitosis yang berasal dari ekstra oral terdiri dari 2 orang (2,3%) dengan diabetes mellitus dan 1 orang (1,1%) dengan sinusitis. Halitosis merupakan manifestasi dari penyakit sistemik yang diderita oleh seseorang. Pada faktor ekstra oral terdapat Volatile Odors Compounds (VOC) yaitu senyawa yang diproduksi dalam tubuh sebagai akibat dari berbagai proses metabolisme, yang dibawa oleh darah dan diteruskan ke paru-paru dimana ada pertukaran udara pada saat dihembuskan karena partisi dari volatil antara darah dan udara di alveoli. Pada penderita diabetes, halitosis berbau khas seperti berbau manis, hal ini disebabkan karena adanya kandungan aseton dalam nafas.50 Sementara itu, halitosis yang disebabkan oleh sinusitis terjadi ketika lendir purulen diproduksi, akibatnya timbul bau seperti bau busuk.15 Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Ghapanchi dkk, yang menunjukkan adanya faktor ekstra oral yang menyebabkan halitosis yaitu sinusitis 3% dan diabetes mellitus 1%.5 Sedikitnya pasien dengan faktor ekstra oral halitosis dipengaruhi oleh lokasi penelitian yang hanya menangani pasien dengan keluhan pada rongga mulut. Dengan demikian, penelitian lebih lanjut mengenai hubungan faktor patologis ekstra oral dengan halitosis, sebaiknya dilakukan pada lokasi penelitian dengan subyek yang lebih luas.

Pada penelitian ini, selain menggunakan kuesioner dan pemeriksaan rongga mulut untuk mengetahui adanya halitosis, juga dilakukan pengukuran dengan metode langsung yaitu menggunakan alat Breath Checker. Ada atau tidaknya halitosis ditunjukkan dengan skor yang muncul pada alat Breath Checker. Dari pengukuran yang telah dilakukan didapatkan data jumlah pasien yang memiliki halitosis sebanyak 97,6%. Sementara itu, pasien yang tidak memiliki halitosis hanya 2,4%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang terlibat sebagian besar terbukti memiliki halitosis, walaupun beberapa pasien mengaku tidak ada keluhan halitosis


(32)

atau tidak tahu ada/tidak keluhan halitosis. Dengan demikian, Breath Cheker dapat digunakan untuk membantu mendeteksi halitosis.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ghapanchi dkk, pengukuran dilakukan menggunakan metode organoleptik yang bersifat subjektif untuk mendeteksi halitosis.Hasil penelitian Ghapanchi dkk, memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu pasien yang memiliki halitosis sebanyak 94%, sedangkan pasien yang tidak memilki halitosis hanya 6%.5 Penelitian ini adalah penelitian pertama mengenai prevalensi halitosis di Indonesia khususnya di Sumatera Utara yang menggunakan alat Breath Checker sebagai metode untuk mendeteksi halitosis.


(33)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Pada hasil penelitian yang telah dilakukan pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU, dapat disimpulkan bahwa prevalensi halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU tergolong tinggi dengan persentase 97,6%. Faktor penyebab halitosis yang paling banyak ditemukan adalah karies.

6.2 Saran

Pada penelitian ini, pasien yang menjadi subyek penelitian ada yang berusia muda dan juga tua sehingga data tidak homogen. Diharapkan pada penelitian selanjutnya subyek penelitian lebih homogen dalam usia. Pada penelitian ini, peneliti lebih fokus pada faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya halitosis dan hanya menggunakan metode langsung untuk pemeriksaan halitosis. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian lanjutan mengenai metode lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi halitosis dan membandingkan antara metode langsung dan tidak langsung

Pada penelitian ini, peneliti lebih banyak menjumpai pasien dengan faktor intra oral. Hal ini dipengaruhi oleh lokasi penelitian yang bertempat di RSGM USU. Penelitian selanjutnya diharapkan peneliti lebih mencakup ruang lingkup yang lebih luas, sehingga dapat diperoleh data pasien dengan faktor-faktor ekstra oral lainnya.

Pada penelitian ini belum dilakukan pengukuran tipe (kedalaman) karies dalam menyebabkan halitosis, diharapkan dilakukan pada penelitian lebih lanjut mengenai hubungan karies dengan halitosis. Pada penelitian ini belum diketahui hubungan pengetahuan dan tingkat kesadaran setiap orang terhadap keluhan halitosis. Diharapkan pada penelitian selanjutnya untuk melihat hubungan antara pengetahuan dan tingkat kesadaran terhadap keluhan halitosis.


(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Halitosis 2.1.1 Defenisi

Halitosis yang berasal dari bahasa Latin, halitus (nafas) dan osis (keadaan) adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan bau nafas tidak sedap yang berasal dari dalam rongga mulut maupun luar rongga mulut serta dapat melibatkan kesehatan dan kehidupan sosial seseorang. Halitosis juga dikenal dengan beberapa nama lain, seperti mouth odor, bad breath, oral malodour, fetor ex ore atau

fetor oris.9,10

Halitosis merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu dan tercatat dalam literatur sejak ribuan tahun lalu. Nabi Muhammad SAW pernah berkata bahwa Beliau akan mengeluarkan orang dari mesjid bila mencium bau bawang dari mulut orang tersebut.11

2.1.2 Etipatogenesis Halitosis

Teori yang paling sering berkaitan dengan halitosis adalah volatile sulfur

compounds (VSCs).10 VSCs merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut berupa senyawa berbau tidak sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang di sekitarnya.13,14

Terdapat tiga asam amino utama yang membentuk VSCs, yaitu: cysteine yang menghasilkan hidrogen sulfida (H2S), methionine yang menghasilkan metil mercaptan (CH3SH) dan cystine yang menghasilkan dimethil sulfida (CH3SCH3).13 VSCs terutama dihasilkan dari pembusukan bakteri yang ada dalam saliva, celah gingiva, permukaan lidah dan pada bagian lainnya.15 Substrat yang mengandung sulfur asam amino seperti cysteine, cystine dan methionine yang ditemukan bebas dalam saliva, cairan sulkus gingiva atau hasil protelisis dari substrat protein (Gambar 1).9,10


(35)

Gambar 1. Produksi Volatile Sulphur Compounds (VSCs).10

Halitosis dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal pada permukaan lidah dan dalam kerongkongan. Bakteri tersebut secara normal ada di permukaan lidah dan dalam kerongkongan karena bakteri tersebut membantu proses pencernaan manusia dengan cara memecah protein. Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteolitik, yaitu menggunakan

Protein dalam diet Protein dalam saliva Protein cairan gingiva

Peptida Bakteri protease

Host protease

Asam amino lainnya Sulfur yang

mengandung asam amino

Katabolisme Bakteri Anaerob Gram (-)

Volatile Sulphur Compounds


(36)

protein, peptida atau asam amino sebagai sumber utamanya. Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau

proteolitik.Pada halitosis bakteri yang berperan adalah bakteri anaerob gram negatif dan juga termasuk bakteri porphyromonas gingivalis, provotella intermedia,

fusobacterium nucleatum, bacteroides (tannerella) forsythensis dan treponema denticola. Bakteri gram negatif merupakan penghuni utama plak supragingival

termasuk plak yang menutupi lidah dan permukaan mukosa lainnya yang dapat memproduksi bahan kimia seperti VSCs yang menyebabkan timbulnya halitosis.13,16

2.1.3 Klasifikasi

2.1.3.1 Genuine Halitosis

Genuine halitosis adalah halitosis sejati atau halitosis yang sebenarnya.10

Halitosis tipe ini dapat dibedakan lagi atas halitosis fisiologis dan patologis.

A. Fisiologis

Halitosis fisiologis atau yang juga disebut halitosis transien adalah halitosis yang disebabkan oleh faktor fisiologis yang bersifat sementara, seperti morning

halitosis.9 Halitosis ini terjadi pada saat bangun tidur di pagi hari dan bersifat sementara.17 Hal ini dikarenakan kurangnya aliran saliva pada saat tidur dan membuat pembusukan sel epitel dan debris lainnya tertahan, yang menyebabkan timbulnya halitosis.18 Halitosis ini dapat dengan mudah dihilangkan dengan melakukan pembersihan mulut, makan dan berkumur dengan air bersih.17

Halitosis fisologis juga dapat timbul setelah seseorang mengonsumsi makanan yang mengeluarkan bau khas seperti bawang, rempah-rempah dan durian. Halitosis akan dipengaruhi oleh makanan tersebut dan dapat berlangsung selama beberapa jam. Selain itu, tembakau dan alkohol juga dapat menimbulkan bau mulut yang berbeda dan dapat bertahan selama beberapa jam. Halitosis yang timbul disebabkan karena penurunan laju alir saliva pad saat merokok.19


(37)

B. Patologis

Halitosis patologis merupakan halitosis permanen yang tidak dapat dihilangkan dengan metode pembersihan mulut biasa. Pada halitosis patologis harus dilakukan perawatan dan perawatannya bergantung pada faktor penyebab halitosis tersebut.10 Halitosis patologis dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu :

1. Intra Oral

Penyebab halitosis yang utama adalah buruknya kebersihan mulut dan penyakit periodontal. Tindakan pembersihan gigi yang tidak adekuat menyebabkan masih banyaknya sisa makanan yang tertinggal pada gigi.10 Halitosis dapat disebabkan karena adanya lesi karies yang dalam dengan impaksi dan pembusukan makanan. Dapat juga disebabkan karena impaksi makanan pada interdental yang lebar dan akumulasi debris pada gigi berjejal.17

Penyakit periodontal seperti Gingivitis Ulseratif Nekrosis (GUN), periodontitis, perikoronitis dan ulser juga berkaitan dengan terjadinya halitosis.9 Literatur menunjukkan bahwa ada hubungan antara halitosis dengan gingivitis atau penyakit periodontal. Produksi Volatile Sulphur Compounds (VSCs) dalam saliva dijumpai meningkat pada gingiva yang mengalami inflamasi dan sebaliknya menurun apabila gingiva sehat.10

Selain karies dan penyakit periodontal, tongue coating juga menjadi salah satu penyebab halitosis. Coated tongue merupakan akumulasi dari deskuamasi dan pengelupasan sel-sel epitel yang bercampur dengan sel-sel darah, sisa makanan dan bakteri. Menurut sebuah studi mengenai distribusi topografi jenis bakteri pada permukaan lidah, paling banyak ditemukan pada daerah posterior dorsal lidah sampai ke papila sirkumvalata. Beberapa penelitian juga telah mengidentifikasi permukaan posterior dorsal lidah sebagai kontributor utama untuk bau mulut pada orang sehat.1

Gigitiruan juga termasuk faktor penyebab halitosis, terutama jika di pakai sepanjang malam. Biasanya bau memiliki karakter yang khas dan dapat benar-benar teridentifikasi, terutama jika gigitiruan ditempatkan didalam tempat penyimpanannya dan akan mengeluarkan bau beberapa menit kemudian.20


(38)

2. Ekstra Oral

Penyakit saluran pernafasan seperti abses paru-paru, pneumonia nekrosis dan karsinoma saluran pernapasan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang mengarah keproduksi VSCs. Penyakit pernafasan yang terkait lainnya seperti tonsillitis, sinusitis atau polip hidung dapat juga menyebabkan timbulnya halitosis.17 Faktor penyebab halitosis yang berasal dari ekstra oral dapat juga disebabkan manifestasi dari penyakit sistemik seperti hiatus hernia, sirosis hati dan diabetes mellitus.1

Halitosis kadang menjadi gejala pertama dari penyakit saluran pernafasan seperti abses paru-paru yang juga disertai dengan demam, batuk dan nyeri pleuritik. Beberapa organisme, yang kebanyakan anaerob yang menimbulkan abses tersebut. Penyakit saluran pernafasan lainnya seperti karsinoma yang biasanya terjadi pada salah satu bronkus besar mengakibatkan kerusakan jaringan dan infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri anaerob yang menghasilkan bau mulut. Penyakit pernafasan lainnya yang juga terkait dengan halitosis seperti sinusitis yang dapat menghasilkan debit purulen yang menghasilkan bau busuk. Jika sinusitis adalah sekunder yang disebabkan oleh abses pada salah satu gigi pada rahang atas, maka debit akan hadir pada awal penyakit.18

Manifestasi dari penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dapat menimbulkan bau tertentu seperti bau keton dalam nafas.6 Penyakit sistemik lainnya seperti gagal hati menghasilkan bau amina dan azotemia yang menghasilkan bau seperti bau amoniak.18

Gangguan lainnya yang menyebabkan bau mulut adalah trimethylaminuria atau sindrom bau ikan yaitu gangguan langka yang ditandai dengan bau yang berasal dari mulut dan tubuh yang disebabkan oleh kelebihan trimetilamina yang menghasilkan bau amonia tajam seperti ikan busuk.6,19

2.1.3.2 Pseudo Halitosis

Pasien yang mengeluhkan menderita halitosis, tetapi sebenarnya tidak mengalaminya maka pasien tersebut dinyatakan mengalami pseudo halitosis.21 Jika


(39)

pada pemeriksaan awal tidak ditemukan adanya halitosis, maka pemeriksaan dapat diulang pada dua atau tiga hari berbeda. Setelah itu, jika tetap juga tidak ditemukan adanya halitosis berdasarkan pemeriksaan, maka pasien dapat disimpulkan mengalami pseudo halitosis.17

2.1.3.3 Halitopobia

Apabila setelah melakukan perawatan baik untuk genuine halitosis ataupun

pseudo halitosis, tetapi pasien masih mengeluhkan adanya halitosis, maka pasien

tersebut dikategorikan sebagai halitophobia.9,10

2.1.4 Diagnosa

Terdapat beberapa macam cara untuk mendiagnosis halitosis, tetapi riwayat pasien dan pemeriksaan fisik adalah yang utama. Pertanyaan yang ditujukan kepada pasien seharusnya langsung berkaitan dengan halitosis yang dideritanya, seperti durasi dari halitosis tersebut, pada saat kapan halitosis tersebut terjadi, adakah orang lain yang memberitahukan, menyadari ada tidaknya halitosis tersebut, apakah pasien mengonsumsi obat yang menyebabkan mulut menjadi kering.11

Pemeriksaan fisik dengan teliti dapat menentukan penyebab halitosis. Pada kebanyakan kasus pemeriksaan harus terlebih dahulu diarahkan pada rongga mulut dan faring. Semua bagian rongga mulut termasuk bagian bukal, dasar mulut, aspek-aspek lateral lidah dan palatum, harus diperiksa secara hati-hati. Pemeriksaan tambahan seperti palpasi dengan menggunakan jari telunjuk, berguna untuk mengevaluasi adanya lesi yang terlihat pada pemeriksaan awal dan juga dapat mendeteksi lesi yang tidak terlihat.18

Selain riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, diagnosa halitosis dapat dilakukan dengan pengukuran halitosis. Pengukuran halitosis dapat dibedakan menjadi metode langsung dan metode tidak langsung.


(40)

2.1.4.1 Metode Langsung 2.1.4.1.1 Organoleptik

Pengukuran organoleptik dianggap sebagai metode terbaik dan paling umum yang dilakukan untuk mendiagnosis halitosis.11 Alasan mengapa organoleptik menjadi standar terbaik untuk pengukuran halitosis bergantung pada kenyataan bahwa hidung manusia mampu mencium dan mendefinisikan bau, tidak hanya VSCs tetapi juga senyawa organik lain yang berasal dari pernafasan.22

Pengukuran dengan organoleptik dapat dilakukan dengan mencium nafas pasien dan menentukan tingkat halitosisnya.17,23,24 Sebelum melakukan pengukuran tingkat halitosis dengan metode organoleptik, pasien terlebih dahulu diinstruksikan untuk tidak mengonsumsi antibiotik 3 minggu sebelum prosedur. Pasien juga harus diinstruksikan untuk menahan diri dari mengonsumsi bawang putih, bawang merah dan makanan pedas selama 48 jam sebelum pengukuran.23,24 Beberapa persyaratan lainnya termasuk menghindari penggunaan parfum dan deodoran selama 24 jam sebelum pengukuran, tidak merokok dan mengonsumsi alkohol, kopi, teh atau jus 12 jam sebelum prosedur. Pasien juga harus bersedia untuk tidak menggunakan penyegar nafas dan mulut 12 jam sebelum pengukuran.9,17,23,24

Pengukuran halitosis dengan menggunakan metode organoleptik dilakukan dengan cara memasukkan sebuah tabung transparan berdiameter 2,5 cm dan panjang 10cm kedalam mulut pasien dan menginstruksikan untuk menghembuskan nafas secara perlahan kedalam tabung (Gambar 2). Setelah itu di evaluasi dan di berikan skor sesuai dengan skala pengukuran organoleptik (Tabel 1).23


(41)

Tabel 1. Skala pengukuran organoleptik25

Kategori Deskripsi

0 : Tidak ada halitosis Bau tidak terdeteksi 1 : Ada sedikit halitosis yang

sulit terdeteksi

Bau terdeteksi, meskipun pemeriksa tidak mengenalinya sebagai halitosis

2 : Ada sedikit halitosis Bau terdeteksi sebagai sedikit halitosis 3 : Halitosis sedang Bau terdeteksi sebagai halitosis pasti 4 : Halitosis kuat (bau mulut yang

menyengat)

Bau dapat terdeteksi jelas tetapi masih dapat ditoleransi oleh pemeriksa

5 : Halitosis ekstrim (bau mulut yang sangat menyengat)

Bau terdeteksi dengan sangat jelas dan tidak dapat ditoleransi oleh pemeriksa

Jika memungkinkan, untuk mendapatkan diagnosis yang lebih akurat pengukuran halitosis dapat dilakukan kembali pada dua atau tiga hari berikutnya. Hal ini penting dilakukan, terutama bila pada pemeriksaan diduga adanya pseudo halitosis atau halitipobia.23

2.1.4.1.2 Gas Kromatografi

Gas kromatografi adalah metode yang tepat dalam pengukuran gas. Alat ini dilengkapi dengan detektor fotometri khusus untuk medeteksi gas sulfur di dalam rongga mulut. Metode ini dianggap sebagai metode terbaik untuk mengukur tingkat halitosis yang dikarenakan Volatile Sulphur Compounds (VSCs).15

Metode gas kromatografi sangat sensitif dan spesifik dengan deteksi fotometri yang telah diadaptasi untuk pengukuran langsung dari ketiga VSCs yaitu CH3SH, H2S dan (CH3)2S. Metode ini dapat mendeteksi 90 persen VSCs dalam mulut. Selain itu, gas lain seperti kadaverin, putresin dan skatole juga dapat dideteksi.24,26

Oral Chroma adalah salah satu gas kromatografi portable yang dapat menganalisis VSCs seperti hidrogen sulfida, metal marcaptan dan dimetil sulfida dengan menampilkan konsentrasi senyawa tersebut pada layar (Gambar 3).10,24


(42)

Gambar 3. Oral Chroma10

Langkah dasar menggunakan Oral Chroma sebagai berikut :10

1. Sebuah jarum plastik dimasukkan ke dalam rongga mulut dan ditempatkan di antara bibir, jangan sampai menyentuh lidah. Kemudian plunger ditarik secara perlahan, lalu didorong kembali dan tarik plunger untuk kedua kalinya sebelum jarum ditarik keluar dari mulut.

2. Keringkan ujung jarum plastik apabila permukaan luarnya basah. Lekatkan jarum tersebut dan tekan plunger untuk mengeluarkan gas 0,5cc (1/2 kalibrasi).

3. Sisa gas yang ada di dalam jarum, dimasukkan ke dalam alat oral chroma dengan menekan plunger. Setelah selesai, hasil pengukuran akan keluar secara otomatis.

2.1.4.1.3 Sulphide Monitor A. Halimeter

Halimeter adalah monitor gas portable menggunakan sensor elektrokimia untuk mendeteksi keberadaan VSCs di dalam rongga mulut (Gambar 4).24 Halimeter memiliki sensitivitas tinggi terhadap hidrogen sulfida, tetapi sensitivitas rendah terhadap metil mercaptan yang merupakan kontributor yang signifikan untuk halitosis yang disebabkan oleh penyakit periodontal.9 Makanan tertentu seperti bawang putih dan bawang merah dapat menghasilkan senyawa sulfur dalam nafas selama 48 jam sehingga dapat mengakibatkan bias pada saat pengukuran. Halimeter juga sangat


(43)

sensitif terhadap alkohol, sehingga harus menghindari mengonsumsi minuman beralkohol ataupun menggunakan obat kumur yang mengandung alkohol selama 12 jam sebelum pengukuran.27

Gambar 4. Portable sulphide monitor : Halimeter (Interscan Co. Chatsworth, CA)17

Monitor pada halimeter dilengkapi dengan sensor elektrokimia.21,24 Halimeter perlu dikalibrasi ke nol sebelum melakukan pengukuran.27 Pasien diinstruksikan untuk menghembuskan nafas ke dalam tabung transparan yang membawa nafas ke pompa hisap yang pada nantinya akan membawa udara ke dalam monitor.17,24 Kemudian pasien diminta untuk menutup mulut selama 1 menit, setelah itu pasien di minta untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah. Lalu selang ditempatkan di pertengahan posterior dorsal bagian lidah dan tetap dibiarkan sampai nilai maksimum VSCs tercatat.27 Monitor akan menganalisis total kandungan sulfur dalam nafas.17,24 Tingkat VSCs tercatat dalam parts per billion (ppb).27

B.Breath Checker

Breath checker adalah monitor inovatif yang mendeteksi dan mengukur

tingkat VSCs pada udara yang ada di dalam rongga mulut (Gambar 5).15 Tingkat VSCs diukur dengan cara menghembuskan nafas pada alat tersebut.28 Monitor akan menampilkan tingkat bau dalam lima tingkatan tergantung pada jumlah VSCs yang diukur dalam rongga mulut.29


(44)

Gambar 5. Tanita Breath Checker©30

Tata cara pemakaian breath checker yaitu sebagai berikut:31

1. Tarik penutup ke atas dan sensor akan menyala (Gambar 6). Nomor pada layar akan menghitung mundur 5 sampai 1. Kocok alat perlahan 4 sampai 5 kali untuk menghapus bau atau uap air yang tersisa di alat tersebut

. Gambar 6. Bagian-bagian pada Breath Checker31

2. Sensor harus sekitar 1 cm dari mulut pasien. Ibu jari menyentuh ke dagu pasien sehingga sensor tepat berada di depan mulut pasien. Ketika “start” di tampilkan, pasien mulai menghembuskan nafas ke arah sensor sampai terdengar bunyi “bip” atau sekitar 4 detik (Gambar 7).


(45)

3. Jika pasien berhenti menghembuskan nafas sebelum terdengar bunyi “bip” atau tidak menghembuskan nafas selama 6 detik, maka alat akan mati secara otomatis.

Gambar 7. Penggunaan Breath Checker32

4. Tingkat pengukuran akan muncul pada monitor (Gambar 8). Setelah selesai sensor ditutup kembali, maka alat tersebut akan mati secara otomatis.

Gambar 8. Skala pengukuran pada Breath Checker31

Pada layar monitor Breath Checker akan menunjukkan skor 0 sampai 5, yang berarti 0 (tidak ada bau mulut), 1 (adanya sedikit bau mulut), 2 (adanya bau mulut terdeteksi sedang), 3 (adanya bau mulut yang terdeteksi sangat jelas), 4 (adanya bau mulut yang terdeteksi kuat) dan 5 (adanya bau mulut yang sangat tajam).30 Pengukuran halitosis menggunakan Breath Checker menunjukkan seseorang benar memiliki halitosis apabila pada monitor Breath Checker menunjukkan skor ≥ 2, yang berarti orang tersebut memiliki halitosis yang terdeteksi jelas.7,29


(46)

2.1.4.2 Metode Tidak Langsung 2.1.4.2.1 Tes BANA

Tes BANA adalah uji berbasis enzim yang digunakan untuk menentukan aktivitas proteolitik oral anaerob tertentu yang berkontribusi terhadap halitosis dan dianggap sebagai produsen H2SO4 aktif.15

Tes ini adalah tes strip yang terdiri dari benzoil-DL-argini-anaphthylamide yang mendeteksi asam lemak dan gram negatif anaerob obligat proteolitik, yang menghidrolisis substrat tripsin sintetis dan menyebabkan halitosis (Gambar 9). Dengan menggunakan tes BANA, tidak hanya dapat mendeteksi halitosis tetapi juga menjadi penilaian risiko periodontal.33

Gambar 9. BANA test34

Pada tes BANA dengan uji strip plastik terdapat dua reagen matriks terpisah:35

1. Semakin rendah reagen putih matriks diresapi dengan N-benzoyl- DL-arginin-B-napthylamide (BANA). Sampel plak subgingiva diterapkan matriks yang lebih rendah ini.

2. Matriks reagen atas berisi reagen diazo kromogenik, yang bereaksi dengan produk hidrolitik dari reaksi enzim membentuk warna biru. Warna biru muncul dalam buff matriks atas dan bersifat permanen. Intensitas warna menentukan apakah itu adalah reaksi positif atau lemah.


(47)

2.1.5 Penatalaksanaan

Sebelum pengobatan diberikan, etiologi halitosis harus teridentifikasi terlebih dahulu sehingga pengobatan sesuai dengan sumber yang ditujukan.11 Oleh karena itu, langkah pertama adalah menentukan diagnosis yang tepat dengan mengidentifikasi etiologi dan sebagian besar etiologinya berasal dari dalam rongga mulut.1

Dalam praktek dokter gigi, kebutuhan pengobatan untuk halitosis terbagi menjadi 5 kategori (Tabel 2) untuk memberikan pedoman dalam mengobati pasien halitosis. Pedoman ini berkaitan langsung dengan diagnosis awal halitosis.9

Tabel 2. Treatment needs (TN) for breath malodor21

Kategori Deskripsi

TN-1 Penjelasan halitosis dan instruksi untuk kesehatan mulut (dukungan dan penguatan perawatan diri pasien sendiri untuk perbaikan lebih lanjut dari kebersihan mulut mereka)

TN-2 Oral profilaksis, pembersihan dan perawatan profesional untuk penyakit mulut, penyakit periodontal khususnya.

TN-3 Rujukan ke dokter atau dokter spesialis.

TN-4 Penjelasan data pemeriksaan, instruksi lanjut dari tenaga profesional, edukasi dan jaminan.

TN-5 Rujukan ke psikolog klinis,psikiater atau lainnya spesialis psikologis.

Treatment needs (TN) halitosis dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi

halitosis (Tabel 3). Pengobatan halitosis fisiologis (TN-1), halitosis patologis (TN-1 dan TN-2) dan pseudo halitosis (TN-1 dan TN-4) menjadi tanggung jawab dokter gigi. Namun, pengobatan halitosis patologis eksrtra oral (TN-3) atau halitophobia (TN5) menjadi tanggung jawab seorang dokter spesialis seperti psikiater atau psikolog.9,22


(48)

Tabel 3. Klasifikasi halitosis dengan treatment needs (TN)21

Klasifikasi Treatment needs

1. Genuine halitosis

A. Halitosis fisiologis TN-1

B. Halitosis patologis

i. Oral TN-1 dan TN-2

ii. Ekstra oral TN-1 dan TN-3

2. Pseudo halitosis TN-1 dan TN-4


(49)

2.2 Kerangka Teori

Pseudo

Halitosis Faktor

Fisiologis

Faktor Patologis

Volatile Sulphur Compounds

Intra Oral Ekstra Oral

Genuine

Halitosis Halitophobia

Penatalaksanaan berdasarkan


(50)

2.3 Kerangka Konsep

Pasien RSGM USU

• Faktor penyebab : *Fisiologis *Patologis : - Intra Oral -Ekstra Oral


(51)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Halitosis atau juga sering disebut bau mulut merupakan masalah pribadi yang dapat menimbulkan rasa malu dan biasa dihadapi oleh jutaan orang. Halitosis dapat menyebabkan ketidakharmonisan sosial dan rasa malu yang telah dicatat dalam literatur selama ribuan tahun.1 Halitosis memiliki implikasi sosial besar yang merugikan bagi penderitanya dan secara signifikan berdampak pada norma interaksi sosial.2 Oleh karena itu, halitosis menjadi faktor penting yang harus diperhatikan, tidak hanya pada kondisi kesehatan tetapi juga pada kondisi psikologis yang dapat mengalami perubahan yang lama kelamaan menyebabkan isolasi sosial dan pribadi.1

Pada literatur dinyatakan sampai dengan 30% orang dewasa dengan usia lebih dari 60 tahun dapat menyadari sendiri halitosis yang mereka derita, ataupun setelah diberitahu oleh orang lain. Sementara itu, sebagian orang masih tidak percaya bahwa mereka benar-benar memiliki halitosis. Keadaan ini dapat menjadi suatu dilema klinis yang nyata, dan tampaknya memiliki dasar psikogenik.3

Penyebab halitosis dapat multifaktorial tetapi dalam kebanyakan kasus, penyebab halitosis berasal dari mulut itu sendiri.Ghapanchi dkk menemukan bahwa dari 360 pasien yang berkunjung ke sekolah kedokteran gigi Shiraz di Iran, ditemukan sebanyak 27,8% pasien pada rentang usia 10-56 tahun mengeluhkan halitosis. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan pasien dengan genuine halitosis (94%) dan pseudo halitosis (6%). Pada pasien dengan genuine halitosis, sebanyak 76% ditemukan menunjukkan penyebab berasal dari intra oral, sementara itu sebanyak 18% memiliki penyebab berasal dari ekstra oral. Hasil penelitian tersebut juga menemukan bahwa karies gigi adalah penyebab paling umum halitosis yang berasal dari oral (62%), diikuti oleh penyakit periodontal (55%), terapi saluran akar yang tidak hermetis (12%), xerostomia (9%), pemakaian gigitiruan (2%), diet konsumsi protein tinggi terutama makanan laut (28%), merokok (13%), sinusitis dan


(52)

polip hidung (4%), sembelit dan refluks lambung (4%), faktor hormonal (4%) dan obat (4%). Sementara itu, penelitian tersebut menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia pasien, jenis kelamin dan tingkat pendidikan dengan halitosis.4

Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Arora dkk, pada 250 subyek penelitian menunjukkan prevalensi halitosis tertinggi berasal dari penyakit periodontal (73,67%), sementara itu karies gigi (53,29%), kehilangan gigi (22.80%), kalkulus (18.80%), gigi sensitif (49,31%), dan abses (15.20%). Penelitian tersebut menunjukkan terdapat perbedaan prevalensi halitosis yang signifikan pada pria dan wanita.5

Prevalensi halitosis yang sebenarnya belum diketahui dan beberapa laporan sulit mengevaluasi prevalensi halitosis kecuali dalam menentukan klasifikasi, terminologi, dan metodologi yang digunakan. Saat ini data epidemiologi yang tersedia sulit untuk menggambarkan prevalensi halitosis karena didasarkan pada estimasi subjektif dari bau tidak sedap, yang terbatas oleh ketidaktelitian dan sensitivitas rendah.6

Salah satu metode pengukuran halitosis adalah dengan menggunakan alat

Breath Checker, yaitu monitor inovatif yang dapat mendeteksi dan mengukur tingkat Volatile Sulphur Compounds (VSCs) pada udara yang ada di dalam rongga mulut

dengan hasil pengukuran berupa skor yang akan muncul pada layar monitor. Breath

Checker juga sudah digunakan dalam beberapa penelitian sebagai alat untuk

mengukur tingkat halitosis seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Singh dkk yaitu mengukur tingkat halitosis menggunakan Breath Checker pada orang yang memiliki penyakit periodontal sebelum dan sesudah berkumur dengan metronidazol. Penelitian lainnya yang juga menggunakan Breath Checker adalah penelitian yang dilakukan oleh Putri yaitu mengukur tingkat halitosis menggunakan Breath Checker sebelum dan sesudah mengonsumsi campuran larutan madu dan bubuk kayu manis. Dari hasil kedua penelitian tersebut, dinyatakan bahwa Breath Checker dapat digunakan untuk pengukuran tingkat halitosis.7,8


(53)

Penelitian terdahulu mengenai prevalensi halitosis dan penyebabnya menghasilkan suatu penelitian yang bervariasi sehingga terdapat perbedaan hasil dalam prevalensi penyebab halitosis. Disamping itu, belum pernah dilakukan penelitian mengenai prevalensi halitosis pada pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut di Universitas Sumatera Utara dan juga belum pernah dilakukan penelitian halitosis dengan metode pengukuran menggunakan Breath

Checker. Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan diatas, penulis merasa perlu

melakukan penelitian mengenai prevalensi halitosis pada pasien yang berkunjung di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sumatera Utara.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu :

1.2.1 Umum

Berapakah prevalensi halitosis pada pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sumatera Utara tahun 2015.

1.2.2 Khusus

1. Berapakah persentase pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara berdasarkan jenis kelamin.

2. Berapakah persentase pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara berdasarkan usia.

3. Berapakah persentase keluhan halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

4. Apa saja penyebab halitosis berdasarkan faktor fisiologis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

5. Apa saja penyebab halitosis berdasarkan faktor intra oral pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

6. Apa saja penyebab halitosis berdasarkan faktor ekstra oral pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.


(54)

7. Berapakah persentase halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui prevalensi halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara tahun 2015.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui persentase pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara berdasarkan jenis kelamin.

2. Untuk mengetahui persentase pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara berdasarkan usia.

3. Untuk mengetahui persentase keluhan halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

4. Untuk mengetahui persentase penyebab halitosis berdasarkan faktor fisiologis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

5. Untuk mengetahui persentase penyebab halitosis berdasarkan faktor intra oral pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

6. Untuk mengetahui persentase penyebab halitosis berdasarkan faktor ekstra oral pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

7. Untuk mengetahui persentase halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi atau masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran gigi mengenai prevalensi


(55)

halitosis berdasarkan faktor penyebab intra oral dan ekstra oral pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU.

2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penunjang penelitian berikutnya yang berkaitan dengan faktor penyebab halitosis.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Sebagai tambahan pengetahuan bagi tenaga kesehatan dalam melakukan edukasi tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan halitosis.

2. Sebagai tambahan pengetahuan bagi masyarakat bahwa halitosis dapat disebabkan oleh faktor penyebab intra oral dan ekstra oral.


(56)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut Tahun 2016

Cindy Amallia Aryetta

Prevalensi Halitosis pada Pasien yang Berkunjung Ke RSGM USU Tahun 2015.

x + 44 halaman

Halitosis adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan bau nafas tidak sedap yang berasal dari rongga mulut serta dapat melibatkan kesehatan dan kehidupan sosial seseorang. Halitosis dibedakan menjadi halitosis fisiologis yaitu halitosis yang disebabkan oleh faktor fisiologis yang bersifat sementara dan halitosis patologis yaitu halitosis permanen yang tidak dapat dihilangkan dengan metode pembersihan mulut biasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pemilihan sampel menggunakan teknik Purposive Sampling. Penelitian ini melibatkan 87 pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara. Pengumpulan data dilakukan dengan mengisi kuesioner, pemeriksaan rongga mulut serta pengukuran menggunakan alat Breath Checker. Hasil penelitian menunjukkan dari 87 pasien ditemukan 11,5% faktor fisiologis, 82,7% faktor intra oral dan 3,4% faktor ekstra oral. Hasil dari pengumpulan data dengan kuesioner, pemeriksaan rongga mulut dan pengukuran halitosis dengan Breath Checker yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan sebanyak 97,6% pasien yang memiliki halitosis. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi halitosis yang tinggi pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini bermanfaat untuk mengedukasi masyarakat mengenai halitosis dan faktor penyebabnya, serta untuk dapat menghindari timbulnya ketidakharmonisan sosial pada penderita halitosis.


(57)

PREVALENSI HALITOSIS PADA PASIEN YANG

BERKUNJUNG KE RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

CINDY AMALLIA ARYETTA NIM: 110600036

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(58)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut Tahun 2016

Cindy Amallia Aryetta

Prevalensi Halitosis pada Pasien yang Berkunjung Ke RSGM USU Tahun 2015.

x + 44 halaman

Halitosis adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan bau nafas tidak sedap yang berasal dari rongga mulut serta dapat melibatkan kesehatan dan kehidupan sosial seseorang. Halitosis dibedakan menjadi halitosis fisiologis yaitu halitosis yang disebabkan oleh faktor fisiologis yang bersifat sementara dan halitosis patologis yaitu halitosis permanen yang tidak dapat dihilangkan dengan metode pembersihan mulut biasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pemilihan sampel menggunakan teknik Purposive Sampling. Penelitian ini melibatkan 87 pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara. Pengumpulan data dilakukan dengan mengisi kuesioner, pemeriksaan rongga mulut serta pengukuran menggunakan alat Breath Checker. Hasil penelitian menunjukkan dari 87 pasien ditemukan 11,5% faktor fisiologis, 82,7% faktor intra oral dan 3,4% faktor ekstra oral. Hasil dari pengumpulan data dengan kuesioner, pemeriksaan rongga mulut dan pengukuran halitosis dengan Breath Checker yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan sebanyak 97,6% pasien yang memiliki halitosis. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi halitosis yang tinggi pada pasien yang berkunjung ke RSGM Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini bermanfaat untuk mengedukasi masyarakat mengenai halitosis dan faktor penyebabnya, serta untuk dapat menghindari timbulnya ketidakharmonisan sosial pada penderita halitosis.


(59)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan tim penguji penelitian

Medan, 01 April 2016

Pembimbing: Tanda Tangan

1. Indri Lubis, drg

NIP. 19830808 200812 2 003 ...


(60)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini dipertahankan dihadapan tim penguji pada tanggal 01 April 2016

TIM PENGUJI

KETUA : Indri Lubis, drg

ANGGOTA : 1. Dr. Wilda Hafni Lubis, drg., M.Si 2. Aida Fadhilla Darwis, drg


(61)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa skripsi ini telah selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., PhD., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp. PM selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Indri Lubis, drg selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, waktu, saran, dukungan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Dr. Wilda Hafni Lubis, drg., M.Si dan Aida Fadhillah Darwis, drg selaku dosen penguji, atas kesediaannya memberikan waktu dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. M. Zulkarnain, drg., M.Kes selaku penasehat akademik, yang banyak memberikan motivasi, nasihat dan arahan selama penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga secara khusus penulis sampaikan kepada orang tua penulis, Ayahanda H.OK. Arya Zulkarnain, SH.,MM dan Ibunda Margaretha yang selalu memberikan dorongan, baik moril maupun materil serta doanya kepada penulis. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak Rizky Aryetta, SST., M.Si, abang M. Kurnia Aryetta, SH dan teman dekat penulis M. Fahmi Hizrah Syahputra, SE yang selalu memberikan motivasi, doa dan dukungan kepada penulis.


(62)

Terima kasih kepada sahabat-sahabat tersayang, Cantika, Farah, Enni, Dara, Karina, Farisa dan teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Ilmu Penyakit Mulut serta teman-teman seangkatan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan, doa dan dukungan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi.

Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan dan peningkatan ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi khususnya Departemen Ilmu Penyakit Mulut. Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selain ucapan syukur yang tak terhingga, semoga Allah SWT selalu memberikan ridho dan karunia-Nya kepada kita semua.

Medan, 01 April 2016 Penulis,

(Cindy Amallia Aryetta) NIM : 110600036


(63)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.2.1 Umum ... 3

1.2.2 Khusus ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 4

1.4.2 Manfaat Praktis ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Halitosis ... 6

2.1.1 Definisi ... 6

2.1.2 Etiopatogenesis Halitosis ... 6

2.1.3 Klasifikasi ... 8

2.1.3.1 Genuine Halitosis ... 8

2.1.3.2 Pseudo Halitosis ... 10

2.1.3.3 Halithopobia ... 11

2.1.4 Diagnosa ... 11

2.1.4.1 Metode Langsung ... 12

2.1.4.1.1 Organoleptik ... 12

2.1.4.1.2 Gas Kromatografi ... 13

2.1.4.1.3 Sulphide Monitor ... 14

2.1.4.2 Metode Tidak Langsung ... 18

2.1.4.2.1 Tes BANA ... 18

2.1.5 Penatalaksanaan ... 19

2.2 Kerangka Teori ... 21


(1)

Terima kasih kepada sahabat-sahabat tersayang, Cantika, Farah, Enni, Dara, Karina, Farisa dan teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Ilmu Penyakit Mulut serta teman-teman seangkatan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan, doa dan dukungan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi.

Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan dan peningkatan ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi khususnya Departemen Ilmu Penyakit Mulut. Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selain ucapan syukur yang tak terhingga, semoga Allah SWT selalu memberikan ridho dan karunia-Nya kepada kita semua.

Medan, 01 April 2016 Penulis,

(Cindy Amallia Aryetta) NIM : 110600036


(2)

vi

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.2.1 Umum ... 3

1.2.2 Khusus ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 4

1.4.2 Manfaat Praktis ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Halitosis ... 6

2.1.1 Definisi ... 6

2.1.2 Etiopatogenesis Halitosis ... 6

2.1.3 Klasifikasi ... 8

2.1.3.1 Genuine Halitosis ... 8

2.1.3.2 Pseudo Halitosis ... 10

2.1.3.3 Halithopobia ... 11

2.1.4 Diagnosa ... 11

2.1.4.1 Metode Langsung ... 12

2.1.4.1.1 Organoleptik ... 12

2.1.4.1.2 Gas Kromatografi ... 13

2.1.4.1.3 Sulphide Monitor ... 14

2.1.4.2 Metode Tidak Langsung ... 18

2.1.4.2.1 Tes BANA ... 18

2.1.5 Penatalaksanaan ... 19

2.2 Kerangka Teori ... 21


(3)

BAB 3 METODE PENELITIAN... 23

3.1 Jenis Penelitian ... 23

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.3 Populasi dan Sampel ... 23

3.3.1 Populasi ... 23

3.3.2 Sampel ... 23

3.3.2.1 Besar Sampel ... 24

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 24

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 24

3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 25

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 25

3.5.1 Variabel Bebas ... 25

3.5.2 Variabel Terikat ... 25

3.5.3 Definisi Operasional ... 25

3.6 Sarana Penelitian ... 28

3.6.1 Alat ... 28

3.6.2 Bahan ... 28

3.7 Metode Pengumpulan Data ... 29

3.8 Pengolahan dan Analisa Data ... 29

3.9 Etika Penelitian ... 30

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 31

4.1 Data Demografi Subjek Penelitian ... 31

4.2 Pemeriksaan Faktor Penyebab Subjek Penelitian ... 32

BAB 5 PEMBAHASAN ... 35

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 40

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN


(4)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Skala pengukuran organoleptik ... 13 2. Treatment Needs (TN) for breath malodor ... 19 3. Klasifikasi halitosis dengan treatment needs (TN) ... 20 4. Distribusi dan Frekuensi Keluhan Halitosis pada Pasien yang

Berkunjung ke RSGM USU Berdasarkan Jenis Kelamin ... 31 5. Distribusi dan Frekuensi Keluhan Halitosis pada Pasien yang

Berkunjung ke RSGM USU Berdasarkan Usia ... 31 6. Distribusi dan Frekuensi Keluhan Halitosis pada Pasien yang

Berkunjung ke RSGM USU ... 32 7. Distribusi dan Frekuensi Faktor Penyebab Halitosis pada Pasien

yang Berkunjung ke RSGM USU ... 32 8. Distribusi dan Frekuensi Faktor Penyebab Fisiologis Halitosis pada

Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU ... 32 9. Distribusi dan Frekuensi Faktor Penyebab Intra Oral Halitosis pada

Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU ... 33 10.Distribusi dan Frekuensi Faktor Penyebab Ekstra Oral Halitosis pada

Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU ... 34 11.Distribusi dan Frekuensi Halitosis Pada Pasien yang Berkunjung


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Produksi Volatile Sulphur Compounds (VSCs) ... 7

2. Metode organoleptik ... 12

3. Oral Chroma ... 14

4. Portable Sulphide Monitor: Halimeter ... 15

5. Tanita Breath Checker© ... 16

6. Bagian-bagian pada Breath Checker ... 16

7. Penggunaan Breath Checker ... 17

8. Skala Pengukuran pada Breath Checker ... 17


(6)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Lembar penjelasan kepada subyek penelitian 2. Lembar persetujuan (Informed Consent) 3. Kuesioner dan lembar pemeriksaan