Pengelolaan Sumber Daya Ikan Lumo, Labiobarbus Ocellatus (Heckel, 1843) Berdasarkan Pertumbuhan Dan Reproduksinya Di Sungai Tulang Bawang, Lampung

(1)

PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO,

Labiobarbus ocellatus

(Heckel, 1843) BERDASARKAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSINYA

DI SUNGAI TULANG BAWANG, LAMPUNG

INDRA GUMAY YUDHA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Pengelolaan Sumber Daya Ikan Lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) Berdasarkan Pertumbuh-an dPertumbuh-an Reproduksinya di Sungai TulPertumbuh-ang BawPertumbuh-ang, Lampung” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015 Indra Gumay Yudha NIM C261100011


(4)

RINGKASAN

INDRA GUMAY YUDHA. Pengelolaan Sumber Daya Ikan Lumo, Labio-barbus ocellatus (Heckel, 1843) Berdasarkan Pertumbuhan dan Reproduksi-nya di Sungai Tulang Bawang, Lampung. Dibimbing oleh MUHAMMAD FADJAR RAHARDJO, DANIEL DJOKOSETIYANTO, dan DJAMAR TUMPAL F. LUMBAN BATU.

Sungai Tulang Bawang merupakan salah satu sungai dataran banjir di Provinsi Lampung yang memiliki keanekaragam ikan yang tinggi. Salah sa-tu ikan jenis ikan ekonomis penting di Sungai Tulang Bawang adalah ikan lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) yang termasuk famili Cyprini-dae. Ikan ini memiliki daerah persebaran terbatas di perairan umum di Su-matera, Semenanjung Malaya, dan Borneo.

Data dan informasi ilmiah tentang ekobiologi ikan lumo masih minim. Aspek pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo hingga saat ini belum dikaji. Tidak tersedianya data dan informasi biologi perikanan suatu jenis ikan me-nyebabkan upaya pengelolaan ikan tersebut tidak optimal. Penelitian ini ber-tujuan untuk menganalisis beberapa aspek pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo, serta parameter fisika kimia perairan yang memengaruhinya. Aspek pertumbuhan yang dikaji dalam penelitian ini adalah hubungan panjang bo-bot dan faktor kondisi relatif. Adapun beberapa aspek reproduksi yang di-teliti meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas, dia-meter telur, tipe pemijahan, musim pemijahan, dan ukuran pertama kali ma-tang gonad.

Persamaan hubungan panjang bobot dihitung menggunakan regresi kuadrat terkecil dari transformasi logaritma persamaan W=aLb. Faktor kon-disi relatif dihitung berdasarkan Kn=W/W*. Penentuan nisbah kelamin di-lakukan dengan membandingkan jumlah ikan jantan dengan ikan betina. Tingkat kematangan gonad diamati secara morfologis, sedangkan indeks kematangan gonad ditentukan dari persamaan IKG=(Wg/W)x100%. Fekun-ditas dihitung menurut persamaan FT=(Gxf)/g. Persamaan hubungan fekun-ditas dan panjang total dihitung menggunakan regresi kuadrat terkecil dari transformasi logaritma persamaan F=aLb

Ikan contoh dikumpulkan setiap bulan selama periode April 2013 hingga Maret 2014 di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak, Lampung, menggunakan jaring insang berukuran mata jaring 1”,1½”, 1¾”, dan 2”. Spesimen terdiri dari 690 ekor ikan lumo jantan dengan kisaran panjang to-tal 96-232 mm dan 651 ekor lumo ikan betina dengan kisaran panjang toto-tal 83-242 mm.

. Adapun ukuran ikan lumo perta-ma kali perta-matang gonad diestiperta-masi menggunakan analisis Spearperta-man-Karber.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan lumo jantan dan ikan lumo betina memiliki pertumbuhan allometrik positif. Persamaan hubungan pan-jang bobot ikan lumo jantan adalah W= 2,227x10-6 L3,284, sedangkan ikan lumo betina memiliki persamaan W = 2,473x10-6 L3,272. Nilai rata-rata fak-tor kondisi ikan lumo adalah 1,02±0,03 (jantan) dan 1,02±0,04 (betina) dan faktor kondisi tersebut relatif sama antara musim kemarau dan musim hujan.


(5)

Ikan lumo termasuk kelompok ikan yang melakukan pemijahan seren-tak. Pemijahan berlangsung setahun sekali yang bertepatan dengan musim hujan antara bulan Oktober-Januari di perairan Bawang Latak. Ikan lumo memijah dengan nisbah kelamin 1:1 pada saat bulan Oktober-Desember. Puncak pemijahan terjadi pada bulan November dan Desember. Ukuran ikan lumo jantan saat pertama kali matang gonad adalah 157±1 mm dan pa-da ikan lumo betina 160 ±1 mm. Fekunditas ikan lumo berkorelasi dengan panjang total dengan persamaan log F=3,653 log L - 4,546 (di Sungai Tu-lang Bawang) dan log F=3,982 log L - 5,287 (di perairan Bawang Latak). Fekunditas ikan tersebut bervariasi antara 3.404-21.147 butir telur.

Sumber daya ikan lumo di perairan Tulang Bawang telah terindikasi mengalami penurunan, baik dalam jumlah maupun ukurannya yang semakin mengecil. Penurunan ikan lumo dapat disebabkan oleh berbagai faktor, se-perti tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang merusak, dan kerusakan habitat perairan.

Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan lumo disarankan agar pemanfaatan sumber daya ikan tersebut tidak menggunakan alat penangkap-an ikpenangkap-an ypenangkap-ang merusak (jaring togok, setrum ikpenangkap-an, dpenangkap-an racun), menggunakpenangkap-an alat tangkap yang selektif seperti jaring insang dengan ukuran mata jaring lebih besar dari 1¾ inci, penutupan masa penangkapan ikan pada saat pun-cak musim pemijahan lumo antara bulan November-Desember di Bawang Latak, dan perbaikan lingkungan DAS Tulang Bawang melalui rehabilitasi lahan serta penerapan konservasi tanah dan air pada kegiatan pertanian la-han kering.


(6)

SUMMARY

INDRA GUMAY YUDHA. The fish management of lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) based on it’s growth and reproduction aspects in Tulang Bawang River, Lampung. Supervised by MUHAMMAD FADJAR RAHARDJO, DANIEL DJOKOSETIYANTO, and DJAMAR TUMPAL F. LUMBAN BATU.

Tulang Bawang is one of the floodplain rivers in Lampung which has a high diversity of fish. One of the economically important of fishes is lumo fish, Labiobarbus ocellatus. Lumo fish is belonged to Cyprinidae. That fish is limited only to the waters of Sumatera, the Malay Peninsula and Borneo. There is lack of data and ecobiology information about L. ocellatus. The growth and reproduction of lumo fish have not been evaluated.

The unavailability of fisheries biology data and information causing the fish management efforts are not optimal. This study aimed to analyze se-veral aspects of the growth and reproduction of lumo fish, as well as physic-al and chemicphysic-al parameters affecting the waters. The examined growth as-pects, particulary in this study were the lumo’s length-weight relation and the relative condition factor. Meanwhile, the examined aspects of lumo re-production consisted of sex ratio, gonad’s maturity, fecundity, egg’s diame-ter, type of spawning, the spawning season, and the size of lumo at first ma-turity.

The length-weight relationship was`calculated using least squares re-gression of following logarithmic transformation equation named, W = aLb. The relative condition factor was calculated according to Kn = W / W* equ-ation. Sex ratio was determined by comparing the number of male to female fish. Gonad maturity level was observed morphologically. The gonado so-matic index (GSI) was derived from (Wg/W)x100%. Fecundity (FT) was calculated according to the (GXF)/g. The relation of fecundity and the length was calculated using a least squares regression of following logarith-mic transformation equation named, F = aLb

The samples of fish were collected monthly, during April 2013 to March 2014 in the Tulang Bawang River and Bawang Latak Swamp, Lam-pung by using gill net sized 1", 1½", 1¾", and 2". Specimens consisted of 690 males at 96-232 mm in total length and 651 females at 83-242 mm in total length .

. For estimating the size of the first maturity was calculated based on Spearman-Karber analysis.

The results showed that the male and female lumo had a positive allo-metric growth. The length-weight relationship of male followed W= 2,227 x10-6 L3,284, whereas females had W = 2,473x10-6 L3,272 . The average value of the lumo’s condition factor was 1.02 ± 0.03 (male) and 1.02 ± 0.04 (fe-male) which indicated that fish was in a good condition. Lumo was the group of fish that performed spawning simultaneously. Spawning was occured once a year in the rainy season between the months of October to January at Bawang Latak waters. Lumo spawned with a sex ratio of 1: 1 during October to December. Peak spawning occured in November and


(7)

December. The size of first maturity of male is 157 ± 1 mm, while the fema-le is 160 ± 1 mm. The fecundity had some correlations with the body fema-length. The related equations are log F=3,653 log L - 4,546 (at Tulang Bawang Ri-ver) and log F=3,982 log L - 5,287 (at Bawang Latak waters).However, fe-cundity varied between 3.404-21.147 eggs.

Lumo fish resources in Tulang Bawang waters has been indicated was declined, both in quantity and narrowed size of fish. Decrease of lumo fish can be caused by various factors, such as overfishing, using of de-structive fishing gear, and degradation of aquatic habitats.

In order to manage lumo fish resources, its suggested that utilization of fish resources are not using destructive fishing gear (togok, electro fish-ing, and poisson), using selective fishing gear, i.e. gillnets with a mesh size larger than 1¾ inches, closing fishing activity during peak spawning of lu-mo fish between November to December in Bawang Latak, and improve-ment Tulang Bawang watershed through rehabilitation and impleimprove-mentation of soil and water conservation in farming activities.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan

PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO,

Labiobarbus ocellatus

(Heckel, 1843) BERDASARKAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSINYA

DI SUNGAI TULANG BAWANG, LAMPUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian:

Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Peneliti pada

(Peneliti Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan)

2. Dr. Didik Wahju Hendro Tjahjo, M.S.

(Peneliti Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Husnah, M.Phil.

(Peneliti Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan)

2. Dr. Didik Wahju Hendro Tjahjo, M.S.

(Peneliti Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan)


(11)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi ini. Penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA, dan Prof. Dr. Ir. Djamar T.F. Lumban Batu, M. Agr., selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, dan perbaikan;

2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf yang telah memberikan pelayan-an administrasi akademik kepada mahasiswa dengpelayan-an spelayan-angat baik;

3. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan beserta staf yang te-lah memberikan pelayanan dengan baik;

4. Prof. (R) Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku penguji luar komisi pada ujian kualifikasi, yang telah memberikan saran dan perbaikan;

5. Prof. Dr. Ir. Husnah, M.Phil. dan Dr. Didik Wahju Hendro Tjahjo, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan;

6. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) kepada penulis dalam rangka tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB;

7. Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan Ketua Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, yang telah sepe-nuhnya memberikan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan studi pro-gram doktor;

8. Pertamina Foundation yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui kegiatan Anugerah Sobat Bumi 2013;

9. Keluarga Kol. (Purn.) Drs. H. Sahmi Gumay, keluarga Mayor (Purn.) M. Wa-hono, istriku Yuli Ambarwati, S.Sos., M.Pd. beserta anak-anakku M. Alfarizi Gumay dan M. Rayhan Gumay yang penuh kesabaran, pengertian, dan senan-tiasa memberikan doa, motivasi, dan semangat kepada penulis dalam melaksa-nakan tugas belajar;

10.Rekan-rekan SDP 2010 (Haryono, Asbar Laga, Meria, dan Lukman), Hamid, Tedjo Sukmono, Alfred, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan, motivasi, kebersamaan, dan kerjasama yang baik.

Penulis mempersembahkan karya ilmiah ini untuk semua pihak, khususnya yang terkait dalam pengelolaan sumber daya perairan yang berkelanjutan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015 Indra Gumay Yudha


(13)

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian 2

Kebaharuan 3

Kerangka Pemikiran Penelitian 3

2. KARAKTERISTIK PERAIRAN 5

Pendahuluan 5

Metode Penelitian 5

Hasil 8

Pembahasan 11

Simpulan 14

3. PERSEBARAN IKAN LUMO 15

Pendahuluan 15

Metode Penelitian 15

Hasil 16

Pembahasan 20

Simpulan 22

4. PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN LUMO 23

Pendahuluan 23

Metode Penelitian 23

Hasil 25

Pembahasan 28

Simpulan 29

5. ASPEK REPRODUKSI IKAN LUMO 31

Pendahuluan 31

Metode Penelitian 31

Hasil 33

Pembahasan 37

Simpulan 39

6. PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO 43

Pendahuluan 40

Ancaman 41

Pengelolaan 46

7. SIMPULAN DAN SARAN 52

Simpulan 52

Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

59 85


(14)

1 Metode dan alat yang digunakan dalam pengukuran beberapa

para-meter fisika kimia perairan 8

2 Kisaran parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang

dan Bawang Latak 8

3 Matrik perbandingan parameter fisika kimia perairan berdasarkan

uji Mann-Whitney 11

4 Persebaran ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) 17 5 Faktor kondisi relatif ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) di

Su-ngai Tulang Bawang dan Bawang Latak 27

6 Faktor kondisi relatif ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843)

berda-sarkan sebaran panjang total 28

7 Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan

go-nad ikan contoh 32

8 Variasi temporal nisbah kelamin ikan lumo, L.ocellatus (Heckel,

1843) dalam kondisi TKG IV 34

9 Fekunditas ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan

se-baran panjang total 36

DAFTAR GAMBAR

1 Ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) 2

2 Kerangka pemikiran penelitian 4

3 Lokasi penelitian 7

4 Curah hujan rata-rata bulanan 9

5 Kedalaman perairan di stasiun pengamatan 9

6 Kurva biplot antara komponen 1 dan komponen 2 parameter fisika

kimia perairan 10

7 Sebaran panjang ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) 16 8 Fluktuasi ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) per bulan di setiap

stasiun pengamatan 17

9 Jumlah ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) per stasiun

penga-matan 18

10 Sebaran jumlah ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan selang kelas panjang total pada tiap stasiun pengamatan 18 11 Sebaran kelimpahan bulanan ikan lumo, L.ocellatus (Heckel,1843)

di Sungai Tulang Bawang berdasarkan selang kelas panjang 19 12 Sebaran kelimpahan bulanan ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843)

di Bawang Latak berdasarkan selang kelas panjang 20 13 Penentuan jenis kelamin ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843)

ber-dasarkan bentuk lubang genital 24


(15)

17 Persentase tingkat kematangan gonad ikan lumo, L.ocellatus

(Heckel, 1843) 35

18 Persentase ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) dalam kondisi TKG IV dan V di masing-masing stasiun pengamatan 35 19 Indeks kematangan gonad ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) 36 20 Hubungan fekunditas dan panjang total ikan lumo betina TKG IV di

Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak 37

21 Sebaran diameter telur ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) 37 22 Kurva penangkapan ikan lumo yang dikonversi dari panjang 43 23 Berbagai metode penangkapan ikan di Sungai Tulang Bawang

(a, b, d) dan Bawang Latak (c) 44

24 Anak-anak ikan yang mati terperangkap dalam jaring togok dan

dibiarkan membusuk 44

25 Bolak yang dibangun di tepi sungai 45

26 Keramba apung di Sungai Tulang Bawang 46

27 Himbauan penangkapan ikan yang tidak merusak 48 28 Biomassa per penambahan baru (B’/R) dan hasil tangkapan per

pe-nambahan baru (Y’/R) saat laju eksploitasi maksimum pada kondisi simulasi panjang ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) yang ter-tangkap berukuran 90 mm (a) dan 160 mm (b) 49 29 Upaya pengelolaan ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) 51 30 Cara ikan lumo tertangkap oleh jaring insang serta rata-rata tinggi

kepala dan tinggi badan ikan lumo (TL=160 mm) 84

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi stasiun pengamatan 61

2 Parameter fisika kimia perairan 63

3 Hasil analisis komponen utama 66

4 Hasil uji Mann-Whitney terhadap parameter fisika kimia perairan 67

5 Rekapitulasi sebaran panjang ikan lumo 68

6 Jumlah ikan lumo yang tertangkap per stasiun setiap bulan 70 7 Uji t untuk menentukan nilai b>3 dari persamaan hubungan

panjang-bobot 71

8 Faktor kondisi relatif (Kn) ikan lumo 74

9 Uji Mann-Whitney terhadap faktor kondisi relatif ikan lumo 76 10 Uji khi kuadrat untuk menentukan nisbah kelamin ikan lumo TKG

IV dalam perbandingan 1:1 77


(16)

(17)

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sungai Tulang Bawang yang terletak di Kabupaten Tulang Bawang Barat

dan Kabupaten Tulang Bawang merupakan sungai dataran banjir (Noor et al.

1994). Rawa-rawa di aliran Sungai Tulang Bawang terhampar di areal seluas le-bih dari 86.000 hektar, terletak di antara mulut Sungai Tulang Bawang dan Kota Menggala yang pada mulanya hampir 90 persen terdiri atas hutan rawa gelam dan 10 persen berupa hutan mangrove, namun kondisi hutan tersebut telah terdegrada-si dan rawa mengalami penurunan, baik dalam hal flora maupun faunanya (Noor

et al. 1994).

Sungai Tulang Bawang termasuk sungai ordo 8 dan merupakan daerah alir-an sungai (DAS) Tulalir-ang Bawalir-ang bagialir-an tengah yalir-ang memiliki kealir-anekaragamalir-an

ikan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Vannote et al. (1980) yang

me-nyatakan bahwa keanekaragaman organisme perairan meningkat sesuai dengan peningkatan ordo sungai dan keanekaragaman yang tertinggi terdapat di zona

te-ngah sungai. Noor et al. (1994) mencatat sekitar 88 spesies ikan dari 24 famili

yang sebagian besar merupakan famili Cyprinidae, Clariidae, Channidae, Anaban-tidae, Eleotrididae, Synbranchidae, Belontiidae, dan Siluridae yang terdapat di

Sungai Tulang Bawang. Ikan lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843)

terma-suk salah satu jenis ikan Cyprinidae yang terdapat di Sungai Tulang Bawang

(Noor et al. 1994; Yudha 2011).

Ikan lumo merupakan ikan konsumsi dan banyak dimanfaatkan sebagai ba-han baku ikan olaba-han. Umumnya masyarakat Lampung dan Sumatera Selatan menggunakan ikan lumo sebagai bahan baku utama pembuatan ikan fermentasi (bekasam). Selain banyak ditangkap sebagai ikan konsumsi, ikan lumo yang

ber-ukuran relatif kecil juga banyak ditangkap untuk makanan ikan toman (Channa

micropeltes), gabus (Channa striata), dan ikan baung (Hemibagrus nemurus) yang dipelihara dalam keramba jaring apung oleh pembudidaya ikan setempat. Tidak ada data resmi yang menggambarkan kondisi populasi ikan lumo setiap tahunnya dari dinas/instansi yang berwenang, sehingga tidak diketahui secara pasti kondisi sumber daya ikan tersebut. Namun demikian, berdasarkan informasi nelayan se-tempat diketahui bahwa jumlah dan ukuran ikan lumo tertangkap semakin menu-run.

Ikan lumo yang merupakan ikan pemakan detritus (Hartoto et al. 1999;

To-rang & Buchar 2000; Kottelat & Widjanarti 2005) memegang peranan penting da-lam ekosistem sungai dan rawa banjiran. Dada-lam sistem rantai makanan di perair-an mengalir, ikperair-an pemakperair-an detritus dapat memperair-anfaatkperair-an sejumlah materi orgperair-anik yang berasal dari hulu sungai yang hanyut sebagai allotonus di sungai utama. Ba-han organik allotonus tersebut menjadi input energi utama di ekosistem perairan mengalir dan produktivitasnya cukup tinggi di sungai bagian tengah sesuai dengan

River Continuum Concept yang dikemukakan oleh Vannote et al. (1980). Adapun di ekosistem rawa banjiran, Junk & Wantzen (2004) menyatakan bahwa status nu-trien di rawa banjiran juga sangat tergantung pada jumlah dan kualitas padatan terlarut dan tersuspensi yang berasal dari sungai utama dan proses pertukarannya antara lain dipengaruhi oleh dekomposisi bahan organik tersebut. Oleh karena ke-beradaan ikan lumo memegang peranan penting dalam keseimbangan rantai ma-kanan di sungai dan rawa banjiran, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan


(18)

sumber daya ikan tersebut. Untuk dapat dikelola dengan benar, diperlukan data dan informasi ilmiah ikan lumo.

Data dan informasi ilmiah ekobiologi ikan lumo masih minim (Froese & Pauly 2014). Beberapa kajian yang sudah dilakukan antara lain adalah morfologi

(Weber & de Beaufort 1916; Robert 1989; Robert 1993; Kottelat et al. 1993),

dae-rah persebaran (Weber & de Beaufort 1916), serta kebiasaan makan (Hartoto et al.

1999; Torang & Buchar 2000; Kottelat & Widjanarti 2005). Tidak tersedianya da-ta dan informasi biologi suatu jenis ikan menyebabkan upaya pengelolaan ikan tersebut tidak optimal. Arocha & Barrios (2009) menyatakan bahwa dalam rang-ka pelestarian dan pengelolaan sumber daya irang-kan diperlurang-kan informasi dasar dari spesies ikan dan habitatnya. Untuk itu diperlukan suatu penelitian yang dapat me-lengkapi kajian yang sudah ada dan dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan

sumber daya ikan lumo, sehinggapengelolaannya dapat lebih optimal.

Gambar 1. Ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843)

Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan lumo diperlukan data dan in-formasi ilmiah yang menyangkut aspek persebaran, pertumbuhan, dan reproduk-sinya. Aspek persebaran ikan lumo terkait erat dengan kesesuaian ikan tersebut dengan kondisi perairan yang menjadi habitatnya, sehingga parameter fisika kimia perairan perlu dikaji. Data pertumbuhan ikan juga diperlukan untuk mengukur kondisi ikan dan pendugaan stok ikan. Adapun data dan informasi biologi repro-duksi ikan juga dapat digunakan untuk menduga produktivitas dan daya lenting suatu populasi ikan terhadap penangkapan ataupun gangguan yang diakibatkan oleh kegiatan antropogenik (Morgan 2008).

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek persebaran, pertumbuhan, serta reproduksi ikan lumo, sebagai dasar untuk merumuskan konsep kebijakan pengelolaan sumber daya ikan tersebut di Sungai Tulang Bawang. Manfaat pene-litian ini secara umum dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan secara khusus diharapkan dapat menjadi dasar

pertimbang-an ilmiah dalam rpertimbang-angka pengelolapertimbang-an sumber daya ikpertimbang-an lumodi Sungai Tulang


(19)

Kebaharuan

Kajian tentang aspek ekobiologi ikan lumo masih jarang dilakukan. Sejak dideskripsikan oleh Heckel pada tahun 1843, beberapa aspek biologi ikan lumo belum pernah dikaji secara mendalam, termasuk aspek pertumbuhan dan repro-duksinya. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengkaji aspek per-tumbuhan dan reproduksi ikan lumo. Selain itu, kebaharuan penelitian ini juga mencakup kajian mengenai ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan lumo dan konsep pengelolaan sumber daya ikan tersebut.

Kerangka Pemikiran Penelitian

Fluktuasi curah hujan yang terjadi selama musim kemarau dan musim hujan sangat menentukan karakteristik habitat ikan lumo di Sungai Tulang Bawang. Perbedaan curah hujan antara musim kemarau dan musim hujan menyebabkan terjadinya fluktuasi parameter fisika kimia perairan yang selanjutnya dapat me-nyebabkan fluktuasi ketersediaan makanan, perbedaan luasan habitat, dan lain-lain. Beberapa parameter fisika kimia perairan dapat memengaruhi biologi ikan lumo, seperti persebaran, pertumbuhan dan faktor kondisi, serta aspek reproduk-sinya, yang selanjutnya menentukan populasinya. Di sisi lain, aktivitas penang-kapan ikan dapat menurunkan populasi ikan tersebut apabila terjadi tangkap lebih ataupun penangkapan ikan dengan alat tangkap yang merusak.

Minimnya data dan informasi beberapa aspek ekobiologi ikan lumo di

Su-ngai Tulang Bawang menyebabkan upaya pengelolaan sumber daya ikan tersebut belum dapat dilakukan secara optimum. Untuk itu diperlukan beberapa kajian ter-kait dengan ekobiologi ikan lumo, seperti persebaran, pertumbuhan dan faktor kondisi, reproduksi, serta parameter fisika kimia perairan yang memengaruhi ke-limpahan ikan lumo. Selanjutnya berdasarkan hasil kajian tersebut dapat dirumus-kan suatu kebijadirumus-kan pengelolaan idirumus-kan lumo, sehingga pemanfaatannya dapat dila-kukan secara berkelanjutan dan pada akhirnya sumber daya ikan lumo tetap les-tari.

Berdasarkan beberapa pemikiran tersebut maka disusun suatu kerangka pe-mikiran penelitian seperti yang tertera pada Gambar 2. Melalui kerangka pemi-kiran penelitian ini dapat diketahui bahwa karakteristik habitat perairan dapat me-mengaruhi populasi ikan lumo melalui perubahan kondisi ekobiologi ikan lumo. Di sisi lain, aktivitas penangkapan ikan juga dapat berdampak terhadap populasi ikan tersebut. Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan lumo, perlu diperha-tikan aspek ekobiologi dan beberapa permasalahan dalam pemanfaatannya, se-hingga sumber daya ikan tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.


(20)

Pengaruh Musim (Hujan-Kemarau)

Fluktuasi Curah Hujan

Karakteristik Habitat Perairan: - Sungai Tulang Bawang - Rawa Bawang Latak

Reproduksi Pertumbuhan

dan faktor kondisi Persebaran

Biologi ikan lumo

Populasi ikan lumo Aktivitas

penangkapan ikan

Kebijakan pengelolaan sumber daya ikan lumo

Pemanfaatan ikan lumo berkelanjutan

Sumber daya ikan lumo lestari Fluktuasi Fisika Kimia

Perairan


(21)

2. KARAKTERISTIK PERAIRAN

Pendahuluan

Sungai Tulang Bawang merupakan bagian dari DAS (daerah aliran sungai) Tulang Bawang yang terletak di Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Berdasarkan pembagian orde sungai, Sungai Tulang Bawang merupakan sungai orde 8 pada DAS Tulang Bawang dan terma-suk sub-DAS Tulang Bawang Bagian Tengah. Pola aliran Sungai Tulang Bawang mengikuti pola aliran sungai yang berkelok-kelok (meander). Dengan kondisi alir-an sungai yalir-ang demikialir-an maka arus sungai mengalir lebih cepat pada sisi luar ke-lokan dibandingkan pada sisi dalam, sehingga sisi luar keke-lokan terus menerus ter-gerus dan hasilnya terendapkan di sisi bagian dalam kelokan. Sungai Tulang Ba-wang mengalir ke Laut Jawa dan bermuara di Pantai Timur Lampung. Menurut

Wiryawan et al. (1999) pasang naik di Pantai Timur Lampung dapat mendesak air

payau ke hulu sungai sejauh 40-50 km selama musim kemarau.

Dalam kajian ekobiologi ikan perlu dilakukan penelaahan yang mencakup parameter fisika kimia perairan, sehingga kajian yang dihasilkan dapat lebih kom-prehensif. Keberadaan suatu jenis ikan di perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi

fisika kimia perairan (Beamish et al. 2006; Li & Gelwick 2005; Sullivan &

Wat-zin 2009; Rahardjo et al. 2011), terutama ikan-ikan yang hidup di sungai dataran

banjir (Welcomme 1985; Junk 1996; Mc Connell 1987). Beberapa parameter

fisi-ka kimia perairan memegang peranan penting dalam persebaran ifisi-kan (Hoggarth et

al. 1996; Li & Gelwick 2005; Beamish et al. 2006), pertumbuhan ikan (Le Cren

1951; Effendie 2002; Rahardjo et al. 2011), ataupun aspek reproduksi (Rainboth

1996; Effendie 2002; Song 2007; Welcomme 2008; Rahardjo et al. 2011).

Karakteristik habitat perairan yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan

keragaman jenis ikan. Vannote et al. (1980) menyatakan bahwa keragaman

orga-nisme perairan di zona hulu dan zona hilir sungai lebih rendah daripada di zona tengah sungai. Zona tengah sungai yang memiliki variasi yang tinggi dalam hal suhu, pengaruh riparian dan arus, menyebabkan keragaman organisme perairan lebih besar dari zona hulu dan zona hilir sungai. Hasil kajian Adjie dan Utomo (2011) di Sugai Kapuas menunjukkan bahwa karakteristik perairan yang berbeda antara zona tengah sungai dan zona hilir sungai menyebabkan perbedaan kera-gaman jenis ikan. Kerakera-gaman jenis ikan paling banyak berada di zona tengah su-ngai, yaitu 123 jenis ikan. Di zona tengah sungai tersebut terdapat beberapa rawa banjiran yang produktif dan pengaruh air tawar masih dominan, sedangkan di zo-na hilir sungai dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur beberapa parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak, dan selanjutnya menerang-kan karakteristik kedua habitat perairan tersebut berdasarmenerang-kan parameter fisika ki-mia perairan yang diukur.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 di Sungai Tulang Bawang dan Rawa Latak, Kabupaten Tulang Bawang, Pro-vinsi Lampung (Gambar 3). Pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan


(22)

Tulang Bawang, yaitu Cakat Nyinyik (S1), Ujung Gunung (S2), Rawa Bungur (S3), dan Pagar Dewa (S4), serta di Bawang Latak (R). Deskripsi singkat masing-masing stasiun pengamatan tertera pada Lampiran 1.

Penentuan stasiun penelitian tersebut berdasarkan pertimbangan berikut ini:

• Stasiun A merupakan perairan paling hulu dari Sungai Tulang Bawang

yang berdekatan dengan pertemuan antara Sungai Way Kanan dan Way Kiri;

• Stasiun B mewakili perairan sungai yang terletak di bagian tengah dan

berdekatan dengan lahan pertanian;

• Stasiun C mewakili perairan sungai yang terletak di bagian tengah

sebe-lum memasuki permukiman penduduk;

• Stasiun D mewakili perairan sungai yang terletak di bagian hilir yang

di-duga masih dipengaruhi oleh energi pasang surut;

• Stasiun E merupakan perairan yang terletak di Sungai Way Miring yang

berarus lebih lambat dan lebih kecil dari Sungai Tulang Bawang, mewa-kili perairan rawa banjiran.

Parameter fisika kimia perairan yang tidak diukur in-situ dianalisis di

Labo-ratorium Kesehatan Lingkungan Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lam-pung. Pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan yang penting yang

meliputi kecerahan, pH, oksigen terlarut, suhu perairan, amonium (NH4+),

orto-fosfat (P-PO4

Pengukuran parameter fisika kimia perairan yang meliputi kecerahan, pH,

oksigen terlarut, suhu perairan, kedalaman, dan arus dilakukan in situ; sedangkan

kandungan amonium, P-PO

), bahan organik total, padatan tersuspensi total, kedalaman, dan arus dilakukan setiap bulan. Pengambilan contoh air dilakukan dengan menggunakan

water sampler.

4, dan bahan organik total dilakukan di laboratorium

(Tabel 1). Contoh air yang diukur kandungan amonium, P-PO4

Parameter fisika kimia perairan yang menentukan karakteristik setiap stasi-un penelitian dianalisis secara multivariat dengan menggstasi-unakan analisis kompo-nen utama. Menurut Mattjik & Sumertajaya (2011) analisis kompokompo-nen utama mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang diukur dengan menggu-nakan sedikit peubah yang menjadi komponen utamanya saja. Untuk

memudah-kan analisis komponen utama digunamemudah-kan perangkat lunak PAST. Uji

Mann-Whit-ney dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan masing-masing parame-ter fisika kimia perairan parame-tersebut di setiap stasiun penelitian, sehingga dapat dike-tahui perbedaan karakteristik perairan berdasarkan parameter fisika kimianya. Uji tersebut juga digunakan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan masing-ma-sing parameter fisika kimia perairan saat musim kemarau dan musim hujan.

, dan bahan organik total disimpan dalam wadah bersuhu 4 ºC dalam interval waktu 12 jam

untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium yang mengacu pada Rice et al.

(2005). Adapun data curah hujan diperoleh berdasarkan rekaman curah hujan di Unit Pelaksana Teknis Daerah Badan Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (UPTD BPTPH) Provinsi Lampung.


(23)

(24)

Tabel 1. Metode dan alat yang digunakan dalam pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan.

Parameter Satuan Metode Pengukuran Alat Lokasi Fisika :

Kecerahan cm Visual Piring Secchi in situ

Suhu perairan ºC Pemuaian/penyusutan Thermometer raksa

in situ Kedalaman m Pantulan gelombang

suara

Depht sounder in situ Kecepatan arus m/det --- Current meter in situ Padatan tersuspensi

total

mg/l Gravimetri laboratorium

Kimia :

pH --- Potensiometri

elektroda hidrogen

pH meter in situ Oksigen terlarut mg/l Potensiometri DO meter in situ Ammonium (NH4+) mg/l Metode fenate Spektrofotometer laboratorium

Ortofosfat (P-PO4) mg/l Metode stanus klorida Spektrofotometer laboratorium

Bahan organik total mg/l Permanganometri Buret laboratorium

Hasil

Hasil pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan disajikan secara lengkap pada Lampiran 2 dan rekapitulasinya tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Kisaran parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak.

Parameter Sungai Tulang Bawang Bawang Latak kemarau hujan kemarau hujan

Fisika:

Kecerahan (cm) 10-35 6,0-9,5 20,0-35,0 10,0-25,0 Suhu perairan (⁰C) 28,0-30,2 28,6-30,1 29,0-31,0 28,9-31,2 Kedalaman (m) 2,43-6,24 2,97-6,74 2,25-3,75 2,70-4,91 Kecepatan arus (m/det) 0,10-0,80 0,30-0,80 0,05-0,20 0,10-0,40 Padatan tersuspensi total

(mg/l) 36-220 120-222 98-230 49-220

Kimia:

pH 6,05-7,79 6,75-7,45 6,02-6,78 6,67-7,05

Oksigen terlarut (mg/l) 4,52-6,73 5,22-6,15 4,50-6,50 4,26-6,00 Amonium (mg/l) 0,018-0,822 0,120-0,360 0,320-0,845 0,120-2,025 Ortofosfat (mg/l) 0,025-0,600 0,054-0,120 0,098-0,160 0,06-0,11 Bahan organik total (mg/l) 14,54-114,39 25,55-49,93 34,52-120,24 11,38-54,20

Data curah hujan bulanan tahun 2013-2014 yang diperoleh dari UPTD BPT-PH Provinsi Lampung yang mencakup 16 pos pengamat hujan di hulu Sungai Tu-lang Bawang menunjukkan adanya fluktuasi curah hujan rata-rata bulanan (Gam-bar 4). Curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan Juni (118 mm), sedangkan yang tertinggi terjadi pada bulan Desember (485 mm).


(25)

Gambar 4. Curah hujan rata-rata bulanan

Sumber data: UPTD BPTPH Provinsi Lampung

Gambar 5. Kedalaman perairan di stasiun pengamatan

Fluktuasi kedalaman perairan yang diukur setiap bulan memiliki kemiripan pola dengan fluktuasi curah hujan rata-rata bulanan (Gambar 5). Kedalaman per-airan tertinggi di Sungai Tulang Bawang terjadi pada bulan Januari yang menca-pai 6,74 m, sedangkan kedalaman tertinggi di perairan Bawang Latak 2,66 m.

Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa komponen 1 dan kom-ponen 2 menjelaskan keragaman sebesar 51,10%. Komkom-ponen 1 menjelaskan ke-ragaman sebesar 31,23% dan komponen 2 menjelaskan keke-ragaman 19,87% (Lam-piran 3). Berdasarkan kurva biplot antara komponen 1 dan komponen 2 (Gambar 6) diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komponen 1 adalah pH, suhu, oksigen terlarut, amonium, kecepatan arus, kecerahan, dan kedalaman. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komponen 2 adalah kandungan fosfat, TSS, dan bahan organik total.

221 201 118 222 122 211 155 283 485 393 238 201 0 100 200 300 400 500 600 C ur a h huj a n bul a na n ra ta -r a ta (mm) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 A p r-13 M ei -13 Ju n -13 Ju l-13 A g u st -13 S ep -13 Ok t-13 N op -13 D es -13 Ja n -14 F eb -14 Ma r-14 Kemarau Hujan K e d a la ma n ( m) Cakat Nyinyik Ujung Gunung Rawa Bungur Pagar Dewa Bawang Latak


(26)

Gambar 6. Kurva biplot antara komponen 1 dan komponen 2 parameter fisika kimia perairan.

Keterangan: A= Pagar Dewa; B= Rawa Bungur, C= Ujung Gunung; D=Cakat Nyinyik; E=Bawang Latak.

Pada Gambar 6 terlihat bahwa di stasiun Bawang Latak (E) parameter kimia perairan yang berpengaruh adalah amonium dan bahan organik total; sedangkan di perairan Sungai Tulang Bawang (A, B, C, D) lebih dipengaruhi oleh kedalaman, kecepatan arus, Bahan organik total, fosfat, TSS, dan kecerahan. Kecerahan di Su-ngai Tulang Bawang berkorelasi negatif dengan kedalaman dan kecepatan arus.

Berdasarkan uji Mann-Whitney diketahui bahwa suhu, amonium, kecepatan arus, dan kecerahan berbeda nyata antara perairan Bawang Latak dengan perairan di 4 stasiun pengamatan lainnya di Sungai Tulang Bawang. Adapun pH, oksigen terlarut, fosfat, bahan organik total, padatan tersuspensi total, dan kedalaman ti-dak berbeda nyata (Lampiran 4). Secara ringkas, matrik pembeda parameter fisi-ka kimia perairan berdasarfisi-kan uji Mann-Whitney disajifisi-kan pada Tabel 3.

Pengaruh perbedaan musim hujan dan musim kemarau terhadap beberapa parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak ber-dasarkan uji Mann-Whitney tertera pada Lampiran 4. Di Sungai Tulang Bawang, nilai pH, oksigen terlarut, fosfat, bahan organik total, kecepatan arus, dan keda-laman berbeda antara musim kemarau dan musim hujan; sedangkan suhu perairan, TSS, dan konsentrasi amonium tidak berbeda nyata. Adapun di perairan Bawang Latak parameter fisika kimia perairan yang berbeda antara musim kemarau dan musim hujan adalah pH, fosfat, bahan organik total, dan arus; sedangkan suhu, konsentrasi oksigen terlarut, amonium, kecerahan, padatan tersuspensi total, dan kedalaman tidak berbeda nyata.


(27)

Tabel 3. Matrik perbandingan parameter fisika kimia perairan berdasarkan uji Mann-Whitney

Perbandingan pH Suhu DO NH4 PO4 BOT Arus

Kece-rahan TSS

Kedalaman air (m)

Antar Stasiun:

Di sungai :

A-B √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

A-C √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

A-D √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

B-C √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

B-D √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

C-D √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Sungai-rawa:

A-E √ X √ X √ √ X X √ √

B-E √ X √ X √ √ X X √ √

C-E √ X √ X √ √ X X √ √

D-E √ X √ X √ √ X X √ X

Antar musim (kemarau-hujan):

KS-HS X √ X √ X X X X X X

KR-HR X √ √ √ X X X √ √ √

Keterangan: √ = tidak berbeda nyata; X=berbeda nyata

 A = Pagar Dewa; B= Rawa Bungur; C= Ujung Gunung; D= Cakat

Nyinyik; E= Bawang Latak

 DO = oksigen terlarut; BOT= bahan organik total; TSS=padatan

tersuspensi total

 KS-HS

 K

= perbandingan antara musim hujan dan musim kemarau di stasiun sungai (A, B, C, D);

R-HR

Pembahasan

= perbandingan antara musim hujan dan musim kemarau di stasiun Bawang Latak (E)

Daerah aliran sungai Tulang Bawang diprediksi telah mengalami kerusakan. Kerusakan yang terjadi sebagian besar berupa hilangnya tutupan vegetasi akibat kerusakan hutan dan pertanian lahan kering tanpa tindakan konservasi tanah dan air. Indikator utama kerusakan daerah aliran sungai dapat ditunjukkan oleh rasio

debit air maksimum dan debit air minimum (Qmaks/Qmin) yang lebih besar dari 30

(Asdak 2007). Alviya et al. (2012) menyatakan bahwa pada saat musim hujan

de-bit air Sungai Tulang Bawang maksimum sebesar 1.757,3 m3/det dan pada saat

musim kemarau debit minimum sebesar 28,15 m3/det, sehingga rasio Qmaks/Qmin

Kondisi Sungai Tulang Bawang yang selalu menunjukkan warna air keco-klatan mengindikasikan bahwa konsentrasi material tersuspensi cukup tinggi yang disebabkan oleh erosi yang terjadi di bagian hulu. Erosi tersebut sangat

dipenga-ruhi oleh faktor topografi dan aliran permukaan. Menurut Alviya et al. (2012),


(28)

DAS Tulang Bawang memiliki koefisien aliran permukaan berkisar 21-28%; ar-tinya sekitar 21-28% curah hujan akan menjadi aliran permukaan yang berpotensi menggerus tanah permukaan dan membawanya ke dalam perairan. Hal ini menye-babkan kecerahan di Sungai Tulang Bawang relatif rendah dan air sungai tersebut berwarna kecoklatan yang sejalan dengan tingginya nilai padatan tersuspensi total di perairan tersebut hingga mencapai lebih dari 200 mg/l. Selain itu, aliran permu-kaan yang tinggi juga berpeluang menyebabkan terjadinya banjir di daerah aliran sungai tersebut.

Beberapa parameter fisika kimia perairan, yaitu pH, oksigen terlarut, fosfat, bahan organik total, padatan tersuspensi total, dan kedalaman air relatif sama anta-ra Sungai Tulang Bawang dan Rawa Bawang Latak. Hal ini disebabkan peanta-raianta-ran rawa Bawang Latak bukan merupakan perairan yang tertutup melainkan masih terhubung dengan Sungai Miring yang menyatu dengan Sungai Tulang Bawang.

Stasiun Bawang Latak (E) dicirikan oleh parameter fisika kimia yang beru-pa amonium, suhu, kecerahan, dan bahan organik total; sedangkan stasiun penga-matan di Sungai Tulang Bawang, yaitu di Pagar Dewa (A), Rawa Bungur (B), Ujung Gunung (C), dan Cakat Nyinyik (D) dan lebih dicirikan oleh konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi, TSS, arus, kenaikan muka air, fosfat, dan pH (Gam-bar 6). Faktor utama yang menyebabkan fluktuasi parameter fisika kimia perairan adalah kenaikan permukaan air yang disebabkan oleh kenaikan curah hujan, teru-tama saat musim hujan. Kenaikan permukaan air yang sejalan dengan peningkatan kecepatan arus di Sungai Tulang Bawang berimplikasi pada peningkatan TSS, pH, dan oksigen terlarut, tetapi berdampak terhadap penurunan kecerahan, dan kon-sentrasi amonium.

Semua stasiun pengamatan di Sungai Tulang Bawang dicirikan dengan ting-ginya nilai fosfat (Gambar 6), terutama saat musim kemarau. Ortofosfat yang di-ukur di lokasi penelitian berkisar antara 0,025-0,600 mg/l. Menurut Boyd (1990) kadar fosfor dalam ortofosfat jarang melebihi 0,1 mg/l meskipun pada perairan eutrof. Ortofosfat yang tinggi di stasiun 3 (0,600 mg/l) dan stasiun 4 (0,410 mg/l) dapat berasal dari lahan pertanian, limbah domestik, ataupun deterjen dari daerah hulu Sungai Tulang Bawang.

Arus di perairan Bawang Latak relatif lebih lambat dibandingkan dengan arus di Sungai Tulang Bawang, bahkan di beberapa tempat yang jauh dari Sungai Miring perairan bersifat stagnan. Kondisi ini memungkinkan berbagai jenis vege-tasi air dapat tumbuh dengan baik dan jumlahnya melimpah. Arus yang lambat ju-ga dapat menyebabkan terjadinya sedimentasi di perairan Bawang Latak, sehingju-ga kecerahan air di perairan tersebut dapat mencapai perairan yang lebih dalam di-bandingkan dengan di stasiun-stasiun pengukuran lainnya di Sungai Tulang Ba-wang. Keadaan ini juga menyebabkan suhu perairan di Bawang Latak relatif lebih hangat dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang yang terus menerus me-ngalami pergantian air lebih cepat. Demikian pula halnya dengan kandungan amonium yang lebih tinggi di perairan di Bawang Latak yang dapat disebabkan oleh penguraian bahan organik, baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan, yang terendapkan di bagian perairan di sekitarnya. Sisa-sisa tumbuhan yang mati dapat menjadi serasah ataupun detritus yang merupakan sumber makanan bagi ikan.

Kenaikan muka air di Bawang Latak yang lebih kecil dibandingkan di Su-ngai Tulang Bawang merupakan akibat dari meningkatnya perluasan genangan air


(29)

saat musim hujan dan terjadi banjir, sedangkan di Sungai Tulang Bawang tidak demikian. Semakin luas areal genangan maka kenaikan permukaan air rawa ber-tambah, namun tidak signifikan bila dibandingkan dengan kenaikan muka air di Sungai Tulang Bawang. Oleh karena itu, pengaruh musim tidak berbeda nyata terhadap kedalaman di perairan Bawang Latak, namun kedalaman perairan Sungai Tulang Bawang berbeda nyata antara musim kemarau dan musim hujan.

Beberapa parameter fisika kimia perairan yang penting, yaitu pH, suhu per-airan dan oksigen terlarut, masih dalam batas normal untuk mendukung kehidup-an orgkehidup-anisme akuatik. Nilai pH ykehidup-ang diukur berkisar kehidup-antara 6,02-7,79. Sebagikehidup-an besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Novotny & Olem, 1994). Suhu perairan di lokasi penelitian berkisar antara

28,0-31,2⁰C masih dalam batas optimum untuk pertumbuhan ikan. Boyd (1990)

menyatakan bahwa spesies-spesies akuatik di daerah tropis dan subtropis tidak

akan tumbuh dengan baik ketika suhu perairan turun di bawah 26⁰C dan ketika

suhu perairan di bawah 10⁰C akan mengakibatkan kematian. Oksigen terlarut

yang diukur di lokasi penelitian berkisar antara 4,26-6,73 mg/l. Rahardjo et al.

(2011) menyatakan bahwa kebutuhan minimal ikan terhadap oksigen terlarut un-tuk dapat tumbuh dan berkembang adalah 3 mg/l dan akan lebih baik bila di atas 5 mg/l.

Amomium (NH4+) yang diukur dari lokasi penelitian berkisar antara

0,018-2,025 mg/l. Pada dasarnya amonium di perairan merupakan bentuk amonia terion-isasi yang dipengaruhi oleh pH; sebagian besar amonia akan terionterion-isasi menjadi amonium pada saat pH kurang dari atau sama dengan 7. Amonium tidak bersifat

toksik terhadap biota akuatik, sedangkan amonia bebas tak terionsisasi (NH3

Keberadaan ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan di Bawang Latak (Bab 1) karena didukung oleh kondisi habitat perairan yang sesuai untuk menunjang kehidupan ikan lumo. Kondisi fisika kimia perairan yang merupakan habitat ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Rawa Bawang Latak relatif tidak berbeda de-ngan beberapa kajian lainnya. Di Danau Teluk (Jambi) ikan tersebut terdapat da-lam jumlah yang dominan pada kondisi oksigen terlarut 5,58 mg/l, pH 7, total al-kalinitas 18 mg/l CaCO

)

ber-sifat toksik terhadap organisme akuatik (Rahardjo et al. 2011). Padatan

tersus-pensi total (TSS) di lokasi penelitian berkisar antara 36-230 mg/l. Padatan tarsus-pensi dapat meningkatkan kekeruhan. Menurut Alabaster & Lloyd (1982) nilai TSS yang lebih dari 80 mg/l kurang baik bagi kehidupan ikan air tawar.

3, kekeruhan 11,40 NTU, dan padatan terlarut total sebesar

30 ppm (Nurdawati 2010). Namun demikian, di perairan rawa banjiran di Kali-mantan ikan lumo dapat hidup dalam kondisi pH dan oksigen terlarut yang lebih

rendah. Sulistiyarto et al. (2007) menyebutkan bahwa ikan L. ocellatus banyak

ditemukan di rawa banjiran Sungai Rungan (Kalimantan Tengah) yang memiliki kedalaman perairan antara 14,8-40,2 m, pH antara 5,64-5,88, oksigen terlarut ber-kisar 3,50-4,95 mg/l, kecerahan perairan 36,3-62,0 cm, dan suhu air permukaan antara 30,2-30,7°C. Adapun di Danau Sabuah (Kalimantan Tengah) ikan tersebut hidup pada kondisi perairan dengan kecerahan 37,5-42,5 cm, suhu antara 27,5-30,3°C, kisaran pH 5,76-6,99 dan oksigen terlarut antara 3,86-4,79 mg/l (Torang & Buchar 2000). Di zona tengah Sungai Kapuas, ikan lumo hidup pada kisaran suhu air antara 29-32°C, kecerahan 30-100 cm, pH 5-7, oksigen terlarut 4,9-12,64

mg/l, alkalinitas 10-19 mg/l CaCO3 , BOD5 antara 0,9-6,07 mg/l, dan COD


(30)

Simpulan

Perairan Bawang Latak lebih dicirikan oleh amonium dan bahan organik to-tal; sedangkan perairan Sungai Tulang Bawang lebih dicirikan oleh kedalaman, kecepatan arus, bahan organik total, fosfat, TSS, dan kecerahan yang rendah. Pa-rameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak yang penting untuk mendukung kehidupan organisme perairan, seperti suhu perairan, pH, dan oksigen terlarut, masih dalam batas normal, kecuali padatan tersuspensi total. Ikan lumo dapat hidup dengan baik di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak


(31)

3. PERSEBARAN IKAN LUMO

Pendahuluan

Sungai Tulang Bawang memiliki keterkaitan dengan rawa banjiran di seki-tarnya, termasuk rawa Bawang Latak. Karakteristik Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak yang terletak di zona tengah DAS Tulang Bawang memiliki kera-gaman jenis ikan yang tinggi. Kondisi ini didukung oleh parameter fisika kimia perairan yang penting bagi kehidupan organisme perairan dalam batas normal. Pa-rameter fisika kimia perairan yang penting untuk mendukung kehidupan organis-me akuatik, seperti suhu perairan, pH, dan oksigen terlarut, masih dalam batas

normal, kecuali padatan tersuspensi total.

Persebaran dan kelimpahan spesies-spesies ikan dipengaruhi oleh

karakter-istik habitat dan faktor-faktor biologi (Taylor et al. 1993). Habitat dapat

mere-presentasikan tempat-tempat dimana individu, populasi, ataupun kumpulan ikan dapat menemukan kondisi fisika dan kimia perairan yang diperlukan untuk men-dukung kehidupannya, yaitu kesesuaian terhadap kualitas air, tempat mencari

ma-kan, bereproduksi, dan tempat perlindungan (Hayes et al. 2006). Beberapa

para-meter fisika kimia perairan yang signifikan memengaruhi persebaran ikan-ikan

Cyprinidae, termasuk juga genus Labiobarbus, adalah suhu perairan, lebar habitat,

pergantian air, oksigen ambien, alkalinitas (Beamish et al. 2006), pH, amonia,

ke-dalaman, dan subtrat dasar (Tongnunui et al. 2009).

Ikan lumo termasuk jenis ikan potamodromus (Froese & Pauly 2014) yang menyebar di zona sungai bagian hilir dan zona sungai bagian tengah (Adjie & Utomo 2011) dan hidup di perairan rawa banjiran (Torang & Buchar 2000;

Sulis-tiyarto et al. 2007; Nurdawati 2010; Adjie & Utomo 2011). Sebagai ikan yang

tergolong potamodromus, ikan lumo beruaya di perairan sungai, danau, ataupun rawa banjiran. Ikan lumo memiliki kemampuan berenang pada perairan berarus, sehingga ikan tersebut dapat hidup tersebar di perairan sungai yang besar, seperti

di Sungai Tulang Bawang (Noor et al. 1994) dan Sungai Kapuas (Adjie & Utomo

2011), ataupun rawa banjiran. Persebaran ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak belum dikaji secara mendalam.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji persebaran ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung (Gambar 3). Pengambilan ikan contoh dilaksanakan setiap bu-lan di empat stasiun pengamatan yang tersebar di sepanjang Sungai Tubu-lang Ba-wang, yaitu Pagar Dewa (A), Rawa Bungur (B), Ujung Gunung (C), dan Cakat Nyinyik (D), serta satu stasiun pengamatan di Rawa/Bawang Latak (E). Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Hidrobiologi, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Ikan lumo dikumpulkan dengan cara ditangkap menggunakan jaring insang bermata jaring 1”,1½”, 1¾”, dan 2” yang masing-masing berukuran panjang 20 m dan tinggi 2 m. Jaring insang tersebut dioperasikan di lima stasiun pengambilan contoh dengan cara dipasang sejajar di tepi sungai selama satu hari. Ikan lumo


(32)

yang tertangkap diawetkan dengan formalin 10%, dimasukkan ke kantung plastik dan kemudian disimpan dalam wadah plastik. Jumlah ikan yang tertangkap dicatat per stasiun pengamatan setiap bulan. Untuk memastikan bahwa contoh ikan yang

dikumpulkan adalah L. ocellatus, dilakukan identifikasi berdasarkan Weber & de

Beaufort (1916), Roberts (1989) dan Kottelat et al. (1993).

Selanjutnya di laboratorium ikan diukur panjang totalnya dengan penggaris dan dikelompokkan dalam selang kelas panjang. Data tersebut ditabulasikan da-lam bentuk tabel ataupun diagram batang untuk diketahui persebarannya, baik temporal maupun spasial.

Hasil

Ikan lumo yang tertangkap pada semua stasiun penelitian bervariasi jumlah-nya. Ikan lumo yang berhasil dikumpulkan selama penelitian berjumlah 1.341 ekor yang terdiri atas 690 ekor ikan lumo jantan dan 651 ekor ikan lumo betina. Ukuran panjang ikan lumo jantan berkisar antara 96-232 mm, sedangkan ikan lu-mo betina memiliki sebaran panjang antara 83-242 mm. Rekapitulasi data sebar-an psebar-anjsebar-ang iksebar-an lumo disajiksebar-an pada Lampirsebar-an 5. Ukursebar-an maksimum psebar-anjsebar-ang to-tal ikan lumo yang tertangkap selama penelitian adalah 242 mm. Nilai ini merupa-kan data terbaru untuk panjang total maksimum imerupa-kan lumo. Sebelumnya

dinyata-kan bahwa L. ocellatus memiliki panjang total maksimum 220 mm (Weber & de

Beaufort 1916); Kottelat et al. 1993; Froese & Pauly 2012).

Sebaran ukuran panjang total ikan lumo secara keseluruhan sebagian besar berada pada selang kelas 114-181 mm (Gambar 7). Persentase ikan lumo jantan yang tertangkap pada selang kelas tersebut mencapai 83% dan pada ikan lumo be-tina mencapai 84%. Kondisi ini terkait dengan selektivitas alat tangkap yang di-gunakan, yaitu jaring insang dengan ukuran mata jaring antara 1-2”. Jaring insang merupakan alat tangkap yang memiliki selektivitas yang tinggi, sehingga ikan-ikan yang tertangkap terbatas pada ukuran tertentu saja.

Gambar 7. Sebaran panjang ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843)

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00

F

re

k

u

e

n

si

re

la

ti

f (

%)

Selang kelas panjang (mm)

Betina Jantan


(33)

Ikan lumo yang tertangkap berfluktuasi setiap bulan selama masa penelitian. Di awal musim hujan (Oktober) ikan lumo paling banyak tertangkap, namun de-mikian saat puncak musim hujan dan terjadi banjir di bulan Januari jumlah ikan lumo yang tertangkap menurun drastis. Data jumlah ikan lumo yang berhasil di-tangkap setiap bulan pada masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 4. Jumlah ikan lumo yang tertangkap di Bawang Latak lebih banyak dibanding-kan dengan stasun pengamatan lainnya di Sungai Tulang Bawang (Gambar 8). Adapun ikan lumo yang tertangkap di stasiun pengamatan Ujung Gunung (C) yang dekat dengan permukiman jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya.

Tabel 4. Persebaran ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843)

Musim\Bulan

Stasiun pengamatan

A B C D E

J B J B J B J B J B

Kemarau:

15 8 15 10 8 5 14 9 26 21

Apr-2013

Mei-2013 11 10 12 9 8 4 10 9 21 17

Jun-2013 11 11 12 8 7 5 10 6 21 14

Jul-2013 10 9 7 8 6 4 7 9 14 22

Agust-2013 6 4 8 8 11 10 12 5 18 16

Sep-2013 15 13 5 3 7 4 11 8 20 19

Sub jumlah 68 55 59 46 47 32 64 46 120 109 Hujan:

14 15 18 13 10 14 18 13 19 38

Okt-2013

Nop-2013 13 12 13 8 8 9 6 7 19 26

Des-2013 6 10 14 11 4 7 5 9 17 17

Jan-2014 6 7 4 4 3 7 5 8 7 12

Feb-2014 15 12 11 8 5 11 8 19 12 22

Mar-2014 14 11 9 6 15 8 15 5 19 14

Sub jumlah 68 67 69 50 45 56 57 61 93 129 Jumlah 136 122 128 96 92 88 121 107 213 238

Keterangan: A= Pagar Dewa, B=Rawa Bungur, C=Ujung Gunung, D=Cakat Nyinyik, E= Bawang Latak; J=Jantan; B=Betina

Gambar 8. Fluktuasi ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) per bulan di setiap

stasiun pengamatan 0 10 20 30 40 50 60 A p r-2013 M ei -2013 Ju n -2013 Ju l-2013 A g u st -2013 S ep -2013 Ok t-2013 N o v 2013 D es -2013 Ja n -2014 F eb -2014 Ma r-2014 Ju ml a h i k a n ( e k o

r) Ck Nyinyik

Uj Gunung Rw Bungur Pg Dewa Bw Latak


(34)

Ikan lumo menyebar dalam jumlah yang bervariasi di masing-masing stasi-un penelitian berdasarkan selang kelas panjang total. Pola penyebaran ikan lumo berdasarkan selang kelas panjang total hampir sama di setiap stasiun penelitian (Gambar 10). Di setiap stasiun penelitian panjang total ikan lumo yang tertang-kap didominasi ukuran antara 131-147 mm.

Gambar 9. Jumlah ikan lumo, L. ocellatus (Heckel,1843) per stasiun pengamatan

Keterangan: A= Pagar Dewa, B=Rawa Bungur, C=Ujung Gunung, D=Cakat Nyinyik, E= Bawang Latak

Gambar 10. Sebaran jumlah ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan

selang kelas panjang total pada tiap stasiun penelitian

Sebaran panjang total ikan lumo di Bawang Latak lebih bervariasi diban-dingkan dengan stasiun penelitian lainnya. Bahkan ikan lumo yang berukuran panjang total lebih dari 216 mm lebih banyak terdapat di Bawang Latak, sedang-kan di stasiun penelitian lainnya sedikit atau bahsedang-kan tidak ada.

Persebaran temporal ikan lumo di Sungai Tulang Bawang berdasarkan se-lang kelas panjang pada bulan April dan Juni didominasi oleh ikan-ikan dengan

136 128

92

121 213

122

96 88 107

238

0 50 100 150 200 250

A B C D E

Ju

mlah

I

kan

(

e

ko

r)

Stasiun pengamatan

Jantan Betina


(35)

ukuran panjang total 131-147 mm, sementara pada bulan Mei dan Juli didominasi pada selang kelas 114-130 mm (Gambar 11). Pada bulan Agustus hingga Novem-ber ukuran ikan lumo yang banyak tertangkap Novem-berada pada selang kelas panjang 148-164 mm. Persebaran ikan lumo pada bulan Desember lebih didominasi oleh ikan-ikan lumo yang berukuran lebih besar (berada pada selang kelas panjang 165-181 mm) dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Kondisi yang ham-pir sama dijumpai pada bulan Januari, tetapi didominasi oleh ikan lumo dengan selang kelas panjang 182-198 mm. Antara bulan Februari dan Maret ukuran ikan lumo lebih banyak ditemukan pada selang kelas panjang 114-130 mm. Kondisi ini hampir menyerupai pola persebaran ikan lumo pada bulan April dan Mei.

Gambar 11. Sebaran kelimpahan bulanan ikan lumo, L. ocellatus (Heckel,1843)


(36)

Gambar 12. Sebaran kelimpahan bulanan ikan lumo L. ocellatus (Heckel, 1843) di Bawang Latak berdasarkan kelas panjang

Persebaran temporal ikan lumo di Bawang Latak berdasarkan selang kelas panjang memiliki pola yang sedikit berbeda dengan pola persebaran ikan lumo di Sungai Bawang Latak. Selang kelas panjang ikan lumo di Bawang Latak lebih besar dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang pada bulan Agustus, Sep-tember, dan November. Antara bulan Agustus hingga September ikan lumo di Ba-wang Latak lebih didominasi oleh selang kelas 165-181 mm, dan bulan November yang didominasi oleh selang kelas 216-232 mm (Gambar 12).

Pembahasan

Fluktuasi kedalaman di Sungai Tulang Bawang yang sangat berbeda antara musim hujan dan musim kemarau tidak menyebabkan jumlah ikan lumo yang ter-tangkap berbeda. Berdasarkan Uji Mann-Whitney tidak terlihat adanya perbedaan


(37)

antara jumlah ikan lumo yang tertangkap saat musim kemarau dengan ikan lumo yang tertangkap saat musim hujan (Lampiran 4). Kondisi ini juga dijumpai pada ikan lumo yang tertangkap di perairan Bawang Latak.

Secara spasial jumlah ikan lumo yang tertangkap di stasiun Bawang Latak lebih banyak bila dibandingkan dengan empat stasiun lainnya di Sungai Tulang Bawang. Karakteristik perairan Bawang Latak dengan arus yang relatif lambat, kecerahan yang lebih dalam, dan suhu yang lebih hangat menyebabkan ikan lumo lebih banyak berada di habitat tersebut bila dibandingkan dengan di Sungai Tu-lang Bawang. Faktor arus yang relatif lambat di Bawang Latak dibandingkan de-ngan di Sungai Tulang Bawang menyebabkan perairan Bawang Latak menjadi tempat berlindung yang baik untuk ikan lumo. Sullivan & Watzin (2009) menya-takan bahwa perairan dataran banjir yang memiliki kisaran kedalaman dan tingkat kekeruhan yang bervariasi cenderung memiliki keanekaragaman ikan yang tinggi dibandingkan dengan sungai utamanya. Keberadaan berbagai spesies ikan di per-airan dataran banjir menunjukkan bahwa ikan-ikan tersebut termasuk oportunistik dalam hal habitat, yaitu mengambil manfaat saat ketersediaan habitat meluas, mencari makan, serta berlindung dari arus yang kuat (Sullivan & Watzin 2009).

Ikan lumo yang lebih banyak tertangkap di rawa banjiran Bawang Latak di-bandingkan dengan di sungai utama serupa dengan kajian peneliti lainnya. Ikan tersebut merupakan salah satu jenis ikan yang melimpah di rawa banjiran yang

be-rupa danau tapal kudadi Sungai Kampar Kiri (Simanjuntak et al. 2006), juga

do-minan di perairan rawa banjiran Danau Teluk (Nurdawati 2010), ataupun di Su-ngai Kapuas bagian tengah yang banyak terdapat rawa banjiran (Adjie & Utomo 2011). Bahkan Adjie & Utomo (2011) menyatakan walaupun kualitas air di ba-gian tengah dan hilir Sungai Kapuas relatif sama, tetapi ikan bauk tadung atau ikan lumo lebih banyak terdapat di Sungai Kapuas bagian tengah dimana banyak terdapat rawa banjiran.

Keberadaan berbagai jenis vegetasi air yang lebih banyak di Bawang Latak,

seperti Ceratophyllum spp dan Hydrilla verticillata (Lampiran 1), merupakan

sa-lah satu faktor yang menyebabkan kelimpahan ikan lumo tinggi. Dengan kondisi arus yang relatif lambat dan kecerahan yang lebih dalam, vegetasi air dapat tum-buh dengan baik di perairan Bawang Latak dibandingkan dengan di Sungai

Tu-lang Bawang yang berarus lebih kuat. Menurut Hoggarth et al. (1999), vegetasi

air di dataran banjir dapat meningkatkan kelimpahan ikan dengan menciptakan struktur habitat yang komplek dan menyediakan lebih banyak makanan serta

per-lindungan bagi anak-anak ikan.Vegetasi air yang terendam di dataran banjir dapat

terurai menjadi detritus dan menjadi media penempelan perifiton dan berfungsi sebagai sumber makanan alami bagi ikan (Nurdawati & Prasetyo 2007). Menurut Adjie & Utomo (2011), daerah rawa banjiran di zona tengah Sungai Kapuas yang banyak terdapat vegetasi air merupakan daerah produktif karena ketersediaan pa-kan alami yang melimpah, seperti perifiton dan serangga air, serta merupapa-kan tempat pemijahan dan perlindungan bagi ikan. Hal yang sama dikemukakan oleh Nurdawati (2010) bahwa di perairan rawa banjiran Danau Teluk, terutama di bagi-an perairbagi-an ybagi-ang bbagi-anyak ditumbuhi vegetasi air ybagi-ang terendam, kelimpahbagi-an ikbagi-an lambak muncung atau ikan lumo sangat dominan.

Secara temporal ikan lumo melimpah jumlahnya saat memasuki musim hu-jan. Pada saat awal musim hujan (Oktober) ikan-ikan banyak yang memasuki perairan rawa-rawa ataupun berada di pinggiran sungai untuk menghindari arus


(38)

yang kuat, sehingga banyak yang tertangkap oleh jaring insang yang dioperasikan di pinggir sungai ataupun perairan rawa. Masuknya ikan lumo menuju ke rawa banjiran juga diduga kuat berkaitan dengan proses pemijahan karena banyak dite-mukan ikan lumo dalam kondisi matang gonad (Bab 5). Seiring dengan semakin bertambah luas habitat perairan di Bawang Latak akibat banjir dan arus yang kuat di Sungai Tulang Bawang menyulitkan upaya penangkapan ikan tersebut, sehing-ga hasil tangkapan ikan lumo pada bulan Januari lebih sedikit dibandingkan de-ngan bulan lainnya.

Jumlah ikan lumo yang melimpah saat awal musim hujan merupakan feno-mena yang umum terjadi di perairan rawa banjiran. Keragaman habitat perairan yang terjadi akibat pertambahan luas wilayah perairan di rawa banjiran pada saat musim hujan menyebabkan ikan-ikan melakukan ruaya dari sungai utama ke

per-airan tersebut. Agostinho et al. (2000) menyatakan bahwa tingginya keragaman

fauna ikan yang ditemukan di daerah rawa banjiran Sungai Paraná, Amerika Se-latan, merupakan ciri dinamika ekologi sebagai respon ikan terhadap habitat yang heterogen dan fluktuasi tinggi muka air. Parameter lingkungan yang bervariasi se-cara temporal adalah kedalaman, kecepatan arus, suhu, substrat dan oksigen terla-rut yang berperan dalam menunjang keragaman kelompok ikan di daerah rawa banjiran (Li & Gelwick 2005).

Seperti halnya ikan-ikan air tawar lainnya yang hidup di sungai rawa banjir-an, ikan lumo memasuki dataran banjir pada saat air mulai menggenangi areal ter-sebut untuk mencari makan, melakukan pemijahan, dan mencari tempat

perlin-dungan ataupun daerah asuhan. Kondisi yang sama dijumpai pada spesies

Labio-barbus lainnya, seperti L. leptocheilus, L. lineatus, dan L siamensis yang hidup di Sungai Mekong Kamboja yang melakukan ruaya dan memasuki perairan dataran banjir pada saat air mulai banjir untuk mencari makan dan memijah (Rainboth 1996). Faktor-faktor yang memicu ruaya tersebut antara lain pergantian air, naik-nya muka air, arus, dan hujan (Baran 2006). Menurut Mc Connell (1979) banjir yang terjadi di sungai dataran banjir dapat meningkatkan habitat perairan hingga 50% per tahun serta membawa nutrisi yang dapat merangsang pertumbuhan mi-kroorganisme, invertebrata, dan tanaman, serta menyediakan makanan yang ber-limpah untuk ikan. Selain itu, meningkatnya keragaman habitat yang tersedia di rawa banjiran pada saat musim hujan menyebabkan banyak spesies ikan meman-faatkan perairan tersebut melalui berbagai cara untuk menunjang proses

kehidup-annya, seperti pemijahan (Lim et al. 1999), daerah asuhan anak-anak ikan

(Ribei-ro et al. 2004), mencari makan, dan habitat hidup bagi ikan-ikan dewasa (Boer-cherding et al. 2002).

Simpulan

Ikan lumo lebih banyak terdapat di perairan Bawang Latak daripada di Su-ngai Tulang Bawang; dan jumlah ikan tersebut meningkat pada saat awal musim hujan (Oktober).


(39)

4. PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN LUMO

Pendahuluan

Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi relatif merupakan parameter pertumbuhan ikan yang penting diketahui untuk kajian dinamika populasi ataupun biologi perikanan. Hubungan panjang bobot dapat digunakan untuk menilai kese-hatan ikan secara umum, tingkat kemontokan, perkembangan gonad, dan menen-tukan berat ikan berdasarkan panjangnya ataupun sebaliknya (Le Cren 1951). Hu-bungan panjang bobot juga merupakan faktor yang penting dalam kajian biologi

ikan (Odat 2003), pendugaan stok ikan (Sparre et al. 1989; Frota et al. 2004;

Ab-durahiman et al. 2004), penentuan kondisi ikan (Soler et al. 2005; Froese 2006),

serta dapat digunakan untuk kajian perbandingan pertumbuhan spesies ikan, baik antar jenis kelamin, musim, maupun wilayah (Froese 2006).

Model pertumbuhan von Bertalanffy merupakan salah satu dasar model pertumbuhan dalam biologi perikanan karena seringkali digunakan sebagai sub-model dalam sejumlah sub-model pertumbuhan yang lebih rumit dalam menjelaskan

berbagai dinamika populasi ikan (Sparre et al. 1989). Ikan-ikan yang berukuran

cukup tua biasanya mengikuti model pertumbuhan von Bertalanffy, sehingga mo-del ini dapat mendeskripsikan laju pertumbuhan ikan-ikan besar yang dapat

di-eksploitasi (Sparre et al. 1989). Model pertumbuhan von Bertalanffy juga dapat

digunakan untuk menduga umur ikan pada ukuran tertentu dan hal ini sangat ber-guna untuk menentukan komposisi umur ikan-ikan yang tertangkap berdasarkan panjangnya.

Nilai faktor kondisi merupakan suatu instrumen yang efisien dan dapat me-nunjukkan perubahan kondisi ikan sepanjang tahun dan perubahan faktor kondisi tersebut secara tak langsung bisa menjadi penanda adanya perubahan lingkungan

(Rahardjo et al. 2011).Parameter pertumbuhan ini juga dapat menggambarkan

ke-ragaan biologi ikan, seperti kegemukan ikan, perkembangan gonad, kesesuaian

terhadap lingkungan (Le Cren 1951, Muchlisin et al. 2010), kapasitas fisika untuk

survival dan reproduksi (Effendie 2002), siklus hidup ikan dan keseimbangan ekosistem (Lizama & Ambròsio 2002), serta memberikan informasi kapan ikan

memijah (Hossain et al., 2006).

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung beberapa parameter pertumbuhan

ikan lumo, yaitu b, K, L∞, t0

Metode Penelitian

, dan faktor kondisi relatif. Selanjutnya menyusun persamaan hubungan panjang bobot dan model pertumbuhan von Bertalanffy un-tuk menerangkan pola pertumbuhan ikan lumo tersebut.

Penelitian ini dilakukan pada pada bulan April 2013 sampai dengan Maret 2014 di Sungai Tulang Bawang dan Rawa Latak, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung (Gambar 3). Lokasi ini berjarak sekitar 120 km dari Kota Ban-dar Lampung. Lokasi pengambilan ikan contoh terdapat di empat stasiun penga-matan yang tersebar di sepanjang Sungai Tulang Bawang, yaitu Pagar Dewa (A), Rawa Bungur (B), Ujung Gunung (C), dan Cakat Nyinyik (D), serta satu stasiun pengamatan di rawa Bawang Latak (E).

Pengambilan ikan contoh dilakukan setiap bulan menggunakan jaring in-sang berukuran panjang 20 m tinggi 2 m dengan mata jaring 1”,1½”, 1¾”, dan


(40)

2”. Jaring insang dipasang sejajar dengan tepi sungai selama 24 jam. Ikan lumo yang tertangkap diawetkan dengan formalin 10%, diukur panjang totalnya (TL) dengan penggaris dalam satuan mm, serta ditimbang bobotnya menggunakan tim-bangan digital dengan ketelitian 0,01 g.

Penentuan jenis kelamin ikan contoh dilakukan dengan mengamati secara langsung bentuk genitalnya (Gambar 13). Ikan lumo jantan memiliki lubang geni-tal yang menyerupai tonjolan memanjang, sedangkan ikan lumo betina memiliki lubang genital berupa lubang kecil dan tidak terdapat tonjolan seperti halnya ikan lumo jantan.

Gambar 13. Penentuan jenis kelamin ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843)

ber-dasarkan bentuk lubang genital

Analisis hubungan panjang bobot dilakukan untuk mengetahui pola partum-buhan ikan lumo, apakah pertambahan panjang ikan tersebut seimbang dengan pertambahan bobotnya (isometrik) atau pertumbuhannya bersifat allometrik. Hu-bungan panjang bobot diperoleh dengan menggunakan persamaan empiris Le Cren (1951):

W= aL Keterangan:

b

W=bobot ikan L=panjang ikan a dan b = konstanta

Selanjutnya dilakukan uji t pada nilai b dengan selang kepercayaan 95%. Bila nilai b sama dengan 3 maka pertumbuhan ikan isometrik; jika nilai b lebih besar dari 3 disebut allometrik positif, sedangkan nilai b yang lebih kecil dari 3 di-sebut allometrik negatif. Persamaan hubungan panjang bobot dibedakan antara ikan lumo jantan dengan ikan lumo betina.

Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy menurut Pauly (1980) adalah seba-gai berikut:

Lt = L∞ {1-exp[-K(t-t0

Keterangan:

)]} Lt

L

= panjang ikan saat umur t (satuan waktu)


(41)

K= koefisien pertumbuhan t0

Parameter pertumbuhan von Bertalanffy (K dan L∞) dapat dihitung dengan

menganalisis serangkaian data frekuensi panjang menggunakan metode ELEFAN

I yang terakomodasi pada perangkat lunak FISAT II (Gayanilo et al. 2005).

Selan-jutnya untuk menghitung nilai t

=umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol

0

log (-to) = -0,3922-0,2752 log L∞-1,038 log K

dapat dilakukan dengan memasukkan nilai K dan

L∞ yang sudah diperoleh dari program ELEFAN I menggunakan persamaan me

-nurut Pauly (1979), sebagai berikut:

Faktor kondisi relatif atau indeks ponderal ikan lumo dapat diketahui de-ngan persamaan sebagai berikut (Le Cren 1951):

Kn=W/W* Keterangan:

W = bobot ikan lumo berdasarkan pengamatan

W* = bobot yang dihitung berdasarkan persamaan hubungan panjang bobot aL

Faktor kondisi relatif dihitung setiap bulan secara terpisah antara ikan lumo jantan dan ikan lumo betina. Selanjutnya data tersebut ditabulasikan berdasarkan dua musim, yaitu musim kemarau (April-September) dan musim hujan (Oktober-Maret), serta dibedakan antara habitat di sungai dan di rawa-rawa. Selain itu, fak-tor kondisi relatif juga dihitung pada sebaran selang kelas panjang sehingga dapat ditentukan ada tidaknya perbedaan faktor kondisi relatif antara ikan lumo berukur-an kecil dengberukur-an ikberukur-an lumo berukurberukur-an lebih besar.

b

Hasil

Hubungan Panjang Bobot

Berdasarkan analisis hubungan panjang bobot ikan lumo jantan diperoleh persamaan sebagai berikut:

W = 2,227 x 10-6 L3,284

Adapun ikan betina memiliki persamaan hubungan panjang bobot sebagai berikut: (r = 0,98)

W= 2,473 x 10-6 L3,272

Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa panjang dan bobot ikan lumo, baik jantan dan betina, memiliki korelasi yang kuat yang ditunjukkan dari nilai r yang mendekati 1 (Gambar 14). Dengan demikian, setiap pertambahan ukuran panjang ikan diikuti dengan pertambahan bobotnya.

(r = 0,98)

Pola pertumbuhan ikan lumo jantan dan ikan lumo betina yang diekspresi-kan dari nilai b adalah allometrik positif. Dari hasil uji t diketahui bahwa nilai b berbeda nyata dengan 3, baik untuk ikan lumo jantan maupun ikan lumo betina Nilai b ikan lumo jantan tidak berbeda nyata dengan nilai b ikan lumo betina (Lampiran 7).


(42)

Gambar 14. Hubungan panjang bobot ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843)

Model Pertumbuhan von Bertalanffy

Hasil analisis parameter pertumbuhan yang dilakukan dengan menggunakan analisis ELEFAN I yang terdapat dalam perangkat lunak FISAT II menunjukkan

bahwa ikan lumo jantan memiliki nilai panjang infinity (L∞) hingga 233 mm,

koe-fisien pertumbuhan (K) sebesar 0,31 per bulan atau setara dengan 3,72 per tahun,

serta nilai t0 = -0,30 bulan. Berdasarkan ketiga parameter pertumbuhan tersebut

maka kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan lumo jantan mengikuti persamaan

Lt = 233*[1-e-0,31(t+0,30)]. Ikan lumo betina memiliki panjang infinity yang lebih

kecil, yaitu 202 mm dengan nilai K adalah 0,48 per bulan (setara dengan 5,76 per

tahun) dan t0= -0,20 bulan. Persamaan kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan

lumo betina adalah Lt=202*[1-e-0,48(t+0,20)

Adapun parameter pertumbuhan von Bertalanffy ikan lumo gabungan (tanpa

membedakan jenis kelamin) adalah sebagai berikut: L∞ = 203 mm, K=0,45 per

bulan atau setara dengan 5,4 per tahun, dan t ].

0 = -0,22 bulan. Dengan demikian

persamaan kurva pertumbuhan von Bertalanffy gabungan dapat dinyatakan dalam Lt=203*[1-e-0,45(t+0,22)].


(43)

Faktor Kondisi Relatif

Ikan lumo yang hidup di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak memi-liki faktor kondisi yang relatif sama. Di Sungai Tulang Bawang faktor kondisi re-latif ikan lumo jantan rata-rata 1,01±0,06 dan ikan lumo betina 1,00±0,06 (Tabel 5). Adapun ikan lumo yang hidup di Bawang Latak memiliki faktor kondisi rela-tif rata-rata 1,01±0,05 (jantan) dan 1,01±0,04 (betina). Kondisi relarela-tif ikan lumo jantan dan ikan lumo betina saat musim kemarau tidak berbeda dengan musim hujan (Lampiran 9).

Berdasarkan sebaran panjang total diketahui bahwa faktor kondisi relatif ju-ga tidak jauh berbeda antara ikan lumo jantan denju-gan ikan lumo betina (Tabel 6). Rata-rata nilai Kn tersebut adalah 1,02±0,03 untuk ikan lumo jantan dan 1,02± 0,04 untuk ikan lumo betina.

Gambar 16. Faktor kondisi relatif rata-rata ikan lumo, L. ocellatus(Heckel, 1843)

Tabel 5. Faktor kondisi relatif ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) di Sungai

Tulang Bawang dan Bawang Latak

Musim/Bulan Sungai Tulang Bawang Bawang Latak

Jantan Betina Jantan Betina

Apr-2013 1,03 0,97 1,01 1,01

Mei-2013 1,05 1,02 1,03 1,03

Kemarau Jun-2013 1,05 0,99 1,02 1,03

Jul-2013 1,02 0,94 1,03 1,00

Agust-2013 0,93 0,98 0,92 0,98

Sep-2013 0,91 0,93 0,94 1,01

Okt-2013 0,97 0,96 1,02 0,97

Nov-2013 1,04 0,97 1,08 1,06

Hujan Des-2013 1,06 1,10 1,03 1,04

Jan-2014 1,02 1,04 1,08 1,00

Feb-2014 1,08 1,11 1,01 1,07

Mar-2014 0,95 0,95 1,00 0,96


(44)

Tabel 6. Faktor kondisi relatif ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan sebaran panjang total

Kelas panjang (mm) Betina Jantan

n (ekor) Kn n (ekor) Kn

80 - 96 5 1,00 1 1,02

97 -113 16 0,98 22 1,00

114-130 146 1,05 113 1,04

131-147 145 0,97 210 1,00

148-164 163 0,99 148 0,99

165-181 94 1,00 115 0,99

182-198 48 1,02 51 1,04

199-215 18 1,05 16 1,04

216-232 10 1,08 14 1,07

233-249 6 1,08 0 ---

Rata-rata 1,02±0,04 1,02±0,03

Keterangan: n= jumlah ikan (ekor); Kn=faktor kondisi relatif Pembahasan

Pertumbuhan ikan lumo jantan dan ikan lumo betina bersifat allometrik po-sitif dengan nilai b masing-masing sebesar 3,284 dan 3,272. Nilai b ini tidak ber-beda jauh dengan nilai b yang dinyatakan oleh Froese & Pauly (2014) untuk ikan

tersebut, yaitu sebesar 3,19; dan juga untuk genus Labiobarbus lainnya, yaitu L.

lineatus dan L. siamensis (Sidthimunka 1973).

Berdasarkan model pertumbuhan von Bertanlanffy diketahui bahwa ikan lu-mo betina memiliki laju pertumbuhan (K=0,48) relatif lebih cepat dibandingkan dengan ikan lumo jantan (K=0,31). Laju pertumbuhan ikan lumo berlangsung

pe-sat pada awal pertumbuhannya (t0

Faktor kondisi relatif (Kn) rata-rata pada ikan lumo jantan dan ikan lumo betina tidak berbeda. Ikan lumo jantan dan ikan lumo betina hidup dalam kondisi yang sama di perairan Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak. Kondisi terse-but menguntungkan dari segi pertumbuhannya, sehingga ikan lumo jantan dan ikan lumo betina memiliki peluang yang sama untuk bertahan hidup, tumbuh dan berkembang di perairan tersebut.

); selanjutnya mengalami perlambatan pertum-buhan saat ukuran tubuhnya mencapai panjang asimtotiknya. Secara teoritis, ikan lumo jantan mencapai panjang asimtotik diperkirakan pada umur 20 bulan, se-dangkan ikan lumo betina mencapai panjang asimtotiknya pada umur 13 bulan. Ukuran maksimum ikan lumo jantan yang tertangkap (232 mm) mendekati ukuran panjang asimtotiknya; sedangkan ukuran maksimum ikan lumo betina yang ter-tangkap (242 mm) sudah melebihi panjang asimtotiknya.

Ikan lumo juga hidup dalam kondisi relatif yang sama saat musim hujan dan musim kemarau. Keadaan ini menunjukkan bahwa ikan lumo dapat hidup dengan baik sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh fluktuasi habitat perairan yang terja-di akibat perbedaan musim hujan dan musim kemarau. Pertumbuhan ikan lumo dalam kondisi yang tidak berbeda antara musim hujan dan musim kemarau ini di-mungkinkan karena kualitas habitat perairan yang mendukung untuk kehidupan ikan lumo. Beberapa parameter fisika kimia perairan yang penting, seperti pH,


(1)

1). Ikan lumo jantan a. Sungai Tulang Bawang

Selang kelas panjang (mm)

nilai tengah

(mm)

log nilai tengah

(xi

% ikan contoh

) (ni

Persentase ikan pada TKG (%) )

proporsi ikan TKG IV

(pi

)

x= xi+1-x

i qi = 1-p

pi*qi ni-1

i

I II III IV (ri)

120-132 126 2,100370545 3 3 0 0 0 0

133-145 139 2,143014800 21 21 0 0 0 0 0,0388 1,00 0

146-158 152 2,181843588 25 15 5 4 2 0,061 0,0356 0,94 0,00239

159-171 165 2,217483944 33 0 3 13 17 0,523 0,0329 0,48 0,00778

172-184 178 2,250420002 13 0 0 1 12 0,941 0,0306 0,06 0,00470

185-197 191 2,281033367 3 0 0 0 3 1 0,00 0

2,52 0,01487

m = xk +x

2 - �x*�pi� m = 2,281 +0,04

2 – (0,04*2,52) m = 2,2002

M = antilog (2,2002) M = 159 mm


(2)

Lampiran 12. Lanjutan

b. Bawang Latak

Selang kelas panjang (mm)

nilai tengah

(mm)

log nilai tengah

(xi

% ikan contoh

) (ni

Persentase ikan pada TKG (%) )

proporsi ikan TKG IV

(pi

)

x= xi+1-x

i qi = 1-p

pi*qi

ni-1

i

I II III IV (ri)

120-132 126 2,100370545 3 3 0 0 0 0

133-145 139 2,143014800 20 20 0 0 0 0,00 0,038828788 1,00 0

146-158 152 2,181843588 17 13 3 0 1 0,07 0,035640356 0,93 0,003919215 159-171 165 2,217483944 34 0 2 11 21 0,62 0,032936058 0,38 0,007125845 172-184 178 2,250420002 15 0 1 1 13 0,88 0,030613365 0,12 0,007748623

185-197 191 2,281033367 3 0 0 0 3 1,00 0,00 0

2,57 0,01879

m = xk +x

2 - �x*�pi� m = 2,281 +0,04

2 – (0,04*2,57) m = 2,1972

M = antilog (2,1972) M = 157 mm


(3)

2). Ikan lumo betina a. Sungai Tulang Bawang

Selang kelas panjang (mm)

nilai tengah

(mm)

log nilai tengah

(xi

% ikan contoh

) (ni

Persentase ikan pada TKG (%) )

proporsi ikan TKG IV

(pi

)

x= xi+1-x

i qi = 1-p

pi*qi ni-1

i

I II III IV (ri)

120-133 126,5 2,102090526 3 3 0 0 0 0

134-147 140,5 2,147676324 15 15 0 0 0 0 0,041252160 1,00 0

148-161 154,5 2,188928484 37 26 6 3 1 0,03 0,037671421 0,97 0,00073046 162-175 168,5 2,226599905 36 0 0 10 26 0,72 0,034662964 0,28 0,00574168

176-189 182,5 2,261262869 6 0 0 0 6 1,00 0,00 0

1,75 0,00647214

m = xk +x

2 - �x*�pi� m = 2,261 +0,04

2 – (0,04*1,75) m = 2,211

M = antilog (2,211) M = 162 mm


(4)

Lampiran 12. Lanjutan

b. Bawang Latak

Selang kelas panjang (mm)

nilai tengah

(mm)

log nilai tengah

(xi

% ikan contoh

) (ni

Persentase ikan pada TKG (%) )

proporsi ikan TKG IV

(pi

)

x= xi+1-x

i qi = 1-p

pi*qi ni-1

i

I II III IV (ri)

120-133 126,5 2,102090526 2 2 0 0 0 0

134-147 140,5 2,147676324 8 8 0 0 0 0,00 0,041252160 1,00 0

148-161 154,5 2,188928484 30 16 7 1 6 0,19 0,037671421 0,81 0,005377363 162-175 168,5 2,226599905 25 0 1 5 20 0,77 0,034662964 0,23 0,007230916 176-189 182,5 2,261262869 11 0 0 1 10 0,90 0,032099686 0,10 0,008576123

190-203 196,5 2,293362555 7 0 0 0 7 1,00 0,00 0

2,87 0,021184402

m = xk +x

2 - �x*�pi� m = 2,2934 +0,04

2 – (0,04*2,87) m = 2,2038

M = antilog (2,2038) M = 160 mm


(5)

Lampiran 13. Penentuan ukuran mata jaring

Posisi ikan lumo saat tertangkap oleh jaring insang sebagian besar adalah wedged, yaitu terjerat pada bagian badan ikan hingga mata jaring melingkari ba-dannya sampai di bagian depan sirip punggung. Ikan lumo dengan panjang total 160 mm memiliki tinggi badan rata-rata 42,5 mm atau 1,67”. Tinggi bukaan mata jaring disesuaikan dengan ukuran tinggi badan.

Gambar 30. Cara ikan lumo tertangkap oleh jaring insang serta rata-rata tinggi kepala dan tinggi badan ikan lumo (TL=160 mm).

Dengan asumsi jaring yang digunakan memiliki hanging ratio 30% maka mata jaring 1¾” memiliki tinggi bukaan mata jaring 1,67” dan lebar bukaan mata jaring 0,53”. Ukuran mata jaring tersebut sudah bisa digunakan untuk menangkap ikan lumo berukuran 160 mm.

Tabel 11. Lebar dan tinggi bukaan mata jaring pada jaring insang

Ukuran mata jaring

(=2*d)

d (inci)

Lebar bukaan mata jaring (c) pada berbagai hanging ratio

(inci)

Tinggi bukaan mata jaring (t) pada berbagai hanging ratio (inci)

inci 25% 30% 40% 50% 25% 30% 40% 50%

1,00 0,50 0,25 0,30 0,40 0,50 0,97 0,95 0,92 0,87

1,25 0,63 0,31 0,38 0,50 0,63 1,21 1,19 1,15 1,08

1,50 0,75 0,38 0,45 0,60 0,75 1,45 1,43 1,37 1,30

1,75 0,88 0,44 0,53 0,70 0,88 1,69 1,67 1,60 1,52

2,00 1,00 0,50 0,60 0,80 1,00 1,94 1,91 1,83 1,73

2,50 1,25 0,63 0,75 1,00 1,25 2,42 2,38 2,29 2,17

2,75 1,38 0,69 0,83 1,10 1,38 2,66 2,62 2,52 2,38

�= 2��(1− �2)

Keterangan:

H = hanging ratio

c = lebar bukaan mata jaring t = tinggi bukaan mata jaring


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gombong (Kebumen, Jawa Tengah) pada tanggal 15 Agustus 1970 sebagai anak kedua dari pasangan Sahmi Gumay dan Indrawati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1995 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Ling-kungan pada Program Pascasarjana IPB melalui Beasiswa URGE BATCH II dan menyelesaikannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke pro-gram doktor pada Propro-gram Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan IPB diperoleh pada tahun 2010 melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departe-men Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis menikah dengan Yuli Ambawati, S.Sos., M.Pd. pada tahun 1999 dan telah dikaruniai dua orang putra, yaitu M. Alfarizi Gumay dan M. Rayhan Gumay. Sejak tahun 1999 hingga saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Selama mengikuti program S3 penulis menjadi anggota Masyarakat Iktiolo-gi Indonesia (MII) dan Asosiasi Peneliti dan Pemerhati Sumberdaya dan Ling-kungan Perairan Indonesia. Karya ilmiah yang berjudul “Pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) di Sungai Tulang Bawang, Lampung” telah disetujui untuk diterbitkan pada Jurnal Zoo Indonesia Volume 24 (1) Juli 2015. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.