PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO

43 Gambar 22. Kurva penangkapan ikan lumo, L. ocellatus Heckel, 1843 yang di- konversi dari panjang Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan lumo yang sudah mengalami tang- kap lebih tidak terlepas dari adanya penggunaan alat tangkap yang tidak selektif dan merusak. Kegiatan penangkapan ikan di Sungai Tulang Bawang banyak dila- kukan oleh nelayan dengan menggunakan berbagai alat tangkap, yaitu pancing, ja- ring insang, anco, bubu, jala lempar, dan jaring togok Gambar 23. Jaring togok merupakan alat tangkap yang berbahan waring berukuran mata jaring kecil seki- tar 2 mm 2 Jaring togok banyak dioperasikan di bagian pinggir Sungai Tulang Bawang oleh nelayan setempat justru pada saat anak-anak ikan beruaya ke Sungai Tulang Bawang yang puncaknya berlangsung antara bulan Mei-Juni. Pada saat itu perair- an pinggir Sungai Tulang Bawang merupakan alur ruaya anak-anak ikan bergerak menentang arus menuju ke arah hulu. Oleh karena jaring togok dioperasikan de- ngan cara menetap selama berhari-hari di perairan maka alat tangkap tersebut se- lalu memerangkap anak-anak ikan yang beruaya ke sungai utama tersebut dalam jumlah yang relatif besar. Seringkali anak-anak ikan yang terperangkap dibiarkan mati dan membusuk di dalam jaring tersebut Gambar 24. yang dipasang menetap di tepi sungai. Oleh karena bermata jaring ke- cil, jaring togok dapat memerangkap ikan-ikan kecil yang keluar dari anak-anak sungai menuju ke Sungai Tulang Bawang ketika rawa-rawa mulai mengering. Ikan-ikan berukuran kecil yang berharga mahal, seperti seluang, akan dijual; se- dangkan anak-anak ikan lainnya yang tertangkap akan dibiarkan mati di dalam ja- ring tersebut hingga membusuk untuk digunakan sebagai pakan ikan baung, to- man, dan gabus yang dipelihara dalam keramba apung. Penggunaan alat setrum ikan electro fishing dan racun ikan juga banyak dilakukan di Sungai Tulang Bawang oleh nelayan setempat. Ikan-ikan yang men- jadi target utama alat tangkap ini sebenarnya adalah ikan-ikan yang berukuran be- sar dan bernilai ekonomis. Pada saat dioperasikan justru lebih banyak membunuh anak-anak ikan dan ikan-ikan berukuran kecil yang bukan menjadi target penang- kapan. 44 Gambar 23. Berbagai metode penangkapan ikan di Sungai Tulang Bawang a, b, d dan Bawang Latak c. Keterangan : a. anco, b. jaring insang, c d. jaring togok Gambar 24. Anak-anak ikan yang mati terperangkap dalam jaring togok dan dibi- arkan membusuk 45 Di Bawang Latak tidak ada nelayan yang menggunakan racun dan alat se- trum ikan. Nelayan di Bawang Latak mengoperasikan jaring togok untuk menang- kap berbagai jenis ikan air tawar, termasuk ikan lumo. Pada saat musim hujan ba- nyak ikan lumo yang tertangkap, tetapi saat banjir mulai meluas di bulan Januari jumlah hasil tangkapan menurun karena ikan-ikan menjadi sulit untuk ditangkap. Ada juga nelayan yang menangkap ikan dengan cara yang merusak, yaitu dengan menggunakan arus listrik dan racun. Penggunaan arus listrik untuk me- nangkap ikan di Sungai Tulang Bawang dilakukan dengan generator listrik yang dihubungkan dengan mesin kapal sehingga menghasilkan arus listrik yang besar, yaitu sekitar 2.000 ampere. Adapun penggunaan racun dan arus listrik bertenaga baterai aki hanya dilakukan di rawa-rawa ataupun anak sungai yang dangkal. Metode penangkapan ikan yang juga banyak berkembang di rawa-rawa dan di tepian sungai yang terdapat di sekitar Sungai Tulang Bawang adalah sistem bo- lak Gambar 25. Bolak adalah lubang galian yang dibuat oleh masyarakat setem- pat yang menyerupai saluran air dengan kedalaman sekitar 1 m, lebar 2 m, dan panjang antara 50-100 m. Pada saat musim banjir bolak-bolak tersebut berisi air dan menyatu dengan rawa-rawa. Ketika air menyusut dan rawa-rawa mulai me- ngering, air di dalam bolak tetap ada dan ikan-ikan berkumpul di dalamnya se- hingga dengan mudah ditangkap. Dalam satu kali musim banjir rata-rata pemilik bolak dapat menangkap ikan minimal 500-900 kg. Bolak yang dibangun di tepi Sungai Tulang Bawang dapat menjadi perang- kap bagi anak-anak ikan dan ikan dewasa saat air di rawa-rawa banjiran mulai su- rut dan ikan-ikan tersebut berupaya melakukan ruaya ke sungai utama. Ikan-ikan yang akan beruaya menuju sungai utama tertahan di saluran bolak dan terperang- kap di dalamnya, sehingga dapat mengalami kematian akibat predasi, menurunnya kualitas air, ataupun tertangkap oleh nelayan. Gambar 25. Bolak yang dibangun di tepi sungai 46 Usaha budi daya ikan yang sudah berkembang di Sungai Tulang Bawang adalah pembesaran ikan dalam keramba apung. Keramba ini terbuat dari bambu yang dilengkapi dengan pelampung dari drum Gambar 26. Jenis-jenis ikan yang dipelihara adalah ikan baung Hemibagrus nemurus, toman Chana micropeltes, dan gabus Channa striata . Ikan-ikan tersebut memiliki harga jual yang tinggi, terutama jika dijual dalam keadaan hidup. Pakan yang digunakan selama masa pemeliharaan adalah ikan rucah ataupun anak-anak ikan yang ditangkap dari Su- ngai Tulang Bawang ataupun rawa-rawa di sekitarnya. Gambar 26. Keramba apung di Sungai Tulang Bawang Masalah lainnya yang menjadi potensi ancaman bagi kelestarian ikan-ikan lokal, termasuk juga ikan lumo, di Sungai Tulang Bawang dan perairan sekitarnya adalah keberadaan ikan nila Oreochromis niloticus. Ikan tersebut hidup dan ber- kembang biak dengan baik di Sungai Tulang Bawang maupun di Bawang Latak. Ikan ini banyak tertangkap dan dijual di Pasar Menggala setiap harinya hingga da- pat mencapai 30-50 dari total komoditas ikan yang dijual. Keberadaan ikan nila di perairan Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak berasal dari kegiatan pene- baran ikan tersebut oleh pemerintah daerah sekitar tahun 1999-2000 dalam rangka meningkatkan produksi ikan. Oleh karena ikan nila termasuk omnivora maka ke- beradaannya di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak dapat berpotensi me- ngancam kelestarian ikan lumo dalam hal persaingan makanan. Ikan nila juga ter- masuk jenis ikan yang memiliki sifat penguasaan wilayah sehingga berpotensi da- pat mempersempit ruang gerak ikan lumo. Wargasasmita 2005 telah menyebut- kan beberapa kasus introduksi spesies ikan asing yang menyebabkan penurunan keanekaragaman ikan asli di berbagai negara. Beberapa ikan introduksi mampu memenangkan persaingan dengan ikan asli, sehingga populasi ikan asli menurun bahkan musnah sama sekali. Salah satu spesies ikan introduksi yang telah menye- babkan kepunahan beberapa ikan endemik di Indonesia adalah ikan mujair O. mossambicus Kottelat et al. 1993; Wargasasmita 2005. Degradasi lingkungan daratan yang terjadi di sepanjang DAS Tulang Ba- wang akibat pembukaan lahan telah menyebabkan menurunnya kualitas air di Su- 47 ngai Tulang Bawang dan perairan Bawang Latak. Tingginya material erosi yang mengalir dari bagian hulu Sungai Tulang Bawang berdampak pada peningkatan padatan tersuspensi total di sungai tersebut yang selanjutnya dapat mengganggu kehidupan organisme akuatik. Partikel-partikel tersuspensi yang berukuran kecil dapat menyebabkan kekeruhan di air dan merusak epithelium insang, menggang- gu proses respirasi dan pertukaran ion, membatasi penglihatan ikan, mengurangi efisiensi pemangsaan dan menghindari predator Beamish et al. 2012. Di sisi lain terjadi pula sedimentasi dan pendangkalan pada beberapa ekosistem rawa banjir- an, termasuk di perairan Bawang Latak. Selain sedimentasi, perairan Bawang La- tak juga mengalami gangguan akibat melimpahnya eceng gondok Eichhornia crassipes yang termasuk gulma air yang invasif. Pengelolaan Upaya pengelolaan ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh yang meliputi aspek persebaran ikan, pertumbuhan, dan reproduksi. Beberapa permasalahan yang su- dah dikemukakan sebelumnya dapat dijadikan dasar untuk usulan rencana penge- lolaan ikan lumo tersebut, seperti degradasi habitat, penggunaan alat penangkap ikan yang merusak, ataupun peraturan dan kelembagaan yang ada. Pada dasarnya upaya pengelolaan sumber daya ikan lumo dapat dilakukan melalui berbagai ke- giatan, seperti pelarangan penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak, penutupan masa penangkapan ikan pada saat musim pemijahan, penutupan daerah perikanan di daerah pemijahan dan pembesaran ikan, serta perlindungan anak ikan atau ikan yang belum dewasa. Selain itu diperlukan pula berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas lingkungan perairan yang mengalami degradasi. Oleh karena penggunaan jaring togok, setrum ikan, dan racun dapat mem- bahayakan kelestarian ikan lumo dan jenis-jenis ikan lainnya, maka sudah sela- yaknya alat-alat tangkap tersebut dilarang digunakan. Himbauan untuk tidak menggunakan alat tangkap tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah daerah melalui berbagai penyuluhan dan papan peringatan tentang larangan peng- gunaan setrum dan racun untuk menangkap ikan Gambar 27. Namun demikian tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah menyebabkan masih banyak ne- layan yang menggunakan alat tangkap yang merusak tersebut. Oleh karena itu di- perlukan upaya yang sungguh-sungguh dan penegakkan hukum yang lebih tegas lagi. Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang melalui Dinas Kelautan dan Perikan- an juga telah membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas Pokwasmas Gattau Tejang Wilayah Menggalau, Bakung, Gedung Aji dan Penawar pada tahun 2003. Kelompok masyakat pengawas ini bertugas untuk memantau dan mencegah terja- dinya pelanggaran tersebut sekaligus menyadarkan masyarakat lainnya untuk ti- dak menggunakan alat tangkap yang merusak. Beberapa kasus pelanggaran juga sudah pernah ditangani oleh pihak kepolisian. Namun demikian penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak masih terjadi. Penutupan masa penangkapan ikan pada saat musim pemijahan merupakan salah satu bentuk pengelolaan untuk menjamin agar ikan lumo mendapat kesem- patan untuk berpijah, sehingga proses rekrutmennya tidak terganggu. Sesudah musim pemijahan diperkirakan berakhir, barulah penangkapan ikan lumo diperbo- lehkan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak merusak agar anak-anak ikan yang menetas pada musim pemijahan tersebut tidak tertangkap ataupun mati. 48 Penutupan masa penangkapan ikan lumo dilakukan pada saat berlangsungnya mu- sim pemijahan, yaitu antara bulan Oktober hingga Januari. Penutupan masa pe- nangkapan ikan dapat diperluas hingga menjelang masa pembesaran anak-anak ikan berakhir, sehingga anak-anak ikan lumo memiliki kemampuan untuk melaku- kan ruaya menuju ke Sungai Tulang Bawang. Gambar 27. Himbauan penangkapan ikan yang tidak merusak Untuk melindungi kepastian rekrutmen ikan lumo dapat dilakukan dengan menutup suatu area sebagai tempat penangkapan ikan. Suatu wilayah perairan yang diperkirakan merupakan lokasi pemijahan ikan dan atau tempat pembesaran ikan dapat dinyatakan tertutup bagi penangkapan ikan. Sebagai lokasi pemijahan ikan lumo, perairan Bawang Latak dapat ditetapkan sebagai daerah yang bebas dari penangkapan ikan. Penutupan ini hanya diberlakukan sementara selama mu- sim pemijahan yang berlangsung antara bulan Oktober hingga Januari. Anak ikan ataupun ikan lumo yang belum dewasa perlu dilindungi dari te- kanan akibat penangkapan ataupun degradasi habitat perairan. Melalui pelarangan penangkapan ikan yang merusak, penutupan masa penangkapan ikan yang diper- panjang hingga masa pembesaran anak-anak ikan, ataupun kegiatan penutupan da- erah penangkapan ikan di lokasi pemijahan, sebenarnya sudah merupakan serang- kaian kegiatan yang bertujuan untuk melindungi anak ikan ataupun ikan yang be- lum dewasa. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan menentukan ukuran ikan lumo yang diperbolehkan untuk ditangkap, yaitu lebih besar dari ukuran ikan ter- sebut saat pertama kali matang gonad. Tujuannya adalah agar ikan lumo memiliki kesempatan untuk melakukan pemijahan minimal sekali dalam masa hidupnya se- belum tertangkap. Ukuran ikan lumo jantan yang diperbolehkan untuk ditangkap minimal berukuran 157 mm dan untuk ikan lumo betina adalah 160 mm. Oleh ka- rena ikan lumo sulit dibedakan antara ikan jantan dan betina secara langsung, ma- ka batas minimal ukuran ikan lumo yang boleh ditangkap dapat ditentukan berda- sarkan batas ukuran ikan lumo betina, yaitu 160 mm. 49 Penentuan ukuran mata jaring yang digunakan untuk menangkap ikan lumo yang berukuran di atas 160 mm harus lebih besar dari 1¾”, dengan pertimbangan sebagai berikut: Alat tangkap yang digunakan adalah jaring insang dan posisi ikan lumo saat tertangkap oleh jaring insang dalam keadaan wedged, yaitu terjerat pada bagian badan ikan hingga mata jaring melingkari badannya sampai di bagian depan sirip punggung. Ikan lumo dengan panjang total 160 mm memiliki tinggi badan rata-rata 42,5 mm atau 1,67”. Tinggi bukaan mata jaring disesuaikan de- ngan ukuran tinggi badan. Dengan asumsi jaring yang digunakan memiliki hang- ing ratio 30 maka mata jaring 1¾” memiliki tinggi bukaan mata jaring 1,67” dan lebar bukaan mata jaring 0,53” Lampiran 13. Ukuran mata jaring tersebut dapat menangkap ikan lumo yang berukuran 160 mm, sehingga ukuran mata ja- ring yang digunakan harus lebih besar dari 1¾”. Menurut Sparre et al. 1989 perubahan ukuran mata jaring dapat menye- babkan hasil tangkapan maksimum lestari MSY berbeda; semakin besar ukuran mata jaring yang digunakan menyebabkan ikan yang tertangkap semakin besar, dan hal ini dapat menghasilkan nilai MSY yang lebih tinggi. Kondisi yang demi- kian dapat berdampak pada upaya penangkapan ikan yang lebih berkelanjutan. Dengan memasukkan data ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap Lc, L ∞, K, dan M dalam analisis “ujung pisa u” knife edge diperoleh kurva Y’R relatif dan B’R relatif Gayanilo et al. 2005. Dengan menggunakan pe- rangkat lunak FISAT II, hubungan antara Y’R relatif dan B’R relatif ikan lumo saat laju eksploitasi maksimum E max dapat dianalisis Gambar 28. Gambar 28. Biomassa per penambahan baru B’R dan hasil tangkapan per pe- nambahan baru Y’R saat laju eksploitasi maksimum pada kondisi simulasi panjang ikan lumo, L. ocellatus Heckel, 1843 yang ter- tangkap berukuran 90 mm a dan 160 mm b. Ikan lumo yang banyak tertangkap oleh nelayan berukuran sekitar 90 mm. Ikan lumo dengan panjang 90 mm dapat tertangkap oleh jaring togok yang ber- mata jaring kecil. Apabila dalam pengelolaan sumber daya ikan lumo telah dite- tapkan ukuran ikan lumo yang boleh ditangkap lebih besar dari 160 mm, maka di- harapkan kelestarian ikan lumo dapat lebih baik. Berdasarkan simulasi pada Gambar 28 diketahui bahwa peningkatan ukuran ikan lumo yang tertangkap Lc dari 90 mm menjadi 160 mm dapat meningkatkan hasil tangkapan per penambah- an baru Y’R relatif dari 0,123 menjadi 0,183, sehingga MSY meningkat sekitar 50 48,8. Adapun biomassa per penambahan baru B’R relatif menurun 20,7 menjadi 5,7 dari biomassa awal atau biomassa virgin Bv; biomassa jika tidak ada penangkapan. Laju eksploitasi maksimum E max juga mengalami peningkat- an dari 0,61 per tahun menjadi 0,93 per tahun. Peningkatan nilai E max tersebut sejalan dengan meningkatnya ambang batas penangkapan maksimum lestari, F MSY , dan nilai Y’R relatif saat E max Upaya perbaikan habitat perairan dapat dilakukan secara terintegrasi melalui perbaikan kualitas lingkungan di sekitar lokasi penelitian maupun sepanjang DAS Tulang Bawang, terutama di daerah hulu. Tutupan lahan di sekitar DAS merupa- kan peranan kunci dalam pengendalian respon hidrologi Ghaffari et al. 2010, se- hingga perubahan tutupan lahan dapat menyebabkan perubahan aliran permukaan dan terjadinya erosi Tu 2009. Kandungan material erosi yang masuk ke badan air akan berkurang apabila lingkungan di daerah aliran sungai mengalami perba- ikan. Untuk itu perlu dilakukan rehabilitasi ataupun konservasi lahan di DAS Tu- lang Bawang. Beberapa upaya konservasi yang dapat mengurangi erosi dan aliran permukaan antara lain penerapan strip rumput di lahan pertanian, pertanian kon- tur, pemberian mulsa sisa tanaman, dan agroforestri Yuan et al. 2009 merupakan hasil tangkapan maksimum lestari per rekrut MSYR. Peningkatan MSYR tentu saja berdampak terhadap kelestarian sumber daya ikan lumo. Terkait dengan melimpahnya eceng gondok di perairan Bawang Latak yang dapat menurunkan kualitas perairan rawa-rawa tersebut, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengatasinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pengambilan eceng gondok dari perairan secara mekanis. Apabila perair- an Bawang Latak sudah bersih dari eceng gondok, maka diupayakan agar di per- airan tersebut tidak lagi tumbuh eceng gondok yang melimpah. Untuk itu perlu adanya pelibatan kelompok nelayan setempat untuk menjaga perairan Bawang Latak yang bebas dari pelimpahan eceng gondok. Secara garis besar, upaya pengelolaan sumber daya ikan lumo dijelaskan pa- da Gambar 29. Agar pemanfaatan sumber daya ikan lumo di Sungai Tulang Ba- wang dan perairan sekitarnya dapat berkelanjutan, maka diharapkan upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah, masyarakat setempat, lembaga swadaya ma- syarakat, ataupun pihak swasta berperan aktif dan saling bersinergi untuk dapat mewujudkannya. 51 Penggunaan metode dan alat tangkap yang merusak Degradasi habitat • Larangan penggunaan metode dan alat tangkap yang merusak Penangkapan saat musim pemijahan • Tangkap lebih • Mengganggu proses rekrutmen Penutupan masa penangkapan ikan saat musim pemijahan Oktober-Januari • Rehabilitasi dan konser- vasi lahan di DAS Tulang Bawang • Pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan Pemanfaatan sumber daya ikan lumo yang berkelanjutan Sumber daya ikan lumo lestari Proses pemijahan terganggu Ketidaksesuaian habitat perairan untuk mendukung proses kehidupan ikan lumo Habitat ikan lumo terjaga baik ANCAMAN DAMPAK UPAYA PENGELOLAAN HASIL YANG DIHARAPKAN TUJUAN Ukuran ikan lumo yang tertangkap belum matang gonad • Mengurangi jum- lah induk ikan • Kapasitas repro- duksi menurun • Penentuan ukuran ikan lumo yang boleh ditangkap min 160 mm • Penentuan ukuran mata jaring yang diperbolehkan lebih besar dari 1¾” Gambar 29. Upaya pengelolaan ikan lumo, L. ocellatus Heckel, 1843 52

7. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Berdasarkan kajian pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo ini dapat disim- pulkan beberapa hal, yaitu: 1. Persebaran ikan lumo lebih banyak terdapat di Bawang Latak daripada di Su- ngai Tulang Bawang. 2. Pertumbuhan ikan lumo jantan dan ikan lumo betina adalah allometrik positif. 3. Faktor kondisi relatif ikan lumo tidak berbeda antara musim kemarau dan musim hujan. Faktor kondisi tersebut juga tidak berbeda antara ikan lumo yang hidup di Sungai Tulang dengan ikan lumo yang hidup di Bawang Latak. 4. Fekunditas rata-rata ikan lumo bergantung pada panjangnya dan bervariasi antara 3.404-21.147 butir. 5. Ikan lumo termasuk ikan dengan tipe pemijahan serentak yang memijah pada saat dimulainya musim hujan dan dipicu oleh naiknya permukaan air. Puncak pemijahan terjadi pada bulan November-Desember di perairan Bawang Latak. 6. Ukuran ikan lumo jantan saat pertama kali matang gonad adalah 157±1 mm dan ikan lumo betina 160±1 mm. 7. Degradasi habitat dan berbagai metode penangkapan ikan yang merusak ber- potensi menyebabkan kelestarian ikan lumo terganggu. Saran Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan lumo disarankan agar pe- manfaatan sumber daya ikan tersebut tidak menggunakan alat penangkapan ikan yang merusak, menggunakan alat tangkap yang selektif seperti jaring insang de- ngan ukuran mata jaring lebih besar dari 1¾ inci, penentuan ukuran ikan lumo yang boleh ditangkap lebih besar dari 160 mm, penutupan masa penangkapan ikan pada saat puncak musim pemijahan lumo antara bulan Oktober-Januari di Bawang Latak, serta perbaikan lingkungan DAS Tulang Bawang melalui rehabilitasi la- han serta penerapan konservasi tanah dan air pada kegiatan pertanian lahan kering. 53 DAFTAR PUSTAKA Abdurahiman KP, Harishnayak T, Zacharia PU, Mohamed KS. 2004. Length- weight relationship of commercially important marine fishes and shellfishes of the southern coast of Karnataka, India. Naga 27 12: 9-14 Adjie S, Utomo AD. 2011. Karakteristik habitat dan sebaran jenis ikan di Sungai Kapuas bagian tengah dan hilir. Bawal 35: 277-286 Agostinho AA, Thomas SM, Minte-Vera CV, Winemiller KO. 2000. Biodiversity in the high Parana River floodplain. Di dalam: Gopal B, Junk WJ, Davis JA Eds : Biodiversity in wetlands: Assessment, function and conservation Vol. 1. Leiden, Netherlands: Backhuys Publ. Alabaster JS, Lloyd R. 1982. Water Quality Criteria for Freshwater Fish. Second edition. London: Butterworth Scientific. 359 hal. Alviya I, Salminah M, Arifanti VB , Maryani R, Syahadat E. 2012. Persepsi para pemangku kepentingan terhadap pengelolaan lanskap hutan di DAS Tulang Bawang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 94: 171 - 184 Arocha F, Barrios A. 2009. Sex ratios, spawning seasonality, sexual maturity, and fecundity of white marlin Tetrapturus albidus from the Western Central Atlantic. Fisheries Research 951:98-111 Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Bakhris VD, Rahardjo MF, Affandi R, Simanjuntak CPH. 2007. Aspek reproduksi ikan motan Thynnichthys polylepis Bleeker, 1860 di rawa banjiran Sungai Kampar Kiri, Riau. Jurnal Iktiologi Indonesia 72:53-59 Baran E. 2006. Fish migration triggers in the Lower Mekong Basin and other tro- pical freshwater systems. MRC Technical Papper No. 14. Vientiane: Me- kong River Commision. 56 hal. Beamish FWH, Sa-ardrit P, Tongnunui S. 2006. Habitat characteristics of the cy- prinidae in small rivers in Central Thailand. Environmental Biology of Fish- es, 76 2-4, 237-253 Beamish FWH, Kangrang P, Nithirojpakdee P, Plongsesthee R. 2012. Why Thai river fish occur where they are found. Environment Asia 51:1-16. Boercherding J, Bauerfeld M, Hintzen D, Neumann D. 2002. Lateral migrations of fishes between floodplain lakes and their drainage channels at the Lower Rhine: diel and seasonal aspects. Journal of Fish Biology 61:1154-1170 Boyd CE. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama US: Birming- ham Publishing Co. 482 hlm. Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor:Yayasan Dewi Sri. 112 hal. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal. Ernawati Y, Aida SN, Juwaini HA. 2009a. Biologi reproduksi ikan sepatung, Pristolepis grootii Blkr. 1852 Nandidae di Sungai Musi. Jurnal Iktiologi Indonesia 91:13-24 Ernawati Y, Kamal MM, Pellokila NAY. 2009b. Biologi reproduksi ikan betok Anabas testudineus Bloch, 1792 di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kali- mantan Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia 92:113-127. 54 Froese R. 2006. Cube law, condition factor and weight-length relationships: his- tory, meta-analysis and recommendations. J. Applied Ichthyology 22:241- 253. Froese R, Pauly D Editors. 2014. Fish Base. World Wide Web electronic pu- blication. www.fishbase.org, version 112014 Frota LO, Costa PAS, Braga AC. 2004. Length-weight relationships of marine fishes from the central Brazilian coast. Naga 27 12: 20-24 Gayanilo FC Jr, Sparre P, Pauly D. 2005. FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II FISAT II. Revised version. User’s guide. FAO Computerized Informa- tion Series Fisheries No.8. Rome: FAO. hlm. 52-53, 97-98. Ghaffari G, Keesstra S, Ghodousi J, Ahmadi H. 2010. SWAT-simulated hydrolo- gical impact of land-use change in the Zanjanrood Basin, Northwest Iran. Hydrol. Process. 247:892-903 Hartoto DI, Sjafei DS, Kamal MM. 1999. Notes on food habit of freshwater fishes in Lake Takapan, Central Kalimantan. Limnotek 62:23-32. Hayes DB, Ferreri CP, Taylor WW. 2006. Linking fish habitat to their population dynamics. Canada Journal of Fisheries Aquatic Science 53:383-390. Hoggart DD, Cowan VJ, Halls AS, Thomas MA, Mc Gregor JA, Garaway CA. Payne AI, Welcomme RL. 1999. Management guidelines for Asian flood- plain river fisheries. Part 1: A spatial, hierarchical and integrated strategy for adaptive co-management. FAO Fisheries Technical Paper 3841.Rome: FAO.hlm 7; 10-11 Hossain, MY, Ahmed ZF, Leunda PM, Jasmine S, Oscoz J, Miranda R Ohtomi J. 2006. Condition, length-weight and length-weight relationship of the Asi- an striped catfish Mystus vittatus Bloch, 1794 Siluriformes: Bagridae in the Mathabanga River, Southwestern Bangladesh. J Appl. Ichthyol. 22:304- 307. Junk WJ. 1996. Ecology of floodplains- a challenge for tropical limnology. Da- lam: Schiemer F, Boland KT editor. Perspectives in Tropical Limnology. Amsterdam: Academic Publishing. hlm 255-265 Junk WJ, Wantzen KM. 2004. The flood pulse concept: New aspects, aproaches and applications-an update. Dalam: Welcomme R. Petr T.editor. Pro- ceedings of the Second International Symposium on the Management of Large River for Fisheries Volume II. Bangkok: FAO RAP Publication 2004 17. hlm 117-140 Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater Fish- es of Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: Periplus Editions. 259 hal. Kottelat M, Widjanarti E. 2005. The fishes of Danau Sentarum National Park and the Kapuas Lakes area, Kalimantan Barat, Indonesia. Raffles Bull. Zool. Supplement 13:139-173. Le Cren ED. 1951. The length-weight relationship and seasonal cycle in gonad weight and condition in the perch Perca fluviatilis. Journal of Animal Eco- logy 202: 201-219. Li RY, Gelwick FP. 2005. The relationship of environmental factors to spatial and temporal variation of fish assemblages in a floodplain river in Texas, USA. Ecology of Freshwater Fish 14:319-330.