Breeding Biology of Milky Stork Mycteria cinerea
Breeding Biology of Milky Stork Mycteria cinerea
1 I 2 MANUDDIN ,A NI M ARDIASTUTI 1 Yayasan Konservasi Ragam Hayati Indonesia (BCI), Jl Paus no 8A KPP IPB Sindang Barang I, Bogor.
E-mail: [email protected] atau [email protected] 2 Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan IPB. E-mail: [email protected]
Summary . The research was conducted from January until August in 1998, 2000, 2001 and 2002 in Pulau Rambut Wildlife Sanctuary, Jakarta. The data were collected directly by climbing the nest tree. Milky Stork nested on the trees in the middle of island, average height of trees were 21,17 m. Height of nests were 19,16 m. The nests (n=2) were made from 22 species of plants. Average eggs weight were 73.62g, with size 65.21 cm x 45.53 cm (n=104). Clutch size 1-4 (mean=2,74). The incubation takes 27-30 days (mean= 28,38; n=69). Egg hatched asynchronously with hatching interval 1-3 days (mean = 1,68). Chicks were semi altricial and DOCs weight were 54,45 g (n=46). Breeding success was 46%-49%.
Pendahuluan
Bangau bluwok Mycteria cinerea adalah salah satu spesies burung langka dan dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Satwa Liar tahun 1931 dan SK Mentan No 742/Kpts/Um/12/1978 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 (Noerdjito & Maryanto 2001). Dalam dokumen Bird to Watch II (Collar et al. 1994) spesies ini dimasukkan ke dalam kategori rentan (vulnerable) dengan penyebab utama ancaman kepunahan adalah semakin berkurangnya habitatnya di alam.Oleh konvensi perdagangan satwa liar dunia (Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora, CITES) burung ini dimasukkan ke dalam Appendix I yang berarti spesies ini tidak dapat diperdagangkan secara komersial di pasar internasional.
Di dunia bangau bluwok tersebar mulai dari Thailand (Morioka & Yang. 1990) , Kamboja, Vietnam bagian Selatan, , Malaysia dan Indonesia (MacKinnon 1998, Hancock et al. 1992) dengan populasi total diperkirakan sebanyak 6000 ekor (Verheught 1987). Sebagian besar populasi tersebut (5900 ekor) menghuni kepulauan Indonesia (Verheught 1987) mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali (MacKinnon et al. 1998) dan Sumbawa (Monks et al. 2000).
Di Indonesia bangau bluwok tercatat berbiak di hutan bakau Pantai Timur di Jambi (Silvius 1986, Danielsen et al. 1991a), selain itu juga terdapat lokasi di Propinsi Sumatera Selatan yang dikonfirmasikan sebagai lokasi berbiak Bangau Bluwok yaitu Tanjung Koyan, Tanjung Selokan dan Tanjung Banyuasin (Danielsen et al. 1991b). Di Jawa bangau bluwok pernah tercatat berbiak di Pulau Dua di Jawa Barat (Hoogerwerf 1949) dan Pulau Rambut di Teluk Jakarta (Allport & Wilson 1986). Namun sejak tahun 1970 Pulau Dua tidak lagi dijadikan lokasi berbiak (Hancock et al. 1992), sehingga sampai saat ini Pulau Rambut adalah satu-satunya lokasi berbiak bagi bangau bluwok di Pulau Jawa.
Pulau Rambut adalah sebuah pulau kecil dan tidak berpenduduk yang terletak di Teluk Jakarta pada koordinat 106 ˚31’30” BT, 5˚57’ LS, berjarak 3 km dari pantai terdekat yaitu Pantai Tanjung Pasir, Tangerang. Pulau Rambut pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tahun 1939 melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7/1939. Selanjutnya pada tahun 1970 pemerintah Indonesia memperkuat status kawasan ini sebagai Cagar Alam melalui Keputusan
Pemerintah No.11/I/20 tertanggal 28 Mei 1970 dengan luas areal 45 ha. Pada tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia mengubah fungsi Pulau Rambut menjadi Suaka Margasatwa melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 dengan luas 90 ha termasuk perairan di sekitarnya.
Menurut Fitriana (1999) luas Pulau Rambut adalah 45,17 ha dan 13,26 ha (26%) dari luas tersebut adalah hutan mangrove. Berdasarkan analisis citra yang dilakukan oleh Fitriana (1999) luas hutan mangrove yang mengalami kerusakan pada tahun 1989 seluas 3,12 ha dan pada tahun 1996 bertambah menjadi 7,70 ha atau setengah dari luas hutan mangrove
Metode Penelitian
Waktu berbiak Perhitungan waktu berbiak didasarkan pada kalender Julian bahwa tangal 1 Januari setara dengan tanggal 1 dan tanggal 31 Desember setara dengan tanggal 365. Jumlah telur yang diamati pada tahun 2001 sebanyak 64 butir dari 25 sarang dan pada tahun 2002 sebanyak 89 butir dari 32 sarang. Awal musim berbiak ditentukan berdasarkan waktu peletakan telur pertama kali (Perrins & Birkhead 1983) yang diketahui melalui pengamatan secara langsung terhadap induk yang berbiak dengan cara memanjat pohon sarang. Untuk mengetahui kaitannya dengan kondisi cuaca dilakukan pengukuran curah hujan dengan menggunakan penakar curah hujan tipe observatorium.
Sarang Untuk mengetahui karakteristik sarang dilakukan pengukuran yang meliputi tinggi sarang dari permukaan tanah, jarak dari batang utama, tinggi pohon sarang dan jumlah sarang dalam satu pohon, selain itu dilakukan identifikasi terhadap jenis pohon sarang. Identifikasi bahan penyusun sarang dilakukan terhadap sarang yang sudah tidak terpakai lagi di akhir musim berbiak (n=2).
Telur dan Kesuksesan Perkembangbiakan Kesuksesan perkembangbiakan didefinisikan sebagai persentase jumlah anakan yang dapat terbang terhadap jumlah telur yang dihasilkan dalam satu musim berbiak. Untuk mengetahui kesuksesan perkembangbiakan dilakukan pengamatan terhadap 64 butir telur pada tahun 2001 dan 89 butir telur pada tahun 2002. Untuk mengetahui bobot dan ukuran telur dilakukan pengukuran sebanyak 59 butir telur pada tahun 2001 dan 45 butir telur pada tahun 2002. Penandaan juga dilakukan pada cangkang telur dengan menggunakan spidol tahan air untuk mengetahui masa inkubasi masing-masing telur. Pengamatan dilakukan dengan cara memanjat pohon sarang dengan menggunakan peralatan panjat pohon. Perkembangbiakan dinilai sukses apabila anakan tetap hidup hingga berumur 50 hari atau mampu untuk terbang. Kegagalan perkembangbiakan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu: (i) telur hancur sebelum menetas, (ii) telur tidak menetas atau busuk, (iii) telur ditinggalkan dan tidak dierami oleh kedua induk, dan (iv) anakan mati atau hilang.
Hasil dan Pembahasan
Waktu Berbiak Musim berbiak bangau bluwok berlangsung antara bulan Januari hingga Agustus dengan puncak musim berbiak terjadi pada bulan Maret. Hoogerwerf (1949) menyatakan bangau bluwok di Pulau Jawa meletakkan telur pada bulan Maret hingga Mei. Hancock et al. (1992) menyatakan bahwa musim berbiak bangau bluwok di Jawa Barat adalah pada bulan Maret sampai Agustus sedangkan di Sumatera berbiak pada bulan Juni hingga Agustus. Mardiastuti (1993) menyatakan pada tahun 1990 – 1991 bangau bluwok di Pulau Rambut berbiak antara bulan Januari hingga Juni.
Salah satu faktor yang mendorong burung untuk melakukan perkembangbiakan ialah ketersediaan pakan yang cukup (Perrins & Birkhead 1983). Pakan yang berlimpah akan menjamin pemeliharaan anak berlangsung dengan baik. Mardiastuti (1992) menyatakan bahwa burung-burung air di Pulau Rambut berbiak bertepatan dengan musim penghujan. Datangnya musim penghujan mengakibatkan ketersediaan pakan didaerah lahan basah disekitar pantai utara Jawa cukup berlimpah. Pada musim penghujan daerah persawahan di sekitar Pulau Rambut menyediakan dataran lumpur yang cukup luas sebagai areal mencari makan (feeding ground). Menurut Imanuddin dan Mardiastuti (2001) selama musim berbiak bangau bluwok sering terlihat mencari pakan pada daerah persawahan yang baru diolah di sekitar pesisir Tangerang. Widodo & Hadi (1990) menyatakan bahwa daerah lahan basah di sekitar pantai Tangerang merupakan daerah yang penting bagi burung air untuk mencari makan.
jumlah sarang curah hujan
Gambar 1 . Musim berbiak bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.
Pohon Sarang dan peletakan Sarang Bangau bluwok menggunakan daerah hutan campuran dan terkadang hutan bakau sebagai tempat berbiak. Pohon yang paling sering digunakan sebagai pohon sarang adalah pohon kepuh Sterculia foetida (Gambar 2). Kepuh merupakan pohon yang tinggi dan berukuran besar. Selain pohon tersebut bangau bluwok juga memakai kresek Ficus timorensis, bola-bola Xylocarpus granatum, sawo kecik Manilkara kauki, buta-buta Excoecaria agallocha, pohon ketapang Terminalia catappa , kedoya Dyxoxylum caulostachyum dan bakau Rhizophora mucronata. Penggunaan pohon-pohon ini diduga disebabkan semakin sedikitnya pohon kepuh yang tersedia sebagai pohon sarang. Sehingga mereka harus bersaing dalam menggunakan pohon sarang, akibatnya individu yang kalah bersaing harus menggunakan jenis pohon lain.
Tabel 1 . Karakteristik peletakan sarang bangau bluwok (tahun 1999 dan 2002 tidak tersedia)
Tinggi Pohon (m)
5,98 Jarak Sarang dari Batang
4,35 Utama (m)
Tinggi sarang (m)
6,98 Kerapatan Sarang per
1,69 Rasio Tinggi Sarang
0.84 terhadap Tinggi Pohon
0,16 Rasio Jarak Sarang dari
0.48 Batang Utama terhadap
0,27 Jari-Jari Tajuk
Gambar 2 . Jenis pohon yang digunakan untuk meletakkan sarang pada tahun 1998, 2000, 2001 dan 2002. Sarang bangau bluwok diletakkan dalam suatu kelompok, dengan kerapatan rata-rata 3 sarang per
pohon. Berdasarkan hasil pengamatan Hoogerwerf & Siccama (1937) di Pulau Dua, Jawa Barat, jumlah sarang bangau bluwok yang diletakkan dalam satu pohon dapat berkisar antara 4 - 5 sarang.
Sarang bangau bluwok berbentuk platform datar seperti piring yang sangat lebar, tersusun dari ranting-ranting pohon yang masih segar. Berdasarkan pembagian tipe sarang menurut Collias & Collias (1984), sarang bangau bluwok termasuk ke dalam tipe sarang terbuka (open nest). Pada Sarang bangau bluwok berbentuk platform datar seperti piring yang sangat lebar, tersusun dari ranting-ranting pohon yang masih segar. Berdasarkan pembagian tipe sarang menurut Collias & Collias (1984), sarang bangau bluwok termasuk ke dalam tipe sarang terbuka (open nest). Pada
Bahan sarang bangau bluwok berasal dari 22 jenis tumbuhan (n=2). Sebagian besar terdiri dari ranting-ranting pohon dan tumbuhan bawah (98,33%), selain itu terdapat liana (0,61%) dan bambu (1,06%). Ranting yang diambil sebagian besar adalah ranting yang masih segar dan sisanya berasal dari ranting yang mati. Ranting yang masih segar cenderung lebih fleksibel untuk dijalin menjadi sarang jika dibandingkan ranting yang mati. Berat total satu buah sarang adalah 3937,25 g yang tersusun dari 425 batang ranting.
Bahan penyusun sarang yang sering digunakan adalah jenis kingkit Triphasia trifolia dengan jumlah 26,11%. Jenis ini adalah kelompok tumbuhan perdu yang banyak tumbuh di Pulau Rambut, memiliki ranting yang lentur dan kuat. Selain itu kingkit memiliki ukuran ranting yang kecil sehingga mudah dijalin. Jenis kepuh meskipun digunakan sebagai pohon sarang tetapi rantingnya hanya sedikit dijadikan bahan penyusun sarang (1,41%).
Telur Bentuk telur oval simetris dengan berat rata-rata ialah 73,62 5,88 g, panjang 65,21 2,51 mm dan lebar 45,53 1,42 mm (n=104, Tabel 2). Telur yang baru memiliki tekstur permukaan cangkang yang agak kasar dan berwarna putih kapur, selanjutnya pada saat telur akan menetas warna akan sedikit pudar, lebih pucat dan kotor.
Tabel 2 . Ukuran telur bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.
Lebar ± s.d. Tahun
Panjang
Berat ± s.d. (g)
s.d. (mm)
45,53 1,42 Berdasarkan kriteria Hoogerwerf (1949) telur bangau bluwok termasuk kategori normal oval
hingga oval memanjang. Telur diletakkan pada pagi hari antara 5 - 7 hari sejak dimulainya penyusunan sarang. Faaborg (1988) menyatakan peletakan telur pada pagi hari kemungkinan berkaitan dengan pembentukan dan pengerasan cangkang telur yang terjadi pada malam hari di saat burung sedang tidak aktif.
Jumlah telur (clutch size) berkisar antara 1 – 4 butir (modus 3) setiap sarangnya (Gambar 3). Hoogerwerf (1949) menyatakan bahwa clutch size bangau bluwok adalah 3 namun terkadang
dijumpai 4 butir. Welty (1982) dan Klomp
(1970) menyatakan bahwa salah satu faktor
yang menentukan clutch size adalah umur
induk. Induk dewasa yang lebih muda
cenderung untuk memiliki clutch size yang
(% 60.00 h
lebih sedikit dibandingkan dengan individu
la 50.00 m 40.00
yang lebih tua.
Ju 30.00
Gambar 3 (kiri). Clutch size
Bangau bluwok di SM. Pulau 1 2 3 4 Rambut pada tahun 2001 dan
Clutch size
Masa inkubasi berkisar antara 27–30 hari (Gambar 4) dengan rata-rata 28,3 hari (modus 28 hari sebanyak 29,9 %, n=65). Pengeraman dilakukan secara bergantian baik oleh induk jantan maupun induk betina. Telur menetas secara asynchronous; penetasan tipe ini dicirikan dengan ukuran anakan yang akan berbeda antara satu dengan lainnya. Interval penetasan telur berkisar antara 1–
3 hari (Gambar 5) dengan rata-rata 1,7 hari (modus 1 hari sebanyak 55%, n=48). Perrins & Birkhead (1983) menyatakan penetasan asynchronous adalah suatu strategi untuk mengantisipasi ketersediaan jumlah makanan yang tak dapat diprediksi pada saat menetas hingga anakan mampu terbang. Dengan demikian apabila jumlah makanan yang tersedia di alam tidak memadai untuk membesarkan seluruh anakan, diharapkan masih ada satu anakan yang tetap bertahan hidup.
la 50,00 m
27 28 29 30 Masa inkubasi (hari)
Gambar 4 . Masa inkubasi telur bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut (data 2001 dan 2002 digabung)
1 2 3 Interval (hari)
Gambar 5 . Interval penetasan telur bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.
Anakan bangau bluwok termasuk ke dalam tipe semi altricial. Pada saat menetas mata anakan sudah terbuka, memiliki bulu natal (bulu pada saat menetas) berwarna putih kusam yang jarang, terlihat basah dan lengket, tubuh hampir seluruhnya berwarna merah kecuali paruh dan kelopak mata yang berwarna sedikit kuning. Berat rata-rata anakan pada saat pertama kali menetas adalah 54,45 ± 4,31 g (n=46) sehingga rasio berat anakan terhadap berat telur adalah 0,76 (n=46). Fledging time anakan bangau bluwok ialah 50 hari yang ditandai dengan kemampuan terbang berkelepak (flapping) di sekitar sarang. Meskipun demikian induk tetap akan memilhara anakan hingga c. 90 hari.
Kesuksesan Perkembangbiakan Kesuksesan perkembangbiakan bangau bluwok berkisar antara 46%-49%. Faktor penting yang mempengaruhi kesuksesan perkembangbiakan ialah hembusan angin kencang yang bertiup selama musim berbiak. Angin yang bertiup kencang dapat merusak dan mengubah posisi sarang, akibatnya telur jatuh dan hancur. Tingginya jumlah telur yang hancur pada tahun 2001 disebabkan oleh seringnya Pulau Rambut dilanda oleh angin kencang jika dibandingkan pada tahun 2002.
Faktor lain penyebab kegagalan perkembangbiakan ialah telur membusuk yang diduga berkaitan dengan tingginya curah hujan. Hujan yang berlangsung terus menerus menyebabkan suhu lingkungan menjadi rendah dan tubuh induk selalu basah sehingga mengganggu proses inkubasi. Cuaca yang buruk juga mengakibatkan induk sulit kembali setelah mencari makan, akibatnya proses pengeraman tidak berlangsung dengan normal.
Tabel 3 . Kesuksesan perkembangbiakan dan faktor penyebab kegagalan perkembangbiakan bangau bluwok (%) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2003.
Faktor penyebab
Telur tidak dierami
11,0 Telur hancur oleh angin
Telur busuk
19,0 Anakan hilang/mati
14,5 Kesuksesan penetasan
65,0 Kesuksesan perkembangbiakan
Perrins dan Middleton (1986) menyatakan salah satu faktor yang menentukan kesuksesan perkembangbiakan ialah kondisi cuaca. Pada kasus bangau putih (Ciconia ciconia) di Spanyol, kesusksesan perkembangbiakan menjadi rendah pada daerah dengan curah hjan yang tingggi. Kondisi cuaca yang buruk merupakan ancaman serius bagi burung bangau terutama pada saat berbiak karena dapat mengakibatklan hancurnya sarang, telur atau matinya anakan dan secara tidak langsung menyulitkan induk untuk mencari makan (del Hoyo et al. 1992).
Kematian atau hilangnya anakan dapat terjadi sebagi akibat ukuran tubuh anakan yang terus membesar sehingga anakan berdesakan ddi dalam sarang, akibatnya anakan yang paling kecil jatuh dan mati. Penyebab lain kematian anakan ialah anakan tidak diberi makan atau ditinggalkan oleh induk (chick desertion) tanpa diketahui penyebabnya.
Daftar Pustaka
Allport, G. A. & S.A.Wilson. 1986. Result of A Census of the Milky Stork Mycteria cinerea in West Java. ICBP. England.
Collar, N. J. , M. J. Crosby & A. J. Stattesfield. Birds to Watch II. 1994The World List of Threatened Birds. BirdLife International. Cambridge.
Collias, N. E. & E. C. Collias. 1984. Nest Building and Bird Behavior. Princeton University Press. New Jersey. Danielsen, F., H. Skov & U. Suwarman. 1991a. Breeding Colonies of Waterbirds Along the Coast of Jambi Province,
Sumatra, August 1989. Kukila 5 (2): 135 – 137. Danielsen, F., A. Purwoko, M. J. Silvius, H. Skov & W., Verheught. 1991b. Breeding Colonies of Milky Stork in
South Sumatra. Kukila 5(2): 133 – 135. Faaborg, J. 1988. Ornithology an Ecological Approach. Prentice Hall. New Jersey. Fitriana, N. 1999. Ekologi Lansekap Cagar Alam Pulau Rambut Jakarta. Skripsi Sarjana. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor. Hancock, J. A., J. A. Kushlan & M. P. Kahl. 1992. Stork, Ibises and Spoonbills of the World. Academic Press.
London. Hoogerwerf, A. & G. F. W. H. W. Rengers Hora Siccama. 1937. De Avifauna van Batavia en Omstreken. Ardea
(26):118-119. Hoogerwerf, A. 1949. Bijdrage Tot de Oologie van Het Eiland Java. Buitenzorg. Indonesie.
del Hoyo, J., A. Elliott & J. Sargatal. 1992. Handbook of The Birds of The World. Lynx Edicions. Barcelona. Klomp, H. 1970. The Determination of Clutch Size in Birds: A Review. Ardea 58 (1-2).
MacKinnon, J., K. Phillips, & B. van Balen. 1998. Burung-Burung Di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.
Mardiastuti, A. 1992. Habitat and Nest Site Characteristics of Waterbirds in Pulau Rambut Nature Reserve, Jakarta Bay, Indonesia. Ph. D theses. Michigan State University. Michigan.
Mardiastuti, A. 1993. Breeding Season of Waterbirds in Pulau Rambut. Media Konservasi IV (2):77-81. Monks, K. A., De Fretes, Y. & G. R. Lilley. 2000. Ekologi Nusatenggara dan Maluku. Prenhalindo. Jakarta. Morioka, H. & C. Yang. 1990. A Record of The Milky Stork for Thailand. Japanese Journal of Ornithology 38:149 –
150. Perrins, C. M. & T. R. Birkhead. 1983. Avian Ecology. Chapman and Hall. New York. Perrins, C. M. & A. L. A. Middleton. 1986. The Encyclopedia of Birds. Facts on File, Inc. New York. Silvius, M. J., & W. J. M. Verheught. 1989. The Status of Storks, Ibises and Spoonbills In Indonesia. Kukila 4 (3-
4):119-132. Verheught., W. J. M. 1987. Conservation Status and Action Program for the Milky Stork. Colonial Waterbird 10 (2):
211-220. Welty, J. C. 1982. The Life of Birds. Saunders College Publishing. New York. Widodo, W. & D. S. Hadi. 1990. Feeding Ground Burung-Burung Air di Kawasan Hutan Bakau Teluk Naga,
Tangerang, Jawa Barat: Sebuah Tinjauan. Media Konservasi III (1):47-52.