Pemantauan Migrasi Burung pemangsa tahun

Editor:

Yeni A. Mulyani Adam A. Supriatna Margaretha Rahayuningsih Wilson Novarino

PERHIMPUNAN ORNITOLOG INDONESIA

“Mendorong dan memfasilitasi para ornitolog muda; kontribusi nasional untuk

pengembangan pengetahuan

internasional”

Kutipan yang disarankan:

Yeni Mulyani, Adam A. Supriatna, Wilson Novarino, dan Margaretha Rahayuningsih (Editor). 2007. Prosiding Seminar Ornitologi Indonesia 2005. Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU). Bogor, Indonesia

Kompilasi & Lay-out

Adam A. Supriatna, Dwi Mulyawati

Foto

Yus Rusila Noor dan PILI-NGO Movement Perhimpunan Ornitolog Indonesia atau Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU) adalah

organisasi non profit dan berbasis keanggotaan yang didirikan tanggal IdOU 23 Agustus 2004 di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tujuannya adalah ‘memajukan ornitologi Indonesia dengan mempromosikan studi mengenai semua aspek burung Indonesia ’

Informasi lebih jauh mengenai IdOU bisa menghubungi: Kukila Editorial Secretariat

c/o PILI-NGO Movement, alamat: Jalan Tumenggung Wiradireja No. 216, Cimahpar, Bogor 16155, Indonesia or PO Box 146, Bogor 16001, Indonesia. Telp. +62 251 657002 Fax +62 251 657171. Email: asianraptor7@gmail.com - Website: www.kukila2004.wordpress.com

Ucapan terimakasih

Seminar ini bisa terlaksana berkat bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh sebab itu, IdOU secara khusus berterimakasih kepada PILI-NGO Movement atas bantuan dana dan fasilitasi serta stafnya, terutama Drs. Iwan Setiawan (Direktur), dan Eka Muliawati Putri; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terutama Dr. Dedy Darnaedi, dan Dr. Dewi M. Prawiradilaga atas dukungan moral dan inisiasi awal pelaksanaan seminar; Center for International Forestry Research (CIFOR) yang sudah meminjamkan beberapa partisi untuk keperluan pemasangan poster peserta. Juga, Conservation and Research Training Center /The Nature Conservancy-Indonesia (attn: Bas van Helvoort) dan JICA - PHKA Gunung Halimun Salak National Park Management Project (attn: Kanerori Miura dan Hiroshi Kobayashi) layak mendapatkan ucapan terimakasih atas terselenggaranya acara seminar ini.

IdOU berterimakasih kepada Saudara Wilson Novarino sebagai ketua penyelenggara seminar yang secara managerial banyak dibantu oleh Ibu Ani Siregar dan Ibu Jenni Shannaz serta dedikasi luar biasa dari para sukarelawan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga menjadi amal baik!

Terima kasih juga disampaikan kepada Colin Trainor, John Riley, Vincent Nijman, dan Nick Brickel, serta Margaretha Rahayuningsih atas komentar dan masukan dalam penyuntingan beberapa makalah yang dicantumkan dalam prosiding ini. Semoga menjadi amal baik!

Adam A. Supriatna Direktur Perhimpunan Ornitolog Indonesia

Catatan Editor

Prosiding ini tidak lengkap memuat semua makalah yang dipresentasikan pada hari seminar karena proses review dan editing yang diterapkan telah menghasilkan kompilasi makalah seperti yang sekarang tersaji. Editor pada dasarnya melihat potensi besar semua makalah riset di muat utuh namun karena dalam upaya klarifikasi dan verifikasi data dan informasi yang tersaji ada beberapa hambatan, seperti kesulitan komunikasi dengan penyaji sehingga tidak didapat respon yang memadai, maka dalam prosiding ini hanya ditampilkan abstraksi-nya saja. Ini semata-mata hanya masalah kesulitan komunikasi dan tenggat waktu yang ditetapkan menerbitkan prosiding ini. Selain proses editing, abstrak yang dimuat juga tidak diterjemahkan, baik itu yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris. Abstrak dimuat sesuai dengan bahasa yang digunakan ketika pertama kali abstrak-abstrak tersebut masuk ke meja panitia.

Demikian disampaikan, selamat membaca.

Tim editor

D AFTAR I SI

Judul

Hal.

Ucapan Terimakasih 4 Catatan Editor

5 Indonesian Ornithologists’ Union National Ornithological Seminar; Preliminary notes from the seminar

7-10 (Mochamad Indrawan)

Makalah utama

More than 99 % type speciment of Indonesian birds held in meseum: Indonesian ornithological history 11-21 (Prof S. Somadikarta, Pembicara kunci)

Important Birds Areas (Rudyanto) 22-26 Conservation model for endangered Species (K. Miura)

27 Indonesian Bird Banding Schemes-IBBS (Yus Rusila Noor)

Burung air

Breeding Biology of Milky Stork Mycteria cinerea (Imannudin & Ani Mardiastuti) 29-36 Beberapa aspek ekologi Ibis karau Pseudibis davisoni di sungai Mahakam Kalimantan Timur

37-42 (Edy Sutrisno, Imanuddin & Reddy R.)

Burung pemangsa (Raptor)

2001 – 2004 Records of Raptor Migration Sightings in Sumatera, Kalimantan, Java, Bali and Nusa Tenggara 43-58 (Wishnu Sukmantoro)

Intensive observation on breeding time of Elang Jawa Spizaetus Bartelsi (Stresemann, 1924) 59 at Gunung Baud, Telaga Warna-Puncak, Bogor (Usep Suparman)

Daerah jelajah anak Elang jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) dan interaksi dengan induknya 60-67 (Dwi Mulyawati dan Usep Suparman)

Keragaman burung

Analisis Avifauna dan Degradasi Jenis Burung pada Hutan Tidak Terganggu dan Terganggu di Kawasan 68 Taman Nasional Tanjung Putting. Kalimantan Tengah (Suharti, H. Rusmendro & Benny J.)

Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi Dan Sore Hari Di Empat Tipe Habitat Yang Berbeda 69-74 Di TWA Dan CA Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat (Ady Kristanto, Wisnu W. & Hasmar R.)

Variasi Warna Pada Dua spesies Burung Raja Udang [Ceyx spp.] (M. Nazri J. &. Anas S.) 75-83

Ekologi burung

Preferensi dan Interaksi Burung Rangkong Terhadap Ketersediaan Buah Ara (Ficus spp) di Way Canguk, 84-90 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung (Firdaus Rahman Affandi & Nurul. R. Winarni)

Recent Conservation status of Red and Blue Lory Eos hystrio Talautensis in Indonesia (Asep Adhikerana) 91 Fragmentasi Hutan Vs Burung Rangkong: Mampukah Burung Rangkong Bertahan Hidup?

92-99 (Y. Hadiprakarsa & N. L. Winarni)

Topik khusus

Melestarikan Burung Bersama Pemangku Kebijakan (Noerdjito) 100 Kurikulum Ornithologi, Perkembangan Ornithologi di Institut Pertanian Bogor (Ani Mardiastuti)

101-106 Penangkaran Burung Ocehan Menuju Pemanfaatan Sumberdaya Burung Secara Lestari (Made S. Prana)

107-112

Topik tambahan

113 Bird Tour di Sulawesi * (Yunus Masala)

Kukila, Journal of Indonesian Ornithologists* (Richard Noske) A Presentation from IdeaWild* (Walter D. Van Sickle)

Presentasi poster

Poster (6) 114-116

* Penyampaian tidak dalam bentuk makalah hanya slide show dan talk show (guided discussion).

English Summary

Indonesian Ornithologists’ Union National Ornithological Seminar

(19 - 20 March 2005, Bogor, W. Jawa)

Preliminary notes from the seminar by Mochamad Indrawan

The seminar was opened with a key note speech by Soekarja Somadikarta, whom pointed out that between 1758 - 2004, as many as 4300 taxa of birds has been described from Indonesia. Having been studied by around 120 ornithologists of various nationalities, these new taxa are mostly described in the European languages of English, German, French, Italian and Dutch. For the record, Erwin Stressemann and Ernst Mayr alone shared between them descriptions of more than 400 new taxa. Of a particular challenge to the national ornithologists are the fact that more than 99% holotypes of Indonesian birds are now in the overseas museums.

BirdLife's recent product, namely Directory of Indonesian IBA (Important Bird Area) is introduced by Rudyanto, as a mean of returning the knowledge to the contributors, vis a vis, national and international field ornithologists. The IBA publications has clearly played its contribution in formulating relevant conservation strategies at multiple levels of governance. It is appreciated that the amount of information resulting in Important Bird Areas and Red Data Books publication can not be achieved without the contribution from Indonesia’s field ornithologists, and therefore, this progressive, two-way accumulation of knowledge should be fostered.

Biological data from two globally threatened storks are presented. Based on three seasons’ study (1998 – 2001), Imanudin and Ani Mardiastuti, presented breeding biology data on the Milky Stork in Rambut I., off the coast of Jakarta/ W. Jawa. Another study lasting for about a year (mainly between 2004 – 4) by Sutrisno, Imanudin and Rachmadi, yielded behavioural ecology data on the White-shouldered Ibis Pseudoibis davisonii between Long Iran and Long Bagun . Mahakam River, E. Kalimantan. With proper analysis and interpretation these data have good potentials for publication in international conservation journals. Even a carefully edited summary of each of these studies is likely to merit consideration in Kukila and or Storks, Ibises and Spoonbills Newsletter.

One study, by Asep Adhikerana, Christian Mamengko, Wesley Pangemanan, and Michael Wangko, considered the recent conservation status of one of the most endangered parrots in the world, namely Eos histrio talautensis., the Red-and-Blue Lory of Karakelang I., Talaud Is. Sangihe Talaud Archipelago, Indonesia. Population estimates, corrected for detectability in different habitats were provided, i.e. 118,955; 27,063; and 59,959 for primary forests, secondary forests, and cash crop cultivations, respectively, thus making the total population estimate to be 159,505 birds. Roosting site characteristics, predominated by scattered emergents, particularly Pometia , were described and in average 251 roosts at any one tree have been estibated. The study also examined detailed harvest data, noting that in August – Deember 2004 alone , a total of 295 birds have been taken out of Karakelang I.

A conservation biology study by Yokie Hadiprakarsa and Nurul Winarni considered hornbill survival in a fragmented forest landscape in Lampung Province, southern Sumatera. The eight months study (January – August 2003), covered 18 forest patches (out of 60 forest fragments in the province), and the nine hornbill species known for Sumatera. It turned that every patch has at least one hornbill. Large bodied and wide ranging species were found in most forest patches, excepting Helmeted Hornbill (Buceros vigil) and Great Pied Hornbill (Buceros bicornis).

Smaller, territorial hornbills were sensitive to degree of isolation, although patch size did not impact their density. Were sizes of each forest patch treated independently, fragmentation did impact the hornbills’ distribution and density. However, if all the remaining natural forest patches were conserved and treated as a continuous habitat, with serious management practices the hornbills can have a better chance of survival across the landscape of forest patches.

A behavioural ecology study of the Lampung hornbills, by Firdaus Rahman Adi, considered the hornbills’ utilization of figs in Way Canguk National Park. The four species of hornbills studied consumed eight species of figs at varying intensities. The size of the fig appeared to influence the numbers of hornbills coming to feed. Times are Indonesia;s shift toward regional autonomy. It is commendable, that a young ornithologist from a local university (Lampung) has been encouraged and managed to deliver this useful study, and present the results at a national seminar altogether.

Indonesia housed now a strong and growing number of raptor specialists. Wishnu Sukmantoro shared his 2001 – 2004 raptor migration records from Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali and Nusa Tenggara, In all the sites monitored, Chinese Goshawk predominated (close to 80% of all sightings), followed by Oriental Honey-buzzard, and Japanese Sparrowhawk (the combined total making close to 20 % of all sightings).

The raptor specialists in Jawa has also spent considerable effort studying and monitoring the endemic Javan Hawk Eagle Spizaetus bartelsii. A field study by Usep Suparman, from April – December 2003 in Telaga Warna (Puncak highland, W. Jawa) yielded valuable reproductive- behaviour data of local pairs, encompassing territory establishment, mating and pairing, brood and incubation, to hatching and fledgling, with descriptions of young plumage, from the first till

the 185 th day. This field study at Telaga Warna was continued by Dwi Mulyawati and Usep Suparman, whom followed post-fledgling movements. The study, beginning when the fledgling

was 9 months of age, lasted from Feb. – July 2004, and showed that the fledgling home-range increased with maturity, whereas no significant interaction was noted between the bird and its parent, safe from feeding offers and occasional aggression by the parent.

Two studies considered diversity measurements under variable conditions in moists forests in Tanjung Puting National Park, W. Kalimantan and Pangandaran Recreation Park/ Nature Reserve, W. Jawa. The study in Tanjung Putting by Suharti, Hasmar Rusmendro and Benny Jaya, revealed that the less disturbed forest showed higher values of species richness and

1 Shannon Index (S= 131, H 1 = 4.32; versus S= 63, H = 3..46 in more disturbed habiats) and that the difference is contributed by species richness more than evenness. The study in Pangandaran,

by Ady Kristanto, Wisnu Wijatmoko, and Hasmar Rusmendro considered the impacts of observation times to detectability, across four different. In the relatively closed habitats (forest, forest edges, and beach vegetation), more birds are detected in the morning than those in the afternoon. In the more open habitat (grasslands), observation times did not appear to impact detectability. These studies conducted in Indonesia’s threatened parks is commendable for its choice of location and could be made even more productive were such studies considered angles of relevance to more urgent conservation priorities and strategies including (but not limited) to autecology of endangered species surviving in the parks.

One study, by M. Nazri Janri and Anas Sahabila, considered morphological variations in Ceyx Kingfishers in West Sumatera based on mist-netted live individuals. Based on the specimen examinations (17 Red-backed Kingfisher Ceyx rufidorsa,, 1 Black-backed Kingfisher C. erithacus and 3 intermediary form) the study suggested three colour forms existed. The study using Microft Word colour chart as colour reference highlights the need for using standard colour swatch ( for instance, Smithe, F. B. 1975. Naturalist’s color guide. American Mus. Nat.

Hist., New York; Munsell. 1977. Munsell color charts for plant tissues. Gretagmacbeth. New Windsor, New York. ), a simple tool which is (understandably) not readily accessible in Indonesia’s research institutions and yet vital in this case.

A landscape model for conserving threatened species of Indonesian birds have been drawn from Gunung Halimun Salak Management Project (collaboration by Japan International Cooperation Agency, and Indonesian Directorate General of Nature Protection and Conservation. The project’s Team Leader, Kanerori Miura related that while the project generated good ecological data from the park, a particular problem remained, and will need to be addressed by the project, namely increasing conflicts from the park’s local community.

Given the flourishing numbers of active field ornithologists in Indonesia, Neville Kemp has thought of formalizing the records by establishing Indonesian Club300, to be formatted after Europe’s Club300 (to be called IdOU300). IdOU300 can potentially serve as bird observation forum aiming to foster objective approaches in ornithological field research activities. Members of IdOU will be encouraged to submit their records to this forum, and the submitted records will

be examined by a pre-determined committee, consisted of ornithological experts. The members of IdOU will then be recognized on various categories of merit, based on the amount and importance of their contributions. This initiative will provide an informal forum to promote wild bird observation, developing ornithological skills, and making available web-based data-base. This initiative is clearly beneficial to Indonesian ornithology, and the success of actual launching of this initiative will likely to depend on Neville Kemp’s leadership.

Over the years, Indonesia has received bird banding research and training, including those collaborated with the then Royal Australasian Ornithologists Union/ Asian Wetland Bureau in the 1990s and more recently Yamashina Institute of Ornithology. Yus Rusila Noor emphasized that there is need for developing banding schemes in country, an Indonesian Bird Banding Scheme (IBBS), which can be modelled after the existing schemes such Australian Bird Banding Scheme. The urgency relates to both needs of data, and to conducting banding in efficient and ethical manners. It is hoped that the Biological Research Center of the Indonesian Institute of Sciences can take a formal lead in developing a possible IBBS.

Medium to longer term studies of birds has been initiated at IPB-Bogor Agricultural University, and led by Ani Mardiastuti, whom focused on behaviour ecology of the Milky Stork Mycteria cinerea colony in Rambut Island. IPB also hosted a number of studies on Green Peafowl Pavo muticus , the composite results of which have the potential to be written as scientific papers. The teaching and research capacity of Dept. of Natural Resources Conservation and Ecotourism is outlined, including the qualifications of three ornithological specialists. In many of the years the Dept. has been established, not many students has opted to study biology and conservation of birds, with 4 – 12 undergraduate students enrolling the course in every semester.

Lack of standard names for Indonesian birds was highlighted by Mas Noerdjito, who is on the verge of producing a full list of Indonesian bird names. Soekarja Somadikarta, called for a more rigorous approach toward standardizing Indonesian bird names, using clear pre-defined outline and criteria, and further suggested Indonesian Ornithologists’ Union should help substantiating and formalizing the Indonesian bird names.

The statistics and anatomy of Kukila- Bulletin of the Indonesian Ornithologists’ Union was presented by Richard Noske. Kukila has been contributed mostly by international ornithologists, and there is need to train Indonesian ornithologists to write for Kukila. The geographical regions of Papua, and , surprisingly, Jawa have been under represented in terms of number of articles. In terms of numbers of pages, annotated lists predominated, but in terms of numbers of articles, new The statistics and anatomy of Kukila- Bulletin of the Indonesian Ornithologists’ Union was presented by Richard Noske. Kukila has been contributed mostly by international ornithologists, and there is need to train Indonesian ornithologists to write for Kukila. The geographical regions of Papua, and , surprisingly, Jawa have been under represented in terms of number of articles. In terms of numbers of pages, annotated lists predominated, but in terms of numbers of articles, new

The role of PBI - Indonesian Ornithological Society, Kukila’s previous host-organization was outlined by Made S. Prana, whom chaired the organization from 1998, succeeding Kamil Oesman, (whom passed away earlier in 2005). PBI has always been been caught at the controversies of bird keeping. On one hand it was involved in the flourishing of bird singing contests, and on the other hand, such contests are detested by Kamil Oesman, who progressively brought conservation perspectives to the organization. Subsequently, S. Prana has been working hard to revise the chapter, regulate the bird contests, and increased conservation perspective. While attempting to make careful and expert breeding benefit in situ species conservation measures, breeding is seen to remain an important role for PBI.

In closing, Soekarja Somadikarta shared his happiness to see highly enthousastic seminar contribution by Indonesian younger ornithologists. Eventually he encouraged Indonesian ornithologists to read more intensively and wider, as well as to contribute to international scientific journals, and in such way becoming ornithological patriots of the country.

Posters displayed during the seminar featured wide ranging subjects  Population estimation of Green Peafowl, at Cikuray, W. Jawa (A. Koswara)

 Preparation of guidebooks for Moluccan Parrots (W.Widodo)  Migratory shorebirds and seabirds (I.S. Suwelo)  urban bird diversity in Padang (Jarullis, A. Salsabila & A. Bakar),  urban bird diversity at Ancol Oceonarium, Jakarta (Danu, I.S. Suwelo & Rasidi)  DNA isolates from Streptopelia bitorquata (A. Fathiah, Puspitaningrum & Paskal

Sukandar)  Dietary requirements of captive Red Lory Eos bornea (S. Paryanti)

 Conservation education in W. Jawa (BICONS)

M AKALAH U TAMA

Tinjauan sekilas sejarah ornitologi Indonesia: lebih dari 99% holotipe burung Indonesia disimpan di

koleksi museum manca negara

S. S OMADIKARTA

Pengetahuan tentang avifauna Indonesia sebelum tahun 1758

 Steinmann dapat mengidentifikasi sebanyak tidak kurang 12 jenis burung yang terdapat di beberapa Candi di Pulau Jawa. (Sumber: Steinmann, A. 1934. Welke dieren vindt men op de

Boroboedoer en op enkele Hindoe-Javaansche bouwwerken afgebeeld? Trop. Natuur, 23: 86- 96)

Pauw (Merak); Relief Candi Borobudur, lk 800 M [dari Steinmann, 1934, Pl. 1h]

Pavo muticus Linnaeus, 1766 McKinnon & K. Phillips (1993: Pl. 15)

 Disampaikan dalam bentuk ”slide show” sebagai keynote speech pada seminar ornitologi Indonesia di Bogor (2005)

Casuarius sp. Relief Candi Panataran, lk. 10 M [dari

Casuarius spp.

Steinmann, 1934, Pl. IV b Beehler et al. 1986 (Pl. 1). Birds of New Guinea.

 Foto G.H. Rumphius (1627-1702) dan Ilustrasi bukunya tahun 1741 (dari) Wit, H.C.D. de (ed.) 1959. Rumphius memorial volume. Hollandia, Baarn.

 Bemmel tidak meragukan bahwa Rumphius (1627-1702) mencatat tidak kurang dari 50

spesies burung dari Maluku dan sekitarnya dalam naskah bukunya berjudul “Amboinsch Dierboek”.

 Catatan tentang burung Rumphius ini dibajak dan dijadikan dasar oleh F. Valentijn (1726)

untuk menulis Bab tentang burung dalam bukunya Oud- en Nieuw Oost-Indien (Vol. 3)  Keyakinan bahwa Valentijn telah membajak naskah Rumphius, dapat dibaca dalam buku

Valentijn Oud- en Nieuw Oost-Indien (1726: hlm. 299) yang mengatakan bahwa ia (Valentijn) telah merasakan daging Kasuari pada tahun 1668.

 Sampai tahun 1685, Valentijn belum diberitakan bahwa ia sudah ada di Hindia Timur (East Indies).

 Bemmel, A.C.V. van. 1959. Rumphius as an ornithologist. (In) Wit, H.C.D. de. Rumphius memorial volume . Hollandia, Baarn: 37.

 Mungkin plagiarsm terbesar yang terungkap pada abad ke-18. Valentijn terbukti menjiplak naskah buku karya Rumphius.

Pengetahuan tentang avifauna Indonesia sesudah tahun 1758

 Lebih dari 4300 taksa baru burung Indonesia yang ditemukan antara tahun 1758 – 2004 dipertelakan oleh lk. 120 ornitolog mancanegara

Year < 1800

>2001 Total Language

International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) 1999: Recommendation 16C

 Preservation and deposition of type specimens. Recognizing the name-bearing types are international standards of reference (see Article 72.10) authors should deposit type

specimens in an institution that maintains a research collection , with proper facilities for specimens in an institution that maintains a research collection , with proper facilities for

 Type specimens of birds collected from the Indo-Australian Archipelago S.

Somadikarta (ms)

Dinopium javenense javense (Ljungh) (Check) Picus javenensis Ljungh, 1797. K. Vet. Akad. Nya Handl., 18: p. 134, Pl. 6. Holotype: ??, Java Dinopium (Picoides) erythronotus Rafinesque, 1814. Principes Fondamenteaux de Somiologie : p. 2 of cover. Holotype: MNHN Paris?, Java (Rafinesque, Bull. Sci. Soc. Philom. Paris, 3, 1803: p. 146)

Picus tiga Horsfield, 1821. Trans. Linnean Soc., 13: p. 177. [0022] Syntypes: BM(NH) 1880.1.1.4761, ad. male (relaxed mount), Java, collected by T. Horsfield (?) between 1811 and 1817, another syntype in the collection; CMZC 26/Pic/11/b/5 -7, male, (male), female, Java (nos. 6-7), collected by T. Horsfield, date not recorded. There is another syntype in BM(NH).

P. (Brachypternopicus) Rubropygialis Malherbe, 1845. Rev. Zool., 11, November: p. 400. [0023] The description was based on a single female specimen. Holotype: BM(NH) Old Velum Cat. 24.184c, ad. female (mounted), Bengal = "East Indies", see Whistler & Kinnear, J. Bombay Nat. Hist. Soc., 34, 1937: p. 294.

Dinopium javense palmarum Stresemann, 1921. Arch. Naturgesch., 87, Abt. A (7): p. 93. [0044] The

description was based on a serie of ten (5 males & 5 females) specimens collected from Sumatra. Holotype: ZSM 21.17, ad. male, Fort de Kock (= Bukittinggi), W Sumatra, col lected by W. Volz (No. 117), no date.

Range: Sumatra, Rhio Archipelago, W and C Java - Malay Peninsula Peters’ Check-list, Vol. 6 (Peters 1948: 145) Reference(s): Warren (1966: 296), Benson (1999: 69)

Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1701 – 1800

 Carl LINNAEUS 1707, Rashult, Stenbrohult, Smaland, Sweden; † 1778, Hammarby, Uppsala, Sweden

 Thomas HORSFIELD 1773, Bethlehem, PA, USA; † 1859, London, UK  Louis Théodor LESCHELNAULT de la TOUR 1773, Chalons-sur-Saane, France; † 1826,

Paris, France  Sir Thomas Stamford Bingley RAFFLES 1781, at sea off Jamaica; † 1826, Highwood

Hill, Middlesex, UK  Coenraad Jacob TEMMINCK 31 March 1778, Amsterdam, The Netherlands; † 30 January 1858, Leiden, The Netherlands

Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1801 – 1900

 Bonaparte, Charles Lucien 24 May 1803, Plessis, France; † 29 April 1857, Paris, France  Wallace, Alfred Russel 8 January 1823, Usk, Wales, UK; † 7 November 1913, Broadstone,

near Wimborne, UK  Salvadori, Conte Adlard Tommaso 30 September 1835, Porto S. Giorgio (Ascoli Piceno),

Italy; † 9 October 1923, Turin, Italy  Finsch, Friedrich Hermann Otto 8 August 1839, Warmbrunn, Germany; † 31 January 1917, Brunswick, Germany  Adolf Bernhard MEYER 11 October 1840, Hamburg, Germany; † 5 February 1911,

Berlin, Germany  Adolphe Guillaume VORDERMAN 12 December 1844, ‘s Gravenhage (= The Hague, The

Netherlands;

 † 15 July 1902, Batavia (= Jakarta), Java, Indonesia  Ernst Johann Otto HARTERT 28 October 1859, Hamburg, Germany; † 11 November

1933, Berlin, Germany  Erwin Friedrich Theodor STRESEMANN (> 200 taksa baru) 22 November 1889,

Dresden, Germany; † 20 November 1972, Berlin, Germany

Makam E. Hartert & E. Stresemann di Waldfriedhof Berlin-Dahlem (Foto: Dr. Ilse Kuehne) dan “Adik” (E. Mayr) & “Kakak” (E. Stresemann) di Oxford, UK (Intl. Orn. Congress ke-14) (Foto Eric Hosking dalam Proc. XIV IOC)

Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1901 - 1913 (1)

 Ernst MAYR (> 200 taksa baru) 5 July 1904, Kempten, Bavaria, Germany; † 3 February 2005, Bedford, MA, USA

 George Christoffel Alexander JUNGE 7 August 1905, Haarlem, The Netherlands; † 3 February 1962, Leiden, The Netherlands  Andries HOOGERWERF 29 August 1906, Vlaardingen, The Netherlands; † 5 February 1977  Sidney Dillon RIPLEY 20 September 1913, New York, NY, USA; † 12 March 2001, Washington, DC, USA

Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1901 - 1926 (2)

 Charles Matthew Newton WHITE 30 August 1914, Preston, Lancashire, UK; † 7 September 1978, Oxford, UK  Karel Hendrik VOOUS 23 June 1920, Huizen, The Netherlands; † 31 January 2001, Huizen, The Netherlands  Gerlof Fakko MEES 16 June 1926, Velsen, NH, The Netherlands

Para penulis sejarah tentang ornitologi Indonesia

 Veth, H.J. 1879. Overzicht van hetgeen in het bijzonder door Nederland, gedaan is voor de kennis der fauna van Nederlandsch-Indie . Academisch Proefschrift, Rijksuniversiteit te

Leiden. S.C. van Doesburgh, Leiden: viii + 204 pp.  Sirks, M.J. 1915. Indisch Natuuronderzoek. Academisch Proefschrift, Rijksuniversiteit te

Utrecht. Ellerman, Harms & Co., Amsterdam: xi + 303 pp.

 Stresemann, E. 1951. Die Entwicklung der Ornithologie von Aristoteles bis zur Gegenwart . Verlag Hans Limberg, Aachen: xv + 431 pp.

 Stresemann, E. 1975. Ornithology: From Aristoteles to the present. Translated by H.J. & C. Epstein. Harvard Univ. Press, Cambridge.  Junge, G.C.A. 1954. Ornithologisch onderzoek in de Indische archipel. Ardea, 41, Jubileumnummer: 301-366.

Sejarah ornitologi Pulau Sumatra dan pulau-pulau di sekitarnya:

Sumatra:  Marle, J.G. van & K.H. Voous. 1988. A chronological

historical synopsis of ornithological exploration in Sumatra. (In) J.G. van Marle & K.H. Voous. The birds of Sumatra . B.O.U. Check-list No. 10. B.O.U., Tring: 44-49.

Sejarah ornitologi Pulau Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya:

Jawa:  Finsch, O. 1906. Zur Erforschungsgeschichte der Ornis

Javas. J. Orn., 54: 301- 321. Kalimantan (Borneo):

 Salvadori, T. 1874. Notizie storiche intorno all’ornitologia di Borneo. (In) T. Salavadori. Catalogo

sistematico degli uccelli di Borneo. Ann. Mus. Civ. Stor. Nat. Genova , 5: vii – xii.

Sejarah ornitologi kawasan Wallacea:

 Bruce, M.D. 1986. A chronological historical synopsis of ornithological exploration in Wallacea. (In) C.M.N. White & M.D. Bruce. The birds of Wallacea (Sulawesi,

The Moluccas & Lesser Sunda Islands, Indonesia) . B.O.U. Check-list No. 7. B.O.U., London: 68-

Sejarah ornitologi kawasan Papua dan pulau-pulau di sekitarnya:

Papua:  Frith, C.B. 1979. Ornithological literature of the Papuan Subregion 1915 to 1976: an

annotated bibliography. Bull. American Mus. Nat. Hist., 164, Art. 3: 379-465.  Salvadori, T. 1874. Catalogo sistematico degli uccelli di Borneo con

note ed osservazioni di G. Doria ed O. Beccari intorno alle specie da essi racolte nel Ragiato di Sarawak (kiri), dan Salvadori. T. Ornitologia della Papuasia e delle Molucche . Parte Prima (1880), Parte Seconda (1881), & Parte Terza (1882) (kanan)

Perhimpunan burung di Indonesia

 Ornithologische Vereeniging in Nederlandsch Indie – O.V.I.N.I. didirikan di Batavia, tanggal 24 Mei 1941 [O.V.I.N.I. tidak berumur panjang karena Balatentara Dai Nippon (Jepang)

menduduki Hindia-Belanda pada tanggal 8 Maret 1942]  Majalah Irena yang dikeluarkan oleh O.V.I.N.I. hanya

terbit satu kali, yaitu Deel 1, No. 1 en 2, pada tanggal 1 November 1941

 PERHIMPUNAN BURUNG INDONESIA – PBI = INDONESIAN ORNITHOLOGICAL SOCIETY - IOS (nama yang diberikan untuk

dapat menampung semua “aliran”) didirikan tanggal 20 September 1973 di Jalan Teuku Umar No. 35, Jakarta oleh lk 50 orang dari berbagai golongan: (1) Penggemar, (2) Pencinta, (3) Ahli (Ornithologists), dan (4) Pedagang burung.

 Majalah Perhimpunan Burung Indonesia, KUKILA, Nomor 1 terbit

dalam bulan Oktober 1975

KUKILA , Vol. 2, No. 1 dengan “wajah” dan “ukuran” lain, terbit pada bulan Mei tahun 1985, 10 tahun setelah kehadiran KUKILA No. 1 pada bulan Oktober 1975 (kiri) dan Wajah majalah KUKILA Vol. 12, Juli 2003 (Kanan)

 Pada tahun 1998 PERHIMPUNAN BURUNG INDONESIA - PBI berubah nama dan

tujuannya menjadi PELESTARI BURUNG INDONESIA (PBI), sehingga dengan demikian

Majalah KUKILA yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BURUNG INDONESIA kehilangan “induk”nya.

 PERHIMPUNAN ORNITOLOG INDONESIA (POI) = INDONESIAN ORNITHOLOGISTS’ UNION (IdOU) didirikan atas prakarsa 36 orang dalam dan luar

negeri yang menaruh minat terhadap perkembangan ornitologi Indonesia, pada hari Senin tanggal 23 Agustus 2004. POI – IdOU akan tetap meneruskan mengelola KUKILA.

 Tiga perhimpunan ornitolog tertua di dunia Die Deutsche Ornithologen-Gesellschaft (DO-

G) tanggal didirikan: November 1850 Journal: Journal für Ornithologie (1853) (2003 – Vol. 144) Journal of Ornithology (2004)- The British Ornithologists’ Union (BOU) tanggal didirikan: 1858 Journal: Ibis, 2005 – Vol. 147 dan The American Ornithologists’ Union (AOU) tanggal didirikan” 28 September 1883 Journal: Auk, 2005 – Vol. 122

 Bangsa Indonesia yang mempertelakan taksa atau mengubah status taksa (kombinasi) baru (1967-2004). Hanya baru 4 bangsa Indonesia (3,3% dari 120 keseluruhan), yaitu:

- Boeadi (1) - Mochamad Indrawan (1) - Dewi M. Prawiradilaga (1) - S. Somadikarta (8)

 International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) 1999: Recommendation 51G Citation of person making new combination. If it is desired to cite both the author of a

species-group nominal taxon and the person who first transferred it to another genus, the name of the person forming new combination should follow the parentheses that enclose the name of the author of the species-group name (and the date, it stated; see Recommendation 22A.3)

 International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) 1999: Recommendation 51G & International Code of Botanical Nomenclature (ICBN) 1994: Art. 49.

Example (ICZN): Limnatis nilotica (Savigny) Moquin-Tandon; Methiolopsis geniculata (Stål, 1878) Rehn, 1957. Example (ICBN): Medicago polymorpha var. orbicularis L. (1753) when raised to the rank of species becomes M. orbicularis (L.) Bartal. (1766).

 Boeadi p. 3: subspecies baru

Zoothera erythronota kabaena Robinson-Dean et al., 2002 Holotype: MZB 30.363, ad. male, 4 km south of Tangkeno (5º17'27“S, 121º54‘33“E), Kabaena Is., Sulawesi, Indonesia collected by Julia Robinson-Dean (bird # 6) by mist net on 4 September 2001. (lihat Robinson-Dean, J.R., K.R. Willmot, M.J. Catterall, D.J. Kelly, A. Wittington, B. Phalan, N.M. Marples, & [D.R.S.] Boeadi. 2002. A new subspecies of Red- backed Trush Zoothera erythronota kabaena subsp. nov. (Muscicapidae: Turdidae) from Kabaena island, Indonesia. Forktail, No. 18: 1-10.

- Ninox burhani Indrawan & Somadikarta p. 162: spesies baru Holotype: MZB 30.365, ad. male, collected in scrubby forest below 100 m a.s.l., at Benteng

village, Togian Island, Togian Archipelago, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia, by R.M. Hidayat with assistance of Burhan and Iling Taksir, on 8 April 2001 (Fig. 4) lihat Indrawan, M. & S. Somadikarta . 2004. A new hawk-owl from the Togian Islands, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia. Bull. British Orn. Cl., 124 (3): 160-171

 D.M. Prawiradilaga p. 60: mengubah status subspesies menjadi species

Spizaetus floris (Hartert, 1898) Gjershaug et al. 2004 [Limnaëetus limnaëetus floris Hartert, 1898. Nov. Zool ., 5 (1): p. 46.] --[Lectotype (designated by Hartert, 1925, Nov. Zool., 32: p. 266): AMNH 534896, “male”, S. Flores, collected by A. Everett in November 1896.] Lihat Gjershaug, J.O., K. Kvalov, N. Rov, D.M. Prawiradilaga, U. Suparman and Z. Rahman. 2004 (Aug.). The taxonomic status of Flores Hawk Eagle Spizaetus floris. Forktail, No. 20: 55-

62.  S. Somadikarta (1)

p. 4: mengubah status subspecies menjadi species Collocalia papuensis (Rand, 1941) Somadikarta, 1967 Collocalia whiteheadi papuensis Rand, 1941. American Mus. Novit., No. 1102: 10. Holotype: AMNH 305670, ad. male, 1800 alt., 15 km sw of Bernhard Camp on Idenburg River, Netherlands New Guinea (now West Irian), collected by Richard Archbold, A.L. Rand, and W.B. Richardson (Original No. 9049) on 20 January 1939.

Lihat Somadikarta, S. 1967. A recharacterization of Collocalia papuensis Rand, the Three-toed Swiftlet. Proc. U.S. Natl. Mus., 124, Nr. 3629: 1-8.

 S. Somadikarta (2 & 3) p. 121 & 123: subspecies baru

Hemiprocne longipennis mendeni Somadikarta, 1975 Holotype: MZB 18.143, ad. male, Peleng Island, lowland, collected by J.J. Menden on 31 July 1938.

Hemiprocne longipennis dehaani Somadikarta, 1975Holotype: MZB 21.939, ad. female, Sanana, Sulabesi, Sula Islands, 1 m alt., collected by G.A.L. de Haan (Coll. No. 2127) on 29 January 1955.

Lihat Somadikarta, S. 1975. On the two new subspecies of Crested Swift from Peleng Island and Sula Islands (Aves: Hemiprocnidae). Treubia, 28 (4): 119-127

 S. Somadikarta (4) p. 36: mengubah status spesies menjadi subspesies

Collocalia linchi dodgei (Richmond, 1905) Somadikarta, 1986 Collocalia dodgei Richmond, 1905. Smithsonian Misc. Coll. (Quart. Issue), 47: p. 431. Holotype: USNM 191.575, sex not indicated, Mt. Kinabalu,

Borneo, collected by George

A. Goss & H.D. Dodge, early 1904. Lihat Somadikarta, S. 1986. Collocalia linchi Horsfield & Moore – a revision. Bull. British Orn.

Cl. , 106 (1): 32-40.  S. Somadikarta (5 & 6)

p. 37 & 38: subspesies baru Collocalia linchi ripleyi Somadikarta, 1986 Holotype: MZB 29.415, ad. male, Talang Padang (5º23'S, 104º48'E), alt. 240 m, South Lampung, southern part of Sumatra, collected by S. Somadikarta (Field No. 19) on 1 October 1981.

Collocalia linchi dedii Somadikarta, 1986 Holotype: MZB 28.079, ad. male, Ubud (8º30'S, 115º16'E), alt. 180 m, Bali, collected by S. Somadikarta (Field No. 28) on 15 April 1976.

Lihat Somadikarta, S. 1986. Collocalia linchi Horsfield & Moore – a revision. Bull. British Orn. Cl. , 106 (1): 32-40.

 S. Somadikarta (7) p. 261: subspesies baru

Collocalia ocista gilliardi Somadikarta, 1994 Holotype: AMNH 190.163, ad. male, Hivaoa Is., Marquesas Islands, collected by E.H. Quayle & R.H. Beck on 26 January 1921.

Lihat Somadikarta, S. 1994. The identity of the Marquesan Swuftlet Collocalia ocista Oberholser Bull. British Orn. Cl. , 114 (4): 259-263.

 S. Somadikarta (8) (lihat M. Indrawan) p. 162: spesies baru

Ninox burhani Indrawan & Somadikarta, 2004 Holotype: MZB 30.365, ad. male, collected in scrubby forest below 100 m a.s.l., at Benteng village, Togian Island, Togian Archipelago, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia, by R.M. Hidayat with assistance of Burhan and Iling Taksir, on 8 April 2001 (Fig. 4)

Lihat Indrawan, M. & S. Somadikarta. 2004. A new hawk-owl from the Togian Islands, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia. Bull. British Orn. Cl., 124 (3): 160-171.

Terimakasih.

« Le Rat de bibliothèque » Karl Spitzweg, vers 1850

GET AHEAD, READ!

Important Bird Areas; Kawasan prioritas untuk aksi konservasi

R UDYANTO BirdLife International – Asia Division

Telp. 0251-657127 - Email: rudyanto@birdlife-asia.org

Pendahuluan

Tantangan klasik dalam upaya pelstarian keanekaragaman hayati adalah minimnya sumberdaya yang tersedia, baik dalam bentuk dana maupun dalam bentuk sumberdaya manusia (kemampuan dan jumlah). Tantangan tersebut juga dihadapi oleh Indonesia yang dianugerahi keanekaragaman hayati yang berlimpah. Dengan sumberdaya untuk aksi pelestarian alam yang terbatas, menentukan kawasan mana yang layak diberi prioritas adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah dan sering berujung pada perdebatan yang berkepanjangan. BirdLife International, yang merupakan sebuah kemitraan global yang beranggotakan lebih dari 120 organisasi pelestarian alam di dunia, menawarkan sebuah alat untuk penentuan prioritas tersebut dengan menggunakan burung sebagai indikator yang kemudian diberi nama Important Bird Areas (IBA).

Burung Sebagai Indikator

Penggunaan burung sebagai indikator untuk menentukan kawasan prioritas bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati karena burung memiliki atribut yang lengkap untuk dijadikan indikator, yaitu :

1. Memiliki sebaran yang luas dan terdapat disemua macam habitat di bumi.

2. Relatif mudah dikenali di lapangan.

3. Peka terhadap perubahan lingkungan.

4. Informasi tentang burung relatif sudah terdokumentasi dengan baik dan taksonomi burung bisa dikatakan sudah mantap.

Beberapa kajian yang dilakukan oleh BirdLife International antara lain Putting Biodiversity on the Map (Bibby dkk., 1992), Endemic Bird Areas of the World – Priorities for Biodiversitry Conservation (Stattersfield dkk., 1998), Threatened Birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book (BirdLife International, 2001) dan Saving Asia’s Thretened Birds: a guide for government and civil society (BirdLife International, 2003) menunjukan bahwa burung memang

layak untuk dijadikan indikator untuk identifikasi kawasan yang penting bagi keanekaragaman hayati. Kajian-kajian tersebut juga menunjukan bahwa IBA tidak hanya penting bagi burung tetapi juga penting bagi macam keanekaragaman hayati lainnya.

Kriteria Penentuan IBA

Dalam melakukan identifikasi IBA, tentu saja tidak semua jenis burung yang digunakan sebagai indikator. IBA didefinisikan sebagai sebuah kawasan yang memenuhi paling tidak satu dari empat kriteria berikut :

1. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap dan/atau berkala, terdapat jenis burung yang secara global terancam punah.

2. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap, terdapat jenis burung yang memiliki sebaran terbatas.

3. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap, terdapat jenis-jenis burung yang dikategorikan sebagai jenis burung yang mencirikan suatu bioma tertentu.

4. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap dan/atau berkala, terdapat jenis-jenis burung yang hidup dalam kelompok besar.

BirdLife International, yang telah ditunjuk oleh IUCN sebagai otoritas tunggal untuk membuat daftar jenis burung yang secara global terancam punah, secara berkala menerbitkan daftar yang dimaksud. Untuk Asia, daftar tersebut dimuat dalam Threatened Birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book (BirdLife International, 2001) dan pembaruan dari daftar tersebut dilakukan secara berkala serta dapat dilihat dan diperoleh secara cuma-cuma di http://www.rdb.or.id.

Yang dimaksud dengan burung sebaran terbatas adalah jenis burung yang diketahui memiliki daerah sebaran berbiak global tidak lebih dari 50.000 km 2 (Stattersfield dkk., 1998). Jenis burung yang dari catatan-catatan dimasa lampau memiliki sebaran lebih dari 50.000 km 2 tetapi kemudian karena suatu hal luas sebarannya menjadi tidak lebih dari 50.000 km 2 , tidak dikelompokan

sebagai burung sebaran terbatas.Suatu jenis burung dikategorikan sebagai jenis burung yang mencirikan suatu bioma tertentu jika jenis burung tersebut menggunakan bioma yang dimaksud sebagai tempat utama hidupnya.

Kata-kata “hidup dalam kelompok besar” yang dimaksud dalam kriteria ke-empat dapat bersifat kualitatif. Akan tetapi untuk menghindarkan polemik karena perbedaan cara pandang maka kuantifikasi “besar” dilakukan dengan mengacu pada kriteria RAMSAR. Dengan menggunakan kriteria RAMSAR tersebut maka suatu kawasan dikatakan sebagai IBA berdasarkan kriterion empat jika :

1. Di dalam kawasan tersebut terdapat jenis burung air atau burung laut yang jumlahnya paling tidak sama dengan 1% dari jumlah total jenis burung tersebut dalam populasi flyway .

2. Di dalam kawasan tersebut terdapat tidak kurang dari 20.000 individu burung air.

3. Kawasan tersebut merupakan leher botol (bottle neck) dari jalur migrasi burung dan jumlah individu burung yang melintasi bottle neck tersebut tidak kurang dari 5.000 ekor untuk bangau, 3.000 ekor untuk burung pemangsa (raptor) dan 2.000 ekor untuk jenis- jenis burung jenjang.

Semua kriteria untuk mengidentifikasi IBA sudah memperoleh pengakuan dari dan diadopsi oleh banyak pihak di dunia. Bisa dikatakan bahwa IBA sudah menjadi semacam currency global untuk menentukan kemana sumberdaya bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati sebaiknya disalurkan.

Proses Identifikasi IBA

Proses identifikasi IBA sebenarnya tidaklah rumit akan tetapi membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang tinggi. Seperti halnya dengan semua inisiatif BirdLife International lainnya, proses identifikasi IBA dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Dengan menggunakan informasi/pengetahuan yang dimilikinya serta kriteria identifikasi IBA, para pihak mengidentifikasi calon IBA yang kemudian dibahas kembali secara lebih mendalam akan kelayakan kawasan calon tersebut untuk disebut sebagai IBA. Aspek-aspek subjektif ditekan seminimal mungkin dan menggunakan hanya kriteria idenfikasi IBA sebagai acuan utama.

Tantangan terbesar dalam identifikasi IBA adalah minimnya informasi untuk banyak kawasan calon IBA. Tantangan ini dirasa dengan sangat terutama di negara-negara di mana kegiatan pengamatan atau penelitian burung masih merupakan hal yang baru. Dalam banyak kasus, Tantangan terbesar dalam identifikasi IBA adalah minimnya informasi untuk banyak kawasan calon IBA. Tantangan ini dirasa dengan sangat terutama di negara-negara di mana kegiatan pengamatan atau penelitian burung masih merupakan hal yang baru. Dalam banyak kasus,

Proses mengumpulkan, ekstraksi, konfirmasi dan analisa data dan informasi yang tersedia memakan waktu yang tidak sedikit. Sebagai contoh, proses pembuatan IBA untuk Malaysia menghabiskan waktu 6 tahun, sedangkan IBA untuk Asia menghabiskan waktu 8 tahun.

IBA di Asia

Pada tahun 2004 yang lalu, BirdLife International menerbitkan direktori IBA untuk Asia. Pembuatan direktori yang menghabiskan waktu selama 8 tahun ini melibatkan seluruh jaringan BirdLife, individu dan kelompok-kelompok lokal di Asia. Dari pekerjaan tersebut, 2.293 IBA

berhasil diidentifikasi untuk Asia yang luas cakupannya 2.331.560 km 2 atau sekitar 7,6% dari luas total wilayah Asia. Persentase cakupan tersebut kurang lebih sama dengan IBA dari wilayah

lain, Eropa dengan 7%; Afrika 7%; dan Timur Tengah 5%. Tidak kurang dari 82% IBA di Asia mendukung jenis-jenis burung yang secara global terancam

punah, 41% mendukung jenis burung sebaran terbatas, 42% mendukung jenis burung karakteristik bioma dan 41% mendukung jenis-jenis burung yang hidup dalam kelompok besar.

Berbicara mengenai perlindungan atau pelestarian kawasan IBA di Asia, 43% IBA termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam, 14% IBA sebagian termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam dan 43% IBA sama sekali berada di luar kawasan lindung/pelestarian alam.

IBA di Indonesia

Sebagai negara yang bisa dikatakan terkaya akan keanekaragaman hayati di Asia, saat ini Indonesia memiliki 227 IBA yang mencakup daerah seluas 255.571 km 2 atau sekitar 17% dari

total luas wilayah daratan Indonesia. Perlu dicatat bahwa IBA di Indonesia belum termasuk wilayah Papua dan angka luas daratan yang disebutkan di atas tidak termasuk Papua. Dari 227 IBA tersebut, 195 IBA mendukung jenis-jenis burung yang secara global terancam punah, 184 mendukung jenis burung sebaran terbatas, 81 mendukung jenis burung karakteristik bioma dan 23 mendukung jenis-jenis burung yang hidup dalam kelompok besar.

Jika dilihat sebaran IBA di Indonesia, 40 IBA terdapat di Sumatera, 23 di Kalimantan, 53 di Jawa dan Bali, 43 di Nusa Tenggara, 32 di Sulawesi dan 36 di Maluku.

Dari 227 IBA tersebut, 58 IBA termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam, 42 IBA sebagian termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam dan 127 IBA sama sekali berada di luar kawasan lindung/pelestarian alam.

Hasil kajian sementara dengan menggunakan komposisi jenis burung dan status keterancaman secara global jenis-jenis burung tersebut, terlihat ada beberapa IBA yang “lebih menonjol” nilai pentingnya dibandingkan dengan IBA lainnya. IBA tersebut adalah :

1. Sumatera: Gunung Leuser, Batang Gadis, Bukit Tigapuluh, Tesso Nilo, Berbak, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Sembilang, Tanjung Koyan dan Way Kambas.

2. Kalimantan: Danau Sentarum, Gunung Palung, Tanjung Puting, Ulu Barito, Lahan Basah Mahakam Tengah dan Kayan Mentarang.

3. Jawa dan Bali: Gunung Gede Pangrango, Gunung Halimun, Muara Gembong-Tanjung Sedari, Pegunungan Dieng, Meru Betiri, Gunung Raung dan Solo Delta.

4. Nusa Tenggara: Komodo, Mbeliling (Tanjung Kerita Mese), Ruteng, Wolotado, Teluk Kupang, Manupeu-Tanadaru, Laiwanggi-Wanggameti dan Gunung Mutis.

5. Sulawesi: Karakelang, Pegunungan Sahendaruman, Siau, Bogani Nani Wartabone, Lore Lindu, Gunung Lompobattang, Tanah Jampea dan Taliabu Utara.

6. Maluku: Wayabula, Lalobata, Manusela, Wai Bula, Pulau Damar dan Gunung Arnau. Perlu dicatat bahwa daftar di atas disusun berdasarkan data yang ada saat ini. Daftar tersebut bisa

saja berubah jika ada data dan informasi baru dari IBA lainnya.

Langkah ke depan

227 IBA telah diidentifikasi untuk Indonesia, lantas apa? Pertanyaan klasik tetapi masih sangat relevan tersebut layak untuk ditanggapi secara positif. Saat ini di Indonesia sedang bertumbuhan kelompok-kelompok pengamat dan/atau pelestari burung. Kelompok-kelompok tersebut merupakan

untuk pelestarian burung/keanekaragaman hayati di Indonesia. Kelompok-kelompok tersebut dapat memainkan peran yang sangat besar dalam upaya pelestarian burung/keanekaragaman hayati di Indonesia.

Di banyak negara banyak kelompok-kelompok seperti ini yang lantas menamakan dirinya sebagai Site Support Group (SSG) IBA. SSG tersebut terlibat secara aktif dalam aksi pelestarian alam secara nyata termasuk terlibat aktif dalam kegitan pemantauan IBA. Kelompok-kelompok ini juga bisa berperan aktif dalam mencari “IBA baru” yang belum teridentifikasi. Selain itu, kelompok-kelompok ini juga dapat memainkan peran dalam kegiatan penyadartahuan, promosi dan advokasi kawasan IBA.

Penguatan kelembagaan SSG merupakan langkah logis yang harus dilakukan untuk menjamin baiknya mutu dan kinerja SSG. Penguatan kelembagaan ini dirasa penting karena kelompok- kelompok tersebut tidak semua berada pada tataran kematangan yang sama. IBA sebagai kawasan “bermain” kelompok-kelompok tersebut, bisa pula dijadikan arena pelatihan bagi kelompok- kelompok tersebut dalam upaya peningkatan kapasitas lembaga.

IBA tidaklah sama dengan kawasan perlindungan atau pelestarian alam yang “resmi”. Oleh karenanya, upaya pelestarian alam di IBA tidaklah harus dengan menjadikan IBA sebagai kawasan perlindungan dan pelestarian alam. Upaya-upaya alernatif untuk pelestarian keanekaragaman hayati saat ini (pelestarian di luar kawasan lindung/pelestarian) telah banyak dilakukan dan upaya-upaya tersebut layak untuk mendapat dukungan. Dalam upaya-upaya tersebut, masyarakat lokal terlibat secara penuh dalam tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan aksi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penetapan sebuah kawasan menjadi kawasan perlindungan/pelestarian alam membutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit dan bagi negara hal ini dapat dianggap sebagai beban. Upaya-upaya alternatif pelestarian dalam kawasan yang telah dikembangkan oleh kelompok-kelompok tersebut bisa dijadikan pilihan.

Daftar Pustaka

Bibby, C.J., Collar, N.J., Crosby, M.J., Heath, M.F., Imboden, Ch., Jhonson, T.H., Stattersfield, A.J. and Thirgood, S.J. 1992. Putting Biodiversity on the Map: Priority Areas for Global Conservation. International Council for Bird Preservation. Cambridge, UK.