Fragmentasi hutan di Lampung, Sumatera vs Burung Rangkong: Mampukah burung rangkong bertahan hidup?
Fragmentasi hutan di Lampung, Sumatera vs Burung Rangkong: Mampukah burung rangkong bertahan hidup?
Y. H ADIPRAKARSA DAN N URUL L. W INARNI Wildlife Conservation Society - Indonesia Program
Tel. 0251-342135,321527 Email. [email protected]
Summary. Wildlife conservation researches currently focus on intact natural forest areas. However, even fragmented forest landscapes are thought to maintain significant habitat for the long-term persistence of large forest frugivores such as hornbills. We conducted surveys in 18 natural forest patch remnants in Lampung Province, Sumatra during January to August 2003, and examined the (1) characteristics of the fragmented forest landscape, (2) hornbill distribution and abundance in fragmented habitats, (3) availability of figs as hornbill primary food and nesting trees on remained forest fragments, (4) the response of hornbills to forest fragmentation. A total of 60 forest patches were mapped in Lampung Province, ranging from 93.5-146.498 ha (Average = 7336 ha, SD = 23.588), mostly located in lowland areas (0-500 m asl). Nine hornbill species were recorded during the survey with at least one species recorded at each forest patch. Large body-size and wide-ranging hornbill species were found at most forest patches, except Helmeted hornbill (B. vigil) and Great-pied hornbill (B. bicornis). Stepwise multiple regression analyses showed that there was no correlation between each forest patch with fig trees density, canopy openness, natural and human disturbance and availability of potential nesting trees. The number of hornbill species was positively correlated with forest patch size. Smaller-bodied, territorial hornbills were sensitive to degree of isolation, but patch size did not have a significant effect on their population density. The density of non-territorial hornbills was significantly lower in smaller forest patches, but was not affected by degree of isolation. Thus, if each forest patch was considered independently, fragmentation places impact on hornbill distribution and density. Nevertheless, with a concerted management effort, hornbills have a better future when all natural forest patches are considered as continuous habitat in fragmented landscape.
Keywords : hornbills, Lampung, fragmentation,population, density and distribution
Pendahuluan
Fragmentasi habitat hutan merupakan salah satu dampak nyata rusaknya kawasan hutan yang umum ditemukan dari kehadiran manusia (Laurance, 1999; Gascon et al. 1999), mengakibatkan hilangnya banyak species flora ( Laurance et al. 1999) da n fauna (Bierregard and Dale, 1996; Restrepo et al. 1997; Lynam, 1997; Robinson, 1998). Di daerah hutan hujan tropis, laju hilangnya species flora dan fauna sangat tinggi (Wilcove et al., 1986). Di sisi lain, fragmentasi juga memberikan dampak terhadap ketersediaan sumberdaya dalam menentukan persebaran dan kepadatan species dalam lansekap terfragmentasi (Blake & Loiselle 1991; Sinclair & Norton- Griffiths 1995; Bierregaard et al. 2001; Laurance & Vasconcelos, 2004).
Saat ini Indonesia merupakan negara yang mengalami kehilangan hutan tropis tercepat di dunia dan hampir setengah dari luas hutannya sudah terfragmentasi (GFW/FWI, 2001). Di bandingkan pulau lainnya di Indonesia, laju hilangnya hutan di pulau Sumatra merupakan yang tertinggi. Jika kecenderungan ini tidak mengalami perubahan, Holmes et al. (2002) memperkirakan hutan dataran rendah dan pegunungan di pulau Sumatra akan hilang dalam kurun waktu 2005-2010.
Dari 54 jenis burung rangkong di dunia, 13 jenis burung rangkong dapat ditemukan di Indonesia (Kemp, 1995), tiga jenis diantaranya bersifat endemik, yaitu: Julang Sulawesi (Aceros. cassidix), Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus) dan Rangkong Sumba (Aceros everetti ). Hal tersebut menjadikan Indonesia merupakan negara terpenting di Asia untuk konservasi burung rangkong (O’Brien et al. 1998). Meskipun tidak terdapat jenis burung rangkong endemik, pulau Sumatra merupakan pulau terkaya akan keragaman burung rangkong dengan 9 jenis yang terdapat di dalamnya.
Di dukung dengan ukuran tubuh yang besar serta kemampuannya untuk terbang jarak jauh (Tsuji et al . 1987; Suryadi et al. 1998), burung rangkong menempati peringkat teratas sebagai pemakan buah (frugivore) dalam keluarga burung. Selain itu, burung rangkong terbukti efektif dalam menyebarkan biji (Leighton & Leighton, 1984, Kinnaird et al. 1998; Holbrook & Smith, 2000) . Secara umum, semua jenis burung rangkong bergantung pada habitat hutan primer, memiliki kecenderungan hidup di tajuk pohon, dan sangat tergantung dengan buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Kemp 1995). Peningkatan laju kerusakan hutan secara cepat di Indonesia, yang umumnya disebabkan penebangan liar, perubahan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, perluasan daerah persawahan dan kebakaran hutan, cenderung memojokkan masa depan burung rangkong menuju kepunahan lokal.
Dengan menggunakan kombinasi pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan survai burung rangkong beserta ketersediaan sumber dayanya, kami mencoba mengkaji dampak fragmentasi hutan terhadap kepadatan dan persebaran burung rangkong. Berdasarkan O’Brien et al . (1998) dan Sitompul et al. (in press), burung rangkong mungkin dapat bertahan dalam kawasan hutan terfragment, dan berukuran kecil tetapi kemampuan ini sangat beragam untuk setiap jenisnya, tergantung dengan kebutuhan habitatnya, susunan petak hutan dalam lansekap dan kemampuannya dalam memencarkan biji. Dengan pendekatan kemampuan jarak tempuh perhari untuk jenis Julang Sulawesi, yaitu berkisar antara 1,75 – 15,7 km (Suryadi et al. 1998), dapat diperkirakan burung rangkong yang berukuran relatif sama, akan mampu memanfaatkan sumber daya di petak-petak hutan dalam lansekap terfragmentasi. Sebaliknya untuk rangkong berukuran kecil dan umumnya bersifat teritorial, tingkat keterisolasian petak hutan menjadi penting, mengingat kelompok jenis ini hidup berkelompok.
Metode penelitian
Kondisi tutupan hutan dan penentuan lokasi survai Dalam menelaah kondisi hutan sebagai habitat burung rangkong serta laju hilangnya kawasan berhutan di Provinsi Lampung dilakukan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan citra satelit Landsat MMS tahun 1980-1985 dan citra satelit Landsat Thematic Mapper 7 pada tahun 2000. Citra di interpretasikan menggunakan perangkat lunak ERDAS IMAGINE 6.5 ™ yang kemudian dikoreksi secara manual. Selanjutnya kami mengidentifikasi tutupan hutan dan non hutan, perubahan tutupan hutan, serta derajat fragmentasi (jumlah, jarak dengan tetangga di antara petak-petak hutan serta jarak ke daerah sumber). Analisis perubahan tutupan hutan dibedakan antara di dalam kawasan dengan di luar kawasan taman nasional.
Perubahan tutupan hutan dihitung berdasarkan tipe hutan berdasarkan ketinggian, dengan pengelompokan sebagai berikut:
Hutan dataran rendah (Lowland forest), 0 – 500 m dpl Hutan perbukitan (Hill forest), 500 – 1000 m dpl Hutan pegunungan bawah (Lower montane forest), 1000 – 1500 m dpl Hutan pegunungan (Montane forest), > 1500 m dpl
Petak-petak hutan dari survai tahun 2000 ditelaah dengan menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) untuk mengelompokkan petak-petak hutan berdasarkan ukuran, jarak dengan tetangga terdekat serta jarak ke kawasan sumber.
Kepadatan dan distribusi rangkong Survai dilakukan pada bulan Januari-Agustus 2003 di petak-petak hutan yang tersebar di Provinsi Lampung dan satu lokasi terletak di Provinsi Bengkulu. Metode transek garis/line transect (Buckland et al. 2001) digunakan untuk menghitung kepadatan burung rangkong. Jumlah dan panjang transek yang disurvai bervariasi secara proporsional berdasarkan kategori hutan hasil perhitungan analisis PCA. Transek dijalani pada pagi hari (0600-1000) dan sore hari (1300- 1700), dengan waktu survai minimal selama dua hari dengan dua kali pengulangan setiap transek di setiap petak hutan. Setiap perjumpaan dengan burung rangkong, dicatat waktu perjumpaan, jenis perjumpaan pertama kali (lihat atau dengar), jenis burung rangkong, jumlah individu, perkiraan umur dan jenis kelamin (jika memungkinkan). Selain itu juga dicatat sudut dan jarak objek dari pengamat dicatat untuk menghitung jarak tegak lurus objek ke garis transek (perpendicular distance). Mengingat tingkat kesulitan medan yang bervariasi untuk membuat transek garis yang lurus, juga dicatat sudut garis transek untuk menghindari bias dalam perhitungan sudut perpendicular.
Persebaran dan kekayaan jenis burung rangkong di setiap petak hutan diperiksa dengan cara mengkombinasikan data yang dikumpulkan di atas dengan data ad-libitum dalam survai ditambah dengan data dari survai kera kecil yang di lakukan secara bersamaan. Kami menggunakan perangkat lunak DISTANCE 4.0 (Buckland et al. 2001) untuk mengestimasi kepadatan di setiap petak hutan.
Kesesuaian habitat dan ketersediaan sumberdaya Dengan menggunakan transek yang sama, di setiap rentang 200 meter dan dengan perimeter 15 meter di setiap sisi garis transek, kami mencatat gangguan terhadap habitat berdasarkan jumlah bekas potongan di pohon akibat manusia dan melihat bukaan tajuk pohon. Kemudian, kami juga menghitung pohon semi-ephyfite ficus (Ficus spp)berusia produktif. Akhirnya, untuk melihat potensi ketersedian pohon sarang, kami melakukan penghitungan pohon dengan diameter setimnhhi dada (dbh) di atas 65 cm (Kinnaird and O’Brien 1999, data tidak dipublikasikan).
Dampak fragmentasi hutan terhadap burung rangkong Berdasarkan data hasil survey dilapangan, dilakukan analisis statistik untuk melihat pengaruh fragmentasi terhadap komunitas burung rangkong, dengan membandingkan karakter masing- masing petak hutan, seperti luas petak hutan, derajat keterisolasian dengan kepadatan, persebaraan rangkong, kesesuaian habitat, dan ketersediaan sumberdaya. Melihat kemampuan jarak tempuh perhari untuk jenis Julang Sulawesi (Suryadi et al. 1998), kami akan melakukan analisis SIG untuk mengkaji hubungan antara petak hutan bagi perspektif burung rangkong.
Hasil
Kondisi tutupan hutan dan penentuan lokasi survai Berdasarkan analisis GIS yang kami lakukan, pada tahun 1980-an, secara keseluruhan teridentifikasi 30 petak hutan dengan berbagai tipe hutan berada di Provinsi Lampung dan sebagian kecil di Provinsi Bengkulu, dengan cakupan luas berkisar antara 453 – 765,186 ha (rerata = 48,064.3, SD=142,808). Namun pada tahun 2002, sebanyak 42.5% diantaranya hilang (Gambar 2), dengan laju hilangnya per tahun antara 14,8 - 19,1 hektar. Fragmentasi hutan pun meningkat, menghasilkan konstelasi menjadi 60 petak hutan dengan luasan antara 93.5 - 146,5ha. Beberapa petak hutan yang masih ada pada tahun 1980an telah hilang pada tahun 2002 (Gambar 3).
Jika dianalisis lebih mendalam dengan membandingkan antara laju hilangnya hutan di dalam dan di luar kawasan taman nasional, kawasan hutan di luar kawasan taman nasional dalam kurun waktu tersebut ternyata lebih cepat mengalami deforestasi. Hasil analisis kami menunjukkan bahwa rata-rata 14 – 18 ha kawasan hutan telah hilang per tahun, dengan kata lain 94% deforestasi di provinsi Lampung terjadi di luar kawasan taman nasional dan hampir semuanya terjadi di hutan dataran rendah (93%). Berbeda dengan di dalam taman nasional, sebanyak 71% deforestasi banyak terjadi di kawasan hutan perbukitan (Tabel 2).
Analisis komponen utama (Principal Component Analysis) terhadap karakter petak-petak hutan tahun 2000, menghasilkan pengelompokan petak hutan menjadi empat ukuran yang berbeda,
yaitu: kecil = < 10 km2, sedang = > 10 -50 km2, besar = > 50 km2 dengan masing-masing dipertimbangkan dekat atau jauh dari kawasan sumber dan jarak beserta jumlah petak hutan tetangga, serta sumber. Dari hasil pengelompokan tersebut, kami melakukan survai pada 18 petak hutan yang mencakup setengah dari petak hutan yang ada dan TNBBS sebagai sumber.
Pemilihan petak di pilih secara proporsional untuk masing-masing kategori luas dan tingkat keterisolasian. Hampir 90% petak hutan yang tersisa di tahun 2000 merupakan kawasan lindung tetap dan terbatas, mulai dari hutan lindung sampai kawasan taman nasional. Hanya satu petak hutan yang berstatus hutan produksi terbatas (Tabel 3).
Sebaran Sejumlah 55 survey transek dibuat dalam kurun waktu pengamatan dalam 18 petak hutan. Total jarak survai yang telah dilalui untuk setiap transek beragam di sesuaikan kategori analisis PCA (Tabel 4). Seluruh sembilan jenis burung rangkong Sumatera teramati selama survai, dan minimal satu spesies teramati di setiap petak hutan (Tabel 5). Di bagian selatan TNBBS (1495
km2) ditemukan 7 jenis burung rangkong dan merupakan lokasi tertinggi untuk kekayaan jenis rangkong. Sedangkan kekayaan jenis burung rangkong paling rendah terdapat di G. Seminung
(8.17 km 2 ). Secara keseluruhan, dari 366 burung rangkong yang teramati, 28% di antaranya teramati secara langsung dan 72% sisanya teramati secara tidak langsung melalui suara call maupun kepakan sayap.
Dengan menggabungkan data transek garis dan data ad-libitum, semua jenis burung rangkong yang berukuran besar dan berdaya jelajah luas ditemukan hampir di semua petak hutan, terkecuali Rangkong gading (Buceros vigil) dan Rangkong papan (Buceros bicornis). Julang emas (Aceros undulatus) dan Rangkong badak (Buceros rhinoceros) ditemukan dengan kisaran 89% – 98% dari seluruh petak hutan, sementara Enggang klihingan (Anorrhinus galeritus) ditemukan di setengah dari petak hutan (56%). Rangkong gading hanya di temukan di 39% dari petak hutan. Untuk jenis Kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris), Kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), Enggang jambul (Aceros comatus) dan Julang dompet (Aceros corrugatus) hanya ditemukan sesekali selama survai dan hanya ditemukan di kawasan sumber (Tabel 5).
Kepadatan burung rangkong Dua jenis rangkong yaitu Kangkareng perut-putih (A. albirostris) dan Kangkareng hitam (A. malayanus ) tidak dimasukan kedalam perhitungan dengan DISTANCE karena kurangnya data. Untuk perkiraan kepadatan empat jenis yang umum ditemukan, yaitu : Rangkong badak, Julang emas, Rangkong gading dan Enggang klihingan kami melakukan pasca-stratifikasi (post- stratified ) dengan menggabungkan semua data dalam DISTANCE terhadap data pengamatan. Perkiraan kepadatan untuk Enggang jambul mungkin memiliki sumber bias yang tinggi mengingat jenis ini hanya ditemukan di beberapa tempat dengan jumlah pengamatan yang sedikit. Untuk Julang dompet perkiraan kepadatan hanya dilakukan untuk Taman Nasional Way Kambas.
Hasil analisis menunjukan perkiraan kepadatan burung rangkong bervariasi di berbagai petak hutan (Tabel 5).
Kesesuaian habitat dan ketersediaan sumberdaya Kesesuaian habitat yang ditunjukkan dengan tingkat gangguan serta ketersediaan sumberdaya burung rangkong sangat bervariasi di setiap petak hutan. Walau demikian, uji statistik regresi berganda (stepwise multiple regression) menunjukkan bahwa di antara petak-petak hutan tersebut tidak ada hubungan antara kepadatan pohon ara, bukaan tajuk, tingkat gangguan secara alami maupun oleh manusia dan ketersediaan pohon sarang (P > 0.47).
Dampak fragmentasi hutan terhadap komunitas burung rangkong Hasil uji regresi berganda (stepwise multiple regresion) dengan menggunakan variabel-variabel hasil survai menunjukkan bahwa jumlah jenis burung rangkong mengalami peningkatan
signifikan seiring dengan semakin luasnya petak hutan (R 2 =0.651, F 2,15 = 12.803, P < 0.0001),sedangkan tingkat keterisolasian petak hutan menunjukan hubungan tidak signifikan
(Gambar 5). Mengingat ukuran contoh yang terlalu kecil untuk melihat dampak fragmentasi terhadap setiap jenis burung rangkong, kami mengkombinasikan kepadatan burung rangkong berdasarkan ukuran tubuh dan sifat teritorial. Lebih lanjut dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu, kelompok burung rangkong berukuran kecil dan bersifat teritorial (Enggang klihingan dan Enggang jambul) dan burung rangkong berukuran besar dan tidak bersifat teritorial (Rangkong badak, Rangkong gading, Rangkong papan, Julang emas, dan Julang dompet (Aceros corrugatus )
Sesuai perkiraan, kelompok burung rangkong satu lebih peka terhadap tingkat fragmentasi dari petak hutan dibandingkan kelompok burung rangkong dua. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya kepadatan secara signifikan seiring dengan semakin besarnya tingkat keterisolasian
terhadap petak hutan (R 2 = 0.305, F 2,15 = 3.281, P = 0.037), sedangkan ukuran petak hutan tidak berdampak terhadap kepadatannya. Sebaliknya untuk kelompok burung rangkong kedua, kepadatannya mengalami penurunan signifikan seiring berkurangnya ukuran petak hutan (R 2 = 0.330, F 2,15 = 3.696, P = 0.034), sedangkan tingkat keterisolasian tidak berpengaruh terhadap kepadatannya.
Menggunakan pendekatan moderat, analisis SIG, dengan mengasumsikan burung rangkong berukuran besar dapat terbang maksimal sejauh 3-6 km, menunjukkan bagaimana sebuah kompleks hutan yang mengalami fragmentasi masih dapat berfungsi sebagai lansekap penting untuk burung rangkong dalam mencari sumberdaya.
Pembahasan
Fragmentasi merupakan salah satu akibat yang umum gangguan habitat dalam ekosistem hutan (Laurance & Bierregaard, 1997). Berbeda dengan daerah lainnya, berkurangnya kawasan hutan secara dramatis di Provinsi Lampung di mulai sejak pemerintahan kolonial Belanda memulai program transmigrasi di awal abad 19 dengan mendatangkan buruh dari Jawa (Benoit, 1989) . Menurut FWI/GWI (2001), program transmigrasi banyak berdampak terhadap laju deforestasi di Indonesia. Berdasarkan Badan Statistik dan Informasi Departemen Kehutanan pada tahun 2002 (data tidak dipublikasikan), Provinsi Lampung menetapkan 779.645 ha kawasan hutan dijadikan kawasan lindung yang terdiri dari 462,030 hektar kawasan konservasi (Taman Nasional) dan 317,615 hektar berstatus Hutan Lindung dan taman hutan rakyat (TAHURA), walau demikian angka tersebut hanyalah luasan secara status di daratan, kenyataannya luas kawasan hutan sudah jauh berkurang.
Meskipun sebagian besar status petak hutan merupakan kawasan Hutan Lindung, namun sepertinya pengelolaan kawasan tersebut tidak terlalu serius, sementara usaha konservasi kawasan hutan banyak di konsentrasikan di kawasan hutan yang terkenal, seperti kawasan Taman Nasional (Schelhas and Greenberg, 1996). Hasil survai kami menemukan bahwa semua petak hutan hutan di luar kawasan taman nasional mengalami ancaman yang cukup mengkhawatirkan, khususnya petak hutan berukuran kecil mengalami tekanan hebat berupa pembalakan hutan dan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian/perkebunan, khususnya kopi. Padahal, petak-petak hutan yang tersisa dengan berbagai ukuran berfungsi sebagai preservasi biologi bagi daerah tersebut (Kattan & Lopez 1996) dan menjaga ekosistem sekitarnya.
Banyaknya hutan dataran rendah yang hilang dalam kurun waktu 1980-2000 di luar kawasan taman nasional mempunyai implikasi yang serius bagi komunitas burung rangkong juga satwa lainnya. Kondisi ini merupakan preseden buruk untuk masa depan kawasan hutan di Provinsi Lampung mengingat hutan dataran rendah mempunyai keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi dibandingkan tipe hutan lainnya (FWI/GWI 2001; Sujatnika et al. 1999), dan sebagai habitat utama burung Rangkong (Kinnaird et al. 1996). Jika situasi ini terus berlanjut, perkiraan kami, antara 2 – 3 tahun kedepan kawasan hutan dataran rendah di luar taman nasional di Provinsi Lampung akan hilang selamanya.
Terpecahnya kawasan hutan menjadi petak-petak kecil terbukti berdampak terhadap sebaran dan kepadatan komunitas burung rangkong di Provinsi Lampung. Kondisi ini terjadi juga untuk Rangkong Sumba dan Kakatua cempaka (Kinnaird et al. 2003). Petak hutan yang berukuran besar relatif menyediakan sumber daya penting yang bisa dimanfaatkan oleh memenuhi kebutuhannya, tersedianya pohon ara sebagai makanan utama dan pohon sarang. Seiring dengan berkurangnya luasan petak hutan, ke tertarikan burung pemakan buah berukuran besar—burung rangkong untuk mengunjunginya menjadi berkurang, hal ini menyebabkan kerugian bagi komunitas pohon buah (Sitompul et al. In press). Murcia (1996) mengemukakan petak hutan berukuran 50-500 hektar memiliki kecenderungan tidak dapat mendukung populasi pohon-pohon tropis.
Shaffer (1981) beranggapan bahwa spesies satwa yang berukuran besar akan cepat punah dibandingkan dengan yang berukuran kecil, namun bagi burung rangkong berukuran tubuh besar terjadi sebaliknya, dengan kemampuan terbang di atas tajuk-tajuk pohon untuk mencari sumber daya yang tersebar di banyak petak-petak hutan dan menghindari daerah terganggu (Wong, 1985). Beberapa pengamatan menemukan beberapa jenis burung rangkong berukuran besar menunjukkan kemampuannya untuk terbang di antara petak hutan (Hadiprakarsa, per obs) dan bahkan diantara celah dua pulau (van Balen, pers comm). Suryadi et al. (1998), memberikan gambaran untuk Julang Sulawesimampu terbang sejauh 10.5 km dalam sehari, namun pencarian tersebut akan menghadapi kendala di saat petak-petak tersebut terlalu jauh untuk di jangkau. Namun lain halnya dengan burung rangkong berukuran kecil dan bersifat teritorial, berkurangnya ukuran petak-petak hutan akan berdampak terhadap daya dukung untuk menampung wilayah teritorialnya yang semakin sempit.
Kawasan hutan yang terfragmentasi dan telah mengalami perubahan tata guna lahan, relatif sulit untuk dipulihkan menjadi hutan kembali, apalagi dengan melihat tingginya kebutuhan lahan oleh masyarakat Provinsi Lampung dan daerah lain di Indonesia. Alcorn (1996), mengemukakan restorasi kawasan terfragmentasi sangat rentan konflik dengan masyarakat sekitarnya. Beberapa pengamatan menunjukan, selain kawasan hutan primer, kawasan penyangga berupa daerah agroforestry , terbukti di manfaatkan oleh Rangkong papan dalam mencari pakan alternatif berupa binatang kecil (Hadiprakarsa, pers. obs.) Hasil analisis SIG, menunjukan petak-petak hutan di Provinsi Lampung masih terhubung satu sama lain. Sementara hanya beberapa kawasan hutan berukuran besar yang tersisa dan di kelola relatif dengan baik, sudah menjadi keharusan dalam pengelolaanya memasukan petak-petak hutan dan praktek tata guna lahan yang ramah Kawasan hutan yang terfragmentasi dan telah mengalami perubahan tata guna lahan, relatif sulit untuk dipulihkan menjadi hutan kembali, apalagi dengan melihat tingginya kebutuhan lahan oleh masyarakat Provinsi Lampung dan daerah lain di Indonesia. Alcorn (1996), mengemukakan restorasi kawasan terfragmentasi sangat rentan konflik dengan masyarakat sekitarnya. Beberapa pengamatan menunjukan, selain kawasan hutan primer, kawasan penyangga berupa daerah agroforestry , terbukti di manfaatkan oleh Rangkong papan dalam mencari pakan alternatif berupa binatang kecil (Hadiprakarsa, pers. obs.) Hasil analisis SIG, menunjukan petak-petak hutan di Provinsi Lampung masih terhubung satu sama lain. Sementara hanya beberapa kawasan hutan berukuran besar yang tersisa dan di kelola relatif dengan baik, sudah menjadi keharusan dalam pengelolaanya memasukan petak-petak hutan dan praktek tata guna lahan yang ramah
Daftar Pustaka
Alcorn, J. B. 1996. Forest use and ownership: patterns, issues and recommendation. Pages 223-257. dalam Schelhas, J. and R. Greenberg. 1996. Forest patches in tropical landscapes. Island Press, Washington
Benoit, D. 1989. Migration and structures of population. dalamTransmigration and Spontaneous Migrations in Indonesia: Propinsi Lampung , ed. Pain, M.. Jakarta: ORSTOM Departemen Transmigrasi. pp. 125-91.
Bierregard Jr., R.O. and V.H. Dale. 1996. Islands in an ever-changing sea: the ecological and socioeconomic dynamics of Amazonian rainforest fragments. Pages 187-204. dalam Schelhas, J. and R. Greenberg. 1996. Forest patches in tropical landscapes . Island Press, Washington.
Bierregard Jr., R.O., C. Gascon, T.E. Lovejoy and R. Mesquita. 2001. The ecology of conservation of a fragmented forest: lessons from Amazonia . New Haven, CT: Yale University Press.
Blake, J. G., and B. A. Loiselle. 1991. Variation in resource abundance affects capture rates of birds in three lowland habitats in Costa Rica. Auk 108,114-130. Buckland, S.T., D.R., Anderson, K.P. Burnham, J.L. Laake, D.L., Borchers and L. Thomas. 2001. Introduction to Distance Sampling: Estimating abundance of biological populations . Oxford University Press, Oxford, UK. FWI/GFW. 2001. The State of the Forest: Indonesia. Forest Watch Indonesia, Bogor, Indonesia and Global Forest Watch, Washington, DC.
Gascon, C., Lovejoy, T. E., Bierregaard Jr, R. O., Malcolm, J. R., Stouffer, P. C., Vasconcelos, H. L., Laurance, W.F., Zimmermand, B., Tocher, M., and Borger, S. 1999. Matrix habitat and species richness in tropical forest remnants. Biological Conservation 91(2-3), 223-229.
Hadiprakarsa, Y. and M.F. Kinnaird. 2004. Foraging Characteristic of an Assemblage of Sumatran Hornbill Species. Bird Conservation International 14: S53-S62.
Holmes, D.A. 2002. The predicted extinction of lowland forest in Indonesia. dalam E. Wickramanayake, E. Dinerstein, C.J. Loucks, D.M. Olson, J. Morrison, J. Lamoreux, M. McKnight, and P. Hedao, editors. Terrestrial ecoregions of the Indo-Pacific: a conservation assessment . Island Press, Washington, D.C. Hal 7-13.
Holbrook, K. M., and T. B. Smith. 2000. Seed dispersal and movement patterns in two species of Ceratogymna hornbills in a West African tropical lowland forest. Oecologia 125:249-257.
Kattan G.H., and Alvarez-López H. 1996. Preservation and management of biodiversity in fragmented landscapes in the colombian Andes. In: Schelhas, J. & Greenberg, R. (eds.) Forest patches in tropical landscapes, pp 3–18 . Island Press, Washington, DC.
Kemp, A. C. 1995. The hornbills. Oxford University Press, Oxford, UK. Kinnaird, M. F., T. G. O’Brien, and J. R. Sinclair. 1998. The role of Sulawesi red-knobbed hornbills Aceros Cassidix
in seed dispersal. Pages 1–336 in P. Poonswad, editor. The Asian hornbills: ecology and conservation. Thai Studies in Biodiversity, Bangkok, Thailand.
Kinnaird, M.F. 1998. Evidence for effective seed dispersal by the Sulawesi Red-knobbed Hornbill, Aceros cassidix . Biotropica 30 , 50-55.
Kinnaird, M.F., and O’Brien, T.G. 1999. Breeding ecology of The Sulawesi Red knobbed Hornbill, Rhyticeros cassidix . Ibis 141, 60-69.
Kinnaird, M.F., T.G. O’Brien, and S. Suryadi. 1996. Population fluctuation in Sulawesi Red-knobbed Hornbills: tracking figs in space and time. Auk 113:431-440.
Leighton, M., and D. R. Leighton. 1984. Vertebrate responses to fruiting seasonality within a Bornean rain forest. Pages 181-196 dalam J. Proctor, S. L. Sutton, T. C. Whitmore, and A. C. Chadwick, editors. Tropical rainforest: ecology and management. Blackwell Scientific Publications.
Laurance, W.F., 1999. Reflections on the tropical deforestation crisis. Biological Conservation 91, 109–117. Laurance, W.F. and Bierregard, R.O. 1997. Tropical Forest Remnants: Ecology, management and conservation of
fragmented communities. University of Chicago Press, Chicago, IL. Laurance, W.F., and H.L. Vasconcelos. 2004. Ecological effects of habitat fragmentation in the tropics. Pages 33-49.
dalam G. Schrith, G.A.B. da Fonseca, C.A. Harvey, C. Gascon, H.L. Veconcelos, and A.N. Izac. , Editors. Agroforestry and biodiversity conservation in tropical landscapes . Island Press, Washington DC.
Murcia, C. 1996. Forest fragmentation and the pollination of Neotropical plants. Pages 19 36 in J.Schelhas, R.Greenberg, editors. Forest patches in tropical landscapes. Island Press, Washington, D.C.
Lynam, A. J. 1997. Rapid decline of small mammals diversity in monsoon evergreen forest fragments in Thailand. Pages 222-240. dalam W. F. Laurance and R. O. Bierregaard, Jr., editors. Tropical forest remnants: ecology, management, and conservation of fragmented communities . The University of Chicago Press, Chicago. O’Brien, T. G., M. F. Kinnaird, P. Jepson, and I. Setiawan. 1998. Effect of forest size and structure on the distribution of Sumba Wreathed Hornbills Aceros everetii. Pages 209-218 in P. Poonswaad, editor. The Asian hornbill; ecology and conservation. Thai studies in biodiversity No.2: 1-336.
Robinson, S..K. 1998. Another threat posed by forest fragmentation: reduced food supply. Auk 115,1-3 Schelhas, J. and Greenberg, R. 1996. Introduction: the value of forest patches. Pages . xv±xxxvi In: J. Schelhas and R. Greenberg, Editors. Forest Patches in Tropical Landscapes . Island Press, Washington DC.
Shaffer, M. L. 1981. Minimum population sizes for species conservation. BioScience 31: 131–134. Sinclair, A. R. E., and M. Norton-Griffiths. 1995. Serengeti: Dynamics of an ecosystem. University of Chicago
Press, Chicago, Illinois. Sitompul, A.F., M.F. Kinnaird, And T.G. O’Brien. Size Matters: The Effects Of Forest Fragmentation And Resource
Availability On A Large Frugivore, The Endemic Sumba Island Hornbill. In press Suryadi, S., M. F. Kinnaird, and T.G. O’Brien. 1998. Home ranges and daily movements of the sulawesi red-
knobbed hornbill Aceros cassidix during the non-breeding season. Pages 159-170. In: P. Poonswaad, editor. The Asian hornbill; ecology and conservation . Thai studies in biodiversity 2,1-336.
Tsuji, A., P. Poonswad And N. Jirawatkavi. 1987. Application of radio tracking to study ranging patterns of hornbills (Bucerotidae) in Thailand. Pages 316-351. dalam Breeding Birds in Captivity. Proceedings of the Delacourllnternational Foundation for the Conservation of Birds Symposium. North Hollywood, U.S.A.
Wilcove, D.S., McLella, C.H. and Dobson, A.P. (1986) Habitat fragmentation in the temperate zone. In: M.E. Soulé, Editor. Conservation Biology. The Science of Scarcity and Diversity. Pages 237±56. Sunderland, Massachusetts: Sinauer Associates.
Wildlife Conservation Society. 2003. Status and threats to Lesser Apes across the Southern Sumatran Landscape. A report to Disney Conservation Fund, Bogor.
Wong, M. 1985. Understorey birds as indicators of regeneration in a patch of selectively logged West Malaysian rainforest. ICBP Technical Publication 4: 249-263.
World Bank, 2001. Indonesia: Environment and Natural Resource Management in the Time of Transition. Washington DC: World Bank.
Sesi Topik Khusus