Konsep Dasar Ilmu Hukum
Bagian 4 Konsep Dasar Ilmu Hukum
Manusia sebagai makhluk biologis, eksistensinya dalam masyarakat dilihat baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi atau orang perorangan maupun sebagai bagian atau anggota dan kelompok.
Orang adalah konstruksi hukum, jadi kalau bermaksud meningkatkan harkat dan martabat manusia, itu sama maksudnya dengan mengorangkan manusia. Di Indonesia setiap manusia dianggap sebagai orang, artinya setiap manusia diakui harkat dan martabatnya sebagai orang, atau secara yuridis diakui sebagai subjek hukum.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat di antara orang yang satu dengan yang lain, saling mengadakan hubungan. Hubungan yang berdasarkan hukum disebut hubungan hukum, yang mempunyai akibat hukum. Dalam hubungan hukum sering terjadi dengan perantaraan benda atau hak. Segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan dapat menjadi sasaran dan suatu hubungan hukum disebut objek hukum. Objek hukum dapat dikuasai oleh subjek hukum. Sebagai objek dan suatu hubungan hukum tentunya objek hukum itu mempunyai nilai dan harga, sehingga perlu ada penentuan siapakah yang berhak atasnya.
Pada Bagian 4 ini capaian mata kuliah yang hendak dicapai adalah perihal Interpretasi Hukum sebagai Cara Memahami Norma Hukum dan Keterkaitan antara Hukum dan Hak.
A. Subjek Hukum
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban. Subjek hukum ini, dalam kamus Ilmu Hukum disebut juga “orang” atau “pendukung hak dan kewajiban”. Subjek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak menurut tata cara yang ditentukan atau dibenarkan hukum.
Adapun subjek hukum (orang) yang dikenal dalam ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum.
1. Manusia (natuurlijk persoon) menurut hukum, adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya, orang sebagai subjek hukum dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah meninggal dunia. Namun, ada pengecualian menurut Pasal 2 KUHPerdata, bahwa bayi yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum, apabila kepentingannya menghendaki (dalam hal menerima pembagian warisan). Apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal dunia, menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan subjek hukum (tidak menerima pembagian warisan).
Akan tetapi, ada golongan manusia yang dianggap tidak cakap bertindak atau melakukan perbuatan hukum, disebut personae miserabile yang mengakibatkan mereka tidak dapat melaksanakan sendiri hak-hak dan kewajibannya. Jadi, untuk menjalankan hak-hak dan kewajibannya, harus diwakili oleh orang tertentu yang ditunjuk, yaitu oleh walinya atau pengampunya (kuratornya). Golongan manusia tersebut adalah sebagai berikut:
a. Anak yang masih di bawah umur atau belum dewasa (belum berusia 21 tahun), dan belum kawin/nikah.
b. Orang dewasa yang berada dibawah pengampuan
(curatele), disebabkan oleh sebagai berikut:
(1) Sakit ingatan: gila, orang dungu, penyakit suka mencuri (kleptomania).
(2) Pemabuk dan pemboros (ketidakcakapannya khusus dalam peralihan hak dibidang harta kekayaan).
(3) Isteri yang tunduk pada Pasal 110 BW/KUH-Perdata. Namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963, setiap isteri sudah dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Isteri yang ditempatkan di bawah pengampuan berdasarkan penetapana hakim yang disebut “kurandus”.
2. Badan hukum (rechts person), suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Badan hukum terbagi atas dua macam, yaitu sebgai berikut:
a. Badan hukum privat, seperti perseroan terbatas (PT), firma, CV, badan koperasi, yayasan, dan sebagainya.
b. Badan hukum publik, seperti negara (mulai dari pemerintahan pusat sampai pemerintahan desa), dan instansi pemerintah.
Keberadaan suatu hukum, menurut teori ilmu hukum ditentukan oleh empat teori yang menjadi syarat suatu badan hukum agar tergolong sebagai subjek hukum, yaitu sebagi berikut:
a. Teori fictie, yaitu badan hukum dianggap sama dengan manusia (orang) sebagai subjek hukum, dan hukum juga memberi hak dan kewajiban.
b. Teori kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaan dari suatu badan hukum mempunyai tujuan tertentu, dan harus b. Teori kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaan dari suatu badan hukum mempunyai tujuan tertentu, dan harus
c. Teori pemilikan bersama, yaitu semua harta kekayaan badan hukum menjadi milik bersama para pengurusnya atau anggotanya.
d. Teori organ, yaitu badan hukum yang harus mempunyai organisasi atau alat untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan, yaitu para pengurus dan asset (modal) yang dimiliki.
Konsekuensi pemisahan antara harta kekayaan badan hukum dengan harta pribadi para pengurus atau anggotanya, adlah sebagai berikut:
a. Penagih pribadi terhadap anggota badan hukum, tidak berhak menuntut harta badan hukum.
b. Para pengurus/anggota tidak boleh secara pribadi menagih piutang badan hukum terhadap pihak ketiga.
c. Tidak dibenarkan kompensasi (ganti kerugian) utang pribadi dari pengurus atau anggota dengan utang badan hukum.
d. Hubungan hukum
perjanjian antara pengurus/anggota dengan badan hukum, disamakan hubungan hukum dengan pihak ketiga.
berupa
e. Jika badan hukum pailit, hanya para kreditur saja yang dapat menuntut harta kekayaan badan hukum.
B. Objek Hukum
Objek hukum adalah “segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum”. Menurut terminologi (istilah) ilmu hukum, objek hukum disebut pula “benda atau barang”, sedangkan “benda atau barang” menurut hukum adalah “segala barang dan hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis”, dan dibedakan atas sebagi berikut:
1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud (Pasal 503 KUH- Perdata).
a. Benda yang berwujud, yaitu segala sesuatu yang dapat dicapai atau dilihat dan diraba oleh panca indera. Contohnya rumah, meja, kuda, pohon kelapa, dsb;
b. Benda tidak berwuju, yaitu segala macam benda yang tidak berwujud, berupa segala macam hak yang melekat pada suatu benda. Contoh, hak cipta, hak atas merek, hak atas tanah, hak atas rumah, dsb.
2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak (Pasal 504 KUH- Perdata).
a. Benda bergerak, yaitu setiap benda yang bergerak, karena: (1) Sifatnya dapat bergerak sendiri, seperti hewan (ayam,
kerbau, kuda, dsb); (2) Dapat dipindahkan, seperti kursi, meja, sepatu, dsb; (3) Benda bergerak karena penetapan atau ketentuan UU,
yaitu hak pakai atas tanah dan rumah, hak sero, hak bunga yang dijanjikan, dsb.
b. Benda tidak bergerak, yaitu setiap benda yang tidak dapat bergerak sendiri atau tidak dapat dipindahkan, karena:
(1) Sifatnya yang tidak bergerak, seperti gunung, kebun, dan apa yang didirikan di atas tanah, termasuk apa yang terkandung didalamnya;
(2) Menurut tujuannya, setiap benda yang dihubungkan dengan benda yang karena sifatnya tidak bergerak, seperti wastafel dikamar mandi, tegel (ubin), alat percetakan yang ditempatkan digudang, dsb;
(3) Penetapan UU, yaitu hak atas benda tidak bergerak dan
kapal yang tonasenya/beratnya 20 M3.
C. Hak dan Kewajiban
Hak Dalam kepustakaan ilmu hukum, dikenal dua teori atau ajaran untuk
menjelaskan keberadaan hak, yaitu sebagai berikut:
1. Belangen Theorie (teori kepentingan) menyatakan bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi. Salah seorang pemganutnya adalah Rudolf von Jhering, yang berpendapat bahwa “hak itu sesuatu yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi ”.
Teori diatas dibantah oleh Utrecht (van Apeldoorn, 1985:221) dengan alasan bahwa “hukum itu memang mempunyai tugas melindungi kepentingan dari yang berhak, tetapi orang tidak boleh mengacaukan antara hak dan kepentingan. Karena Teori diatas dibantah oleh Utrecht (van Apeldoorn, 1985:221) dengan alasan bahwa “hukum itu memang mempunyai tugas melindungi kepentingan dari yang berhak, tetapi orang tidak boleh mengacaukan antara hak dan kepentingan. Karena
2. Wilsmacht Theorie (teori kehendak), yaitu hak adalah kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan.Bernhard Winscheid merupakan salah satu penganutnya yang menyatakan bahwa “hak itu suatu kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib hukum kepada seseorang. Berdasarkan kehendak, seseorang dapat mempunyai rumah, mobil, tanah, dsb ”.
Teori ini dibantah lagi oleh Utrecht (van Apeldoorn, 1985:221) dengan alasan sebagai berikut:
a. Meskipun mereka dibawah kuratele (pengampuan), mereka tetap masih dapat memiliki rumah, mobil, dsb, dan yang menjalankan haknya adalah wali/pengampunya atau kuratornya.
b. Menurut Pasal 13 KUH-Perdata, bahwa tidak ada manusia yang tidak mempunyai hak.
Selain kedua teori diatas, dikenal pula “teori fungsi sosial” yang dikemukakan oleh Leon du Guit (van Apeldoorn, 1985:221) yang mengatakan sebagai berikut:
“Tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai hak. Sebaliknya, didalam masyarakat, bagi manusia hanya ada suatu tugas sosial. Tata tertib hukum tidak didasarkan atas hak kebebasan manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat ”.
Hak dapat timbul pada seseorang (subjek hukum) disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Adanya subjek hukum baru, baik orang maupun badan hukum.
2. Terjadi perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian.
3. Terjadi kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan atau kelalaian orang lain.
4. Terjadi daluarsa (verjaring), biasanya karena acquisitief verjaring yang dapat melahirkan hak bagi seseorang. Sebaliknya, jika terjadi extinctief verjaring , justru menghapuskan hak atau kewajiban seseorang (orang lain).
Lenyapnya atau hapusnya suatu hak menurut hukum dapat disebabkan oleh empat hal berikut:
1. Apabila pemegang hak meninggal dunia dan tidak ada pengganti atau ahli waris yang ditunjuk, baik oleh pemegang hak maupun ditunjuk oleh hukum.
2. Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang lagi. Misalnya, kontrak rumah yang telah habis waktu kontraknya.
3. Telah diterimanya suatu benda yang menjadi objek hak. Misalnya, seseorang yang telah mempunyai hak waris atau hak menagih hutang, tetapi warisan atau piutang itu sendiri telah dierima atau dilunasi, maka hak waris dan hak menagih hutang itu hapus dengan sendirinya.
4. Karena daluarsa (verjaring), misalnya seseorang yang memiliki sebidang tanah yang tidak pernah diurus, dan tanah itu ternyata telah dikuasai oleh orang lain selama lebih 30 tahun, maka hak atas tanah itu menjadi hak orang yang telah mengurus menguasainya selama lebih 30 tahun.
Beberapa pengertian hak yang dikemukakan oleh sejumlah pakar hukum, yaitu:
1. van Apeldoorn (1985:221) menyatakan hak adalah kekuasaan (wewenang) yang oleh hukum diberikan kepada seseorang (atau suatu badan hukum), dan yang menjadi tantangannya adalah kewajiban orang lain (badan hukum lain) untuk mengakui kekuasaan itu.
2. Satjipto Rahardjo (1982:94) menyatakan hak adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang dengan maksud untuk melindungi kepantingan seseorang tersebut.
3. Fitzgeraid (Rahardjo, 1985:95) mengemukakan bahwa suatu hak mempunyai lima ciri, yaitu sebagai berikut:
a. Diletakkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak tersebut. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.
b. Tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Jadi antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c. hak yang ada pada seseorang, mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commision) disebut isi hak.
d. Commision atau Ommision menyangkut sesuatu yang disebut objek hak.
e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
Hak mengandung tiga unsur yang substansial, yaitu sebagai berikut:
1. Unsur perlindungan, misalnya seseorang tidak boleh dianiaya, artinya setiap orang mempunyai hak untuk dilindungi oleh hukum dari penganiayaan.
2. Unsur pengakuan, misalnya ada kewajiban untuk melindungi
A dari penganiayaan, berarti mengakui hak si A untuk tidak dianiaya.
3. Unsur kehendak, misalnya A memiliki sebuah rumah, maka hukum memberinya hak atas rumah tersebut untuk bebas menggunakan kehendaknya atau memakainya dan orang lain wajib menghormatinya dan tidak mengganggu hak si A.
Selain pengertian-pengertian diatas, dalam ilmu hukum dikenal juga istilah misbruik van recht yaitu penyalahgunaan hak yang dianggap terjadi apabila seseorang menggunakan haknya bertentangan dengan tujuan diberikannya hak itu, atau bertentangan dengan tujuan kemasyarakatan.
Kewajiban
Kewajiban sesungguhnya merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan hukum (subjek hukum). Kewajiban dalam teori ilmu hukum menurut Curson (Rahardjo, 1982:100-101) secara umum dibedakan atas lima golongan, sebagai berikut:
1. Kewajiban Mutlak dan Kewajiban Nisbi
a. Kewajiban mutlak, adalah kewajiban yang tidak mempunyai pasangan hak. Misalnya, kewajiban yang tertuju kepada diri sendiri yang umumnya berasal dari kekuasaan.
b. Kewajiban nisbi, adalah kewajiban yang disertai dengan adanya hak. Misalnya, kewajiban pemilik kendaraan membayar pajak, sehingga berhak menggunakan fasilitas jalan raya yang dibuat oleh pemerintah.
2. Kewajiban Publik dan Kewajiban Perdata
a. Kewajiban publik, yaitu kewajiban yang berkorelasi dengan hak-hak publik. Misalnya, kewajiban untuk mematuhi peraturan atau hukum pidana.
b. Kewajiban Perdata, yaitu kewajiban yang berkorelasi dengan hak-hak perdata. Misalnya, kewajiban yang timbul akibat dari suatu perjanjian.
3. Kewajiban Positif dan Kewajiban Negatif
a. Kewajiban positif, yaitu kewajiban yang menghendaki suatu perbuatan positif. Misalnya, kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli.
b. Kewajiban negatif, yaitu kewajiban yang menghendaki untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kewajiban seseorang untuk tidak mengambil atau mengganggu hak milik orang lain.
Lahir atau timbulnya suatu kewajiban, juga disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Karena diperoleh suatu hak yang membebani syarat untuk memenuhi suatu kewajiban. Misalnya, seorang pembeli yang berkewajiban membayar harga barang, juga berhak menerima barang yang telah dilunasi.
2. Berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati.
3. Adanya kesalahan atau kelalaian seseorang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, sehingga ia wajib membayar ganti rugi.
4. Karena telah menikmati hak tertentu yang harus diimbangi dengan kewajiban tertentu pula.
5. Karena daluarsa tertentu yang telah ditentukan oleh hukum atau karena perjanjian tertentu, bahwa daluarsa dapat menimbulkan kewajiban baru. Misalnya, kewajiban membayar denda atas pajak kendaraan bermotor yang lewat waktu atau daluarsa (ditentukan dalam undang-undang).
Hapusnya atau berakhirnya suatu kewajiaban , disebabkan olh hal- hal berikut:
1. Karena meninggalnya orang yang yang mempunyai kewajiban, tanpa ada penggantinya, baik ahli waris maupun orang lain atau badan hukum yang ditunjuk oleh hukum.
2. Masa berlakunya telah habis dan tidak diperpanjang.
3. Kewajiban telah dipenuhi oleh yang bersangkutan.
4. Hak yang telah melahirkan kewajiban telah dihapus.
5. Daluarsa (verjaring) extinctief.
6. Ketentuan undang-undang.
7. Kewajiban telah beralih atau dialihkan kepada orang lain.
8. Terjadi suatu sebab diluar kemampuan manusia, sehingga ia tidak dapat memenuhi kewajiban itu.
D. Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum adalah “semua kejadian atau fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai akibat hukum”. Misalnya, perisiwa jual-beli suatu barang, dimana peristiwa itu menimbulkan akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Satjipto Rahardjo (1986:74) mengartikan peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya lalu diwujudkan.
Peristiwa hukum dibedakan atas dua jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Peristiwa hukum karena perbuatan subjek hukum, yaitu suatu peristiwa hukum yang terjadi karena akibat perbuatan hukum. Misalnya, peristiwa pembuatan surat wasiat, atau peristiwa menghibahkan barang.
2. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum atau peristiwa hukum lainnya, yaitu peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat yang bukan merupakan akibat dari perbuatan subjek hukum. Misalnya, kelahiran seorang bayi, kematian seseorang, dan daluarsa yang terdiri atas dua jenis, yaitu: 2. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum atau peristiwa hukum lainnya, yaitu peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat yang bukan merupakan akibat dari perbuatan subjek hukum. Misalnya, kelahiran seorang bayi, kematian seseorang, dan daluarsa yang terdiri atas dua jenis, yaitu:
b. Daluarsa extinctief, yaitu daluarsa atau lewat waktu yang melenyapkan kewajiban. Misalnya, A seorang satuan pengamanan (satpam) yang menjaga gudang, tetapi tugasnya selama jangka waktu tertentu telah digantikan
oleh B anggota satpam lainnya, maka “selesailah kewajiban” A menjaga keamanan gudang.
Keterkaitan antara Peristiwa Hukum, Subjek dan Fakta Hukum, dan
Perbuatan Melawan Hukum
PERISTIWA HUKUM
PERBUATAN SUBJEK HUKUM FAKTA HUKUM
Perbuatan hukum
mis: Perjanjian
materil
mis: kebakaran
Menurut hukum =
Tidak berkaitan Melaksanakan
Melawan hukum =
Berkaitan
dengan tugas
Perbuatan subjek
dengan
tindakan yang diberikan
hukum
tindakan
yang mempunyai akibat
manusia,
manusia,
mis: orang yang atau dibebankan
hukum yang tidak
mis: lahirnya
dikehendaki
bayi
gila
E. Perbuatan Melawan Hukum ( Onrechmatigedaad)
Rumusan pengertian dan pelaksanaan “Perbuatan melawan hukum” sebelum tahun 1919 dan sesudah tahun 1919 (Arrest Hoge Raad, Belanda) tanggal 19 Desember 1919, adalah sebagai berikut:
1. Sebelum tahun 1919, perbuatan melawan hukum itu terjadi, apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum tertulis (UU) hanya dlam hal:
a. Melanggar hak orang lain yang diakui UU, atau melanggar ketentuan hukum tertulis saja, misalnya, mengambil barang (hak) orang lain tanpa seizin yang berhak (pemilik), merusak barang milik orang lain, dsb.
b. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, misalnya, tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan sebagai kewajiban, atau tidak memberi hak mendahului bagi orang lain di persimpangan jalan, dsb.
2. Sesudah tahun 1919, yaitu setelah keluarnya Arrest (putusan) Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda pada tanggal 31 Desember 1919 memutuskan bahwa suatu perbuatan digolongkan melawan hukum, apabila:
a. Setiap perbuatan atau kealpaan yang menimbulkan pelanggaran terhadap hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
b. melanggar baik terhadap kesusilaan maupun terhadap kesaksamaan yang layak dalam pergaulan masyarakat terhadap orang lain atau benda orang lain.
F. Perbuatan dan Akibat Hukum
Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau tindakan subjek hukum yang mempunyai akibat hukum, dan akibat hukum itu memang dikehendaki oleh subjek hukum. Misalnya, jual-beli, sewa-menyewa, nikah, dsb.
Perbuatan hukum terdiri atas dua jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Perbuatan hukum bersegi satu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja, misalnya pemberian izin kawin, pemberian wasiat, pengakuan anak luar kawin, dsb.
2. Perbuatan hukum bersegi dua, perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, misalnya perjanjian (jual- beli, sewa-menyewa), dsb.
Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum. Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal tiga jenis akibat hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya “suatu keadaan hukum tertentu”. Misalnya: sejak usia 21 tahun, “melahirkan suatu keadaan hukum baru” yaitu dari tidak cakap bertindak dalam hukum menjadi cakap bertindak.
2. Akibat hukum berupa “lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu”. Misalnya: sejak pembeli melunasi/membayar harga barang dan penjual menyerahkan barang yang dijualnya, maka “berubah atau lenyaplah hubungan hukum” jual-beli diantara mereka.
3. Akibat hukum berupa sanksi, yang tidak dikehendaki oleh subjek hukum (perbuatan melawan hukum). Sanksi dari suatu 3. Akibat hukum berupa sanksi, yang tidak dikehendaki oleh subjek hukum (perbuatan melawan hukum). Sanksi dari suatu
a. Sanksi hukum dibidang hukum publik pidana (publik) yang diatur didalam Pasal 10 KUH-Pidana.
(1) Hukuman pokok berupa hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda;
(2) Hukuman tambahan, berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
b. Sanksi hukum dibidang hukum privat (perdata) terdiri atas dua jenis:
(1) Melakukan
melawan hukum (Onrechmatigedaad), diatur dalam Pasal KUH- Perdata adalah suatu perbuatan seseorang yang mengakibatkan kerugian terhadap seseorang yang sebelumnya tidak diperjanjikan, sehingga ia diwajibkan mengganti kerugian.
perbuatan
(2) Melakukan wanprestasi (diatur dalam Pasal 1366 KUH-Perdata), yaitu akibat kelalaian seseorang tidak melaksanakan kewajibannya tepat pada waktunya, atau tidak dilakukan secara layak sesuai perjanjian, sehingga ia dapat dituntut memenuhi kewajibannya bersama keuntungan yang dapat diperoleh lewatnya batas waktu tersebut.
Dalam kepustakaan ilmu hukum, sanksi negative dalam arti luas terdiri atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Pemulihan keadaan, misalnya A meminjam uang pada B, akan tetapi A tidak mau mengembalikan setelah ditagih pada waktunya sesuai perjanjian. Melalui hakim, maka A dipaksa untuk mengembalikan uang yang dipinjam kepada B, sehingga harta milik B menjadi pulih kembali.
2. Pemenuhan keadaan, misalnya A telah membayar sejumlah uang untuk membeli rumah B. ternyata B tidak menyerahkan rumah tersebut, maka hakim atas gugatan A memaksa B untuk menyerahkan rumah yang dibeli tadi atau mengembalikan uang A, sehingga terpenuhi maksud A membeli rumah.
3. Penjatuhan hukuman, misalnya A dengan sengaja dan melawan hukum membunuh B, maka hakim menjatuhkan hukuman atau pidana (mati, penjara atau kurungan) kepada A sesuai ketentuan UU yang berlaku.
Hukuman dalam arti luas (Soerjono Soekanto, 1989) dibedakan atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Hukuman perdata, misalnya ganti kerugian.
2. Hukuman administratif, misalnya pencabutan izin usaha.
3. Hukuman pidana, yang terdiri atas:
a. Siksaan materil atau siksaan riil, misalnya hukuman mati, hukuman penjara, dan hukuman kurungan;
b. Siksaan moral atau siksaan ideal, misalnya pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak-hak tertentu.