Pengantar Ilmu Hukum ILMU HUKUM
BUKU AJAR PENGANTAR ILMU HUKUM
OLEH: Dr. H. Odang Suparman, SH, M.Si. Angger Saloko, S.Pd, M.Pd.
DAFTAR ISI
Bagian 1. Definisi dan Pemahaman Ilmu Hukum Bagian 2. Kemunculan Hukum Sebagai Bidang Ilmu
A. Sejarah Singkat
B. Sumber Penemuan
C. Berbagai Aliran Penemuan Hukum Bagian 3. Ruang Lingkup dan Tujuan
A. Sistem Hukum
B. Asas-asas Hukum
C. Tujuan
D. Klasifikasi Hukum Bagian 4. Konsep Dasar Ilmu Hukum
A. Subjek Hukum
B. Objek Hukum
C. Hak dan Kewajiban
D. Peristiwa Hukum
E. Perbuatan Melawan Hukum
F. Akibat Hukum Bagian 5. Keadilan dan Kekuasaan dalam Ilmu Hukum
A. Konsep Keadilan
B. Konsep Kekuasaan
C. Sanksi sebagai Akibat Hukum
D. Pengecualiaan Kaidah Hukum
ii
Bagian 6. Kedudukan Ilmu Hukum di Masyarakat
A. Manusia dan Masyarakat
B. Kaidah Sosial dalam Pandangan Hukum
C. Kaidah Hukum dalam Kepentingan Manusia
D. Relevansi Kaidah Hukum dengan Kaidah Lainnya
iii
Bagian 1 Definisi dan Pemahaman
Pengertian atau konsep sebenarnya merupakan abstraksi dan apa yang konkrit, individual dan dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Dengan dirumuskan atau dijadikan pengertian atau konsep hukum, maka perumusan dan ruang lingkupnya menjadi jelas dan tegas. Pengertian hukum sebenamya merupakan pengertian ilmiah dan mempunyai batas yang tegas, sehingga berbeda dengan pengertian keseharihan. Kalau pengertian hukum tersebut berasal dan pengertian sehari-hari, misalnya yang digunakan dalam undang- undang atau dalam putusan hakim, maka pengertian tersebut akan memperoleh batasan yang tegas.
Olehkarenanya pada awal Bagian 1 Buku Ajar ini, capaian mata kuliah yang hendak dicapai adalah perihal Tujuan Kurikuler Mata Kuliah Ilmu Hukum dan Ilmu Hukum sebagai Ilmu Tentang Kenyataan.
Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal pikiran oleh Tuhan Yang Maha Esa menjadikannya sebagai pembeda. Ketika manusia memikirkan hal yang sama dengan lainnya, tentu akan terdapat berbagai persepsi masing-masing sesuai sudut pandang pemikirannya. Jika kita membahas suatu definisi ilmu hukum, dapat dianalogikan saat kita bertanya bahwa apakah ilmu hukum?. Jawaban dari pertanyaan tersebut akan didapat seberapa banyak manusia yang ditanyakan dari pertanyaan tersebut, ini sejalan dengan kata bijak asing yaitu quot homines, tot sententiae berarti sebanyak-banyaknya jumlah manusia maka sebanyak itu pula definisinya. Berdasar dari realita begitu banyaknya orang dalam mendefinisikan ilmu hukum, beberapa ilmuan yang mempelajari ilmu hukum justru merasa tidak mampu untuk mendefinisikan ilmu hukum berdasarkan persepsi dirinya. Van Apeldoorn adalah salah satu Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal pikiran oleh Tuhan Yang Maha Esa menjadikannya sebagai pembeda. Ketika manusia memikirkan hal yang sama dengan lainnya, tentu akan terdapat berbagai persepsi masing-masing sesuai sudut pandang pemikirannya. Jika kita membahas suatu definisi ilmu hukum, dapat dianalogikan saat kita bertanya bahwa apakah ilmu hukum?. Jawaban dari pertanyaan tersebut akan didapat seberapa banyak manusia yang ditanyakan dari pertanyaan tersebut, ini sejalan dengan kata bijak asing yaitu quot homines, tot sententiae berarti sebanyak-banyaknya jumlah manusia maka sebanyak itu pula definisinya. Berdasar dari realita begitu banyaknya orang dalam mendefinisikan ilmu hukum, beberapa ilmuan yang mempelajari ilmu hukum justru merasa tidak mampu untuk mendefinisikan ilmu hukum berdasarkan persepsi dirinya. Van Apeldoorn adalah salah satu
Belum adanya kesepakatan para ilmuwan hukum dalam mendefinisikan ilmu hukum, disebabkan oleh dua faktor pertama adalah faktor internal karena adanya hal-hal/kondisi-kondisi yang terdapat dalam diri/lingkup hukum dimana hukum itu bersifat abstrak. Artinya, hukum memiliki sifat yang abstrak, walaupun dalam aplikasinya konkret, seperti dalam mekanisme peradilan dan pelaksanaan putusan hakim. Namun, perwujudan hukum di pengadilan itu merupakan salah satu bentuk pelaksanaan hukum, apabila terjadi perkara pidana/perdata atau terjadi konflik dalam masyarakat. Hukum jauh lebih luas dan sifatnya abstrak jika dibandingkan dengan proses peradilan. Sebagai ilustrasi, meja (benda konkret). Misalnya, Si Dadap mungkin akan mengatakan bahwa meja itu berkaki empat dan digunakan untuk menyimpan buku. Si Waru menyebutnya tempat untuk makan, sedangkan Si Li Chin mengatakan, meja itu digunakan untuk belajar.
Ketiga sudut pandang yang berbeda pada meja, menunjukkan bahwa benda yang konkret saja begitu sulit menyatukan persepsinya, apalagi hukum yang sifatnya abstrak. Sehingga pantas apabila para ilmuwan hukum mempunyai pandangan yang berbeda dalam merumuskan definisi hukum. Hal ini menunjukkan, bahwa perbedaan sudut pandang terhadap hukum yang bersifat abstrak, menjadi salah satu penyebab hukum sulit didefinisikan.
Gambar 1.1. Perbedaan sudut pandang akan berbeda pula suatu penyimpulannya
(sumber:http://www.dennysiregar.com)
Kemudian hukum mengatur hampir sebagian besar kehidupan manusia, baik ketika masih dalam kandungan, sedang hidup, maupun setelah meninggal dunia. Misalnya, ketika manusia masih dalam kandungan ibunya, ia sudah diberi hak oleh hukum untuk memperoleh warisan. Sedang hidupnya, manusia diberi hak oleh hukum dan orang lain diberi kewajiban untuk menghormati haknya, dan setelah meninggal dunia pun, manusia masih dipersoalkan oleh hukum mengenai masalah warisan yang ditinggalkannya serta utang-piutangnya saat masih hidup.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kesulitan dalam mendefinisikan hukum, karena suatu definisi harus singkat, jelas, tegas, dan sistematis serta merangkum seluruh substansi hukum. Kesulitan ini disebabkan oleh cakupan hukum yang begitu luas dan komprehensif di dalam kehidupan sosial manusia, sehingga perlu mengetahui, memahami serta mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut.
Kemudian faktor eksternal yaitu adanya hal-hal/kondisi yang mempengaruhi kesulitan mendefinisikan hukum yang ada di luar hukum, karena pertama faktor bahasa, yakni adanya kesulitan membahasakan simbol atau lambang-lambang hukum yang disebabkan beragamnya bahasa-bahasa di dunia. Artinya, keaneka-ragaman bahasa di dunia menyebabkan kesulitan untuk melambangkan simbol-simbol hukum dalam bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami oleh manusia secara universal. Hal tersebut menunjukkan, bahwa faktor bahasa menjadi salah satu penyebab hukum didefinisikan yang dapat dimengerti oleh semua bangsa di dunia. Penyimbolan hukum dalam satu kata oleh satu bahasa, kemungkinan akan lain maknanya jika diartikan ke dalam bahasa lain, begitu pula sebaliknya.
Kesulitan-kesulitan dalam mendefinisikan hukum dari faktor bahasa menurut Curzon (1979) memiliki sifat khas sebagai berikut: (1) penggunaan kata-kata yang sangat dibatasi, (2) Penggunaan kata-kata dalam konteks yang sangat spesifik, (3) Kecenderungan setiap orang untuk memberi arti yang berbeda terhadap suatu hal. Adanya perbedaan istilah yang digunakan dalam ilmu hukum dengan arti kata istilah itu sendiri, termasuk perbedaan penggunaannya dalam pergaulan manusia sehari-hari, (4) Sejarah perubahan dalam konteks hukum itu sendiri.
Karena suatu definisi harus jelas dan tegas serta bermanfaat bagi tujuan yang hendak dicapai sehingga bahasa hukum dalam definisi tidak berarti ganda. Misalnya, kata “hewan” menurut bahasa sehari-hari adalah semua jenis binatang, baik binatang ternak maupun unggas, dsb. Sedangkan, pengertian “hewan” menurut hukum (KUHPidana) hanyalah binatang ternak seperti: sapi, kerbau, domba, kambing, dsb. Kemudian Belum adanya kesepakatan para ilmuwan hukum dalam menetapkan Karena suatu definisi harus jelas dan tegas serta bermanfaat bagi tujuan yang hendak dicapai sehingga bahasa hukum dalam definisi tidak berarti ganda. Misalnya, kata “hewan” menurut bahasa sehari-hari adalah semua jenis binatang, baik binatang ternak maupun unggas, dsb. Sedangkan, pengertian “hewan” menurut hukum (KUHPidana) hanyalah binatang ternak seperti: sapi, kerbau, domba, kambing, dsb. Kemudian Belum adanya kesepakatan para ilmuwan hukum dalam menetapkan
Gambar 1.2.
L.J. van Apeldoorn salah satu ahli hukum yang merasa sulit mendefinisikan ilmu
hukum itu sendiri
(sumber:http://www.biografischpotaal.nl)
Secara bahasa istilah ilmu hukum dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah jurisprudence. Kata tersebut juga mirip yang ditemui dalam bahasa Perancis dan dalam bahasa Belanda jurisprudentie, namun Secara bahasa istilah ilmu hukum dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah jurisprudence. Kata tersebut juga mirip yang ditemui dalam bahasa Perancis dan dalam bahasa Belanda jurisprudentie, namun
Persepsi hukum dalam arti ilmu pengetahuan, secara garis besar mengkaji tentang kaidah-kaidah suatu bidang keilmuan. Tentunya suatu ilmu adalah merupakan salah satu intuisi pencari kebenaran yang mengacu pada metode ilmia secara rasional, sistematis, empiris. Rasional berarti cakupannya sesuatu hal yang masuk akal dan dapat dijangkau daya talar manusia umumnya. Sistematis berarti pada prosesnya melalui berbagai tahapan-tahapan terkonsep dan terarah. Kemudian empris berarti prosesnya dapat diamati dan dimaknai menggunakan panca indera. Dengan demikian hukum dapat dinyatakan sebagai suatu bidang keilmuan khusus karena telah memenuhi kaidah-kaidah keilmuan.
Persepsi hukum dalam arti disiplin, adalah setiap pengkajian berbagai fenomena hukum, tidak terlepas kaitannya dengan disiplin ilmua lainnya. Artinya ilmu hukum dapat menjadi suatu bagian dari berbagai kajian keilmuan lainnya.
Persepsi hukum dalam arti kaidah, merupakan suatu ketentuan yang menjadi konsensus peraturan hidup dimana manusia itu ada dan saling berinteraksi. Kaidahpun dapat diartikan sebagai norma yang berlaku dan harus ditaati bersama agar terciptanya suatu tatanan masyarakat yang ideal. Tidak heran jika nantinya menimbulkan suatu berbagai permasalahan baru karena semakin berkembangnya pola hidup manusia, kesesuaian antara norma dengan realita yang nyata harus diidentifikasi bersama agar permasalahan tersebut dapat diselesaikan sesuai kaidah.
Persepsi hukum sebagai tata hukum, berarti adanya proses pembentukan dan pemberlakuan hukum dalam ruang lingkup tertentu. Olehukumarenanya dikenal pula istilah hukum positif, sehingga setalah adanya proses pemahaman dan penguasaan hukum sebagai tata hukum ini dapat menentukan suatu keputusan sesuai dengan tatanan mekanisme yang telah dibentuk.
Persepsi hukum berwujud petugas hukum, sebagai pelaksana dan penjamin keberlangsungan hukum yang berlaku di masyarakat. Ketika antar manusia membentuk kelompok-kelompok maka disana terjadilah suatu interaksi. Agar kelompok-kelompok tersebut dapat bertahan dan saling memberikan manfaat maka timbul suatu kesepakatan bersama yang menjadi acuan dalam keberlangsungan hidupnya. Seperti ungkapan Cicero (106-43 SM) Ubi societas ibi ius, bahwa dimana ada masyarakat disitulah hukum ada. Manusia dalam kelompok-kelompok tersebut akan mendistribusikan peranan tertentu agar hukum itu berlaku.
Persepsi hukum sebagai keputusan penguasa, masih erat berkaitan dengan konsep Cicero diatas karena dalam kelompok-kelompok manusia terdapat sosok yang menjadi panutan dan dipercaya dapat mengurusi berbagai kepentingan kelompoknya. Pendistribusian peranan yang telah dilakukan, akan menghadapi berbagai permasalahan dan diharuskan mampu menyelesaikannya dengan mengambil suatu keputusan dan tindakan.
Persepsi hukum dalam suatu rangkaian proses pemerintahan, menjamin kesesuaian mekanisme yang telah dibentuk oleh tatanan suatu masyarakat. Penekanan terhadap bukti hukum sebagai acuan dalam pengambilan suatu keputusan dan tindakan, diharapkan ketertiban akan Persepsi hukum dalam suatu rangkaian proses pemerintahan, menjamin kesesuaian mekanisme yang telah dibentuk oleh tatanan suatu masyarakat. Penekanan terhadap bukti hukum sebagai acuan dalam pengambilan suatu keputusan dan tindakan, diharapkan ketertiban akan
Persepsi hukum adalah perilaku yang teratur atau konsisten, berkaitan pula dengan apa yang dijelaskan pada definisi hukum sebelumnya bahwa suatu proses hukum dialami tidak hanya sekali, berbagai permasalahan akan datang silih berganti dengan kesamaan maupun perbedaan. Respon yang dilakukan terhadap masalah tersebut merupakan perilaku untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Konsistensi perilaku adalah sebagai upaya keputusan yang diambil dengan harapan keberhasilan yang telah dicapai sebelumnya dapat terwujud kembali.
Persepsi hukum sebagai jalinan nilai-nilai, terwujudnya tatanan hukum yang secara obyektif berlaku dan diterima oleh masyarakat perlu diseimbangkan melalui sudut pandang hukum dari subyektifitas dimana setiap individu-individu merasakannya. Nilai-nilai tersebut akan muncul berupa suatu kepentingan pribadi dan kepentingan bersama (umum) dan kemudian terjadi persinggungan keduanya. Hal yang akan terjadi bisa berbagai kemungkinan, tergantung kepentingan manakah yang lebih dominan atau pada saat keduanya seimbang dan searah tujuannya.
Pemberian istilah Pengantar Ilmu Hukum (PIH) pada hakikatnya mengandung pemahaman dan makna (Sanusi, 1977:3), sebagai suatu matakuliah dasar, suatu basis-leervak . Matakuliah PIH adalah pengetahuan ringkas dan sistematis tentang ilmu hukum secara keseluruhan untuk mengantar menuju pemehaman cabang-cabang hukum lainnya, seperti ilmu hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum internasional, dan sebagainya.
Objek PIH: Hukum dalam fenomena kehidupan manusia baik secara universal, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Di negara yang menganut sistem hukum Anglo Sakson, ilmu hukum dikenal dengan istilah:
1. jurisprudence yang berarti ilmu hukum, dan
2. legal theory yang di Indonesia diistilahkan dengan teori hukum. Hukum sebagai ilmu (ilmu hukum), secara umum terfokus pada tiga
bidang atau objek kajian, yaitu:
1. Ilmu tentang kaidah hukum (normwissenschaft) atau ilmu hukum normatif, mempelajari dan menganalisis peraturan hukum (UU) secara ”das sollen” atau apa yang seharusnya dilakukan dan seharusnya tidak boleh dilakukan. Misalnya, ilmu hukum pidana, ilmu hukum perdata, ilmu hukum tata negara, dan sebagainya.
2. Ilmu tentang sosiologi hukum atau kenyataan hukum (tatsachenwissenschaft), mempelajari dan menganalisis hukum dalam kenyataan (law of fact) atau ”sein”, dan apakan hukum mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, demikian pula sebaliknya. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian tentang benar salahnya suatu peristiwa atu gejala hukum yang terjadi, dan hanya menggambarkannya sebagaimana kenyataannya.
3. Ilmu tentang pengertian pokok hukum (begriffenwissenschaft) mempelajari dan menganalisis pengertian-pengertian dasar hukum, asas hukum, sistem hukum, dan sebagainya.
Kemudian dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal beberapa metode pendekatan yang dapat dipergunakan dlam mempelajhari hukum sebagai ilmu, yaitu:
1. Metode idealis, yaitu metode yang berpangkal dari suatu pandangan bahwa hukum itu merupakan perwujudan dari nilai- nilai tertentu. Metode ini senantiasa mempertanyakan dan menguji keberadaan hukum dalam mewujudkan nilai-nilai dasar dari tujuan hukum.
2. metode normatif-analisis, yaitu metode yang memandang hukum sebagai sistem aturan yang abstrak. Hukum silihat sebagai institusi yang benar-benar otonom, dibicarakan sebagai subjek tersendiri, dan terlepas dari pengaruh lain.
3. metode sosiologis, yaitu metode yang berasumsi dari pandangan bahwa humum merupakan instrumen untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Hukum dipandang sebagai fenomena sosial, sedangkan faktor kemasyarakatan mempengaruhi pembentukan, perkembangan, realita, serta efektifitas hukum dalam gerak kehidupan masyarakat.
4. metode historis, yaitu metode yang mempelajari hukum berdasarkan sejarah hukum itu sendiri. Hukum dianalisis dari kajian bagaimana perkembangan hukum dan pranatanya yang pernah berlaku pada masa lampau, serta bagaimana perbedaannya dengan hukum pada masa kini.
5. metode sistematis, yaitu metode yang mempelajari hukum dengan memandangnya sebagai suatu sistem yang membawahi sub-sub sistem, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum acara, hukum tata negara, dan sebagainya, sebagai suatu sistem yang saling terkait.
6. metode komparatif, yaitu metode yang mempelajari hukum dengan membandingkan antara tata hukum yang berlaku di suatu negara tertentu dengan tata hukum yang berlaku di negara lain, baik hukum pada masa lalu maupun hukum yang berlaku pada masa kini. Berdasarkan pendekatan metode komparatif atau perbandingan, diketahui perbedaan dan persamaan hukum yang berlaku pada negara-negara yang dikaji.
Masa kehidupan manusia di dunia ini, tidak dapat dipisahkan dari persinggungan antarindividu. Setiap individu tidak dapat hidup sendiri- sendiri, tanpa berhubungan dengan individu lainnya dalam kehidupan sosialnya. Hubungan antar sesama manusia ini sudah tercipta semenjak dilahirkan, walaupun masih terbatas dalam lingkungan keluarga. Dalam kehidupan berkelompok/bermasyarakat inilah, setiap individu mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang bertentangan dengan kepentingan individu lainnya. Untuk menjaga kepentingan tersebut, agar tidak terjadi benturan yang dapat menimbulkan pertentangan, manusia menyepakati suatu Tatanan Hidup bermasyarakat yang disebut Hukum atau Tata Tertib, untuk mengatur keutuhan dan kelangsungan hidup umat manusia.
Hukum atau Tata Tertib itu dapat berwujud kumpulan kaidah- kaiadah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan, hukum itu lahir, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat yang pada umumnya mengatur bagaimana manusia berhubunganungan satu dengan yang lainnya, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, sehingga hukum dilihat sebagai salah satu institusi sosial dalam masyarakat. Selain itu, keberadaan hukum juga memiliki kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas, terutama dalam Hukum atau Tata Tertib itu dapat berwujud kumpulan kaidah- kaiadah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan, hukum itu lahir, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat yang pada umumnya mengatur bagaimana manusia berhubunganungan satu dengan yang lainnya, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, sehingga hukum dilihat sebagai salah satu institusi sosial dalam masyarakat. Selain itu, keberadaan hukum juga memiliki kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas, terutama dalam
Supaya lebih paham, apa hukum itu? tentunya perlu mengetahui pengertian/definisi hukum itu sendiri. Untuk mengetahui batasan/definisi hukum, merupakan pencerminan dari keingintahuan manusia untuk mempelajari, mengetahui, dan memahami hukum dalam mengarungi cakrawala hukum yang begitu sangat luas cakupannya, termasuk segala aspek yang melingkupinya. Pandangan dan penilaian tahap hukum dalam masyarakat selama ini cukup banyak seperti terlihat dengan beragamnya definisi hukum yang dikemukakan oleh para ahli hukum.
Pandangan dan penafsiran yang dilakukan, baik oleh para ahli hukum maupun oleh warga masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu penyebab kesulitan membuat suatu definisi hukum yang lengkap, singkat, dan sistematis yang mampu menggambarkan substansi nilai-nilai dari hukum secara menyeluruh. Sampai hari ini belum ada suatu rumusan/definisi hukum yang disepakati oleh para ilmuwan hukum. Hal tersebut perlu dipahami, mengingat adanya kesulitan mendefinisikan hukum, baik oleh kondisi yang ada di dalam hukum maupun yang ada di luar hukum itu sendiri.
Definisi hukum memegang peranan penting dalam mempelajari hukum lebih mendalam. Walaupun selama ini belum ada suatu definisi hukum yang lengkap dan tuntas yang dapat diterima oleh semua kalangan, bukan berarti tidak ada definisi hukum. Begitu banyak definisi hukum dikemukakan oleh ilmuwan hukum yang tentu saja sangat berguna dalam hal:
1. Berguna sebagai pegangan awal bagi orang yang ingin mempelajari hukum, khususnya bagi kalangan pemula;
2. Berguna bagi kalangan yang ingin lebih jauh memperdalam teori hukum, ilmu hukum, fuilsafat hukum, dan sebagainya.
Arnold salah seorang sosiolog, mengemukakan, dalam kenyataannya hukum memang tidak akan pernah dapat didefinisikan secara lengkap, jelas, dan tegas. Namun, Arnold juga menyadari bahwa bagaimana pun para juris tetap terus berjuang mencari bagaimana hukum didefinisikan, sebab definisi hukum merupakanakan bagian yang substansial dalam memberi arti keberadaan hukum sebagai ilmu. Hukum merupakan sesuatu yang rasional dan dimungkinkan untuk dibuatkan definisi sebagai penghormatan para juris terhadap eksistensi hukum.
Memahami pandangan Arnold dan Immanuel Kant, bukan berarti berhentinya ilmuwan hukum mencari dan menemukan rumusan yang kemungkinan dapat merangkum seluruh aspek yang melingkupi hukum, walaupun sejumlah definisi hukum yang dikemukan oleh para pakar hukum tersebut belum disepakati bersama. Oleh karena itu, perlu ada definisi hukum sebagai pegangan untuk mengetahui dan memahami hukum baik secara praktis maupun secara formal.
Beberapa pemahaman hukum berdasarkan bagian-bagian tertentu diantaranya :
Paham Hukum Alam
1. Aristoteles, hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.
2. Grotius, hukum adalah peraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan pada peraturan hukum tentang kemerdekaan.
Paham Antropologis
1. Schapera, hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan.
2. Paul Bohannan, hukum adalah merupakan himpunan kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum.
3. Pospisil, hukum adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatu otoritas pengendalian.
Paham Historis
1. Karl von Savigny, hukum adalah aturan yang terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat.
2. Marxist, hukum adalah suatu pencerminan dari hubungan umum ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu.
Paham Positivis dan Dogmatis
1. John Austin, melihat hukum sebagai seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakanakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi. Kelemahan pandangan John Austin adalah sebagai berikut.
a. Hukum dilihat semata-mata sebagai kaidah bersanksi yang dibuat dan diberlakukan oleh negara, padahal di dalam kenyataannya kaidah tersebut belum tentu berlaku.
b. Undang-undang yang dibuat oleh negara, hanya salah satu sumber-sumber hukum.
c. Hanya warga masyarakat yang dilihat sebagai subjek hukum, padahal dalam kenyataannya dikenal pula adanya hukum tata negara, hukum administrasi negara dan sebagainya.
2. Hans Kelsen, hukum adalah suatu perintah terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi- sanksi.
3. Paul Scholten, hukum adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak untuk dilakukan yang bersifat perintah.
4. Van Kan, hukum adalah keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
Paham Sosiologis
1. Roscoe Pound, bahwa hukum itu dibedakan dalam dua arti:
a. Hukum dalam arti sebagai tata hukum, mempunyai pokok bahasan,
(1) Hubungan antara manusia dengan individu lainnya; (2) Tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu
lainnya.
b. Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif. Pandangan Roscoe Pound tergolong dalam aliran Sosiologis dan Realis.
2. Eugen Ehrlich, seorang pakar hukum Jerman, mengatakan hukum adalah sesuatu yang berkaitan dengan fungsi kemasyarakatan dan memandang sumber hukum hanya dari legal history and jurisparaudence dan living law (hukum yang hidup dalam masyarakat).
3. Bellefroid, mengatakan bahwa hukum adalah kaidah hukum yang berlaku disuatu masyarakat yang mengatur tata tertib masyarakat dan disadarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu.
Paham Realis
1. Holmes, seorang hakim di Amerika Serikat, hukum adalah apa yang dikerjakan dan diputuskan oleh pengadilan.
2. Llewellyn, mengatakan bahwa hukum adalah apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri.
3. Salmond, hukum adalah kumpulan asas-asas yang diakui dan ditetapkan oleh negara di dalam pengadilan.
Berbagai persepsi hukum masih banyak lagi tentunya dari setiap manusia, sehingga dapat disimpulkan bahwa pijakan awal dalam mengkaji definisi ilmu hukum adalah terlebih dahulu memahami situasi dan kondisi keberadaan hukum itu sendiri.
Bagian 2 Kemunculan Hukum Sebagai Bidang Ilmu
Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat, dengan tujuan mencipta-kan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera. Sebagai alat perlengkapan manusia dalam hidup bermasyarakat, hukum berasal dan berakar dan masyarakat itu sendiri. Bahan atau materi hukum berasal atau ada dalam kehidupan masyarakat. Hukum timbul melalui proses sosial atau tercipta karena memang sengaja dibentuk oleh pihak yang mempunyai kewenangan atau mendapatkan pembenaran dan masyarakat yang bersangkutan.
Untuk mendapatkan bahan dalam pembentukan peraturan perundangundangan atau untuk mengetahui dan menemukan hukum, serta selanjutnya dapat menerapkannya dalam kasus konkrit, kita harus menemukan sumber hukum. Di samping sumber hukum sebagai tempat untuk menemukan atau menggali hukum, juga sebagai dasar untuk mengikatnya hukum.
Dalam usaha mengetahui, memahami dan menghayati sumber hukum, perlu dipelajari tentang: Sejarah Singkat, Sumber Penemuan dan Berbagai Aliran Penemuan Hukum. Pada Bagian 2 Buku Ajar ini akan membahas berkenaan dengan capaian mata kuliah tentang Sejarah Perkembangan Hukum dan Mazhab-mazhab dalam Hukum.
A. Sejarah Singkat
Kemunculan hukum sebagai suatu bidang keilmuan sangat identik dengan perkembangan masyarakat Eropa. Meskipun di belahan dunia lain ditemukan pula berbagai peradaban yang lebih dahulu ada namun tidak menjadikan asal mula hukum sebagai suatu ilmu itu lahir. Tepatnya di wilayah Yunani, sejak masa peradaban kuno di sana sudah tersusun suatu sistem pemerintahan yang sangat baik dan dikenal masa emasnya suatu Kemunculan hukum sebagai suatu bidang keilmuan sangat identik dengan perkembangan masyarakat Eropa. Meskipun di belahan dunia lain ditemukan pula berbagai peradaban yang lebih dahulu ada namun tidak menjadikan asal mula hukum sebagai suatu ilmu itu lahir. Tepatnya di wilayah Yunani, sejak masa peradaban kuno di sana sudah tersusun suatu sistem pemerintahan yang sangat baik dan dikenal masa emasnya suatu
Polis-polis tersebut tidaklah sebesar Negara Indonesia atau Negara pada umumnya, luasnya sama seperti kota pada umumnya dengan penduduk yang tidak terlalu banyak. Sehingga para warganya dapat berpartisipasi secara langsung terhadap berbagai progam-program pemerintahannya. Tidak heran apabila sejak dahulu orang Yunani dikenal mampu mengatasi berbagai persoalan masyarakat yang hadir di setiap kurun waktu.
Seorang ahli, Surya Prakash Sinha dalam Marzuki(2008) mengungkapkan bahwa terdapat empat tahap perkembangan pemikiran masyarakat Polis. Pertama adalah pemikiran herois yang mendasarkan pemikirannya pada pengalaman yang konkret kemudian padankan dengan pemikiran imajinatif terhadap suatu mitos. Kedua adalah pemikiran visioner yang muncul saat proses pembentukan polis dengan harapan terciptanya kondisi yang ideal serta sesuai konsensus bersama, dengan memanfaatkan panca indra sebagai fitrah manusia. Ketiga adalah pemikiran teoretis yang menggunakan metode analitis dalam memandang suatu hal tidak hanya sebatas yang nampak, namun lebih mengakar pada yang tidak nampak. Dan terakhir adalah pemikiran rasional yakni mengkonsepkan suatu logos melalui proses pencarian kebenaran melalui cara pemikiran dan interaksi antar pikiran melalui diskusi terhadap isu yang ada.
Gam ambar 2.1. Ilustrasi tatanan kehidupan m n masyarakat Negara Kota (Polis)
(sumber:http://www.s w.slideshare.net/bbednars)
Dengan adanya tahapan pe perkembangan pemikiran masyarakat Negara kota tersebut menjadikan ko kondisi peradaban yang semakin maju. Kehidupan sosial seperti mus musyawarah, pengambilan keputusan, kemampuan menentukan pilihan, te n, telah terwujud pada masanya. Namun dengan adanya kemampuan individu individu yang matang justru menjadikan munculnya sifat individualisme sme sebagai konsekuensi perkembangan peradaban tersebut. Konsekuensi nsi lainnya yang didapat adalah perlu dibentuknya rule of law agar sifat individu individualisme tersebut dapat terkontrol.
Peradaban lain di Eropa selain lain polisnya Yunani, terdapat peradaban Sparta, Makedonia, dan yang besar sar adalah peradaban Romawi. Invansi ke berbagai wilayah menjadikan Roma Romawi bertemu masyarakat polis dengan sistem tatanan pemerintahan yang ng ideal. Maka tak heran berbagai ahli filsuf Eropa berkiblat ke Yunani. unani. Hukum Romawi yang terkenal merupakan perwujudan dari prinsip insip pemerintahan Negara kota. Prinsip perjanjian masyarakat yang denga gan sukarela adalah komponen wajib dalam suatu pemerintah yang legal.
Gam ambar 2.2. Kekuatan pasukan Romawi yan yang menginvasi keberbagai tempat
(sumber http://ww //www.wordpress.com)
Pada masa kaisar Iustianius hu hukum romawi di kodifikasi bersumber pada Corpus Iuris Civilis, ini yang ke g kemudian menjadi acuan hukum Eropa secara keseluruhan, mengingat jika jika terus mempertahankan hukum lokal tidak akan menjadi satu kesatuan ba bangsa. Kemudian langkah selanjutnya pada tahun 1087 di Bologna-Italia, lia, mulailah hukum berkembang menjadi suatu pengetahuan yang dipelajari se i secara sistematis. Pertama kalina kajian hukum dijauhkan dari campuran k kajian politik maupun religi. Berbagai aturan-aturan, putusan-putusan, serta serta berbagai perselisihan yang timbul di masyarakat diplejari para ahli ma maupun masyarakat umum. Sehingga terwujudnya proses pendistribusia ibusian peranan dalam menjamin keberlangsungan hukum di masyara arakat. Berbagai peran baru yang muncul diantaranya konsultan sebagai pe penasehat keilmuan, hakim sebagai pemegang suatu putusan, advok okat sebagai pejuang dan pembela masyarakat, perancang undang-un undang untuk memastikan norma dan acuan yang berlaku sudah sesuai.
Ketika suatu hukum dipelaja lajari oleh masyarakat menjadi sebuah keilmuan, dan disebutkan pula bahw bahwa pengkajiannya terpisah dari politik maupun religi yang merupakan ba bagian penting di masyarakat pula. Tentunya perlu kehatia-hatian dala dalam menentukan batasan-batasan dari ketiga hal tersebut, hukum-politik-r religi sehingga menjadi identitas suatu bidang ilmu.
Pengkajian awal mulanya huku hukum sebagai bidang ilmu di sekolah- sekolah Eropa ternyata bukan tentan ntang hukum yang sedang berlaku saat itu. Namun masyarakat eropa mempe mpelajari hukum dari berbagai naskah- naskah peninggalan peradaban Roma Romawi. Berbagai hal peristiwa dan kejadian masyarakat seperti aturan turan-aturan dalam berinteraksi, berbagai putusan-putusan yang diambil dalam lam menyelesaikan permasalahan, hingga tentang struktur tatanan masyarakat at yang pernah ada.
Gam ambar 2.3. Potret Kaisar Iustinianus di s di Basilika San Vitale, Ravenna
(Sumber: http://www.wikid kidepa.org/wikid/Yustinianius_I)
Kebesaran Romawi adalah me menjadi sebab acuan mempelajari hukum sebagai suatu ilmu, hampir seluruh luruh Eropa dikuasai para Kaisar dengan melakukan invasi ke berbagai suku u bangsa Eropa. Sebut saja suku Franka, suku Vandal, suku Saksa, suku Goth, oth, hingga ke Eropa Timur dan dikenal Kebesaran Romawi adalah me menjadi sebab acuan mempelajari hukum sebagai suatu ilmu, hampir seluruh luruh Eropa dikuasai para Kaisar dengan melakukan invasi ke berbagai suku u bangsa Eropa. Sebut saja suku Franka, suku Vandal, suku Saksa, suku Goth, oth, hingga ke Eropa Timur dan dikenal
Adalah fakultas Hukum di Universitas Bologna awal mula hukum Romawi dipelajari melalui teks-teks kuno peninggalan Kaisar Iustinianus. Teks tersebut memuat 4 hal pokok yang menjadi ruh dari pelaksana sistem hukum di Romawi. Pertama adalah bagian Caudex dimana berisi berbagai aturan-aturan serta putusan-putusan yang diambil oleh pemimpin sebelumnya. Kedua adalah Novellae yang merupakan aturan-aturan hukum yang dikodifikasi oleh Kaisar Iustinianus. Ketiga adalah Instituti berbentuk suatu buku pedoman bagi masyarakat dalam melaksanakan sistem hukum pada masanya. Terakhir adalah bagian Digesta berisi tentang himpunan berbagai pendapat ahli hukum Romawi perihal aturan- aturan bagi individu dan masyarakat. Bagian ini menjadi yang sangat berarti karena memuat konsep hak dan kewajiban suatu warga masyarakat Romawi. Ke empat bagian tersebut hingga kini dikenal dengan sebutan Corpus Iuris Civilis .
Proses mempelajari dan memaknai Corpus Iuris Civilis di Fakultas Hukum Universitas Bologna diperankan oleh para dosen dengan sebutan Glossator . Kata dan bahasa yang termuat pada naskah tersebut meskipun berasan dari leluhur bangsa Italia ternyata sangat berbeda dengan bahasa Proses mempelajari dan memaknai Corpus Iuris Civilis di Fakultas Hukum Universitas Bologna diperankan oleh para dosen dengan sebutan Glossator . Kata dan bahasa yang termuat pada naskah tersebut meskipun berasan dari leluhur bangsa Italia ternyata sangat berbeda dengan bahasa
Seiring berkembangnya zaman, pembelajaran Hukum di Universitas Bologna pun terjadi perubahan. Dosen sebagai Glossator kemudian berubah menjadi sebagai Commentator. Kemampuan analisis yang semakin meningkat didukung dengan perkembangan ilmu yang maju maka kegiatan mengomentari secara sistematis terhadap berbagai permasalahan-permasalahan hukum. Namun demikian mereka tetap berpegang pada hukum yang berlaku, tidak merasa hukum yang ada sudah bukan zamannya lagi. Sehingga para pembelajar memperluas wawasan terhadap kondisi yang telah berlalu, sedang berlangsung dan yang akan terjadi di masa depan.
Selain kegiatan pembelajaran hukum melalui pembacaan naskah, kemudian mengomentasi isi yang terkandung setiap kata dan paragrafnya, dilakukan pula apa yang dinamakan Disputatio yakni sebuah kegiatan diskusi perihal berbagai isu hukum seperti layaknya debat terdapat kubu pro dan kontra. Hingga kemudian pembeajaran di Fakultas Hukum Universitas Bologna mempelajari juga suatu hukum Kanonik yang berasal dari Gereja.
Gambar 2.4. Ilustrasi para ahli hukum Universitas Bologna mengkaji naskah kuno
peninggalan Peradaban Romawi
(sumber: htttp://en.wikipedia.org/wiki/University_of_Bologna
B. Sumber Penemuan
Melalui proses peradilan, hakim adalah sebagai penentu terakhir dan proses penegakan hukum melalul pengadilan, sehingga muncul anggapan bahwa pengadilan merupakan terminal terakhir dan suatu proses penegakan hukum. Lembaga pengadilan melalui para hakimnya adalah rnerupakan harapan terakhir bagi para pencari keadilan. Tugas dan tanggung jawab hakim adalah tidak ringan, hakim tidak hanya dituntut dapat memutus perkara, tetapi dituntut dapat menyelesaikan perkara sehingga dengan putusannya tersebut dapat menciptakan kedamaian dalam masyarakat. Sebagai penegak hukum dan keadilan hakim harus mampu memperhatikan dar mempertimbangkan ketiga unsur penegakan hukum secara proporsional seimbang. Atas putusan yang dijatuhkan hakim bertanggung jawab tidak hanya kepada para pihak, tetapi juga kepada Melalui proses peradilan, hakim adalah sebagai penentu terakhir dan proses penegakan hukum melalul pengadilan, sehingga muncul anggapan bahwa pengadilan merupakan terminal terakhir dan suatu proses penegakan hukum. Lembaga pengadilan melalui para hakimnya adalah rnerupakan harapan terakhir bagi para pencari keadilan. Tugas dan tanggung jawab hakim adalah tidak ringan, hakim tidak hanya dituntut dapat memutus perkara, tetapi dituntut dapat menyelesaikan perkara sehingga dengan putusannya tersebut dapat menciptakan kedamaian dalam masyarakat. Sebagai penegak hukum dan keadilan hakim harus mampu memperhatikan dar mempertimbangkan ketiga unsur penegakan hukum secara proporsional seimbang. Atas putusan yang dijatuhkan hakim bertanggung jawab tidak hanya kepada para pihak, tetapi juga kepada
Hakim tidak hanya diposisikan sebagai penegak hukum, tetapi juga penegak keadilan yang benar. Dalam memutus perkara tidak cukup hanya mendasarkan pada bunyi suatu undang-undang, tetapi juga harus mempertimbangkan jiwa dan ratio legis yang mendasari undang-undang atau pasal-pasal tertentu yang akan dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan. Bahkan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan lebih dan itu, bahwa dalam memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-niiai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan dalam perkara pidana untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim juga harus mempenhatikan pula sifat yang baik dan jahat dan terdakwa (Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004).
Perintah Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 adalah mempunyal maksud agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan nasa keadilan masyarakat, sehingga dapat menjadi instrumen sosial yang mampu metnulihkan kembali keseimbangan dalam masyarakat. Memang kita akui bahwa hakim dalam memutus perkara itu mempunyai kebebasan, sampai-sampai kalau ada orang yang dengan sengaja (kecuali dibolehkan oleh UUD 1945) campur tangan dalam urusan peradilan dapat dipidana (Pasal 4 ayat (4) UU No. 4 Tahun 2004).
Kebebasan hakim dalam memutus perkara dimaksudkan agar putusan yang dijatuhkan mencerminkan hukum yang hidup dan rasa keadilan masyarakat. Kebebasan hakim dalam memutus tidak mutlak atau tanpa batas, kebebasan tersebut dibatasi oleh Pancasila, undang-undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum. Patokan pertama yang harus dipegang hakim adalah undang-undang, kalau undang-undang ternyata tepat, artinya jelas, rind, mempunyal potensi melindungi kepentingan umum atau tidak menimbulkan perkosaan dan ketidakpatutan, serta sesuai dengan peradaban dan kemanusiaan, maka undang-undang haruslah diterapkan. Sebaliknya kalau undang-undang isinya bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, maka hakim dibenarkan memutus bertentangan atau berbeda dengan ketentuan undang- undang, atau hakim dibenarkan melakukan tindakan cotra legem (Harahap, 2005 : 860).
Dalam memutus perkara hakim mendasarkan pada ketentuan undangundang. Sering terjadi undang-undang tidak jelas, tidak lengkap, bahkan dapat terjadi isi undang-undang yang berkaitan dengan kasus yang dihadapi saling bertentangan. Dalam memutus perkara hakim terpaksa hanis melakukan penemuan hukum. Undang-undang atau secara lebih luas peraturan perundang-undangan mengikat setiap orang, oleh karena itu bersifat umum dan abstrak, sebagai das Sollen tidak mungkin dapat diterapkan secara langsung terhadap peristiwa konkrit. Dalam undangundang dicari kaidah hukumnya selanjutnya disesuaikan dengan peristiwa konkrit, sebaliknya peristiwa konkrit diarahkan kepada kaidah hukum, sehingga menjadi peristiwa hukum, setelah itu barulah undang- undang dapat diterapkan. Seperti yang telab diuraikan sebelumnya sering terjadi undangundang tidak jelas atau tidak Iengkap, sehingga yang dilakukan tidak hanya sekedar menerapkan, tetapi hakim terpaksa Dalam memutus perkara hakim mendasarkan pada ketentuan undangundang. Sering terjadi undang-undang tidak jelas, tidak lengkap, bahkan dapat terjadi isi undang-undang yang berkaitan dengan kasus yang dihadapi saling bertentangan. Dalam memutus perkara hakim terpaksa hanis melakukan penemuan hukum. Undang-undang atau secara lebih luas peraturan perundang-undangan mengikat setiap orang, oleh karena itu bersifat umum dan abstrak, sebagai das Sollen tidak mungkin dapat diterapkan secara langsung terhadap peristiwa konkrit. Dalam undangundang dicari kaidah hukumnya selanjutnya disesuaikan dengan peristiwa konkrit, sebaliknya peristiwa konkrit diarahkan kepada kaidah hukum, sehingga menjadi peristiwa hukum, setelah itu barulah undang- undang dapat diterapkan. Seperti yang telab diuraikan sebelumnya sering terjadi undangundang tidak jelas atau tidak Iengkap, sehingga yang dilakukan tidak hanya sekedar menerapkan, tetapi hakim terpaksa
Sebenarnya yang melakukan kegiatan penemuan hukum bukan hanya hakim, tetapi juga para penegak hukum yang lain dan pembentuk peraturan perundang-undangan, serta dosen atau para peneliti hukum, bahkan warga masyarakat yang sedang menghadapi kasus biasanya juga berusaha mencari apa hukumnya dalam kasus yang dihadapinya tersebut. Kalau diperbandingkan antara hakim, pembentuk peraturan perundang- undangan dan dosen atau para peneliti hukum yang melakukan penemuan hukum, hasilnya dapat dibedakan, yaitu: Hakim — penemuan hukumnya bersifat konfliktif, sebab berkaitan dengan peristiwa konkrit atau konflik yang harus diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya berupa hukum in concreto dan dapat menjadi sumber hukum; Pembentuk peraturan perundang-undangan-penemuan hukumnya bersifat preskriptif, sebab yang dihadapi peristiwa abstrak yang masih akan terjadi. Hash penemuan hukum adalah hukum in abstracto dan merupakan sumber hukum; Dosen atau peneliti hukum-penemuan hukumnya bersifat teoritis. Hasil penemuan hukumnya bukan hukum, namun sebagai doktrin dapat menjadi sumber hukum.
Van Eikema Hommes antara lain mengatakan bahwa Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit (Mertokusumo, 1985 : 132 - 133).
Ada beberapa pasal dalam UU No. 4 Tahun 2004 yang dapat dijadikan dasar hukum dilakukan penemuan hukum oleh hakim, yaitu:
Pasal 5 ayat (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
Pasal 16 ayat (1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memerikya dan mengadilinya.
Pasal 28 ayat (1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilamilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dari uraian tersebut di atas sebenamya sudah nampak ketentuanketentuan hukum apa saja yang dapat digunakan oleh hakim sebagai sumber melakukan penemuan hukum. Di samping peraturan perundang-undangan danlatau hukum kebiasaan atau hukum adat, sebenarnya masih ada sumber lain untuk melakukan penemuan hukum, yaitu: putusan desa misalnya dalam penyelesaian perkara perdata yang berobjek tanah terutama di daerah
pedesaan, putusan desa pegang peranan yang penting; yurisprudensi, dalam memutus perkara hakim juga sering mencari dukungan pada yurisprudensi terutama yang telah diterima sebagai yurisprudensi tetap; dan tidak kalah pentingnya adalah doki’rin atau ajaran-ajaran hukum sering juga digunakan, terutama sekali dalam kasus-kasus yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan, atau diatur tetapi pengaturan tidak jelas atau isinya saling bertentangan, sehingga hakim terpaksa mencari dukungan dan doktnin (Mertokusumo, 1993 : 168). Bahkan dalam kasus-kasus tertentu misalnya yang menyangkut sengketa yang timbul pedesaan, putusan desa pegang peranan yang penting; yurisprudensi, dalam memutus perkara hakim juga sering mencari dukungan pada yurisprudensi terutama yang telah diterima sebagai yurisprudensi tetap; dan tidak kalah pentingnya adalah doki’rin atau ajaran-ajaran hukum sering juga digunakan, terutama sekali dalam kasus-kasus yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan, atau diatur tetapi pengaturan tidak jelas atau isinya saling bertentangan, sehingga hakim terpaksa mencari dukungan dan doktnin (Mertokusumo, 1993 : 168). Bahkan dalam kasus-kasus tertentu misalnya yang menyangkut sengketa yang timbul
Dalam memeriksa suatu perkara, ada tiga tahap kegiatan hakim, yaltu mengkonstatir peristiwanya, mengkualifisir peristiwa yang terbukti sebagai hubungan hukum apa atau sebagai perbuatan hukum yang mana, dan yang terakbir mengkonstituir atau memberikan hukumnya atau keadilannya. Setelah proses pembuktian dan hakim telab mengkonstatir peristiwanya, hakim wajib melakukan penemuan hukum. Dalam hal ini ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh hakim, yaitu: (I) metode penafsiran atnu interpretasi yang dikenal ada beberapa metode interpretasi; (2) metode argumentasi; dan (3) kalau dengan kedua metode penemuan hukum tersebut tidak berhasil, hakim barulah menciptakan sendiri hukumnya berdasarkan fakta positif yang telah terbukti.
C. Berbagai Aliran Penemuan Hukum
Timbulnya aliran dalam penemuan hukum sebenarnya sebagai akibat akan kodifikasi pada abad 19. Sebelumnya sumber hukum yang pokok adalah hukum kebiasaan, tetapi berdasarkan fakta bahwa hukum kebiasaan hukum tidak tertulis sering beraneka ragam, sehingga dianggap kurang menjamin kepastian hukum, maka ada usaha untuk menyeragamkan digan cara membuat hukum dalam susunan kodifikasi. Persoalan selanjutnya yang muncul adalah yang mana yang merupakan sumber hukum itu, apakah undang-undang atau hukum kebiasaan, Timbulnya aliran dalam penemuan hukum sebenarnya sebagai akibat akan kodifikasi pada abad 19. Sebelumnya sumber hukum yang pokok adalah hukum kebiasaan, tetapi berdasarkan fakta bahwa hukum kebiasaan hukum tidak tertulis sering beraneka ragam, sehingga dianggap kurang menjamin kepastian hukum, maka ada usaha untuk menyeragamkan digan cara membuat hukum dalam susunan kodifikasi. Persoalan selanjutnya yang muncul adalah yang mana yang merupakan sumber hukum itu, apakah undang-undang atau hukum kebiasaan,
Legisme
Inti dan ajaran legis mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang; dan di luar undang-undang, tidak ada hukum. Hukum kebiasaan hanya ada apabila diperbolehkan oleh hukum undang- undang. Ajaran legis sebenarnya mulai dipropagandakan oleh mereka yang inempelajari hukum Romawi dan Kanonik, kira-kira mulai abad pertengahan. Ajaran legis sebenarnya cocok dengan ajaran hukum kodrat yang juga kurang menyetujui hukum kebiasaan. Dapat disebut sebagai pendukung ajaran hukum kodrat adalah Montesquieu, yang antara lain mengatakan bahwa tugas pembentukan hukum adalah semata-mata hak luar biasa dan pembentuk undang-undang. Tokoh lain adalah Rousseau sebagai tokoh teori kedaulatan at yang antara lain mengatakan bahwa kehendak bersama dan rakyat adalah kekuasaan tertinggi, undang-undang adalah pernyataan kehendak tersebut, maka tidak ada sumber lain, selain undang-undang. Senada dengan ajaran Montesquieu dan Rousseau, aliran legis berpendapat, bahwa kedudukan hakim adalah pasif, hakim hanya terompet undang-undang, hakim hanya bertugas memasukkan sesuatu hat yang konkrit dalam peraturan perundang-undangan dengan jalan silogisme hukum, secara deduksi logis (Sanusi, 1977 :51).
Kebaikan atau segi positif dan ajaran legis adalah lebih banyak menjamin tercapainya kepastian hukum dan memberi jamman yang maksimal terhadap hak-hak perseorangan dan dapat menghindarkan Kebaikan atau segi positif dan ajaran legis adalah lebih banyak menjamin tercapainya kepastian hukum dan memberi jamman yang maksimal terhadap hak-hak perseorangan dan dapat menghindarkan
Begriffsjurisprudenz
Ajaran ini masih mendasarkan pada ajaran legis, namun berusaha memperbaiki kelemahan yang ada, yaitu dengan mengajarkan bahwa undangundang memang tidak Iengkap, tetapi tetap dapat memenuhi kekurangannya itu sendiri, sebab undang-undang mempunyai daya meluas. Sebagai sumber hukum adalah undang-undang dan hukum kebiasaan. Cara memperluas hukum hendaknya normiogist dan dipandang dan segi dogmatik, dengan alasan bahwa hukum adalah merupakan satu kesatuan yang tertutup yang menguasai semua tingkah laku sosial. Begriffsjurisprudenz berpendap bahwa hakim bebas dan ikatan-ikatan undang-undang, namun demikia. hakim tetap harus bekerja dalam sistem hukum yang tertutup. Sebenarny hakim tidak membentuk hukum, yang dikerjakan hakim hanyalab membuka tabir pikiran-pikiran yang ada dalam undang-undang.
Apa yang diajarkan oleh Begrtffsfurisprudenz bahwa kekurangan-. kekurangan dalam undang-undang dapat diatasi dengan memperhia. ketentuannya dengan mengganakan logika secara rasional, memang dap diterima, tetapi sebenarnya itu belum cukup. Kelemahan Begriffsfurisprud bahwa ajaran ini memandang undang-undang sebagai tujuan, seharusnya Apa yang diajarkan oleh Begrtffsfurisprudenz bahwa kekurangan-. kekurangan dalam undang-undang dapat diatasi dengan memperhia. ketentuannya dengan mengganakan logika secara rasional, memang dap diterima, tetapi sebenarnya itu belum cukup. Kelemahan Begriffsfurisprud bahwa ajaran ini memandang undang-undang sebagai tujuan, seharusnya
Interessenjurisprudenz atau Freirechtsschule
Sebagai ajaran yang tidak menerima dasar-dasar pikiran Legisme dan Begriffsjurisprudenz, Jnteressenjurisprudenz atau dapat disebut sebagal ajaran kebebasan hakim mengatakan bahwa undang-undang tidak lengkap dan bukan merupakan satu-satu sember hukum, masih ada sumber hukum lam tempat hakim menemukan hukumnya. Undang-undang, kebiasaan dan sebagainya hanyalah sarana bagi hakim dalam menemukan hukumnya. Yang dipentingkan di sini bukan kepastian hukum, melainkan kemanfaatan bagi masyarakat. Hakim dan para pejabat lain mempunyai kebebasan yang seluasluasnya dalam menemukan hukum.
Bahkan dalam usaha mewujudkan hukum seadil-adilnya hakim diperbolehkan menyimpang dan ketentuan undang-undang. Menurut Interessenjurisprudenz hukum lahir karena peradilan.