Proses Perubahan UUD 1945
A. Proses Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945 tidak terlepas dari gerakan reformasi 1998 yang menuntut reformasi di segala bidang. Seperti diketahui bersama, reformasi 1998 didorong oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, di mana nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menurun sangat drastis. 1 Dalam perkembangannya krisis moneter yang telah membuat harga-harga melambung
berkembang menjadi krisis ekonomi dan selanjutnya mendatangkan krisis sosial karena jumlah orang miskin membengkak dan pendapatan perkapita menurun
drastis. 2 Di saat krisis multidimensional tersebut terjadi, Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden pada bulan Maret 1998 diikuti dengan pembentukan Kabinet
Pembangunan VII. Terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang kelima kalinya, ditanggapi oleh berbagai demonstrasi yang dipelopori mahasiswa
dengan tuntutan agar Soharto turun. 3 Setelah perjuangan mahasiswa yang disertai beberapa insiden penembakan mahasiswa, perdebatan antara MPR dan ABRI,
serta ketidakberhasilan Soeharto untuk melakukan reshuffle kabinet karena penolakan 14 menteri bidang Ekuin, Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21
1 Nilai rupiah terhadap dollar merosot dari Rp. 2.400,00 ke Rp. 16.000,00 per US$ per Januari 1998. Lihat Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002, Buku I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 48.
2 Ibid. 3 Lihat Fadli Andi Natsir, Prahara, Trisakti, Semanggi,, Analisis Socio – Yuridis Pelanggaran HAM
Berat di Indonesia, Toacceae, 2006, hlm. 61.
Mei 1998, dan digantikan oleh B.J. Habibie. 4 Salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998, adalah perubahan UUD 1945, selain pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN), pencabutan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum, penegakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, penegakan kebebasan pers,
dan pemberian hak otonomi kepada daerah-daerah. 5 Pertanyaan lebih lanjut, mengapa tuntutan reformasi juga mencakup tuntutan perubahan UUD 1945?
Sri Soemantri berpendapat bahwa alasan utama tuntutan perubahan UUD 1945 karena UUD 1945 memberi pihak eksekutif, yaitu Presiden Republik Indonesia sangat kuat karena dapat mengendalikan suprastruktur dan infrastruktur
politik. 6 Bahkan lebih secara tegas Sri Soemantri menganggap UUD 1945 bersifat executive heavy. 7 Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Moh. Mahfud
MD yang melihat alasan tuntutan perubahan UUD 1945 oleh gerakan reformasi 1998 karena UUD 1945 selalu melahirkan pemerintahan yang berwatak otoriter. 8
Dari dua pendapat di atas, terlihat benang merah alasan diusulkannya perubahan UUD 1945 oleh gerakan reformasi 1998, di mana tuntutan turunnya Soeharto terkait dengan kuatnya kekuasaan eksekutif yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk mencegah munculnya kembali pemerintahan yang otoriter, perlu dilakukan pembatasan melalui perubahan UUD 1945.
4 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif…, Buku I, op.cit., hlm. 53 – 54. 5 Lihat Tim Penyusun, Naskah Komprehensif…, Buku I, op.cit., hlm. 49. Bandingkan dengan
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat,
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2006, hlm. 3. 6 Sri Soemantri, “Reformasi Konstitusi”, Jurnal Dialektika Vol. 2 No. 2, LPPMD Unpad, Bandung,
2001, hlm. 7. 7 Ibid., hlm. 6.
8 Mahfud mengatakan bahwa gerakan reformasi mengusulkan/ mengangendakan amandemen atas UUD 1945 karena UUD ini dianggap selalu melahirkan pemerintahan yang berwatak otoriter.
Lihat Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 133
Namun demikian, selain karena kuatnya kekuasaan eksekutif atas dasar UUD 1945, usulan perubahan UUD 1945 juga didasari oleh beberapa kelemahan UUD 1945. Dalam hal ini, Bagir Manan mengungkapkan enam alasan perubahan UUD 1945. Pertama, sama halnya dengan dua pendapat di atas, struktur UUD 1945 menempatkan dan memberkan kekuasaan yang besar terhadap pemegang
eksekutif. 9 Kedua, struktur UUD 1945 tidak cukup memuat sistem check and balances (kekuasaan untuk saling mengawasi dan mengimbangi) antara cabang-
cabang pemerintahan (lembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau tindak melampaui wewenang. 10 Ketiga, terdapat ketentuan-
ketentuan yang tidak jelas (vague), yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. 11 Keempat, struktur
UUD 1945 anyak mengatur ketentuan organik (undang-undang organik), tanpa disertai arahan tertentu materi muatan yang harus diikuti atau dipedomani. 12
9 Lihat Bagir Manan, Teo ri …., op.cit., hlm. 11 -12. 10 Bagir Manan memberi contoh tentang hal tersebut, misalnya tidak terdapat kekuatan yang mengatur pembatasan wewenang Presiden menolak mengesahkan RUU yang sudah disetujui DPR sebagai wakil rakyat. Tidak ada pembatasan mengenai luas lingkup Perpu untuk menghindari penyalahgunaannya. Ibid., hlm. 13.
11 Bagir Manan memberikan beberapa contoh alasan tersebut, misalnya dalam hal masa jabatan Presiden yang tidak dibatasi, tentang kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR,
sehingga badan perwakilan lain, seperti DPR tidak dipandang melakukan kedaulatan rakyat, dan ketentuan Pasal 28 yang karena tidak jelas, menimbulkan pendapat, selama undang-undangnya belum terbentuk, hak-hak tersebut belum efektif. Ibid., hlm.15.
12 Hal tersebut berakibat dapat terjadi perbedaan-perbedaan antara undang-undang organic yang serupa atau objek yang sama, misalnya UU No. 22 Tahun 1948, berbeda dengan UU No. 18 Tahun
1965, UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 22 Tahun 1999, meskipun semuanya dibuat berdasarkan UUD 1945 (Pasal 18). Demikian pula, ketentuan tentang kekuasaan kehakiman terdapat perbedaan misalnya antara UU No. 19 Tahun 1964 dengan UU No. 14 Tahun 1970, dan persoalan keanggaotan MPR yang juga pada prakteknya dalam hal utusan daerah salah satunya dijabat oleh Gubernur, begitu pula tidak ada larangan Menteri menjadi anggota MPR. Oleh karena MPR harus memeriksa pertanggungjawaban Presiden yang merupakan atasan Gubernur dan Menteri. Ini berarti para Gubernur dan Menteri pada dasarnya menilai perkerjaan mereka sendiri. Ibid., hlm. 17.
Kelima, berkaitan dengan Penjelasan UUD 1945. 13 Keenam, adanya berbagai kekosongan materi muatan 14 (ketidaklengkapan aturan, misalnya HAM, Pen).
Menanggapi usulan perubahan UUD 1945, MPR pada Sidang Istimewa 1998 mengeluarkan tiga ketetapan (Tap MPR) penting, yaitu Tap MPR No. No. VIII/ MPR/ 1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/ MPR/ 1983 tentang Referendum (sebagai tindak lanjut, UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum dicabut), Tap MPR Nomor XIII/MPR/ 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dan Tap MPR Nomor XVII/ MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang tindak lanjuti
dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. 15 Dengan demikian, mendahului perubahan UUD 1945 secara resmi, MPR telah melakukan perubahan UUD 1945
tanpa melalui prosedur sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945, dalam hal pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, serta perluasan jaminan HAM melalui kedua Tap MPR di atas.
Perubahan UUD 1945 secara resmi baru dilakukan pada tahun 1999, setelah anggota MPR yang baru terpilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 1999.
Hal tersebut juga menunjukkan proses formal yang unik. 16
13 Dalam hal penjelasan UUD 1945, Bagir Manan menganggap hal tersebut merupakan hal yang tidak lazim. Penjelasan UUD 1945 bukan hasil kerja BPUPKI dan PPKI,melainkan hasil kera
Soepomo. Selain itu, penjelasan mengandung muatan yang tidak konsisten dengan batang tubuh, dan keterangan-keterangan yang semestinya menjadi materi muatan batang tubuh. Ibid.,hlm. 17.
14 Ibid. 15 Lihat Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku I, op.cit., hlm. 45.
16 Keunikan yang dimaksud, perubahan konstitusi yang mensyaratkan pembubaran lembaga legislatif sebelum dilakukannya perubahan konstitusi merupakan salah satu model yang
diterapkan di beberapa negara, seperti Belgia, Belanda, Denmark dan Swedia. C.F. Strong, op.cit., hlm. 154.
Proses perubahan UUD 1945 oleh MPR hasil Pemilu 1999 juga tidak secara lancar dilakukan. Berbagai perbedaan pandangan terhadap perlu atau tidak diubahnya UUD 1945 juga mengemuka di kalangan MPR, hingga akhirnya kesepakatan untuk melakukan perubahan UUD 1945 dicapai secara bulat di
kalangan MPR menjelang Sidang Umum MPR tahun 1999. 17 Secara konkret, proses pembahasan perubahan UUD 1945 dimulai, saat dibentuknya Panitia Ad-
Hoc (PAH) III Badan Pekerja (BP) MPR untuk Perubahan UUD 1945, yang sebelumnya didahului oleh pemandangan umum fraksi-fraksi. 18 Dalam
pembahasan perubahan UUD 1945 di PAH III, juga mengundang beberapa pakar, Hukum Tata Negara mengenai perubahan UUD 1945, antara lain Harun Al
Rasyid, Ismail Sunny, dan Sowoto Moeljosoedarmo. 19 Masukan dari masyarakat pun bermunculan secara spontan, terutama melalui media massa atau secara
langsung mendatangi DPR/ MPR. 20 Setelah mendengar masukan dari pakar hukum tata negara, PAH III
menyepakati langsung melakukan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan
berlaku dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 21
17 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku I, op.cit., hlm. 70. 18 Terdapat 2 PAH lain dalam BP MPR tahun 1999: PAH I untuk Rancangan Ketetapan (Rantap
GBHN) dan PAH II untuk Rantap Non-GBHN. 19 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku I, op.cit., hlm. 87
20 Antara lain: Tim Fisipol UGM dan mahasiswanya, beberapa tokoh praktisi hukum, seperti Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Bambang Widjojanto, dan beberapa pakar hukum
tata negara yang beropini melalui media massa, seperti Sri Soemantri, dan Yusril Ihza Mahendara. Ibid., hlm. 56 – 61.
21 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan …, op.cit., hlm. 12.
Dalam proses perubahan tahap pertama terhadap UUD 1945, PAH III merumuskan lima kesepakatan dasar yang dipergunakan dalam proses perubahan,
yaitu: 22
1. tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
3. mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4. meniadakan Penjelasan UUD 1945 dengan mengangkat hal-hal yang bersifat normatif ke dalam pasal-pasal;
5. melakukan perubahan dengan cara addendum. Berdasarkan kesepakatan dasar tersebut, PAH III melakukan pembahasan
materi rancangan perubahan UUD 1945. Pada masa tersebut, karena keterbatasan waktu, para anggota PAH III juga bersepakat untuk membahas perubahan UUD 1945 secara bertahap sesuai dengan prioritas. Hasil pembahasan PAH III kemudian dibahas dan diputuskan dalam BP MPR sebagai materi rancangan perubahan untuk dan selanjutnya dibahas kembali dan diputuskan dalam Sidang Umum MPR 1999. Dalam sidang tersebut dibentuk pula komisi-komisi, salah
satunya Komisi C yang bertugas membahas rancangan Perubahan UUD 1945. 23 Pembicaraan di Komisi C didahului oleh pemandangan umum fraksi-
fraksi. Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi di Komisi C, pada intinya
22 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku I, op.cit., hlm. 108. Bandingkan dengan Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan …, ibid., hlm.
13. Dalam buku Panduan terbitan Setjen MPR itu , kesepakatan yang dimaksud disebut sebagai salah satu hasil PAH I (tahun 2000). Namun demikian, dengan melihat pada Naskah Komprehensif yang diterbitkan oleh MK berdasarkan Risalah Rapat PAH III BP MPR, 7 Oktober 1999 di mana substansi kesepakatan tersebut dibicarakan, maka Tim Peneliti lebih sependapat dengan data yang ada dalam Naskah Komprehensif MK.
23 Ibid., hlm. 109.
bersepakat menjadikan hasil kerja PAH III dijadikan sebagai rancangan Perubahan UUD 1945 termasuk kesepakatan dasar, sistem perubahan, namun ada beberapa fraksi yang memberikan catatan berbeda terhadap rancangan PAH III tersebut, seperti F-PDIP, F-KB, F-Reformasi, F-PDKB, F-UG, dan F- TNI/
Polri. 24 Pada akhirnya, setelah pembahasan di Komisi C, Perubahan Pertama UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang mencakup 10 pasal/
ayat UUD 1945. 25 Perubahan UUD 1945 terus dilanjutkan pada SU MPR tahun 2000 atas
dasar Tap MPR Nomor IX/MPR/ 1999 tentang Penugasan BP MPR-RI untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia. Perubahan UUD 1945 selanjutnya dipersiapkan oleh PAH I sebagai kelengkapan BP MPR masa sidang 1999 – 2000.
Pada proses perubahan kedua UUD 1945, penjaringan masukan dari cendekiawan lebih luas dibandingkan pada perubahan pertama, yang hanya mengundang beberapa pakar hukum tata negara. Dalam rapat-rapat PAH I, pakar- pakar yang diundang tidak hanya pakar hukum tata negara, tetapi juga pakar
24 F-PDIP, F-KB, F-Reformasi, F-PDKB, F-UG, F- TNI/ Polri, terkait dengan usulan pemilihan Presiden secara langsung agar tidak dipersoalkan dalam konteks pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden tahun tersebut; F-KB yang khawatir pasal-pasal kekuasaan Presiden (dipersamakan dengan hak prerogatif) yang dimasukkan kewenangan DPR, akan menyulitkan Presiden yang akan terpilih dalam waktu dekat (tahun 1999) dalam menyusun kabinet, dan perangkat kenegaraan lainnya, begitu pula F-Reformasi yang secara spesifik mengusulkan istilah “kepala perwakilan” menggant ikan istilah “duta besar dan konsul” dalam usulan perubahan Pasal 13. Sementara itu, catatan yang disampaikan F-PDKB tentang penekanan prioritas untuk mengubah Pasal 37 yang yang jika dihitung secara kuan titas, maka “kurang dari separuh (anggota MPR) sudah bisa mengubah UUD”. F-UG memberikan lima catatan, namun ada dua catatan yang belum disinggung sebelumnya, yaitu pertama, mengenai produk hukum perubahan UUD 1945 yang diusulkan tidak berbentuk ketetapan, tetapi putusan; kedua, usul untuk menetapkan UUD 1945 sebelum diubah berdasarkan Pasal 3. F-TNI/ Polri, memberi catatan agar bendera dan bahasa nasional tidak diubah. Ibid., hlm. 113 – 119.
25 Yaitu: Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21 UUD 1945.
politik, sejarah, sosiolog, ekonomi. 26 Tidak hanya dari kalangan cendikiawan, PAH I juga mengundang berbagai organisasi masyarakat, profesi, perguruan
tinggi, lembaga-lembaga negara, dan lembaga-lembaga pemerintah. 27 Dengan demikian, pelibatan masyarakat dalam proses perubahan kedua UUD 1945, secara
kuantitas lebih siginifikan dibandingkan sebelumnya. Setelah melalui pembahasan yang lebih intensif karena waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan perubahan pertama, hasil kerja PAH I diputuskan dalam sidang BP MPR 1999 – 2000 berupa materi rancangan perubahan UUD Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dibahas dan diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000. Dalam sidang umum tersebut, dibentuk Komisi
A, yang membahas rancangan perubahan kedua dari BP MPR. Dalam rapat Komisi A, rancangan perubahan dari PAH I BP MPR yang telah dibahas dan diputuskan mencakup bab-bab pemerintahan daerah, wilayah negara, warga
negara dan penduduk, HAM, pertahanan dan keamanan negara, DPR. 28 Sementara itu, terdapat 5 bab yang belum diputuskan dalam rapat Komisi A, dan 8 bab yang
belum dibahas oleh Komisi A. 29 Sebagian besar fraksi dalam pemandangan
26 Pakar-pakar yang diundang, yaitu: Ruslan Abdulgani, Pranarka, Dahlan Ranuwihardjo, Sri Soemantri Martosoewignyo, Ismail Sunny, Bagir Manan, Philipus M. Hadjon, Ichlasul Amal, Teuku
Yakob, Sardjono Jatiman, A.S. Tambunan, Afan Gaffar, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Bungaran, Saragih, dan Sri Adiningsih. Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku I, op.cit., hlm. 173.
27 Perguruan tinggi yang diundang antara lain: ITB, Universitas Jember, IAIN Syarif Hidayatullah, UKI, Organisasi masyarakat yang diundang, yaitu NU, Muhammadiyah, MUI, PGI, KWI, Parisada
Hindu, Walubi, ISEI, PBHI, YLBHI, IKADIN, AIPI, PWI, AJI, MPPI, Paguyuban Manggala, Koalisi Ornop, PSMTI, dan KOWANI; lembaga negara dan lembaga pemerintah yang diundang, yaitu, MA, Kejagung, Lemhanas, Wantanas, Polri, TNI. Ibid., hlm. 220 – 273.
28 Ibid., hlm. 287 – 293. 29 Bab-bab hasil rancangan PAH I yang belum diputuskan (tetapi sudah dibahas dalam Komisi A),
yaitu bab kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum, bab Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bab Pemilu, bab hal keuangan, bab badan pemeriksa keuangan (BPK). Sementara itu, bab –bab hasil rancangan PAH I yang belum sempat dibahas dalam Rapat Pleno Komisi A adalah bab yaitu bab kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum, bab Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bab Pemilu, bab hal keuangan, bab badan pemeriksa keuangan (BPK). Sementara itu, bab –bab hasil rancangan PAH I yang belum sempat dibahas dalam Rapat Pleno Komisi A adalah bab
kuantitas keputusan. 30 Namun demikian, hampir semua fraksi sepakat merekomendasikan agar 13 bab yang belum dibahas dan diputuskan tersebut
diselesaikan paling lambat 2002. 31 Yang menarik dalam proses ini, ada pendapat 2 fraksi yang mengusulkan pembentukan komisi/ komite yang beranggotakan ahli-
ahli untuk membahas rancangan perubahan UUD 1945 yang belum dibahas. Pendapat tersebut dikemukakan oleh F-KKI dan F-PDIP. 32
Setelah dibahas dalam Sidang Umum MPR 2000, rancangan PAH I yang telah dibahas dan diputuskan Komisi A ditetapkan menjadi Perubahan Kedua UUD 1945. Perubahan tersebut memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan
bentuk dasar da kedaulatan, bab kekuasaan pemerintahan negara, bab MPR, bab perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, bab pendidikan dan kebudayaan, bab agama, bab perubahan UUD dan bab tentang DPA. Ibid., hlm 293.
30 Salah satunya adalah F- PBB melalui juru bicaranya M.S. Kaban, menyatakan: “kami tidak menutupi kekecewaan atas 13 bab yang belum selesai atau belum sama sekali dibahas dalam
Komisi A, terutama Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945”. Sementara itu, F-KKI melalui juru bicaranya F.X. Sumitro, “…F-KKI mamahami pula, bahwa amandemen batang tubuh Undang- Undang Dasar 1945 harus dilakukan secara sistematik, hati-hati, cermat, dan tidak berdasarkan kepentingan sesaat karena konstitusi itu sendiri. …F- KKI sangat menghargai sikap fraksi-fraksi di Komisi A yang dalam proses pembahasan Rancangan Amandemen, batang tubuh Undang- Undang Dasar 1945 telah mengutamakan mutu keputusan dan bukannya kuantitas keputusan”. Ibid., hlm. 295 - 296.
31 Antara lain F-DKB, F-PDU, F-KKI, F-UG, dan F- PG. ibid., hlm. 294 – 297, 300 - 301. 32 F- KKI menyatakan: “Terhadap hal-hal yang belum sempat dibahas, F-KKI berpendapat, bahwa
pembahasannya juga ditunda ke masa berikutnya….agar pembahasannya di masa mendatang melibatkan suatu Komite yang berkeahlian dalam bidang Ketatanegaraan dan tokoh-tokoh masyarakat lain….”. Sementara itu, F-PDIP menyatakan: “Untuk itu, kembali usulkan perlu dibentuk komisi keahlian, yang keanggotaannya terdiri dari para ahli dan bersifat non- partisan”. Ibid., hlm. 296, 301.
perubahan sebelumnya. Terdapat 59 diktum UUD 1945 yang berubah termasuk di dalamnya penambahan bab, perubahan pasal dan ayat. Materi-materi yang diubah dan ditambah mencakup pemerintahan daerah, DPR, wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak asasi manusia, pertahanan dan keamanan negara, serta bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.
Berdasarkan pembahasan di atas, terlihat bahwa proses Perubahan Kedua UUD 1945 lebih dinamis dibandingkan sebelumnya, namun mengenai skala prioritas, sangat bergantung pada hasil kerja Komisi A yang masih menyisakan 13 bab dari rancangan perubahan yang diusulkan BP MPR.
Melanjutkan dua perubahan sebelumnya, berdasarkan Tap MPR Nomor IX/ MPR/ 2000, dibentuk BP MPR 2000 – 2001, yang selanjutnya BP MPR membentuk PAH I 2000 – 2001. Setelah memulai proses perubahan ketiga, PAH I juga membentuk Tim Ahli yang beranggotakan 30 orang yang dibagi menjadi 5 bidang, yaitu bidang politik; hukum; ekonomi; agama, sosial dan budaya; serta
pendidikan. 33 Hal tersebut menunjukkan perbedaan dengan proses perubahan kedua, di mana para pakar tidak dilembagakan dalam suatu Tim Ahli yang hanya
diundang sesuai dengan permintaan PAH I. Dibentuknya Tim Ahli juga
33 Tim Ahli tersebut bertugas: memberikan masukan kepada PAH I BP MPR; mengembangkan pembahasan atas keterkaitan seluruh pasal-pasal dalam naskah Perubahan UUD 1945;
memberikan pandangan, ulasan, dan pendapat terhadap Rancangan Perubahan UUD 1945 yang merupakan lampiran Ketetapan MPR Nomor IX/ MPR/ 2000 menjabarkan keterkaitan Pembukaan UUD 1945 dengan pasal-pasal UD 1945; menyampaikan hasil kajian, pandangan, ulasan, dan pendapat Tim Ahli kepada PAH I BP MPR; melaksanakan tugas pendampingan dalam pembahasan Rancangan Perubahan UUD 1945 pada Sidang Tahun MPR Tahun 2001. Ibid., hlm. 312.
kemungkinan besar dipengaruhi pendapat 2 fraksi dalam proses perubahan kedua yang mengusulkan untuk membentuk suatu komite atau komisi keahlian. 34
Sebagaimana telah disepakati pada masa Sidang Tahun MPR tahun 2000, proses perubahan ketiga tersebut dilakukan untuk meneruskan bab-bab yang belum dibahas dan diputuskan. Namun demikian, fraksi-fraksi memiliki perbedaan pandangan tentang materi – materi perubahan yang menjadi skala prioritas untuk dibahas dan diputuskan pada tahun 2001. 35
Mengenai substansi materi rancangan perubahan UUD 1945, Tim Ahli dari tiap bidang memberikan pendapatnya termasuk alternatif rumusan pasal. Dari Tim Bidang Politik, mengungkapkan beberapa pendapat mengenai alternatif pemilihan presiden dan wakil presiden, dengan popular vote atau pemilihan bertingkat melalui Dewan Pemilih; tentang sistem perwakilan bikameral (MPR sebagai joint session/ sidang gabungan; tentang dasar negara Pancasila agar dimasukkan ke dalam pasal-pasal; mengenai kewenangan MPR dalam perubahan
34 Lihat pendapat F-KKI dan F-PDIP pada masa Sidang Tahun MPR 2000. Loc.cit., hlm. 296, 301.
35 F-PPP mengusulkan pembahasan ditekankan pada bab DPA, kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum, pendidikan dan kebudayan, serta perekonomian dan kesejahteraan sosial. F-
Reformasi, menekanan pada pembahasan materi keuangan, BPK, kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum, pendidikan dan kebudayaan, perkonomian nasional dan kesejaheteraan sosial, pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden, materi Presiden dan Wakil Presiden apabila berhalangan tetap, bentuk dan kedaulatan negara dan agama. F-UG mengusulkan prioitas pembahasan bab kekuasan kehakiman dan penegakan hukum, dan dilanjutkan materi-materi perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, keuangan, pendidikan dan kebudayaan, BPK dan DPA. F-PG mengusulkan materi-materi perubahan yang belum final, sementara yang sudah final bisa ditunda sampai tahun 2002 (materi yang belum final yang dimaksud F-PG, yaitu masalah kelembagaan negara, terutama pemilihan langsung Presiden). Sementara itu, F-PDKB lebih menekankan pembahasan materi-materi yang sangat mendasar, seperti Pemilu, pemilihan Presiden, DPD, MPR, kekuasaan pemerintah(an) negara, DPA, kementerian negara, dst. F-PDU mengusulkan untuk memprioritaskan pembahasan bentuk, dasar dan kedaulatan, MPR, DPD, kekuasaan pemerintahan negara dan Pemilu, sementara F-PBB menekankan pada pembahasan materi Pemilu terkait dengan momen Pemilu 2004. F-TNI/ Polri lebih menekankan pada keterkaitan perubahan pasal tertentu pada pasal yang lain, sehingga mengusulkan prioritas pada materi bentuk, dasar, dan keadaulatan negara, serta agama. Ibid., hlm. 312 – 324.
UUD (alternatif lainnya dengan referendum, dan menolak kewenagan melantik presiden dan wakil presiden serta pengaturan BP MPR juga dinilai tidak perlu); penghapusan DPA, BPK sebagai kelengkapan DPR; Presiden mengangkat menteri, dirjen, duta besar, Penglima TNI, kepala-kepala badan dengan persetujuan DPR; pengusulan ketua, wakil ketua, dan hakim MA oleh Presiden; serta calon perserorangan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden melalui
parpol. 36 Sementara itu, tim Bidang Hukum yang koordinatornya Sri Soemantri juga
memberikan beberapa pandangan. Pandangan-pandangan tersebut antara lain: alternatif pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu paket dan pada tahap kedua diserahkan kepada MPR, hubungan presiden dan wakil presiden, mengenai MK yang alternatif lainnya dapat dijadikan salah satu peradilan di MA, stuktur kabinet harus mendapatkan persetujuan DPR dan diatur dalam UU, pengangkatan dan pemberhentian menteri harus memperhatikan pertimbangan DPR, dalam bidang perekonomian diusulkan dua alternatif: dikuasi negara atau dikuasai dan diatur negara, perbaikan rumusan mengenai bentuk negara dan bentuk pemerintahan, penamaan bab bukan institusinya, melainkan fungsinya (misalnya kekuasaan legislatif: dilakukan oleh DPR dan DPD/ bikameral), mengenai pembedaan fungsi DPD dan DPR dalam pembentukan UU, mengenai keadaan presiden berhalangan tetap (diusulkan tiga istilah: mangkat, berhenti dan diberhentikan), pengisian jabatan presiden dan wakil presiden jika terjadi kekosongan dijabat oleh Ketua DPR dan Ketua DPD sebagai wakilnya), alternatif
36 Ibid, hlm. 326 – 338.
pemberhentian presiden atau wakil presiden dalam masa jabatan (yang menuntut DPR dan diputus oleh MPR sebagai sidang gabungan), MPR sebagai forum,
pemilihan anggota Komisi Yudisial oleh DPR. 37 Dalam Tim Bidang Ekonomi pendapat yang berkembang adalah mengenai
sistem ekonomi pasar yang saat ini berkembang dan sistem ekonomi dalam UUD 1945 saat itu yang dianggap sistem ekonomi sosialis. 38 Selain itu, terdapat juga
pendangan mengenai tetap mempertahankan asas kekeluargaan, dan perlu penambahan ayat untuk mencantumkan prinsip demokrasi ekonomi yang sebelumnya diletakkan dalam Penjelasan UUD 1945. Secara prinsip, pendapat yang tidak dapat disepakati mengenai sistem ekonomi antara sistem ekonomi
pasar dan sistem ekonomi kerakyatan. 39 Dalam bidang pendidikan, Tim Ahli lebih banyak menyoroti rancangan
perubahan UUD 1945 dari PAH I yang mencantumkan prosentase anggaran 20%. Walaupun Tim Ahli sepakat agar anggaran bidang pendidikan dicantumkan dalam
UUD, namun prosentasenya diatur dalam UU, tidak harus dalam UUD. 40 Selain itu, tim Bidang Pendidikan juga mengusulkan pemisahan bab pengajaran dan bab
pendidikan, 41 serta mengenai tanggung jawab pendidikan yang proporsinya harus lebih besar pemerintah dibandingkan masyarakat. 42
37 Ibid., hlm. 338 – 352. 38 Ibid., hlm. 354. 39 Kedua pakar dala Tim Bidang Ekonomi yang sangat berbeda pendapat adalah Mubyarto yang
mempertahankan sistem ekonomi kerakyatan dalam Pasal 33 dan Sjahrir yang membela sistem ekonomi pasar. Ibid., hlm. 357, 359.
40 Pendapat ini disampaikan oleh Jahja Umar, sekretaris Bidang Pendidikan, yang didukung oleh salah satu anggota tim ahli Bidang Pendidikan, Wuryadi. Ibid., hlm. 362 – 363.
41 Diutarakan oleh Koordintor tim Bidang Pendididkan, Willy Toisuta. Ibid.,hlm. 360. 42 Diutarakan oleh anggota tim Bidang Pendidikan Wuryadi, dan Soedjarto. Ibid.,hlm. 363.
Di bidang agama, ada tujuh hal yang diungkapkan tim bidang Agama, Sosial dan Budaya, yaitu relasi agama dan negara harus tetap dipertahankan tetapi hubungan tersebut bersifat administratif (tidak mencampuri urusan internal agama), pembukaan UUD 1945 tetap dipertahankan, Pasal 29 ayat (1) tidak diamandemen (diubah), setiap warga negara harus berketuhanan, tidak perlu ada dikotomi antara agama dan HAM, Pancasila tetap sebagai dasar negara, agama
tidak menjadi alat legitimasi politik. 43 Tim tersebut juga menegaskan kebebasan beragama tidak diatur kembali karena sudah diatur dalam Bab HAM. 44 Sementara itu, dalam bidang sosial budaya, diusulkan agar Pasal 32 terdari dari dua ayat. 45
dibahas pada tahun 2001 menjadi Perubahan Ketiga. Setelah mendengar pendapat Tim Ahli, PAH I membahas pasal-pasal yang akan diubah dan kemudian dibahas dan diputuskan dalam BP MPR sebagai rancangan perubahan UUD 1945. Dalam rapat BP MPR tersebut juga diputuskan rancangan pembentukan Komisi Konstitusi yang diusulkan oleh F-PPP,F-PDIP,
F-KB, dan F-UG. 46 Selanjutnya rancangan -rancangan tersebut diajukan kepada Sidang Tahun MPR 2001, yang di dalamnya dibahas kembali melalui Komisi A
dan dirumuskan oleh Tim Perumus. Ketika hasil Tim Perumus dipresentasikan pada rapat Komisi A, ada beberapa hal yang belum disepakati, yaitu mengenai
DPD, kedaulatan rakyat, dan Bank Sentral. 47 Hal tersebut terjadi hingga waktu
43 Ibid., hlm. 365. 44 Ibid., hlm. 366. 45 Usulan tersebut: ayat (1) “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia dengan
tetap memelihara dan memajukan kebudayaan daerah”; ayat (2): “Pemerintah menjamin dan memajukan kebebasan daerah dan warga negara untuk mengembangkan kebudayaannya”. Ibid., hlm. 367.
46 Ibid., hlm. 400. 47 Ibid., hlm. 368.
Komisi A habis, dan harus dilaporkan dalam Sidang Tahunan, sehingga hasil kerja Komisi A dilaporkan apa adanya dan diselesaikan melalui lobi antar fraksi. 48
Bab-bab yang disepakati dalam Komisi A, yaitu Bab Bentuk dan Kedaulatan, Dasar Negara (alternatif: tidak perlu dicantumkan karena telah dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945), MPR (ada 3 alternatif), Kekuasaan Pemerintahan Negara (ada dua alternatif dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden tahap dua, dan dua alternatif mengenai pengaturan jika jabatan Presiden dan Wakil Presiden kosong), DPA (dua alaternatif: dihapus dan dimasukkan ke dalam bab kekuasan pemerintahan negara atau diubah rumusannya), Kementerian Negara, Pemerintah Daerah (tetap seperti perubahan kedua, namun nama bab berubah), DPR (tetap seperti perubahan kedua), DPD, Pemilu, Hal Keuangan (ada dua alternatif dalam hal mata uang: ditentukan berupa Rupiah atau diatur dalam
UU), BPK, dan Kekuasaan Kehakiman. 49 Namun demikian, diusulkan pula, untuk materi rancangan perubahan UUD 1945 yang masih memiliki alternatif dan
usulan beberapa fraksi mengenai susunan dan keanggotaan MPR dan sistem ketatanegaraan lainnya agar dibahas pada tahun 2002. 50 Setelah mengalami
perdebatan Komisi A dilanjutkan dengan pembentukan Tim Perumus, Perubahan Ketiga ditetapkan dalam rapat paripurna Sidang Tahunan 2001. Namun demikian, masih terdapat materi rancangan perubahan UUD 1945 yang belum disepakati, demikian pula belum menghasilkan putusan atas usul pembentukan Komisi
48 Usulan untuk melaporkan hasil kerja Komisi A apa adanya diungkapkan oleh Ali Masykur Musa (F-KB), sementara lobi antar fraksi diusulkan oleh Jakob Tobing. Ibid., hlm. 368 – 369.
49 Ibid., hlm. 370 – 383. 50 Ibid., hlm. 383.
Konstitusi. 51 Perubahan Ketiga UUD 1945 juga menandai pembentukan dua lembaga negara baru, yaitu Mahkamah Kostitusi dan Komisi Yudisial. 52 Hasil
perubahan tersebut mencakup 68 diktum yang terdiri dari perubahan dan atau penambahan pasal, ayat dan bab.
Selanjutnya proses perubahan keempat dilakukan pada masa Sidang Tahun 2002 untuk menyelesaikan materi-materi rancangan perubahan UUD 1945 yang belum diputuskan, yaitu mencakup materi-materi yang sebelumnya masih memiliki beberapa alternatif, yaitu: mengenai dasar negara, MPR, kekosongan presiden dan wakil presiden secara bersamaan, DPA, dan mata uang. Proses perubahan keempat tersebut didasarkan pada Tap MPR Nomor XI/ MPR/ 2001 yang mengatur penugasan BP MPR untuk mempersiapkan ramcangan perubahan UUD 1945.
Dalam proses perubahan keempat UUD 1945, PAH I BP MPR 2002 juga mengundang berbagai kelompok masyarakat, lembaga negara dan lembaga pemerintah, pakar-pakar dan tokoh-tokoh masyarakat. MPR juga mendapat sejumlah kritik dari organisasi non pemerintah (Ornop) mengenai kelemahan –
53 kelemahan perubahan pertama, kedua, dan ketiga 54 serta berbagai usulan baru. Walaupun demikian, ada akhirnya, hasil perubahan keempat tersebut tidak
berbeda jauh materi-materi yang tersisa pada masa akhir Sidang Tahun 2001,
51 Ibid., hlm. 403. 52 Sebenarnya terdapat lembaga baru menggantikan DPA, yaitu suatu dewan pertimbangan
presiden. Namun demikian, karena kedudukannya di bawah Presiden, maka lebih tepat disebut lembaga pemerintah. Lihat Pasal 16 Perubahan Keempat UUD 1945.
53 Antara lain disampaikan oleh Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru melalui juru bicaranya Bambang Widjojanto. Ibid., hlm. 443 – 444.
54 Misalnya, usulan untuk memperjelas “keadaan bahaya” dalam Pasal 12 UUD 1945 sebagaimana diungkapkan M. Fajrul Falaakh mewakili UGM, dan usulan Sri Soemantri mengenai
perlunya Aturan Peralihan. Ibid., hlm. 482 – 483.
kecuali mengenai Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan. Pada akhir Sidang Tahunan MPR 2002 juga ditetapkan Tap MPR Nomor I/ MPR/ 2002 tentang Pembentukan Konstitusi yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan MPR No. IV/ MPR/ 2003 yang menetapkan anggota Komisi Konstitusi yang menandai dimulai pekerjaan Komisi Konstitui selama tujuh bulan. Namun demikian, hal tersebut mencerminkan keberadaan Komisi Konstitusi terlepas dari empat perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan.
Di akhir masa Sidang Tahun MPR 2000, MPR juga telah melakukan konsolidasi naskah UUD 1945, berupa “UUD Negara Republik Indonesia 1945 dalam Satu Naskah” sebagaimana diusulkan Komisi A yang kemudian disetujui dalam Rapat Paripurna. 55 Hal itu dilakukan untuk memudahkan pemahaman
terhadap UUD 1945.