Budaya Konstitusi Constitutional Di Culture

LAPORAN PENELITIAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BUDAYA KONSTITUSI (CONSTITUTIONAL CULTURE) DALAM UUD 1945 PERUBAHAN DIKAITKAN DENGAN GAGASAN PERUBAHAN KELIMA UUD 1945

Oleh:

Ketua : Dr. Indra Perwira, S.H., M.H. Anggota : Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M.

Bilal Dewansyah, S.H.

Dibiayai oleh Dana DIPA Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2009

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Nomor : 866a /H6.7/Kep/FH/2009 Tanggal : 1 Juni 2009

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2009

BUDAYA KONSTITUSI (CONSTITUTIONAL CULTURE) DALAM UUD 1945 PERUBAHAN DIKAITKAN DENGAN GAGASAN PERUBAHAN KELIMA UUD 1945

Indra Perwira Susi Dwi Harijanti Bilal Dewansyah

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi hasil perubahan UUD 1945 yang banyak menimbulkan ketidakjelasan dan respon berbagai pihak yang mengusulkan perubahan kelima terhadap UUD 1945 hasil perubahan. Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui budaya konstitusi yang ada dalam UUD 1945 hasil perubahan dan kaitannya dengan gagasan perubahan kelima terhadap UUD 1945.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis historis dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitas. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi kepustakaan (library research) dan studi melalui internet (online research) untuk mengumpulkan bahan hukum primer, UUD 1945 dan bahan hukum sekunder berupa risalah perubahan UUD 1945, buku, jurnal yang membahas tenang konstitusi, konstitusionlisme, dan budaya konstitusi serta hasil kajian berbagai pihak yang mengusulkan perubahan kelima UUD 1945, serta berita-berita yang dimuat di media massa. Data-data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan.

Penelitian ini menyimpulkan, pertama: budaya konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan memiliki karakter yang reaksioner. Hal tersebut tercermin dari proses perubahan UUD 1945 dari mulai kecenderungan untuk mengubah seluruh materi UUD 1945 dengan pemilihan sistem perubahan addendum yang lebih tepat digunakan dalam konteks perubahan konstitusi secara parsial. Akibatnya, proses perubahan UUD 1945 tidak didasari oleh suatu desain yang komprehensif, minimnya keterlibatan masyarakat secara substantif, dan hasil perubahan UUD 1945 yang tumpang tindih, khususnya mengenai sistem pemerintahan, dan sistem perwakilan, Namun demikian, dibalik budaya konstitusi yang reaksioner, terdapat karakter budaya konstitusi yang positif, yaitu adanya penegasan prinsip supremasi konstitusi dalam melembagakan kedaulatan rakyat, penekanan pada perluasan jaminan HAM, penegasan sistem desentralisasi melalui pemberian otonomi seluas-luas, serta penekanan pentingnya independensi lembaga peradilan dan judicial review. Kedua, gagasan perubahan kelima terhadap UUD 1945 merupakan salah satu respon terhadap karakter budaya konstitusi reaksioner dalam UUD 1945 perubahan. Hal tersebut menyebabkan berbagai pihak mengkritik proses perubahan UUD 1945, bahkan ketika proses perubahan tersebut masih berlangsung. Kritik – kritik tersebut lebih banyak ditujukan dalam konteks perkembangan pembahasan rancangan perubahan UUD 1945, yang dianggap tidak efektif, tidak memiliki desain yang jelas, tidak transparan, dan tidak partisipatif. Setelah perubahan tuntutan dan usulan perubahan kelima terhadap UUD 1945 hasil perubahan juga dikemukakan berbagai pihak, walaupun pada awalnya juga ditujukan untuk melakukan perubahan parsial, seperti yang dilakukan oleh DPD. Pada akhirnya, usulan perubahan kelima terhadap UUD 1945 dilakukan dengan semangat untuk membentuk konstitusi baru berdasarkan hasil kajian komprehensif, walaupun perkembangannya hanya menjadi pembicaraan dalam kalangan akademik. Tim Peneliti menyarankan agar usulan perubahan kelima terhadap UUD 1945 hasil perubahan tidak dilakukan terburu-buru walaupun hal tersebut didasarkan pada kajian akademis yang komprehensif, agar proses perubahan UUD yang reaksioner tidak terjadi kembali. Gagasan perubahan kelima terhadap UUD hasil perubahan harus diikuti dengan upaya pelibatan masyarakat secara meluas, agar upaya penyempurnaan UUD 1945 di kemudian hari tidak menjadi proses yang elitis

CONSTITUTIONAL CULTURE OF THE AMENDED 1945 CONSTITUTION IN RELATION

TO THE IDEA OF THE FIFTH CONSTITITONAL AMENDNMENT

Indra Perwira Susi Dwi Harijanti Bilal Dewansyah

ABSTRACT

The background of this research relates to a number of constitutional problems resulted from the previous constitutional amendments occurred in 1999-2002 by which encouraging many parties to conduct further amendment. The purposes of this research are to explore constitutional culture of the Amended 1945 Constitution and to analyze the relation between such cultures with the possibility to conduct the fifth amendment.

This research uses juridical and normative as well as juridical historic approaches. Data of this research has been obtained through library research and online research in order to collect primary, secondary as well as tertiary legal resources. These data have been analyzed qualitatively.

The study provides a number of conclusions. Firstly, constitutional culture of the Amended 1945 Constitution has been reactive in nature which reflecting through process of the constitutional amendment. During the process, there were tendencies to amend almost all constitutional subject matters using system of addendum, which mostly appropriate for partial constitutional amendments. As a result, this process of constitutional amendments have been carried with the absent of comprehensive grand design, the minimal of substantive public participation and the overlapping of many articles of the Constitution, particularly in matters of governmental and representative systems. Apart from the reactive cultures, this study has found positive cultures reflecting in the inclusion of a number of important constitutional articles, including the explicit constitutional supremacy, the more comprehensive human rights protection, the improvement of decentralization system through a wider autonomy, and the explicit principles of judicial independence and judicial review. Secondly, the idea of a proposed fifth amendment was a direct response over a reactive constitutional culture resulted from the first until the fourth amendments. Most critics directed to a number of weaknesses during the process of amendment, particularly in relation to the closed debates regarding the drafts of the amendments articles. Initially, the proposal for the need to conduct the fifth amendment was partial in nature as this proposal appeared from the DPD’s initiative in which it proposed amendment of a number articles on powers of the DPD. At the end, however, the DPD’s proposal has been expanded by academics having intention to make a new constitution based on a more comprehensive proposal.

This study recommends that the proposed fifth amendment should be carried out prudently which will be based on a more comprehensive constitutional design. Furthermore, the process of amendment should involve in wider public participation avoiding closed debates by the elites.

KATA PENGANTAR

Laporan ini adalah laporan akhir penelitian yang berjudul “BUDAYA

KONSTITUSI (CONSTITUTIONAL CULTURE) DALAM UUD 1945 PERUBAHAN DIKAITKAN DENGAN GAGASAN PERUBAHAN

KELIMA UUD 1945 ”, hasil penelitian tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang dibiayai oleh dana penelitian DIPA Tahun Anggaran 2009.

Penelitian adalah salah satu respon terhadap proses perubahan UUD 1945 sepanjang tahun 1999 sampai dengan 2002 dan perkembangan di masyarakat akhir-akhir ini yang menghendaki perubahan kelima terhadap UUD 1945 perubahan. Tim peneliti menganggap penting perkembangan tersebut terkait dengan keberlanjutan UUD 1945 yang diharapkan menjadi living constitution di masyarakat.

Tim peneliti berterima kasih kepada berbagai pihak, terutama kepada Sdr. Bilal Dewansyah, S.H. yang telah membantu mempersiapkan draf awal laporan penelitian ini, dan kepada Ezra dan Wicak, mahasiwa Fakultas Hukum Unpad dari kelompok mahasiswa Hukum Tata Negara, PAKTA Padjadjaran, yang telah membantu mengklasifikasi bahan analisis dari risalah perubahan UUD 1945.

Semoga penelitian ini dapat berguna bagi para pihak yang berkepentingan, khususnya para pengambil kebijakan di tingkat pusat dan umumnya bagi para pihak yang memiliki minat pada kajian konstitusi, khususnya kajian budaya konstitusi yang belum banyak dikaji di Indonesia. Sebagai sebuah karya manusia, penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, di kemudian hari diharapkan muncul penelitian-penelitian lanjutan untuk mengembangan hasil penelitian ini.

Bandung, Desember 2009 Tim Peneliti

DAFTAR ISI

hlm LEMBAR INDENTITAS DAN PENGESAHAN

i ABSTRAK

ii ABSTRACT

iii KATA PENGANTAR

iv DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstitusi dan Konstitusionalisme

B. Budaya Konstitusi

III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

B. Manfaat Penelitian

IV METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

B. Teknik Pengumpulan Data

C. Analisis Data

V HASIL PENELITIAN

A. Proses Perubahan UUD 1945

B. Budaya Konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan

63 Kelima UUD 1945

C. Persepsi Terhadap UUD 1945 Perubahan dan Gagasan Perubahan

VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN Curriculum Vitae Peneliti

vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali dalam kurun waktu 1999 sampai dengan 2002, telah mengubah sebagian besar batang tubuh (pasal-pasal) UUD 1945. Sebelum diubah, UUD 1945 terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 49 ayat 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan, sedangkan setelah diubah 4 kali, UUD 1945 terdiri dari 21

bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. 1 Struktur UUD 1945 juga berubah yang semula terdiri dari Pembukaan, Batang

Tubuh, dan Penjelasan, setelah perubahan UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan Pasal-Pasal. Mengingat banyaknya pasal UUD 1945 yang telah diubah, Bagir

Manan menyebutnya sebagai UUD 1945 baru. 2 Sementara itu, dengan menguraikan jumlah pasal-pasal UUD 1945 yang telah diubah, Jimly Asshiddiqie

menyimpulkan bahwa UUD 1945 hasil perubahan merupakan konstitusi baru. 3 Perubahan UUD 1945 tidak serta merta dilakukan tanpa adanya alasan

yang kuat. Terdapat kekurangan UUD 1945 sebelum perubahan yang menjadi alasan dilakukannya perubahan. Dalam buku Panduan Memasyarakatkan UUD 1945 yang diterbitkan Sekretariat Jenderal MPR, dijelaskan lima alasan dilakukannya Perubahan UUD 1945 yang pada intinya sebagai berikut:

1 MPR-RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat MPR-RI, Jakarta, 2006, hlm 42.

2 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2004. 3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konpress, Jakarta, 2005, hlm 61

“1. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) pada institusi-institusi

ketatanegaraan….;2. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden)….; 3. UUD 1945 mengandung pasal- pasal yang terlalu “luwes”, sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multitafsir)….; 4. UUD 1945 terlalu banyak

memberikan kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal- hal penting dengan undang- undang….; 5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia (HAM),

dan otonomi daerah”. 4

Terhadap persoalan kedaulatan rakyat, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelum perubahan berbunyi “kedaulatan rakyat ada di tangan rakyat, dan

dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, dalam Perubahan Ketiga berubah menjadi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Pertanyaannya, apa makna “dilaksanakan menurut UUD”?

Mengenai kekuasaan Presiden yang besar yang mencakup kekuasaan eksekutif dan legislatif serta persoalan check and balances system, telah dilakukan terhadap pasal-pasal UUD 1945 terkait. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang semula mengatur bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR”, dalam Perubahan Pertama UUD 1945, ketentuan tersebut berubah menjadi “Presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR”.

4 MPR-RI, Panduan…,op.cit, hlm 6 – 7. Bandingkan dengan Bagir Manan yang mengungkapkan enam kelemahan UUD 1945, yaitu stuktur UUD 1945 yang menempatkan dan memberikan

kekuasaan yang besar terhadap pemegang kekuasaan eksekutif; struktur UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances…; terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague)…; struktur UUD 1945 banyak mengatur ketentuan organik (undang-undang organik), tanpa disertai arahan materi muatan tertentu yang harus diikuti dan dipedomani; berkaitan dengan penjelasan di mana tidak ada kelaziman UUD memiliki penjelasan resmi; dan berkaitan dengan kekosongan materi muatan. Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 11 – 26.

Sementara itu, dalam Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945 ditegaskan bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk UU”. Persoalannya, Pasal 20 ayat

(2) Perubahan Pertama UUD 1945, menentukan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk

mendapatkan persetujuan bersama”. Dengan demikian, kekuasaan membentuk UU tetap berada di tangan DPR dan Presiden. Hal ini tidak menjawab persoalan

besarnya kewenangan Presiden sebagaimana tercermin dalam alasan ke-2 dan ke-

3 Perubahan UUD 1945 sebagaimana telah diungkapkan di atas. Persoalan tersebut juga berkaitan dengan sistem pemerintahan, apakah UUD 1945 hasil

perubahan menganut sistem presidensial yang murni atau sistem campuran. 5 Selain kedua masalah di atas, persoalan sistem perwakilan juga masih

menimbulkan pertanyaan berkaitan dengan kedudukan dan wewenang DPD. Terbatasnya wewenang DPD hanya dalam hal-hal mengajukan usul dan ikut membahas rancangan UU, serta pengawasan penyelenggaraan pemerintahan hanya dalam hal-hal tertentu, juga mencerminkan masalah sistem perwakilan yang dianut. Walaupun pada awalnya berkembang gagasan sistem perwakilan dua

5 Sebelum Perubahan UUD 1945, Sri Soemantri mengatakan sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran (kombinasi) (Presidensial dan Parlementer - pen). Lihat Sri Soemantri,

Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Penerbit Tarsito,Bandung. 1976, hlm 56. Setelah Perubahan UUD 1945, Sri Soemanteri mempertanyakan dua hal sebagai berikut “apakah Indonesia menganut sepenuhnya sistem pemerintahan presidensial? Siapa yang membentuk undang-undang berdasarka n UUD 1945?”. Sri Soemanteri, “Evaluasi Kritis Terhadap Amandemen UUD 1945”, makalah, disampaikan dalam FGD bertema “Peran DPD Dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia”, Universitas Padjadjaran, Bandung, 6 Agustus, 2007, hlm 6.

kamar 6 , namun ketentuan-ketentuan dalam Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945 mencerminkan dianutnya sistem 3 badan perwakilan. 7

Dalam pelaksanaannya, UUD 1945 hasil perubahan juga ditanggapi dengan usulan perubahan kelima. Hal tersebut penah diajukan oleh anggota- anggota MPR yang merupakan anggota DPD. Namun demikian, pengajuan usul perubahan kelima terhadap UUD 1945 tersebut tidak dapat dilanjutkan karena

dukungan anggota MPR yang tidak memenuhi ketentuan perubahan UUD 1945. 8 Pada tataran akademis, gagasan perubahan kelima juga berkembang, misalnya

dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional pada tahun 2008. Dalam buku Gagasan Amandeman Kelima UUD 1945 yang merupakan kumpulan tulisan para kontributor seminar tersebut, terdapat sejumlah gagasan perubahan kelima UUD 1945 yang mencakup masalah-masalah

kekuasaan kehakiman, sistem pemerintahan, dan sistem perwakilan. 9 Paparan di atas mencerminkan pertanyaan mendasar, apakah yang

mempengaruhi rangkaian Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan termasuk gagasan perubahan kelima yang berkembang akhir-akhir ini. Seperti diketahui

6 Salah satu pemikiran dihasilkan oleh sebuah panel yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Habibie di bawah koordinasi Jimly Asshidiqie. Lihat Bagir Manan, DPR, DPD…op.cit, hlm

ix 7 Ibid, hlm 5

8 Pada awalnya, usul tersebut juga mendapatkan dukungan dari anggota MPR yang berasal dari DPR. Dukungan konkret pertama sejak ide reformasi konstitusi bergulir diberikan oleh 9 anggota

Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR pada 12 Februari 2007. Kemudian disusul oleh 5 anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) MPR pada 25 Februari 2007 dan 11 anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR) MPR pada 28 Februari 2007. Hingga tanggal 7 Agustus 2007, jumlah dukungan

sebanyak 215 orang 8 . Dengan demikian, masih dibutuhkan 11 dukungan untuk memenuhi syarat minimal usulan amendeman Pasal 22D UUD 1945 (dukungan minimal 226 orang). Hingga pada

tanggal 8 Agustus 2008, dukungan tersebut ditarik kembali oleh sebagian besar anggota DPR yang menyebabkan usul perubahan UUD 1945 tidak dapat diteruskan. Lihat Susi Dwi Harijanti, Miranda Risang Ayu, Reformasi Sistem Perwakilan Indonesia, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Unpad, 2008, hlm 3.

9 Moh. Fajrul Falakh (ed), Gagasan Amandemen Kelima UUD 1945, KHN, Jakarta, 2008.

bahwa perubahan konstitusi atau UUD tidak hanya disebabkan oleh ketentuan perubahan yang ada dalam suatu konstitusi, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai

kekuatan politik dan sosial yang dominan pada saat-saat tertentu. 10 Kajian mengenai asumsi-asumsi yang mempengaruhi pembentukan atau perubahan

konstitusi yang akan mempengaruhi pelaksanaan konstitusi termasuk dalam ruang lingkup kajian budaya konstitusi (constitutional culture). 11

B. Perumusan Masalah

Penelitian ini membahas masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah budaya konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan?

2. Bagaimanakah persepsi terhadap Perubahan UUD 1945 dikaitkan dengan gagasan perubahan kelima UUD 1945?

10 Bagir Manan, Teori dan….,op.cit, hlm 3. Lihat pula Wheare, K.C., Modern Constitution, Oxford University Press, London, third impression, 1975, hlm 17.

11 Cheryl Saunders mengatakan bahwa “constitututional culture may be defined to include the assumptions that underlie a constitution and attitudes that affect its operation in practice”.

Saunders , Cheryl, “A Constitutional Culture in Tradition”, dalam Wyrzykowski, Miroslow (ed), Constitutional Culture, Institute of Public Affairs, Warsaw, 2000, hlm 37.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstitusi dan Konstitusionalisme

K.C. Wheare memaknai konstitusi dalam dua arti, yaitu konstitusi dalam arti sempit (in narrower sense) dan dalam arti luas (in wider sense). 1 Konstitusi

dalam arti sempit, tidak hanya merupakan kumpulan aturan-aturan (a collection of rules ), tertulis atau tidak tertulis (legal or extra legal), tetapi merupakan sebuah kumpulan dari aturan-aturan terpilih yang biasanya dilembagakan dalam satu

dokumen atau beberapa dokumen. 2 Jadi, konstitusi dalam arti sempit menurut Wheare adalah “a selection of the legal rules which govern the government of the

country and which have been embodied in a document‖. 3 Sementara itu, Wheare mengartikan konstitusi dalam arti luas dikaitkan dengan pendapat Bolingbroke

yang mengatakan bahwa “by constitution, we mean, whenever we speak with propriety and exactness,

that assemblage law, institutions and customs, derived from certain fixed principles of reason….that compose the general system, according to which the commu 4 nity hath agreed to be governed‖

Dalam arti luas, konstitusi merupakan hukum yang dibuat badan perwakilan, lembaga-lembaga (negara), kebiasan-kebiasaan yang merupakan turunan dari prinsip-prinsip yang beralasan yang menciptakan sistem secara umum di mana berdasarkan hal tersebut masyarakat diperintah. Dengan

1 K.C. Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, London, 1975, hlm. 2. 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Ibid .

demikian, konstitusi dalam arti sempit menurut Wheare merupakan konstitusi yang terdokumentasi, khususnya yang dilembagakan dalam sebuah dokumen.

Beberapa pengertian konstitusi dalam arti sempit juga dapat dilihat dari pendapat James Bryce dan C.F. Strong. James Bryce, sebagaimana dikutip oleh

C.F. Strong, mengatakan bahwa konstitusi adalah “ a frame of political society, organized through and by law, that is to say one in which law has established

permanent institution with recognized function and definite rights‖. 5 Pendapat Bryce tersebut lebih menekankan pada pengaturan lembaga-lembaga (negara)

tetap dengan fungsi dan hak-hak tertentu. Lebih luas dari pendapat di atas, C.F. Strong mengatakan b ahwa konstitusi adalah “a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relation

between the two are adjusted‖. 6 Selain mengenai kekuasaan pemerintah, konstitusi menurut Strong juga mencakup prinsip-prinsip yang mengatur hak-hak

yang diperintah (rakyat) dan hubungan antara pemerintah dan rakyat. Kedua pendapat tersebut saling melengkapi, namun pendapat Strong lebih lengkap dibandingkan Bryce untuk menggambarkan pengertian konstitusi.

Adanya konstitusi tidak terlepas dari ide pembatasan kekuasaan atau paham konstitusionalisme, walaupun pada awalnya istilah konstitusi merupakan

istilah “netral” yang berkembang dalam tradisi kekaisaran Romawi untuk menyebut produk legislasi yang ditetapkan kaisar. 7

5 James Bryce dalam C.F. Strong, Modern Political Constitution, ELBS and Sidgwick and Jacson Ltd, London, 1966, hlm. 11.

6 Ibid. 7 Jimly Asshiddiqie mengutip dari buku yang ditulis oleh Charles Howard McIlwain

(Constitutionalism: Ancient and Modern (1947)), membahas panjang lebar mengenai istilah konstitusi, yang pada awalnya (constitution) dalam kekaisaran Romawi didgunakan sebagai istilah

Secara historis, konstitusionalisme mulai berkembang pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai misi politik yang hendak dicapai oleh konstitusi tertulis negara bangsa (nation state). Tujuan mendasar konstitusi pada masa itu adalah untuk membuat monarch (raja) tunduk pada hukum, yaitu dengan cara

membentuk “pemerintah berdasarkan hukum” bukan berdasarkan “orang”. 8 Dalam konteks tersebut sangat tepat pendapat Wheare yang mengatakan bahwa

konstitusi adalah an instrument by which government can be controlled 9 (instrument untuk mengawasi pemerintah). Konstitusi berkembang dari ide

pemerintahan yang terbatas (spring from belief in limited government). 10 Strong juga mengungkapkan hal yang serupa, bahwa tujuan dari konstitusi adalah to limit

the arbitrary action of the government (untuk membatasi dari tindakan pemerintahan yang sewenang-wenang, to guarantee the rights of the governed (untuk menjamin hak-hak yang diperintah), dan to define the operation of the sovereign power (untuk menentukan batas-batas pelaksananaan kekuasaan yang

berdaulat). 11 Dalam konteks pembatasan kekuasaan, suatu konstitusi memuat aturan-aturan ketatanegaraan yang bersifat mendasar (hal-hal pokok). Seperti

teknis untuk menyebut “the acts of legislation by the Emperor”. Begitu juga di Inggris “Constitutions of Clarendon 1164” disebut oleh Henry II sebagai “constitutions”, “aviatae constitutions or leges, a recarditio vel recognition, yang menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan negara pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Lihat Jimly Asshiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, Konpress, Jakarta, 2005, hlm. 2 - 3.

8 Anne Peters & Klaus Armingeon, “Introduction—Global Constitutionalism from an Interdisciplinary Perspective ”, Indiana Journal of Global Legal Studies 16:2, Indiana University

Maurer School of Law, Bloomington, 2009, hlm. 388. 9 K.C. Wheare, op.cit., hlm. 7.

10 Ibid. 11 C.F. Strong, op.cit, hlm 12.

dikatakan oleh Sri Soemantri bahwa pada umumnya konstitusi terdiri tiga hal pokok yaitu: 12

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi dan warga negara;

2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; dan

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Namun demikian, konstitusionalisme bukan merupakan konsep statis,

melainkan bersifat dinamis yang berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Mark Tushnet berpendapat bahwa konsep awal konstitusionalisme berhubungan dengan konsep liberlisme klasik di mana perhatian utamanya adalah

memastikan kekuasaan pemerintah tidak disalahgunakan, 13 yang salah satunya menekankan pada jaminan hak-hak sipil dan politik. Namun demikian, pada abad

ke-20 terjadi transformasi makna konstitusionalisme yang tidak hanya menekankan pada jaminan hak-hak sipil dan politik agar melainkan juga hak-hak

ekonomi, sosial, budaya. 14 Gagasan konstitusionalisme menurut Carl J. Friedrich adalah:

“Pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang

dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk

12 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Edisi Kedua, Penerbit Alumni, Bandung, 2006, hlm. 60.

13 Mark Tushnet, “Comparative Constitutional Law”, dalam Mathias Reimann & Reinhard Zimmermann, (ed), The Oxford Handbook of Comparative Law, Oxford University Press, London,

2008, hlm. 1231. 14 Tushent menjelaskan hal tersebut terkait dengan kemunculan partai-partai sosialis dan sosial

demokratik pada akhir abad ke-19 dan respon dari Gereja Katholik terhadap kritik kedua partai tersebut sebagai kritik terhadap kapitalisme dan program-program politiknya sehingga terjadi perluasan ruang lingkup konstitusi yang awal hanya memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak klasik di bidang sipil dan partisipasi politik, dan persamaan kemudian mencakup pula jaminan hak-hak ekonomi dan sosial. Ibid.

pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah 15 ”

Terkait pendapat di atas, tepat yang katakan Mark Tushnet bahwa konstitusionalisme adalah sebuah a threshold concept (konsep yang memiliki

ambang batas/ ukuran minimum). 16 Artinya, ada syarat-syarat minimal tertentu yang harus dipenuhi, agar kekuasaan pemerintah dapat dibatasi. Namun demikian,

secara subtansi akan banyak cara bagaimana syarat-syarat tersebut dipenuhi dalam rincian kelembagaan (suatu negara). 17 Artinya, penerapan syarat atau prinsip

minimal konstitusionalisme akan berbeda-beda untuk tiap-tiap negara. Hal ini terkait dengan hakekat dari “isi” konstitusionalisme sebagai suatu kesepakatan

atau konsensus di antara rakyat. Jimly Asshiddiqie mengatakan, jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula kekuasaan negara yang bersangkutan, dan

pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. 18 Dalam konteks di atas, dapat diambil benang merah, bahwa konstitusi

tidak sama dengan konstitusionalisme. 19 Suatu negara yang memiliki konstitusi belum tentu menerapkan gagasan konstitusionalisme, tetapi “constitutionalism

asks for a legitimate constitution ” (konstitusionalisme menginginkan sebuah

15 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm. 57.

16 Mark Tushnet, “Comparative Constitutional Law”, dalam Mathias Reimann & Reinhard Zimmermann, op.cit., hlm. 1230.

17 Ibid. 18 Jimly Asshiddiqe, Konstitusi…, op.cit., hlm.25.

19 Seperti dikatakan oleh Anne Peters & Kluas Armingeon bahwa “Constitutionalism does not refer simply to having a constitution, but to having a particular kind of constitution, however

difficult it may be to specify its contents ”. Anne Peters & Klaus Armingeon, “Introduction—Global Constitutionalism from an Interdisciplinary Perspective ”, Indiana Journal of Global Legal Studies 16:2, Indiana University Maurer School of Law, Bloomington, 2009, hlm. 388.

konstitusi yang terlegitimasi). 20 Legitimasi tersebut tentu saja terkait dengan penerimaan norma-norma konstitusi oleh rakyat sebagai bagian dari proses

demokrasi. 21 Dalam konteks tersebut maka konsep konsep konstitusionalisme dalam perkembangannya lebih mencerminkan konsep konstitusionalisme

demokratis (democratic constitusionalism) di mana ketidaksepahaman atau perbedaan pandangan dianggap sebagai “a normal condition‖ untuk pengembangan hukum ketatanegaraan. 22

Dalam konteks pembentukan konstitusi suatu negara, Wheare mengatakan bahwa alasan pembentukan konstitusi-konstitusi modern adalah to make a fresh

start. 24 Wheare mencontohkan alasan to make a fresh start tersebut dalam 4 hal , yaitu karena komunitas-komunitas yang hidup berdampingan akan bersatu dalam

satu pemerintahan yang baru (misalnya Amerika Serikat), atau karena komunitas- komunitas tertentu telah lepas dari ikatan kerajaan tertentu sebagai hasil dari

20 Anne Peters & Klaus Armingeon, op.cit., hlm. 388. 21 Helen Fenwick, Gavin Phillipson mengamati terdapat 2 tujuan konstitusi yang berkembang dari

sejumlah pemikiran, yaitu untuk membatasi kekuasaan, dan untuk memastikan bahwa kekuasaan yang didapat berasal dari sumber yang sah (legitimate). Dengan kata lain, tujuan pertama menekankan pada cara penggunaan kekuasaan, dan tujuan kedua menekankan legitimasi sumber kekuasaan. Tujuan pertama, terkait dengan hakekat negara berdasarkan atas hukum (Rule of Law), dan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sementara yang kedua berkaitaan dengan konsep legitimasi demokratis (democratic legitimacy). Selanjutnya, Helen Fenwick dan Gavin Phillipson mengamati sejumlah pemikiran yang memandang adanya pertentangan (tension) antara konsep negara berdasarkan atas hukum dan demokrasi. Lihat Helen Fenwick, Gavin Phillipson, Text, Cases & Materials On Public Law & Human Rights, Second Edition, Cavendish Publishing Limited, London, 2003, hlm. 1. Pandangan tersebut tidak menganggap negara berdasarkan hukum dan demokrasi sebagai konsep yang saling terhubung dalam paham konstitusionalisme yang telah berkembang. Namun demikian, kedua hal tersebut merupakan suatu kontinum di mana paham konstitusionalisme pada awalnya menginginkan pemerintahan yang terbatas, dan selanjutnya juga mensyaratkan bahwa norma-norma konstitusi harus mencerminkan kehendak rakyat melalui proses demokrasi.

22 Robert Post and Reva Siegel, “Roe Rage: Democratic Constitutionalism and Backlash”, Research Paper No. 131, Yale Law School, hlm. 2. http://papers.ssrn.com/abstract=990968 , diunduh pada

14 November 2009. 23 Ibid. hlm 6

24 Ibid 24 Ibid

Jika dikaitkan dengan perkembangan paham konstitusionalisme, “fresh st art‖ yang dimaksudkan oleh Wheare, sebagai alasan pembentukan suatu konstitusi mencerminkan penyesuaian atau bahkan penolakan terhadap gagasan konstitusionalisme yang ada dalam konstitusi sebelumnya (atau konsitusi induk dalam kasus Amerika Serikat), disesuaikan dengan gagasan konstitusionalisme baru yang tercermin dalam konstitusi yang dibentuk kemudian.

Namun demikian, ada kalanya pertentangan antara ketentuan normatif dalam konstitusi dan kehendak rakyat atas suatu tatanan negara yang lebih baik, tidak selalu diikuti dengan pembentukan konstitusi baru. Kondisi yang juga mungkin terjadi adalah tuntutan melakukan perubahan konstitusi. Hal tersebut merupakan suatu fenomena yang wajar, terkait dengan adanya perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang sebelumnya tidak terprediksi atau ketidaksempurnaan konstitusi sebagai produk manusia. Seperti dikatakan oleh Sri Soemantri bahwa, generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi

yang akan datang. 25 Sementara itu terkait dengan ketidaksempurnaan konstitusi,

25 Sri Soemantri, Prosedur…., op.cit., hlm. 9.

Bagir Manan mengutip pendapat Morris (salah seorang the framers of constitution Amerika Serikat), yang menyadari ketidaksempurnaan konstitusi Amerika Serikat

dan menyerahkan kepada generasi berikutnya melalui prosedur “amandement”. 26 Dari pembahasan di atas, dapat diambil benang merah bahwa perubahan

mendasar gagasan konstitusionalisme di suatu negara selalu berujung pada penggantian atau perubahan norma-norma konstitusional yang tercermin dalam konstitusi. Tidak ada yang dapat memastikan apakah perubahan pandangan konstitusionalisme di suatu negara berujung pada penggantian atau perubahan konstitusi secara parsial. Seperti dikatakan oleh Wheare bahwa a constitution is indeed the resultant of a parallelogram of forces – political, economic, and social – which operate at the time its adoption (suatu konstitusi adalah hasil dari pergulatan kekuatan-kekuatan baik politik, ekonomi, dan sosial, ketika konsitusi

tersebut ditetapkan). 27 Perubahan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik atau sosial yang mempengaruhi konstitusi akan menentukan bagaimana isi dari konstitusi,

apakah berbeda sepenuhnya dengan konstitusi sebelumnya, atau hanya mengubah norma-norma tertentu.

B. Budaya Konstitusi

Pembahasan di atas mencerminkan bahwa konstitusi dan konsitusionalisme tidak hanya dapat dipahami oleh sudut pandang hukum semata, oleh karena paham konsititusionalisme yang tercermin dalam konstitusi merupakan hasil kekuatan-kekuatan yang berkembang di masyarakat pada masa

26 Bagir Manan, Teori dan….,op.cit, hlm 1 – 2. 27 K.C.Wheare, op.cit., hlm. 67.

tertentu. Hal ini juga ditegaskan oleh Gagik Harutyu nian, bahwa “….the Constitution and constitutionalism may not be viewed only from the narrow legalistic perspective, in the context of pragmatic legal relations or abstract

notions 28 ”. Harutyunian menekan bahwa konstitusi dan konstitusionalisme adalah fenomena budaya (cultural phenomena), yang telah berakar dalam interdependent

value systems (sistem nilai yang saling bergantung sama lain), yang menawarkan pedoman bermasyarakat secara jelas, dan merupakan persepsi masyarakat yang

komprehensif dan tertanam di dalam pikiran (comprehensive and cognizance) . 29 Dalam konteks tersebut, Harutyunan menekankan pada budaya konstitusi

(constitutional culture) dan pengaruhnya terhadap model dan strategi demokrasi konstitusional yang dipilih. 30 Hal yang sama juga dikatakan oleh Peter Häberle,

bahwa: ―Constitution is not limited to just being a set of legal texts or a mere

collection of laws, but that it expresses a certain degree of cultural development, a means of an entire people’s personal selfrepresentation,a

mirror of their cultural legacy and the bedrock of their hopes and desires.‖ 31

Dalam konteks di atas, tepat yang dikatakan oleh Mark Tusnet bahwa writing a constitution….is an exercise reflection and choice. 32 Refleksi mencakup

28 Gagik Harutyunian, Constitutional Culture : The Lessons of History and The Challenges of Time, Academic Council of the Academy of Public Administration of the Republic of Armenia,

Yerevan, revised English edition, 2009, hlm 22. 29 Ibid.

30 Harutyunan melanjutkan, “It is in this framework of complementarity that constitutional culture in its turn determines the choice of the model of constitutional democracy and the strategy

thereof ”. Ibid. 31 Antonio María Hernández, Daniel Zovatto, Manuel Mora Y Araujo, Survey on Constitutional

Culture Argentina: An Anomic Society, Universidad Nacional Autónoma de México - Asociacion Argentina De Derecho Constitucional - IDEA International, 2006, hlm. 9 - 10.

32 Pendapat Mark Tushnet tersebut diilhami dari pandangan Alexander Hamilton dalam The Federalist Paper dalam konteks pembentukan konsitusi Amerika Serikat yang menyatakan bahwa 32 Pendapat Mark Tushnet tersebut diilhami dari pandangan Alexander Hamilton dalam The Federalist Paper dalam konteks pembentukan konsitusi Amerika Serikat yang menyatakan bahwa

Sebagai fenomena multidemensi, budaya konstitusi merupakan objek kajian dari berbagai disiplin ilmu, misalnya ilmu politik dan ilmu hukum. Dalam ilmu politik, budaya konstitusi dianggap sebagai bagian dari budaya politik dan budaya warga (political and civic culture), menyangkut perilaku-perilaku

konstitusional tertentu. 33 Sementara itu dalam kajian ilmu hukum, budaya konstitusi dianggap sebagai bagian dari budaya hukum secara umum. Misalnya,

Francis Snyder yang mengatakan bahwa budaya konstitusi merupakan bagian dari budaya hukum secara umum (the general legal culture). 34 Ketika Lawrence M.

Friedman memberikan definisi budaya hukum pada tahun 1963, Snyder menganggapnya sebagai definisi terbaik tentang budaya hukum. 35 Menurut

Friedman, budaya hukum adalah the values and attitudes which bind the system together, and which determine the place of the legal system in the culture of the society as a whole (nilai-nilai dan perilaku yang mengikat suatu sistem secara

perencanaan kelembagaan negara lebih ditentukan oleh “reflection and choice‖ dari pada “accident and force‖. Mark Tushnet, “Comparative Constitutional Law”, dalam Mathias Reimann

& Reinhard Zimmermann, op.cit., hlm 1226. 33 Nikolay Wenzel menyebut beberapa ahli ilmu politik seperti, Almond and Verba (1965);

Putnam (1978 dan 1993), Sartori (1965), atau Franklin dan Baum (1995), yang pada intinya mengidentifikasi budaya konstitusi sebagai “an element of political and civic culture dealing specifically with constitutional attitudes ”. Lihat Nikolay Wenzel, “Ideology, Constitutional Culture And Institutional Change: The EU Constitution as Reflection Of Europe’s Emergent Postmodernism ”. Romanian Economic and Business Review – Vol. 2, No. 3, hlm. 24.

34 Francis Snyder sebagaimana dikutip dari Gagik Harutyunian, op.cit., hlm. 19. 35 Ibid.

bersamaan, yang menentukan letak sistem hukum dalam budaya masyarakat sebagai satu kesatuan). 36

Gagik Harutyunian mengikuti Snyder mengembangkan batasan constitutional culture: ―…as a historically formed sustainable value system of convictions,

perceptions, and legal awareness, enriched by the experience of generations, that constitutes the basis for the social community in the process of establishing and guaranteeing, through public accord, of the

fundamental rules of democratic and lawful behaviour 37 ‖.

Menurut Gagik Harutyunian, faktor-faktor yang menentukan constitutional culture yaitu:

1. trends in the development of the society and the degree of social validation of man;

2. the nature of relations between an individual and the society; value system priorities of the social community;

3. the level of development of production relations; the level of social protection of an individual;

4. the level of legal and philosophical perception of social phenomena and patterns;

5. the level of political culture and legal awareness within the society; the existence of socio-economic prerequisites for the establishment of social accord;

6. the ideological orientation of state authorities and the level of their und erstanding of the responsibility for the society’s future;

7. the nature of impact of universal values and the degree and possibility of harmonization thereof with the qualities of national identity;

8. the nature of impact by exogenous and endogenous factors on systemic stability, etc. 38

Sementara itu, Cheryl Saunders mengatakan bahwa “constitutional culture may be defined to include the assumptions that underlie a constitution and

36 Ibid. 37 Ibid., hlm. 29. 38 Ibid., hlm. 26 – 27.

attitudes that affect its operation in practice‖ 39 (budaya konstitusi adalah asumsi- asumsi (pemikiran) yang mendasari sebuah konstitusi dan perilaku yang

mempengaruhi pelaksanan konstitusi tersebut dalam praktek). Budaya konstitusi merupakan hasil dari pengalaman sejarah, pemikiran filsafat yang dominan, dan

keadaan sosial ekonomi. 40 Selanjutnya, Saunders menekankan pada faktor kompleksitas budaya ketika sistem beberapa aspek ketatanegaraan negara tertentu

ditransplantasi dari suatu negara ke jurisdiksi negara lainnya. 41 Konsep budaya konstitusi demikian, digunakan untuk menganalisis model konstitusional dalam

Konstitusi Australia yang dipengaruhi budaya konstitusi Inggris dan Amerika Serikat, namun mengatasi perbedaan sistem tersebut, maka Australia juga

mengadopsi sistem ketatanegaraan Swiss dalam hal referendum. 42 Sementara itu, Nikolay Wenzel memberikan pengertian budaya konstitusi

sebagai sebuah tipe ideologi tertentu sebagai suatu perilaku mengenai pembatasan konstitusional dan konstitusionalisme, yang di dalamnya mencakup ungkapan- ungkapan yang implisit atau eksplisit, dinyatakan atau tidak dinyatakan, secara sadar atau tidak sepenuhnya sadar, pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan norma-norma dari suatu kumpulan tentang hakekat, ruang lingkup dan dan fungsi

pembatasan konstitusional. 43 Dalam sebuah laporan survey mengenai budaya konstitusi Argentina,

Antonio María Hernández dkk dengan mengutip pendapat ahli-ahli hukum mendefinisikan budaya konstitusi sebagai:

39 Saunders, Cheryl, “A Constitutional Culture in Tradition”, loc.cit, hlm 37. 40 Ibid. 41 Ibid. 42 Ibid., hlm. 38. 43 Nikolay Wenzel , “Ideology, …¸op.cit., hlm. 24.

―the sum of attitudes and ideas, subjective experiences, scales of values, subjective expectations and the corresponding objective actions both at the personal level of a citizen and his associations, as well as at the level of

government entities and any other institution related to the Constitution.‖ 44

Dengan pengertian di atas, Antonio María Hernández dkk melakukan penelitian kuantitatif untuk mengetahui budaya konstitusi yang berkembang di masyarakat Argentina. Penelitian tersebut lebih bersifat ex-poste, dengan menangkap persepsi masyarakat Argentina terhadap konstitusi dan

pelaksanaannya. 45 Dengan persepsi tersebut, Antonio María Hernández dkk mengajukan beberapa rekomendasi untuk memastikan lembaga-lembaga negara

berfungsi dengan baik berdasarkan negara berdasarkan hukum yang konstitusional dan demokrastis. 46

Sementara itu, Jason Mazzone dalam tulisannya mengenai pembentukan budaya konstitusi di Amerika Serikat mengatakan bahwa constitutional culture ( budaya konstitusi):

― …the disposition of regular citizens to recognize and accept that they are governed by a written document, one that creates institutions of government and sets limits on what the government may do; the accepted belief that the governing charter is created by the citizenry; the knowledge that the charter is not timeless, but rather that the citizens may change it or revoke it under certain circumstances; and the understanding that until the charter is changed we are bound by it and required to go along with its

ultimate results even though we are free to disagree with them 47 ‖

44 Antonio María Hernández, Daniel Zovatto, Manuel Mora Y Araujo, op.cit., hlm. 10. 45 Seperti dikatakan oleh Antonio María Hernández dkk, bahwa: “this survey is targeted at finding

out citize ns’ attitudes, perceptions and values regarding the fundamental law and legality in general, to determine what our culture of the constitution is like ”. Ibid.

46 Ibid., hlm. 48, dst. 47 Jason Mazzone , “The Creation of a Constitutional Culture”, Tulsa Law Review, Vol. 40, 2005,

hlm. 672. Diunduh dari http://ssrn.com/abstract=831927 , pada 20 September 2009, pukul 13.20 WIB.

Berdasarkan definisi di atas, Mazzone lebih menekankan pada keterlibatan masyarakat dalam pembentukan konstitusi. Bahkan dalam konteks pembentukan

budaya konstitusi di Amerika Serikat, Mazzone menganggap keterlibatan organisasi masyarakat adalah hal yang paling penting. 48 Mazzone membahas

perkembangan jumlah organisasi masyarakat yang pada masa perang kemerdekaan sangat jarang, namun terus bertambah setelah Amerika Serikat

merdeka pada tahun 1776. 49 Pendapat Mazzone mengenai pentingnya organisasi masyarakat dalam pembentukan budaya konstitusi, didasari pada anggapan bahwa

para perumus Konstitusi Amerika Serikat belajar dan mengembangkan nilai-nilai konstitusional dari para warga negara Amerika Serikat.

Dari beberapa pengertian budaya konstitusi di atas, terlihat bahwa pengertian budaya konstitusi yang dikembangkan bergantung pada cakupan kajian yang dilakukan. Pengertian budaya konstitusi yang luas menurut Harutyinian dikaitkan dengan kedudukan budaya konstitusi sebagai bagian dari budaya hukum seperti yang ditegaskan oleh Friedman yang menganggap budaya hukum sebagai komponen dari sistem hukum. Pengertian yang demikian digunakan oleh Harutyinian untuk membahas budaya konstitusi Armenia dikaitkan dengan perkembangan budaya konstitusi di Eropa, dimana keduanya merupakan sistem yang tidak dapat dipisahkan. Pengertian budaya konstitusi yang luas juga terlihat dari pendapat Wenzel, dengan penekan bahwa budaya konstiusi merupakan salah

48 Ibid. 49 Seperti dikatakan oleh Mazzone bahwa “perhaps more than anywhere else, it was in civic

associations that ordinary Americans, the people who were neither delegates to the 1787 Constitutional Convention in Philadelphia nor the draftsmen of state constitutions, learned the principles of constitutional government, developed and nurtured republican values, and came to understand themselves as American citizens who shared interests and a destiny with the inhabitants of distant towns and other states ”. Ibid., hlm. 673.

satu tipe ideologi tertentu. Dengan pengertian tersebut, Wenzel membahas perkembangan budaya konstitusi di Uni Eropa yang menurutnya sangat erat dengan diskursus filsafat posmodernisme yang menekankan pada proses negosiasi berkelanjutan dari berbagai kompromi makna dan nilai-nilai yang

direpresentasikan dalam tatanan masyarakat dalam berbagai derajat. 50 Sementara itu, pendapat Saunders lebih menekankan pada konstitusi

dalam arti dokumen hukum sebagai pokok bahasan utama budaya konstitusi dalam tulisannya. Dengan pengertian tersebut, Saunders menekankan pada masalah transplantasi sistem ketatanegaraan negara tertentu ke negara lain. Dengan demikian, Saunders mencoba menggambarkan bahwa sistem ketatanegaraan tertentu yang dilembagakan dalam suatu konstitusi didasari pada budaya konstitusi negara tersebut, sehingga transplantasi sistem tersebut ke negara lain, dapat menimbulkan persoalan kultural terkait dengan pelaksanaan konstitusi di negara lain yang mengadopsi sistem ketatanegaraan tersebut.

Sementara itu, pengertian dan cakupan budaya konstitusi dari Mazzone lebih menekankan pentingnya keterlibatan organisasi masyarakat dalam pembentukan budaya konstitusi. Mazzone melihat bahwa sejarah pembentukan Konstitusi Amerika Serikat didasari oleh budaya konstitusi yang dikembangkan oleh organisasi – organisasi masyarakat yang ada pada masa itu.

Terlepas dari perbedaan penekanan definisi budaya konstitusi dari pendapat-pendapat di atas, namun terdapat benang merah pengertian budaya konstitusi. Pertama, budaya konstitusi beranjak dari pemikiran bahwa konstitusi

50 Nikolay Wenzel , “Ideology…, op.cit., hlm. 38.