Persepsi Terhadap UUD 1945 Perubahan dan Gagasan Perubahan Kelima UUD 1945

B. Persepsi Terhadap UUD 1945 Perubahan dan Gagasan Perubahan Kelima UUD 1945

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa rangkaian perubahan UUD 1945 memiliki budaya konstitusi yang reaksioner. Proses perubahan yang parsial sebenarnya ditujukan untuk membentuk konstitusi baru, menimbulkan berbagai

Undang-Undang Dasar artinya kalu kita setuju bahwa ada proses pengambilan keputusan untuk impeach terhadap Presiden atau DPR dan DPD kewenangannya itu kita cantumkan pada akhirnya di MPR pak. Tapi disini kewenangan lain itu artinya adalah dia memerikasa dan mengadili proses impeach yang diusulkan oleh DPR atau DPD, tetapi tetap dia memutuskan Presiden itu katakanlah bersalah atau tidak bersalah, tetapi putusan akhirnya untuk dikatakan dia termaafkan atau tidak termaafkan, diberhentikan atau tidak diberhentkan itu kewenangan Majelis yang joint session artinya dia sebagai pengadilan lembaga Negara tertinggi dan dia juga sebagai Mahkamah Konstitusi.” Ibid., hlm. 386. 112 Antara lain pendapat Soedijarto (F-UG). Ibid., hlm. 287.

113 Seperti dikatakan anggota Tim Ahli Bidang Hukum, Maria S.W. Soemardjono, bahwa: “Kami melihat di dalam Konstitusi Korea Selatan itu Hakim dari Constitutional Court itu nine justice to

serve for a six year renewal to term jadi Sembilan orang yang diangkat dalam waktu enam tahun yang masih bisa diperpanjang. Jadi ini mungkin idealnya juga kayanya angka Sembilan kok bagus. Kalau ganjil ini adil, dari pada kata Walisongo juga kata Pak Jimly, jadi kami tidak keberatan Pak, kalau tidak usah Sembilan nanti melihat kebutuhannya. Tim Penyusun, Naskah Komprehensif…, Buku I, op.cit., hlm. 353.

penolakan dari elemen masyarakat. Pada saat proses perubahan ketiga berlangsung, Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru menyatakan beberapa

kelemahan hasil Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945. 114 Pertama, kedudukan anggota MPR atau Badan Pekerja MPR yang juga merangkap sebagai

anggota DPR yang merupakan representasi dari partai politik dikarena mereka juga terlibat diharuskan untuk ikut berbagai rapat atau pertemuan yang diadakan DPR atau partainya, menyebabkan intensitas dan konsen menjadi terbatas dalam melakukan amandemen UUD 1945. Kedua, Koalisi Ornop mensinyalir ada tim perumus maupun forum lobi dalam mekanisme pmbahasan dan pengambilan keputusan amandemen UUD 1945 yang membuat proses itu diduga ditentukan atau lebih banyak diyentukan oleh segelintir (baca: sebagain elit politik) di MPR. Ketiga, dalam penyerapan dan sosialisasi uji sahih Badan Pekerja MPR tidak memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi publik untuk dapat berpartisipasi dalam memahami dan mengusulkan apa yang menjadi kepentingannya, termasuk dalam proses amademen keempat. Keempat, ruang publik untuk berpartisipasi dan turut menentukan (perubahan), telah dibatasi oleh MPR (dalam hal ini pembatasan itu dilakukan dalam proses amandemen keempat, (di mana) hanya terhadap materi-materi yang belum diputuskan dan beberapa materi yang tidak boleh diubah. Kelima, MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 tidak membuat dan memiliki content draft konstitusi secara utuh sebagai langkah

114

Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….,Buku I, op.cit., hlm. 443-446.L Lihat pula secara lengkap dalam Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru, “Komisi Konstitusi Untuk Konstitusi Baru”, kertas kerja, Jakarta, 2001, hlm. 3-5. Diunduh dari http://www.cetro.or.id/konstitusi/Kertas%20Kerja.pdf , pada tanggal 18 November 2009, pukul 13.20 WIB.

awal yang menjadi dasar perubahan atau prelimenary. Koaliasi Ornop menganggap MPR tidak berani ke luar dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang relevansinya tidak layak dipertahankan. MPR terkesan hanya mengambil rumusan pasal tanpa mempertimbangkan hakikat dan prinsip dasar serta keterkaitannya dengan pasal lain secara keseluruhan. Keenam, cara semacam ini (perubahan secara parsial) juga dengan rumusan banyak alternatif, tidak dapat memberikan kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk, sehingga adanya paradox dan inkonsistensi terhadap hasil-hasil yang telah diputuskan.

Berdasarkan argumentasi di atas, Koalisi Ornop menyatakan dengan tegas penolakannya terhadap hasil perubahan UUD 1945 dan mengusulkan

pembentukan Komisi Konstitusi yang independen. 115 Ide pembentukan Komisi Konstitusi yang dimaksud sebenarnya telah berkembang pada awal perubahan

pertama, sebagai mana dikemukakan Harun Al Rasyid, walaupun dengan argumentasi terkait dengan Pasal 3 UUD 1945. 116 Bahkan ide tersebut pun

diusulkan oleh F-KKI dan F-PDIP pada saat proses perubahan kedua terhadap UUD 1945. 117

Penolakan secara eksplisit juga dinyatakan oleh kalangan mahasiswa, dalam hal ini, Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Melalui juru bicaranya, Dihot P. Simarmata yang menganggap proses perubahan tidak

115 Tim Penyusun, ibid., hlm. 446; Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru, ibid., hlm. 8, 11. 116 Tim Penyusun, loc.cit., hlm. 83. 117 Ibid., hlm. 296, 301.

melibatkan masyarakat di satu sisi dan tidak adanya transparansi dan akuntabilitas MPR di sisi lain. 118

Tanggapan terhadap proses perubahan UUD 1945 di atas, lebih banyak ditujukan pada proses perubahan yang akhirnya mempengaruhi hasil perubahan UUD 1945. Isu-isu seperti partisipasi masyarakat, transparansi proses perubahan serta desain ketatanegaraan yang hendak dibentuk menjadi harapan masyarakat dalam proses perubahan UUD 1945 yang akhirnya tidak dilakukan oleh MPR. Oleh karena perubahan UUD 1945 pada hakikatnya adalah pembentukan konstitusi baru, maka seharusnya tahap-tahap pembentukan konstitusi dilakukan secara jelas. Seperti dikatakan oleh Cheryl Saunder, terdapat tiga tahap constitution making process (proses pembentukan konstitusi baru), yaitu agenda setting (perumusan agenda), development and design (pengembangan dan

perancangan), approval (persetujuan). 119 Tahap perumusan agenda ditandai dengan adanya term of reference untuk komisi konstitusi atau komite dari badan

perwakilan yang merupakan prinsip-prinsip konstitusi yang menjadi dasar atau naskah dasar konstitusi itu sendiri, kesepakatan yang secara sadar atau tidak sadar dari para pelaku kunci yang pada akhirnya menjadi dasar bagi persetujuan konstitusi. Tahap pengembangan dan perancangan konstitusi terkait dengan pilihan lembaga yang mengembangkan (draft) konstitusi baru antara mejelis rakyat atau suatu lembaga independen. Mejelis konstituen yang dimaksud

118 Ibid., hlm. 457. 119 Cheryl Saun ders,”Woman and Constitution Making”, makalah dalam Konferensi Internasional “Women, Peace Buliding, and Constitution Making”, Colombo, Srilangka, 2 – 6 Mei, 2002, hlm. 5 – 13. Diunduh dari http://www.law.unimelb.edu.au/icil/topics/linkstopapers/womenconstitution.html , pada tanggal 23 Oktober 2003.

biasanya berupa lembaga perwakilan dipilih dengan anggota yang sama dengan lembaga legislatif atau dengan komposisi berbeda dengan badan legislatif. Jika yang dibentuk adalah mejelis konstituen dan komposisinya sama dengan lembaga legislatif maka “godaan” untuk membedakan identitas antara sebagai majelis

konstituen dan lembaga legislatif dapat terjadi sehingga menghilangkan keuntungan diberikannya status sebagai majelis konstituen. Jika majelis konstituen terdiri dari anggota yang berbeda komposisinya dengan lembaga legislatif, maka hal tersebut dapat memperluas partisipasi dari kelompok- kelompok kepentingan kunci , baik yang dipilih maupun yang diangkat.

Sementara itu, jika pilihannya berupa komisi independen, komposisinya dapat terdiri dari pakar-pakar sebagai kepanjangan tangan dari wakil rakyat yang dipilih. Ketika para politisi tidak dalam kondisi yang berwibawa, maka pilihan untuk membentuk suatu badan independen dapat meningkatkan legitimasi pembentukan konstitusi di mata masyarakat. Badan independen tersebut dapat terdiri dari sejumlah anggota dapat secara tepat pembentukan konstitusi yang efektif dengan kombinasi dengan karakter kepakarannya, namun kepakaran bukan satu-satunya kriteria. Di Fiji misalnya badan tersebut diseleksi dengan tambahan dari unsur komunitas atau kelompok kunci, antara penduduk asli Fiji dan yang

bukan asli (indo-Fiji). 120 Yang menjadi penting juga dalam tahap ini adalah pelibatan para pakar, mekanisme pengambilan keputusan untuk mencegah jalan

buntu, dan konsultasi publik. Sementara itu, tahap persetujuan, dapat diserahkan pada majelis rakyat yang dipilih secara demokratis, seperti di Afrika Selatan

120 Ibid., hlm. 8.

setelah masa apartheid, atau melalui persetujuan komunitas-komunitas dalam pembentukan negara federal. Persetujuan terhadap konstitusi baru juga dapat diserahkan kepada badan perwakilan atau rakyat melalui referendum. Referendum memiliki makna simbolik untuk menciptakan rasa memiliki oleh sebagian besar rakyat. Namun demikian, jika pada tahap perancangan konstitusi, masyarakat tidak dilibatkan, maka referendum menjadi tidak berarti.

Kritik Koalisi Ornop atau kalangan mahasiswa terhadap proses perubahan UUD 1945 sangat terlihat jika dikaitkan dengan tahap-tahap pembentukan konstitusi di atas. MPR yang juga anggotanya merangkap anggota DPR, menjadikan perubahan UUD 1945 hanya menjadi salah tugas ditambah dengan tugas-tugas lain dalam waktu yang singkat (teruatama pada saat perubahan

pertama). 121 Lima kesepakatan dasar yang dirumuskan PAH III juga tidak komprehensif, misalnya jika dibandingkan dengan Afrika Selatan yang pada awal

masa pembentukan konstiusi menyepakati 34 prinsip dasar sebagai pedoman melakukan pembentukan konstitusi. 122 Hal tersebut menyebabkan, banyak materi-

materi perubahan di luar dari lima kesepakatan dasar itu tersebut bermunculan satu persatu. Keterlibatan para pakarpun, baru dilakukan secara terlembagakan pada masa perubahan ketiga, sehingga para pakar merasa tidak optimal

memberikan masukan. 123 Apalagi jika dikaitkan dengan pelibatan masyarakat

121 Hal ini dapat terlihat dari setiap Sidang Tahunan MPR, dibentuk beberapa komisi selain komisi yang membahas rancangan perubahan UUD 1945. Apalagi pada masa – masa tersebut, DPR juga

melakukan beberapa fungsi politik lain, misalnya menyangkut pemberhentian Presiden Abdurhaman Wahid.

122 Forum Rektor Indonesia, Hasil Kajian Kelompok Kerja Penyempurnaan Amandemen UUD 1945, Forum Rektor Indonesia Jakarta, 2007, hlm. 10

Misalnya pernyataan Nazaruddin Sjamsudin, anggota Tim Ahli Bidang Politik yang merasa kesulitan dalam memberikan masukan karena harus mengacu pada kerangka acuan dari PAH I, Misalnya pernyataan Nazaruddin Sjamsudin, anggota Tim Ahli Bidang Politik yang merasa kesulitan dalam memberikan masukan karena harus mengacu pada kerangka acuan dari PAH I,

baru. 124 Pada akhirya, proses persetujuan yang parsial menyebabkan keputusan hal-hal penting sampai dilakukan dengan cara voting seperti dalam hal keberadaan

utusan golongan sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Pandangan-pandangan di atas mencerminkan bahwa para anggota MPR tidak mampu memahami budaya konstitusi yang berkembang di masyarakat. Padahal seperti dikatakan Mazzone bahwa pemahaman terhadap budaya konstitusi

merupakan hal serius yang harus diperhatikan. 125 Respon negatif terhadap proses perubahan juga berlanjut setelah proses

perubahan bahkan ketika Komisi Konstitusi dibentuk pada tahun 2003. Koalisi Ornop secara tegas menolak hal tersebut karena beberapa alasan. Pertama, karena Komisi Konstitusi yang dibentuk merupakan kepanjangan BP MPR, bukan secara langsung berada dan bertanggung jawab kepada MPR, sehingga dikatakan “sangat rancu dan bias dengan kepentingan politik. 126 Oleh karean Komisi Konstitusi

yang tentu saja tidak komprehensif. Lihat Tim Penyusun, Naskah Komprehensif.., Buku I, loc.cit., hlm. 327.

124 Ibid., hlm. 61. 125 Jason Mazzone, loc.cit., hlm. 672. 126 Seperti dikatakan oleh salah seorang pegiat Koalisi Ornop, Bambang Widjojanto, bahwa: “KK bentukan MPR ini bertanggung jawab kepada MPR melalu Badan Pekerja MPR. Ketentuan ini menunjukkan bahwa kedudukan Komisi Konstitusi adalah hanya subordinat Badan Pekerja MPR, sehingga masih sangat rancu dan bias dengan kepentingan politik,”. “Koalisi Ornop Tolak Komisi 124 Ibid., hlm. 61. 125 Jason Mazzone, loc.cit., hlm. 672. 126 Seperti dikatakan oleh salah seorang pegiat Koalisi Ornop, Bambang Widjojanto, bahwa: “KK bentukan MPR ini bertanggung jawab kepada MPR melalu Badan Pekerja MPR. Ketentuan ini menunjukkan bahwa kedudukan Komisi Konstitusi adalah hanya subordinat Badan Pekerja MPR, sehingga masih sangat rancu dan bias dengan kepentingan politik,”. “Koalisi Ornop Tolak Komisi

hanya membahas sebatas hasil perubahan UUD 1945. 127 Menurut pandangan Koalisi Ornop, idealnya, Komisi Konstitusi harus independen dan tidak berada di

bawah BP MPR dan harus bertanggung jawab kepada BP MPR dan kewenangan Komisi Konstitusi bukan hanya sekadar meneliti dan menganalisa hasil perubahan UUD 1945 tapi yang sangat penting adalah merancang dan membuat Konstitusi baru yang lebih komprehensif dan sitematis dengan melibatkan partisipasi

masyarakat luas. 128 Namun demikian dalam perkembangnya, Komisi Konstitusi tidak hanya

sekedar mengkaji hasil perubahan UUD 1945, tetapi juga menghasilkan Naskah Kajian Akademis Perubahan UUD 1945 yang di dalamnya berupa usulan

rancangan perbaikan UUD 1945 perubahan. 129 Hasil Komisi Konstitusi tersebut dalam Sidang Tahun MPR tahun 2003 disepakati hanya menjadi bahan

penyempurnaan UUD 1945 untuk MPR periode 2004 – 2009 berdasarkan Ketetapan MPR No II/MPR/2003 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, Pasal 104

Konstitusi Bentukan MPR ”, Kompas Cybermedia, Jumat, 01 Agustus 2003, pukul 18.02 WIB. Diunduh dari http://202.146.5.33/utama/news/0308/01/180554.htm , tanggal 15 November 2009, pukul 15.32 WIB.

127 Ibid. 128 Pernyataan pegiat Koalisi Ornop, Todung Mulya Lubis. Ibid. 129 Sikap tersebut tercermin dari pandangan wakil ketua Komisi Konstitusi, Albert Hasibuan, yang menyatakan bahwa: “Menurut pengamatan saya, berdasarkan pandangan umum atau general overview dari 31 anggota KK, ada keinginan kuat untuk menyempurnakan UUD NKRI Tahun 1945 dalam bentuk Naskah Kajian Akademis Perubahan UUD NKRI Tahun 1945. Penyempurnaan itu berwujud semacam constitutional drafting atau draf penyempurnaan konstitusi, dengan berpedoman pada Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945, untuk mencapai hasil maksimal dari segi substansi, sistematika, struktur, mekanisme kerja, dan kewenangan lembaga- lembaga negara”. Albert Hasibuan, “Komisi Konstitusi Memperbaiki Redaksional atau Hasil Maksimal?”, opini, Kompas,

Diunduh dari http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3447&coid=3&caid=21&gid=2 , 15 November 2009, pukul 15.45 WIB.

19 Desember

(1). 130 Respon terhadap hasil Komisi Konstitusi tidak ditanggapi dengan positif, karena penjaringan masukan masyarakat oleh Komisi Konstitusi lebih sedikit jika

dibandingkan dengan pada masa PAH I. 131 Sikap Komisi Konstitusi yang tidak segera mempublikasikan hasil pembahasan, tapi menunggu proses final,

mekanisme tersebut juga mengulang cara lama yang dilakukan MPR. 132 Dalam perkembangannya, hasil kerja Komisi Konsitusi tidak pernah dibicarakan kembali

di MPR. Perkembangannya pada tahun 2007, muncul gagasan untuk melakukan perubahan kelima terhadap UUD 1945 hasil perubahan. Hal tersebut secara konkret dilakukan oleh DPD. Menurut Ketua DPD (2004 – 2009), Ginanjar Kartasasmita, alasan pemberdayaan DPD melalui Amandemen UUD 1945 adalah

“untuk memperkuat demokrasi di Indonesia, serta untuk lebih memperkokoh penyelenggaraan otonomi daerah 133 .

Pada awalnya, usul tersebut juga mendapatkan dukungan dari anggota MPR yang berasal dari DPR. Dukungan konkret pertama sejak ide reformasi konstitusi bergulir diberikan oleh 9 anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR

130 “Hasil Komisi Konstitusi Sekadar Arsip?” Kompas, 21 Januari 2004, diunduh dari http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3645&coid=3&caid=22&gid=2 , pada tanggal

15 November 2009, pukul 15.46 WIB.

Menurut Hadar M. Gumay, dari CETRO, “proses pelibatan publik yang luas ini belum tergambar dalam kerja Komisi Konstitusi. Dibandingkan dengan dengar pendapat yang dilakukan PAH I BP MPR, Hadar menilai, penyerapan aspirasi masyarakat oleh Komisi Konstitusi jauh lebih sedikit. Berdasarkan data di Sekjen PAH I BP MPR, apa yang dikemukakan Hadar memang tidak meleset. Penyerapan aspirasi oleh Komisi Konstitusi selama ini baru dilakukan di tiga perguruan tinggi. Sedangkan dengar pendapat baru diadakan dengan 13 lembaga ”. Ibid.

Menurut Hadar, "Sebelum final, seharusnya justru ditanyakan pada masyarakat lewat dialog atau jajak pendapat. Kalau menunggu final, masyarakat diposisikan hanya terima. Itu model lama dan tidak ada beda dengan MPR,". ibid.

Ginanjar Kartasasmita, Kedudukan, Fungsi dan Peran DPD Dalam Perspektif Ketetanegaran Indonesia, makalah, disampaikan pada Focus Group Disussion ( FGD) dengan tema “Peran DPD Dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia”, Universitas Padjadjaran, Bandung, 6 Agustus, 2007, hlm 22 Ginanjar Kartasasmita, Kedudukan, Fungsi dan Peran DPD Dalam Perspektif Ketetanegaran Indonesia, makalah, disampaikan pada Focus Group Disussion ( FGD) dengan tema “Peran DPD Dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia”, Universitas Padjadjaran, Bandung, 6 Agustus, 2007, hlm 22

Partai Bintang Reformasi (F-PBR) MPR pada 28 Februari 2007 134 . Hingga tanggal 7 Agustus 2007, jumlah dukungan sebanyak 215 orang 135 . Dengan

demikian, masih dibutuhkan sebelas dukungan untuk memenuhi syarat minimal usulan amendeman Pasal 22D UUD 1945 (dukungan minimal 226 orang) 136 .

Hingga pada tanggal 8 Agustus 2008, dukungan tersebut ditarik kembali oleh sebagian besar anggota DPR yang menyebabkan usul perubahan UUD 1945 tidak

dapat diteruskan 137 . Penarikan dukungan tersebut tidak terlepas dari usulan DPD yang hanya mengusulkan perubahan Pasal 22D UUD 1945, padahal perubahan

tersebut akan berimplikasi terhadap pasal lainnya. Seperti dikatakan oleh bahwa : “Keputusan DPP PPP menolak amandemen karena pengubahan Pasal 22 D

akan memberikan implikasi perubahan yang bisa merembet ke pasal-pasal lain sebagai bentuk penyesuaian terjadinya perubahan,” jelas Ketua FPPP

DPR Lukman Hakim Saifudin. Pasal-pasal lain yang dimaksud antara lain Pasal 20, Pasal 3, dan Pasal 2 UUD 45 138 ”.

Gagasan untuk melakukan perubahan kelima, masih bergulir setelah usulan perubahan UUD 1945 oleh DPD tidak dapat dapat diteruskan. Kelompok DPD di MPR RI mencoba untuk mengusulkan percepatan pembentukan sebuah

134 A. Effendi Choirie, “Menuju Sistem Bikameral Efektif”, opini, Republika Online, 6 Maret 2007. Sumber : http://202.155.15.208/koran_detail.asp?id=285035&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2 , di

unduh 25 Februari 2008, pukul 23.48 WIB 135 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0708/07/sh03.html , diunduh 25 Februari 2008 pukul

23.24 WIB. 136 Ibid

Di antara beberapa orang anggota DPR yang menarik dukungan tersebut adalah 11 orang anggta Fraksi FBR MPR yang merupakan salah satu partai yang pertama kali memberikan dukungan.

Sumber : http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/07/time/132948/id news/814268/idkanal/10 , diunduh 25 Agustus 2008, Pukul 22. 48 WIB

Sumber : http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=17304&cl=Berita , diunduh 25 Februari 2008, pukul 23.28 WIB.

komisi yang kurang lebih serupa dengan Komisi Konstitusi (KK) yang dibentuk pada tahun 2003 139 . Komisi tersebut merupakan usulan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono ketika menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam Sidang Paripurna Khusus DPD pada 23 Agustus 2007 140 .

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa usulan DPD untuk melakukan perubahan kelima terhadap UUD 1945 hanya mementingkan penguatan

kewenangan DPD. 141 Kalaupun usulan DPD diterima dan dilakukan perubahan kelima terhadap UUD 1945, maka DPD melanjutkan perubahan UUD 1945 yang

pasial, seperti yang dilakukan ada saat perubahan pertama hingga keempat. Pada akhirnya, DPD memutuskan untuk mempersiapkan perubahan UUD 1945 secara komprehensif. Hasilnya, dengan melibatkan sejumlah ahli dari beberapa perguruan tinggi dan Ornop, pada tahun 2009 DPD menghasilkan Naskah

Akademis Usulan Amandemen Komprehensif beserta draft rancangannnya. 142 Tampaknya usulan penyempurnaan UUD 1945 hasil perubahan juga

menjadi kenderungan, baik di dunia akademis maupun kelompok masyarakat lainnya. Pada tataran akademis, gagasan perubahan kelima juga berkembang, misalnya dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional pada tahun 2008. Dalam buku Gagasan Amandeman Kelima UUD 1945 yang merupakan kumpulan tulisan para kontributor seminar tersebut, terdapat sejumlah gagasan perubahan kelima UUD 1945 yang mencakup

Sumber : http://hukumonline.com/detail.asp?id=17651&cl=Berita , di download tanggal 25 Februari 2008, pukul 23.44 WIB

140 Ibid

Zaenal Ariffin Mochtar (ed), Jalan Berliku Amandemen Komprehensif: Dari Pakar, Politisi, Hingga Selebriti, Kelompok DPD di MPR-RI, Jakarta, 2009, hlm. ii.

142 Naskah tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari buku di atas. Ibid., hlm. 88 – 250.

masalah-masalah kekuasaan kehakiman, sistem pemerintahan, dan sistem perwakilan. 143 Bahkan dalam seminar tersebut Universitas Islam Indonesia

menyampaikan usulan rancangan perubahan UUD 1945 secara komprehensif. Bahkan sebelum itu, pada tahun 2007, Forum Rektor Indonesia juga melakukan hal yang sama, dengan menyiapkan Kajian Penyempurnaan Amandemen UUD 1945.

Berbagai kajian komprehensif yang dilakukan menawarkan “naskah baru” UUD 1945. Yang perlu diperhatikan, kajian-kajian tersebut, menutupi kelemahan proses perubahan UUD 1945, juga mencerminkan berbagai tahapan konstitusi baru. Misalnya, kajian Forum Rektor Indonesia mencantumkan berbagai usulan agenda setting, dari mulai penjabaran prinsip-prinsip Pembukaan UUD 1945, cita hukum Indonesia, hingga hal-hal yang harus menjadi kesepakatan di MPR, seperti nilai dan norma dasar negara, visi dan misi negara, dasar dan filsafat negara, dan

cita hukum yang hendak dikembangkan. 144 Bahkan pembahasan sistem ketatanegaraan berikut subsistemnya seperti sistem pemerintahan, sistem

perwakilan, sistem yudisial, dan sistem serta prosedur perubahan UUD 1945. 145 Bahkan dalam hasil kajian DPD, setiap materi perubahan yang diusulkan

diberikan kajian pasal per pasal atau bab per bab. 146 Hal-hal di atas mencerminkan bahwa berbagai kelompok masyarakat dan

lembaga negara masih menginginkan pembentukan konsitusi baru secara komprehensif. Usulan perubahan kelima terhadap UUD 1945, mencerminkan

143 Moh. Fajrul Falakh (ed), Gagasan…loc.cit. 144 Lihat Forum Rektor Indonesia, op.cit., hlm. 23 – 36. 145 Ibid., hlm. 37 – 61. 146 Lihat Zaenal Ariffin Mochtar (ed), op.cit., hlm. 100 – 187.

respon penolakan terhadap perubahan UUD 1945 secara parsial sebelumnya. Hal tersebut membuktikan bahwa budaya konsitusi yang berkembang terutama sejak reformasi 1998 belum terlembagakan sepenuhnya dalam UUD 1945 perubahan. Hal ini tepat seperti dikatakan oleh Wenzel, jika antara budaya konstitusi dengan konstitusi yang dibentuk tidak sesuai, maka akan terjadi kompromi. Jika keduanya tidak sesuai secara mendasar, maka akan terjadi penolakan secara informal terhadap konstitusi formal. 147

147 Nicolay Wenzel dalam G. Stolyarov, loc.cit., hlm. 2.