Budaya Konstitusi Dalam UUD 1945 Perubahan
B. Budaya Konstitusi Dalam UUD 1945 Perubahan
Sebagaimana telah dibahas pada Bab I, budaya konstitusi merupakan asumsi-asumsi yang mendasari pembentukan konstitusi dan yang mempengaruhi
pelaksanannya. 56 Dalam konteks, perubahan UUD 1945, maka asumsi-asumsi tersebut dapat dilihat dari pandangan-pandangan anggota MPR yang terlibat
dalam proses tersebut. Namun demikian, tidak selalu budaya konstitusi yang melatarbelakangi pembentukan konstitusi dapat terlembagakan dengan baik dalam naskah konstitusi. Menurut Wenzel, hal tersebut bergantung kepada sikap para
55 Ibid., hlm. 541. 56 Lihat pengertian constitutional culture (budaya konstitusi) menurut Saunders, dalam Cheryl
Saunders, loc.cit, hlm 37.
perumus UUD. 57 Artinya, para perumus harus menangkap persepsi dan asumsi- asumsi yang berkembang dalam masyarakat untuk dibahas dan dipertimbangkan
sebagai suatu desain yang utuh yang dirumuskan dalam konstitusi. Jika antara budaya konstitusi dengan konstiusi yang dibentuk tidak sesuai, maka akan terjadi kompromi. Jika keduanya tidak sesuai secara mendasar, maka akan terjadi penolakan secara informal terhadap konstitusi formal. 58 Dalam konteks perubahan UUD 1945, budaya konstitusi apa saja yang terlihat dan apakah budaya konstitusi yang mendasari perubahan tersebut sesuai dengan budaya konstitusi yang berkembang dalam paham konstitusionalisme pasca reformasi?
Seperti telah dibahas pada sub bab sebelumnya, tuntutan gerakan reformasi untuk melakukan perubahan UUD 1945 lebih banyak didasari oleh pandangan bahwa UUD 1945 selalu menghasilkan pemerintahan yang otoriter karena pemberian kekuasaan yang besar terhadap eksekutif. Gerakan reformasi yang menuntut perubahan di segala bidang dapat dikatakan gerakan yang revolusioner karena tuntutan diajukan pada hal-hal yang fundamental, termasuk
tuntutan perubahan UUD 1945. 59 Hal tersebut direspon oleh MPR dengan melakukan proses perubahan terhadap UUD 1945.
57 Lihat pendapat Nikolay Wenzel sebagaimana telah dikemukakan dalam bab II, Nicolay Wenzel dalam G. Stolyarov, loc.cit., hlm. 7.
58 Nicolay Wenzel dalam G. Stolyarov, “Creating Constitutional Culture: A Mechanism for Establishing a New Free Society and Constitutional Government”, 2008, hlm. 2. http://progressofliberty.today.com/2008/11/12/creating-constitutional-culture/ , diunduh pada tanggal 15 November 2009, pukul 15.43. WIB.
59 Istilah “reformasi” dan “revolusi” memiliki keterkaitan. Dalam The Contemporary English – Indonesia, sebagaimana dikutip Sri Soemantri, istilah reformasi diartikan sebagai ”pembentukan
baru” atau ”perbaikan”. Dari pengertian reformasi di atas, tidak terdapat perbedaan signifikan. Hanya saja, pengertian kedua lebih memberikan pengertian yang tegas antara reformasi sebagai pembentukan baru (penggantian) dengan reformasi sebagai perbaikan. Artinya, reformasi dapat berarti penggantian hal-hal yang fundamental, atau hanya sekedar perubahan bagian-bagian yang tidak fundamental. Sementara itu, revolusi seperti dikatakan dalam Black’s Law
Namun demikian, proses perubahan UUD 1945 tersebut mencerminkan budaya konstitusi yang reaksioner. Tuntutan yang berkembang di masyarakat ditanggapi dengan respon reaksioner yang parsial dalam proses perubahan UUD 1945, walaupun tidak semua tuntutan dan masukan diakomodasikan. Hal tersebut tercermin sejak pembicaraan awal perubahan perubahan UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR tahun 1999 maupun rapat PAH III BP MPR. Pada masa itu, berkembang dua isu penting, yaitu sistem perubahan yang digunakan dan menyangkut materi-materi UUD 1945 yang akan diubah.
1. Sistem perubahan
PAH III BP MPR yang ditugaskan mempersiapkan rancangan materi perubahan UUD 1945 mengundang tiga pakar hukum tata negara untuk memberikan pandangan, yaitu Harun Al Rasyid, Ismail Sunny, dan Suwoto Meoljosoedarmo. Ketiga pakar tersebut lebih banyak membicarakan sistem perubahan UUD 1945 yang akan digunakan dengan memperdebatkan status UUD 1945 saat itu.
Terkait dengan pakar-pakar hukum tata negara yang diundang, ada beberapa pendapat yang berkembang. Harun Al- Rasyid yang menganggap UUD 1945 belum pernah ditetapkan berdasarkan Pasal 3 UUD 1945, sehingga tidak perlu diubah, melainkan perlu ditetapkan yang rancangannya dipersiapkan oleh
Dictionary, adalah ”an overthrow of a government, usually resulting in fundamental political change; a successful rebellion”. 59 Arti revolusi dalam kamus di atas, tidak hanya menunjukkan revolusi sebagai sebuah perubahan fundamental. Dalam kamus hukum di atas, arti kata revolusi dikaitkan dengan cara-cara yang tidak biasa , yakni a succssesful rebellion. Sri Soemantri dalam ibid., hlm. 36 – 37.
suatu komisi, lalu dibahas dan ditetapkan oleh MPR. Selengkapnya Harun Al Rasyid mengatakan:
“…kalau bicara mengenai amandemen atau undang-undang dasar itu kita maju untuk merujuk ke Pasal 37. Nah, menurut saya, yang legitimasi bukannya Pasal 37 itu, MPR-nya harus mengacu pada Pasal 3. Inilah amanat pertama. Bahwa MPR itu begitu maka tugas yang pertama itu adalah meletakkan Undang-Undang Dasar, lha ini yang menurut saya penting
sekali. ….” 60 “Jadi menurut saya, tidak perlu Panitia Ad Hoc ini menguraikan satu per
satu pasal-pasal yang itu-itu. Minta saja, bentuk suatu komisi perubahan Undang-Undang Dasar yang akan melaksanakan tugasnya, misalnya daam waktu tujuh bulan, misalnya, nanti tahun dalam Sidang MPR diajukan itu hasil kerja komisi itu. Jadi yang terdiri dari para pakar, dan itulah nanti baru MPR mempersoalkan Rancangan Undang-Undang Dasar yang diajukan
oleh Komisi itu”. 61
Sementara itu, menanggapi pendapat Harun Al Rasyid, Ismail Sunny mengutarakan bahwa Tim (Komisi) yang diusulkan tersebut sudah pernah dibentuk pada masa Presiden B.J. Habibie di mana Harun Al Rasyid juga menjadi salah satu anggotanya. Menurut Sunny dalam keadaan suasana tenang hal tersebut dapat dilakukan, namun jika MPR berkehendak maka dapat pula dilakukan perubahan. Selengkapnya Sunny mengatakan:
“Presiden B.J. Habibie yang membentuk tim yang membicarakan tentang amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, apa yang disebut Saudara Prof/ Harun Al Rasyid ini adalah salah satu keputusan daripada tim ini tadi, yaitu cara yang sederhana dan dibuat di dalam suasana yang lebih tenang supaya diputuskan oleh MPR dibentuk komisi perubahan Undang-Undang Dasar itu. Tapi, itu tidak berarti bahwa Saudara-Saudara jika merasa bahwa sangat-sangat penting sekarang ini dilakukan perubahan-perubahan bahwa
akan tertutup jalan karena itu saya bisa saja….” 62
60 Ibid., hlm. 82. 61 Ibid., hlm. 83. 62 Ibid., hlm. 84.
Mengenai pendapat Harun Al Rasyid yang menekankan perlunya menetapkan UUD 1945 berdasarkan Pasal 3, menurut Ismail Sunny: “Jadi pendirian saya maka mengenai soal tadi kemudian bagaimana pun
pendapat Prof. Harun tadi ada berhubungan dengan kata “menetapkan” di dalam Pasal 3, seolah-olah selama ini kita belum pernah menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam suatu bentuk ketentuan yang dapat
disebut kata “menetapkan Undang – Undang Dasar” memang tidak ada, tetapi kata orang Barat, secara diam-diam dengan kita membuat urutan
hierarki Perundang-undangan di sini. Jadi ini Undang-Undang Dasar 1945 dengan sendiri ditetapkan seperti Undang-Undang Dasar 1945. Mau tidak
mau Pro 63 f. Harun Alrasyid itu urusan dia sendiri”
Memperkuat pendapat Sunny, Sowoto Moeljosoedarmo mengkaitkan sifat “tetap” UUD 1945 dengan Dekrit merujuk pendapat Soepomo pasca Dekrit,
sebagai berikut: “Dulu seingat saya, ada pengaruh yang kuat dari seorang guru besar Tata
Negara, Prof. Dr. Soepoomo yang memberika nasihat atau memberikan nasihat atau memberikan opini hukum, bahwa kalau sudah didekritkan, maka tidak perlu ditetapkan lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
sehingga sejak saat itu opini hukum d 64 i bidang Tata Negara sangat kuat…”
Berdasarkan diskusi secara mendalam mengenai hal itu, dan setelah mendengar masukan dari pakar hukum tata negara, PAH III menyepakati langsung melakukan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan berlaku
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 65 Pada akhirnya sistem perubahan yang
63 Ibid., hlm. 84. 64 Ibid., hlm. 86.
65 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan …, op.cit., hlm. 12.
digunakan adalah addendum di mana model addendum sendiri diadopsi dari sistem perubahan (amendment) Konstitusi Amerika Serikat. 66
Yang perlu dicermati, sejak awal Sidang Tahunan MPR 1999, sebagian besar fraksi menginginkan perubahan yang menyeluruh terhadap UUD 1945, walaupun dilakukan secara bertahap di mulai dengan perubahan kelembagaan
negara, khususnya kekuasaan ekskutif 67 dan dilanjutkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya. 68 Sementara itu, sistem addendum yang digunakan tidak sesuai
dengan gagasan perubahan UUD 1945 secara menyeluruh di kalangan MPR.
66 Model tersebut diusulkan dalam pandangan umum fraksi-fraksi pada awal Sidang Tahunan MPR 1999 oleh F-PDU. Secara implisit hal tersebut disampaikan oleh F-PG dalam Rapat PAH III, 7
Oktober 1999, yang memilih sistem perubahan dengan sistem amandemen dalam arti undang- undang (dasar) lama tetap ada, tetapi perubahan-perubahan pasal akan merupakan lampiran. Sementara istilah addendum diusulkan oleh F-KKI yang pada intinya sama dengan model amendment di Amerika Serikat. Ibid., hlm. 78, 97, 116.
67 Berdasarkan kesepakatan dasar tersebut, PAH III melakukan pembahasan materi rancangan perubahan UUD 1945. Pada masa tersebut, karena keterbatasan waktu, para anggota PAH III juga
bersepakat untuk membahas perubahan UUD 1945 secara bertahap sesuai dengan prioritas. Sikap ini antara lain disampaikan dari perwakilan Fraksi Partai Golkar (F-PG): Andi Mattalata, Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB): Yusuf Muhammad, Fraksi Reformasi: Hatta Radjasa, Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB): Hamdan Zoelva, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI): Antonius Rahail, Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (F-PDKB): Gregorius Seto Harianto, Fraksi TNI/Polri: Hendy Tjaswadi, Fraksi Utusan Golongan (F-UG): Valina Singka Subekti, Fraksi Partai Daulat Ummah (F-PDU): Asnawie Latief, sementara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), melalui juru bicaranya, Aberson Marle Sihaloho, mengusulkan inventarisasi permasalahan pasal per pasal. Mengenai materi perubahan yang menjadi prioritas, walauapun tidak semua anggota PAH III mengungkapkannya secara eksplisit, namun sebagian besar setuju untuk mengubah materi UUD 1945 yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya, kekuasan eksekutif terlebih dahulu. Beberapa fraksi yang menegaskan perlunya memberikan prioritas terhadap perubahan ketentuan kelembagaan negara dan dilanjutkan dengan materi lain, yaitu: F-KB, F-PBB, F-KKI, F-PDKB, F-TNI/ Polri, F-PDU. Ibid., hlm. 97 – 105.
68 Beberapa fraksi yang menegaskan perlunya memberikan prioritas terhadap perubahan ketentuan kelembagaan negara dan dilanjutkan dengan materi lain, yaitu: F-KB, F-PBB, F-KKI, F-
PDKB, F-TNI/ Polri, F-PDU. F-KB menekankan pada komitmen pembatasan kewenangan, pemberdayaan lembaga-lembaga kerakyatan, dan independensi lembaga-lembaga strategis, F- PBB menekankan pada peninjauan seluruh lembaga negara, baik lembaga tertinggi (MPR), lembaga tinggi, termasuk Presiden, MA, DPR, BPK, MA, F-PDKB secara konkret menunjuk pasal- pasal yang berkaitan denggan kekuasaan eksekutif (Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal
8, Pasal 11, Pasal 16), F- TNI/ Polri mengusulkan untuk mendahulukan masalah pembatasan kekuasaan Presiden, F-PDU menekankan pada perubahan ketentuan MPR, pembatasan kekuasaan Presiden, pemilihan Presiden dan peningkatan wewenang DPR dan MA. Ibid., hlm. 99 – 106.
Sistem amendment di Amerika Serikat tidak dimaksudkan untuk melakukan pembaruan UUD, melainkan mengubah ketentuan-ketentuan yang dianggap perlu diubah. Dari 27 amandment Konstitusi Amerika serikat yang telah dilakukan hanya sepuluh perubahan pertama (first ten amandments) yang dilakukan dengan menambah sepuluh ketentuan baru yang berkaitan dengan hak-hak sipil warga negara, selebihnya hanya dilakukan penambahan beberapa ayat (section) dalam setiap perubahan. Dalam hal ini, MPR kekeliruan ketika mentransplantasi sistem perubahan tersebut dalam perubahan UUD 1945.
2. Materi perubahan
Dalam prakteknya pemilihan sistem perubahan secara reaksioner tersebut mempengaruhi pembahasan perubahan UUD 1945, dari perubahan pertama hingga perubahan keempat. Misalnya, Perubahan Pertama UUD 1945 dilakukan untuk membatasi kekuasaan Presiden, senada dengan tuntutan reformasi. Dalam pembahasan di PAH III BP MPR, Ketua PAH III, Harun Kamil, menyimpulkan pendapat-pendapat fraksi- fraksi, sebagai berikut: “…tentang pembatasan kekuasaan penjelasan, tugas dan wewenang Presiden ..karena selama ini yang
m 69 enjadi biang kerok masalah Presiden kan akhirnya pertama kali Presiden” . Pada akhirnya, Perubahan Pertama UUD 1945 menghasilkan pasal-pasal
yang membatasi kewenangan Presiden dan penambahan kewenangan DPR. 70 PAH III telah menyepakati bahwa perubahan UUD 1945 mempertegas sistem
Presidensial. Namun demikian, kekuasaan Presiden dalam membentuk UU tidak
69 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif…, Buku I, op.cit., hlm. 107. 7070 Yaitu Pasal 5 (1), di mana Presiden tidak lagi membuat undang-undang.
berubah mengikuti prinsip sistem Presidensial, di mana kekuasaan membentuk UU ada dipegang oleh legislatif. Kekuasaan Presiden untuk mengajukan RUU dan memberikan persetujuan atas RUU yang diajukan DPR, tetap dipertahankan,
walaupun DPR secara formal ditegaskan memegang kekuasaan membentuk UU. 71 Sementara itu, penambahan kewenangan DPR dimasukkan dalam pasal-pasal
yang masuk sebagai kekuasaan presiden dan dalam kewenangan yang sering disebut dengan hak prerogatif. 72 Dengan istilah “pertimbangan DPR”, pada
hakekatnya hal tersebut tidak mengikat keputusan Presiden. Hal yang cukup signifikan dalam Perubahan Pertama UUD 1945 adalah mengenai pembatasan
masa jabatan presiden dan wakil presiden, 73 walaupun sebenarnya hal tersebut sudah diatur dalam Tap MPR, mendahului perubahan UUD 1945. Dengan
demikian, Perubahan Pertama UUD 1945 yang ditujukan untuk melakukan pembatasan kekuasaan eksekutif, tidak secara optimal melembagakannya dalam rumusan baru UUD 194.
Begitu pula, ketika Perubahan Kedua UUD 1945 dilakukan untuk melanjutkan perubahan pertama. Materi perubahan kedua, lebih luas dari perubahan pertama karena masukan dari masyarakat dan para pakar yang
diundang dalam rapat PAH I dan tuntutan gerakan reformasi 1998 74 , walaupun
71 Lihat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Perubahan Pertama UUD 1945. 72 Misalnya, dalam hal pengangkatan duta dan konsul, penerimaan duta negara lain, dan
pemberian amnesty dan abolisi, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Lihat Pasal 13, Pasal 14 ayat (2) Perubahan Kedua. Misalnya dalam hal penerimaan duta negara lain, terkait dengan kekuasaan diplomatik yang menurut Strong merupakan salah satu kekuasaan Presiden terkait dengan hubungan luar negeri. C.F. Strong, op.cit., hlm.233.
73 Lihat Pasal 7 Perubahan UUD 1945. 74 Materi yang dimasukkan dalam Perubahan Kedua antara lain, mengenai pemerintahan daerah
dan HAM, hal tersebut merupakan dua dari beberapa hal yang dituntut reformasi 1998, dan HAM, hal tersebut merupakan dua dari beberapa hal yang dituntut reformasi 1998,
Budaya konstitusi yang reaksioner baru terlihat dalam proses perubahan ketiga UUD 1945, terkait dengan sistem perubahan, di mana Tim Ahli PAH I BP MPR yang berpendapat perubahan yang telah dilakukan tidak dapat disebut addendum melainkan pembentukan konstitusi baru. Seperti ditegaskan oleh Ketua Tim Ahli PAH I, Ismail Sunny, bahwa:
“Bahwa melihat hasil pekerjaan saudara-saudara di dalam perubahan pertama dan perubahan kedua, secara ilmu pengetahuan ini tidak bisa lagi disebut addendum. Oleh karena addendum itu tidak sebanyak yang kita telah lakukan, apabila keputusan-keputusan yang sudah kami bicarakan ini akan merupakan addendum yang ketiga. Maka akan menjadi perubahan ketiga UUD. Ini akan sukar kita menyebutnya sebagai addendum. Maka, yang hidup di dalam diskusi-diskusi itu kami tawarkan kepada PAH , kita membuat UUD Republik Indonesia. Yang artinya itu UUD yang
baru…” . 75
Terhadap pendapat Tim Ahli tersebut, Ketua PAH I, Jakob Tobing, juga membenarkan hal tersebut, namun dengan alasan bahwa perubahan UUD 1945 sudah dilakukan, maka proses perubahan tersebut tetap dilanjutkan, tanpa mempersoalkan istilah addendum atau UUD baru. Pernyatan Jakob Tobing sebagai berikut:
walaupun dalam konteks perubahan pasal – pasal HAM, sebagian besar materinya berasal dari Tap MPR No. XVII/MPR/ 1998 tentang HAM.
75 Hal tersebut juga didukung oleh Maswadi Rauf, Koordinator Bidang Politik Tim Ahli PAH I. Ibid., hlm. 324 – 325.
“mengenai istilah addendum, saya mendahului teman-teman, mungkin lebih baik tidak usah dipersoalkan. Kita teruskan saja yang sudah terjadi. Kami hanya mengatakan itu, adalah kesepakatan – kesepakatan pada waktu perubahan pertama terjadi itu ada lampiran itu dan kami sebenarnya diam-
diam begitu tapi jalan saja begitu. 76
Dari pendapat-pendapat di atas tercermin, walaupun Tim Ahli sudah mengingatkan bahwa yang dilakukan adalah pembentukan UUD baru, namun PAH I tetap melanjutkan proses perubahan ketiga, sebagai kelanjutan perubahan pertama dan kedua. Persoalan sistem yang demikian, juga menjadi hambatan bagi Tim Ahli untuk melakukan tugasnya. Nazaruddin Sjamsuddin, anggota Tim Bidang Politik menyatakan kesulitan pembicaraan dalam rapat Bidang Politik karena harus mengacu pada materi rancangan perubahan UUD 1945 dari PAH I, padahal terdapat usulan dari Tim Bidang Politik yang perlu dimasukkan, namun tidak ada dalam kerangka rancangan perubahan yang dipersiapkan badan
pekerja. 77 Pada akhirnya, terlepas dari persoalan tersebut, proses perubahan ketiga tetap dilanjutkan dengan acuan rancangan perubahan UUD 1945 yang dihasilkan
oleh PAH I. Artinya, MPR tetap meneruskan perubahan UUD 1945 tanpa desain perubahan yang jelas.
Dalam pendapat akhir fraksi menanggapi hasil kerja Komisi A terhadap rancangan perubahan ketiga UUD1945 dari BP MPR, F-PDU melalui juru bicaranya Asnawi Latief mengatakan:
“Pada satu sisi kita punyai prinsip-prinsip konsep yang memuat dan mengibarkan visi kita tentang sistem ketatanegaraan yang hendak kita bangun yang telah mendapat persetujuan bersama, sementara di sisi lain,
76 Ibid., hlm. 326. 77 Ibid., hlm. 327.
kita sudah melangkah jauh dengan menyusun detil per detil perubahan terhadap Undang-Undang 1945 itu sendiri. Adanya keterbatasan waktu pembahasan yang tersedia pada Sidang Tahunan Majelis ini telah membuat Majelis tidak mungkin mampu
melaksanakan tugasnya dengan baik apa lagi sempurna.” 78
Pandangan di atas, di satu sisi tepat dalam hal skema perubahan yang awalnya dimaksudkan melakukan parsial melalui teknik addendum yang kemudian menjadi perubahan seluruh pasal-pasal UUD 1945. Namun demikian, di sisi lain, visi ketatanegaraan yang telah disepakati bersama tidak tergambar sejak awal perubahan pertama UUD 1945 dengan adanya 5 kesepakatan dasar dalam PAH III. Visi ketatanegaraan tersebut dibahas secara “mengalir” dalam beberapa rangkaian perubahan UUD 1945, setidaknya sampai perubahan ketiga UUD 1945. Mungkin ini yang disebut Jimly Asshiddiqie bahwa paradigma
perubahan UUD 1945 itu baru diketemukan belakangan. 79 Dengan demikian, kesepakatan visi ketatanegaraan yang demikian, mengakibatkan perubahan pasal
per pasal dari seluruh pasal UUD 1945 tidak dapat terhindarkan. Hal tersebut terjadi hingga proses perubahan keempat UUD 1945.
Hal-hal di atas mencerminkan bahwa kekeliruan MPR memilih sistem perubahan untuk mengubah UUD 1945, menyebabkan perubahan yang terjadi tidak memiliki desain yang jelas. Hal tersebut menyebabkan pasal – pasal yang telah ditetapkan dalam masa perubahan tertentu, dipertanyakan kembali pada masa perubahan lainnya. Misalnya, dalam hal keterlibatan presiden dalam pembentukan UU yang telah ditetapkan dalam Perubahan Pertama dan Kedua
78 Ibid., hlm. 339 – 340. 79 Kompas, 2 Juli 2002.
UUD 1945. Dalam proses perubahan ketiga, F-PPP melalui juru bicaranya Zain Badjeber, mengatakan:
“Bagaimana pengalaman selama ini di DPR dalam pembahasan bersama suatu RUU bersama pemerintah sampai dengan tahun 2004 menurut Propenas kita membutuhkan lebih dari seratus undang-undang, sementara setiap tahunnya dengan sistem pembahasan bersama pemerintah dan DPR sejak tahun 2000 DPR belum sempat melahirkan 50% dari jumlah yang akan menjadi indikator pembangunan hukum, yang terpenting dalam hal ini adalah untuk menjawab pertanyaan apakah dengan sistem presidensial yang menjadi acuan kita, proses legislasi melibatkan langsung pemerintah
tersebut telah sesuai. Ini pertanyaan yang perlu kita jawab.” 80
Begitu pula dalam hal keterkaitan antara satu subsistem ketatanegaraan dengan subsistem ketatanegaraannya lainnya. Misalnya, dalam hal sistem pemerintahan dengan sistem perwakilan, terkait dengan kekuasaan Presiden dalam pembentukan UU yang diubah pada perubahan pertama dan kedua, dengan pembahasan kekuasaan DPD pada masa perubahan ketiga. Fraksi – fraksi ada yang berpendapat setuju baik secara eksplisit maupun implisit dengan sistem
perwakilan dua kamar, 81 ada mempertanyakan sistem perwakilan hasil rumusan
82 PAH I, 83 ada pula yang secara eksplisit mengusulkan pembatasan peran DPD.
80 Ibid., hlm. 419 – 420. 81 F. Reformasi melalui juru bicaranya Umirza Abidin dalam penyampaian pendapat akhir fraksi
terhadap hasil kerja Komisi A dalam Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR 2001, mengatakan: “Saudara Pimpinan dan anggota majelis yang terhormat, hal baru yang kami harapkan dan sepakati adalah perubahan sistem kekuasaan legislatif atau parlemen menjadi bikameral. Majelis akan terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan…Sesi gabungan keduanya disebutkan Majelis Permusyawaratan Rakyat….”. Sementara itu, F-PKB melalui juru bicaranya Hamdan Zoelva mengatakan, “Perubahan struktur Majelis yang terdiri dari DPR dan DPD, di mana semua anggota dipilih dalam Pemilihan Umum adalah sebuah sistem yang ideal yang hendak kita bangun”. ibid., hlm. 390, 392.
82 F- KKI melalui juru bicaranya Hamid Mappa mengatakan, “Dalam rancangan terlihat suatu keinginan untuk melakukan suatu perubahan terhadap lembaga perwakilan rakyat/ lembaga
legislatif dan sistem satu kamar, unicameral atau unicameral plus menjadi dua kamar bicameral… Dari rancangan tersebut belumlah cukup jelas apakah MPR yang dimaksud merupakan lembaga tetap permanent body atau suatu forum Sidang Tahunan game session antara DPD dan DPR. Yang mana MPR merupakan lembaga tetap maka tentu saja bukan sistem bicameral melainkan sistem
Sistem bikameral juga direkomendasikan oleh Tim Ahli PAH I BP MPR 2000- 2001 dengan menempatkan MPR sebagai sidang gabungan antara DPR dan DPD.
Konsekuensinya, kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan DPD. 84 Dalam proses pembahasan perubahan ketiga, tidak ada pembahasan yang
mendalam mengenai implikasi usulan sistem perwakilan tersebut terhadap kekuasaan Presiden yang masih diberikan kewenangan membentuk UU, baik mengajukan RUU maupun memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan DPR. Pada akhirnya, hasil perubahan ketiga tidak mencerminkan sistem
bikameral, melainkan sistem tiga badan perwakilan atau trikameral. 85 Hal tersebut mencerminkan, pemilihan sistem perwakilan tidak dipikirkan sejak awal proses
perubahan UUD 1945, karena lebih memfokuskan pada pembatasan kekuasaan eksekutif dan penguatan wewenang DPR.
Tidak adanya desain yang jelas dalam proses perubahan, hingga masa perubahan keempat UUD 1945 menyebabkan persoalan – persoalan penting yang menjadi perdebatan tidak kesepakatan secara mufakat. Misalnya, keberadaan
dua setengah kamar atau bahkan sistem tiga kamar tricameral. Bilamana MPR dimasukkan sebagai Sidang Tahunan maka tentulah perlu dijelaskan hal apa DPD dan DPR melakukan Sidang Tahunan dan dalam hal apa pula melakukan sidang masing- masing”. Ibid., hlm. 394.
83 F-PG, melalui juru bicaranya T.M. Nurlif mengatakan, “DPD diposisikan sebagai bagian dari sistem perwakilan yang tentunya berbeda dengan DPR di dalam menjalankan fungsi legislatifnya.
DPD hanya memiliki fungsi legislasi dan pengawasan terbatas, termasuk fungsi anggaran yang hanya member pertimbangan terhada p Rancangan APBN”. Ibid., hlm. 385.
84 Antara lain disampaikan oleh Tim Ahli Bidang Poltik, melalui Nazarudin Sjamsuddin, dan Afan Gaffar, dan Tim Ahli Bidang Hukum, antara lain disampaikan melalui Jimly Asshiddiqie pada rapat
PAH I dalam proses perubahan ketiga UUD 1945. Ide tersebut juga pernah diontarkan oleh Ruslan Abdulgani dalam rapat PAH I BP MPR 1999 – 2000 (perubahan kedua) yang mengatakan lembaga perwakilan di masa mendatang “satu DPR, satu Senat.. kita nanti mempunyai bicameral system…”. Ibid., hlm. 175, 328, 332, 343.
85 Untuk menyebut sistem perwakilan setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, Bagir Manan menggunakan istilah “sistem tiga badan perwakian”, sementara Jimly Asshiddiqie menggunakan
istilah trikameral. Lihat dalam Susi Dwi Harijanti, Miranda Risang Ayu, Reformasi Sistem Perwakilan, Laporan Akhir Penelitian, Fakultas Hukum Unpad, 2008, hlm. 1.
Utusan Golongan diselesaikan melalui voting terhadap beberapa alternatif rumusan perubahan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur komposisi MPR. 86
Adanya UUD 1945 dalam satu naskah yang disepakati dalam proses akhir perubahan keempat UUD 1945, mencerminkan bahwa MPR secara diam-diam mengakui bahwa perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan adalah pembentukan konstitusi baru, bukan addendum. Hal ini disebabkan, perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan telah mengubah, bahkan menambah sebagian besar ketentuan- ketentuan UUD 1945.
Di samping budaya konstitusi yang reaksioner, hasil perubahan UUD 1945 juga mencerminkan beberapa karakter budaya konstitusi lain yang positif. Pertama, adanya penegasan prinsip supremasi konstitusi dalam melembagakan kedaulatan rakyat. Hal tersebut tercermin dalam Pasal 1 ayat (3), yang menegaskan bahwa: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Ketentuan tersebut merupakan respon dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan di mana ditafsirkan kekuasaan yang tertinggi ada di tangan MPR (Oie Gezamte Staatgewalt Liergi allein der
Majelis). 87 Istilah “sepenuhnya” menurut para anggota MPR yang terlibat proses perubahan UUD 1945 menimbulkan persepsi bahwa kedaulatan rakyat telah
beralih kepada MPR. 88 Dalam analisis akademik, misalnya yang kemukakan oleh Bagir Manan, tentang kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR,
86 Ibid., hlm. 542. 87 Penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan).
88 Menurut Gregorius Seto Harianto (F- PDKB): “Pengertian sepenuhnya mengandung konotasi tanpa batas, sehingga bertendensi mengambil alih kekuasaan rakyat. Perlu ada pembatasan
normatif. Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku II Lembaga Permusyawaratan Rakyat, dan Perwakilan, Jilid 1, hlm. 94.
menyebabkan badan perwakilan lain, seperti DPR tidak dipandang melakukan kedaulatan rakyat. 89
Sebagai gantinya, kedaulatan rakyat tidak dipegang oleh lembaga (supremasi MPR), melainkan berdasarkan UUD sesuai dengan paham
konstitusionalisme. 90 Dengan rumusan yang baru, kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut prinsip supremasi konstitusi, yaitu dengan mengakui UUD 1945 sebagai
pedoman dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. 91 Dengan diubahnya ketentuan tersebut, maka tidak ada lagi penfasiran bahwa MPR sebagai pemegang
kedaulatan rakyat memilih Presiden sebagai mandataris, sehingga hanya Presiden yang merupakan pelaksana kedaulatan rakyat di bawah MPR. Hal tersebut juga sejalan dengan prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang sebelumnya dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945. Konsekuensi dari paham kedaulatan rakyat berdasarkan konstitusi adalah bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui lembaga-lembaga negara tidak dapat bertentangan dengan UUD 1945.
Kedua, penekanan pada perluasan jaminan HAM. Perluasan pasal – pasal HAM dalam UUD 1945 didahului dengan dibentuknya Tap MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 tentang HAM. Gagasan dimasukkannya ketentuan HAM yang
89 Bagir Manan, Teori dan Politik…., loc.cit., hlm. 15. 90 Seperti dikatakan oleh Harjono (F- PDIP), “untuk membatasi kewenangan, maka kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD..Faham Konstitusionalisme..” Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku II, Jilid 1, op.cit., hlm. 151.
91 Hal ini sesuai dengan pe ndapat Thomas Paine, yang menegaskan bahwa “It is wholly owing to the constitution of the people, and not to the constitution of the government ”. Thomas Paine,
Common Sense, edited by Jim Manis, The Pennsylvania State University’s Electronic Classics Series, 1998, hlm. 12. Diunduh dari http://www2.hn.psu.edu/ , pada tanggal 13 Maret 2003. Artinya, konstitusi menentukan bagaimana kedaulatan rakyat dijalankan. Kalau pun lembaga- lembaga negara melaksanakan kedaulatan rakyat, tetapi konstitusi tidak menentukan kedaulatan tersebut untuk pemerintah, melainkan untuk rakyat.
komprehensif dianggap sesuai dengan kehendak Indonesia yang menjunjung HAM. 92 Ada pula fraksi yang menekankan perlunya pengaturan HAM yang lebih
terperinci, karena pada saat UUD 1945 dibentuk sangat dipengaruhi pandangan bahwa declaration des droits de l’homme et de citoyen yang menjadi pembicaraan pada waktu itu dianggap sebagai sumber individualisme. 93 Mengenai materi HAM
yang akan dimasukkan HAM dalam UUD 1945, ada fraksi yang menekankan pada beberapa hak 94 , namun ada pula yang menginginkan semua HAM yang ada
dalam Tap MPR No. XVII/ MPR/ 1998 dimasukkan ke dalam UUD 1945, dengan catatan-catatan, Pasal 27 dan Pasal 28 dalam UUD 1945 harus dihapus dan
diganti. 95 Dimasukkannya pasal-pasal HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 juga sesuai dengan tuntutan masyarakat. Dalam proses perubahan tersebut,
beberapa organisasi masyarakat, salah satunya Koalisi Ornop yang menekankan pada pentingnya jaminan HAM berupa hak atas informasi, serta hak atas
lingkungan yang baik dan sehat. 96 Pada akhirnya rumusan pasal-pasal HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 lebih banyak mengadopsi jaminan HAM
dalam Tap MPR No. XVII/ MPR/ 1998, namun Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945 tidak dihapus.
Ketiga, penegasan sistem desentralisasi melalui pemberian otonomi seluas-luas. Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan dianggap terlalu ringkas mengatur pemerintahan daerah, padahal masalah daerah khususnya mengenai
92 Pendapat F-PG, melalui juru bicarnya Agun Gunanjar Sudarsa. Ibid., hlm. 141. 93 Pendapat F-UG, melalui juru bicaranya Valina Singka Subekti.ibid., hlm. 171.
94 F-KB melalui juru bicaranya Abdul Khaliq, menekankan pada 5 materi HAM, yaitu kebebasan berprofesi, kebebasan untuk mendapat kekayaan, kebebasan beragama, kebebasan menjaga
keturunan, dan kebebasan hidup. Ibid., hlm. 145. 95 Pendapat F-PBB melalui juru bicaranya, Hamdan Zoelva. Ibid., hlm. 153.
96 Pendapat Koalisi Ornop melalui juru bicaranya Emmy Hafild. Ibid., hlm. 269.
hubungan pusat daerah sangat besar. 97 Pandangan tersebut juga mengakitkan antara pembaruan Pasal 18 selain untuk memberikan jaminan dan kejelasan
kepada daerah, juga untuk mencegah disintegrasi bangsa. 98 Hal tersebut juga sejalan dengan identifikasi sistem pemerintahan daerah pada waktu itu yang
sentralistis sehingga tidak sesuai dengan asas demokrasi. Ada pula yang menekankan pengaturan otonomi daerah dalam konteks peneguhan bentuk negara
kesatuan. 99 Berdasarkan Pasal 18 yang baru (Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B), pengaturan pemerintahan daerah lebih jelas dan yang paling penting,
menghilangkan tafsir dualisme bentuk daerah (otonom dan administratif), yang diambil berdasarkan Pasal 18 yang lama. 100
Keempat, penekanan pentingnya independensi lembaga peradilan dan judicial review. Pembaruan ketentuan kekuasaan kehakiman pada awalnya terfokus hanya pada Mahkamah Agung sebagai satu-satunya pelaksana cabang kekuasaan kehakiman. Hampir semua fraksi menyepakati perlunya penegasan prinsip independensi kekuasaan kehakiman dan MA sebagai kekuasaan kehakman
97 Seperti dikatakan oleh F-PBB melalui juru bicaranya Hamdan Zoelva. Ibid., hlm. 150. 98 Ibid. 99 Pendapat F-PG, melalui juru bicaranya Agun Gunanjar Sudarsa. Selanjutnya F-PG menekankan
bahwa pembagian wilayah negara dan otonomi berisi pengakuan negra terhadap daerah-daerah dalam wilayah Republik Indonesia dan jaminan otonomi daerah yang seluas-luasnya kepada setiap daerah. Hal yang hampir sama juga disampaikan oleh F-PPP, yang secara eksplisit mengkaitkan antara Pasal 1 (mengenai bentuk negara kesatuan) dengan Pasal 18. Ibid., hlm. 140, 146.
Menurut Bagir Manan, berdasarkan Pasal 18 beserta paham yang terkandung di dalamnya, maka pen jelasan yang memuat keterangan : “…atau bersifat daerah administrative belaka” merupakan sesuatu yang berlebihan. Semua UU pemerintahan daerah hanya mengatur pemerintahan daerah otonom, kecuali UU No. 5 Tahun 1974 yang memuat ketentuan mengenai dekonsentrasi. Selain mencerminkan sifat pengaturan yang sentralistik, UU No. 5 Tahun 1974 telah keliru mengatur mengenai dekonsentrasi diatur dalam organisasi pemerintahan pusat bukan daerah, sehingga menimbulkan dualisme penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bagir Manan, Teori dan Politik….op.cit., hlm. 25.
tertingg. 101 Penekanan pembaruan ini, pada prinsip independensi kekuasaan kehakiman dari pengaruh cabang kekuasaan yang lain dan pemberian kewenangan
untuk melakukan judicial review. 102 Penegasan tersebut diperlukan karena persepsi yang berkembang di MPR, bahwa selama ini intervensi politik terhadap
hukum secara logis adalah kesalahan penyusunan UUD (yang tidak mencantumkan secara tegas, melainkan dalam Penjelasan UUD 1945 – tim peneliti 103 ). Ada juga yang mengkaitkan persoalan tersebut dengan implementasi
prinsip rechstaat dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang tidak dijabarkan lebih lanjut dalam bab kekuasaan kehakiman. 104 Dalam perkembangannya, untuk
melakukan pembaruan kekuasaan kehakiman, ada yang mengusulkan pembentukan dewan kehormatan hakim, 105 yang pada akhirnya dibentuk dengan
nama Komisi Yudisial. 106 Dalam perkembangannya, pembaruan ketentuan mengenai kekuasaan
kehakiman juga mencakup usulan pemberian kewenangan kepada MA untuk
102 Ini menjadi sikap antara lan dari F-PPP, F-PBB, F-UG, F-Reformasi, F-PKB, F – PG, F-PDIP. Lihat Tim Penyusun, Naskah Komprehensif…., Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 35, 39, 41, 42, 69, 79.
Pandangan F-PPP (Zain Badjeber). Hampir sama dengan F-PPP, Patrialis Akbar dari F- Reformasi, menggambarkan intervensi tersebut, misalnya keberadaan kekuasaan kehakiman di bawah Presiden, sehingga menjadi terkooptasi. Ibid., hlm. 78, 80.
104 Pandangan F-PBB (Hamdan Zoelva). Ibid., hlm. 79.
Seperti diusulkan Hamdan Zoelva (F- PBB), bahwa: “Masalah Mahkamah Agung, kami juga setuju Mahkamah Agung itu sebagai lembaga yang mandiri…..karena hakim dan Mahkamah Agung itu sendiri adalah benar-benar buatan suatu lembaga yang benar-benar mandiri, jadi tidak boleh dinilai oleh lembaga lain, yang bisa menilai adalah satu dewan tersendiri atau dewan kehormatan hakim itu sendiri , tapi kita perkuat saja dewannya ini . Dan kalau perlu kita masukkan hal itu dalam undang- undang dasar” (cetak tebal oleh Tim Peneliti). Loc.cit., hlm. 78.
Komisi Yudisal diatur dalam Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945. Walaupun demikian, sebenarnya, Tim Ahli Bidang Hukum menyarankan agar komisi ini tidak diatur dalam UUD, dengan alasan akan menimbulkan pertanyaan bagi lembaga negara lain apakah harus ada atau tidak dewan kehormatannya dalam UUD 1945, padahal seperti DPR, dewan kehormatannya diatur dalam Tatib. Lihat pandangan Tim Ahli Bidang Hukum, yang disampaikan oleh Maria S.W. Soemardjono dalam Tim Penyusun, Naskah Komprehensif…., Buku I, op.cit., hlm. 353.
melakukan judicial review terhadap semua peraturan perundang-undang di bawah undang-undang, termasuk undang-undang. 107 Persoalan yang muncul kemudian,
mengenai lembaga yang berwenang melakukan judicial reveiew. Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada awalnya kewenangan tersebut dipegang oleh MA, namun selanjutnya usul yang berkembang menghendaki dibentuknya Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk melakanakan fungsi tersebut. 108 Perkembangan selanjutnya setelah usul pembentukan MK disepakati
sebagaian besar fraksi, berkembang pemikiran untuk menambah usul kewenanan MK, tidak hanya judicial review, tetapi juga penyelesaian sengketa kewenangan
antar lembaga negara. 109 Usulan kewenangan MK pun bertambah luas, yang juga mencakup pembubaran partai politik, dan sengketa hasil Pemilu, 110 dan dalam
proses pemberhantian presiden dan atau wakil presiden pada masa jabatannya, walaupun putusan akhir tetap di tangan MPR. 111 Namun demikian, ada pula
107 Hal ini misalnya disinggung oleh F-UG, dan F- Reformasi, dan F-PBB, F-PG. Lihat Tim Penyusun, Naskah Komprehensif…., Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm.hlm. 39, 41, 42, 138.
Dalam hal ini F- FDI melalui juru bicaranya Asnawie Latief mengatakan, ““Bubarkan DPA dan bentuk MK atau pengadilan konstitusi sehingga tidak lagi menambah lembaga baru menjadi lembaga yang ada yang tidak efisien dan tidak efektif diganti dengan Mahkamah Konstitusi sehingga mengenai judicial review yang menjadi pro-kontra selama ini, siapa yang berhak selama ini kan tidak ada penyelesaian, bentuk saja Mahkamah Konstitusi seperti kita lihat juga di beberapa Negara”. Hal tersebut pada akhirnya didukung olef fraksi-fraksi lain seperti: F-PG, Ibid.,hlm.286, 287.
109 Seperti dikatakan oleh Hamdan Zoelva, bahwa: “Untuk memeriksa dan mengadili sengketa dibidang hukum ketatanegaraan diadakan sebuah Mahkamah Konstitusi”. Ibid., hlm. 289.
Sepeti dikatakan oleh Soetjipto (F-UG), bahwa: “Kita tahu bahwa UU kita banyak produk- produk yang dihasilkan pemerintah Belanda dan itu juga setingkat dengan UU, oleh karena itu F- UG menganggap perlu adanya suatu MK yang menguji UU jadi punya hak menguji UU. Fungsinya bukan hanya hak Uji UU tetapi MK di Negara lain juga mengadili persengketaan anatara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan juga mengadili persengketaan adanya pembubaran partai politik dan juga mengadili apabila terjadi persengketaan dalam pelaksanaan pemilu.” Ibid., hlm. 290.
Agun Gunanjar (F- PG) mengatakan: “Termasuk juga Mahkamah Konstitusi apabila memang juga ada kewenangan-kewenangan lain dicantumkanlan disini kewenangan-kewenangan lain yang diatur berdasarkan undang-undang dasar dan atau undang-undang. Kalau berdasarkan Agun Gunanjar (F- PG) mengatakan: “Termasuk juga Mahkamah Konstitusi apabila memang juga ada kewenangan-kewenangan lain dicantumkanlan disini kewenangan-kewenangan lain yang diatur berdasarkan undang-undang dasar dan atau undang-undang. Kalau berdasarkan
independen. 112 Hal ini menunjukkan masih berkembangnya ketidakpercayaan terhadap pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman oleh MA. Pada akhirnya,
kesepakatan yang terjadi adalah membentuk MK sebagai lembaga tersendiri, sehingga kekuasaan kehakiman tidak hanya dijalankan oleh MA dan peradilan di bawahnya, melainkan juga oleh MK. Sementara itu, mengenai komposisi hakim MK yang terdiri dari 9 hakim (3 dari Presiden, 3 dari DPR dan 3 dari MA), tampaknya dipengaruhi oleh pendapat Tim Ahli yang sebelumnya mengusulkan
hal tersebut yang mengacu pada Korea Selatan. 113