Landasan Teori

2.2.6. Satuan Mobil Penumpang

Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 mendefinisikan satuan mobil penumpang (smp) adalah satuan untuk arus lalu lintas dimana berbagai tipe kendaraan diubah menjadi arus kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp. Ekivalen mobil penumpang (emp) adalah faktor yang menunjukkan pengaruh berbagai tipe kendaraan dibandingkan kendaraan ringan terhadap kecepatan kendaraan ringan dalam arus lalu lintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan yang mirip emp=1). Pembagian tipe kendaraan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 mendefinisikan satuan mobil penumpang (smp) adalah satuan untuk arus lalu lintas dimana berbagai tipe kendaraan diubah menjadi arus kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp. Ekivalen mobil penumpang (emp) adalah faktor yang menunjukkan pengaruh berbagai tipe kendaraan dibandingkan kendaraan ringan terhadap kecepatan kendaraan ringan dalam arus lalu lintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan yang mirip emp=1). Pembagian tipe kendaraan

1. Sepeda Motor, Motor Cycle (MC), terdiri dari kendaraan bermotor beroda dua atau tiga.

2. Kendaraan Ringan, Light Vehicle (LV), yaitu kendaraan bermotor dua as beroda empat dengan jarak as 2-3 meter, termasuk diantaranya mobil penumpang, oplet, mikrobis, pick-up dan truk kecil.

3. Kendaraan berat, Heavy Vehicle (HV), yaitu kendaraan bermotor lebih dari 4

roda, termasuk diantaranya bis, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi.

Nilai emp tiap tipe jalan ditampilkan pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2.

Tabel 2.1. emp untuk jalan perkotaan tak terbagi Emp Arus lalu lintas MC

Tipe

Total dua arah Lebar lajur lalu

Jalan tak terbagi HV

(kend/jam) lintas Cw (m) ≤6 ≥6

Dua lajur tak terbagi 0 1,3 0,5 0,4 (2/2 UD) ≥1800 1,2 0,35 0,25

Empat lajur tak terbagi 0 1,3 0,4 (4/2 UD) ≥3700 1,2 0,25

Sumber: MKJI 1997

Tabel 2.2. emp untuk jalan perkotaan terbagi dan satu arah Tipe jalan: Emp

Arus Lalu lintas

Jalan Satu Arah dan Per Lajur (kend/jam) HV MC Jalan Terbagi

Dua Lajur satu arah (2/1) 0 1,3 0,4 Dan Empat Lajur terbagi (4/2D) 1050 1,2 0,25

Tiga Lajur satu arah (3/1) 1 1,3 0,4 Dan Enam Lajur terbagi (6/2D) 10 1,2 0,25

Sumber: MKJI 1997

2.2.7. Kapasitas

Kapasitas adalah volume maksimum kendaraan perjam yang melalui suatu potongan lajur jalan(untuk jalan multi lajur) atau suatu potongan jalan (untuk jalan Kapasitas adalah volume maksimum kendaraan perjam yang melalui suatu potongan lajur jalan(untuk jalan multi lajur) atau suatu potongan jalan (untuk jalan

C = Co x FC w x FC sp x FC sf x FC cs (2.1)

Dimana:

C = Kapasitas (smp / jam)

C o = Kapasitas dasar untuk kondisi tertentu (ideal) (smp / jam) FC w = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas FC sp = Faktor penyesuaian pemisah arah FC sf = Faktor penyesuaian hambatan samping FC cs = Faktor penyesuaian ukuran kota

1. Kapasitas dasar jalan perkotaan (C o )

Kapasitas dasar adalah kapasitas segment jalan untuk kondisis tertentu sesuai kondisis geometrik, pola arus lali lintas, dan faktor lingkungan. Jika kondisi sesungguhnya sama dengan kasus dasar (ideal) tertentu, maka semua faktor penyesuaian menjadi 1,0 dan kapasitas menjadi sama dengan kapasitas dasar (C o )

Kapasitas dasar (C o ) dari suatu tipe jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Kapasitas dasar (C o ) jalan perkotaan

Kapasitas Dasar

Tipe Jalan Catatan

(smp/jam)

Empat lajur terbagi atau 1650 Perlajur Jalan satu arah

Empat lajur tak terbagi 1500 Perlajur

Dua lajur tak terbagi 2900 Total dua arah

Sumber: MKJI 1997

2. Faktor penyesuai kapasitas untuk lebar jalur lalu lintas FC cw

Faktor penyesuai kapasitas untuk lebar jalur lalu lintas jalan perkotaan adalah faktor penyesuai untuk kapasitas dasar akibat lebar jalur lalu lintas. Besarnya faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Faktor penyesuaian kapasitas (FC w ) untuk pengaruh lebar jalur lalu lintas untuk jalan perkotaan

Tipe Jalan Lebar Jalur Lalu lintasEfektif (W c )

Empat lajur terbagi 3,25 0,96 Atau

Jalan Satu Arah 1,00

Perlajur 3,00 0,91 Empat lajur tak 3,25 0,95 Terbagi 3,50 1,00 3,75 1,05 4,00 1,09

Total dua arah

7 1,00 Dua Lajur tak terbagi

Sumber: MKJI 1997

3. Faktor penyesuain kapasitas untuk pemisahan Arah (FC sp )

Faktor penyesuai kapasitas untuk pemisahan arah lalu lintas adalah faktor penyesuai kapasitas dasar akibat pemisahan arah lalu lintas (hanya pada jalan dua arah tak terbagi). Faktor ini mempunyai nilai paling tinggi pada prosentase pemisahan arah 50%-50% yaitu bilamana arus pada kedua arah adalah sama pada periode waktu yang dianalisis (umumnya satu jam). Besarnya faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisahan Arah (FC sp )

Pemisahan arah SP 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30 %-%

Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88

FC sp Empat lajur 1,00 985 0,97 0,9555 0,94 4/2

Sumber: MKJI 1997

4. Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping (FCsf).

Faktor penyesuai kapasitas untuk hambatan samping adalah faktor penyesuai kapasitas dasar akibat hambatan samping sebagai fungsi lebar bahu. Hambatan samping ini dipengaruhi oleh berbagai aktivitas disamping jalan yang berpengaruh terhadap arus lalu lintas. Hambatan samping yang terutama berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan:

a. Jumlah pejalan kaki berjalan atau menyeberang sisi jalan.

b. Jumlah kendaraan yang berhenti di parkir.

c. Jumlah kendaraan masuk dan keluar ke/dari lahan samping jalan dan jalan sisi.

d. Jumlah kendaraan yang bergerak lambat yaitu arus total (kend/jam) dari sepeda, becak, delman, pedati, dan sebagainya.

Besarnya faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.6 dan Tabel 2.7.

Tabel 2.6. Faktor penyesuaian kapasitas (FCsf) untuk pengaruh hambatan Tabel 2.6. Faktor penyesuaian kapasitas (FCsf) untuk pengaruh hambatan

Kelas Tipe Lebar bahu (FC sf ) Hambatan

Jalan Lebar bahu (m) Samping

£ 0,5 1,0 1,5 ³ 2,0 VL 0,96 0,98 1,01 1,03 ML 0,94 0,97 1,00 1,02 4/2D M 0,92 0,95 0,98 1,00

H 0,88 0,92 0,95 0,98 VH 0,84 0,88 0,92 0,96 VL 0,96 0,99 1,01 1,03 ML 0,94 0,97 1,00 1,02 4/2UD M 0,92 0,95 0,98 1,00

H 0,87 0,91 0,94 0,98 VH 0,80 0,86 0,90 0,95 VL 0,94 0,96 0,99 1,01

2/2UD ML 0,92 0,94 0,97 1,00 Atau jalan M 0,89 0,92 0,95 0,98 satu

H 0,82 0,86 0,90 0,95 arah VH 0,73 0,79 0,85 0,91

Sumber: MKJI 199

Tabel 2.7. Faktor penyesuaian kapasitas (FCsf) untuk pengaruh hambatan samping dan jarak Kerb-Penghalang (FCsf) Faktor Penyesuaian hambatan samping dan

Kelas Tipe Lebar bahu (FC sf ) Hambatan

Jalan Lebar kerb-penghalang (m) Samping

£ 0,5 1,0 1,5 ³ 2,0 VL 0,95 0,97 0,99 1,03 ML 0,94 0,96 0,98 1,00 4/2D M 0,91 0,93 0,95 0,98

H 0,86 0,89 0,92 0,95 VH 0,81 0,85 0,88 0,92 VL 0,95 0,97 0,99 1,03 ML 0,93 0,95 0,97 1,00 4/2UD M 0,90 0,92 0,95 0,97

H 0,84 0,87 0,90 0,93 VH 0,77 0,81 0,85 0,90 VL 0,93 0,95 0,97 0,99

2/2UD ML 0,90 0,92 0,95 0,97 Atau jalan M 0,86 0,88 0,91 0,94 satu

H 0,78 0,81 0,84 0,88 arah VH 0,68 0,72 0,77 0,82

Sumber: MKJI 1997

Untuk mengetahui tingkat hambatan samping pada kolom (2) Tabel 2.6 dan Tabel 2.7 dengan melihat kolom (3) Tabel 2.8 dibawah ini, tetapi apabila data terinci hambatan samping tersebut tersedia maka hambatan samping dapat ditentukan dengan prosedur berikut: Untuk mengetahui tingkat hambatan samping pada kolom (2) Tabel 2.6 dan Tabel 2.7 dengan melihat kolom (3) Tabel 2.8 dibawah ini, tetapi apabila data terinci hambatan samping tersebut tersedia maka hambatan samping dapat ditentukan dengan prosedur berikut:

b. Mengamati foto pada gambar A-4:1-5 (MKJI 1997) yang menunjukkan kesan visual rata-rata yang khusus dari masin-masing kelas hambatan samping. Dan memilih salah satu yang paling sesuai dengan kondisi rata-rata sesungguhnya pada kondisi lokasi untuk periode yang diamati.

c. Pilih kelas hambatan samping berdasarkan pertimbangan dari gabungan langkah 1 dan 2 di atas. Berikut Tabel 2.8 yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan tingkat hambatan samping pada kolom (2) Tabel 2.6 dan Tabel 2.7.

Tabel 2.8. Kelas Hambatan Samping untuk Jalan Perkotaan Frekuensi Kelas

Berbobot Kondisi Khusus Hambatan Kode Kejadian Samping

< 100 Pemukiman, hampir tidak ada Sangat Rendah VL Kegiatan

100-299 Pemukiman, beberapa angkutan Rendah L Umum,dll

300-499 Daerah industri dengan toko-toko

Sedang M di sisi jalan

500-899 Daerah niaga dengan aktifitas di Tinggi H Sisi jalan yang tinggi

>900 Daerah niaga dengan aktifitas di

Sangat Tinggi VH

sisi jalan yang sangat tinggi

Sumber: MKJI 1997

5. Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota FC cs

Faktor penyesuai kapasitas untuk ukuran kota adalah faktor penyesuaian kapasitas dasar akibat ukuran kota. Besarnya faktor ini dapat dilihat pada tabel 2.9 dibawah ini.

Tabel 2.9. Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh ukuran kota FC cs pada jalan perkotaan Ukuran Kota

Faktor Penyesuaian untuk Ukuran Kota FCcs (Juta Penduduk)

<0,1 0,86 0,1-0,5 0,90 0,5-1,0 0,94 1,0-3,0 1,00 >3,0 1,04

Sumber: MKJI 1997

2.2.8. Kecepatan

Kecepatan tempuh adalah kecepatan rata-rata (km/jam) arus lalu lintas dihitung dari panjang ruas jalan dibagi waktu tempuh rata-rata kendaran yang melewati segmen jalan. Sedangkan kecepatan pada arus bebas adalah kecepatan dari kendaraan yang tidak dipengaruhi oleh kendaraan lain (yaitu kecepatan dimana pengendara merasakan perjalanan yang nyaman dalam kondisi geometrik lingkungan dan pengaturan lalu lintas yang ada pada bagian segmen jalan dimana tidak ada kendaraan lain). Kecepatan arus dapat ditentukan dari Persamaan (2.2).

FV = (F vo + FV w ) x FFV sf x FFV cs (2.2)

Dimana: FV : Kecepatan arus bebas kendaraan ringan sesungguhnya (km/jam)

F vo : Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam) FV w : Penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif (km/jam) FFV sf : Faktor penyesuaian kondisi hambatan samping FFV cs : Faktor penyesuaian ukuran kota.

Besarnya nilai F vo , FV w , FFV sf dan FFV cs dapat dilihat pada Tabel 2.10 sampai dengan Tabel 2.14.

Tabel 2.10. Kecepatan arus bebas dasar (FV 0 ) untuk jalan perkotaan

Kecepatan arus bebas dasar (FV 0 ) (km/jam)

Rata-rata Tipe Jalan Ringan (LV) Berat (HV) Motor (MC) Kendaraan

Kendaraan Kendaraan Sepeda

Enam Lajur Terbagi (6/2D)

61 52 48 57 Atau tiga lajur satu arah (3/1)

Empat Lajur Terbagi (4/2D)

57 50 47 55 Atau dua lajur satu arah (2/1)

Empat lajur tak terbagi

53 46 43 51 (4/2 UD)

Dua lajur tak terbagi

44 40 40 42 (2/2 UD)

Sumber: MKJI 199

Tabel 2.11. Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas (FV w ) pada jalan perkotaan.

Lebar Jalur Lalu lintas

Tipe Jalan Efektif (W c ) FV w

(m) Perlajur 3,00 -4

Empat lajur terbagi 3,25 -2 Atau 3,50 0 Jalan Satu Arah 3,75 2

Perlajur 3,00 -4 Empat lajur tak 3,25 -2

Terbagi 3,50 0 3,75 2 4,00 4

Total dua arah

5 -9,5

6 -3

Dua Lajur tak terbagi

Sumber: MKJI 1997

Tabel 2.12. Faktor penyesuaian (FFV sf ) untuk pengaruh hambatan samping dan lebar bahu pada kecepatan arus bebas untuk jalan perkotaan dengan bahu.

Faktor Penyesuaian hambatan samping dan Kelas Tipe Lebar bahu (FFV sf ) Hambatan Jalan Lebar bahu (W Samping s) £ 0,5 1,0 1,5 ³ 2,0

VL 1,02 1,03 1,03 1,04 ML 0,98 1,00 1,02 1,03 4/2D M 0,94 0,97 1,00 1,02

H 0,89 0,93 0,96 0,99 VH 0,84 0,88 0,92 0,96 VL 1,02 1,03 1,03 1,04 ML 0,98 1,00 1,02 1,03 4/2UD M 0,93 0,96 0,99 1,02

H 0,87 0,91 0,94 0,98 VH 0,80 0,86 0,90 0,95 VL 1,00 1,01 1,01 1,01

2/2UD ML 0,96 0,98 0,99 1,00 Atau jalan M 0,90 0,93 0,96 0,99 satu

H 0,82 0,86 0,90 0,95 arah VH 0,73 0,79 0,85 0,91

Sumber: MKJI 1997

Tabel 2.13. Faktor penyesuaian (FFV sf ) untuk pengaruh hambatan samping dan jarak kerb penghalang jalan perkotaan dengan kerb. Faktor Penyesuaian hambatan samping dan

Kelas Tipe Lebar bahu (FFV 4sf ) Hambatan Jalan Jarak kerb Samping

£ 0,5 1,0 1,5 ³ 2,0 VL 1,00 1,01 1,01 1,02 ML 0,97 0,98 0,99 1,00 4/2D M 0,93 0,95 0,97 0,99

H 0,87 0,90 0,93 0,96 VH 0,81 0,85 0,88 0,92

VL 1,01 1,01 1,01 1,00 ML 0,98 0,98 0,99 1,00 4/2UD M 0,91 0,93 0,95 0,98

H 0,84 0,87 0,90 0,94 VH 0,77 0,81 0,85 0,90

VL 0,98 0,99 0,99 1,00 2/2UD ML

Atau jalan 0,93 0,96 0,98

M 0,87 0,89 0,92 0,95 satu

H 0,78 0,81 0,84 0,88 arah VH 0,68 0,77 0,77 0,82

Sumber: MKJI 1997

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk jalan enam lajur dapat ditentukan dengan menggunakan nilai FFV sf untuk jalan empat lajur yang diberikan pada Tabel 2.12 atau Tabel 2.13 dan disesuaikan seperti persamaan (2.3) dibawah ini:

FFV6sf = 1-0,8 x (1- FFV4sf) (2.3)

Dimana: FFV 6sf = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk enam lajur (km/jam). FFV 4sf = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk empat lajur (km/jam).

Untuk penentuan kelas hambatan samping sama dengan Tabel 2.8 diatas, sedangkan faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota dapat dilihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.14. Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan Ukuran Kota Faktor Penyesuaian Ukuran Kota

(Juta penduduk) (FV cs ) <0,1 0,90 0,1-0,5 0,93 0,5-1,0 0,95 1,0-3,0 1,00 >3,0 1,03

Sumber: MKJI 1997

Kecepatan kendaraan pada arus lalu lintas dapat dihitung pada Persamaan (2.4) dibawah ini :

0,5 V = Vo x 0,5 (1 + (1 – (Q/C)) ) (2.4)

Dimana :

V = kecepatan sesungguhnya pada saat ada arus lalu lintas Q. Vo

= kecepatan arus bebas.

C = kapasitas.

Jika arus pada ruas jalan tersebut telah mencapai kapasitas (Q/C = 1), maka Persamaan (2.4) menjadi :

V = 0,5Vo (2.5)

2.2.9. Karakteristik Jalan

Beberapa karakteristik jalan yang perlu diperhatikan, antara lain:

1. Geometrik Jalan

Geometrik jalan terdiri dari :

a. Tipe jalan Berbagai tipe jalan akan menunjukkan kinerja berbeda pada pembebanan lalu lintas tertentu, misalnya jalan terbagi dan terbagi (jalan satu arah)

b. Lebar jalur lalu lintas Kecepatan arus bebas dan kapasitas meningkat dengan pertambahan lebar jalur lalu lintas

c. Kerb Kerb sebagai batas antara jalur lalu lintas dan trotoar berpengaruh terhadap dampak hambatan samping pada kapasitas dan kecepatan. Kapasitas jalan dengan kerb lebih kecil dari jalan dengan bahu. Selanjutnya kapasitas berkurang jika terhadap penghalang tetap dekat tepi jalur lalu lintas, tergantung apakah jalan mempunyai kerb atau bahu.

d. Bahu Jalan perkotaan tanpa kerb pada umumnya mempunyai bahu pada kedua sisi jalur lalu lintasnya. Lebar dan kondisi permukaannya mempengaruhi penggunaan bahu, berupa penambahan kapasitas, kecepatan pada arus tertentu, akibat pertambahan lebar bahu, terutama karena pengurangan hambatan samping yang disebabkan kejadian disisi jalan seperti kendaraan angkutan umum berhenti, pejalan kaki dan sebagainya.

e. Median Median yang direncanakan dengan baik meningkatkan kapasitas e. Median Median yang direncanakan dengan baik meningkatkan kapasitas

Karakteristik geometrik jalan terdiri dari :

1) Jalan dua – lajur dua – arah tak terbagi (2/2 UD)

2) Jalan empat – lajur dua – arah tak terbagi (4/2 UD)

3) Jalan empat – lajur dua – arah terbagi (4/2 D)

4) Jalan enam – lajur dua – arah terbagi (6/2 D)

5) Jalan satu hingga – lajur satu arah (1-3/1)

Pemisah arah lalu lintas didefinisikan sebagai kapasitas jalan dua arah paling tinggi pada pemisahan arah 50 – 50, yaitu jika arus pada kedua arah adalah sama pada periode waktu yang dianalisa (umumnya satu jam).

Komposisi lalu lintas mempengaruhi hubungan kecepatan arus jika arus dan kapasitas dinyatakan dalam kend/jam, yaitu tergantung pada rasio sepeda motor atau kendaraan berat dalam arus lalu lintas. Jika arus dan kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp), maka kecepatan kendaraan ringan dan kapasitas (smp/jam) tidak dipengaruhi komposisi lalu lintas.

2. Aktifitas samping jalan (hambatan samping)

Banyak aktifitas samping jalan di Indonesia sering menimbulkan konflik, kadang- kadang besar pengaruhnya terhadap arus lalu lintas. Hambatan samping yang terutama berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan di perkotaan adalan :

a. Pejalan kaki

b. Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti

c. Kendaraan lambat (misalnya becak dan kereta)

d. Kendaraan masuk dan keluar dari lahan di samping jalan

3. Batasan ruas

Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJ, 1997) mendefenisikan suatu ruas jalan sebagai :

a. Suatu ruas jalan tidak dipengaruhi oleh simpang bersinyal atau simpang tak bersinyal utama.

b. Mempunyai karakteristik yang hampir sama sepanjang jalan Sebagai contoh, potongan melintang jalan yang masih dipengaruhi antrian akibat simpang atau arus iringan kendaraan yang tinggi yang keluar dari simpang bersinyal tidak dapat dipilih untuk analisis kapasitas suatu ruas. Selain itu bila terdapat perubahan karakterisitik yang mendasar dalam hal geometrik, hambatan samping, komposisi kendaraan dan lain-lain, maka harus dianggap sebagai ruas yang berbeda (dengan demikian maka diantara dua simpang dapat didefinisikan lebih dari satu ruas).

4. Tingkat Analisis

Analisis kapasitas dapat dilakukan pada dua tingkat yangberbeda yaitu:

a. Analisis Operasional dan perancangan : merupakan kinerja ruas jalan akibat volume lalu lintas yang ada atau diramalkan. Kapasitas juga dapat dihitung, yaitu volume maksimum yang dapat dilewatkan dengan mempertahankan tingkat kinerja tertentu. Lebar jalan atau jumlah lajur yang diperlukan untuk melewatkan volume lalu lintas tertentu dapat juga dihitung untuk tujuan perencanaan. Pengaruh kapasitas dan kinerja dari segi perencanaan lain, misalnya pembuatan median atau perbaikan lebar, dapat juga diperkirakan. Hal ini adalah tingkat analisis yang paling rinci.

b. Analisis Perencanaan : sebagaimana untuk perencanaan, tujuannya adalah untuk memperkirakan jumlah lajur yang diperlukan untuk jalan rencana, tetapi nilai volume diberikan hanya berupa perkiraan LHRT. Rincian geometri serta masukan lainnya dapat diperkirakan atau didasarkan pada nilai yang direkomenasikan.

5. Volume dan Komposisi Lalu Lintas

Berdasarkan tingkat analisisnya, ketersediaan data lalu lintas dapat di bagi menjadi dua bagian :

a. Data yang tersedia LHRT, Pemisahan arah (SP) dan komposisi lalu lintas. Volume jam perencanaan dihitung dengan Qdh = k x LHRT x SP/100. Selanjutnya untuk mengetahui jumlah tiap jenis kendaraan Qdh dikalikan dengan persentase tiap jenis kendaraan. MKJI 1997 menyarankan komposisi lalu lintas yang berbeda-beda berdasarkan ukuran kota.

b. Data yang tersedia adalah arus lalu lintas per jenis per arah. Volume jam perencanaan yang bersatuan kendaraan/jam harus dialihkan menjadi smp/jam. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Bina Marga 1997) menyarankan nilai emp berbeda –beda berdasarkan jenis kendaraan, jenis jalan dan volume jam perencanaan (kendaraan /jam). Khusus untuk dua lajur dua arah, lebar jalan lalu lintas juga mempengaruhi besarnya emp. Sebagai contoh untuk jalan empat lajur dan dua arah terbagi, nilai emp pada volume jam perencanaan 1050 kendaraan /jam untuk kendaraan berat 1,20 dan sepeda motor 0,25.

2.2.10. Pendekatan Pembebanan Wardrop Equilibrium

Pertimbangan utama pembebanan lalu lintas adalah asumsi bahwa dasar pemilihan rute adalah biaya perjalanan. Ukuran yang digunakan tergantung pada karakteristik jalan, kondisi lalu lintas dan persepsi pengendara tentang kondisi tersebut.

Dalam hal ini efek stokastik tidak diperhitungkan. Ada dua perilaku pokok yang diusulkan sebagai dasar dari kondisi equilibrium,yaitu:

1. Pengendara memilih rute secara bebas yang memenuhi kepentingan terbaiknya menurut kondisi lalu lintas yang dihasilkan dari beberapa pilihan rute lain.

2. Pengendara memilih rute yang menghasilkan arus lalu lintas yang memberikan keuntungan maksimum bagi mereka.

Pendekatan Pembebanan Wardrop Equilibrium mengacu pada prinsip Wardrop I yang menyatakan bahwa dalam kondisi macet, pengendara akan memilih suatu rute sampai tercapai kondisi yang tidak memungkinkan seorangpun dapat mengurangi biaya perjalanannya dengan menggunakan rute yang lain. Apabila semua pengendara mempunyai persepsi yang sama tentang biaya maka akan dihasilkan kondisi keseimbangan, artinya semua rute yang digunakan antar dua titik tertentu akan mencapai biaya perjalanan yang sama dan minimum, sedangkan rute yang tidak digunakan akan mencapai biaya perjalanan yang sama atau lebih mahal. Kemajuan besar dalam teknik pembebanan dengan peminimuman fungsi obyektif adalah dimungkinkannya analisa pengembangan algoritma yang sistematik untuk pemecahannya. Algoritma yang sangat umum digunakan adalah Frank Wolf (1956). Langkah-langkah dalam proses pembebanan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Memilih satu set initial biaya ruas, yang biasa digunakan adalah waktu

a = 0, kemudian set n = 0.

tempuh pada kondisi arus bebas C 0 a (0). Inisialisasi semua arus V

b. Membentuk suatu pohon biaya minimum, kemudian set n = n+1.

c. Membebankan semua matrik T dengan pembebanan All-or-Nothing untuk mendapatkan suatu set arus Fa.

d. Menghitung arus pada saat sekarang dengan persamaan:

a n - V 1 n = (1- f )V a + f F a (2.6)

e. Menghitung satu set baru biaya ruas berdasarkan besar arus n V

a . Jika arus (atau biaya ruas) tidak terlalu banyak mengalami perubahan dalam dua kali

pengulangan yang berurutan maka proses dihentikan, dan jika tidak diteruskan ke tahap (2).

Proses pembebanan pada penelitian ini menggunakan bantuan aplikasi program EMME/3 sehingga dapat menyederhanakan model.

2.2.11. Metode Steepest Descent

Metode steepest descent adalah metode iteratif dalam rangka mencari titik kritis dengan nilai awal sembarang. Metode ini merupakan salah satu metode iteratif paling tua yang mengilhami berbagai metode iteratif kontemporer seperti metode conjugate gradient (GD) dan generalized minimal residual (GMRES).

Spiess (1990) telah mengembangkan penggunaan pendekatan steepest descent dari model pendekatan gradien. Model pendekatan steepest descent ini diformulasikan sebagai pendekatan masalah optimasi. Pendekatan ini meminimalkan ukuran jarak antara yang volume diamati dengan volume yang dibebankan. Fungsi yang paling sederhana dari tipe ini adalah jumlah kuadrat dari semua pembeda yang mengarah pada minimalisasi cembung yaitu :

min Z () g = å ( v - v ˆ a ) (2.10)

tergantung atas

v = pembebanan () g (2.11)

Dimana : g : matrik asal-tujuan dalam matrik estimasi v a : volume yang diperkirakan dari link a pada semua iterasi

vˆ a : volume yang diamati dari link a A : kumpulan dari semua link pada jaringan v : kumpulan dari volume link yang dibebankan

Dengan mengasumsikan bahwa kondisi pembebanan adalah pembebanan equilibrium,

dimana sekumpulan link yang tidak mengurangi fungsi biaya S a () v a pada semua

penghubung dari jaringan a Î menentukan kecembungan suatu model. A

Untuk setiap jalur yang dihasilkan selama pembebanan equilibrium normal, additional path attribute c k dihitung dengan menggabungkan additional link Untuk setiap jalur yang dihasilkan selama pembebanan equilibrium normal, additional path attribute c k dihitung dengan menggabungkan additional link

penghubung seperti åÕ , , min, max )

c k = Ä c k Î, K i Î I (2.12)

Memeriksa path attribute c k untuk diperinci interval jalur ambang () C , C

menentukan apakah jalur tersebut termasuk dalam pembebanan bawahan ~

berikutnya dari additional demand gˆ . Dengan cara ini, himpunan jalur aktif K didefinisikan.

Hasil dari pembebanan pilihan tambahan adalah additional volume.

~ v a = åå g ˆ i d ak p k (2.13)

Dan atribut matrik tambahan, yang dapat dari salah satu berikut :

c i = å p k c k (path attributes) (2.14)

~ c i = å p k c k (active path attributes)

g ~ i = å p k g ˆ i (active addl. Demand)

t i = g ˆ i å p k c k (active path attribute weighed by addl. Demand) (2.17)

Pernyataan fitur pilihan tambahan pada EMME/3 dalam istilah matematika, terlihat jelas bahwa EMME/3 tidak hanya bisa menyelesaikan aplikasi ”biasa”, seperti analisis pemilihan jalur, pembebanan sebagian, perhitungan biaya atau jarak matriks, dapat juga digunakan untuk menyelesaikan metode gradien atau steepest descent untuk masalah penyesuaian matrik, seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Dengan menggunakan fitur makro dari EMME/3 yang menyediakan ruang berbeda dari EMME/3 untuk dikombinasikan menjadi prosedur yang majemuk, Dengan menggunakan fitur makro dari EMME/3 yang menyediakan ruang berbeda dari EMME/3 untuk dikombinasikan menjadi prosedur yang majemuk,

2.2.12. Konsep Pemodelan

Menurut Tamin (2000), model adalah alat bantu atau media yang dapat digunakan untuk mencerminkan dan menyederhanakan suatu realita (dunia sebenarnya) secara terukur, beberapa diantaranya adalah:

1. Model fisik (contoh: miniatur bangunan sipil atau maket).

2. Model dalam bentuk peta dan diagram (contoh: peta topografi, peta jaringan jalan).

3. Model statistik atau matematika (fungsi dan persamaan) yang menerangkan

secara terukur beberapa aspek fisik, sosial ekonomi dan model trasportasi. Dalam perencanaan dan pemodelan transportasi, beberapa model utama yang sering digunakan adalah model grafis dan matematis. Model grafis sangat diperlukan untuk menggambarkan terjadinya pergerakan (arah dan besarnya) yang beroperasi secara spasial (ruang). Sedangkan model matematis menggunakan persamaan atau fungsi matematika sebagai usaha untuk mencerminkan realita.

2.2.13. Model Sistem Kegiatan dan Jaringan

Model dapat digunakan untuk mencerminkan hubungan antara sistem tataguna lahan (kegiatan) dengan sistem prasarana transportasi (jaringan) dengan menggunakan beberapa fungsi matematis. Peubah utama yang digunakan dalam fungsi matematis adlah sistem tata guna lahan, sistem prasarana transportasi dan arus lalu lintas.

Wilson (1974) menyusun beberapa pertanyaan yang wajib dijawab oleh para perencana transportasi sebelum merancang model matematis.

1. Apa tujuan akhir yang ingin dicapai sehingga model tersebut perlu dirancang?

2. Peubah apa saja yang terpengaruh yang harus dipertimbangkan?

3. Peubah apa saja yang bisa diatur oleh para perencana transportasi?

4. Teori apa saja yang dapat diterapkan dalam merancang pemodelan tersebut?

5. Sejauh manakah tingkat pengelompokan model tersebut?

6. Bagaimana peran waktu dalam model tersebut

7. Teknik apa saja yang bisa dipakai?

8. Apa saja data yang tersedia?

9. Bagaiman cara model tersebut dikalibrasi?

Salah satu unsur dalam pendekatan secara sistem menurut Tamin (2000) adalah meramalkan apa yang akan terjadi pada arus lalu lintas jika kota tersebut terus berkembang tanpa perubahan pada sistem prasarana transportasinya. Hal ini dikenal sebagai sstem do-nothing. Selain itu terdapat sistem do-something, yaitu melakukan beberapa perubahan pada sistem jaringan transportasi. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan hasil do-nothing. Cara yang sering digunakan dalam merancang model transportasi adalah:

a. Model dikalibrasi dengan menggunakan data sekarang (tahun dasar) untuk mendapatkan parameter (koefisien) yang cocok untuk daerah tempat penelitian.

b. Meramalkan tataguna lahan pada tahun rencana dengan anggapan do-nothing untuk melihat permasalahan yang akan timbul jika tidak dilakukan perubahan pada sistem jaringan transportasi. Dengan demikian dapat ditentukan beberapa konsep perencanaan transportasi yamg dibutuhkan.

c. Ulang tahap (b) dengan anggapan do-something.

d. Hasil beberapa perencanaan transportasi tersebut dapat dibandingkan dengan sistem do-nothing sehingga dapat ditentukan perencanaan terbaik

2.2.14. Model Bangkitan dan Tarikan Pergerakan

Tamin (2000) menerangkan bahwa tahapan bangkitan pergerakan bertujuan mendapatkan model hubungan yang mengaitkan parameter tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang dibangkitkan oleh setiap zona asal (Oi) dan jumlah yang tertarik ke setiap zona tujuan (Dd) yang ada di dalam daerah kajian. Tahapan ini juga meramalkan besarnya tingkat bangkitan pergerakan dengan mempelajari Tamin (2000) menerangkan bahwa tahapan bangkitan pergerakan bertujuan mendapatkan model hubungan yang mengaitkan parameter tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang dibangkitkan oleh setiap zona asal (Oi) dan jumlah yang tertarik ke setiap zona tujuan (Dd) yang ada di dalam daerah kajian. Tahapan ini juga meramalkan besarnya tingkat bangkitan pergerakan dengan mempelajari

Tahapan ini biasanya menggunakan data berbasis zona untuk memodelkan besarnya pergerakan yang terjadi (baik bangkitan maupun tarikan), misalnya tata guna lahan, pemilikan kendaraan, populasi, jumlah pekarja, kepadatan penduduk, pendapatan, dan juga moda transportasi yang digunakan.

1. Analisis Regresi Analisis regrasi linear adalah metode statistic yang dapat digunakan untuk mempelajari hubungan antarsifat permasalahan yang sedang diselidiki. Model ini dapat memodelkan hubungan antara dua peubah atau lebih. Pada model analisis regresi terdapat peubah terikat (y) yang mempunyai hubung fungsional dengan satu atau lebih peubah bebas (xi),Bentuk persamaan regresi yang dikembangkan sebagai model transportasi dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu:

a. Persamaan regresi peubah tunggal 

(2.21) b. Persamaan regresi berganda 

(linear-eksponensial)

(2.22) Keterangan: Y

= peubah tidak bebas (bangkitan atau tarikan) . , . , . = peubah bebas (karakteristik tata guna lahan)

, 藨 , 藨 , 藨 = konstanta dan koefisien regresi

2. Model regresi berbasis zona Pada kasus model regrasi berbasis zona, menurut Tamin (2000), dilakukan usaha untuk mendapatkan hubungan linear antara jumlah pergerakan yang dibangkitkan atau tertarik oleh zona dan ciri sosio-ekonomi rata-rata dari rumah tangga pada setiap zona. Sangat mngkin ditemukan bahwa untuk beberapa zona tertentu tidak terdapat data atau informasi mengenai satu atau beberapa peubah tertentu. Zona seperti ini disebut zona kosong yang harus dikeluarkan dari analisis. 3. Uji ketepatan model secara statistik

a. Uji korelasi Uji statistik ini harus dilakukan untuk memenuhi persyaratan model matematis dimana sesama peubah bebas tidak boleh saling berkorelasi, sedangkan peubah tidak bebas dan peubah bebas harus ada korelasi yang kuat (baik positif maupun negatif).

1) Korelasi positif terjadi jika peubah pada salah satu variabel diikuti oleh variabel lainnya secara beraturan dengan arah yang sama. 2) Korelasi negatif terjadi jika perubah pada salah satu variabel lainnya secara beraturan dengan arah yang berlawanan. 3) Korelasi nol terjadi jika perubahan pada salah satu variabel akan diikuti perubahan pada variabel lainnya tetapi dengan acak atau tidak beraturan. Nilai yang digunakan untuk mengukur kuatnya korelasi antara dua variabel disebut koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi (r) dapat dinyatakan dengan rumus:

Dimana : 휈Ƽ = koefisien korelasi antara x dan y n

= banyaknya data x

= variabel bebas y

= variabel terikat

Korelasi dinyatakan dalam bilangan antara -1 sampai dengan +1. Apabila koefisien korelasi semakin mendekati nilai -1 atau +1 maka semakin kuatlah hubungan antara dua variabel tersebut, sebaliknya apabila koefisien korelasi semakin mendekati nilai 0 maka semakin lemahlah hubungan antara kedua variabel yang diselidiki. Tanda (+) dan (-) pada koefisien korelasi menunjukan arah hubungan antara kedua variabel apakah merupakan koefisien korelasi positif atau negatif. Djarwanto (1999) mengutip dari Young (1982) menyatakan bahwa koefisien korelasi antara 0,7-1,0 menunjukan tingkat hubungan yang tinggi, antar 0,4-0,7 menunjukan tingkat korelasi sedang, koefisien antara 0,2-0,4 menunjukan korelasi rendah dan apabila kurang dari 0,2 dapat diabaikan.

b. Koefisien Determinasi Ukuran kecocokan model yang didapat dengan data hasil observasi adalah

koefisien determinasi. Koefisien determinasi (R 2 ) merupakan nilai yang dipergunakan untuk mengukur besarnya prosentase sumbangan semua

variabel bebas terhadap nilai variabel tak bebas. Besarnya koefisien determinasi adalah antara 0 sampai dengan 1. Apabila R 2 yang diperoleh

semakin mendekati 0 maka semakin kecil pengaruh semua variabel bebas terhadap nilai variabel tak bebas. Sebaliknya apabila R 2 yang diperoleh cukup

besar (mendekati 1) maka variabel bebas yang dipilih telah dapat menjelaskan variabel tak bebas, Koefisien determinasi dihiung dengan rumus:

åå æ- ç Y Y ÷

R = = 2 (2.24) JKT

2 JKR

æ- ç Y i åå ö Y ÷

åå æ- ç Y Y ÷

æ- ç Y i åå ö Y ÷

Dimana: R 2 = koefisien determinasi

JKT = jumlah kuadrat total

JKR = jumlah kuadrat regrasi JKS = jumlah kuadrat sisa

Y = nilai y hasil pemodelan Y i = nilai y data

Y = rata-rata y data

2.2.15. Konsep Model Gravity sebagai Model Sebaran Pergerakan

Model Gravity menggunakan konsep gravity yang berasumsi bahwa ciri bangkitan dan tarikan pergerakan berkaitan dengan beberapa parameter zona asal, misalnya populasi dan nilai sel MAT yang berkaitan dengan aksesibilitas (kemudahan) sebagai fungsi jarak, waktu, atau biaya. Model gravity untuk keperluan transportasi menyatakan bahwa pergerakan antara zona asal i dan zona tujuan d berbanding lurus dengan Oi dan Dd dan berbanding terbalik kuadratis terhadap jarak antara kedua zona tersebut. Dalam bentuk matematis model gravity dapat dinyatakan sebagai:

= O i . D d . f ( C id ) (2.26)

id

Persamaan (2.26) dapat digunakan dengan batasan sebagai berikut:

å T id = Oi dan å T id = D d (2.27)

Sehingga pengembangan persamaan (2.26) dengan menggunakan batasan persamaan (2.27) adalah sebagai berikut:

= O i . D d . A i . B d f ( C id ) (2.28)

id

= O i . D d . A i . B d exp ( - b . C id ) (2.29)

id

Dimana:

T id = jumlah pergerakan dari zona asal i ke zona tujuan d

A i , B d = faktor penyeimbang untuk setiap zona asal i dan tujuan d O i = total pergerakan dari zona asal i

D d = total pergerakan ke zona tujuan d

f ( Cid ) = fungsi umum biaya perjalanan

Persamaan (2.28) dipenuhi jika digunakan konstanta A i dan B d (disebut sebagai konstanta penyeimbang) yang terkait dengan setiap zona bangkitan dan tarikan.

B d D d f id )

å ( A i O i f id )

Untuk mendapatkan kedua nilai tersebut perlu dilakukan proses iterasi sampai masing-masing nilai A i dan B d menghasilkan nilai tertentu (konvergen).

Pada penelitian ini digunakan model gravity dengan dua batasan. Model ini mensyaratkan bangkitan dan tarikan pergerakan harus selalu sama dengan yang dihasilkan oleh tahap bangkitan pergerakan. Syarat batas model gravity jenis ini:

å untuk semua d (

untuk semua i; B d =

B d D d f id )

å ( A i O i f id )

2.2.16. Kinerja Jalan

Menurut Yahya Robby Gunawan (2007), kinerja jalan merupakan kinerja suatu sistem ruas jalan dalam melayani pergerakan. Tingkat kinerja jalan dilihat dari fungsi dan hirarki jalan, serta tingkat pelayanan (LOS=Level Of Service). Pergerakan volume lalu lintas yang cukup tinggi bisa mengakibatkan terjadinya antrian dan tundaan serta adanya hambatan samping seperti parkir tepi jalan, pedagang kaki lima, pejalan kaki, kendaraan berhenti, yang bisa mempengaruhi Menurut Yahya Robby Gunawan (2007), kinerja jalan merupakan kinerja suatu sistem ruas jalan dalam melayani pergerakan. Tingkat kinerja jalan dilihat dari fungsi dan hirarki jalan, serta tingkat pelayanan (LOS=Level Of Service). Pergerakan volume lalu lintas yang cukup tinggi bisa mengakibatkan terjadinya antrian dan tundaan serta adanya hambatan samping seperti parkir tepi jalan, pedagang kaki lima, pejalan kaki, kendaraan berhenti, yang bisa mempengaruhi

Evaluasi kinerja lalu lintas ditinjau dari klasifikasi fungsional dan sistem jaringan dari ruas-ruas yang ada di Kota Surakarta. Penelitian dilakukan pada jalan arteri dan kolektor karena volume pada jalan ini umumnya besar. Untuk jalan local, volume lalu lintas rendah dan akses terhadap lahan disekitarnya tinggi sehingga permasalahan hanya bersifat lokal.

Tingkat kinerja jaringan jalan dapat dinilai menggunakan parameter lalu lintas berupa kecepatan, kepadatan lalulintas dan Nisbah Volume dan Kapasitas (NVK) yang didapatkan dari perbandingan volume lalulintas dan kapasitas jalan.

Nisbah Volume dan Kapasitas (NVK) didefinisikan sebagai rasio volume terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan ruas jalan (MKJI 1997). Nilai NVK menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Rumus umum NVK adalah :

NVK = V/C (2.31)

Dimana: NVK

: Nisbah Volume dan Kapasitas

V : Volume lalu lintas

C : Kapasitas (smp/jam)

Nilai NVK menunjukan kondisi ruas jalan dalam melayani volume lalu lintas yang ada. Besar volume lalu lintas pada masa yang akan datang dihitung berdasarkan analisa peramalan lalu lintas. Berdasarkan hasil peramalan tersebut akan didapatkan nilai NVK pada masa mendatang yang selanjutnya dapat menunjukkan rekomendasi jenis penanganan bagi ruas jlan. Tamin (2000) mengutip dari Tamin dan Nahdalina (1998), berdasarkan empiris dan beberapa Nilai NVK menunjukan kondisi ruas jalan dalam melayani volume lalu lintas yang ada. Besar volume lalu lintas pada masa yang akan datang dihitung berdasarkan analisa peramalan lalu lintas. Berdasarkan hasil peramalan tersebut akan didapatkan nilai NVK pada masa mendatang yang selanjutnya dapat menunjukkan rekomendasi jenis penanganan bagi ruas jlan. Tamin (2000) mengutip dari Tamin dan Nahdalina (1998), berdasarkan empiris dan beberapa

Tabel 2.15. Tabel nilai NVK pada beberapa kondisi di Jakarta (Indonesia)

NVK Keterangan < 0,8 Kondisi stabil 0,8-1,0 Kondisi tidak stabil >1,0 Kondisi kritis

Sumber: Tamin dan Nahdalina (1997)

2.2.17. Jenis Penanganan Ruas Jalan

Jenis penanganan di ruas jalan menurut Tamin (2000) dapat dikelompokkan menjadi:

1. Manajemen lalu lintas (R1) Pada prinsipnya penanganan ini ditekankan pada pemanfaatan fasilitas ruas jalan yang ada seperti:

a. Pemanfaatan lebar jalan secara efektif b. Kelengkapan marka dan rambu lalu lintas yang memadai serta seragam, sehingga ruas jalan dapat dimanfaatkan secara optimal baik dari segi kapasitas maupun keamanan lalu lintas yang meliputi sistem satu arah, pengendalian parkir, pengaturan lokasi rambu berbalik arah, pengendalian kaki lima, pengaturan belok serta kelengkapan marka dan rambu jalan. Jenis penanganan ini dilakukan bila NVK berada antara 0,6 sampai 0,8.

2. Peningkatan ruas jalan (R2) Penanganan ini meliputi perubahan fisik ruas jalan yang berupa pelebaran atau penambahan lajur sehingga kapasitas ruas jalan dapat ditingkatkan secara berarti. Besarnya pelebaran atau penambahan lajur ditentukan terutama oleh nilai NVK yang terjadi atau hasil peramalan lalu lintas, sehingga besarnya NVK yang diharapkan (< 0,8) dapat dicapai. Jenis penanganan ini dilakukan apabila nilai NVK sudah lebih besar 0,8. 3. Pembangunan jalan baru (R3) Penanganan ini merupakan alternatif terakhir dari pilihan R1 dan R2. Jenis penanganan ini dilakukan bila pelebaran jalan atau penambahan lajur sudah tidak 2. Peningkatan ruas jalan (R2) Penanganan ini meliputi perubahan fisik ruas jalan yang berupa pelebaran atau penambahan lajur sehingga kapasitas ruas jalan dapat ditingkatkan secara berarti. Besarnya pelebaran atau penambahan lajur ditentukan terutama oleh nilai NVK yang terjadi atau hasil peramalan lalu lintas, sehingga besarnya NVK yang diharapkan (< 0,8) dapat dicapai. Jenis penanganan ini dilakukan apabila nilai NVK sudah lebih besar 0,8. 3. Pembangunan jalan baru (R3) Penanganan ini merupakan alternatif terakhir dari pilihan R1 dan R2. Jenis penanganan ini dilakukan bila pelebaran jalan atau penambahan lajur sudah tidak

2.2.18. EMME/3 (Equilibre Multimodal, Multimodal Equilibrium)

Emme merupakan software yang professional dalam meramalkan sebuah perjalanan. Emme menawarkan perangkat alat perencanaan yang kumplit dan komprehensive untuk kebutuhan suatu pemodelan. Selain itu Emme khususnya disini EMME/3 merupakan pengembangan dari program sebelumnya yaitu EMME-2 yang dibuat dan dikembangkan di INRO Consultant University de Montreal , Kanada, dengan kemampuan yang sudah sangat tinggi, dengan jumlah node dan link yang dapat dikatakan tidak terbatas (mampu mencapai hampir 1 juta node ). Adapun keunggulan lainnya adalah formula yang dapat dibuat sendiri sesuai keadaan dan kebutuhan (INRO Consultants Inc., 1998). Misalnya hitungan kapasitas dan waktu tempuh yang disesuaikan dengan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 (Munawar, 2005). Keluaran dari piranti lunak ini dapat berupa grafis, numerik dan SIG (Ofyar, 2008).

Para perencana transportasi menggunakan EMME untuk memodelkan system transportasi perkotaan, metropolitan dan regional. Selain itu EMME juga digunakan untuk mengevaluasi kebijakan transportasi yang mempunyai efek kesemua system transportasi yang ada.

EMME berbeda dengan program lainnya karena EMME memberikan kemudahan dan kebebasan secara khusus bagi pengguna dalam melakukan pendekatan model untuk menggunakan metode yang telah ditetapkan atau membuat metode baru untuk memanggil kebutuhan setempat. EMME sendiri dikembangkan untuk mengemudikan sistem transportasi yang komplek, dan melaporkan kepada para perencana berbagai macam tantangan yang harus dihadapi terkait teknologi, sosial dan ekonomi.

Pada manual EMME help dijelaskan bahwa EMME/3 mempunyai beberapa komponen utama yaitu EMME GUI yang baru, the network editor, the network Pada manual EMME help dijelaskan bahwa EMME/3 mempunyai beberapa komponen utama yaitu EMME GUI yang baru, the network editor, the network

Gambar 2.9. Help Menu

EMME user’s Guide menyediakan struktur teks dasar. The EMME reference manual menyediakan dokumen secara detail untuk kemampuan pemetaan EMME dan GUI-tools untuk merinci visualisasi dan analisisnya. The EMME prompt (Prompt Console) menyediakan gambaran ringkasan secara luas dari operasi garis perintah, termasuk merinci model kebutuhan, pembebanan, jaringan, dan kalkulator matriks (Gambar 2.10). Sedangkan alat pemodelan transportasi yang lain mencakup the EMME macro language untuk melakukan otomatisasi.

Gambar 2.10. The EMME Prompt (Prompt Console)

Prosedur perhitungan program EMME/3 dalam membuat matriks baru dari estimasi matriks (maximum entropy) dan arus lalu lintas hasil proses pembebanan ke jaringan jalan, secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Data MAT awal

/prior matrix

Penyusunan MAT

(Prompt console)

Basis data jaringan jalan

Estimasi Matriks

(Prompt console)

Penyusunan Jaringan

Data arus lalu lintas

(Network Editor)

/traffic count

MAT baru

ME2

Assignment (Prompt console) User Equilibrium

Gambar 2.11. Prosedur Perhitungan Program EMME/3

Emme menyediakan suatu pendekatan fleksibel, terbuka ke modeling, yang memberikan para pemakai kebebasan ke untuk menetapkan teknik atau menciptakan metode baru sesuai kebutuhan lokal.

Kerangka inti modeling EMME/3, yaitu:

a. Private Transport , termasuk didalamnya Traffic Assignment dan Path Analysis.

b. Public Transport , termasuk didalamnya Transit Assignment dan Strategy Analysis.

c. Demand Modelling , termasuk didalamnya Matrix Calculators dan Matrix Balancing Procedures.

d. Analysis and Automation , termasuk didalamnya Network Calculators dan Automation Framework.

Berikut Gambar 2.12 kerangka inti untuk modeling dalam EMME/3.

Gambar 2.12. Kerangka Inti Modelling EMME/3

(INRO-EMME Transport Modelling Technology)

Emme menawarkan satuan alat yang menyeluruh dan lengkap untuk demand modelling , multimodal network modelling and analysis, dan untuk implementasi prosed prosedur evaluasi.

Berbagai fasilitas EMME/3 untuk analisis, antara lain:

b. Traffic Assignment

Dasar dari traffic assignment adalah kondisi seimbang pembebanan lalu lintas diterapkan untuk menghasilkan kemungkinan perubahan keadaan lalu lintas yang paling baik. Pada bagian ini, pengguna EMME diberikan kebebasan untuk menerapkan variasi dari perhitungan all-or-nothing dan incremental assignments menjadi lebih kompleks seperti system-optimal assignments, stochastic user- equilibrium assignments , atau pembebanan multiclass dimana tiap biaya perjalanan pada ruas tergantung pada rata-rata kecepatan atau campuran kelas kendaraan (misal: mobil dan truk). Berikut contoh hasil dari traffic assignment pada program EMME/3 (Gambar 2.13).

Gambar 2.13. Hasil Traffic Assignment (INRO-EMME Transport Modelling Technology)

c. Transit Assignments

Transit qssignment menyediakan penyetaraan konsep di suatu rute. EMME memperbolehkan pengguna untuk memilih rute yang lebih kompleks menuju ke Transit qssignment menyediakan penyetaraan konsep di suatu rute. EMME memperbolehkan pengguna untuk memilih rute yang lebih kompleks menuju ke

Gambar 2.14. Hasil Transit Assignment (INRO-EMME Transport Modelling Technology)

d. Matrix Calculators

Matrix Calculators menyediakan cara yang mudah untuk bekerja dengan data model permintaan, seperti data sosio ekonomi, demografi dan data tiap zona. Di pihak lain, input, output atau data matrik acuan digunakan dalam transport modeling. Matriks calculator juga menyediakan satua peralatan untuk manipulasi matriks sebagai ganti prosedur demand modeling. Matrix Calculators juga dengan mudah digunakan untuk menerapkan metode evaluasi berdasarkan atas permintaan. Berikut contoh hasil dari matrix calculator pada program EMME/3(Gambar

Gambar 2.15. Hasil Matrix Calculator (INRO-EMME Transport Modelling Technology)

b. Network Calculators

Network Calculators menyediakan suatu alat untuk menyelesaikan analisis khusus tanpa membutuhkan skrip aturan atau eksternal programming termasuk basic data statistik hasil dari data network, analisis kinerja dan evaluasi. Berikut contoh hasil dari network calculators pada program EMME/3 (Gambar 2.16).

Gambar 2.16. Hasil Network Calculator (INRO-EMME Transport Modelling Technology)

2.2.19. Kelebihan EMME/3 dengan program lain (SATURN)

Pada pembahasan ini program yang ingin dibandingkan dengan EMME/3 adalah program SATURN. Dengan alasan penelitian-penelitian yang sebelumnya dalam mengestimasi matriks dilakukan dengan program SATURN. Untuk dapat melihat keunggulan beberapa program yang sudah tersedia di pasaran dapat dilihat pada Tabel

2.16. Dari tabel tersebut akan diketahui bahwa EMME-2 memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan dengan SATURN. Sedangkan EMME/3 merupakan pengembangan dari program sebelumnya yaitu EMME-2 yang dibuat dan dikembangkan di INRO Consultant University de Montreal, Kanada, dengan kemampuan yang sudah sangat tinggi, dengan jumlah node dan link yang dapat dikatakan tidak terbatas (mampu mencapai hampir 1 2.16. Dari tabel tersebut akan diketahui bahwa EMME-2 memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan dengan SATURN. Sedangkan EMME/3 merupakan pengembangan dari program sebelumnya yaitu EMME-2 yang dibuat dan dikembangkan di INRO Consultant University de Montreal, Kanada, dengan kemampuan yang sudah sangat tinggi, dengan jumlah node dan link yang dapat dikatakan tidak terbatas (mampu mencapai hampir 1

Paket Program Pemasok

Kapasitas

Sistem operasi Keluaran

Numerik Systematica

Steer, Davies,

400 Zona

MOTORS