TINJAUAN PUSTAKA
3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Kekuasaan Kehakiman memiliki arti kekuasaan dalam menjalankan fungsi-fungsi terkait kewenangan yudisial. Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah kekuasaan yudikatif. Bahasa Belanda menyebutnya sebagai judicatief. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal istilah judicial, judiciary, atau judicature.
Menurut Bagir Manan kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demokratis adalah:
a. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan demokrasi dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia.
b. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi.
c. Kekuasaan kehakiman yang mandiri diperlukan untuk menjamin netralitas terutama apabila sengketa terjadi antara warga negara dengan negara atau pemerintah.
d. Penyelesaian sengketa hukum oleh keuasaan kehakiman yang mandiri merupakan dasar bagi berfungsi sistem hukum dengan baik. (Sirajuddin, 2006: 30)
Sudikno Metrokusumo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan peradilan sebagai realisasi dari kekuasaan kehakiman mengandung arti menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Atau dengan kata lain, “peradilan adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah eigenrichting”. (Djatmiko Anom Husodo, 2007: 5).
Hakim sebagai komponen terpenting dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman memiliki beberapa prinsip dasar yang sangat penting. Prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan bagi hakim agar mampu menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya seperti memeriksa perkara, memutus perkara, dan tugas- tugas lain dengan baik. Tanpa adanya prinsip tersebut kedudukan hakim dalam menjalankan tugasnya menjadi tidak berarti. Lars P. Feld mengemukakan mengenai pentingnya fungsi dari sebuah peradilan yaitu:
“If contracting parties voluntarily entered into a contract and one of the parties believes that the other side hasn’t lived up to the contract, impartial dispute resolution is important” Apabila salah satu pihak mentaati kontrak sedangkan pihak yang lain
menolak untuk mentaati sebuah kontrak yang dibuat. Maka sebuah penyelesaian melalui pengadilan yang bersifat tidak memihak menjadi sangat penting.
“The citizens are in need of an organization that can adjudicate who is right, i.e. who has acted according to the law. If the judiciary is not independent from executive and legislature, citizens will not trust in the relevance of the rule of law,” Masyarakat membutuhkan sebuah lembaga yang mampu memutuskan
mana yang benar dan mana yang salah. Apabila kekuasaan kehakiman tidak mana yang benar dan mana yang salah. Apabila kekuasaan kehakiman tidak
“In the absence of an impartial arbiter, conflicts between government branches are most likely to develop into power games. An independent judiciary can keep them within the rules laid out in the constitution”. (Lars P. Feld, 2003: 2) Kekosongan dari penyelesaian sengeketa yang tidak berpihak antara
cabang kekuasaan akan menyebabkan permainan kekuasaan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka akhirnya menjadi solusi untuk membatasi hal tersebut dengan berpatokan dari konstitusi. Konsepsi diatas menekankan begitu pentingnya prinsip independensi kehakiman yang merdeka yang ditopang dengan asas independensi. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak adalah sesuatu yang mutlak yang harus ada karena merupakan prasyarat bagi terciptanya cita negara hukum dan jaminan terwujudnya hukum dan keadilan. (Ahsin Thohari, 2007: 69)
Menurut Christopher M. Larkins secara konseptual independensi atau kebebasan hakim memiliki arti:
a. The independence of the individual judges ;
1) Substantive Independence, yaitu dalam membuat keputusan dan menjalankan tugasnya, hakim hanya tunduk pada hukum. Hakim harus bebeas dari encroachment (gangguan) dari lembaga eksekutif dan legislatif.
2) Personal independence, yaitu bahwa undang-undang, tradisi-tradisi peradilan serta kebiasaan-kebiasaan untuk meningkatkan independensi hakim dalam masa jabatan dan kedudukanya yang bersifat tetap.
b. The collective independence of the judiciary as a body, Independensi Badan Judisial, yaitu sejauh mana pengadilan secara keseluruhan ditopang dengan administrasi pengadilan yang mampu menegakkan independensinya. (Djatmiko Anom Husodo, 2007: 6)
Lebih jauh dan mendalam Chirstoper M. Larkins menyatakan bahwa independensi kehakiman sebagai suatu ajudication oleh neutral third mempunyai dua arti penting, Pertama yaitu penerapan prinsip keadilan, tanpa memandang status para pihak yang berperkara. Kedua, prinsip independensi ini menjadi sangat Lebih jauh dan mendalam Chirstoper M. Larkins menyatakan bahwa independensi kehakiman sebagai suatu ajudication oleh neutral third mempunyai dua arti penting, Pertama yaitu penerapan prinsip keadilan, tanpa memandang status para pihak yang berperkara. Kedua, prinsip independensi ini menjadi sangat
Alexies de Tocqueville menyatakan ada tiga ciri bagi independensi kehakiman. Pertama, kekuasaan kehakiman disemua negara merupakan pelaksana fungsi peradilan dimana pengadilan hanya bekerja kalau ada pelanggaran hukum tanpa ada satu kekuasaan lainya yang dapat melakukan intervensi. Kedua, fungsi peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran hukum yang khusus. Hakim dikatakan masih dalam koridor tugasnya jika dalam memutuskan perkara ia menolak menerapkan prinsip yang berlaku umum. Namun jika ia menolak pada saat tidak dalam memeriksa suatu perkara, ia dapat dihukum atas dasar pelanggaran tersebut. Ketiga, kekuasaan kehakiman hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sengketa yang diatur dalam hukum. (Andi M. Asrun, 2004: 52)
Independensi menurut Joel G. Verner dinyatakan the ability to decide cases on the basis of estabilished law and the merits of the case, without substansial interference from other political or govermental agent. Intervensi
substansial tersebut dapat dilihat dari tekanan kepada hakim mulai dari proses persidangan kasus. Bentuk tekanan tersebut bermacam-macam. Tekanan dapat berupa intimidasi atau ancaman fisik kepada hakim. Tekanan dapat datang dari kelompok politik atau pihak-pihak yang diperiksa di pengadilan, dan bahkan melalui media massa. Tekanan kepada hakim tersebut membuka peluang bagi ketidaknetralan hakim dalam memeriksa suatu perkara. Hakim pada akhirnya menjatuhkan putusan bukan didasarkan kepada fakta-fakta dalam persidangan, tetapi lebih pada keberpihakan pada salah satu pihak sebagai upaya menyelamatkan diri. (Andi M. Asrun, 2004: 55)
Dalam perspektif sistem peradilan Islam dikenal beberapa prinsip-prinsip yang dipegang oleh hakim. Seperti yang dikemukakan oleh Abdul Manan ada tiga kondisi apa yang seharusnya hakim lakukan pada saat memeriksa perkara yaitu: Dalam perspektif sistem peradilan Islam dikenal beberapa prinsip-prinsip yang dipegang oleh hakim. Seperti yang dikemukakan oleh Abdul Manan ada tiga kondisi apa yang seharusnya hakim lakukan pada saat memeriksa perkara yaitu:
b. Seorang hakim tidak boleh memeriksa kasus yang mana salah satu pihak yang terkait adalah musuhnya.
c. Seorang hakim dituntut untuk tidak melakukan hubungan di luar urusan perkerjaan dengan pihak yang berperkara, diluar pengadilan. (Abdul Manan, 2007: 144)
Adanya potensi gangguan terhadap pelaksanaan peradilan, independensi peradilan dapat dirumuskan sebagia berikut Judicial independence refers to the exisctence of judges who are not manipulated for political gain, who are impartial toward the parties of a disputes, and who form a judicial branch which has the power as an institution to regulate the legality of goverment behaviour, enact “neutral” justice, and determine significant constitutional and legal values . (Andi M. Asrun, 2004: 55)
Jadi secara konseptual independensi dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Apa yang disampaikan Muhammad Asrun bahwa imparsialitas proses peradilan setidaknya mencakup beberapa hal penting. Pertama , imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusanya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterikatan dengan salah satu pihak yang berperkara. Kedua, Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi dimana hal itu hanya dapat dilacak dari prilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis kerterkaitanya dengan pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial ataupun hubungan politik. Ketiga, imparsialitas proses peradilan hanya dapat dicapai jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial ) dengan pihak yang berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan Jadi secara konseptual independensi dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Apa yang disampaikan Muhammad Asrun bahwa imparsialitas proses peradilan setidaknya mencakup beberapa hal penting. Pertama , imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusanya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterikatan dengan salah satu pihak yang berperkara. Kedua, Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi dimana hal itu hanya dapat dilacak dari prilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis kerterkaitanya dengan pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial ataupun hubungan politik. Ketiga, imparsialitas proses peradilan hanya dapat dicapai jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial ) dengan pihak yang berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan
Ketidakberpihakan (impartiality) kekuasaan kehakiman tidak hanya ketiadaan bias atau kecurigaan tertentu terhadap hakim saja, melainkan juga berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain seperti pandangan politik dan agama yang ianut oleh hakim. J.A.G. Griffith mengatakan:
Impartiality means not merely absence of personal bias or prejudice in the judge, but also the exclusion of relevant considerations, such as his political or religious views. Individual litigants expect to be heard fairly and fully and to receive justice. Essentially, this view rests on an assumption of judicial neutrality. Kekuasaan kehakiman memang bukan merupakan entitas yang hampa
dari kepentingan-kepentingan politik, karena politik memiliki potensi dan kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Politik mempunyai derajat determinasi yang tinggi terhadap independensi kekuasaan kehakiman. (Ahsin Thohari, 2004: 10)
Dalam hal political insularity, Keterputusan relasi dengan dunia politik bagi hakim akan sangat mendukung imparsialitas proses peradilan. karena hal ini merupakan sesuatu yang masuk akal bahwa hakim diasumsikan menjadi bagian dari partai politik tertentu dalam pemilihan umum. Karena itu keterikatan seorang calon hakim dengan partai politiknya harus dilepaskan ketika dia diangkat menjadi hakim. (Andi M. Asrun, 2004: 54)
Paulus E. Lotulung, menyatakan bahwa batasan atau rambu-rambu yang harus dilihat dalam implementasi kebebasan adalah aturan-aturan hukum baik yang sifatnya prosedural maupun substansial materiil yang merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah bertindak Paulus E. Lotulung, menyatakan bahwa batasan atau rambu-rambu yang harus dilihat dalam implementasi kebebasan adalah aturan-aturan hukum baik yang sifatnya prosedural maupun substansial materiil yang merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah bertindak
Basic Principles on the Independence of the Judiciary dirumuskan untuk membantu negara-negara di dunia mengaplikasikan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak. Khusus mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman ada sembilan pasal yang mengatur tentang hal tersebut yaitu Pasal 1 menyatakan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus dijamin oleh negara yang ditetapkan di dalam konstitusi atau undang-undang negara. Tugas penghormatan dan pengamatan terhadap kemerdekaan kehakiman merupakan tugas pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. Pasal 2 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus memutuskan suatu perkara dengan tanpa sikap memihak, berdasarkan fakta-fakta sesuai dengan peraturan perundang. undangan, tanpa pembatasan apa pun juga, tanpa pengaruh-pengaruh yang tidak benar, tanpa bujukan, tanpa tekanan, tanpa ancaman atau campur tangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari bagian apa pun atau untuk alasan apa pun. Pasal 3 meyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus mempunyai yurisdiksi dan harus kewenangan untuk memutuskan apakah perkara-perkara yang diajukan untuk diputuskan tersebut berada dalam kompetensinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 menyatakan tidak boleh ada campur tangan terhadap proses peradilan dalam bentuk apa pun, juga putusan-putusan pengadilan tidak boleh direvisi. Pasal 5 menyatakan setiap orang mempunyai hak untuk diselidiki dan diputus oleh pengadilan biasa atau pengadilan yang menggunakan prosedur- prosedur hukum yang telah ditetapkan. Pasal 6 menyatakan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman membutuhkan pengadilan yang dapat menjamin bahwa proses peradilan dilaksanakan secara jujur dan hak-hak dari para pihak dihormati. Pasal 7 menyatakan negara anggota mempunyai tugas untuk menyediakan sumber daya-sumber daya yang memadai untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman Basic Principles on the Independence of the Judiciary dirumuskan untuk membantu negara-negara di dunia mengaplikasikan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak. Khusus mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman ada sembilan pasal yang mengatur tentang hal tersebut yaitu Pasal 1 menyatakan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus dijamin oleh negara yang ditetapkan di dalam konstitusi atau undang-undang negara. Tugas penghormatan dan pengamatan terhadap kemerdekaan kehakiman merupakan tugas pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. Pasal 2 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus memutuskan suatu perkara dengan tanpa sikap memihak, berdasarkan fakta-fakta sesuai dengan peraturan perundang. undangan, tanpa pembatasan apa pun juga, tanpa pengaruh-pengaruh yang tidak benar, tanpa bujukan, tanpa tekanan, tanpa ancaman atau campur tangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari bagian apa pun atau untuk alasan apa pun. Pasal 3 meyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus mempunyai yurisdiksi dan harus kewenangan untuk memutuskan apakah perkara-perkara yang diajukan untuk diputuskan tersebut berada dalam kompetensinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 menyatakan tidak boleh ada campur tangan terhadap proses peradilan dalam bentuk apa pun, juga putusan-putusan pengadilan tidak boleh direvisi. Pasal 5 menyatakan setiap orang mempunyai hak untuk diselidiki dan diputus oleh pengadilan biasa atau pengadilan yang menggunakan prosedur- prosedur hukum yang telah ditetapkan. Pasal 6 menyatakan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman membutuhkan pengadilan yang dapat menjamin bahwa proses peradilan dilaksanakan secara jujur dan hak-hak dari para pihak dihormati. Pasal 7 menyatakan negara anggota mempunyai tugas untuk menyediakan sumber daya-sumber daya yang memadai untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman
Kemudian dalam Vienna Declaration and Programme of Action diatur bahwa administrasi pengadilan, termasuk penegakan hukum dan lembaga penuntutan, khususya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan profesi hukum yang sepenuhnya sesuai dengan dengan ukuran-ukuran yang dapat dilaksanakan yang terdapat dalam instrumen HAM internasional adalah suatu hal yang mendasar untuk memenuhi dan merealisasikan HAM tanpa diskriminasi dan sangat diperlukan dalam proses demokrasi dan pembangunan yang berkelanjutan. Lembaga-lembaga yang berkaitan dengan administrasi pengadilan harus dibiayai secara memadai, serta bantuan finansial dan teknik yang meningkat harus disediakan oleh masyarakat internasional. Hal ini merupakan kewajiban PBB untuk membuat bergunanya program-program pelayanan laporan dalam memprioritaskan dasar untuk mencapai administrasi pengadilan yang merdeka dan kuat. (Ahsin Thohari, 2004: 17)
Lebih lanjut dikatakan bahwa independensi harus diikat dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas, dimana keduanyanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama.(Ahsin Thohari, 2010:72) Hal ini seperti apa yang dikemukakan oleh Stephen B. Burbank, Bahwa independesi peradilan adalah sebuah koin dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dengan akuntabilitas peradilan. “Judicial independence is merely the other side of the coin from judicial account ability..” . (Stephen B. Burbank, 2007: 911)
John Ferejohn, menyatakan bahwa independensi adalah sebuah konsep yang relatif dan bukan absolut. Ferejohn mengatakan bahwa one definitonal problem is that judicial independence is a relative, not an absolute concept. The following definiton of ‘dependency’ highlights the relative nature of judicial independence: in a person or institution is...dependent...if unable to do its job without relying on some other institution or group. Artinya independensi peradilan John Ferejohn, menyatakan bahwa independensi adalah sebuah konsep yang relatif dan bukan absolut. Ferejohn mengatakan bahwa one definitonal problem is that judicial independence is a relative, not an absolute concept. The following definiton of ‘dependency’ highlights the relative nature of judicial independence: in a person or institution is...dependent...if unable to do its job without relying on some other institution or group. Artinya independensi peradilan
Sebagai badan peradilan yang independen kekuasaan kehakiman dalam menjalankan sifat independenya harus dapat dikontrol oleh publik atau melalui lembaga khusus. Harus disadari bahwa independensi diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan pasanganya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability). (Ahsin Thohari, 2010: 72)
Ahsin Thohari menyimpulkan ada lima syarat dari kekuasaan kehakiman yaitu pengangkatan terhadap pejabat lembaga peradilan yang tidak bersifat politik, masa jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada intenvensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap proses peradilan dan pengadilan, dan adanya otonomi secara administratif, dan anggaran belanja. Kelima hal tersebut menjadi semacam tonggak yang dapat dijadikan parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman. (Ahsin Thohari, 2004: 11)
Jadi berdasarkan penjelasan diatas pengertian prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya baik secara individual maupun kelembagaan dengan memiliki patokan bahwa adanya prinsip ketidakberpihakan kepada pihak manapun dalam sebuah perkara (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik atau kepentingan apapun (political indularity).
4. Pengawasan Hakim
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengawasan diartikan sebagai penilikan dan penjagaan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008) J.S. Badudu mengartikan kontrol dengan pengawasan, pemeriksaan, dan pengendalian. Dalam lingkup teori ilmu manajemen, kontrol disamakan dengan pengawasan yang Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengawasan diartikan sebagai penilikan dan penjagaan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008) J.S. Badudu mengartikan kontrol dengan pengawasan, pemeriksaan, dan pengendalian. Dalam lingkup teori ilmu manajemen, kontrol disamakan dengan pengawasan yang
Kata kontrol sendiri merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa inggris yaitu control. Sedangkan pengertian kontrol secara etimologis menurut Oxford Advance Learner’s Dictionary mempunyai arti power or authority to direct, order or limit dan means of limiting or regulating. (Agus Budi Susilo, 2007: 63)
George R. Terry menyatakan bahwa pengawasan ialah “Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan”. Henry Fayol juga mengemukakan pendapatnya bahwa pengawasan adalah “Control consist in verivying wether everything occur in conformity with the plan adopted, the
instruction issued and principles estabilished. It has for object to point out weakness and errors in order to rectivy then and prevent recurrance”. Newman mengatakan pengawasan adalah “control is assurance that the performance conform to plan” . (Muchsan, 2007: 37) Tampak dari ketiga pengertian tersebut bahwa pengawasan dijalankan untuk mengukur apakah sebuah persitiwa itu sesuai dengan apa yang direncanakan sebelumnya atau tidak.
Menurut Siagian memberikan definisi mengenai pengawasan yaitu “proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan”. Sedangkan Suyamto memberikan definisi pengawasan yaitu “segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai Menurut Siagian memberikan definisi mengenai pengawasan yaitu “proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan”. Sedangkan Suyamto memberikan definisi pengawasan yaitu “segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai
Muchsan mengatakan bahwa pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanyalah terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditentukan sebelumnya atau tidak, Sehingga kegiatan pengawasan tidak terdapat kegiatan korektif atau pengarahan. Jadi muncul istilah yang berbeda antara pengawasan dan pengendalian. Pengendalian lebih luas lingkup pengertianya daripada pengawasan. Hal ini disebabkan karena pengendalian memiliki kegiatan pengawasan ditambah dengan kegiatan korektif dan pengarahan. (Muchsan, 2007: 38)
Menurut pendapat Muchsan, pengawasan memiliki beberapa unsur penting yaitu antara lain:
a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas.
b. Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap pelaksanaan suatu tugas yang akan diawasi.
c. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut.
d. Tindakan pengawasan berakhir dengan disusunya evaluasi akhir terhadap kegiatan yang dilaksanakan serta pencocokan hasil yang dicapai dengan rencana sebagai tolak ukurnya.
e. Untuk selanjutnya tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut baik secara administratif maupun secara yuridis. (Muchsan, 2007: 38)
Secara lebih terperinci pengawasan dibagi menjadi empat jenis. Pertama, Pengawasan melekat yaitu pengawasan yang langsung dilakukan oleh pejabat terhadap bawahannya atas setiap tugas yang menjadi tanggung jawab bawahannya itu. Kedua, Pengawasan preventif yaitu pengawasan terhadap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah mengenai pokok tertentu yang baru akan berlaku sesudah ada pengarahan pejabat yang berwenang. Ketiga, Pengawasan represif yaitu penangguhan atau pembatalan peraturan daerah atau keputusan kepala daerah oleh pejabat yang berwenang. Keempat, Pengawasan umum yaitu pengawasan yang Secara lebih terperinci pengawasan dibagi menjadi empat jenis. Pertama, Pengawasan melekat yaitu pengawasan yang langsung dilakukan oleh pejabat terhadap bawahannya atas setiap tugas yang menjadi tanggung jawab bawahannya itu. Kedua, Pengawasan preventif yaitu pengawasan terhadap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah mengenai pokok tertentu yang baru akan berlaku sesudah ada pengarahan pejabat yang berwenang. Ketiga, Pengawasan represif yaitu penangguhan atau pembatalan peraturan daerah atau keputusan kepala daerah oleh pejabat yang berwenang. Keempat, Pengawasan umum yaitu pengawasan yang
Menurut Paulus Effendi Lotulung, pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah ataupun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi wewenang pemerintah (preventif) maka disebut kontrol a-priori. Sedangkan pengawasan yang dilakukan itu baru terjadi setelah dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan atau perbuatan pemerintah (represif atau korektif), hal ini disebut sebagai kontrol a-posteriori. (Agus Budi Susilo, 2007: 63)
Agus Budi Susanto berpendapat kontrol merupakan suatu instrumen untuk mengawasi jalannya suatu tugas, fungsi, wewenang seseorang ketika mendapat suatu jabatan (amanah) tertentu agar tercapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sekaligus mengoreksinya ketika ada penyimpangan-penyimpangan. Bila kata “kontrol” di atas disandingkan dengan kata “yuridis” yang mengandung arti “menurut hukum” atau “secara hukum”, maka kontrol yuridis kaitannya dengan fungsi administrasi negara akan mempunyai makna sebagai suatu instrumen yang mengawasi dan mengoreksi dari segi hukum terhadap pelaksanaan tugas administrasi negara dalam menjalankan urusan pemerintahan untuk mencapai tujuan negara yang adil dan makmur (welfare state). (Agus Budi Susilo, 2007: 63)
Jadi berdasarkan penjelasan diatas pengawasan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menjaga agar semua pekerjaan atau wewenang yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana atau aturan perundang-undangan dengan tujuan agar tujuan dari pelaksanaan kewenangan tersebut dapat tercapai dengan semestinya.
UUD 1945 pasal 24B ayat (1)
UU no. 22 Tahun 2004 dan UU no. 18
Tahun 2011
KOMISI YUDISIAL PENGAWASAN
HAKIM Independensi
Hakim
Implikasinya
A. Kerangka Pemikiran
Instrumen Pengawasan Metode Pengawasan Mekanisme Pengajuan Laporan Hasil Pengawasan
Penjelasan:
Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 mengatur tentang fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman di Indonesia yang meliputi Mahkamah Agung beserta lembaga peradilan dibawahnya, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial diatur di dalam pasal 24B dimana pengaturan lebih khusus mengenai bentuk pengawasan hakim tercantum di dalam ayat (1) yaitu:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Fungsi pengawasan tersebut kemudian diatur lebih lanjut di dalam Undang-undang Nomor
18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Berdasarkan bentuk pengawasan hakim yang dimiliki oleh Komisi Yudisial maka dalam menjalankan kewenanganya akan dikaji melalui 4 faktor. Pertama, Instrumen pengawasan. Faktor ini akan mengkaji instrumen apa yang akan digunakan oleh Komisi Yudisial untuk menjalankan fungsi pengawasanya. Kedua, Metode Pengawasan. Faktor ini akan memaparkan bagaimana metode atau sistem pengawasan yang digunakan dalam mengawasai hakim dalam menjalankan tugasnya.
Ketiga, Mekanisme pengajuan laporan. Artinya mekanisme dalam pelaporan jika terjadi tindakan atau perilaku hakim yang bertentangan dengan kode etik. Bagaimana mekanisme dan sistematikanya. Keempat, Hasil dari pengawasan. Disini akan dijelaskan mengenai akibat dari keputusan Komisi Yudisial apabila telah dinyatakan adanya pelanggara kode etik yang telah dilakukan hakim berdasarkan hasil pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan. Bentuk pengawasan oleh Komisi Yudisial akan bersentuhan dengan hakim yang sedang menjalankan tugas yudisialnya.
Tentu pengawasan ini akan berbenturan diantara prinsip Independensi atau kemerdekaan hakim. Pengawasan disatu sisi akan berseberangan dengan kebebasan hakim disisi yang lain. Sehingga akan dianalisa dan dipaparkan bagaimana implikasi dari pengawasan tersebut berkaitan dengan karakter independen hakim.