PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

BAB III PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Bentuk Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial

1. Instrumen Pengawasan

Untuk mengetahui bagaimana Instrumen Pengawasan Komisi Yudisial terlebih dahulu kita merujuk kepada konstitusi, dimana disana tercantum mengenai mandat konstitusional dari Komisi Yudisial. Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa:

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagaimana disebutkan di pasal diatas Komisi Yudisial memiliki

wewenang pokok yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan ditambah wewenang lain yaitu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Arti menjaga dan menegakkan bisa dikatakan sebagai dasar bagi Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan kepada hakim. Menjaga berarti mencegah dan menegakkan berarti menindak apabila ada hakim yang melakukan pelanggaran. Disinilah peran Komisi Yudisial dalam mengawasi tindak tanduk hakim demi semata-mata menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku mereka.

Sebelum melihat lebih jauh tentang instrumen pengawasan hakim, harus diketahui terlebih dahulu objek yang diawasi. Tentu objek yang diawasi adalah hakim. Namun hakim manakah yang akan dijadikan objek pengawasan. Pada awalnya didalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dijelaskan di dalam BAB I Ketentuan Umum pasal (1) ayat 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bahwa yang dimaksud:

Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta

Komisi Yudisial adalah Hakim Agung, Hakim Mahkamah Konsitusi dan hakim disemua lingkungan peradilan Negeri, peradilan Militer, peradilan Agama, dan peradilan Tata Usaha Negara serta peradilan khusus didalamnya sampai tingkat dibawah Mahkamah Agung. Seharusnya berdasarkan pasal tersebut hakim adhoc juga termasuk didalamnya.

Tetapi objek tersebut dicabut, sebagaimana kita ketahui bersama dalam putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Komisi Yudisial tidak berhak melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung dan juga Hakim Konstitusi. Sehingga berdasarkan ratio legis maka yang menjadi objek pengawasan hakim saat itu adalah seluruh hakim saja diluar Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Hingga setelah dicabutnya ketentuan dalam Undang-undang itu setelah enam baru muncul Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang- undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Pasca munculnya Undang-undang terbaru objek pengawasan hakim Komisi Yudisial berubah. Didalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2011 perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial BAB I Ketentuan Umum pasal (1) ayat 5 disebutkan bahwa:

Hakim adalah hakim dan hakim adhoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan. Berdasarkan pasal diatas yang menjadi objek pengawasan Komisi

Yudisial adalah seluruh baik hakim karier ataupun hakim adhoc baik di lingkungan Mahkamah Agung maupun di semua lingkungan Badan Peradilan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek pengawasan oleh Komisi Yudisial saat ini hanya meliputi hakim dan hakim adhoc, sedangkan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi diluar pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini tentu meneruskan kembali apa yang menjadi keputusan Mahkamah Konsitusi bahwa

Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi tidak dapat diawasi karena inkonstitusional.

Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana dijelaskan diatas memiliki dua instrumen penting yaitu: Membuat kode etik dan Mengawasi Hakim . Keduanya merupakan instrumen yang dijadikan cara bagi Komisi Yudisial untuk menjaga agar hakim tetap berada didalam jalurnya yaitu sesuai apa yang dicita-citakan dalam konstitusi. Hakim dalam menjalankan fungsi yustisialnya dapat tetap berjalan secara profesional dan bermartabat. Keduanya pun akan bermuara dalam titik yang sama yaitu secara prinsipal adalah untuk melaksanakan pengawasan.

Instrumen pertama, Membuat kode etik. Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk menetapkan kode etik atau code of conduct yang akan dilaksanakan sebagai tatanan moral dan tuntunan perilaku secara tertulis. Fungsi dari kode etik ini sendiri adalah selain menjadi pedoman baik bagi Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasanya, menjadi pedoman bagi hakim sendiri untuk mengetahui kode etik profesinya sebagai hakim. Sehingga mereka dapat memahami dan mengamalkanya. Instrumen ini berdasarkan kepada Undang- undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pasal (13) poin c bahwa Komisi Yudisial berhak untuk:

Menetapkan Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Segala bentuk pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan hakim

nanti, akan ditentukan oleh Komisi Yudisial dengan berpatokan kode etik yang telah dibuat ini. Bagaimana mengetahui, menilai, dan mempertimbangkan bahwa seorang hakim itu tidak lagi menjalankan fungsinya dengan baik maka kode etik adalah tolak ukurnya. Selama kode etik tidak dilaksanakan dengan baik dan hal tersebut dapat dibuktikan maka Komisi Yudisial mempunyai dasar untuk memberikan sanksi. Tidak hanya digunakan untuk kedua hal tadi, kode etik juga nanti, akan ditentukan oleh Komisi Yudisial dengan berpatokan kode etik yang telah dibuat ini. Bagaimana mengetahui, menilai, dan mempertimbangkan bahwa seorang hakim itu tidak lagi menjalankan fungsinya dengan baik maka kode etik adalah tolak ukurnya. Selama kode etik tidak dilaksanakan dengan baik dan hal tersebut dapat dibuktikan maka Komisi Yudisial mempunyai dasar untuk memberikan sanksi. Tidak hanya digunakan untuk kedua hal tadi, kode etik juga

Instrumen kedua, Pengawasan Hakim. Instrumen ini adalah instrumen yang paling utama dari Komisi Yudisial. Pengawasan Hakim yang dilakukan Komisi Yudisal dilakukan dengan cara pemantauan, pemeriksaan, dan usulan pemberian sanksi kepada Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim. Dalam melakukan upaya-upaya pengawasan terhadap perilaku hakim baik ketika saat dinas maupun diluar dinas Komisi Yudisial berpedoman pada kode etik dan pedoman perilaku hakim. (Pasal 19A Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Hal penting yang perlu dicatat adalah Komisi Yudisial harus tetap menjaga kemandirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara juga menjaga kerahasiaan, keterangan atau informasi yang diperoleh dari pengawasan dan pemantauan. (Pasal 20A ayat (1) poin d Undang-undang Nomor

18 Tahun 2011) Informasi ini bersifat rahasia dan tertutup. Mekanisme dalam pengawasan dijalankan dengan cara Pertama, Tahap penerimaan laporan dan informasi terkait dugaan pelanggaran kode etik atau pedoman perilaku oleh hakim. Komisi Yudisial menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan atau pedoman perilaku hakim yang terjadi dan diketahui oleh masyarakat. (Pasal 20 ayat (1) poin b dan Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Laporan dari masyarakat ini bisa didapat melalui pengaduan secara tertulis baik disampaikan melalui surat biasa atau melalui jalur online melewati situs resmi Komisi Yudisial. Selain 18 Tahun 2011) Informasi ini bersifat rahasia dan tertutup. Mekanisme dalam pengawasan dijalankan dengan cara Pertama, Tahap penerimaan laporan dan informasi terkait dugaan pelanggaran kode etik atau pedoman perilaku oleh hakim. Komisi Yudisial menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan atau pedoman perilaku hakim yang terjadi dan diketahui oleh masyarakat. (Pasal 20 ayat (1) poin b dan Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Laporan dari masyarakat ini bisa didapat melalui pengaduan secara tertulis baik disampaikan melalui surat biasa atau melalui jalur online melewati situs resmi Komisi Yudisial. Selain

Kedua, Tahap verifikasi. Berdasarkan keterangan dan informasi yang diperoleh, Komisi Yudisial melakukan verifikasi, klarifikasi dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik dan atau pedoman perilaku hakim. Proses pemeriksaan ini dilaksanakan secara tertutup. (Pasal 20 ayat (1) poin c Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Sebelum melakukan pemeriksaan, Komisi Yudisial memverifikasi terlebih dahulu dari laporan yang diterima sebelum diproses lebih lanjut apakah termasuk laporan pelanggaran atau tidak.

Ketiga , Tahap pemeriksaan. Proses selanjutnya adalah pemeriksaan dengan cara melakukan pemanggilan hakim yang bersangkutan untuk dimintai keterangan. Hakim yang dipanggil akan menjalani proses pemeriksaan berdasarkan informasi yang telah didapat. Setiap pemeriksaan yang dilakukan wajib disertai dengan berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim dan juga Komisi Yudisial. (Pasal 22B ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Hakim dalam proses ini diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi terlebih dahulu. Apakah benar dia telah melakukan tindakan yang diduga melanggar kode etik. Waktu yang diberikan adalah 14 hari bagi Hakim tersebut semenjak adanya pemanggilan dari Komisi Yudisial. (Pasal 22B ayat (1) poin b dan Pasal 22B ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Selain memanggil dan meminta keterangan kepada hakim, Komisi Yudisial juga memanggil dan meminta keterangan kepada Saksi. Pemanggilan terhadap saksi dapat dilakukan dengan paksa apabila ternyata saksi tidak berkehendak untuk menghadiri panggilan. Begitu juga Badan Peradilan dapat dimintai untuk memberikan keterangan terkait adanya pelanggaran hakim yang bersangkutan. Setiap informasi dan keterangan yang didapat dari pencarian data yang dilakukan oleh Komisi

Yudisia bersifat rahasia dan tertutup. (Pasal 20A ayat (1) poin c Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)

Dalam upaya pengawasan bagi Komisi Yudisial, Undang-undang Nomor.

18 Tahun 2011 mengatur tentang batasan waktu bagi hakim atau Badan peradilan dalam memberikan keterangan informasi dan data yang diminta untuk kepentingan pemeriksaan. Waktu yang diberikan adalah selama 14 hari sejak Komisi Yudisial memberikan permintaan kepada mereka, Namun apabila terjadi penolakan atau tidak memberikan keterangan selama waktu yang telah ditentukan. Maka Komisi Yudisial dapat meminta kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung yang nantinya meminta kepada hakim dan badan peradilan tersebut untuk memberikan keterangan. Waktu yang diberikan selama 14 hari sejak Mahkamah Agung menerima permintaan dari Komisi Yudisial. Jika ternyata dalam tempo waktu 14 hari hakim dan badan peradilan yang bersangkutan tetap tidak memberikan keterangan maka Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi kepada mereka. (Pasal 22 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)

Sebagai tambahan untuk menunjang perolehan keterangan yang akurat Komisi Yudisial dapat meminta bantuan dalam hal ini berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan untuk memperoleh data dan keterangan berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran kode etik dan atau pedoman perilaku hakim oleh hakim. Bahkan aparat penegak hukum dalam hal ini meliputi kepolisian wajib menindak lanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana yang dimaksud. (Pasal 30 ayat (3) dan (4) Undang- undang Nomor 18 Tahun 2011) selain itu Komisi Yudisial juga diberi wewenang mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Artinya jika ada usaha untuk mencemarkan hakim maka Komisi Yudisial harus bertindak. (Pasal 20 ayat (1) poin e Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)

Keempat , Kesimpulan Pemeriksaan. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan atau Perilaku Hakim yang telah dilakukan. Komisi Yudisial menyimpulkan hasil pengawasan dengan mengeluarkan sebuah keputusan. Sifat dari keputusan ini berupa usulan. Usulan yang akan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim dan kemudian dilaksanakan penjatuhan sanksinya oleh Mahkamah Agung. Adapun hasil keputusan itu terdiri dari dua jenis: terbukti dan tidak terbukti.

1. Bagan Proses Pengawasan Hakim

Sumber: Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Informasi dugaan

pelanggaran

Laporan dari Masyarakat

Komisi Yudisial

Pemanggilan dan Meminta Keterangan

Verfikiasi Laporan

Pemeriksaan

Dugaan Pelanggaran

Terbukti

Dugaan Pelanggaran Tidak Terbukti

Badan Peradilan

Kesimpulan Pemeriksaan

Saksi Hakim

Jika hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti, Maka Komisi Yudisial menindaklanjutinya dengan memberikan usulan berupa penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran tersebut. Usulan ini ditujukan kepada Mahkamah Agung (Pasal 22D ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) dan Majelis Kehormatan Hakim. (Pasal 22F ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Sanksinya terdiri dari tiga tingkatan yaitu: sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Disetiap tingkatan tersebut terdapat beberapa jenis sanksi yang berbeda-beda. Sanksi ringan terdiri dari: Teguran lisan, Teguran tertulis, dan Pernyataan tidak puas secara tertulis. Sanksi sedang terdiri dari: Penundaan kenaikan gaji berkala paling lama selama satu tahun, Penurunang gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, Penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun dan hakim non palu paling lama enam bulan. Sanksi berat terdiri dari: Pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih dari enam bulan sampai dengan dua tahun, Pemberhentian sementara, Pemberhentian tetap dengan hak pensiun dan Pemberhentian tetap dengan tidak hormat. (Pasal 22D ayat (1) huruf a, b, dan c Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)

Semua sanksi tersebut terkecuali sanksi berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat ditujukan kepada Mahkamah Agung. Yang berhak untuk menjatuhkan sanksi adalah Mahkamah Agung, sementara Komisi Yudisial hanya sebatas mengajukan usulan. Namun terdapat beberapa ketentuan untuk memberikan ruang agar usulan Komisi Yudisial tersebut bisa berjalan dan ditindaklanjuti. Sehingga tidak berhenti saja di tangan Mahkamah Agung. Jika tidak terdapat perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial mengenai usulan yang diajukan, Maka sanksi tersebut berlaku secara otomatis dan wajib bagi Mahkamah Agung untuk melaksanakanya. Dalam hal ini dalam waktu 60 hari secara usulan diterima. (Pasal 22E ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)

2. Tabel Sanksi Untuk Hakim

Sanksi Ringan

Sanksi Sedang

Sanksi Berat - Teguran lisan.

- Teguran tertulis. - Pernyataan tidak

puas secara tertulis.

- Penundaan kenaikan gaji berkala paling lama selama satu tahun.

- Penurunang gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun.

-Penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun.

-Hakim non palu paling lama enam bulan.

-Pembebasan dari jabatan struktural.

-Hakim non palu lebih dari enam bulan sampai dengan dua tahun.

-Pemberhentian sementara.

- Pemberhentian tetap dengan hak pensiun.

- Pemberhentian tetap dengan tidak hormat.

Sumber: Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Jika terdapat perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial mengenai usulan yang diajukan. Maka dilakukan pemeriksaan bersama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial terhadap hakim yang yang bersangkutan. (Pasal 22E ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Namun apabila dalam waktu 60 hari sejak diterimanya usulan kepada Mahkamah Agung, ternyata tidak ada kata sepakat. Maka usulan tersebut tetap wajib dan otomatis dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Tetapi dengan syarat hasil usulan tersebut memang sudah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang- undang dalam hal pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik atau Jika terdapat perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial mengenai usulan yang diajukan. Maka dilakukan pemeriksaan bersama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial terhadap hakim yang yang bersangkutan. (Pasal 22E ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Namun apabila dalam waktu 60 hari sejak diterimanya usulan kepada Mahkamah Agung, ternyata tidak ada kata sepakat. Maka usulan tersebut tetap wajib dan otomatis dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Tetapi dengan syarat hasil usulan tersebut memang sudah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang- undang dalam hal pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik atau

Majelis Kehormatan Hakim adalah perangkat yang dibentuk antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang bertugas memeriksa dan memutus adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 1 ayat (7) dan pasal 22F ayat (3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) yang terdiri dari empat perwakilan dari Komisi Yudisial dan tiga perwakilan dari Mahkamah Agung. (Pasal 22F ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011). Majelis ini memiliki mekanisme musyawarah mufakat untuk mengambil keputusan, namun jika tidak tercapai sepakat terdapat mekanisme pengambilan suara terbanyak. (Pasal 22F ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)

Majelis mempunyai waktu 60 hari sejak diterimanya usulan untuk memeriksa dan memutus usulan yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Hasil dari keputusan Majelis Kehormatan Hakim nantinya harus dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. (Pasal 22F ayat (3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Pelaksanaan tersebut terhitung sejak 30 hari diucapkanya keputusan oleh Majelis Kehormatan Hakim. (Pasal 22F ayat (5) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Jika ternyata hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinyatakan tidak terbukti. Maka Majelis Kehormatan Hakim menyatakan bahwa dugaan pelanggaran tidak terbukti dan juga memulihkan nama baik hakim yang bersangkutan. (Pasal 22G Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)

3. Proses Penjatuhan Sanksi Bagi Hakim

Sumber: Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

USULAN SANKSI dari KY

Sanksi ringan, sedang,

dan berat (kecuali pemberhentian tetap)

Sanksi pemberhentian

Majelis Kehormatan

Hakim

Tidak ada perbedaan

pendapat

Ada perbedaan

DILAKSANAKAN OLEH MAHKAMAH AGUNG

Pemeriksaan bersama dengan KY

60 Hari

60 Hari

30 Hari

Pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial akan dilaksanakan oleh perangkat-perangkat khusus yang terdapat di dalam struktur organisasinya. Perangkat khusus yang berwenang menjalankan fungsi pengawasan dilakukan oleh dua perangkat yaitu Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi, dan Bidang Pencegahan dan Layanan Masyarakat. Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 tahun 2011 tentang Wewenang dan Tugas Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Bidang Komisi Yudisial menjabarkan mengenai fungsi pengawasan yang akan dilaksanakan oleh kedua bidang tersebut.

Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi adalah bidang khusus yang melaksanakan program pengawasan langsung kepada hakim dalam melaksanakan tugas-tugas keseharianya baik di lingkungan dinas maupun diluar kedinasan. Secara umum Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi yang memiliki fungsi dan wewenang sebagai berikut:

a. Pengawasan hakim yang meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dan pengamatan perilaku hakim baik secara langsung maupun tidak langsung.

b. Investigasi hakim yang meliputi pengusulan penetapan anggota sidang panel untuk pemeriksaan perkara kepada Wakil Ketua Komisi Yudisial, penetapan jadwal pemeriksaan, pemanggilan hakim terlapor, mengundang pelapor dan pihak-pihak yang diperlukan untuk dimintai keterangan, pemeriksaan hakim, pengiriman rekomendasi, dan investigasi dalam rangka pengawasan hakim,

c. Penanganan laporan yang meliputi penerimaan laporan masyarakat, penerimaan audiensi terkait laporan masyarakat, proses penelitian berkas laporan masyarakat, dan pengiriman hasil rekapitulasi perilaku hakim berdasarkan laporan masyarakat.

d. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanganan serta investigasi hakim yang meliputi monitoring tindak lanjut rekomendasi.

Bidang Pencegahan dan Layanan Masyarakat adalah salah satu bidang khusus di Komisi Yudisial yang melakukan pengawasan dengan cara pencegahan dan tindakan preventif. Upaya yang dilakukan juga melibatkan partisipasi dan pelayanan kepada masyarakat untuk memberikan pendidikan serta pencegahan yang sifatnya jangka panjang. Kewenangan bidang ini secara umum adalah sebagai berikut:

a. Upaya pencegahan terhadap pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang meliputi kegiatan diseminasi tentang kewenangan dan kelembagaan

Komisi Yudisial serta kode etik dan pedoman perilaku hakim, kegiatan peningkatan kemampuan teknis yudisial dalam rangka menjaga kehormatan, keluruhan martabat serta perilaku hakim, permintaan laporan berkala dari badan peradilan, dan mengkoordinasikan kegiatan pemantauan persidangan.

b. Layanan masyarakat dalam rangka layanan informasi dan peningkatan partisipasi publik yang meliputi kegiatan penyusunan laporan tahunan, penyediaan akses informasi untuk masyarakat dalam rangka transparansi dan akuntabilitas.

c. Sosialisasi peran, fungsi, dan kewenangan Komisi Yudisial yang meliputi kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Jadi Komisi Yudisial memiliki dua instrumen penting dalam menjalankan fungsi pengawasanya yaitu menetapkan kode etik dan pengawasan hakim. Kedua instrumen tersebut didukung dengan alat kelengkapan berupa bidang khusus yang terdapat dalam struktur organisasi Komisi Yudisial. Kedua bidang tersebut adalah bidang pengawasan dan investigasi hakim sebagai pelaksana pengawasan secara langsung dan bidang pencegahan dan layanan masyarakat sebagai pelaksana pencegahan dan pemberdayaan masyarakat.

2. Metode Pengawasan

Komisi Yudisial dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1) UUD 1945), melakukan pengawasan terhadap hakim dimana akan menghasilkan dua hal yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dibagi menjadi dua yaitu yang bersifat positif dan negatif. Sedangkan pengawasan represif juga dibagi menjadi dua yaitu positif dan negatif.

Pengawasan preventif meliputi pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial ketika hakim menjalankan tugas-tugasnya maupun ketika diluar tugasnya secara umum. Hal ini ditafsirkan dari kata “menjaga” perilaku hakim. Menjaga berarti memiliki makna melakukan pencegahan. Pengawasan ini mengacu dan berpedoman kode etik atau pedoman perilaku hakim. Pengawasan preventif yang sifatnya positif adalah dengan memberikan dan mengusahakan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para hakim dan juga kapasitas hakim. (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)

Sedangkan Pengawasan preventif yang sifatnya negatif adalah pengawasan Komisi Yudisial secara langsung maupun tidak langsung kepada Hakim. Dalam bentuk secara tidak langsung pengawasan meliputi penerimaan laporan masyarakat tentang adanya hakim yang diketahui telah melakukan dugaan pelanggaran kode etik. Sedangkan secara langsung meliputi upaya Komisi Yudisial mengawasi hakim secara langsung di lapangan seperti memantau di dalam proses persidangan atau dalam bentuk pengawasan lain.

Metode pengawasan represif dilakukan Komisi Yudisial dengan melakukan upaya dan proses pemeriksaan apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh hakim. Pengawasan ini dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kata “menegakkan” dapat ditafsirkan sebagai upaya agar hukum atau aturan dapat ditaati atau dipatuhi dengan ancaman sanksi apabila aturan tersebut dilanggar. Pengawasan represif negatif dilakukan Metode pengawasan represif dilakukan Komisi Yudisial dengan melakukan upaya dan proses pemeriksaan apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh hakim. Pengawasan ini dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kata “menegakkan” dapat ditafsirkan sebagai upaya agar hukum atau aturan dapat ditaati atau dipatuhi dengan ancaman sanksi apabila aturan tersebut dilanggar. Pengawasan represif negatif dilakukan

Sedangkan Pengawasan represif yang sifatnya positif adalah upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh Komisi Yudisial apabila ada pihak-pihak seperti perseorangan, badan hukum, atau kelompok yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. (Pasal 20 ayat (1) poin e Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Komisi Yudisial memiliki kewajiban untuk menjaga tidak hanya dari sikap dan perilaku tetapi juga menjaga dari upaya dari luar yang ingin merusak kehormatan dan keluhuran serta martabat hakim.

3. Mekanisme Pengajuan Laporan

Setiap laporan atau informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang adanya pelanggaran hakim dapat disampaikan ke Komisi Yudisial melalui surat tertulis yang bisa langsung dikirim ke alamat kantor. Selain itu sebagai salah satu lembaga modern Komisi Yudisal juga dilengkapi sistem pengaduan online atau melalui internet sistem pengaduan laporan masyarakat ini dikembangkan melalui aplikasi yang berbasis web. Untuk mengakses aplikasi ini dibutuhkan web browser .

Aplikasi pengaduan online ini mengandung pengertian bahwa aplikasi perangkat lunak ini terhubung dengan jaringan internet dengan harapan masyarakat dapat dengan mudah memberikan pengaduan dari mana dan kapan saja tanpa terhambat masalah waktu dan geografis. Aplikasi pengaduan online dibangun dan dikembangkan dengan tujuan untuk memfasilitasi masyarakat pelapor dari seluruh lapisan untuk mengadukan perlakuan tidak adil yang dialami yang dilakukan oleh pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman atau untuk mengadukan perilaku hakim yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. (Laporan Tahunan Komisi Yudisial tahun 2010, 2010: 49)

Cara pengaduan online cukup dengan mengakses situs Komisi Yudisial yang beralamat di www.komisiyudisal.go.id. Disitu akan ditemui link yang berjudul “Pengaduan Online”. Melalui link tersebut Pengadu dapat mendaftar dengan mengisi form pendaftaran yang tersedia. Setelah mengisi form pendaftaran , pengadu memperoleh username dan password yang akan digunakan untuk login. Setelah login pengadu dapat mengakses form pengaduan. Disini pengadu dapat mengisi form pengaduan dan setelah selesai cukup klik kirim. Maka pengaduan diterima ke Komisi Yudisial. Setelah selesai dalam pengisian data, cetak dokumen tersebut sebagai tanda bukti pengiriman. Kemudian menyerahkan bukti pengaduan online , dokumen pengaduan asli dan dokumen pendukung kepada Komisi Yudisial melalui Loket Pengaduan dalam tenggang waktu 14 hari kerja setelah pengaduan online . Jika tidak dipenuhi selama 14 hati maka pengaduan yang diajukan dengan sendirinya akan terhapus.

4. Bagan Alur Pengaduan Online Sumber: http://www.komisiyudisial.go.id

Mengakses situs Komisi Yudisial : www.komisiyudisial.go.id

Mengakses Pengaduan Online dan Pilih Pendaftaran

Mengisi Fromulir Pendaftaran (untuk mendapatkan username dan password)

Login dengan Username dan Password

Mengisi Formulir Pengaduan dan klik KIRIM

Menyerahkan bukti pengaduan online secara tertulis dalam waktu 14 hari

Laporan pengaduan yang disampaikan baik melalui cara biasa atau online harus memenuhi syarat yang telah ditentukan. Setidaknya laporan pengaduan yang diajukan oleh pelapor atau kuasanya yang mendapat kuasa khusus harus berbentuk tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan melengkapi syarat-syarat:

a. Identitas pelapor yang lengkap, meliputi: nama, alamat, pekerjaan, Nomor telepon disertai dengan KTP pelapor. Jika pelapor bertindak selaku kuasa, disertai dengan surat kuasa khusus melaporkan pengaduan ke Komisi Yudisial RI.

b. Identitas terlapor (hakim) secara jelas, meliputi Nama, jabatan, alamat instansi, nomor perkara (jika terkait perkara di Pengadilan)

c. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar laporan, yang meliputi alasan laporan diuraikan secara jelas dan rinci disertai alat bukti yang diperlukan (copy salinan sah putusan atau penetapan yang telah dilegalisir Pengadilan, surat-surat bukti, saksi dan lain-lain) dan hal-hal yang dimohonkan untuk diperiksa dalam laporan dimaksud.

d. Bukti-bukti pendukung, meliputi:

1) Dalam hal terlapor hakim Pengadilan Tingkat Pertama, melampirkan copy putusan pengadilan tersebut;

2) Dalam hal terlapor hakim Pengadilan Tingkat Banding, melampirkan copy

putusan pengadilan pertama dan putusan pengadilan tinggi;

3) Dalam hal terlapor hakim agung (kasasi), melampirkan copy putusan pengadilan pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (kasasi);

4) Dalam hal terlapor hakim agung (peninjauan kembali), melampirkan copy putusan pengadilan pertama, pengadilan tinggi, kasasi dan peninjauan kembali;

5) Jika laporan terkait eksekusi harus melampirkan copy salinan putusan yang terkait dengan eksekusi tersebut, surat permohonan eksekusi (bagi pelapornya pemohon eksekusi), Copy surat penetapan eksekusi, Copy surat 5) Jika laporan terkait eksekusi harus melampirkan copy salinan putusan yang terkait dengan eksekusi tersebut, surat permohonan eksekusi (bagi pelapornya pemohon eksekusi), Copy surat penetapan eksekusi, Copy surat

Berdasarkan data yang diperoleh melalui Laporan Pertanggungjawaban Tahunan Komisi Yudisial tahun 2005-2010 jumlah pengguna sistem pengaduan online sejak tahun 2010 hingga 2011 mencapai 69 pengaduan. Dengan rincian tahun 2010 sebesar 28 dan tahun 2011 mencapai sebesar 41 pengaduan. Sedangkan data jumlah pengaduan melalui jalur biasa dari tahun 2005 hingga tahun 2011 mencapai sebesar 1527 pengaduan. Rincianya adalah tahun 2005 sebesar 308 pengaduan, 2006 sebesar 482 pengaduan, 2007 sebesar 549 pengaduan, 2008 sebesar 639 pengaduan 619 pengaduan, 2009 sebesar 1360 pengaduan, 2010 sebesar, 2011 sebesar 1527 pengaduan. Terlihat bahwa jumlah pengaduan melalui sistem online lebih sedikit jumlahnya daripada melalui jalur biasa.

4. Hasil dari Pengawasan

Hasil dari mekanisme pengawasan yang telah dijelaskan diatas Komisi Yudisial bersama dengan Mahkamah Agung telah menjatuhkan sanksi ke beberapa hakim. Data diperoleh melalui Laporan Pertanggungjawaban Tahunan Komisi Yudisial periode 2005 sampai 2010 adalah bahwa:

Terdapat 97 hakim yang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi kepada Mahkamah Agung dengan rincian sebanyak 45 hakim direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis. 36 hakim direkomendasikan sanksi pemberhentian sementara dari jabatan hakim yang lamanya mulai dari 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 16 orang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dari jabatan hakim.

97 hakim tersebut dilihat dari tingkat pengadilanya, Sebanyak 83 hakim berasal dari tingkat pertama dan 14 hakim berasal dari hakim tingkat banding. Sedangkan bila dilihat dari jenis pengadilanya, Sebanyak 74 hakim berasal dari peradilan umum tingkat banding, 3 hakim berasal dari pengadilan hubungan industrial, 2 orang hakim dari pengadilan agama, 2 orang hakim dari pengadilan tipikor dan 2 hakim dari pengadilan tata usaha negara.

Jenis-jenis pelanggaran yang dilakukan 97 hakim tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu sebelum dan sesudah adanya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial. Sebelum adanya SKB hakim dinyatakan: Tidak profesional 17 hakim, Tidak berdisiplin tinggi 13 hakim, Melanggar sikap berperilaku Jujur 5 hakim, dan Melanggar sikap berperilaku adil 5 hakim. Setelah adanya SKB hakim yang dinyatakan Tidak berperilaku adil sejumlah 8 hakim, Tidak berperilaku jujur 16 hakim, Tidak berperilaku arif dan bijaksana 1 hakim, Tidak berintegritas tinggi 13 hakim, Tidak bertanggungjawab 3 orang, Tidak menjunjung ringgi harga diri 3 hakim, Tidak berdisiplin tinggi 51 hakim dan Tidak bersikap profesional 68 hakim. Dari data tersebut satu orang hakim dapat melakukan lebih dari satu macam pelanggaran.

Sedangkan untuk hakim yang direkomendasikan melalui Majelis Kehormatan Hakim berjumlah 3 orang yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Sedangkan ada 5 hakim yang diajukan sendiri oleh Mahkamah Agung. Sejak pertama kali dibentuk Majelis Kehormatan Hakim telah melakukan sidang selama

8 kali dengan mengeluarkan putusan 5 pemberhentian tetap dengan tidak hormat dan sisanya tidak bersidang selama lebih dari dua tahun dan dimutasikan. Untuk sanksi mutasi dan pemberhentian sementara tidak berlaku lagi karena sudah diatur berebeda dengan munculnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

A. Implikasi Pengawasan Terhadap Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang

Merdeka.

1. Implikasi Yuridis

Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti kuasa untuk menjalankan fungsi yudisial seperti menyelenggarakan peradilan dan memutus suatu perkara dengan bebas tekanan maupun intervensi. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya. Kebebasan atau kemerdekaan itu meliputi hakim secara individu maupun kelembagaan. Keduanya juga ditopang dengan prinsip penting bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas dan tidak memihak kepada siapapun (impartiality) ketika memutus sebuah perkara serta bebas dari campur tangan dari kepentingan luar (political insularity). Prinsip tersebut menjadi sangat penting untuk menjaga agar sebuah keputusan pengadilan dapat dinilai sebagai keputusan yang mampu memberikan rasa keadilan bagi para pihak. Tanpa adanya kebebasan dan kemandirian sebuah keputusan hakim akan sangat rentan sekali pengaruh kepentingan asing. Sehingga hasil keputusanya pun diragukan keabsahanya. Jadi mutlak adanya bahwa kekuasaan kehakiman mempunyai perlindungan yuridis untuk menjaga agar mereka tetap dalam relnya yaitu independen atau merdeka.

Hukum positif Indonesia menjamin bahwa kekuasaan kehakiman dan hakim selaku subyek yang menjalankan pilar tersebut merupakan pihak yang memiliki hak konstitusional sebagai lembaga yang independen. Konsitusi dengan tegas mengatur dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 24 ayat (1) bahwa :

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Apa yang tercantum diatas menunjukan bahwa hakim memiliki hak konsitusional sebagai subyek yang mampu menjalankan sebuah proses peradilan dengan merdeka dengan tujuan agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan. Mandat dalam konstitusi tersebut juga menunjukan bahwa hakim memang secara Apa yang tercantum diatas menunjukan bahwa hakim memiliki hak konsitusional sebagai subyek yang mampu menjalankan sebuah proses peradilan dengan merdeka dengan tujuan agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan. Mandat dalam konstitusi tersebut juga menunjukan bahwa hakim memang secara

Sebagaimana tercantum dalam konsitusi di dalam Undang-undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kehakiman pasal (3) ayat (1) dan (2) diatur mengenai jaminan kemerdekaan dan kebebasan hakim: (1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan Hakim Konstitusi

wajib menjaga kemandirian peradilan. (2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun jaminan

tersebut tentu tidak berarti, jika tanpa adanya upaya pengawasan. Apa yang dijelaskan di bab sebelumnya bahwa prinsip independensi dengan akuntabilitas merupakan dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Kebebasan dalam sebuah peradilan harus juga dibarengi dengan pertanggungjawaban yang benar dan terbuka. Tanpa adanya pertanggunjawaban maka kebebasan akan digunakan tanpa kontrol dan menjadi sewenang-wenang. Akibatnya esensi dari kebebasan untuk mencapai keadilan justru disalah artikan.

Maka Komisi Yudisial dengan perangkat pengawasan yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, melakukan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman dalam ranah etika. Pengawasan dalam ranah etika berarti mengawasi dalam konteks tata perilaku dan bukan kepada bidang teknis yudisial. Pengawasan ini berpatokan dengan kode etik atau pedoman perilaku hakim yang didalamnya terdapat berbagai macam ketentuan mengenai tata perilaku hakim. Pengawasan ini berjalan dengan pengawasan teknis yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memegang kewenangan tertinggi di bidang pengawasan atas peradilan dan tingkah laku hakim dalam menjalankan tugas di seluruh tingkatan peradilan. Aspek yang diawasi oleh Mahkamah Agung biasa disebut sebagai aspek teknis yudisial. Dalam melakukan kewenangannya, Mahkamah Agung dapat melakukan tindakan-tindakan seperti meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan, memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dianggap perlu, dan lain-lain. (Ahsin Thohari, 2004: 30) Jadi Komisi Yudisial mengawasi perilaku sedangkan Mahkamah Agung mengawasi substansi perkara.

Hal penting yang perlu diketahui bahwa Komisi Yudisial dalam menjalankan pengawasan perilaku tersebut memiliki batasan yang sangat jelas yaitu dijelaskan dalam pasal 20A ayat (1) poin d Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22 tentang Komisi Yudisial bahwa:

Komisi Yudisial wajib: menjaga kemandirian dan kebebasan Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dua hal penting yang tertulis disana adalah Komisi Yudisial harus

menjaga kemandirian dalam hal ini adalah jangan sampai Komisi Yudisial justru mempengaruhi kemandirian hakim dalam memeriksa perkara. Kewenangan untuk memeriksa perkara adalah milik hakim. Disitulah esensi dari kemandirian seorang hakim. Pengawasan yang justru mengganggu kemandirian hakim adalah berbahaya. Hakim misal jadi merasa tertekan, takut, atau merasa terlalu diawasi oleh Komisi Yudisial. Karena muncul intervensi berlebihan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap kebebasan hakim. Hal ini tentu tidak tepat apabila hakim memang memiliki prinsip political insularity atau kemandirian tanpa adanya intervensi darimanapaun. Secara pribadi dia tidak boleh terlalu diawasi dalam hal memeriksa perkara .

Kewenangan Komisi Yudisial tentu hanya sebatas perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya. Bahkan pengawasan tersebut berpatokan atas kode etik yang telah ditetapkan. Namun Komisi Yudisial tetap dapat melakukan pengawasan perilaku hakim ketika menjalankan proses persidangan. Pada waktu itulah dapat dilaksanakan proses pemantauan dalam persidangan. Pemantauan ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah persidangan yang fair (fair trial). Komisi Yudisal dapat mengawasi misalnya sikap hakim dalam mentaati tata tertib persidangan. Apakah dia mampu bekerja profesional atau tidak . Misalnya apakah hakim dapat menjalankan sidang sesuai waktu yang ditentukan. Tepat waktu dan disiplin sesuai ketentuan yang telah dibuat.

Hanya muncul problematika dengan adanya boleh tidaknya keputusan pengadilan yang dikeluarkan oleh hakim diperiksa oleh Komisi Yudisial. Apakah pemeriksaan putusan menjadi sebuah bentuk intevensi Komisi Yudisial terhadap kemandirian dan kebebasan hakim. Secara yuridis pengawasan Komisi Yudisial terhadap sebuah putusan yang sifatnya mengikat tentu tidak berpengaruh dan tidak dapat merubahn isinya. Putusan hakim hanya bisa dirubah dengan mekanisme hukum yang telah ditetapkan. Seperti banding, kasasi atau peninjauan kembali.

Selain itu terdapat asas res judicata pro veritatae habiteur yaitu putusan hakim dianggap benar. Apapun hasil keputusanya keputusan hakim dianggap benar dan tidak salah. Sehingga hasil tersebut tidak bisa dirubah-rubah lagi. Jika putusan hakim dapat dirubah tanpa mekanisme hukum yang jelas berarti sama saja putusan tidak memiliki kepastian hukum yang justru akan mencederai rasa keadilan. Terlebih putusan hakim adalah termasuk wilayah teknis yudisial. Sedangkan pengawsaan Komisi Yudisial hanya terbatas kepada perilaku dan etika hakim. Putusan bukan masuk wilayah perilaku tetapi wilayah yudisial. Wilayah ini merupakan tanggung jawab Mahkamah Agung selaku lembaga yang mengawasi teknis yudisial dari lembaga peradilan.

Sedangkan jika dicermati Komisi Yudisial tentu dapat melakukan pengawasan terhadap putusan hakim. Bukan terhadap substansi atau yudex factie dalam putusan tersebut. Tetapi lebih kepada perilaku atau sikap hakim dalam memeriksa dan memutus sebuah perkara apakah sudah profesional ataukah tidak. Jika hakim tidak mentaati prosedur persidangan dengan misalnya secara sengaja mengabaikan keterangan saksi atau mengabaikan bukti yang secara jelas bisa menjadi pertimbangan, maka Komisi Yudisial dapat menilai hal tersebut sebagai bentuk pelanggaran kode etik. Karena hakim dinilai tidak profesional dengan mengabaikan prinsip-prinsip dalam sebuah proses peradilan yang fair. Pedoman atau dasar Komisi Yudisial tentu dengan menilai hasil keputusan hakim tersebut atau sering disebut dengan istialah eksaminasi.

Sirajuddin menjelaskan bahwa proses eksaminasi terhadap putusan hakim bukanlah bertujuan untuk mencari dampak hukum (legal impact) tetapi lebih kepada dampak moral (moral impact) sebagai bentuk kontrol publik terhadap putusan. (Sirajuddin, 2004: 144) Artinya dampak secara moral adalah tujuanya agar para aparat, pihak, atau siapapun yang terlibat dalam sebuah persidangan mengetahui untuk tetap mentaati kepada prosedur-prosedur beracara yang telah ditetapkan.

Apa yang dilakukan Komisi Yudisial dengan mengawasi sebuah putusan akan menjadi langkah awal dicetuskannya istilah eksaminasi putusan dalam dunia peradilan di Indonesia. Untuk saat ini langkah Komisi Yudisial hanya sebatas mengawasi putusan tersebut dan menghasilkan keputusan berupa rekomendasi. Tentu saja rekomendasi itu akan berujung di Mahkamah Agung. Disitulah letak kelemahannya. Besar kemungkinan Mahkamah Agung akan menilai bahwa rekomendasi Komisi Yudisial ini akan tidak sesuai dan menjadi perbedaan pendapat. Karena hal tersebut diluar kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim.

Secara yuridis pun belum ada payung hukum untuk mengatur tentang upaya eksaminasi putusan. Sehingga Komisi Yudisial hanya sebatas menilai dengan paradigma yang berbeda dengan paradigma Mahkamah Agung. Tanpa adanya payung hukum yang jelas besar kemungkinan timbul predebatan berkepanjangan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung dalam menilai sebuah pelanggaran hakim di dalam putusan yang dikeluarkan di sidang.

Padahal menurut Ahsin Thohari dasar dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi. (Ahsin Thohari, 2004: 2) Artinya memang eksaminasi putusan menjadi sesuatu yang tepat untuk diterapkan dalam rangkan mengawasi hakim di lembaga peradilan Indonesia.

2. Implikasi Kultural

Pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial pada dasarnya untuk menjaga perilaku hakim agar menjalankan tugasnya dengan baik. Sebenarnya pengawasan ini tidak hanya dilakukan oleh Komisi Yudisial bersamaan dengan Mahkamah Agung saja. Tetapi juga melibatkan masyarakat. Menurut Ahsin Thohari dibentuknya Komisi Yudisial adalah melakukan monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. (Ahsin Thohari, 2007: 30) Hal ini menunjukan bahwa dibutuhkan berbagai macam elemen untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan pada umumnya dan hakim pada khususnya.

Sedangkan Komisi Yudisial dengan kewenanganya mengawasi hakim dengan berpatokan kode etik atau pedoman perilaku hakim yang ditetapkan bersama Mahkamah Agung. Melalui kode etik ini Komisi Yudisial berpegang kepada prinsip-prinsip umum kode etik hakim yaitu seperti yang disebutkan dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor:02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim. Terdapat

10 aturan yaitu : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegrasi Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Professional.

Dalam hal berperilaku adil ada beberapa ketentuan dalam kode etik yang menunjukkan bahwa hakim ketika menjalankan tugas dinasnya harus bersikap: menghormati asas praduga tak bersalah dan tanpa mengharapkan imbalan, wajib tidak memihak, menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan. Dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal, dsb. Hal ini mengindikasikan bahwa hakim dituntut untuk bersikap adil bahkan hingga hal- hal terkecil. Seperti menunjukan rasa tidak suka maupun tidak suka tidak diperbolehkan. Sehingga diharapkan hakim dapat memberikan rasa kepercayaan kepada pencari keadilan di pengadilan.

Kemudian dalam hal berperilaku Jujur disebutkan dalam kode etik bahwa hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela, Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu Kemudian dalam hal berperilaku Jujur disebutkan dalam kode etik bahwa hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela, Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu

Selain itu hakim juga dilarang untuk menerima atau menerima hadiah dari pihak-pihak yang berperkara. Di dalam kode etik diatur bahwa hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari: Advokat, penuntut orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili, pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.

Selain bersikap jujur hakim juga akan diawasi dalam sikap arif dan bijaksana. Kode etik menjelaskan bahwa hakim dilarang mengadili perkara dimana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut, dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum untuk menerima klien atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut, wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya, dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya, dilarang mempergunakan keterangan yang diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan wewenang dan tugas yudisialnya.

Dalam hubungan dengan publik atau umum hakim juga dituntut untuk tidak mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang dapat mempengaruhi, menghambat atau mengganggu berlangsungnya proses peradilan yang adil, independen, dan tidak memihak. Kemudian tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain dan hakim yang diberikan tugas resmi oleh Pengadilan dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur beracara di Pengadilan atau informasi lain yang tidak berhubungan dengan substansi perkara dari suatu perkara.

Dalam hal berperilaku rendah hati, hakim dituntut untuk berjiwa pengabdian kepada negara. Hakim harus melaksananakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Popularitas hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun juga.

Integritas merupakan salah satu prinsip yang sangat penting. Hakim dituntut untuk memiliki sikap integritas yang tinggi. Baik ketika berhubungan dengan urusan keluarganya sendiri. Kode etik mengatur bahwa hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, Hakim, Anggota lainnya, Penuntut, Advokat dan Panitera yang menangani perkara tersebut dan juga hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, dan Advokat yang menangani perkara tersebut.

Kemudian dalam konteks pekerjaanya, Hakim dilarang untuk mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih Kemudian dalam konteks pekerjaanya, Hakim dilarang untuk mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih

Selain integritas prinsip yang cukup penting adalah profesionalitas. Karena dengan adanya prinsip ini dalam diri hakim, perkara-perkara di persidangan dapat diputuskan dengan baik. Dalam penerapanya seperti dicantumkan dalam kode etik yaitu: Pertama, hakim harus mengambil langkah- langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik, Kedua , hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan, Ketiga, hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya diatas kegiatan yang lain secara profesional. Keempat, hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.

Ada beberapa ketentuan penting dalam kode etik tentang pembatasan pekerjaan bagi seorang hakim. Dalam kode etik diatur bahwa hakim dilarang menjadi Advokat, atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara. hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang Advokat, sebagai arbiter atau mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam Ada beberapa ketentuan penting dalam kode etik tentang pembatasan pekerjaan bagi seorang hakim. Dalam kode etik diatur bahwa hakim dilarang menjadi Advokat, atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara. hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang Advokat, sebagai arbiter atau mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam

Selain itu untuk bertindak independen, hakim seperti yang dicantumkan dalam kode etik harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun, hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian hakim dan badan peradilan dan hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan.

Jadi berdasarkan beberapa prinsip yang tercantum dalam kode etik inilah yang nantinya menjadi dasar acuan bagi Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan perilaku hakim. Memang secara konseptual pedoman atau kode etik sudah komperhensif dan menyeluruh. Jika hakim dengan kemauanya sendiri mau menjalankan itu semua bisa dikatakan lembaga peradilan kita adalah lembaga yang independen.

Jika dicermati pengawasan hakim dalam konteks perilaku yang dilakukan Komisi Yudisial ini akan mendorong agar hakim bertindak dengan baik dalam menyelesaikan perkara di pengadilan. Pengawasan justru akan mendorong hakim untuk bersikap lebih imparsial dan independen. Semakin diwasai seharusnya hakim akan bersikap lebih independen dalam menyelesaikan tugasnya. Sikap- sikap seperti profesional, adil, jujur, dan bersikap mandiri adalah indikasi bahwa hakim tersebut bersikap independen dalam peradilan.