Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Anak Berdasarkan Substansi Hukum

1. Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Anak Berdasarkan Substansi Hukum

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sudah baik dan sistematis dalam mengatur mengenai masalah perlindungan anak. Undang-undang ini telah mengatur mengenai hak-hak anak dan kewajiban orangtua, pemerintah, dan masyarakat dalam melindungi hak-hak anak. Dalam kaitannya dengan perlindungan pekerja rumah tangga anak, undang-undang ini telah mengatur sanksi yang tegas terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap pekerja anak (baik kekerasan fisik maupun seksual) dan pelaku tindak pidana eksploitasi anak (baik eksploitasi ekonomi maupun seksual).

Apabila dilihat dari substansi hukum, negara Indonesia telah mengatur perlindungan terhadap pekerja anak dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diimplementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kedua pasal ini kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Apabila dilihat dari substansi hukum, negara Indonesia telah mengatur perlindungan terhadap pekerja anak dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diimplementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kedua pasal ini kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Kemudian Pada tahun 2003, pemerintah Indonesia meloloskan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan guna mewujudkan perlindungan baik kepada majikan/pengusaha maupun pekerja. Undang-Undang ini mengandung ketetapan-ketetapan yang mengatur hak-hak pokok para pekerja termasuk upah minimum dan pengupahan yang sama, pembatasan jam kerja, cuti, dan hak untuk bergabung dengan serikat buruh.

Undang-undang ini juga menyertakan ketetapan yang menyinggung kebutuhan khusus perempuan, termasuk cuti melahirkan dan regulasi tentang pekerja anak. Undang-Undang ini dengan jelas membahas pengaturan bagi pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan industrial, serta memperinci sanksi-sanksi pidana dan administratif bagi pelanggaran terhadap ketetapan-ketetapan yang ada dalam Undang-Undang ini. Akan tetapi, meskipun besarnya niat yang dicantumkan di mukadimahnya, hak-hak yang dituliskan dalam Undang-Undang ini tidaklah berlaku luas bagi semua pekerja di Indonesia.

Bila dikaitkan dengan teori Lawrence M. Friedman tentang teori efektifitas dari implementasi dari suatu produk hukum, faktor substansi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sudah baik karena telah mengatur sanksi yang tegas terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap pekerja anak (baik kekerasan fisik maupun seksual) dan pelaku tindak pidana Bila dikaitkan dengan teori Lawrence M. Friedman tentang teori efektifitas dari implementasi dari suatu produk hukum, faktor substansi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sudah baik karena telah mengatur sanksi yang tegas terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap pekerja anak (baik kekerasan fisik maupun seksual) dan pelaku tindak pidana

Undang-Undang Ketenagakerjaan membuat perbedaan antara dua badan yang mempekerjakan orang, yaitu “pemberi kerja” dan “pengusaha”. Pemberi kerja atau biasa disebut majikan dijabarkan sebagai orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha didefinisikan sebagai orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang mengoperasikan perusahaan milik sendiri (atau) perusahaan bukan milik sendiri. Selanjutnya perusahaan didefinisikan sebagai setiap bentuk usaha berupa usaha-usaha sosial atau usaha-usaha yang mempunyai pengurus. Semua perlindungan hak-hak pokok pekerja yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya berlaku bagi para pekerja untuk para pengusaha dan pada pekerjaan di sektor formal karena Undang- Undang ini tidak mengatur pekerjaan di sektor informal.

Secara jelas, Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak mengkategorikan pembantu rumah tangga sebagai pekerja/buruh. Padahal, pembantu rumah tangga lebih didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Akibatnya pembantu rumah tangga perempuan dan dibiarkan tanpa perlindungan hukum atas hak- hak kerja mereka.

Memang, kondisi kerja yang wajar akan diterima oleh pembantu rumah tangga jika kebetulan majikan yang ditemui memperlakukannya dengan baik. Namun sialnya, ada saja majikan yang tega mempekerjakan anak untuk pekerjaan orang dewasa karena upahnya sedikit dan anak cenderung tidak berani melawan sehingga anak dieksploitasi bahkan terkadang dianiaya apabila melawan. Sedangkan ketika akan memperkarakan kasus pembantu rumah tangga, yang bermasalah pun akan mengalami kesulitan karena tidak adanya acuan dalam memutuskan perkara. Sehingga tak jarang dari waktu ke waktu kasus pembantu rumah tangga hanya berhenti di tengah jalan, tanpa ada Memang, kondisi kerja yang wajar akan diterima oleh pembantu rumah tangga jika kebetulan majikan yang ditemui memperlakukannya dengan baik. Namun sialnya, ada saja majikan yang tega mempekerjakan anak untuk pekerjaan orang dewasa karena upahnya sedikit dan anak cenderung tidak berani melawan sehingga anak dieksploitasi bahkan terkadang dianiaya apabila melawan. Sedangkan ketika akan memperkarakan kasus pembantu rumah tangga, yang bermasalah pun akan mengalami kesulitan karena tidak adanya acuan dalam memutuskan perkara. Sehingga tak jarang dari waktu ke waktu kasus pembantu rumah tangga hanya berhenti di tengah jalan, tanpa ada

Undang-Undang Ketenagakerjaan juga tidak mengatur perlindungan hukum bagi pekerjaan di sektor informal. Padahal pekerja yang bekerja di sektor informal kebanyakan berasal dari anak jalanan, seperti tukang semir sepatu, pengamen, atau tukang parkir, berada dalam kondisi yang rentan dengan eksploitasi ekonomi, fisik maupun psikis. Tak terkecuali bagi pembantu rumah tangga anak.

Sebenarnya berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, pembantu rumah tangga anak dapat dikategorikan sebagai pekerja yang disewa oleh seseorang atau oleh sebuah perusahaan karena pada kenyataannnya pembantu rumah tangga anak adalah pekerja. Mereka memberikan kontribusi yang luar biasa besar bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Akan tetapi di atas dokumen hukum, pembantu rumah tangga dan pekerja di sektor informal tidak diakui oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai bentuk pekerjaan yang layak diberikan perlindungan oleh peraturan hukum yang ada. Hal inilah yang telah membuka peluang dan potensi bagi bentuk-bentuk eksploitasi ekonomi, fisik, maupun psikis terhadap pekerja anak. Implikasinya, banyak kekerasan yang terjadi pada pekerja di sektor informal dan pembantu rumah tangga anak, hanya dipandang sebagai tindakan kejahatan minor bahkan dinilai sebagai urusan domestik yang privat.

Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, pembantu rumah tangga adalah pekerja yang memenuhi standar dan kriteria sebagai pekerja dan oleh karena itu harus mendapatkan pengakuan sebagai pekerja. Istilah pekerja formal dan informal dapat menjebak dan mengaburkan hak-hak anak sebagai Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, pembantu rumah tangga adalah pekerja yang memenuhi standar dan kriteria sebagai pekerja dan oleh karena itu harus mendapatkan pengakuan sebagai pekerja. Istilah pekerja formal dan informal dapat menjebak dan mengaburkan hak-hak anak sebagai

Undang-Undang Ketenagakerjaan memang memuat sejumlah kecil ketetapan yang berkaitan dengan kewajiban para pemberi kerja, namun ketetapan itu semua tidak berhubungan dengan hak-hak pekerja mana pun yang mereka pekerjakan. Hanya satu sub-bab dari sebuah ketetapan menjelaskan kewajiban seorang pemberi kerja terhadap yang diberi kerja, dengan menentukan bahwa dalam mempekerjakan orang, para majikan/pemberi kerja wajib memberikan perlindungan bagi kesejahteraan, keamanan dan kesehatan mereka, baik mental maupun fisik.

Pelanggaran atas ketetapan ini bisa dikenai hukuman sanksi pidana berupa kurungan minimum satu bulan dan maksimum empat tahun dan/atau hukuman denda minimum Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan maksimum Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Namun, tanpa adanya patokan atau hak-hak yang spesifik, konsep yang samar-samar ini bebas diinterpretasikan bermacam-macam dan menunjukkan pemisahan besar dan diskriminatif dari serangkaian luas jaminan khusus yang berlaku untuk para pekerja untuk para pengusaha di pasal-pasal lain dalam Undang-Undang ini.

Terlebih dari itu, dalam praktiknya ketetapan ini tidak banyak berarti bagi kenyataan sehari-hari para pembantu rumah tangga dan pekerja di sektor inromal di Indonesia. Pembatasan dan ketidakjelasan ini sudah pasti tidak memberikan dasar hukum kepada para para pekerja di sektor informal sekaligus pembantu rumah tangga anak untuk menuntut upah minimum, peraturan mengenai jam kerja yang layak, atau hak-hak lain yang dijamin untuk para pekerja lain di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Terlebih dari itu, dalam praktiknya ketetapan ini tidak banyak berarti bagi kenyataan sehari-hari para pembantu rumah tangga dan pekerja di sektor inromal di Indonesia. Pembatasan dan ketidakjelasan ini sudah pasti tidak memberikan dasar hukum kepada para para pekerja di sektor informal sekaligus pembantu rumah tangga anak untuk menuntut upah minimum, peraturan mengenai jam kerja yang layak, atau hak-hak lain yang dijamin untuk para pekerja lain di Indonesia berdasarkan Undang-Undang

Celakanya, anak-anak lebih banyak bekerja di sektor informal dibanding sektor formal. Anak-anak ini bisa saja bekerja di industri besar, tetapi jumlahnya tidak diketahui karena dokumen yang membuktikan usia mereka mudah dipalsukan. Pada umumnya, di sektor informal, anak-anak menjadi tukang koran, tukang semir, tukang parkir, pembantu rumah tangga, bahkan bekerja di tempat-tempat berbahaya seperti menjadi pemulung dan tukang sampah, atau di jermal ikan dan lepas pantai.

Di kota-kota besar hidup perkumpulan anak jalanan. Sebagian besar dari mereka menjadi pengamen yang beroperasi di persimpangan jalan atau berpindah dari satu angkutan umum ke angkutan umum lainnya. Bahkan terkadang mereka menjadikan pengemis sebagai sebuah profesi.Tidak tersedianya pengaturan tentang perjanjian kerja di sektor informal menyebabkan pemerintah kurang bisa menjalankan fungsi perlindungan dengan baik. Terkadang perusahaan atau orang yang mempekerjakan anak tidak menetapkan batasan usia dan perjanjian kerja terkait upah, waktu kerja dan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja sehingga mereka dapat leluasa mengekploitasi anak. Apalagi jika terjadi penganiayaan atau kekerasan, anak dilarang memberitahukan kepada orang lain dengan ancaman tertentu. Seperti yang terjadi pada pembantu rumah tangga anak yang terpaksa kehilangan waktu bermain, belajar dan menjalani kehidupan kanak-kanak dengan keharusannya bekerja dalam waktu yang panjang dan upah yang sedikit.

Permasalahan lainnya, adanya kerancuan pada ketentuan usia anak

Ketentuan ini tampak tidak beralasan karena secara tidak langsung melarang anak yang berusia di atas 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan.

Kemudian terjadi ketidaksinkronan antara ketentuan Pasal 76 dengan Pasal 68 ayat (2) huruf c dan d. Pasal 76 melarang pengusaha mempekerjakan anak perempuan di bawah usia 18 tahun antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Sedangkan pada Pasal 68 ayat (2) huruf c dan d disyaratkan bagi anak yang melakukan pekerjaan ringan diperbolehkan bekerja maksimal 3 jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.

Pasal 76 secara tersurat menggambarkan bahwa seorang anak perempuan di bawah usia 18 tahun diperbolehkan bekerja pada jam setelah pukul 07.00 pagi hingga sebelum pukul 11.00 malam. Hal ini sama saja memperbolehkan anak bekerja pada pagi hari sejak pukul 07.00 hingga malam hari sampai pukul 11.00. Padahal ketentuan sebelumnya menyatakan bahwa anak hanya diperbolehkan bekerja pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah. Pertanyaan lain juga muncul ketika hanya pekerja anak perempuan saja yang diatur demikian, sedangkan pekerja anak laki-laki tidak. Uraian-uraian tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja anak.