Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Anak Berdasarkan Struktur Hukum

2. Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Anak Berdasarkan Struktur Hukum

Secara struktural, peran negara dan pemerintah bukan hanya cukup dengan membuat peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih dari itu adalah melaksanakan dan mewujudkan peraturan yang telah dibuat (Jurnal, 2010 : 129). Sebagai negara hukum (rechtstaat) yang menjamin keadilan kepada setiap warganya, pemerintah dituntut melindungi segenap bangsa sebagai asas persatuan seluruh bangsa Indonesia dan asas perlindungan tanpa diskriminasi. Artinya negara harus turut campur dan bertanggung jawab dalam Secara struktural, peran negara dan pemerintah bukan hanya cukup dengan membuat peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih dari itu adalah melaksanakan dan mewujudkan peraturan yang telah dibuat (Jurnal, 2010 : 129). Sebagai negara hukum (rechtstaat) yang menjamin keadilan kepada setiap warganya, pemerintah dituntut melindungi segenap bangsa sebagai asas persatuan seluruh bangsa Indonesia dan asas perlindungan tanpa diskriminasi. Artinya negara harus turut campur dan bertanggung jawab dalam

Salah satu bentuk campur tangan negara adalah di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga negaranya. Setiap warga negaranya diharapkan mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya dengan menerima pengupahan yang adil tanpa diskriminasi dalam pelaksanaan hubungan kerja. Bentuk pekerjaan yang dimaksud bukan merupakan penindasan dan eksploitasi baik ekonomi, fisik maupun psikis.

Oleh karena itu, peran negara melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Sosial, Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan departemen terkait lainnya sangat penting, termasuk pemerintah daerah. Demikian juga, lembaga perlindungan anak, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dituntut perannya secara intensif dalam menanggulangi masalah anak yang dipekerjakan pada bentuk pekerjaan terburuk.

Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dalam Pasal 8 Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu, menyatakan bahwa Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi berwenang:

a. Memasuki tempat kerja.

b. Meminta keterangan baik lisan maupun tertulis kepada pengusaha atau pengurus, dan atau tenaga kerja tanpa dihadiri oleh pihak ketiga.

c. Menjaga, membantu dan memerintahkan pengusaha atau pengurus dan atau tenaga kerja agar mentaati peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

d. Menyelidiki keadaan ketenagakerjaan yang belum jelas dan atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

e. Memberikan peringatan atau teguran terhadap penyimpangan peraturan- peraturan yang telah ditetapkan.

kerja atau pihak-pihak yang dipanggil tidak memenuhi panggilan.

g. Meminta pengusaha atau pengurus seorang pengantar untuk mendampingi dan melakukan pemeriksaan.

Pasal 12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu, menyatakan bahwa Pegawai pengawas ketenagakerjaan mempunyai tugas dan kewajiban:

a. Melaksanakan pemeriksaan pertama atau kontrol di perusahaan atau tempat kerja

b. Memberikan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan kepada tenaga kerja dan pengusaha atau pengurus tentang peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh yang perlu dirahasiakan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

d. Melaporkan semua kegiatan yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban.

e. Mencatat hasil pemeriksaan dalam buku Akte Pengawas Ketenagakerjaan dan disimpan oleh pengusaha dan pengurus.

Secara teknis pola penindakan atau penegakan hukum yang harus dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan melalui 3 (tiga) macam cara penindakan yang mengarah kepada pelaksanaan hukum melalui tahapan:

a. Penindakan yang bersifat preventif edukatif, yaitu berupa pemeriksaan, pengujian, bimbingan teknis atau konsultasi setelah mendapat informasi atau pengaduan ataupun pelaksanaan rutin sesuai dengan rencana.

b. Penindakan yang bersifat represif non yustisial, yaitu upaya pemaksaan dalam bentuk surat pernyataan di luar pengadilan apabila pelaku tidak melakukan perbaikan.

c. Penindakan yang bersifat represif yustisial, yaitu pelaporan kepada pihak berwajib atau aparat penegak hukum apabila kasus tersebut bersifat memaksa untuk segera diselesaikan.

pekerja anak pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, baik pemerintah, lembaga non pemerintah maupun ormas yang peduli anak disarankan dalam upaya penghapusan pekerja anak pada BPTA pemerintah harus berperan sebagai:

a. Regulator

1) Menetapkan peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, strategi, prioritas penanganan pekerja anak pada BPTA.

2) Memobilisasi sumber daya dan sumber dana secara bersamaan dalam upaya pengahpusan BPTA.

3) Mengarusutamakan kebijakan pekerja anak dalam program kemiskinan dan wajib belajar 9 tahun.

b. Fasilitator

1) Melaksanakan program pengahapusan BPTA melalui sektor pendidikan, sosial, ketenagakerjaan dan penegakan hukum.

2) Mengefektifkan koordinasi di semua tingkatan (pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota).

3) Memfasilitasi terbentuknya Komite Aksi dan Rencana Aksi PBPTA.

4) Melakukan sosialisasi penghapusan BPTA kepada para pemangku kepentingan.

5) Penguatan kapasitas kelembagaan dan pemangku kepentingan.

c. Motivator Memberikan dorongan (motivasi) kepada semua pihak dan pemangku kepentingan agar berperan aktif dalam upaya penghapusan BPTA dan program perlindungan anak sebagai pemenuhan hak anak.

d. Penegakan Hukum Memaksimalkan sosialisasi peraturan perundangan terkait dengan penghapusan BPTA, melakukan pengawasan, melakukan penindakan bagi yang melakukan pelanggaran ketenagakerjaan menurut tingkatan serta pengembangan sitem pengawasan.

yang kedudukannya setingkat dengan komisi Negara yang dibentuk berdasarkan amanat Keppres Nomor 77 Tahun 2003 Pasal 74 tentang Perlindungan Anak (Winika Indrasari, 2008 : 41). Lembaga ini dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, guna meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak.

Tugas KPAI adalah melakukan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, serta memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak.

Di sisi lain, struktur hukum tak dapat menanggapi permasalahan sesuai dengan harapan. Mekanisme hukum dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak sering dibuat berbelit-belit, cenderung lama dan membutuhkan biaya besar sehingga kasus tersebut jarang ada yang terselesaikan. Padahal kasus pelanggaran terhadap hak anak biasanya lebih banyak terjadi pada anak dari kalangan tidak mampu.

“Sosialisasi Undang Undang Perlindungan Anak dari pemerintah masih sangat kurang. Pemerintah terkesan setengah hati karena, saya menilai, perhatiannya masih kurang dalam menyikapi kekerasan yang terjadi pada anak, khususnya kekerasan seksual yang menyangkut eksploitasi seks anak di bawah umur", kata Sekjen Lembaga Bantuan Hukum Perlindungan Anak (LBH PA) Adwin T dalam percakapan dengan Pelita, di Jakarta, kemarin. Menurutnya, penyebabnya tak lain dari banyaknya pejabat yang turut menjadi konsumen atau pengguna jasa pekerja seks anak. Bila UUPA benar-benar diterapkan hal itu tentu saja akan merugikan mereka dan mengancam kedudukan mereka. Mengingat kasus kekerasan pada anak biasanya lebih banyak terjadi pada anak dari kalangan bawah, dia mencontohkan, pihak kepolisian umumnya akan malas menanganinya. Karenanya, menurut Adwin, kasus-kasus anak itu tidak bisa dijadikan lahan memperoleh uang. Sebaliknya, kalau pelaku kekerasan berasal dari golongan kaya, yang mampu membayar polisi, jaksa dan hakim, pelaku akan dibebaskan dengan mudah (Banyak Kendala Penerapan UU Perlindungan Anak. http://www.pelita.or.id/baca.php?id=28551, diakses pada 17 Juni 2011

Hingga terdapat pernyataan bahwa hukum dapat dikalahkan dengan uang. Faktor lain yang menjadi hambatan penegakan Undang-Undang Perlindungan Anak adalah minimnya sarana dan prasarana untuk memproses kasus-kasus yang melibatkan anak. Selain itu, kelemahan juga terletak pada sumber daya manusia yang bertugas menangani kasus anak.

Ruang Perlakuan Khusus, misalnya, yang seharusnya disediakan di setiap kantor polisi, baru terdapat sampai tingkat Polres, belum ke Polsek-Polsek. Sementara di tempat-tempat yang belum ada RPK, anak biasanya akan dicampur dengan tahanan dewasa padahal hal itu tidak baik sebab memungkinkan terjadinya kekerasan yang dilakukan tahanan dewasa terhadap anak pelaku kekerasan….Dalam hal ini para polisi wanita (polwan), di mana jumlahnya masih sangat sedikit. Selain itu, pemahaman para aparat tentang hukum yang menyangkut anak pun tegolong rendah. Jaksa, misalnya, masih jarang yang menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menuntut para pelaku kekerasan pada anak. Kondisi krisis seperti ini menuntut budaya hukum yang baik untuk memicu keefektivan peraturan perundang- undangan (Banyak Kendala Penerapan UU Perlindungan Anak. http://www.pelita.or.id/baca.php?id=28551, diakses pada 17 Juni 2011 pukul 18.46 WIB).