Dalihan Natolu Sebagai Mediator Bagi Penyelesaian Permasalahan Dalam Perkawinan Adat Batak

para pihak betapa pentingnya kerukunan hidup dan kedamaian dalam hidup kekeluargaan. Pemimpin pertemuan juga harus mengupayakan agar seluruh pihak pada akhirnya berdamai dan pembagian waris dilakukan secara adil dan seluruh pihak baik anak laki maupun anak perempuan si pewaris dapat menerima bagian waris sesuai bagiannya masing-masing dan menikmati waris yang ditinggalkan oleh si pewaris, serta untuk selanjutnya dapat hidup dalam suasana perdamaian dan kekeluargaan yang erat sebagaimana sebelumnya.

B. Dalihan Natolu Sebagai Mediator Bagi Penyelesaian Permasalahan Dalam Perkawinan Adat Batak

1. Peranaan Lembaga Dalihan Natolu dalam Penyelesaian Permasalahan Perkawinan Lembaga Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki peran di dalam tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba. Sehingga di dalam penyelesaian sengketa altenatif, lembaga Dalihan Natolu ini berperan sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian sengketa alternative itu sendiri bila terjadi konflik dalam anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan Dalihan Natolu telah mengawali penghayatan dan pengamalan kehidupan berdemokrasi di kehidupan anggota masyarakatnya, walaupun masih dalam sifat etnis terbatas ethnic scope tetapi otentik authenticity. Hal tersebut dipedomani mereka lewat pepatah “Hata torop sabungan ni hata, hata Universitas Sumatera Utara mamunjung hata lalaen” yang artinya suara terbanyak mayoritas adalah induk keputusan, suara menyendiri adalah suara orang yang tidak waras tidak berakal sehat. 25 Lembaga Dalihan Natolu berperan sebagai unsur dan motor penggerak penyelesaian sengketa alternative dalam penyelesaian sengketa masyarakat Batak Toba khususnya di Kota Balige dimana penelitian ini dilakukan karena unsur Dalihan Natolu Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru inilah yang bergerak melalui proses penyelesaian sengketa alternative, dimana unsur Dalihan Natolu baik Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru dari pihak yang bersengketa tersebut 26 25 P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, Jakarta, : Kerabat, 2007, h 207 yang beraktifitas dan secara langsung bekerja dalam hal melakukan pertemuan demi pertemuan untuk bermusyawarah untuk membicarakan permasalahan atau sengketa yang dialami, hingga bila unsur Dalihan Natolu ini tidak ada, maka penyelesaian permasalahan dalam masyarakat Batak Toba juga tidak akan berjalan. Penyelesaian permasalahan perkawinan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba juga tidak akan dapat berjalan apabila lembaga Dalihan Natolu tidak ada, disebabkan karena unsur lembaga Dalihan Natolu dari pihak yang bersengketa tersebut yang memiliki inisiatif dalam hal mencari tahu sengketa yang sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi, lalu mengajak berkumpul, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang sedang mereka alami tersebut. Universitas Sumatera Utara Dapat dikatakan bahwa hubungan antara Dalihan Natolu terhadap Penyelesaian permasalahan perkawinan pada masyarakat Batak Toba khususnya masyarakat Batak Toba di kota Balige dimana penelitian ini dilakukan, sangat erat karena lembaga Dalihan Natolu tersebut memiliki peran sebagai unsur penggerak utama dari terwujudnya praktek proses penyelesaian sengketa alternative tersebut. Untuk itu Lembaga Dalihan Natolu pada masyarakat Batak Toba digunakan sebagai Lembaga Mediasi untuk penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang berkonflik. Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai Mediator atau penengah yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, membantu pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian solusi yang diterima oleh kedua belah pihak. Mediasi sulit diberi pengertian secara harafiah karena pada dasarnya pengertian mediasi sering digunakan oleh para pemakainya dengan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Tidak ada aturan yang jelas perihal penggunaan istilah Mediasi tersebut, semuanya tergantung pada pihak yang bersangkutan. Proses Mediasi a. Tahap Pra Mediasi Dalam tahap pra mediasi ini, mediator dan para pihak diwajibkan untuk mengikuti seluruh prosedur penyelesaian sengketa, sebagaimana diatur dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor : 022003 Universitas Sumatera Utara b. Tahap Mediasi Dalam tahap ini mediator dan para pihak dapat duduk bersama-sama dalam satu meja untuk bermufakat mencari jalan keluar terbaik atas sengketa yang mereka alami. Mereka memiliki kebebasan penuh untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang permasalahan atau sengketa yang mereka alami. Disini mediator harus aktif dan bijaksana dalam mencari jalan keluar terbaik yang netral terhadap kedua belah pihak sehingga para pihak yang bersengketa merasa nyaman atas kedudukan mereka dan tidak merasa dihakimi secara sepihak bila mediator menyuduutkan mereka. Setelah kesepakatan oleh para pihak berhasil diwujudkan, maka hasil mediasi tersebut kemudian harus dituangkan dalam bengtuk tertulis, menjadi sebuah perjanjian penyelesaian sengketa yang isinya wajib dipatuhi ole para pihak, karena demikianmlah dinhyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 022003 pasal 11 ayat 1 dan 2 yang isinya: “Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Perlu diketahui bahwa proses mediasi dapat dipakai dengan bebas oleh siapapun yang bersengketa dan apapun jenis sengketa. Karena yang sangat penting dalam proses mediasi adalah adanya unsur kehadiran pihak ketiga yang berfungsi sebagai mediator atau penengah yang turut masuk ke dalam sengketa mereka, turut duduk bersama membicarakan penyelesaian sengketa dan akan bersama-sama mencari upaya penyelesaian sengketa secara netral, adil dan mengupayakan perdamaian bagi para pihak. Universitas Sumatera Utara Sebagai contoh permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan antara lain: 1. Perselisihan antara Suami dengan Isteri Langkah pertama yang diambil dalam proses penyelesaian sengketa adalah salah satu pihak beserta dongan tubunya biasanya pihak yang dirugikan mendatangi pihak yang lainnya, duduk bersama dan bermusyawarah. Langkah berikutnya bila proses di atas tidak berhasil, dapat diikutsertakan mediator yang dipilih dari KetuaPengetua adat, Raja Hata atau Ketua Kelompok masyarakat yang disegani karena wibawa dalam perilaku keseharian hingga dinilai cakap dan mampu menyelesaikan sengketa. Jalan keluar terbaik yang dilakukan Mediator menasehati pihak yang bersalah dahulu baik suamiisteri secara intern atau pribadi dan tertutup mediator dan pihak bersangkutan lalu bermufakat kembali kedua belah pihak, menasehati agar berdamai dan menghindar dari perceraian. Si isteri lalu dikembalikan pada suaminya tersebut untuk bersatu kembali pada suaminya dan diharapkan setelah perdamaian dilakukan mereka dapat memperbaiki kembali hubungan yang sempat rusak dalam rumah tangga tersebut. Jika isteri berselingkuh dengan laki-laki lain atau suami merasa bahwa isterinya tidak lagi setia kepadanya hingga timbul perselisihan maka selama persoalannya masih menggantung isteri bisa dikembalikan kepada Bapaknya pinarhundul tu amana dan ia bisa menjadi perempuan yang diperselisihkan boru panggulutan, antara suami dan pihak keluarga isteri sebagai mertua laki- laki, dan sepanjang perselisihan masih berlangsung dan mereka masih berunding atau bermufakat dengan mediator sebagai penengah, maka isteri berada di tempat Universitas Sumatera Utara bapaknya untuk dinasehati oleh keluarga si isteri tersebut. Jika isteri diperlakukan kasar oleh suaminya, maka parboru akan menuntut penyelesaian marlulu juga dengan bantuan mediator sebagai penengah. 27 2. Permasalahan di Bidang Warisan Hal tersebut pasti akan menimbulkan aib bagi mereka, dan dalam jangka panjangnya berdampak besar pula pada psikologis isteri, anak-anak hasil pernikahan mereka jika ada serta orang tua isteri sendiri sebagai orang terdekat si isteri tersebut. Karena dalam lingkungan pergaulan mereka hal perceraian tersebut pasti akan dibicarakan khalayak dan akan terdengar oleh mereka baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan trauma psikologis tersendiri bagi mereka semua. Apabila terjadi permasalahan harta warisan maka biasanya semua anggota keluarga pewaris almarhum berkumpul atau dikumpulkan oleh salah seorang anggota waris yang berwibawa bertempat di rumah pewaris. Pertemuan dapat dipimpin oleh anak tertua lelaki atau oleh paman saudara ayah atau saudara ibu menurut susunan kekerabatan bersangkutan ataupun oleh juru bicara yang ditunjuk dan disaetujui bersama para anggota keluarga yang hadir. 27 Dalam hal ini, pertemuan harus dipimpin oleh Mediator terutama ke arah perdamaian atau persatuan kembali suami isteri tersebut. Sebisa mungkin perceraian harus dihindarkan. Karena dalam hal terjadinya perceraian maka yang merasa paling dipermalukan adalah keluarga besar si isteri sebagai Hula- hula di pergaulan masyarakat. Universitas Sumatera Utara Hal yang sering terjadi dalam hal sengketa waris adalah timbulnya sengketa antara janda pewaris, terhadap keluarga besar atau kerabat pewaris dalam hal ini ,mertua dan para ipar yang merasa bahwa keluarga besar atau kerabat si pewaris yang paling berhak terhadap harta perkawinan yang dihasilkan selama perkawinan antara pewaris dan isterinya, daripada si janda pewaris sendiri, aplagi bila selama perkawinan mereka si janda tidak memberikan keturunan bagi pewaris yang telah meninggal tersebut. Padahal kita ketahui bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan disebut sebagai harta bersama karena si janda turut andil dalam perolehan harta, walau ia tidak turut mencari, namun peran sertanya dalam perolehan harta bersama selama perkawinan tidak perlu dipertanyakan hingga janda pewaris yang paling berhak terhadap harta peninggalan tersebut daripada keluarga besar atau kerabat si pewaris sendiri. Hal tersebut didasarkan pada dasar hukum Undang-undang Perkawinan dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Undang- undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 jo. Jurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 100 tahun 1967, yang isinya sebagai berikut: a. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 passal 35 ayat 1: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” b. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 KSip1967: “Tidak dipersoalkan siapapun yang menghasilkan harta tersebut, selama harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya” Universitas Sumatera Utara Permasalahan lainnya adalah timbulnya perebutan waris diantara keturunan pewaris terhadap harta yang ditinggalkan. Dalam tradisi adat Batak, dikampung halaman, tiap anak laki-laki yang menikah, akan didirikan di tanah adat mereka rumah tempat tinggal untk anak yang menikah tersebut agar anak tersebut mandiri dipajae, demikian seterusnya hal tersebut terjadi sejak anak pertama siakkangan menikah hingga pada adik-adiknya. Namun, untuk anak laki-laki paling kecil siampudan orang tua mereka tidak lagi mendirikan rumah untuk tempat tinggalnya karena rumah tempat tinggal mereka selama inilah yang kemudian diberikan untuk bagiannya panjaeannya dan dirumah tersebutlah kemudian ia tinggal, bersama dengan orang tuanya, sebelum orang tuanya meninggal, dan setelah orang tuanya meninggal maka rumah tersebut kemudian menjadi miliknya secara pribadi sebagaimana rumah lain yang didirikan orang tua mereka terhadap abang-abangnya tersebut sejak rumah tersebut didirikan orang tua untuk mereka masing-masing. Tradisi atau adat ini tetap diakui masyarakat Batak Toba hingga saat ini bahkan jika mereka kemudian merantau ke daerah lain yang bukan lagi berstatus tanah adat sebagaimana dikampung halaman. Hal tersebut kemudian memicu pertengkaran anak-anak pewaris. Dimana masing-masing merasa paling berhak atas harta peninggalan pewaris yang didirikan bukan lagi di tanah adat mereka, tidak lagi bernilai adat namun telah bernilai ekonomis, hingga harta tersebut harus dibagi sesuai bagian masing-masing bukun untuk dikuasai secara individu. Hal lainnya adalah sengketa antara anak perempuan si pewaris terhadap saudara laki- lakinya serta keluarga besar atau kerabat si pewaris dalam hal ini adalah nenek Universitas Sumatera Utara maupun pamannya. Hal ini sering terjadi pada masyarakat batak dimanapun, karena system kekeluargaan masyarakat batak yang patrilineal menutup celah atau kemungkinan untuk anak perempuan memperoleh bagian hak waris dari orang tuanya. Hal tersebut dapat terjadi karena system kekeluargaan masyarakat Batak Toba yang patrilineal yang dirasa merugikan keberadaan perempuan baik si janda pewaris maupun anak perempuannya. Hal lainnya adalah bahwa budaya hukum dan sub budaya hukum masyarakat batak toba yang tidak member jaminan keadilan kepada perempuan. 28 28 Putusan Mahkamah Agung selanjutnya No. 415 KSip?1970, tanggal 30 Juni 1970, No. 1589 KSip1974, tanggal 9 Pebruari 1974 dan No. 459 KSip1982 tanggal 15 Agustus 1982 yang menyatakan bahwa anak perempuan berhak mewaris atas harta peninggalan ayahnya. Padahal sekarang ini telah ada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI No.1589 KSip1961, tanggal 1 Nopember 1961 yang isinya : bahwa anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan. Sehingga dalam peristiwa ini, diadakan pertemuan para ahli waris dongan tubu, boru, hula-hula beserta pengetua adat yang cukup disegani dalam masyarakat mereka untuk memimpin pertemuan. Pemimpin berfungsi sebagai mediator atau penengah para pihak yang bearsengketa. Pemimpin mengemukakan permasalahan, didahului nasihat bagi para pihak betapa pentingnya kerukunan hidup dan kedamaian dalam hidup kekeluargaan. Universitas Sumatera Utara Pemimpin pertemuan juga harus mengupayakan agar seluruh pihak pada akhirnya berdamai dan pembagian waris dilakukan secara adil dan seluruh pihak baik anak laki maupun anak perempuan si pewaris dapat menerima bagian waris sesuai bagiannya masing-masing dan menikmati waris yang ditinggalkan oleh si pewaris, serta untuk selanjutnya dapat hidup dalam suasana perdamaian dan kekeluargaan yang erat sebagaimana sebelumnya. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Peranan Dalihan Natolu dalam hukum perkawinan masyarakat adat Batak Toba merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan selama melangsungkan acara adat perkawinan yang sah menurut tradisi orang Batak. Sementara itu upacara agama serta catatan sipil dianggap hanya perlengkapan belaka. Hal ini dilatar belakangi oleh keberadaan Dalihan Natolu itu sendiri yang diterima ditengah-tengah masyarakat Batak Toba sebagai suatu sistem sosial kemasyarakatan. Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki peran di dalam tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba. Sehingga di dalam penyelesaian permasalahan, Lembaga Dalihan Natolu ini berperan sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian permasalahan itu sendiiri bila terjadi konflik dalam kehidupan anggota masyarakatnya. Penyelesaian permasalahan- permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan pada kehidupan masyarakat Batak Toba juga tidak akan dapat berjalan apabila lembaga Dalihan Natolu tidak ada, disebabkan karena unsur lembaga Dalihan Natolu dari pihak yang bersengketa tersebut yang memiliki inisiatif dalam hal mencari tahu sengketa yang sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi, lalu mengajak berkumpul, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang sedang mereka alami tersebut. Universitas Sumatera Utara