Jenis-jenis Gaya Bahasa Retoris dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari

BAB IV GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN

DALAM RECTOVERSO KARYA DEWI LESTARI

4.1 Jenis-jenis Gaya Bahasa Retoris dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu Keraf, 2006: 130. Gaya bahasa ini memiliki berbagai fungsi antara lain menjelaskan, memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Jenis-jenis gaya bahasa retoris dalam Rectoverso karya Dewi Lestari adalah sebagai berikut ini. 1. Aliterasi Contoh 1. Data 83 “Siapa yang mengatur itu? Akupun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa” hal. 57 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliterasi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan konsonan yang sama di awal kata yakni pada kata sendiri, sehingga, sia-sia, dan siapa-siapa. Jadi dengan menggunakan pengulangan konsonan pada kata tersebut, maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa aliterasi. Contoh 2. Data 95 “Lalu nafas hangat itu hilang, lengan itu merenggang, dan tak lama kemudian ruangan itu kembali benderang…” hal. 88 Universitas Sumatera Utara Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliterasi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan konsonan yang sama di akhir kata yakni pada kata hilang, merenggang, dan benderang. Jadi dengan menggunakan pengulangan konsonan pada kata tersebut, maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa aliterasi.

2. Asonansi Contoh 3. Data 6

“Ceritamu keraf berganti selama lima tahun terakhir. Semenjak kamu resmi tergila-gila padanya. Kadang kamu bahagia, kadang kamu biasa-biasa, kadang kamu nelangsa…” hal. 6 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di tengah dan akhir kata untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase kadang kamu yang digunakan berulang-ulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kata secara berulang-ulang, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi. Contoh 4. Data 62 “Cinta adalah aku, cinta adalah engkau. cinta adalah dia dan cinta tak pernah mati, sekalipun jasadku sudah...” hal. 36 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, di tengah, dan di akhir kata untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Kata cinta dan adalah yang digunakan berulang-ulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan suatu frase atau kata secara berulang-ulang, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi. Contoh 5. Data 65 “Sejenak aku teringat botol air yang berembun tadi, aku teringat trotoar tempat kami berjalan dan kakinya yang kubiarkan melangkah beberapa meter di depan, aku teringat siluet punggungnya yang menghadap panggung di bar yang kami kunjungi sebelum ini, aku teringat kehidupanku beberapa hari yang lalu sebelum bertemu dengannya, aku teringat ke mana aku harus kembali setelah malam ini, dan ke mana ia pergi nanti…” hal. 47 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, di tengah dan di akhir kata untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase aku teringat yang digunakan berulang-ulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kata secara berulang-ulang, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi. Contoh 6. Data 79 “Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas terjadi apa. Aku tidak tahu kenapa dua manusia yang saling sayang harus kembali berjalan sendiri- sendiri...” hal. 56 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, di tengah dan di akhir kata untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase aku tidak tahu yang digunakan berulang-ulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kata secara berulang-ulang, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi. Universitas Sumatera Utara

3. Anastrof Contoh 7. Data 155

“Lepaskanku segenap jiwamu Tanpa harus kuberdusta Karena kaulah satu yang kusayang Dan tak layak kau didera…” Peluk Kalimat di atas merupakan gaya bahasa anastrof. Kalimat ini ditandai dengan adanya pembalikan susunan kata lepaskanku yang dibuat agar memperoleh efek keindahan. Kalimat tersebut merupakan pembalikan dari susunan kata pada kalimat “kulepaskan segenap jiwamu”. Jadi kalimat tersebut membentuk gaya bahasa anastrof.

4. Apofasis atau preterisio

Apofasis atau disebut juga dengan preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi nampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa apofasis atau preterisio tersebut.

5. Apostrof Contoh 8. Data 139

“Aku telah lumpuh, wahai butir kelapa mudah-mudahan engkau mengerti...” hal. 130. Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa apostrof. Kalimat ditandai dengan adanya gaya penulis yang mengalihkan amanat kepada sesuatu benda. Frase wahai butir kelapa merupakan pengalihan amanat dari lawan bicara kepada benda lain. Sehingga tampak berbicara kepada hadirin atau lawan bicara. Dengan adanya Universitas Sumatera Utara pengalihan amanat tersebut, maka kalimat di atas membentuk gaya bahasa apostrof. Contoh 9. Data 146 “Tahanlah, wahai waktu Ada “selamat ulang tahun” Yang harus tiba tepat waktunya Untuk dia yang terjaga Menantiku…” Selamat Ulang Tahun Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa apostrof. Kalimat ditandai dengan adanya gaya penulis yang mengalihkan amanat kepada sesuatu benda. Frase wahai waktu merupakan pengalihan amanat dari lawan bicara kepada benda lain. Sehinnga tampak berbicara kepada hadirin atau lawan bicara. Dengan adanya pengalihan amanat tersebut, maka kalimat di atas membentuk gaya bahasa apostrof.

6. Asindeton Contoh 10. Data 63

“Andai ada pintu masuk di situ, akan kuselundupkan setengah bahkan tiga perempat jiwaku untuk merasukinya, untuk membaca pikirannya, memata-matai perasaannya…” hal. 44 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata, frase, atau klausa sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Frase untuk merasukinya, untuk membaca pikirannya, memata-matai perasaanny, menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung. Universitas Sumatera Utara Contoh sebelas. Data 72 “Aku hanya ingin kembali ke tempatku, di belakang sana. Menikmati apa yang kusanggup. Bukan di meja ini, bukan di sebelahnya, bukan bersentuhan dengan kakinya..”. hal. 48 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata, frase, atau klausa sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Frase bukan di meja ini, bukan di sebelahnya, bukan bersentuhan dengan kakinya menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung. Contoh 12. Data 122 “Bahkan firasat ini tak sanggup menyelamatkannya, tak juga firasatnya, mata ketiganya, ari-ari dua lapisnya…” hal. 108 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa frase sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Frase tak juga firasatnya, mata ketiganya, ari-ari dua lapisnya menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung. Contoh 13. Data 152 “Rasakanlah Isyarat yang mampu kau tangkap Tanpa perlu kuucap Rasakanlah air, udara, Bulan, bintang, Angin, malam, Ruang, waktu, puisi…” Hanya Isyarat Universitas Sumatera Utara Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Kata air, udara, bulan, bintang, angin, malam, ruang, waktu, puisi menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung. Contoh 14. Data 164 “Aku kan temani engkau selalu Pagi, siang, sore, malam Kapanpun engkau mau...” Tidur Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Kata pagi, siang, sore, malam menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung.

7. Polisindeton

Poliosindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa polisindeton tersebut.

8. Kiasmus

Kiasmus chiasmus adalah gaya bahasa yang berisi perulangan dan sekaligus juga merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa kiasmus tersebut. Universitas Sumatera Utara

9. Elipsis Contoh 15. Data 125

“Sore ini aku akan naik taksi. Aku akan ke bandara, menghabiskan malam di angkasa…” hal. 122 Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa elipsis. Kalimat tersebut ditandai dengan menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca. Dalam kalimat Aku akan ke bandara terdapat penghilangan unsur kalimat yaitu penghilangan predikat : pergi pada kalimat aku akan ke bandara. Dengan demikian, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa elipsis.

10. Eufemismus Contoh 16. Data 16

“Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun…” hal. 16 Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa eufemisme. Kalimat tersebut ditandai dengan adanya penggunaan ungkapan atau acuan yang halus untuk mengganti acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina atau menyinggung perasaan orang lain. Kalimat Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun merupakan ungkapan halus yang digunakan pengarang untuk menyatakan bahwa pria umur 38 tahun itu gila. Dengan demikian kalimat tersebut membentuk gaya bahasa eufemisme.

11. Litotes

Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari Universitas Sumatera Utara keadaan sebenarnya. Atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa litotes tersebut.

12. Histeron proteron

Histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Gaya bahasa ini juga disebut hiperbaton. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa histeron proteron tersebut.

13. Pleonasme dan tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lainnya. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa pleonasme dan tautologi tersebut.

14. Perifrasis

Sebenarnya perifrasis adalah gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaan terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa perifrasis tersebut. Universitas Sumatera Utara

15. Prolepsis atau Antisipasi Contoh 17. Data 134

“Suasana bandara yang hiruk pikuk membuat sore ini semakin pengap. Nyaris kulupa betapa lembapnya udara di sini. Betapa banyaknya manusia berseliweran dengan aturan geraknya masing-masing. Betapa banyaknya bebunyian, kendaraan, dan tawaran-tawaran lisan dari mulai jasa transportasi sampai akomodasi. Namun kekacauan inilah gerbang yang selangkah lagi membawaku pulang”. hal. 126 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa prolepsis atau antisipasi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya gaya penulis yang mempergunakan lebih dahulu kata-kata sebelum gagasan atau peristiwa sebenarnya terjadi. Kalimat Suasana bandara yang hiruk pikuk membuat sore ini semakin pengap. Nyaris kulupa betapa lembapnya udara di sini. Betapa banyaknya manusia berseliweran dengan aturan geraknya masing-masing. Betapa banyaknya bebunyian, kendaraan, dan tawaran-tawaran lisan dari mulai jasa transportasi sampaio akomodasi. Namun kekacauan inilah gerbang yang selangkah lagi membawaku pulang menunjukkan adanya gaya bahasa prolepsis atau antisipasi. Jadi dengan menggunakan kata-kata sebelum gagasan sebenarnya terjadi, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa prolepsis atau antisipasi.

16. Erotesis atau pertanyaan retoris Contoh 18. Data 76

“Itukah yang dinamakan firasat? Menahun aku sudah tahu, hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa kujelaskan? Aku menyayangimu seperti menyayangi diriku sendiri. Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri?...” hal. 54 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris. Kalimat ini ditandai dengan adanya pertanyaan yang digunakan dalam suatu tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan sama sekali tidak Universitas Sumatera Utara menghendaki jawaban. Kalimat Tapi bagaimana bisa kujelaskan? dan Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri? menunjukkan adanya gaya bahasa erotesis. Jadi, dengan menggunakan suatu pertanyaan dalam suatu tulisan untuk memperoleh efek mendalam dan penekanan yang wajar tanpa memerlukan jawaban, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris. Contoh 19. Data 163 “Firasat ini… Rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli Dan terus berlari…” Firasat Kalimat di atas mengandung gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris. Kalimat ini ditandai dengan adanya pertanyaan yang digunakan dalam suatu tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan sama sekali tidak menghendaki jawaban. Kalimat Firasat ini…Rasa ridukah ataukah tanda bahaya? menunjukkan adanya gaya bahasa erotesis. Jadi, dengan menggunakan suatu pertanyaan dalam suatu tulisan untuk memperoleh efek mendalam dan penekanan yang wajar tanpa memerlukan jawaban, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris.

17. Silepsis dan zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi ratapan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Gaya bahasa silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi Universitas Sumatera Utara secara semantik tidak benar. Sedangkan gaya bahasa zeugma, yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya baik secara logis maupun secara gramatikal. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa silepsis dan zeugma tersebut.

18. Koreksio dan epanortosis Contoh 20. Data 128

“Bosku tiba-tiba muncul di belakang, menepuk bahuku pelan. Mantan bos, tepatnya”. hal. 123 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa koreksio atau epanortosis. Kalimat tersebut ditandai dengan adanya gaya yang mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Kalimat Mantan bos, tepatnya menunjukkan adanya gaya bahasa koreksio atau epanortosis. Jadi, dengan menggunakan suatu penegasan kemudian memperbaikinya, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa koreksio atau epanortosis.

19. Hiperbol Contoh 21. Data 12

“Sesuatu dalam ruangan ini terlalu menyakitkan bagiku. Entah semburan angin dari mesin pendingin atau suara piano yang mengiris-iris kuping..”. hal. 8 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Suara piano yang mengiris-iris kuping menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol. Jadi, dengan menggunakan suatu Universitas Sumatera Utara pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol. Contoh 22. Data 69 “Aku menghela nafas. Kisah ini semakin berat membebani lidah. Aku sampai pada bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja…” hal. 47 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Kisah ini semakin berat membebani lidah menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol. Jadi, dengan menggunakan suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol. Contoh 23. Data 71 “Seseorang yang Cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir bagai sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan atau hujan. Seseorang yang selamanya harus kubiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa…” hal. 47 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol. Universitas Sumatera Utara Jadi, dengan menggunakan suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar- besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol. Contoh 24. Data 90 “Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, kedua, dan seterusnya sampai mati”. hal. 86 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Aku jatuh cinta pada pandangan pertama,kedua, dan seterusnya sampai mati menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol. Jadi, dengan menggunakan suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol. Contoh 25. Data 132 Lewat dari lima jam, udara di pesawat berubah menjadi pisau-pisau halus yang mencacah hidung setiap kali bernapas. Kunikmati setiap sayatan pisau yang kutarik sampai ke paru-paru… hal. 125 Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Udara di pesawat berubah menjadi pisau- pisau halus yang mencacah hidung setiap kali bernapas. Kunikmati setiap sayatan pisau yang kutarik sampai ke paru-paru menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol. Jadi, dengan menggunakan suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol. Universitas Sumatera Utara

20. Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa paradoks tersebut.

21. Oksimoron

Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata- kata untuk mencapai efek yang bertentangan, namun sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa oksimoron tersebut.

5.2 Jenis-jenis Gaya Bahasa Kiasan dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari