Analisis Perbandingan Alur pada Lima Cerpen Karya Dewi Dee Lestari dan Film Rectoverso serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

(1)

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

oleh: Monica Harfiyani NIM: 1110013000057

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

Monica Harfiyani (NIM: 1110013000057), “Analisis Perbandingan Alur pada Lima Cerpen Karya Dewi „dee‟ Lestari dan Film Rectoverso Serta Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA”. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Penelitian yang berjudul “Analisis Perbandingan Alur pada Lima Cerpen Karya

Dewi „dee‟ Lestari dan Film Rectoverso Serta Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA”, bertujuan untuk mengetahui perbandingan alur yang terjadi antara cerpen dan film Rectoverso. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode sastra bandingan, yaitu membandingkan unsur objektif antara cerpen dan film, serta memfokuskan pada perbandingan alur antara cerpen dan film.

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu, adanya perbedaan tahapan alur yang terjadi antara cerpen dan film Rectoverso, hal ini terjadi karena adanya penambahan, penciutan dan perubahan bervariasi pada cerpen setelah mengalami proses ekranisasi.


(6)

Five Short Story Works Dewi 'Dee' Lestari and Film Rectoverso And Implications on Language Learning and Literature in high school". Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2014.

The study entitled "Comparative Analysis of Flow in Five Short Story Works Dewi 'Dee' Lestari and Film Rectoverso And Implications on Language Learning and Literature in high school", aims to determine the ratio of flow that occurs between the short story and the film Rectoverso. The method used in this study is the method of comparative literature, ie comparing the objective elements of the short story and the film, as well as focusing on the comparison between the short story and the film flow.

The results obtained, namely, the existence of the different stages of the flow that occurs between the short story and the film Rectoverso, this happens due to the addition, necking and varied changes in the short story after experiencing ekranisasi process.


(7)

Assalamualaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur kepada Allah Swt Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan rahmat dan ridhonya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancer. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, keluarganya, sahabat-sahabatnya, kita semua selaku pengikutnya yang diharapkan selalu mendapat safaatnya di dunia maupun di akhirat.

Skripsi yang penulis buat sesungguhnya tidak luput dari kesalahan, masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, namun berkat semangat, dorongan, dan motivasi dan bantuan dari orang-orang terdekat dan banyak pihak maka skripsi ini dapat terselesaikan.

Selama pembuatan dan penyusunan skripsi ini banyak pihak yang membantu dan memberikan bantuan. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dra. Nurlena Rifa‟I, M.A., Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak nasihat dan bantuan kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi tepat waktu. 3. Dra. Hindun, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan dan Dosen Penasehat

Akademik, yang telah banyak memberikan masukan dan nasihat selama penulis belajar hingga menyelesaikan skripsi.

4. Novi Diah Haryati, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membimbing penulis hingga akhir penulisan skripsi. Tak lupa motivasi dan dukungan yang beliau berikan kepada penulis, membuat penulis yakin untuk dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya.

5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan, mendidik dengan sabar dan memberikan banyak motivasi kepada penulis.

6. Rizal Fahlephi dan Harmiyanti Orang tua yang penulis sayangi yang selalu dengan sabar dan memberikan bantuan kepada penulis, semoga hal ini dapat sedikit membuat mereka bangga dan bahagia.


(8)

mampu menghilangkan kepenatan penulis. Aulia, Sarah, Nanda, Adenia, Syalfira, Fathir, Alifya, Dede Danis, Ruby dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

8. Para karyawan karyawati perpustakaan, Bapak Satpam, Bapak Petugas Kebersihan, Mas Penjaga Parkir yang telah penulis kenal dan memberikan banyak bantuan selama penulis berada di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Keluarga Besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat Tarbiyah Cabang Ciputat, yang telah memberikan banyak pengalaman selama penulis mengisi waktu di dalam dunia kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

10.Keluarga Besar BEMF (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas) Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, yang telah bekerja sama dengan penulis untuk dapat sama-sama belajar pada dunia organisasi.

11.Keluarga Besar HMJ-PBSI (Himpunan Mahasiswa Jurusan-Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia), kepada kakak-kakak senior dan adik adik yang penulis cintai. Samsudin, Ngka, Dinda, Sari, Endah, Metri, Rian, Ipul, Vira, Via, Ucha, Bunga, dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Kalian telah banyak memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.

12.Keluarga Besar PBSI-B, yang telah bersama penulis menjalani perkuliahan di dalam kelas, selama empat tahun kebelakang dalam suka dan duka, saling memotivasi dan memberikan dukungan kepada punulis.

13.Fiera Endah Pratiwi dan Nur Kamaliah Sahabat terdekat penulis sang calon S.Pd, yang telah setia memberikan dukungan, berbagi suka dan suka, serta menjalani perkuliahan bersama selama empat tahun kebelakang. 14.Riantina Purnama Sari, S.Pd dan Rani Yuhaningsih Sahabat yang penulis

cintai, yang sejak SMP hingga kini menjadi sahabat terbaik bagi penulis. Selalu memberikan dukungan, saran, motivasi kepada penulis.

15.Abdul Bayu Asmara, sahabat, teman berbagi, supporter, dan pendamping terhebat bagi penulis. Terima kasih atas, waktu, tenaga, pikiran, kasih sayang dan segala hal yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu berkat dukungan dan motivasi yang diberikan.

Jakarta, 8 September 2014


(9)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK………..i

KATA PENGANTAR………...ii

DAFTAR ISI……….iii

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang……….1

B. Identifikasi Masalah……….5

C. Pembatasan Masalah………...5

D. Perumusan Masalah……….6

E. Tujuan dan Kegunaan Penulisan………...6

F. Metodologi Penulisan………...7

BAB II KAJIAN TEORI………...12

A. Cerita Pendek (Cerpen)……….12

B. Alur (Plot)………...21

C. Tinjauan Film……….24

D. Sekuens………38

E. Penelitian Relevan………..39

F. Pembelajaran Sastra di SMA………41

BAB III PENGARANG DAN KARYANYA………44

A. Biografi Pengarang dan Sutradara………44

B. Sinopsis………55


(10)

A. Analisis Objektif ………....62

B. Analisis Perbandingan Alur Pada Cerpen dan Film

Rectoverso...147

C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di SMA……...182

BAB V PENUTUP………...185

A. Simpulan………...185

B. Saran………..188

DAFTAR PUSTAKA……….171


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menciptakan sebuah karya, terkadang mampu memberikan dampak lebih terhadap kreatifitas seseorang. Dampak lebihnya dapat dilihat pada peralihan media-media terhadap suatu karya. Seperti, alih wahana yang sering dilakukan oleh seniman, peralihan puisi ke musik (musikalisasi puisi), novel ke film (ekranisasi), film ke novel (novelisasi), puisi ke drama (dramatisasi puisi). Sama halnya dengan fenomena ekranisasi, cukup banyak karya sastra baik berupa novel maupun cerpen yang diangkat kelayar lebar. Berbicara mengenai ekranisasi, tentu tidak dapat lepas dari kajian sastra yang kita kenal dengan istilah alih wahana, yang terdapat pada studi sastra bandingan. Berbeda dengan bidang kajian sastra yang lain, studi sastra bandingan tidak memiliki satu bentuk teori yang mutlak. Biasanya, kita dapat membandingkan karya sastra yang satu dengan yang lain, untuk mencari persamaan maupun perbedaan. Dapat pula membandingan novel yang satu dengan novel yang lain.

Novel merupakan salah satu karya sastra bentuk prosa rekaan. Bentuk ini mempunyai unsur-unsur yang dinamakan unsur intrinsik yang berupa tokoh, jalan cerita (alur), latar cerita, tema dan unsur ekstrinsik yaitu nilai-nilai yang disampaikan dengan jelas. Perkembangan teknologi modern pada masa ini telah mempengaruhi beberapa novel untuk dapat lebih dikembangkan ke dalam bentuk film. Sastra lahir berdasarkan hasil kreatif pengarang. Daya kreatif antara seorang pengarang dengan pengarang lainnya pasti berbeda-beda. Sehubungan dengan unsur kreativitas yang memungkinkan pengarang menciptakan karya yang baru dan asli, seorang sastrawan wanita yaitu Dewi „dee‟ Lestari membuat karya sastra berjudul Rectoverso. Secara etimologis, kata Rectoverso berarti cermin. Karya tersebut dinamakan Rectoverso karena di dalam karya tersebut Dewi „dee‟ Lestari ‟membelah‟ sebuah ide menjadi dua dimensi yaitu lagu dan cerpen dengan judul sama. Di dalam


(12)

kumpulan cerpen ini tedapat 11 jumlah cerita yaitu Curhat Buat Sahabat, Malaikat Juga Tahu, Selamat Ulang Tahun, Aku Ada, Hanya Isyarat, Peluk, Grow a Day Older, Cicak di Dinding, Firasat, Tidur, dan Back to Heaven‟s Light. Dilayar lebar hanya ada lima judul cerpen yang diangkat, yaitu Curhat Buat Sahabat, Malaikat Juga Tahu, Hanya Isyarat, Cicak di Dinding, Firasat, yang dikemas menjadi satu jalan cerita dengan durasi waktu 1 jam 47 menit. Kelima judul cerpen tersebut pun disutradarai oleh lima orang aktris Indonesia yaitu Marcela Zalianty, Rachel Maryam, Happy Salma, Cathy Sharon, Olga Lidya.

Film Rectoverso juga termasuk ke dalam kategori film Omnimbus. Omnimbus merupakan berasal dari sebuah kata "omnis", yang dalam bahasa Latin berarti "semua" atau "banyak". Dibidang kesusastraan, omnibus dapat dikatakan sebagai versi besar dari sebuah antologi. Mungkin ini sebabnya dalam suatu film omnibus, ada genre berbeda-beda yang ditawarkan. Drama, komedi, horror dan thriller. Sebuah karya omnibus boleh ada satu tema, satu sutradara, satu penulis, atau satu aktor yang selalu muncul ataupun lebih. Itulah sebabnya film Rectoverso masuk ke dalam satu karya omnimbus yang disutradarai oleh lima orang sutradara sekaligus.

Berdasarkan istilah yang didefinisikan Eneste pada proses pelayarputihan, pemindahan/pengangkatan sebuah novel (karya sastra) ke dalam film, yaitu disebut ekranisasi. Pengangkatan novel menjadi sebuah film terjadi berbagai perubahan, penciutan, penambahan dan perubahan bervariasi. Dasarnya karya sastra mengajak pembaca berimajinasi secara bebas mengikuti cerita. Pembaca bebas memiliki imajinasi tentang gambaran tokoh, latar, dan suasana dalam cerita. Di samping itu, dalam sebuah karya sastra tidak jarang pengarang berhasil memancing rasa penasaran pembaca dengan permainan katanya. Inilah sebabnya kata-kata merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah karya sastra. Seorang pengarang membangun cerita menggunakan kata-kata. Kita melihat bagaimana hubungan karya sastra dan film yang saling mendukung satu sama lain, terkadang menimbulkan penilaian yang


(13)

bervariasi dari masyarakat. Apakah sebuah film itu lebih baik dari karya sastranya, ataupun malah sebaliknya. Memang tidak ada ukuran pasti bagaimana sebuah karya sastra yang mengalami proses alih wahana berupa ekranisasi, dapat dinilai bagus oleh masyarakat. Menurut fakta yang ada di lapangan, apabila film yang dibuat, hampir sama dengan karya sastranya, penonton akan menilai bagus, walaupun tidak dapat dijamin apakah kualitas film yang disajikan sudah cukup baik ataupun belum.

Dipilihnya kumpulan cerpen dan film Rectoverso pada penelitian ini ialah, pertama karya ini merupakan karya yang cukup menarik karena Dewi „dee‟ Lestari membuatnya tidak hanya dalam bentuk cerpen saja, tapi juga disertai dengan media lain berupa lagu dan video klip. Serta, Rectoverso merupakan film omnimbus Indonesia yang diangkat dari sebuah karya sastra. Kedua, Rectoverso yang terdapat pada kumpulan cerpen Dewi „dee‟ Lestari memiliki 11 macam judul cerita, namun pada film Rectoverso hanya lima cerpen yang diangkat kelayar lebar dan dikemas secara menyeluruh tidak terpisah. Hal ini cukup sulit karena melihat alur/jalan cerita yang terdapat pada kumpulan cerpen sangat berbeda dengan media dalam bentuk film Rectoverso. Berbagai hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk memilih kumpulan cerpen Rectoverso yang telah di filmkan menjadi sebuah film omnimbus yang disutradarai oleh lima orang aktris perempuan Indonesia. Hal ini membuat penulis memfokuskan mengkaji bagaimana perbedaan alur yang terjadi pada kumpulan cerpen Rectoverso dan film Rectoverso yang tentunya sangatlah berlainan. Pada film Rectoverso cerpen Curhat Buat Sahabat, Malaikat Juga Tahu, Hanya Isyarat, Cicak di Dinding, Firasat dikemas menjadi satu alur cerita yang saling berkaitan. Kumpulan cerpen Rectoverso, kelima cerpen tersebut memiliki alurnya masing-masing, tentunya pencapaian konflik maupun klimaks akan berbeda. Melalui penggunaan metode sastra bandingan penulis menganalisis dari segi pendekatan objektif yang ada di dalam sebuah karya sastra dan yang ada di dalam sebuah film, penulis memfokuskan pada perjalanan alur yang


(14)

meliputi sebuah penambahan, penciutan, maupun perubahan bervariasi yang biasa tersaji pada sebuah karya ekranisasi.

Selain itu, pada pembelajaran Bahasa dan Sastra di sekolah baik SMP/Mts hingga SMA/MA, sering kali siswa sulit menentukan perjalanan alur pada sebuah karya sastra, baik itu novel, cerpen, dongeng, maupun hikayat. Lemahnya minat membaca membuat pemahaman siswa terhadap sebuah cerita yang dibacanya berada diurutan cukup jauh, dibanding jika siswa diminta untuk mendengarkan guru bercerita maupun guru meminta siswa menonton sebuah tayangan cerita, sehingga agak sulit bagi siswa untuk menentukan perjalanan alur yang terdiri atas awalan, konflik, klimaks, peleraian, hingga penyelesaian. Hal ini pula yang membuat siswa tentu sedikit rumit untuk membandingkan dua buah alur pada karya sastra. Perlu mereka sadari, bahwa alur merupakan bagian penting dalam sebuah cerita.

Alur merupakan topik penulisan yang penulis angkat. Menganalisis dan membandingkan alur cerita yang terdapat pada kumpulan cerpen dan film Rectoverso. Pembaca menikmati novel Rectoverso, tentu berbagai interpretasi muncul, dan amanat yang hendak diberikan penulis dapat sampai secara lebih kompleks. Apabila telah mengalami pencitraan melalui media visual, tentunya ada beberapa esensi yang berubah maupun bertambah dari novel Rectoverso tersebut. Penempatan klimaks yang berbeda antara bentuk tulis dengan bentuk visual menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti. Film Rectoverso, terdapat lima cerpen yang berbeda namun diikat menjadi satu cerita yang sangat kuat. Adanya penulisan ini, penulis mengharapkan masyarakat dapat membangun minat membaca, juga menilai dengan cermat sebuah karya baik berupa novel maupun film, sehingga esensi yang terdapat di dalam sebuah karya sastra, yang mengalami proses visualisasi (ekranisasi) dapat tersampaikan dengan baik dan tidak berkurang dari tujuan awal penciptaan karya sastra. Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penulisan dengan judul “Analisis Perbandingan Alur


(15)

pada Lima Cerpen Karya Dewi „dee‟ Lestari dan Film Rectoverso Serta Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:

a) Sulitnya memahami alur pada film Rectoverso yang diangkat dari lima judul cerpen pada kumpulan cerpen Rectoverso.

b) Lemahnya proses penggambaran dari imajinasi pembaca menjadi sebuah film Rectoverso.

c) Ketidaksesuaian jalan cerita karena banyaknya proses penambahan dan pengurangan pada film Rectoverso.

d) Rendahnya minat membaca siswa jika dibandingkan dengan penggunaan media visual.

e) Kurangnya pemahaman mengenai analisis perbandingan alur pada pembelajaran sastra di SMA.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam suatu penulisan menjadi sangat penting, agar permasalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang telah diterapkan. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disusun, maka penulisan lebih terfokus pada perbandingan alur. Penulis akan membandingkan dan menganalisis alur pada kumpulan cerpen yang terbit tahun 2009 karya Dewi „dee‟ Lestari dan film Rectoverso yang dirilis tahun 2013 dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

D. Perumusan Masalah

Demi mencapai hasil penulisan yang maksimal dan terarah, maka diperlukan perumusan masalah dalam sebuah penulisan. Adapun perumusan masalah pada penulisan ini sebagai berikut:


(16)

a) Bagaimana analisis perbandingan alur antara lima cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari dan film Rectoverso?

b) Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra pada siswa SMA?

E. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Dengan adanya penulisan ini, diharapkan:

a) Mendeskripsikan perbandingan alur yang terdapat pada kumpulan cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari dan film Rectoverso.

b) Mendeskripsikan penerapan penulisan ini terhadap pembelajaran sastra di SMA.

2. Kegunaan Penulisan

Penulisan ini diharapkan berguna bagi penulis maupun bagi pembaca dalam hal:

a) Manfaat Teoritis:

Memperoleh pengetahuan dalam mengkaji salah satu unsur pembangun karya sastra yaitu alur pada lima cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari dan film yang berjudul Rectoverso.

b) Manfaat Praktis:

1. Siswa, dengan adanya pembelajaran perbandingan karya sastra dengan film. Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menganalisis sebuah karya khususnya kumpulan cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari dan film Rectoverso. Selain itu mengembangkan kemampuan siswa untuk menilai sebuah karya sastra yang baik atau tidak, dan menjadikan siswa untuk gemar membaca dan lebih lebih kritis.


(17)

2. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, penulisan ini dapat dijadikan bahan ajar untuk meningkatkan kemampuan analisis siswa dalam pembelajaran sastra. Terutama dalam membandingkan kualitas sebuah karya, sehingga mampu memaparkan kelebihan dan kekurangan sebuah karya melalui analisis perbandingan sastra.

3. Penulis, untuk mengetahui bagaimana perbandingan alur antara kumpulan cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari dan film Rectoverso yang mempengaruhi bagaimana jalannya cerita tersebut.

4. Diharapkan penulisan ini juga berguna bagi para penulis lain yang ingin melakukan penulisan dengan tema yang sejenis.

F. Metodologi Penulisan

1. Objek Penulisan

Berdasarkan tujuan penulisan yang telah disampaikan, objek dalam

penulisan ini ialah “Analisis Perbandingan Alur pada Lima Cerpen Rectoverso Karya Dewi „dee‟ Lestari dan Film Rectoverso Serta Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA”.

2. Metode dan Pendekatan Penulisan

Penulisan ini menggunakan Metode Sastra Bandingan. Sastra bandingan, dalam penulisan umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun bidang ilmu lain, merupakan bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat upaya bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, bagaimana pengaruh antarkeduanya, serta apa yang dapat diambil dan apa yang diberikannya.1 Atas dasar inilah penulisan dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra lain, kemudian dicari benang merahnya. Seperti pada sebuah proses alih wahana yang sering terjadi pada karya sastra, salah satunya yaitu

1


(18)

ekranisasi (karya sastra ke film). Melalui metode sastra bandingan penulis akan menganalisis perbedaan alur yang terjadi pada lima cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari dengan film Rectoverso. Tujuan dari penulisan sastra bandingan ini adalah, menemukan perbedaan yang terjadi pada dua karya yang sama namun dikemas berbeda. Sehingga penulis dapat melihat pengaruh dan hubungan dari kedua karya tersebut.

Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbandingan alur yang terdapat pada kumpulan cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari dan film Rectoverso.

“Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, atau hubungannya dengan konteks keberaaannya. Hal tersebut yang menjadikan metode kualitatif dianggap sebagai multimetode, sebab penulisan pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan. Dalam penulisan karya sastra misalnya, akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya. Objek penulisan metode kualitatif merupakan makna-makna yang terkandung dibalik tindakan yang mendorong terjadinya gejala sosial. Penulisan mempertahankan hakikat nilai-nilai. Sumber sastra dalam ilmu sastra ialah karya, naskah, data penulisan sebagai data formal ialah kata, kalimat, dan wacana.”2

Penulisan ini menekankan analisis perbandingan alur pada film dan cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari dengan menggunakan pendekatan tektual, yaitu mengacu kepada teks dalam karya tersebut. Penulis mencoba menguraikan penggunaan alur pada novel dan film Rectoverso. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penulisan ini ialah:

a. Menentukan teks dan film yang dipakai sebagai objek penulisan, yaitu Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari.

b. Menentukan fokus penulisan, yaitu menganalisis perbandingan alur pada kumpulan cerpen dan film Rectoverso karya Dewi „dee‟

2 Nyoman Kutha Ratna, S. U.,

Teori, Metode, dan Teknik Penulisan Sastra dari Struktualisme hingga Poststruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.47.


(19)

Lestari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra pada siswa SMA.

c. Menganalisis objek penulisan, dan

d. Menyusun serta membuat laporan penulisan 3. Sumber Data

Sumber data pada penulisan ini terbagi atas sumber data primer dan sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian.3 Sumber data primer yang digunakan pada penulisan ini yaitu, menggunakan sumber data dari kumpulan cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari yang diterbitkan oleh Bentang pada tahun 2013 dan film Rectoverso yang tayang pada februari 2013.

Data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh penulis secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan.4 Sumber data yang digunakan adalah data-data yang diambil dari buku-buku, jurnal, dan karya ilmiah yang sesuai dengan objek penulisan. 4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penulisan ini ialah kajian pustaka. Menurut M.Nazir dalam bukunya yang berjudul

„Metode Penulisan‟ mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan

“Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan

3

Suwardi Endaswara, metodologi penulisan sastra bandingan, (Jakarta: Bukupop, 2011), hlm. 163

4 Suwardi Endaswara,

metodologi penulisan sastra bandingan, (Jakarta: Bukupop, 2011), hlm.2.


(20)

mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.”.5 Penulis menganalisis secara sistematis terhadap sumber data primer yaitu kumpulan cerpen Rectoverso karya Dewi „dee‟ Lestari dan film Rectoverso dengan mencatat perbedaan alur antara kelima cerpen Rectoverso dan alur pada film Rectoverso. Hasil penulisan itu akan menjadi sumber data yang akan digunakan untuk penyusunan penulisan hasil analisis.

Langkah pertama yang penulis lakukan adalah membaca kumpulan cerpen Rectoverso dan menonton film Rectoverso. Selanjutnya langkah kedua penulis menganalisis alur pada lima cerpen Rectoverso dan juga menganalisis alur melalui pembagian sekuen pada film Rectoverso. Langkah ketiga penulis menggunakan data tersebut sebagai data primer untuk menganalisis, membandingkan dan mencari hasil dari penulisan yang dilakukan.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis ialah teori hermeneutik dan teori positivistik. Hermeneutik sastra termasuk salah satu tafsir yang menggunakan logika linguistik dalam membuat telaah atas sebuah karya sastra. Teori ini menuntut pembaca untuk menganalisis karya secara bolak-balik, mengulang membaca dan menganalisis secara berulang-ulang, sampai pembaca memahami makna dari karya tersebut. Teori positivistik merupakan rangkaian konsep dijadikan pijakan analisis dalam menemukan data otentik.6 Konsep analisis alur merupakan fokus yang akan dilakukan oleh penulis. Sehingga tahap pertama yang penulis lakukan ialah, penulis membaca kumpulan cerpen Rectoverso serta menonton film Rectoverso secara berulang dari awal hingga akhir. Tahap kedua

5 M. Nazir,

Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm.111. 6


(21)

menganalis unsur intrinsik yang difokuskan pada analis alur kedua karya tersebut melalui konsep pemahaman alur.


(22)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Cerita Pendek (Cerpen)

Cerpen adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Cerpen merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Sebuah cerpen biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Di dalam cerpen, pengarang berusaha untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam cerpen tersebut.

Cerpen tentunya berbeda dengan karya sastra lainnya seperti novel, novelet, maupun hikayat. Cerpen memiliki beberapa karakteristik tersendiri, ukuran panjang cerpen biasanya berkisar antara 1500 sampai 15.000 kata. Selain itu pula, cerita pendek akan terbaca habis hanya dalam sekali duduk.7 Cerpen cenderung membatasi diri pada rentang waktu yang pendek, daripada menunjukkan perkembangan watak para tokohnya. Cerpen pun jarang menggunakan alur yang kompleks, karena ia lebih terfokus pada satu situasi cerita tertentu saja daripada rangkaian peristiwa yang cukup panjang. Berdasarkan sejarah yang ada, prinsip-prinsip cerpen modern baru dikristalkan pada abad ke-19 menyusul kemunculan Edgar Allan Poe. Dia menetapkan batas panjangnya yaitu bahwa sebuah cerita pendek harus cukup panjang untuk dibaca selama kurang lebih satu setengah hingga dua jam. Para penulis-penulis terdahulu lebih sering menekankan plot, bentuk cerita yang konvensional ini dramatis, bergerak cepat, dan menyukai akhir cerita yang mengejutkan, sejak dulu sangat popular dikalangan pembaca, bahkan hingga kini.8 Dilihat dari jumlah tokohnya, biasanya dalam sebuah cerpen tidak begitu

7

Dr. Furqonul Aziez, M.Pd, Menganalisis Fiksi sebuah pengantar, (Ciawi: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm.33

8 Dr. Furqonul Aziez, M.Pd,

Menganalisis Fiksi sebuah pengantar, (Ciawi: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm.34


(23)

banyak, karena sempitnya ruang maka mereka tidak digambarkan secara penuh, dengan demikian kita tidak dapat mengetahui lebih dalam penggambaran karakter sebuah tokoh pada cerpen.

Karya sastra baik novel maupun cerpen tentunya memiliki dua unsur yang membangun baik dari luar maupun dari dalam karya sastra, yang biasa dikenal dengan unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur pembangun yang berada di luar karya sastra itu, unsur ini tidak secara langsung berpengaruh terhadap bangunan suatu karya karena tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Berbeda dengan unsur intrinsik, sesuai dengan namanya unsur-unsur yang berada di dalam karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik secara faktual dapat ditemukan ketika seseorang membaca karya sastra.9

Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan objektif untuk mengkaji objek yaitu kumpulan cerpen Rectoverso. Menurut, Junus pendekatan ini adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra, oleh karena itu karya sastra menjadi sesuatu yang inti.10 Berdasarkan proses kerjanya, pendekatan objektif akan memahami sistem di dalam karya sastra. Unsur sistem itu disebut unsur intrinsik, unsur yang membangun di dalam karya sastra yang diantaranya meliputi tema, penokohan, alur (plot), sudut pandang, dan latar. Berikut akan dijelaskan bagian-bagian dari unsur intrinsik sebuah karya sastra novel maupun cerpen.

1. Tema

Secara keseluruhan tema merupakan bagian awal terpenting dalam sebuah karya sastra. Setiap cerita pasti akan diawali dengan tema yang akan menjadi fokus cerita. Tema pada dasarnya merupakan aspek cerita yang sejajar dengan

„makna‟ dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan

9

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.23

10


(24)

suatu pengalaman begitu diingat.11 Menurut Stanton dan Kenny, tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.12 Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita itu. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum pada sebuah karya sastra. Gagasan dasar inilah yang digunakan pengarang untuk mengembangkan ceritanya. Cerita tentunya akan setia mengikuti gagasan umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa, konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mampu mencerminkan gagasan dasar umum tersebut.

2. Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama, ada jenis tokoh lain yaitu, tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama, tokoh ini disebut tokoh bawahan.13 Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.14 Penggunaan istilah tokoh dan penokohan tentunya sangat jauh berbeda, tokoh dan penokohan memiliki definisi masing-masing. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Wellek dan Warren mengatakan bahwa, cara paling sederhana menggambarkan perwatakan seseorang tokoh

11

Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007), hlm. 36 12 Burhan Nurgiantoro,

Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.67

13

Melani Budianta,dkk, Membaca Sastra, (Magelang:Indonesia tera, 2003), hlm.86 14 Burhan Nurgiantoro,

Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.165


(25)

adalah memberikan semacam nama. Setiap penamaan adalah semacam menghidupkan, menjiwai, dan mengindividualisasikan.15 Tokoh-tokoh dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Dilihat dari segi peranan, tokoh dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya sastra yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, maka ia selalu hadir sebagai pelaku perkembangan plot. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi banyaknya penceritaan dan pengaruh terhadap perkembangan cerita. Perbedaan tokoh utama dan tokoh tambahan tidak dapat dilakukan secara ekstra, karena perbedaannya bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat, tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambahan (yang memang) tambahan.16 Menurut Burhan Nurgiyanto, penampilan tokoh dapat dibedakan menjadi:

1. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita dan harapan-harapan kita sebagai pembaca. Maka kita sering mengenalinya memiliki kesamaan dengan kita, permasalahan yang dihadapi seolah-olah juga sebagai permasalahan kita.

2. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi

15

Wellek warren, 1995. Teori Kesusastraan (Penerjemah: Melani Budianta), (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm.284

16 Burhan Nurgiantoro,

Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 177-178


(26)

penyebab terjadinya konflik. Tokoh ini dapat disebut beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung atau tidak langsung, bersifat fisik maupun batin.17

Setiap pengarang tentunya ingin agar pembaca memahami setiap karakter dan motivasi dalam karyanya dengan benar. Akan tetapi, tidak ada satu orang pun yang dapat melakukan hal ini dalam sekali rengkuh. Seorang pembaca yang berpengalaman akan cenderung menunda pendapatnya tentang satu karakter tertentu, terbuka akan berbagai petunjuk baru yang dapat memperkaya penilaian itu, sampai akhirnya ia dapat menyimpulkan pendapatnya terkait semua bukti yang telah dikumpulkan dan diamati.

3. Alur (Plot)

Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang secara klausal saja. Peristiwa klausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya.18 Beberapa jenis alur yang kita pahami ialah seperti alur maju, mundur, dan juga alur campuran. Alur (plot) merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya fiksi pun lebih sering ditekankan pada pembicaraan plot. Cerita dan alur memiliki hubungan yang cukup dekat seperti contoh yang disampaikan

Foster “Raja mati dan permaisuri mati adalah sebuah cerita. Raja mati dan kemudian permaisuri pun mati adalah sebuah

alur.” Cerita merupakan pengisahan kejadian dalam waktu.

Alur pun merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Hanya

17

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 179

18


(27)

saja, pada yang belakangan ini harus ditambahkan unsur sebab akibat. Dapat disimpulkan alur adalah pengisahan kejadian dengan tekanan pada sebab-musabab.19 Pembahasan mengenai alur akan dibahas lebih dalam lagi pada pembahasan berikutnya mengenai alur.

4. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Di sinilah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.20 Pembedaan sudut pandang juga dapat dilihat dari bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca, lebih bersifat penceritaan, telling, atau pertunjukkan, showing, naratif atau dramatik. Menurut Friedman Perbedaan sudut pandang berikut berdasarkan perbedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama.21

a. Sudut pandang persona ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang

persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seorang yang

berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasai dipergunakannya kata ganti. Sudut pandang dia dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pegarang, narator, dapat bebas menceritakan segala

sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi

bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyai

19

Pamusuk Eneste, Novel dan Film, ()Yogyakarta: Penerbit Nusa Indah, 1991), hlm.19 20

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), hlm.151 21 Burhan Nurgiantoro,

Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.256


(28)

keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, atau hanya selaku pengamat saja.22

b. Sudut pandang persona pertama: “Aku”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, first-person point of view, “aku”, jadi gaya aku, seorang narator ikut terlibat dalam cerita. Ia

adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan

kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa, serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca.

Pembaca menerima apa yang diceritakan si “aku”,

maka kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti apa yang dilihat dan dirasakan tokoh si

“aku” tersebut. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran

dan kedudukan si “aku” dalam cerita. Si “aku”

mungkin menduduki peran utama, jadi tokoh utama protagonist, mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi.23

5. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.24 Wellek dan Warren menjelaskan tentang latar sebagai berikut. Latar adalah lingkungan, dan lingkungan terutama interior rumah dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Selain itu latar mungkin merupakan proyeksi

22

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 256-257

23

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.262-263

24 Burhan Nurgiantoro,

Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.216


(29)

kehendak tersebut.25 Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok yaitu lingkungan yang dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial dimana terdapat suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu. Pada tahap awal karya fiksi pada umumnya berisi penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan. Misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan waktu, dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi cerita. Tahap awal suatu karya umumnya berupa pengenalan, pelukisan, atau penunjukkan latar. Tetapi hal itu tak berarti bahwa pelukisan dan penunjukkan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. Ia dapat saja berada pada berbagai tahap yang lain, pada berbagai suasana dan adegan yang bersifat komprehensif dengan unsur-unsur struktural fiksi yang lain. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca.

Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam sebuah cerita.26 Unsur-unsur dalam latar dapat dibedakan menjadi tiga Unsur-unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara tersendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lain.

25

Wellek warren, 1995. Teori Kesusastraan (Penerjemah: Melani Budianta), (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm.291

26 Robert Stanton,


(30)

B. Alur (Plot)

Alur atau plot memegang peranan penting dalam sebuah cerita. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan. Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhan. Alur mengalir karena mampu merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca (terkait harapan, maupun rasa takut), pertanyaan yang sering muncul adalah hal apa yang akan terjadi selanjutnya, akan tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut dan jawaban yang dihasilkan dapat berlembar-lembar berikutnya.27

Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki konflik internal yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu konflik utama yang bersifat eksternal, internal, atau dua-duanya. Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan tertentu seperti kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan dengan pengalaman, atau individualitas dengan kemauan beradaptasi. Sebuah cerita mungkin mengandung lebih dari satu konflik kekuatan, tetapi hanya konflik utamalah yang dapat merangkum seluruh peristiwa yang terjadi dalam alur. Konflik utama selalu terikat intim dengan tema cerita. Klimaks adalah ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi.28 Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang

27 Robert Stanton,

Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007), hlm. 28 28


(31)

tidak terlalu mengejutkan. Klimaks utama tersebut terkadang sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaksnya sendiri. Bahkan, bila konflik sebuah cerita berwujud dalam berbagai bentuk atau cara dan melalui beberapa fase yang berlainan, akan sangat tidak mungkin menentukan satu klimaks utama. Alur sebuah cerita bagaimanapun tentu mengandung unsur urutan waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya. Alur sebuah karya fiksi sering tidak menyajikan urutan peristiwa secara kronologis dan runtut, melainkan penyajiannya yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang manapun juga tanpa adanya keharusan untuk memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan kejadian terakhir. Demi memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end).29 Ketiga tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah alur karya fiksi yang bersangkutan.

Tahap awal, sebuah cerita biasamya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya, berupa penunjukkan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian, dan lain-lain yang pada garis besarnya berupa deskripsi setting.30 Tahap awal cerita, di samping memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh, konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan.

Tahapan tengah, disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap

29

Abrams dalam buku Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 256

30 Burhan Nurgiantoro,

Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 144


(32)

sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan seperti telah dikemukakan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, konflik dalam diri seorang tokoh, atau pertentangan yang terjadi antar tokoh cerita. Di tahap tengah ini pula klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas tertinggi.31 Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari sebuah karya fiksi. Di bagian ini pula inti cerita disajikan. Tokoh-tokoh memainkan peran, peristiwa penting dikisahkan, konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan dan mencapai klimaks.

Tahap akhir, disebut juga sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita, atau mengarah pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. Hal ini, biasanya dikaitkan dengan bagaimana nasib tokoh-tokoh, bagaimana bentuk penyelesaian sebuah cerita, dalam banyak hal ditentukan atau dipengaruhi oleh hubungan antartokoh dan konflik yang dimunculkan.32 Dapat diartikan bahwa pada tahap ini peleraian dari sebuah titik puncak masalah dan diakhiri dengan sebuah penutup cerita atau akhit cerita. Teori klasik Aristoteles penyelesaian atau akhir cerita dibedakan menjadi dua macam, yaitu kebahagiaan dan kesedihan atau yang biasa dikenal dengan istilah happy ending dan bad ending

Tahap-tahap alur yang telah dikemukakan di atas dapat pula digambarkan dalam bentuk diagram. Diagram struktur yang dimaksud biasanya didasarkan pada urutan kejadian dan atau konflik secara kronologis. Sebenarnya lebih menggambarkan struktur alur jenis progresif-konvensional-teoretis. Misalnya, diagram yang digambarkan oleh Jones seperti ditunjukkan berikut ini,33

31

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005),, hlm.145

32

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005),. hlm.146

33 Burhan Nurgiantoro,

Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.151


(33)

Klimaks

Inciting Force+)

*) **) pemecahan

AWAL TENGAH AKHIR

Keterangan: *) konflik dimunculkan dan semakin ditingkatkan **) konflik dan ketengangan mulai melemah

+) inciting forces menyarankan pada hal-hal yang semakin meningkatkan konflik sehingga mencapai klimaks

Diagram di atas menggambarkan perkembangan alur yang runtut dan kronologis. Sesuai dengan tahapan-tahapan alur yang secara teoretis dan konvensional. Kenyataannya memang alur cerita sebuah karya fiksi, terutama novel urutan kejadian yang ditampilkan tidak secara linear kronologis, sehingga jika digambarkan wujud diagramnya pun tidak akan sama.

C. Tinjauan Film

1. Definisi

Definisi film menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang


(34)

dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.34

Pengertian secara harfiah film adalah cinemathographie yang berasal dari cinema dan tho atau phytos yang berarti cahaya serta graphie atau graph yang berarti gambar. Pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan cahaya seseorang harus menggunakan alat khusus, yang disebut dengan kamera. Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut seluloid. Bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa.35 Bertolak dari pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya sinematografi yang memanfaatkan media seluloid sebagai penyimpannya.

Secara umum, film dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. Keduanya saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. Film cerita, unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita filmnya, sedangkan unsur semantik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film. Pratista dalam buku “Memahami Film” menyatakan bahwa secara umum film dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Film dokumenter

Fokus utama dalam film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi atau otentik. Film dokumenter dapat digunakan

34 Undang-undang RI Nomor 8 tahun 1992 35


(35)

untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti informasi atau berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, hingga sebagai sarana propaganda dalam bidang politik.

b. Film fiksi

Film fiksi adalah film yang terikat oleh plot. Dari sisi cerita, film fiksi sering menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata serta memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Manajemen produksinya lebih kompleks karena biasanya menggunakan pemain serta kru dalam jumlah yang besar.

c. Film Eksperimental

Film eksperimental tidak memiliki plot namun memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin mereka. Film eksperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena mereka menggunakan simbol-simbol personal yang mereka ciptakan sendiri.36

Rectoverso jika dilihat dari ketiga jenis film di atas, masuk ke dalam jenis film fiksi. Hal ini dikarenakan Rectoverso memiliki plot (alur) yang cukup kompleks, dan pemain ataupun tokoh yang dimunculkan pada setiap cerita yang disajikan pun berbeda. Ceritanya yang berasal dari sebuah cerita kumpulan cerpen fiksi, sehingga menjadikan film Rectoverso pun konsep ceritanya terkadang di luar kehidupan nyata atau keseharian.

Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa menggunakan seluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media seluloid pada tahap pengambilan gambar. Tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan pada media yang fleksibel. Hasil

36


(36)

akhir karya sinematografi dapat disimpan pada media seluloid, analog maupun digital.

Film bisa membuat orang tertahan, setidaknya saat mereka mmemontonnya secara lebih intens disbanding medium lainnya. Bukan hal yang aneh jika seorang pengulas film menyarankan agar calon penonton membawa sapu tangan maupun tisu ketika menyaksikan film yang menyedihkan. Film memang memiliki pengaruh yang begitu kuat, namun hal ini terjadi saaat film ditayangkan di bioskop. Orang terpesona oleh film sejak penciptaan teknologi film itu, meskipun gambar itu tak lebih dari gambar putus-putus di tembok putih. Ketika masuknya suara pada akhir 1920-an dan kemudian warna serta banyak kemajuan teknis lainnya, film terus membuat orang terpesona.37

Film dapat berdampak buruk bagi siapa saja yang tidak mampu menyaring pesan dan informasi yang terkandung dalam sebuah film. Ini menyadarkan kita bahwa apa yang disajikan film tidak semuanya memiliki muatan positif. Merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat untuk lebih cerdas memilih tontonan yang berkualitas agar tidak terjebak dalam realitas dan lingkungan tiruan dari media yang kompleks.

2. Tema, Karakterisasi, Setting, Alur(Plot), Sudut Pandang

 Tema

Tema berfungsi sebagai faktor dasar pemersatu film. Menentukan tema sering merupakan sebuah proses yang sulit. Kita tidak bisa mengharapkan tema akan diungkap secara jelas di pertengahan film. Biasanya setelah melihat keseluruhan film kita akan mengetahui tema dari film tersebut. Penggunaan kata tema pada film, sama seperti penggunaan pada novel, drama atau puisi. Tema dapat berarti ide pokok, persoalan, pesan, atau suatu pernyataan yang mewakili

37


(37)

keseluruhan. Namun dalam ruang lingkup film terutama yang berkembang di Amerika, tema diartikan sebagai persoalan pokok atau sebuah fokus dimana film dibangun. Dalam film, persoalan pokok atau fokus dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Plot sebagai tema. Film yang dibangun dengan plot sebagai tema memberikan penekanan kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi. Seperti misalnya film petualangan atau detektif, film-film seperti ini ditujukan memberikan kesempatan kepada kita untuk sejenak melarikan diri dari kebosanan dan kejemuan dari kehidupan sehari-hari. Kejadian dan aksi-aksi dalam film seperti ini harus mampu menggugah dan berlangsung cepat. Tokoh-tokoh, ide, dan efek emosional dari film ini ditentukan oleh plot dan yang terpenting dari film ini adalah hasil akhirnya.

2. Efek emosional/suasana sebagai tema. Pada film ini menggunakan efek emosional/suasana yang sangat khusus sebagai fokus atau landasan struktural. Biasanya tidak terlalu sulit untuk mengenali suasana atau emosi utama yang menguasai seluruh film.

3. Tokoh sebagai tema. Film dengan penggambaran suatu tokoh tunggal yang unik melalui akting dan dialog. Daya tarik dari tokoh ini terkandung dalam sifat dan ciri-ciri yang membedakan mereka dari orang-orang biasa. Tema film-film seperti ini dapat dikemukakan dalam pemaparan singkat dari tokoh utama, dengan memberikan tekanan pada aspek-aspek luar biasa dari kepribadian tokoh tersebut.

4. Ide sebagai tema. Film yang mengangkat berbagai aspek kehidupan dan pengalaman atau keadaan manusia menjadi sebuah tema film. Terkadang sangat sulit


(38)

menebak tema film jenis ini, namun dapat dilakukan dengan mengidentifikasi secara teliti subyek abstrak dari film tersebut dalam satu kata ataupun kalimat seperti misalnya: cemburu, kemunafikan, prasangka, dll.

Jika kita ingin mengembangkan penemuan tema terhadap film jenis ini, dapat dengan berpedoman pada kategori berikut:

1. Tema sebagai sebuah pernyataan moral. Film seperti ini memiliki maksud untuk meyakinkan kita tentang kebijaksanaan atau prinsip moral tertentu dan mengajak kita untuk menerapkan prinsip tersebut dalam tingkah laku kita.

2. Tema sebagai sebuah pernyataan tentang hidup. Film seperti ini memfokuskan diri pada penunjukan sebuah

“kebenaran tentang hidup”. Selain itu juga memberikan

komenar tentang fitrah pengalaman manusia atau penilaian tentang keadaan manusia. Umumnya film jenis ini mencoba menambah perbendaharaan baru pada pengertian kita tentang hidup tanpa memberikan suatu pernyataan moral yang khusus, tetapi dengan memberikan petunjuk-petunjuk.

3. Tema sebagai sebuah pernyataan tentang sifat manusia. Berbeda dengan film yang mengangkat tokoh sebagai tema dimana tokoh adalah seorang pribadi yang unik dan berbeda dari orang-orang biasa. Film ini justru menunjukkan sifat-sifat manusia yang universal dan mewakili sifat manusia secara umum.

4. Tema sebagai komentar sosial. Film ini ditujukan untuk membuat perubahan sosial.

5. Tema sebagai sebuah teka-teki moral atau falsafi. Film seperti ini berkomunikasi terutama melalui


(39)

lambang-lambang dan citra-citra . Untuk penafsiran pada film jenis ini sangat bersifat subyektif.

Karakterisasi

Karakter tokoh yang kuat dan jelas akan membantu pencapaian kesan dari tema yang disodorkan. Apapun bentuk dan wujud tokoh itu, apakah dia seorang manusia, binatang, benda mati seperti kayu atau batu, wayang, kartun, semua harus dapat diterima dan logis.

Masih ingat film animasi “Bolt”, di film ini hampir

semua diperankan oleh binatang. Namun karena karakter-karakternya dibuat secara logis, maka penonton dapat menerima dan tertarik mengikuti jalan ceritanya. Banyak cara untuk menggambarkan tokoh agar sesuai dengan tema yang dikemukakan. Yangpertama dapat dengan secara langsung diceritakan. Cara ini yang paling mudah namun memerlukan kejelian dalam mencari titik fokus penggambaran dan mencari kata-kata yang tepat untuk melukiskannya. Cara kedua adalah dengan dialog tokoh dengan lawan mainnya. Dari dialog dapat diketahui apakah tokoh temperamental, penyabar, pendendam, dll. Caraketiga dapat dengan cara menggambarkan tingkah laku tokoh. Ketika dia bereaksi terhadap suatu stimultan, gerak-geriknya ketika melakukan sesuatu, tergambarkan dengan jelas.danmasih banyak cara lainnya. Jika kita tidak memperhatikan unsur-unsur yang paling manusiawi dalam sebuah film, atau tidak tertarik pada tokoh-tokoh dan karakter-karakternya maka kecil kemungkinan bahwa kita akan tertarik pada film itu sebagai suatu keseluruhan. Supaya dapat menarik, tokoh-tokoh haruslah masuk akal, dapat difahami dan menonjol.


(40)

Karakterisasi dapat dilihat atau ditunjukkan melalui : 1. Penampilan, Karakter yang dapat direka dari

penampilan fisik (kesan visual) dari seorang tokoh, seperti pakaian yang dikenakannya, perawakan tubuhnya, dll. Dari penampilan dapat diketahui kaya atau miskin, baik atau jahat, rapi atau lusuh, menarik atau tidak menarik, dll.

2. Dialog, Karakter yang direka dari kalimat-kalimat yang diucapkan saat tokoh berdialog dengan tokoh lain. Serta bagaimana cara tokoh tersebut berucap. Fikiran, sikap dan emosi tokoh terlihat dari cara memilih kata dan tinggi rendah intonasi. Dari dialog dapat diketahui daerah asal, tingkat pendidikan, hobi dll.

3. Aksi eksternal, Karakter yang direka dari melihat bahasa tubuh tokoh. Apakah tokoh tersebut ceroboh atau tidak, kaku atau luwes, percaya diri atau tidak, dll. 4. Aksi internal. Karakter yang direka melalui aksi batin

tokoh. Aksi batin ini berlangsung dalam fikiran dan emosi tokoh terdiri dari fikiran-fikiran yang tidak diucapkan, angan-angan, aspirasi, kenangan, ketakutan, fantasi dan harapan. Realitas batin dapat ditunjukkan melalui gambar atau suara kalbu sang tokoh, dengan kilasan-kilasan, dll.

5. Reaksi tokoh-tokoh lain, Apakah dia seorang terkenal atau biasa, disayang atau dibenci, dikagumi atau diremehkan, dll.

6. Nama tokoh, Dapat diketahui daerah asal tokoh. Apakah dia orang jawa atau bali, indonesia atau amerika, kota atau desa, dll.

7. Identitas tokoh, Apakah dokter atau guru, direktur atau kuli, pelajar atau pengangguran, dll.


(41)

Alur dan Plot

Alur cerita atau yang sering kita sebut plot adalah bangunan sebuah cerita. Berbagai cara dapat dilakukan untuk membangun sebuah cerita.

1. Sirkuler, Sebuah plot cerita yang dimulai dari A dan kembali lagi ke A.

2. Linear, Sebuah plot cerita yang dimulai dari titik awal dan maju terus hingga titik akhir cerita.

3. Foreshadowing, Sebuah plot yang bercerita tentang kejadian yang akan terjadi di masa datang, loncat pada kejadian lain dan pada penutup bercerita kembali tentang kejadian yang sudh diceritakan di depan.

4. Flashback, Menceritakan kejadian di masa lampau. Untuk membangun struktur sebuah cerita yang menarik maka dapat dihadirkan suspens atau kejutan. Dapat berupa kejutan yang sederhana ataupun yang mampu mengembangkan rasa penasaran penonton. Suspens yang terpelihara dengan baik dapat mengukuhkan struktur dramatik sebuah cerita.

Struktur dari sebuah cerita dapat terdiri dari:

1. Eksposisi, memberikan gambaran selintas mengenai cerita yang akan terjadi, tokoh yang memerankan, dll. 2. Konflik, saat dimana tokoh mulai terlibat dalam suatu

permasalahan.

3. Klimaks, puncak dari pokok permasalahan 4. Resolusi, pemecahan permasalahan.38

Setting (latar)

Setting adalah waktu dan tempat dimana cerita sebuah film berlangsung. Setting pada umumnya

38


(42)

merupakan unsur yang paling berpengaruh pada unsur lain seperti tema, visual efek, kostum, dll. Empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan setting: 1. Faktor temporal (waktu), masa saat cerita itu terjadi. 2. Faktor geografik, tempat dimana cerita terjadi. 3. Faktor ekonomi yang berlaku saat itu.

4. Faktor adat dan budaya yang berlaku saat itu.

Sudut Pandang

Sudut pandang pada sebuah film, dapat kita ketahui dengan dua cara yaitu yang dikenal dengan sebutan diegetic dan non diegetic. Diegetik merupakan suara yang sumbernya terlihat pada layar atau yang sumber tersirat untuk hadir oleh aksi film:

a. Suara karakter

b. Suara yang dibuat oleh benda-benda dalam cerita

c. Musik direpresentasikan sebagai berasal dari instrumen dalam ruang cerita (= sumber musik) Suara diegetik adalah suara disajikan sebagai berasal dari sumber dalam dunia film. Suara Digetic dapat berupa pada layar atau dari layar tergantung pada apa pun sumbernya adalah dalam bingkai atau di luar bingkai. Istilah lain untuk suara diegetik adalah suara yang sebenarnya. Diegesis adalah kata Yunani untuk "cerita menceritakan". Diegesis film ini adalah total dunia aksi cerita. Non-diegetik merupakan suara yang sumber yang tidak terlihat pada layar atau telah tersirat untuk hadir dalam aksi:

a. Komentar narator

b. Efek suara yang ditambahkan untuk efek dramatis


(43)

Suara Non-diegetik direpresentasikan sebagai berasal dari sumber di luar ruang cerita. Perbedaan antara suara diegetik atau non-diegetik tergantung pada pemahaman kita tentang konvensi menonton film dan mendengarkan. Kita tahu bahwa suara-suara tertentu yang direpresentasikan sebagian berasal dari cerita dunia, sementara yang lain direpresentasikan sebagian berasal dari luar ruang peristiwa cerita. Sebuah bermain dengan konvensi diegetik dan non-diegetik dapat digunakan untuk membuat ambiguitas (horor), atau untuk mengejutkan penonton (komedi).39

3. Penambahan dan Penciutan

Sebuah karya sastra yang mengalami proses atau beralih media, tentunya banyak terdapat beberapa perbedaan. Seperti yang akan dibahas berikut ini, yaitu terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam proses alih wahana. Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan yakni dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian lain. Kegiatan di bidang ini akan menyadarkan kita bahwa sastra dapat bergerak kesana kemari, berubah- ubah unsur-unsurnya agar bisa sesuai dengan wahananya yang baru.40 Salah satunya ialah ekranisasi di dalamnya terdapat seperti penambahan dan penciutan. Tidak sedikit karya sastra yang diangkat kelayar lebar, banyak hal pula yang terjadi pada karya sastra tersebut, baik berupa penambahan maupun pengurangan. Hal ini tentu sah-sah saja

39

Diterjemahkan dari Susan Hayward, Key Concepts In Cinema Studies, (London: Routledge, 1996), hlm. 75

40


(44)

dilakukan selama mendapat persetujuan dari pembuat karya,

dan tidak mengurangi “rasa” karya tersebut.

Penambahan yang dimaksud ialah, seorang penulis skenario atau sutradara melakukan penambahan pada cerita, alur, penokohan, latar, atau suasana. Hal ini karena sutradara maupun penulis skenario telah menafsirkan terlebih dahulu cerita dari karya yang akan difilmkan, kemungkinan inilah yang menyebabkan adanya penambahan disana sini. Seorang sutradara tentu mempunyai alasan tertentu untuk melakukan penambahan. Misalnya dikatakan, penambahan itu penting dari sudut filmis. Tentunya penambahan itu masih relevan dengan cerita secara keseluruhan atau karena berbagai alasan yang lain.41

Berbeda dengan istilah penciutan, sebuah karya sastra dapat dimikmati dalam kurun waktu berjam-jam bahkan berhari-hari. Namun, berbeda dengan film yang dinikmati dalam kurun waktu 120 menit atau 2 jam. Sebab itulah terkadang sutradara dan penulis scenario melakukan pemotongan adengan atau penciutan. Artinya, tidak semua hal yang diungkapkan dalam novel akan dijumpai dalam film. Sebagian cerita, alur, tokoh-tokoh, latar ataupun suasana cerita pada karya sastra tidak akan ditemui secara lengkap pada film. Sebab, sebelumnya pembuat film sudah memilih terlebih dahulu informasi-informasi atau bagian-bagian yang dianggap penting atau memadai.42 Apabila latar pada sebuah karya sastra dipindahkan secara keseluruhan ke dalam film, kemungkinan besar film itu akan memakan waktu yang cukup panjang. Mengekranisasi latar ini pun tentu akan mengalami penciutan.

4. Perubahan bervariasi

Proses ekranisasi memungkinkan seorang pembuat film untuk membuat variasi-variasi dalam film, sehingga terkesan

41 Pamusuk Eneste,

Novel dan Film, (Yogyakarta: Penerbit Nusa Indah, 1991), hlm.64. 42


(45)

film yang didasarkan atas sebuah karya sastra tidak “seasli”

karya sastra tersebut. Hal ini akan memunculkan interpretasi yang berbeda dari para penikmatnya. Bagi yang telah jatuh hati pada karya sastra terlebih dahulu, pasti akan merasa kecewa apabila film tersebut tidak sesuai atau berlainan dengan karya sastra yang telah dibacanya. Berbeda hal dengan penikmat film yang belum membaca bukunya pasti ia tidak akan terlalu kecewa atas perbedaan yang terjadi antara film dan karya sastra. Hal ini justru terkesan membuat penikmat film dan pembaca diajak untuk lebih kritis lagi dalam menerima dan menyerap informasi baru, pastinya akan terjadi proses perbandingan antara kedua hal tersebut.43

Film Salah Asuhan pun dijumpai sejumlah variasi, seperti dalam buku Abdul Muis menyebutkan, Hanafi dan Corie pernah sekolah di Betawi (Jakarta). Tetapi dalam film yang di sutradarai Asrul Sani, keduanya disebutkan pernah sekolah di Eropa bukan di Jakarta. Dalam film, Salah Asuhan pula kelihatan Hanafi dan Corie berduaan di Lembah Anai, sedangkan dalam buku tidak ada cerita semacam itu. Dapat dikatakan karya sastra tersebut memiliki versi lain, namun dalam bentuk cerita yang serupa. Meskipun dalam setiap karya sastra dan film kerap terjadi variasi-variasi namun tema pokok dan amanat yang hendak diungkapkan tidak akan terlalu jauh dengan apa yang dituliskan oleh pengarang.

D. Sekuens

Sekuens atau rangkaian cerita biasanya terdiri dari adegan dimana keseluruhan saling berhubungan menjadi sebuah logika dengan pemahaman yang sama, untuk alasan ini panjang dari rangkaian tersebut setara dengan kontinuitas visual atau narasi. Narasi sebuah episode dalam film (sekuens juga dapat berupa rangkaian dalam sebuah novel) hal ini

43


(46)

sangat berguna jika kita ingin mempelajari sebuah film dengan tujuan membawa segmen cerita keluar dari rangkaian yang ada.

Rata-rata sebuah film dapat terdiri dari 23 sampai 24 sekuens atau rangkaian film Hollywood kebanyakan. Berbeda dengan film keluaran Eropa yang cenderung ke angka yang lebih rendah antara 11 sampai 18. Secara tradisional rangkaian pembuka dari sebuah film terdiri dari logika yang mengarahkan para penonton, dan dalam hal ini setiap awalan dari rangkaian cerita berfungsi sebagai petunjuk arah bagi penonton. Penutupan sebuah sekuens ditandai dengan beberapa bentuk transisi: memudar, menghapus, iris atau memotong (dalam 'iris' gambar bertahap masuk atau keluar sama dengan membuka dan menutup lensa kamera). Transisi ini berfungsi untuk membuat film mudah dibaca. Sebaliknya, pemotongan melompat atau pengambilan yang tidak sesuai adalah dua prosedur yang digunakan untuk melawan orientasi aman yang disediakan oleh penanda transisi tradisional. Transisi ini seperti tanda baca, sehingga mereka juga akan ditemukan dalam sekuen. Memudar dan iris merupakan transisi yang lunak, yang pertama lebih mudah berhubungan dengan bioskop sebelumnya, meskipun film kontemporer yang memanfaatkan mereka (kadang-kadang sebagai penghormatan kepada warisan film). Transisi lunak penanda ini dapat berfungsi untuk menunjukkan selang waktu, keadaan pikiran dan alam bawah sadar, sehingga mereka kurang mungkin ditemukan dalam sekuena melainkan antara faktor sekuens. Transisi keras, penghapusan hampir tidak pernah terlihat saat ini. Pemotongan antara sekuens dapat menyiratkan hubungan langsung antara keduanya, baik dalam narasi atau kronologi. Memotong dalam sekuens yang berfungsi untuk memberikan irama (cepat atau lambat, tergantung pada seberapa sering mereka digunakan) dan juga memungkinkan hubungan ruang untuk menjadi jelas ke penonton. Jika pemotongan tidak digunakan secara


(47)

konvensional dalam sekuens mereka menunjuk ke ide fragmentasi atau pemisahan.44

Menurut Scmitt dan Viala, cerita terbagi atas satuan-satuan isi cerita atau sekuen. Sekuen merupakan keseluruhan ujaran yang membentuk satu kesatuan makna. Ada dua kriteria sekuen, yaitu:

1. Sekuen harus mempunyai satu titik pusat perhatian yang sama, misalnya tokoh yang sama, gagasan yang sama atau peristiwa yang sama.

2. Sekuen harus mencakup satu kurun waktu dan ruang yang koheren, seperti satu ruang atau waktu tertentu.45

E. Penelitian Relevan

Berdasarkan penelusuran penulis dibeberapa Universitas, penelitian dengan objek kajian berupa analisis perbandingan alur karya sastra dan film Rectoverso belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan dalam upaya menyusun skripsi ini dan berkaitan dengan masalah yang diteliti adalah sebagai berikut.

1. Dimas Wahyu T, Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, tahun 2007. Mengangkat skripsi dengan tema “Sisi punk dalam diri Bodhi sebuah tinjauan psikologi sosial terhadap tokoh utama novel Supernova (Akar) bab "Akar" dan "Selamat menjadi S"”. Pemilihan novel Supernova (Akar) karya Dewi Lestari sebagai objek penelitian didasarkan pada temuan adanya gambaran punk, sesuatu yang hingga kini masih dipandang negatif oleh sebagian masyarakat. Lebih jauh, pemilihan novel tersebut

44

Diterjemahkan dari Susan Hayward, Key Concepts In Cinema Studies, (London: Routledge, 1996), hlm.312-313

45

Alain Viala dan M.P. Schimtt, Savoir-lire. (Paris: editions Didier, 1982), dalam Tesis

Rosida Erowati dengan judul melintas batas: represebtasi kondisi multicultural dalam film monsieur Ibrahim et les fleur du coran, Program Pascasarjana Ilmu Susatra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2006.


(48)

juga didasari karena adanya penggambaran bahwa Bodhi, sebagai tokoh yang sebelumnya tidak mengenal punk, disebut sebagai seorang punk dan penganut ideologi anarki. Pemilihan novel ini pun terkait dengan ciri tema-tema sekuel Supernova tentang kaum muda dan hubungannya dengan religiusitas atau spiritualitas dalam bentuk yang menyesuaikan zaman. Novel Supernova Akar bab Akar dan Selamat Menjadi S, berkisah tentang perjalanan hidup tokoh Bodhi dalam mencari kesejatian. Latar belakang hidupnya yang tidak jelas, tanpa tahu data diri dan siapa orang tuanya, dan adanya kisah karma yang harus dijalani memicu Bodhi untuk mengembara dan mencari apa yang disebutnya sebagai kesejatian diri. Kisah ini dimulai dengan penceritaan Bodhi sebagai seorang punk yang juga hidup di lingkungan punk. Sebuah kilas balik memperlihatkan latar belakang Bodhi dimulai dari saat ia masih bayi, tinggal di lingkungan vihara, kemudian bertemu seorang backpacker dan bergabung bersama para backpacker lain, hingga akhirnya bertemu dengan lingkungan punk dan memilihnya sebagai jalan hidup. Tinjauan psikologi sosial telah disimpulkan bahwa, melalui interaksi sosial, tokoh Bodhi cenderung mengidentifikasi seseorang atau kelompok di dalam sebuah lingkungan sosial jika ia bersimpati kepada seseorang atau kelompok tersebut. Proses identifikasi itu pun mencakup proses mengimitasi budaya (mulai dari cara berpakaian, cara hidup, hingga cara pikir) di lingkungan tempat seseorang atau kelompok yang diidentifikasikannya itu. Selama pengembaraan, Bodhi memperoleh banyak pemahaman, baik terhadap individu, masyarakat, hingga peristiwa-persitiwa di dalam kehidupan manusia. Latar dan tokoh yang Bodhi temui selama perjalanan memberi pengaruh pada sikapnya. Pemahaman-pemahaman itu bersinambung dengan nilai-nilai di dalam kehidupan punk, seperti anarki, konsep egaliter, dan konsep bertahan hidup secara mandiri.46

46

Skripsi Dimas Wahyu T, Sisi punk dalam diri Bodhi sebuah tinjauan psikologi sosial terhadap tokoh uta a o el “uper o a Akar bab "Akar" da "“ela at e jadi “" , Perpustakaan Universitas Indonesia: Depok, 2007.


(49)

2. Tira Anggreyani. “Gaya Bahasa Simile dalam novel Perahu Kertas

Karya Dewi “Dee” Lestari dan Pembelajarannya di SMK Kelas XII”.

Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Universitas Muhammadiyah Purworejo, 2013. Tujuan penelitiannya adalah: Mendeskripsikan dan menjelaskan gaya bahasa simile yang digunakan

Dewi “dee” Lestari dalam novel Perahu Kertas, Mendeskripsikan dan menjelaskan makna dan fungsi simile dalam novel Perahu Kertas, Mendeskripsikan dan menjelaskan pembelajaran gaya bahasa simile dalam novel Perahu Kertas pada siswa kelas XII SMK. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, sumber data berasal dari kutipan dan dialog dalam novel Perahu Kertas, teknik pengumpulan data dengan teknik simak bebas libat cakap dan teknik catat. Teori yang menjadi bahan acuan skripsi adalah kajian stilistika dan semiotik. Pradopo (2005:277) menyatakan, kajian semiotik digunakan untuk memahami makna gaya bahasa. Gaya bahasa simile dibagi menjadi beberapa kategori menurut pembentuk pembanding. Wahab (1995:55), mengistilahkan bahan pembentuk pembanding ini dengan istilah medan makna yang terdiri dari beberapa kategori, yakni being, cosmos, energy, substance, terrestrial, object, living, animate, human. Penelitian ini merupakan penelitian desriptif kualitatif. Hasil analisis membuktikan, Novel Perahu Kertas gaya bahasa simile yang ditemukan berjumlah 74 data. Kategori simile berdasarkan unsur pembanding yang membentuk simile yang ada dalam novel Perahu Kertas, yakni: kategori being berjumlah 22 data, kategori cosmos berjumlah 2, kategori energy berjumlah 5, kategori substance berjumlah 3, kategori terrestrial berjumlah 3, kategori object berjumlah 13, kategori living berjumlah 3, kategori animate berjumlah 7, dan kategori human berjumlah 16, makna atau motif simile yang terdapat dalam novel Perahu Kertas yaitu motif terbuka sebanyak 33 data dan motif tertutup sebanyak 41 data. Pembelajaran gaya bahasa simile dikolaborasikan dengan pembelajaran sastra tentang makna idiomatik dalam karya sastra denagn model pembelajarn CTL. Gaya


(50)

bahasa simile yang dideskripsikan telah disesuaikan dan dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran di SMK. Kesesuaian tersebut dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran novel diajarkan pada kelas XII semester 1. 47

3. Skripsi Arthadea Anggitapraha, dengan judul “Alih Wahana, Lirik Lagu, Cerpen, Video Klip Malaikat Juga Tahu Karya Dewi Lestari”. Mahasiswi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan unsur-unsur lirik lagu, cerpen, video klip Malaikat Juga Tahu karya Dewi Lestari. Unsur-unsur lirik lagu meliputi pembaitan, diksi, pengimajian, bahasa figuratif, tema dan amanat. Unsur-unsur cerpen dan video klip meliputi alur, penokohan, latar, tema dan amanat. Mendeskripsikan alih wahana yang terjadi di dalam lirik lagu, cerpen, video klip Malaikat Juga Tahu karya Dewi Lestari yang meliputi penciutan, penambahan (perluasan), dan perubahan bervariasi. Analisis unsur dari masing-masing wahana, yaitu lagu, cerpen, dan video klip,bertujuan untuk dapat mengetahui proses pengalihwahanaan yaitu terdapat penciutan, penambahan (perluasan) atau perubahan bervariasi. Malaikat Juga Tahu berasal dari ide lagu yang kemudian dialihwahanakan menjadi bentuk cerpen. Dari bentuk cerpen dialihwahanakan lagi menjadi bentuk video klip. Alih wahana dari lagu ke cerpen terdapat proses perubahan bervariasi dan penambahan/perluasan. Proses perubahan bervariasi terjadi pada penggunaan bahasa dalam pengungkapan makna rasa cinta sejati. Pada lirik lagu, rasa cinta sejati diungkapkan dengan kalimat /cinta yang nyata setia hadir setiap hari tak tega biarkan kau sendiri/, kemudian mengalami perubahan bervariasi pada cerpen menjadi kalimat naratif yaitu cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya.

47

Skripsi Tira Anggreyani, Gaya Bahasa “i ile dala o el Perahu Kertas Karya De i

Dee Lestari da Pe belajara ya di “MK Kelas XII , Universitas Muhammadiyah Purworejo, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2013.


(1)

171

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Haqi. My Life As Writer. Bandung: Mizan Media Utama. 2013.

Anggreyani, Tira, Skripsi “Gaya Bahasa Simile dalam novel Perahu Kertas Karya Dewi “Dee” Lestari dan Pembelajarannya di SMK Kelas XII”. Universitas Muhammadiyah Purworejo. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,. 2013.

Anggitapraha, Arthadea. Skripsi dengan judul “Alih Wahana, Lirik Lagu, Cerpen, Video Klip Malaikat Juga Tahu Karya Dewi Lestari”. Mahasiswi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010.

Aziez, Furqonul. Menganalisis Fiksi sebuah pengantar, Ciawi: Penerbit Ghalia Indonesia. 2010.

Budianta, Melani. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera. 2003.

Damono, Sapardi Djoko. Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa. 2005.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2004.

Endaswara, Suwardi. metodologi penulisan sastra bandingan, Jakarta: Bukupop. 2011.

Erowati, Rosida. Tesis dengan judul “melintas batas: represebtasi kondisi multicultural dalam film monsieur Ibrahim et les fleur du coran, Program Pascasarjana Ilmu Susatra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2006.

Eneste, Pamusuk. Novel dan Film. Yogyakarta: Penerbit Nusa Indah. 1991.

Guntur Tarigan, Hendry. Membaca Sebagai Sebuah Keterampilan. Bandung: Penerbit Angkasa. 1994.

---. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa. 2011.


(2)

172

Lestari, Dewi. Rectoverso. Jakarta: Bentang. 2013.

M. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988.

Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005.

Pratista, Himawan. Memahami Film. Jakarta: Homerian Pustaka, 2009.

Ratna, Nyoman Kutha R. Teori, Metode, dan Teknik Penulisan Sastra dari Struktualisme hingga Poststruktualisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Semi, Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa. 2012.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.

Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelaja Offset. 2007.

Sumardjo, Jakob. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. 1986.

Vivian, John. Teori Komunikasi Massa edisi kedelapan. Jakarta: Prenada. 2008.

Wahyu T, Dimas. Sisi punk dalam diri Bodhi sebuah tinjauan psikologi sosial terhadap tokoh utama novel Supernova (Akar) bab "Akar" dan "Selamat menjadi S"”. Perpustakaan Universitas Indonesia: Depok. 2007.

Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan (Penerjemah: Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. 1995.Y. Handoyo, Autisma. Jakarta: PT.Buana Ilmu Populer. 2008.


(3)

(4)

(5)

(6)

BIODATA PENULIS

Monica Harfiyani, lahir di Jakarta pada 28 Mei 1992. Anak pertama dari lima bersaudara ini lahir dari pasangan Rizal Pahlephi dan Harmiyanti. Sejak kecil memiliki hobi menulis dan membaca. Kesehariannya diisi dengan menulis buku diary dan membaca berbagai novel yang ia koleksi. Cita-citanya menjadi seorang guru dan penulis menuntunnya untuk dapat masuk ke jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi langkah awalnya untuk mewujudkan cita-citanya. Keluarga, sahabat, dan teman terdekatnya menjadi motivasinya untuk mewujudkan cita-cita menjadi seorang guru, penulis, dan anak yang dapat membanggakan bagi keluarganya.