Latar Belakang Latar Belakang dan Masalah

Rikky Antonius : Bahasa Plesetan Dalam Acara Democrazy Di Metro TV, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah salah satu unsur kebudayaan universal yang memiliki banyak fungsi. Di antara banyak fungsi yang dimiliki oleh bahasa, fungsinya sebagai alat komunikasi menempati urutan pertama. Sementara komunikasi bertujuan mentransformasikan ide atau maksud di antara mereka yang melakukan komunikasi itu. Maka, apabila ide atau maksud tidak berhasil disampaikan dalam suatu komunikasi, komunikasi itu dianggap tidak efektif bahkan gagal. Kridalaksana dalam Chaer, 1994: 33 mengemukakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa merupakan hasil dari aktivitas manusia. Melalui bahasa akan terungkap suatu hal yang ingin disampaikan pembicara kepada pendengar, penulis kepada pembaca, dan penyapa kepada pesapa. Suatu hal tersebut tentu saja berupa informasi-informasi, baik yang berupa lisan dalam bentuk ujaran maupun yang berupa tulisan. Plesetan merupakan kegiatan berbahasa yang memanfaatkan sifat sewenang-wenang pada kaitan di antara kata-kata dan realitas dunia yang diacunya. Kesewenang-wenangan itu sendiri sebenarnya merupakan sebuah keadaan yang menjadi bagian dari hakikat bahasa yang paling mendasar dan universal di seluruh muka bumi. Ia bukan sekedar penyelewengan yang terjadi Rikky Antonius : Bahasa Plesetan Dalam Acara Democrazy Di Metro TV, 2010. sesekali, karena iseng, atau khas digemari oleh orang Jawa. Oleh karena itu, plesetan sebenarnya praktik berbahasa yang jauh lebih normal dan lazim dari yang selama ini diakui orang. Yang mencurigakan ialah bahwa kenyataan yang seolah- olah sangat sederhana ini tidak mendapatkan pengakuan sewajarnya dalam masyarakat pada umumnya dan kalangan ahli bahasa pada khususnya. Kesewenang-wenangan yang menjadi sifat kaitan di antara kata-kata dan realitas luarnya merupakan temuan Bapak strukturalisme Eropa, Ferdinand de Saussure, pada dekade awal abad ke-20 yang ternyata menjadi salah satu tonggak terpenting dalam seluruh ilmu-ilmu sosial dan humaniora sepanjang abad ini. Dalam bahasa yang lebih baku di kalangan kaum strukturalis, hal itu digambarkan sebagai tidak adanya kaitan yang langsung, logis atau ilmiah di antara tiga hal ini: penanda signifier, maknanya signified, dan realitas di dunia yang diacunya referent, kecuali kaitan yang diada-adakan dan sewenang-wenang arbitrary. Kata arbitrer biasa dikatakan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka. Jadi, yang dimaksud dengan arbiter itu adalah hubungan wajib antarbahasa yang berwujud bunyi itu dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut Abdul Chaer, 1994:45. Walaupun sudah banyak kita dengar sejak pertama kali belajar seluk-beluk bahasa, hal tersebut masih terasa perlu dikemukakan kembali di sini beberapa alasan berikut: Pertama, sebagian besar gejolak umat manusia dibangun dengan menyangkal kesewenang-wenangan kaitan penanda-makna-realitas. Fanatisme, kecemburuan, kebencian, kemarahan, dan perang terjadi berkat atau demi tercapainya penyangkalan itu. Beberapa contoh istilah kunci pada alinea di atas Rikky Antonius : Bahasa Plesetan Dalam Acara Democrazy Di Metro TV, 2010. sengaja dipilih untuk mengajak kita merenung betapa dahsyat dampaknya apabila orang terharu sehingga percaya bahwa seakan-akan ada kaitan yang langsung, tegas di antara realitas dunia. Kedua, sehubungan yang pertama, plesetan hampir selalu disepelekan, dianggap sebagai lelucon dan hiburan orang iseng. Meskipun sesekali dihargai karena bahasa plesetan bersifat lucu dan juga menghibur. Oleh karena itu plesetan jarang mendapat perhatian dalam agenda penelitian serius. Ketiga, tidak dapat dibantah lagi dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora secara global pada tiga dekade belakangan diteliti oleh wawasan post- strukturalisme dan dekonstruksi memutarbalikkan fakta yang ada sebelumnya. Perdebatan poststrukturalisme zaman sesudah atau setelah unsur-unsur yang di dalamnya membangun sebuah struktur beranjak dari pengkajian yang sangat radikal dan kritis terhadap seluk-beluk bahasa, khususnya kesewenang- wenangan bahasa. Yang paling disesalkan lagi, jarang sekali ahli linguis di Indonesia dan mungkin beberapa negeri lain, yang tanggap terhadap perdebatan yang telah merombak sosok ilmu-ilmu sosial pada era globalisasi ini. Perdebatan itu lebih banyak diikuti oleh para filosof, ilmuwan politik dan sosial sejarawan, serta kritikus budaya dan sastra. Semua ini memberikan kesan seakan-akan linguistik merupakan ilmu yang tidak dipentingkan dari masyarakat zamannya, dikuasai sisa-sisa pemikiran dari abad lampau yang lebih menyukai cara kerja ilmuwan pasti dan berusaha menjiplak cara kerja disiplin itu ke dalam kajian bahasa. Keempat, di Indonesia saat ini perdebatan tentang poststrukturalisme dan postmodernisme kadang-kadang dicurigai dan ditolak dengan alasan bahwa semua Rikky Antonius : Bahasa Plesetan Dalam Acara Democrazy Di Metro TV, 2010. itu tidak relevan untuk Indonesia sebagai negara dunia ketiga yang masih baru berkembang. Perbincangan poststrukturalisme dan postmodernisme dianggap terlalu berlebihan karena cara sekelompok intelektual Indonesia yang terlalu ke Barat-baratan. Ironisnya, justru pandangan yang meremehkan Indonesia dalam perspektif evolusi sosial itu tidak kalah “Barat” khususnya barat dari zaman kolonial. Harus diakui bahwa tidak sedikit pembahasan tentang poststrukturalisme dan postmodernisme yang memadamkan minat orang awam untuk ikut mendengar. Hal ini disebabkan oleh padatnya istilah dan nama asing yang disampaikan dalam susunan rumit di balik sikap angkuh pembahasnya. Sedikit banyak hal ini mengandung sinisme orang. Namun, kalau kita jujur dan adil, harus diakui pula bahwa sinisme itu sering muncul sebagai akibat kekhilafan atau ketidak-kenalan banyak orang bahwa praktik dekonstruksi dan wawasan poststrukturalisme Perancis masih berkerabat dekat dengan plesetan. Ia menjadi bagian yang universal di muka bumi ini dengan sosok, watak, dan nama yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang cendekiawan Indonesia yang gemar poststrukturalisme untuk lebih banyak mengenal plesetan atau sejenisnya. Belakangan ini dapat kita ketahui bahwa dalam antropolinguistik juga telah membahas plesetan yang terdapat dalam masyarakat. Antropolinguistik dan sosiolinguistik sangat berhubungan erat karena kedua istilah tersebut belakangan ini sama-sama tertarik pada relasi, organisasi dan perilaku sosial Sibarani, 2004:54. Rikky Antonius : Bahasa Plesetan Dalam Acara Democrazy Di Metro TV, 2010. Democrazy merupakan salah satu acara parodi politik yang disiarkan di sebuah stasiun televisi swasta Indonesia, yakni Metrotv. Acara ini kerap kali menggunakan bahasa plesetan dalam penyampaiannya karena setiap akronim yang diucapkan oleh tokoh yang terdapat di acara tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Hal ini dimaksudkan agar penonton tidak merasa jenuh dalam menyimak perkembangan dunia politik yang sedang marak-maraknya terjadi pada masa sekarang ini. Acara Democrazy yang disiarkan di metrotv bertujuan untuk mengkritik para pejabat tinggi negara yang telah membuat kesengsaraan pada rakyat dengan menaikkan harga BBM yang mengakibatkan naiknya harga bahan pokok. Penulis merasa tertarik untuk meneliti bahasa plesetan dalam acara Democrazy di Metrotv karena bahasa plesetan memiliki makna yang unik. Keunikan itu kadang-kadang muncul dari perbedaan yang drastis antara apa yang diujarkan dan apa yang dimaksudkan. Selain itu, penulis merasa bahwa penelitian ini sangat berguna bagi penulis karena pada masa sekarang ini telah semakin banyak di kalangan masyarakat maupun pemerintahan menggunakan bahasa plesetan. Di samping itu, skripsi- skripsi sebelumnya yang membahas tentang plesetan cenderung pada iklan komersial atau acara-acara televisi yang tidak tetap, sementara Democrazy merupakan suatu acara yang rutin disiarkan oleh salah satu televisi swasta nasional, yakni metrotv pada hari minggu, pukul 21:05 WIB. Hal inilah yang membuat penulis merasa penelitian bahasa plesetan dalam acara Democrazy di metrotv relevan untuk dilakukan. Rikky Antonius : Bahasa Plesetan Dalam Acara Democrazy Di Metro TV, 2010.

1.1.2 Masalah