Perkecambahan Benih Pasak Bumi(Eurycoma longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormansi
PERKECAMBAHAN BENIH PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia) DENGAN BERBAGAI
PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI
_________________
Hasil Penelitian
Oleh:
NURKHOLILA HARAHAP
021202010/BUDIDAYA HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PERKECAMBAHAN BENIH PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia) DENGAN BERBAGAI
PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI
_______________ Hasil Penelitian
Oleh:
NURKHOLILA HARAHAP 021202010/BUDIDAYA HUTAN
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melaksanakan Penelitian Di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara Medan
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2007
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Perkecambahan Benih Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormansi
Nama : Nurkholila Harahap
NIM : 021202010
Program Studi : Budidaya Hutan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Afifuddin Dalimunthe, SP, MP) (Ir. Haryati, MP) NIP. 132 302 941 NIP. 131 875 100
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS. NIP. 132 287 583
(4)
PERKECAMBAHAN BENIH PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia) DENGAN BERBAGAI
PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI
1___________________________
Ringkasan Hasil Penelitian
Oleh:
NURKHOLILA HARAHAP
2021202010/BUDIDAYA HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
1. Judul Seminar Hasil Penelitian yang akan diadakan pada tanggal 5 Desember 2007 Pukul 08.30 WIB.
(5)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Sekitar 26 % telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74 % masih tumbuh liar di hutan-hutan. Dari yang telah dibudidayakan, lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat tradisional. Pemakaian tanaman obat dalam dekade terakhir ini cenderung meningkat sejalan dengan berkembangnya industri jamu atau obat tradisional, farmasi, kosmetik, makanan dan minuman. Tanaman obat yang dipergunakan biasanya dalam bentuk simplisia (bahan yang telah dikeringkan dan belum mengalami pengolahan apa pun). Simplisia tersebut berasal dari akar, daun, bunga, biji, buah, terna dan kulit batang (Syukur dan Hernani, 2001).
Di antara tanaman obat tersebut adalah akar pasak bumi yang secara tradisional digunakan antara lain sebagai: tonikum pascapartum, anti mikroba, anti hipertensi, anti inflamasi, antipiretik, mengobati sakit perut, ulkus, malaria, disentri dan yang paling dikenal adalah sebagai obat kuat (afrodisiak) (Nainggolan dan Simanjuntak, 2005). Kegunaan pasak bumi bertumpu pada ciri-ciri afrodisiaknya. Antara lain kandungan aktif yang terdapat dalam pasak bumi ialah alkaloid, saponins, quassinoids, erycomanone dan eurycomalactone. Phyto compounds yang terdapat dalam pasak bumi dapat membantu merangsangkan pengeluaran hormon testosterone (Portal Komuniti Herba, 2005). Dari beberapa penelitian tumbuhan afrodisiak mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang secara fisiologis dapat melancarkan sirkulasi atau peredaran darah pada sistem saraf pusat (serebral) atau
(6)
sirkulasi darah tepi (perifer). Peningkatan sirkulasi darah ini akan memperbaiki aktivitas jaringan tubuh sehingga secara tidak langsung akan memperbaiki fungsi organ (Intisari Online, 2001).
Menurut Hasanah dan Rusmin (2006), permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan industri obat tradisional adalah sebagian besar bahan baku (80%) berasal dari hutan atau habitat alami dan sisanya (20%) dari hasil budidaya tradisional. Penyediaan bahan baku yang masih mengandalkan pada alam tersebut telah mengakibatkan terjadinya erosi genetik pada sedikitnya 54 jenis tanaman obat. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku secara berkesinambungan serta mengantisipasi permintaan yang terus meningkat tiap tahunnya maka perlu dilakukan pengembangan usaha tani tanaman obat.
Menurut Setiawan (1996), perbanyakan secara generatif, selain ekonomis juga mudah dilakukan dan menghasilkan bibit dengan perakaran yang kuat. Salah satu kendala dalam perbanyakan generatif adalah dormansi pada benih tersebut yang menyebabkan benih susah untuk berkecambah. Menurut Wirawan dan Wahyuni (2002) dormansi benih merupakan kondisi benih yang tidak mampu berkecambah meski kondisi lingkungannya optimum untuk berkecambah. Ditambahkan oleh Sutopo (2002), bahwa dormansi pada benih disebabkan oleh keadaan fisik dari kulit biji, keadaan fisiologis dari embrio atau kombinasi dari kedua keadaan tersebut, seperti kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi
penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas. Biji pasak bumi terdiri dari dua kotiledon diliputi dengan lapisan membran yang tipis, diikuti
dengan endokap yang keras dan eksokap yang tipis di bagian luar (Nooteboom, 1972 dalam Siregar, 2000).
(7)
Oleh karena itu diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya masa dormansinya dapat dipersingkat. Beberapa cara yang telah diketahui adalah dengan perlakuan mekanis berupa skarifikasi seperti mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas ampelas, perlakuan dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti HNO3 dan KNO3, perlakuan
perendaman dengan air, dan perlakuan pemberian temperatur tertentu (stratifikasi) (Sutopo, 2002).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui perlakuan pematahan dormansi yang mana yang terbaik untuk perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan perlakuan pematahan dormansi terbaik untuk perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
Hipotesis
Berbagai perlakuan pematahan dormansi dapat mempercepat perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
(8)
TINJAUAN PUSTAKA
Penyebaran dan Morfologi Pasak Bumi (E. longifolia)
Tanaman ini bisa dijumpai di sekitar Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Di Indonesia hanya terdapat di Sumatera dan Kalimantan, itu pun dalam jumlah sedikit (Sinar Harapan, 2003). Pasak bumi sudah sejak lama digunakan oleh suku-suku di Indonesia. Ini dapat dilihat dari nama daerahnya yang begitu banyak dan beragam. Sumatera: kayu kebel (Lampung), bidara putih (Palembang), bidara laut, bidara putih (Sumatera Utara), pule, bidara laut, kayu lawang (Bangka), bedara puti (Belitung), kayu petimah (Aceh), besan peku gancang, begu gajan (Batak), Sulawesi: bidara mapai (Bugis), bidara pai, kayu pai (Makassar), Jawa: babi kurus (Jakarta), widara putih (Jawa), Kalimantan: pasak bumi (Banjar), bidara pahit, dara pahit (Kalimantan Timur), tanyu ulat (Kalimantan Tengah), sahalai, tunglirit (Kalimantan Tengah) (Republika Online, 2006).
Dalam dunia tumbuhan tanaman pasak bumi tersusun dalam sistematika sebagai berikut:
Divisio
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies : Eurycoma longifolia
(9)
Umumnya tanaman pasak bumi berbentuk semak atau pohon kecil yang tingginya mencapai 10 m, berdaun majemuk, menyirip ganjil, ibu tangkainya mencapai 1 m, mengelompok di ujung ranting. Masing-masing penggabungan daun terdiri dari 30-40 kumpulan daun. Masing-masing sekelompok daun kira-kira 5-20 cm panjangnya dan 1,5-6 cm luasnya. Anak daun berhadapan, berbentuk lanset atau agak berbentuk bundar telur dengan ujung agak meruncing. Akar utama, berbentuk silinder biasanya tidak bercabang, berwarna putih kekuning-kuningan di dalamnya dan sangat pahit (Ismail et al 1999).
Tanaman ini merupakan tanaman dioecious, yaitu mempunyai dua jenis kelamin bunga. Bunga yang berwarna merah kejinggaan keluar dari ketiak daun dan seluruh bagiannya berbulu-bulu halus dengan benjolan kelenjar di ujungnya. Bunga jantan tumbuh dengan putik steril. Sementara bunga betina juga dilengkapi dengan benang sari steril. Buahnya berbentuk elips, berwarna hijau dan berubah menjadi hitam kemerahan saat masak (Sinar Harapan, 2003). Biji pasak bumi terdiri dari dua kotiledon diliputi dengan lapisan membran yang tipis, diikuti dengan endokap yang keras dan eksokap yang tipis di bagian luar (Nooteboom, 1972 dalam Siregar, 2000). Bunga dan buah pasak bumi selalu tumbuh sepanjang tahun. Biasanya bunga mekar sekitar bulan Juni sampai Juli. Sementara buahnya masak pada bulan September (Sinar Harapan, 2003).
Persyaratan Tumbuh Pasak Bumi (E. longifolia)
Tanaman pasak bumi tumbuh dengan baik di hutan tropika yang bertanah pasir (Nooteboom, 1972 dalam Siregar, 2000). Biasanya pasak bumi hidup di hutan dekat pantai, baik itu hutan primer atau sekunder. Temperatur area yang
(10)
dimiliki rata-rata 25 0C dengan kelembaban udara 86 %. Tanaman ini juga suka tumbuh di tanah masam dan berpasir, 700 meter di atas permukaan laut. Setelah melalui masa muda, tanaman ini membutuhkan lebih banyak sinar matahari untuk
membantu perkembangan vegetatif dan sistem reproduksinya (Sinar Harapan, 2003).
Perkecambahan Benih
Perkecambahan adalah permulaan munculnya pertumbuhan aktif yang menghasilkan pecahnya kulit biji dan munculnya semai. Perkecambahan meliputi peristiwa-peristiwa fisiologis dan morfologis sebagai berikut: (1) imbibisi dan absorpsi air, (2) hidrasi jaringan, (3) absorpsi oksigen, (4) pengaktifan enzim dan
pencernaan, (5) transpor molekul yang terhidrolisis ke sumbu embrio, (6) peningkatan respirasi dan asimilasi, (7) inisiasi pembelahan dan pembesaran
sel, dan (8) munculnya embrio (Gardner et al 1991).
Proses awal perkecambahan adalah proses imbibisi, yaitu masuknya air ke dalam benih sehingga kadar air di dalam benih itu mencapai persentase tertentu (antara 50 - 60%). Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit benih permeabel terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu. Bersamaan dengan proses imbibisi akan terjadi peningkatan laju respirasi yang akan mengaktifkan enzim-enzim yang terdapat di dalamnya sehingga terjadi proses perombakan cadangan makanan (katabolisme) yang akan menghasilkan energi ATP dan unsur hara yang diikuti oleh pembentukan senyawa protein (anabolisme
/ sintesis protein) untuk pembentukan sel-sel baru pada embrio. Kedua proses ini terjadi secara berurutan dan pada tempat yang berbeda. Akibat terjadinya proses
(11)
imbibisi kulit benih akan menjadi lunak dan retak-retak. Pembentukan sel-sel baru pada embrio akan diikuti proses difrensiasi sel-sel sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan daun serta radikula yang merupakan bakal akar. Kedua bagian ini akan bertambah besar sehingga akhirnya benih akan berkecambah (emergence) (Kuswanto, 1996).
Menurut Sutopo (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih terdiri dari faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yang mempengaruhi perkecambahan benih antara lain adalah:
1. Tingkat kemasakan benih.
Benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang demikian tidak akan dapat berkecambah. Diduga pada tingkatan tersebut benih belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio belum sempurna.
2. Ukuran benih
Di dalam jaringan penyimpanannya benih memiliki karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Dimana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Diduga bahwa benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak dibandingkan dengan benih yang kecil, mungkin pula embrionya lebih besar. 3. Dormansi
Periode dormansi ini dapat berlangsung musiman atau dapat juga selama beberapa tahun, tergantung pada jenis benih dan tipe dormansinya.
(12)
4. Penghambat perkecambahan
Banyak zat-zat yang diketahui dapat menghambat perkecambahan benih, diantaranya larutan dengan tingkat osmotik tinggi seperti larutan mannitol dan larutan NaCl; bahan-bahan yang mengganggu lintasan metabolisme, umumnya menghambat respirasi seperti sianida dan fluorida; Herbisida; Coumarin; Auxin; dan bahan-bahan yang terkandung dalam buah.
Menurut Kuswanto (1996), faktor luar (lingkungan) yang mempengaruhi perkecambahan antara lain adalah:
1. Air.
Air merupakan salah satu faktor yang mutlak diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh faktor lain, seperti pemberian rangsangan atau perlakuan untuk memacu agar benih dapat berkecambah. Benih hanya akan berkecambah jika kadar airnya mencapai 50 – 60 %.
2. Komposisi gas
Benih yang telah berimbibisi akan meningkatkan laju respirasi karena kenaikan aktivitas enzim pernafasan akan mengakibatkan kebutuhan oksigen (O2)
juga meningkat. Seringkali dijumpai benih dengan kulit benih yang impermeabel terhadap gas-gas, sehingga menghambat proses pernafasan yang akan mengakibatkan tidak terjadinya proses perkecambahan. Untuk mengatasinya perlu diberi perlakuan secara fisik, mekanis, kimiawi atau biologis sehingga kulit benih menjadi permeabel terhadap berbagai gas.
3. Suhu.
Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses perkecambahan benih karena suhu berkaitan erat dengan laju pernafasan dan
(13)
aktivitas enzim-enzim yang terdapat di dalam benih tersebut. Suhu juga mempengaruhi sintesis dan kepekaan benih terhadap cahaya. Suhu yang dibutuhkan selama proses perkecambahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Suhu minimum, yaitu suhu terendah di mana benih masih dapat berkecambah secara normal, dan di bawah suhu tersebut benih tidak dapat berkecambah secara normal atau bahkan tidak berkecambah sama sekali. b. Suhu optimum, yaitu suhu yang paling sesuai untuk perkecambahan benih. c. Suhu maksimum, yaitu suhu tertinggi di mana benih masih dapat
berkecambah secara normal dan bila perkecambahan terjadi di atas suhu maksimum ini maka benih akan berkecambah secara tidak normal atau bahkan tidak dapat berkecambah.
4. Cahaya.
Selama proses perkecambahan ada benih yang membutuhkan cahaya, terutama benih yang memiliki pigmen pada kulitnya yang berfungsi sebagai fotosel yang dapat mengubah cahaya matahari menjadi energi yang dapat membantu meningkatkan laju respirasi dan sebagai energi untuk reaksi kimiawi yang bersifat endodermis.
Menurut Sutopo (2002), kebutuhan benih terhadap cahaya untuk perkecambahannya berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman. Berdasarkan pengaruh cahaya terhadap perkecambahan benih diklasifikasikan atas 4 golongan, yaitu golongan yang memerlukan cahaya secara mutlak untuk perkecambahan, golongan yang memerlukan cahaya untuk perkecambahan, golongan dimana benih dapat menghambat perkecambahan dan golongan dimana benih dapat berkecambah sama baik ditempat gelap atau ada cahaya.
(14)
5. Medium.
Medium yang baik untuk perkecambahan benih haruslah mempunyai sifat fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyimpan air serta bebas dari organisme penyakit terutama cendawan.
Menurut Kartasapoetra (2003), tipe perkecambahan benih mungkin saja hipogeal atau mungkin pula epigeal. Pada kecambah hipogeal kotiledon tetap berada di dalam kulit biji di bawah permukaan tanah karena hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah. Tetapi pada kecambah epigeal kotiledon terangkat ke atas karena hipokotil bertambah panjang lebih cepat dari epikotil.
Dormansi Benih
Menurut Gardner et al (1991), dormansi yaitu suatu keadaan pertumbuhan yang tertunda atau dalam keadaan istirahat, yang merupakan kondisi yang berlangsung selama periode yang tidak terbatas walaupun berada dalam keadaan yang menguntungkan untuk perkecambahan. Dormansi merupakan keadaan biji tetap viable (hidup), tapi tak mampu berkecambah atau tumbuh karena alasan kondisi luar atau kondisi dalam benih. Kondisi dalam yang dimaksud adalah embrio belum mencapai kematangan morfologis dan kondisi luar yang dimaksud
adalah kondisi biji seperti biji terlalu kering atau terlalu dingin (Salisbury dan Ross, 1995). Ditambahkan oleh Mugnisjah (1994), dormansi juga
dapat sebagai salah satu strategi benih-benih tumbuhan agar dapat mengatasi lingkungan sub optimum guna mempertahankan kelanjutan spesiesnya.
Menurut Sutopo (2002), dormansi benih terbagi atas dua tipe, yaitu dormansi fisik dan dormansi fisiologis.
(15)
a. Dormansi Fisik
Dormansi fisik: yang menyebabkan pembatasan struktural terhadap perkecambahan, seperti: kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas pada beberapa jenis benih tanaman. Penyebab dormansi fisik ini antara lain:
- Impermeabilitas kulit biji terhadap air
- Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio - Permeabilitas yang rendah dari kulit terhadap gas-gas b. Dormansi Fisiologis
Dormansi fisiologis: dapat disebabkan oleh sejumlah mekanisme, umumnya dapat disebabkan pengatur tumbuh baik penghambat atau perangsang tumbuh, dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor dalam seperti immaturity atau ketidakmasakan embrio, dan sebab-sebab fisiologis lainnya.
Menurut Kuswanto (1996), peristiwa dormansi ini terjadi karena faktor-faktor sebagai berikut:
1. Ketidakdewasaan embrio. Hal ini terjadi karena benih sudah dipanen sebelum mencapai masak fisiologis atau karena adanya hambatan perkembangan embrio.
2. Kebutuhan faktor khusus. Artinya, untuk mengecambahkan benih tersebut diperlukan perlakuan khusus agar benih dapat berkecambah.
3. Kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas sehingga tidak terjadi imbibisi dan oksigen tidak dapat masuk ke dalam benih sehingga proses perkecambahan tidak berlangsung.
(16)
4. Halangan perkembangan embrio atau hambatan mekanis. Hal ini disebabkan kulit benih yang terlalu keras sehingga pada waktu benih berimbibisi kulit benih tidak melunak atau retak-retak sehingga embrio tidak dapat keluar akibatnya benih tidak berkecambah.
5. Adanya zat penghambat di dalam benih atau permukaan benih dengan konsentrasi yang masih cukup tinggi setelah benih berimbibisi sehingga mengakibatkan proses perkecambahan benih jadi terhambat.
Perlakuan Pematahan Dormansi
Menurut Sutopo (2002), dipandang dari segi ekonomis terdapatnya keadaan dormansi pada benih dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu diperlukan perlakuan agar dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya lama dormansinya dapat dipersingkat.
1. Perlakuan Mekanis
Perlakuan mekanis umum dipergunakan untuk memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit biji baik terhadap air atau gas, resistensi mekanis yang terdapat pada kulit biji. Perlakuan mekanis yang dilakukan yaitu dengan mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas ampelas yang bertujuan untuk melemahkan kulit biji yang keras, sehingga lebih permeabel terhadap air atau gas.
2. Perlakuan Kimia
Perlakuan dengan menggunakan bahan-bahan kimia sering pula dilakukan untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuannya adalah menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Menurut
(17)
Kartasapoetra (2003), penggunaan zat kimia KNO3 sebagai pengganti fungsi
cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan O2.
3. Perlakuan Perendaman dengan Air
Beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman di dalam air dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih.
4. Perlakuan Pemberian Temperatur Tertentu
Banyak benih yang perlu dikenai temperatur tertentu sebelum dapat diletakkan pada temperatur yang cocok untuk perkecambahannya. Pada saat pemberiaan perlakuan temperatur terjadi sejumlah perubahan dalam benih yang berakibat menghilangnya bahan-bahan penghambat pertumbuhan atau terjadinya pembentukan bahan-bahan yang merangsang pertumbuhan.
(18)
Pembahasan
Dari hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi terhadap benih pasak bumi (E. longifolia) memberi pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter yang diamati, yaitu umur berkecambah, persentase perkecambahan, persentase perkecambahan normal, kecepatan perkecambahan dan laju perkecambahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan dapat lebih meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Pada perlakuan pengampelasan proses perkecambahan menjadi lebih cepat dan persentase perkecambahan yang diperoleh lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari hasil nilai rataan yang diperoleh pada beberapa parameter pengamatan yang menghasilkan nilai terbaik. Perlakuan pengampelasan menghasilkan umur berkecambah tercepat yaitu 14,00 hari setelah tanam, dan menghasilkan nilai rataan tertinggi pada parameter persentase perkecambahan (66,67 %) dan kecepatan perkecambahan (0,57). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan lebih baik jika dibandingkan perlakuan yang lainnya untuk menghasilkan perkecambahan. Dengan perlakuan pengampelasan, kulit biji menjadi semakin tipis yang akan mempermudah masuknya air dan gas sehingga terjadi proses imbibisi dan semakin cepat pula benih dapat menembus kulit biji dalam melakukan proses perkecambahan. Menurut Sutopo (2002), dengan pengikisan menggunakan kertas ampelas luas permukaan kulit yang menjadi tipis lebih luas sehingga air dan udara yang berperan dalam proses perkecambahan menjadi lebih mudah masuk, sehingga terjadi proses imbibisi yang merupakan proses awal dari suatu perkecambahan.
(19)
Perlakuan perendaman dengan KNO3 0,9 % selama 15 menit juga menghasilkan nilai rataan yang cukup baik bagi perkecambahan benih, dimana perlakuan perendaman dengan KNO3 ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan pengampelasan pada seluruh parameter yang diamati, yang dapat terlihat pada Lampiran 18. Dengan demikian perlakuan perendaman dengan KNO3 juga dapat meningkatkan perkecambahan. Hal ini dikarenakan pada perlakuan perendaman dengan KNO3 selain dapat mempercepat melunakkan kulit benih yang keras, KNO3 juga berfungsi sebagai pengganti fungsi suhu dan mempercepat penerimaan oksigen pada benih, sehingga terjadi proses imbibisi dan benih dapat lebih mudah berkembang dan berkecambah. Sutopo (2002), mengatakan bahwa dengan menggunakan bahan kimia untuk memecahkan dormansi pada benih membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Ditambahkan oleh Kartasapoetra (2003), bahwa penggunaan zat kimia KNO3 sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan oksigen.
Tahap awal dari suatu perkecambahan yaitu terjadinya imbibisi, dimana air dan gas masuk ke dalam benih sehingga mengaktifkan enzim-enzim yang akan melakukan perombakan cadangan makanan untuk menghasilkan energi yang akhirnya akan terjadi pembentukan sel-sel baru pada embrio dan diikuti proses difrensiasi sel-sel sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan daun serta radikula yang merupakan bakal akar. Pada Lampiran 17 dapat terlihat beberapa tahapan setelah benih berkecambah. Dari hasil yang diperoleh pada perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) terdapat perkecambahan yang normal dan perkecambahan yang tidak normal (abnormal), dimana pada
(20)
perkecambahan abnormal tidak terjadi pembentukan tunas dan daun primer yang dapat dilihat pada Lampiran 19. Kartasapoetra (2003), menyatakan bahwa salah satu ciri perkecambahan abnormal adalah gundul tidak terdapat tunas ujung dan tidak ada daun primer. Pada beberapa perlakuan yang diberikan dapat terlihat pada Tabel 3 bahwa perlakuan perendaman dengan KNO3 memiliki nilai tertinggi pada parameter persentase perkecambahan normal jika dibandingkan dengan perlakuan pengampelasan yang memiliki nilai persentase perkecambahan tertinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat pengampelasan kulit biji terjadi pelukaan pada bagian embrio benih terutama bagian titik tumbuh sehingga menghasilkan perkecambahan yang abnormal.
Menurun atau meningkatnya kecepatan perkecambahan berhubungan dengan persentase perkecambahan. Hal ini dikarenakan kecepatan perkecambahan berbanding lurus dengan umur berkecambah dan persentase perkecambahan. Semakin cepat umur berkecambah dan semakin tinggi persentase perkecambahan maka kecepatan perkecambahan juga semakin tinggi, hal ini dapat terlihat dari hasil pengamatan yang diperoleh pada setiap perlakuan. Menurut Sutopo (2002), bahwa ada hubungan antara kecepatan perkecambahan dengan tinggi rendahnya produksi tanam.
Laju perkecambahan tercepat terdapat pada perlakuan perendaman dengan air (23,00 hari), dimana hasil ini cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (39,05 hari). Dari hasil ini dapat terlihat bahwa perlakuan perendaman dengan air selama 24 jam telah mampu mempercepat laju perkecambahan dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Namun pada perlakuan perendaman dengan air ini hasil yang diperoleh pada parameter
(21)
pengamatan yang lainnya merupakan nilai yang cukup rendah terutama pada persentase perkecambahan (6,67 %) jika dibandingkan dengan perlakuan lain yang memiliki perkecambahan. Hal ini terjadi karena pada perlakuan perendaman dengan air hanya sedikit benih yang berkecambah, sehingga waktu atau hari yang dibutuhkan oleh benih yang berkecambah juga semakin sedikit atau lebih singkat dari perlakuan lainnya yang memiliki hasil perkecambahan yang lebih banyak. Dengan sedikitnya jumlah benih yang berkecambah dapat diduga bahwa perendaman dengan air selama 24 jam masih kurang optimal untuk melemahkan kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman dengan air masih kurang baik untuk meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
Perlakuan pengovenan selama 30 menit dengan suhu 120 0C memberikan pengaruh yang buruk terhadap perkecambahan, dimana pada perlakuan pengovenan ini benih tidak ada yang berkecambah. Hal ini diduga karena terlalu lamanya waktu dan tingginya suhu yang digunakan pada saat pengovenan yang menyebabkan rusaknya jaringan-jaringan di dalam benih sehingga menyebabkan kematian pada embrio benih yang menyebabkan benih tidak dapat berkecambah. Menurut Sutopo (2002), suhu adalah salah satu faktor yang berperan dalam proses perkecambahan, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terganggunya proses perkecambahan bahkan dapat mengakibatkan kematian dan kecambah tidak normal (abnormal).
(22)
METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Juni – Agustus 2007.
Bahan dan Alat Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih pasak bumi (E. longifolia), pasir, topsoil, air, dan larutan KNO3 0,9% dan aquades.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas ampelas, wadah plastik, oven, bak kecambah, handsprayer, alat tulis, kalkulator dan kamera.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima taraf perlakuan, yaitu:
P0: Tanpa perlakuan (kontrol)
P1: Perlakuan pengampelasan dengan kertas ampelas
P2: Perlakuan perendaman air selama 24 jam
P3: Perlakuan pengovenan selama 30 menit dengan suhu 120 0C
(23)
Jumlah perlakuan : 5 perlakuan
Jumlah ulangan : 3 ulangan
Jumlah unit percobaan : 15 unit
Jumlah benih per unit percobaan : 20 benih Jumlah benih seluruhnya : 300 benih
Menurut Sastrosupadi (1995), model linier yang digunakan untuk menganalisis data adalah:
Yij = µ + τi + εij
Dimana:
Yij = Hasil pengamatan pada unit percobaan yang mendapat perlakuan perkecambahan benih pada taraf ke-i dan pada ulangan ke-j
µ = Nilai rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan perkecambahan benih (P) pada taraf ke-i
εij = Pengaruh galat pada perlakuan perkecambahan benih (P) pada taraf ke-i pada ulangan ke-j
Data ditransformasi dengan menggunakan transformasi akar kuadrat ( y), hal ini dilakukan karena adanya kejadian yang berpeluang sangat kecil (kurang dari 0,1 atau 10%) untuk menjadi kenyataan dan data yang diperoleh berkisaran antara 0–30% atau 70–100% sehingga perlu ditransformasikan ke bentuk transformasi akar kuadrat ( y) (Hanafiah, 2003).
Data dianalisis keragamannya dan apabila terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjutan berdasarkan uji jarak Duncan’s (Gomez dan Gomez, 1995).
(24)
Pelaksanaan Penelitian A. Persiapan Benih
Persiapan benih yang dilakukan adalah menyeleksi benih yang memiliki ukuran relatif sama dan telah dibersihkan dari kotoran dan kulit luarnya. Gambar buah dan benih pasak bumi (E. longifolia) ini dapat dilihat pada Lampiran 16.
B. Persiapan Media Kecambah
Media yang digunakan untuk perkecambahan adalah media dengan campuran pasir dan topsoil. Media yang digunakan terlebih dahulu disterilkan dengan cara penyangraian. Penyangraian dilakukan hingga pasir dan topsoil
terlihat kering dan berubah warna. Perbandingan antara tanah dengan topsoil yang digunakan adalah 1:1.
C. Pemberian Perlakuan
Benih yang telah diseleksi diberi berbagai perlakuan yaitu pengampelasan kulit benih dengan menggunakan kertas ampelas, perendaman benih dengan air selama 24 jam, pengovenan benih dengan suhu 120 0C selama 30 menit dan perendaman benih dengan larutan KNO3 0,9%selama 15 menit.
D. Pengecambahan Benih
Setelah melalui tahapan berbagai perlakuan, benih dikecambahkan di bak perkecambahan yang telah disiapkan dengan jarak tanam 3 x 3 cm.
E. Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan yaitu penyiraman dan penyiangan gulma. Penyiraman dilakukan setiap hari dengan menggunakan air bersih dan untuk penyiraman digunakan handsprayer. Penyiraman dilakukan 2 kali dalam sehari
(25)
(pukul 10.00 wib dan 17.00 wib). Penyiangan gulma dilakukan secara manual, bila ada gulma di dalam bak kecambah segera diambil dengan hati-hati agar media tidak hancur dan benih tidak terganggu.
F. Parameter Pengamatan
Adapun parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Umur Berkecambah (Hari)
Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah hari yang dibutuhkan plumula untuk muncul kepermukaan media tanam. Pengamatan dimulai setelah benih dikecambahkan hingga penelitian berakhir.
2. Persentase Perkecambahan (%)
Persentase perkecambahan benih diamati dengan menghitung benih yang berkecambah pada setiap unit percobaan. Pengamatan dilakukan mulai dari hari pertama setelah benih dikecambahkan hingga hari terakhir setelah 2 bulan pengamatan. % 100 % x kan dikecambah yang benih Jumlah h berkecamba yang benih Jumlah han Perkecamba = (Kuswanto, 1996).
3. Persentase Perkecambahan Normal (%)
Persentase perkecambahan normal dihitung pada akhir penelitian dengan memperhatikan benih yang telah tumbuh, apakah pertumbuhannya normal atau tidak. Adapun rumus untuk menentukannya adalah:
% 100 % x kan dikecambah yang benih Jumlah normal h berkecamba yang benih Jumlah normal kecambah =
(26)
Adapun kriteria kecambah yang normal adalah:
1. Kecambah yang memiliki perkembangan sistem perakaran yang baik terutama akar primer.
2. Perkembangan hipokotil yang baik dan sempurna tanpa ada kerusakan pada jaringan-jaringannya.
3. Pertumbuhan plumula yang sempurna dengan daun hijau dan tumbuh baik, di dalam atau muncul dari koleoptil atau pertumbuhan epikotil yang sempurna dengan kuncup yang normal.
4. Memiliki satu kotiledon untuk kecambah dari monokotil dan dua bagi dikotil
(Sutopo, 2002).
4. Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)
Pengamatan ini bertujuan untuk menentukan kecepatan tumbuh benih. Kecepatan perkecambahan digunakan sebagai penilaian vigor benih dengan rumus sebagai berikut: I.V. Dn Gn D G D G D G + + + + = ... 3 3 2 2 1 1
Dimana: I.V. = Indeks Vigor
G = jumlah benih yang berkecambah pada hari tertentu D = waktu yang bersesuaian dengan jumlah tersebut n = jumlah hari pada perhitungan akhir
(27)
5. Laju Perkecambahan (Germination Rate)
Menurut Sutopo (2002) laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plumula.
h berkecamba yang
benih total Jumlah
T N T
N T N hari
rata
Rata− = 1 1 + 2 2 +...+ x x
Dimana: N = jumlah benih yang berkecambah pada satuan waktu tertentu T = menunjukkan jumlah waktu antara awal pengujian sampai
(28)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Umur Berkecambah (Hari)
Data rataan pengamatan parameter umur berkecambah terdapat pada Lampiran 1 dan rataan umur berkecambah setelah ditransformasi terdapat pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh yang nyata terhadap umur berkecambah. Rataan umur berkecambah (hari) benih pasak bumi (E. longifolia) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Umur Berkecambah (hari) Benih Pasak Bumi (E. longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 23,00 a
P1 14,00 b
P2 19,67 a
P3 0,00 c
P4 14,67 b
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa umur berkecambah tercepat terdapat pada perlakuan pengampelasan (P1) sebesar 14,00 hari, dimana perlakuan ini tidak
berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan larutan KNO3 (P4) tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0), perlakuan perendaman dengan air
(P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan umur berkecambah terendah
terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena tidak terjadi perkecambahan
sehingga nilai yang diperoleh sebesar 0,00 hari dan berbeda nyata dengan seluruh perlakuan.
(29)
2. Persentase Perkecambahan (%)
Data rataan pengamatan parameter persentase perkecambahan terdapat pada Lampiran 4 dan rataan persentase perkecambahan setelah ditransformasi terdapat pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh yang nyata terhadap persentase perkecambahan. Rataan persentase perkecambahan (%) benih pasak bumi (E. Longifolia) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Benih Pasak Bumi (E. Longifolia)
dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 48,33 b
P1 66,67 a
P2 6,67 c
P3 0,00 d
P4 63,33 ab
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa rataan persentase perkecambahan benih tertinggi terdapat pada perlakuan pengampelasan (P1) sebesar 66,67%, dimana
perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan KNO3
(P4) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0), perlakuan perendaman
dengan air (P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan persentase
perkecambahan benih terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena
tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 % dan berbeda nyata dengan seluruh perlakuan.
(30)
3. Persentase Perkecambahan Normal (%)
Data rataan pengamatan parameter persentase perkecambahan normal terdapat pada Lampiran 7 dan rataan persentase perkecambahan normal setelah ditransformasi terdapat pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh yang nyata terhadap persentase perkecambahan normal. Rataan persentase perkecambahan normal (%) benih pasak bumi (E.longifolia) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Benih Pasak Bumi (E.longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 45,00 a
P1 58,33 a
P2 6,67 b
P3 0,00 c
P4 60,00 a
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rataan persentase perkecambahan normal tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman dengan larutan KNO3 (P4) sebesar
60,00%, dimana perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0)
dan perlakuan pengampelasan (P1) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan
perendaman dengan air (P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan
persentase perkecambahan normal terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 % dan
(31)
4. Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)
Data rataan pengamatan parameter kecepatan perkecambahan terdapat pada Lampiran 10 dan rataan kecepatan perkecambahan setelah ditransformasi terdapat pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh yang nyata terhadap kecepatan perkecambahan. Rataan kecepatan perkecambahan (indeks vigor) benih pasak bumi (E.longifolia) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) Benih Pasak Bumi (E.longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 0,27 b
P1 0,57 a
P2 0,06 c
P3 0,00 c
P4 0,45 ab
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan kecepatan perkecambahan benih tertinggi terdapat pada perlakuan pengampelasan (P1) sebesar 0,57, dimana
perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan KNO3
(P4) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0), perlakuan perendaman
dengan air (P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan kecepatan
perkecambahan benih terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena
tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan air (P2).
(32)
5. Laju Perkecambahan (Germination Rate)
Data rataan pengamatan parameter laju perkecambahan terdapat pada Lampiran 13 dan rataan laju perkecambahan setelah ditransformasi terdapat pada Lampiran 14. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 15) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh yang nyata terhadap laju perkecambahan. Rataan laju perkecambahan (rata-rata hari) benih pasak bumi (E. Longifolia) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Laju Perkecambahan (rata-rata hari) Benih Pasak Bumi (E. Longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 39,05 a
P1 27,53 b
P2 23,00 c
P3 0,00 d
P4 33,01 ab
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rataan laju perkecambahan benih tercepat terdapat pada perlakuan perendaman dengan air (P2) sebesar 23,00 hari,
dimana perlakuan berbeda nyata dengan seluruh perlakuan lainnya Sedangkan laju perkecambahan benih yang terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3)
karena tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 hari dan juga berbeda nyata dengan seluruh perlakuan lainnya.
(33)
Pembahasan
Dari hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi terhadap benih pasak bumi (E. longifolia) memberi pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter yang diamati, yaitu umur berkecambah, persentase perkecambahan, persentase perkecambahan normal, kecepatan perkecambahan dan laju perkecambahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan dapat lebih meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Pada perlakuan pengampelasan proses perkecambahan menjadi lebih cepat dan persentase perkecambahan yang diperoleh lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari hasil nilai rataan yang diperoleh pada beberapa parameter pengamatan yang menghasilkan nilai terbaik. Perlakuan pengampelasan menghasilkan umur berkecambah tercepat yaitu 14,00 hari setelah tanam, dan menghasilkan nilai rataan tertinggi pada parameter persentase perkecambahan (66,67 %) dan kecepatan perkecambahan (0,57). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan lebih baik jika dibandingkan perlakuan yang lainnya untuk menghasilkan perkecambahan. Dengan perlakuan pengampelasan, kulit biji menjadi semakin tipis yang akan mempermudah masuknya air dan gas sehingga terjadi proses imbibisi dan semakin cepat pula benih dapat menembus kulit biji dalam melakukan proses perkecambahan. Menurut Sutopo (2002), dengan pengikisan menggunakan kertas ampelas luas permukaan kulit yang menjadi tipis lebih luas sehingga air dan udara yang berperan dalam proses perkecambahan menjadi lebih mudah masuk, sehingga terjadi proses imbibisi yang merupakan proses awal dari suatu perkecambahan.
(34)
Perlakuan perendaman dengan KNO3 0,9 % selama 15 menit juga
menghasilkan nilai rataan yang cukup baik bagi perkecambahan benih, dimana perlakuan perendaman dengan KNO3 ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan
pengampelasan pada seluruh parameter yang diamati, yang dapat terlihat pada Lampiran 18. Dengan demikian perlakuan perendaman dengan KNO3 juga dapat
meningkatkan perkecambahan. Hal ini dikarenakan pada perlakuan perendaman dengan KNO3 selain dapat mempercepat melunakkan kulit benih yang keras,
KNO3 juga berfungsi sebagai pengganti fungsi suhu dan mempercepat penerimaan
oksigen pada benih, sehingga terjadi proses imbibisi dan benih dapat lebih mudah berkembang dan berkecambah. Sutopo (2002), mengatakan bahwa dengan menggunakan bahan kimia untuk memecahkan dormansi pada benih membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Ditambahkan oleh Kartasapoetra (2003), bahwa penggunaan zat kimia KNO3
sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan oksigen.
Tahap awal dari suatu perkecambahan yaitu terjadinya imbibisi, dimana air dan gas masuk ke dalam benih sehingga mengaktifkan enzim-enzim yang akan melakukan perombakan cadangan makanan untuk menghasilkan energi yang akhirnya akan terjadi pembentukan sel-sel baru pada embrio dan diikuti proses difrensiasi sel-sel sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan daun serta radikula yang merupakan bakal akar. Pada Lampiran 17 dapat terlihat beberapa tahapan setelah benih berkecambah. Dari hasil yang diperoleh pada perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) terdapat perkecambahan yang normal dan perkecambahan yang tidak normal (abnormal), dimana pada
(35)
perkecambahan abnormal tidak terjadi pembentukan tunas dan daun primer yang dapat dilihat pada Lampiran 19. Kartasapoetra (2003), menyatakan bahwa salah satu ciri perkecambahan abnormal adalah gundul tidak terdapat tunas ujung dan tidak ada daun primer. Pada beberapa perlakuan yang diberikan dapat terlihat pada Tabel 3 bahwa perlakuan perendaman dengan KNO3 memiliki nilai tertinggi
pada parameter persentase perkecambahan normal jika dibandingkan dengan perlakuan pengampelasan yang memiliki nilai persentase perkecambahan tertinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat pengampelasan kulit biji terjadi pelukaan pada bagian embrio benih terutama bagian titik tumbuh sehingga menghasilkan perkecambahan yang abnormal.
Menurun atau meningkatnya kecepatan perkecambahan berhubungan dengan persentase perkecambahan. Hal ini dikarenakan kecepatan perkecambahan berbanding lurus dengan umur berkecambah dan persentase perkecambahan. Semakin cepat umur berkecambah dan semakin tinggi persentase perkecambahan maka kecepatan perkecambahan juga semakin tinggi, hal ini dapat terlihat dari hasil pengamatan yang diperoleh pada setiap perlakuan. Menurut Sutopo (2002), bahwa ada hubungan antara kecepatan perkecambahan dengan tinggi rendahnya produksi tanam.
Laju perkecambahan tercepat terdapat pada perlakuan perendaman dengan air (23,00 hari), dimana hasil ini cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (39,05 hari). Dari hasil ini dapat terlihat bahwa perlakuan perendaman dengan air selama 24 jam telah mampu mempercepat laju perkecambahan dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Namun pada perlakuan perendaman dengan air ini hasil yang diperoleh pada parameter
(36)
pengamatan yang lainnya merupakan nilai yang cukup rendah terutama pada persentase perkecambahan (6,67 %) jika dibandingkan dengan perlakuan lain yang memiliki perkecambahan. Hal ini terjadi karena pada perlakuan perendaman dengan air hanya sedikit benih yang berkecambah, sehingga waktu atau hari yang dibutuhkan oleh benih yang berkecambah juga semakin sedikit atau lebih singkat dari perlakuan lainnya yang memiliki hasil perkecambahan yang lebih banyak. Dengan sedikitnya jumlah benih yang berkecambah dapat diduga bahwa perendaman dengan air selama 24 jam masih kurang optimal untuk melemahkan kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman dengan air masih kurang baik untuk meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
Perlakuan pengovenan selama 30 menit dengan suhu 120 0C memberikan pengaruh yang buruk terhadap perkecambahan, dimana pada perlakuan pengovenan ini benih tidak ada yang berkecambah. Hal ini diduga karena terlalu lamanya waktu dan tingginya suhu yang digunakan pada saat pengovenan yang menyebabkan rusaknya jaringan-jaringan di dalam benih sehingga menyebabkan kematian pada embrio benih yang menyebabkan benih tidak dapat berkecambah. Menurut Sutopo (2002), suhu adalah salah satu faktor yang berperan dalam proses perkecambahan, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terganggunya proses perkecambahan bahkan dapat mengakibatkan kematian dan kecambah tidak normal (abnormal).
(37)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berbagai perlakuan pematahan dormansi yang telah dilakukan pada benih pasak bumi (E. longifolia) memberikan pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter pengamatan.
2. Perlakuan pengampelasan dengan kertas ampelas merupakan perlakuan yang terbaik dalam perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
3. Perlakuan pengovenan dengan suhu 1200C selama 30 menit merupakan perlakuan yang kurang baik karena terlalu tingginya suhu dan lamanya waktu yang digunakan sehingga tidak ada benih yang berkecambah.
Saran
Agar diperoleh hasil yang optimal untuk seluruh parameter pengamatan maka hendaknya benih yang digunakan adalah benih hasil seleksi dan berkualitas, dan dalam perlakuan pengovenan sebaiknya suhu dan waktu yang digunakan lebih diminimalkan lagi.
(38)
DAFTAR PUSTAKA
Bewley, J. D. dan M. Black. 1982. Physiology and Biochemistry of Seed. In relation to Germination. Volume 2. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. New York.
Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tumbuhan Budidaya. Penerjemah Herawati Susilo. UI Press. Jakarta.
Gomez, K. A. Dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Diterjemahkan oleh E. Syamsuddin dan J. S. Baharsyah. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hanafiah, K.A. 2003. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Cetakan ke-8. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Hasanah, M. dan D. Rusmin. 2006. Teknologi Pengelolaan Benih Beberapa Tanaman Obat di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (2). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.
Intisari Online. 2001. Menguak Manfaat Tanaman Herbal: Mencari Viagra Dalam Herbal. Intisari Online.
Ismail, Z., N. Ismail dan J. Lassa. 1999. Malaysian Herbal Monograph. Volume 1. Malaysian Monograph Committee. Kuala Lumpur.
Jayusman. 1997. Hubungan antara Variasi Ukuran Biji dengan Nilai Kecambah dan Pertumbuhan Semai Kemenyan Durame (Styrax benzoin Dryand). Buletin Penelitian Kehutanan Visi dan Misi Ilmiah. Volume 13 (3). Kartasapoetra, A.G. 2003. Teknologi Benih: Pengolahan Benih dan Tuntunan
Praktikum. Cetakan keempat. Bina Aksara. Jakarta.
Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi, Produksi dan Sertifikasi Benih. Edisi I. Cetakan ke-1. ANDI. Yogyakarta.
Mugnisjah, W.Q., A. Setiawan, Suwarto, dan S. Cecep. 1994. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Nainggolan, O. dan J.W Simanjuntak. 2005. Pengaruh Ekstrak Etanol Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) Terhadap Prilaku Seksual Mencit Putih. Cermin Dunia Kedokteran N0. 146. Departeman Farmasi Institut Teknologi Bandung. Bandung.
(39)
Portal Komuniti Herba. 2005. Tongkat Ali. Khazanah Herba Warisan Bumi. Melur.com
Republika Online. 2003. Akar Pasak Bumi Penambah Stamina. Republika.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono. Jilid 3. Edisi ke-4. ITB. Bandung.
Sastrosupadi, A. 1995. Rancangan Percobaan Praktis untuk Bidang Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Setiawan, A. I. 1996. Kiat Memilih Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sinar Harapan. 2003. Flora dan Fauna: Pasak Bumi, Tanaman dengan Dua Kelamin. IPTEK dan Lingkungan. <
Siregar, L. A. M. 2000. Organogenesis dan Pengkulturan Ampaian Sel
Eurycoma longifolia Jack. Thesis Universiti Sains Malaysia. Malaysia. Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Edisi Revisi. Cetakan ke-5. PT. RajaGrafindo
Persada. Jakarta.
Syukur, C. dan Hernani. 2001. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wikipedia. 2007. Pokok Tongkat Ali. Wikipedia Bahasa Melayu. Edisi Revisi. Wikimedia Project. (10 Mei 2007).
Wirawan, B. dan S. Wahyuni. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat. Penebar Swadaya. Jakarta.
(40)
Lampiran 1. Rataan Umur Berkecambah (Hari)
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 18,00 29,00 22,00 23,00
P1 14,00 15,00 13,00 14,00
P2 21,00 17,00 21,00 19,67
P3 0,00 0,00 0,00 0,00
P4 15,00 15,00 14,00 14,67
Lampiran 2. Rataan Umur Berkecambah (Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 4,30 5,43 4,74 4,83
P1 3,81 3,94 3,67 3,81
P2 4,64 4,18 4,64 4,49
P3 0,71 0,71 0,71 0,71
P4 3,94 3,94 3,81 3,89
Lampiran 3. Sidik Ragam (ANOVA) Umur Berkecambah (Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
SK db JK KT F.Hit F.Tab
5%
Perlakuan 4 32,30 8,08 97,13* 3,27
Galat 10 0,83 0,08
Total 14 33,13
KK 7,9 %
Keterangan:
dB : Derajat Bebas KT : Kuadrat Tengah KK : Koefisien Keragaman * : Nyata pada taraf 5%
(41)
Lampiran 4. Rataan Persentase Perkecambahan (%)
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 40,00 50,00 55,00 48,33
P1 60,00 60,00 80,00 66,67
P2 5,00 5,00 10,00 6,67
P3 0,00 0,00 0,00 0,00
P4 65,00 50,00 75,00 63,33
Lampiran 5. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 6,36 7,11 7,45 6,97
P1 7,78 7,78 8,97 8,18
P2 2,35 2,35 3,24 2,64
P3 0,71 0,71 0,71 0,71
P4 8,09 7,11 8,69 7,96
Lampiran 6. Sidik Ragam (ANOVA) Persentase Perkecambahan (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
SK dB JK KT F.Hit F.Tab
5%
Perlakuan 4 138,94 34,73 102,81* 3,27
Galat 10 3,38 0,34
Total 14 142,32
KK 11,02%
Keterangan:
dB : Derajat Bebas KT : Kuadrat Tengah KK : Koefisien Keragaman * : Nyata pada taraf 5%
(42)
Lampiran 7. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%)
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 40,00 50,00 45,00 45,00
P1 50,00 55,00 70,00 58,33
P2 5,00 5,00 10,00 6,67
P3 0,00 0,00 0,00 0,00
P4 60,00 45,00 75,00 60,00
Lampiran 8. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 6,36 7,11 6,75 6,74
P1 7,11 7,45 8,40 7,65
P2 2,35 2,35 3,24 2,64
P3 0,71 0,71 0,71 0,71
P4 7,78 6,75 8,69 7,74
Lampiran 9. Sidik Ragam (ANOVA) Persentase Perkecambahan Normal (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
SK db JK KT F.Hit F.Tab
5%
Perlakuan 4 124,43 31,11 86,53* 3,27
Galat 10 3,60 0,36
Total 14 128,02
KK 11,78%
Keterangan:
dB : Derajat Bebas KT : Kuadrat Tengah KK : Koefisien Keragaman * : Nyata pada taraf 5%
(43)
Lampiran 10. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value)
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 0,24 0,25 0,34 0,27
P1 0,52 0,51 0,68 0,57
P2 0,05 0,06 0,07 0,06
P3 0,00 0,.00 0,00 0,00
P4 0,52 0,39 0,45 0,45
Lampiran 11. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 0,86 0,87 0,92 0,88
P1 1,01 1,00 1,09 1,03
P2 0,74 0,75 0,75 0,75
P3 0,22 0,71 0,71 0,55
P4 1,01 0,94 0,97 0,98
Lampiran 12. Sidik Ragam (ANOVA) Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value)Setelah di Transformasi dengan x+0.5
SK db JK KT F.Hit F.Tab
5%
Perlakuan 4 0,46 0,11 6,95* 3,27
Galat 10 0,16 0,02
Total 14 0,62
KK 16,73%
Keterangan:
dB : Derajat Bebas KT : Kuadrat Tengah KK : Koefisien Keragaman * : Nyata pada taraf 5%
(44)
Lampiran 13. Rataan Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari)
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 40,00 42,60 34,55 39,05
P1 27,33 28,50 26,75 27,53
P2 21,00 17,00 31,00 23,00
P3 0,00 0,00 0,00 0,00
P4 29,69 30,20 39,13 33,01
Lampiran 14. Rataan Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 6,36 6,57 5,92 6,28
P1 5,28 5,39 5,22 5,29
P2 4,64 4,18 5,61 4,81
P3 0,71 0,71 0,71 0,71
P4 5,49 5,54 6,30 5,78
Lampiran 15. Sidik Ragam (ANOVA) Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
SK db JK KT F.Hit F.Tab
5%
Perlakuan 4 59,68 14,92 87,63* 3,27
Galat 10 1,70 0,17
Total 14 61,38
KK 9,01%
Keterangan:
dB : Derajat Bebas KT : Kuadrat Tengah KK : Koefisien Keragaman * : Nyata pada taraf 5%
(45)
Lampiran 16. Gambar buah dan biji pasak bumi (E. Longifolia)
Buah Biji
un Biet tin gi chua, vao day coi di
Biet tin gi chua, vao day coi di
MLampiran 18. Gambar bibit pasak bumi (E. longifolia) pada perlakuan pengampelasan (P1) dan perlakuan perendaman KNO3 (P4)
Lampiran 19. Gambar Perkecambahan normal dan perkecambahan abnormal pasak bumi (E. longifolia)
(46)
(A) Perkecambahan normal dan (B) Perkecambahan abnormal
Lampiran 20. Gambar bibit pasak bumi (E. longifolia) pada satu bulan pengamatan
Lampiran 21. Gambar bibit pasak bumi (E. Longifolia) pada akhir penelitian
(47)
Comment [ J1] :
un Biet tin gi chua, vao day coi di Biet tin gi chua, vao day coi di
v
http://www.freewebtown.com/nhatquang lan/index.html
(1)
Lampiran 7. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%)
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 40,00 50,00 45,00 45,00
P1 50,00 55,00 70,00 58,33
P2 5,00 5,00 10,00 6,67
P3 0,00 0,00 0,00 0,00
P4 60,00 45,00 75,00 60,00
Lampiran 8. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 6,36 7,11 6,75 6,74
P1 7,11 7,45 8,40 7,65
P2 2,35 2,35 3,24 2,64
P3 0,71 0,71 0,71 0,71
P4 7,78 6,75 8,69 7,74
Lampiran 9. Sidik Ragam (ANOVA) Persentase Perkecambahan Normal (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
SK db JK KT F.Hit F.Tab
5%
Perlakuan 4 124,43 31,11 86,53* 3,27
Galat 10 3,60 0,36
Total 14 128,02
KK 11,78%
Keterangan:
dB : Derajat Bebas KT : Kuadrat Tengah KK : Koefisien Keragaman * : Nyata pada taraf 5%
(2)
Lampiran 10. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value)
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 0,24 0,25 0,34 0,27
P1 0,52 0,51 0,68 0,57
P2 0,05 0,06 0,07 0,06
P3 0,00 0,.00 0,00 0,00
P4 0,52 0,39 0,45 0,45
Lampiran 11. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 0,86 0,87 0,92 0,88
P1 1,01 1,00 1,09 1,03
P2 0,74 0,75 0,75 0,75
P3 0,22 0,71 0,71 0,55
P4 1,01 0,94 0,97 0,98
Lampiran 12. Sidik Ragam (ANOVA) Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value)Setelah di Transformasi dengan x+0.5
SK db JK KT F.Hit F.Tab
5%
Perlakuan 4 0,46 0,11 6,95* 3,27
Galat 10 0,16 0,02
Total 14 0,62
KK 16,73%
Keterangan:
dB : Derajat Bebas KT : Kuadrat Tengah KK : Koefisien Keragaman * : Nyata pada taraf 5%
(3)
Lampiran 13. Rataan Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari)
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 40,00 42,60 34,55 39,05
P1 27,33 28,50 26,75 27,53
P2 21,00 17,00 31,00 23,00
P3 0,00 0,00 0,00 0,00
P4 29,69 30,20 39,13 33,01
Lampiran 14. Rataan Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Perlakuan
Ulangan
Rataan
I II III
P0 6,36 6,57 5,92 6,28
P1 5,28 5,39 5,22 5,29
P2 4,64 4,18 5,61 4,81
P3 0,71 0,71 0,71 0,71
P4 5,49 5,54 6,30 5,78
Lampiran 15. Sidik Ragam (ANOVA) Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
SK db JK KT F.Hit F.Tab
5%
Perlakuan 4 59,68 14,92 87,63* 3,27
Galat 10 1,70 0,17
Total 14 61,38
KK 9,01%
Keterangan:
dB : Derajat Bebas KT : Kuadrat Tengah KK : Koefisien Keragaman * : Nyata pada taraf 5%
(4)
Lampiran 16. Gambar buah dan biji pasak bumi (E. Longifolia)
Buah Biji
un Biet tin gi chua, vao day coi di
Biet tin gi chua, vao day coi di
MLampiran 18. Gambar bibit pasak bumi (E. longifolia) pada perlakuan pengampelasan (P1) dan perlakuan perendaman KNO3 (P4)
Lampiran 19. Gambar Perkecambahan normal dan perkecambahan abnormal pasak bumi (E. longifolia)
(5)
(A) Perkecambahan normal dan (B) Perkecambahan abnormal
Lampiran 20. Gambar bibit pasak bumi (E. longifolia) pada satu bulan pengamatan
(6)
Comment [ J1] :
un Biet tin gi chua, vao day coi di Biet tin gi chua, vao day coi di
v
http://www.freewebtown.com/nhatquang lan/index.html