Mu’allimin Muhammadiyah Kutaraja. Masih sempat juga membuka Akademi Bahasa Arab.
Pada era demokrasi liberal, ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi Majelis Syuro Muslimin Indonesia dalam perdebatan-perdebatan
panjang yang membahas masalah ideologi di Konstituante yaitu lembaga yang mewakili rakyat ketika itu. Karir politik ini dimulai dari tahun 1930 ketika
diangkat menjadi ketua Jong Islamieten Bond cabang Aceh utara di Lhokseumawe. Dan masuk sebagai anggaota konstituante pada tahun 1955.
Namun akhirnya lebih memilih dunia akademis daripada berpolitik praktis. Tahun 1958 menjadi utusan Indonesia dalam Seminar Islm Internasional di Lahore.
Karir akademiknya dimulai dari menjadi staf pengajar sekolah persiapan PTAIN sampai akhirnya menjadi direkturnya. Mata kuliah Hadits menjadi
spesialisasinya di IAIN. Tahun 1960 mendapat promosi sebagai Guru Besar dengan pidato pengukuhan berjudul Syariat Islam Menjawab Tantangan Jaman
yang disampaikan pada acara peringatan setengah tahun peralihan nama PTAIN menjadi IAIN tahun1961.
Sewaktu pembukaan Fakultas Syariah di Darussalam, Banda Aceh yang berinduk pada IAIN Yogyakarta beliau menjadi Dekannya sejak September 1960
hingga Januari 1962. Lepas dari jabatan ini, tahun 1963-1966 Hasbi merangkap lagi sebagai Pembantu Rektor III dengan tetap menjadi Dekan Fakultas Syariah di
IAIN Yogyakarta. Ada beberapa jabatan struktural di berbagai Perguruan Tinggi Swasta.
Tahun 1961-1971 ia menjabat sebagai Rektor Universitas al-Irsyad Surakarta dan
Universitas Cokroaminoto di kota yang sama. Mengajar di Universitas Islam Indonesia UII Yogyakarta tahun 1964. Mengajar dan menjadi Dekan pada
Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung UNISSULA Semarang sejak tahun 1967 hingga wafatnya.
Meskipun tidak pernah belajar di luar negeri beliau mampu menelurkan lebih dari seratus judul karya intelektual dari beragam disiplin keilmuan dan
berbagai artikel lainnya. Ia mendapat anugerah Doctor Honoris Causa dari Unisba dan IAIN Sunan Kalijaga sekaligus pada tahun 1975. Pada tanggal 9
Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullah, dan jasad beliau
dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah dihadiri Buya Hamka dan Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir
yang sempat diselesaikan adalah Pedoman Haji. Keppres Nomor 067TKTahun 2007 menetapkan pemberian gelar
pahlawan nasional dan Bintang Mahaputra Utama kepada Prof Dr Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.
4
B. Pemikiran dan Karya
Dari segi pemikiran Hasbi adalah pelajar tekun yang memiliki kemampuan otodidak yang baik. Terbukti dengan penyampaian makalahnya dalam
4
Margawati Rahayu Simarmata,” Sembilan Putra Terbaik Terima Gelar Pahlawan Nasional,” artikel diakses pada Minggu, 3 Maret 2009 dari
http:inilah.com .
Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan tahun 1958. Bahkan sebelum berhaji atau belajar di Timur Tengah Hasbi sudah jauh-
jauh menyerukan pembaharuan. Sejak awal Hasbi sudah berani menentang arus bahkan di lingkungan yang sangat fanatik sekalipun. Terkenal sangat moderat
tetapi juga tegas dalam mengambil sikap. Dan beliau adalah penggagas awal fiqh yang berkepribadian Indonesia.
Hasbi sebagaimana kebanyakan ulama memandang bahwa syariat Islam bersifat lentur sehingga dinamikanya bisa disesuaikan dengan masa dan wilayah
hadirnya. Beliau memandang bahwa fiqh merupakan produk ijtihad yang belum final sehingga memungkinkan umat Islam Indonesia untuk memiliki coraknya
sendiri. Beliau mengkritik praktek penggunaan fiqh yang dilaksanakan masyarakat Indonesia yang dinilai tidak berkepribadian Indonesia. Pintu ijtihad
masih terus terbuka lebar. Beliau menyarankan tinjauan ulang atas hukum-hukum produk ulama mazhab, mencari hukum yang timbul dari adat kebiasaan dan
meninjau masalah kontemporer dengan tinjauan proporsional. Kemudian semua itu diramu untuk menjadi mazhab fiqh baru Indonesia.
Pandangan modern Hasbi tentang zakat dan sarannya kepada pemerintah untuk membuat bait al mâl adalah bukti kepahaman atas maqâsid al syarî’ah atau
tujuan pemberlakuan syariah sekaligus bentuk kepedulian beliau atas kesejahteraan umat Islam dan tanggung jawab ilmiah sebagai seorang pengemban
ilmu Allah. Karya ilmiah Hasbi adalah buah dari ketekunan membaca di perpustakaan
pribadinya setelah habis isya disela-sela kesibukannya. Bahkan sekitar tahun
1957-1958 beliau mendapat penghargaan sebagai salah seorang dari sepuluh penulis Islam terkemuka.
Cukup banyak karya tulis yang telah dihasilkannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang
ditulisnya berjumlah 73 judul 142 jilid dengan klasifikasi sebagai berikut: 1.
Bidang fiqh terdiri dari 36 judul. 2.
Bidang hadis terdiri dari 8 judul. 3.
Bidang tafsir terdiri dari 6 judul. 4.
Bidang tauhid; ilmu kalam terdiri dari 5 judul. 5.
Yang lainnya adalah tema-tema umum.
C. Sejarah Penulisan Tafsir An-Nuur
Hasbi menulis tafsirnya sejak tahun 1952 hingga tahun 1961 di sela-sela kesibukannya mengajar, menjadi dekan fakultas Syari’ah IAIN dan menjadi
anggota konstituente dari partai Masyumi. Karena kesibukannya itu, ia tidak menuliskan sendiri tafsirnya, tapi hanya mendiktekan kemudian dituliskan oleh
seorang pengetik, sementara di mejanya bertebaran berbagai buku rujukan
5
. Latar belakang penulian tafsir ini, sebagaimana yang ia tulis di pengantar
tafsirnya, karena ia melihat banyak umat Islam Indonesia yang mulai tertarik untuk mendalami ajaran Islam, termasuk tafsir al-Qur’an. Tapi sayang,
5
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur, vol. 1 Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995, h. iv.
kebanyakan diantara mereka tidak menguasai bahasa Arab, padahal kitab-kitab tafsir umumnya berbahasa Arab. Maka ia tulis tafsir ini untuk memudahkan
mereka yang tertarik mendalami tafsir al-Qur’an itu. Di bidang tafsir al-Qur’an, Hasbi menulis dua tafsir, yaitu Tafsir an-Nuur
1956 dan Tafsir al-Bayan 1966. Tafsir an-Nuur ditulis di tengah perdebatan tentang boleh-tidaknya menerjemah sekaligus menulis al-Qur’an dengan bahasa
selain bahasa Arab. Bagi Hasbi, al-Qur’an bersifat universal. Karena itu, demi suksesnya misi transformasi maka penggunaan bahasa pembaca yang terkotak-
kotak dalam suku dan bangsa masing-masing untuk menafsirkan al-Qur’an menjadi sebuah kebutuhan mendesak, tidak terkecuali menggunakan bahasa
Indonesia. Hasbi sepenuhnya menyadari bahwa pendapatnya ini berseberangan
dengan pendapat majelis ulama-ulama besar Saudi Arabia dalam keputusan No. 67, 21 Syawal 1399 H1978 M. Keputusan itu berisi fatwa haramnya menulis
menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan selain bahasa Arab. Namun ia jalan terus dengan menulis Tafsir an-Nuur.
Dalam menyusun kitab tafsirnya, Hasbi banyak menggunakan sumber- sumber seperti ayat al-Qur’an, riwayat Nabi, riwayat sahabat dan tabi’in, teori-
teori ilmu pengetahuan, pengalaman dan juga pendapat para mufasir. Ia menyusun Tafsir an-Nuur
dengan sistematika pembahasan tertentu yang diharapkan mampu menggugah minat pembaca sekaligus memudahkannya dalam memahami dan
mendapat penjelasan yang relatif lengkap. Tafsir an-Nuur bahkan menjadi salah
satu kitab tafsir rujukan Lembaga Penyelenggara Penerjemahan Kitab Suci al- Qur’an dalam tugasnya menerjemahkan al-Qur’an.
D. Karakteristik Tafsir An-Nuur
Sistem penulisan tafsir ini pertama-tama menyajikan pengantar umum bagi setiap surat. Dengan menghubungkan hal-hal yang memiliki korelasi dengan
surat sebelumnya, atau biasa disebut munasabah. Kemudian menyebutkan satu, dua atau tiga ayat al-Qur’an yang mengandung satu pembahasan. Kemudian ayat
tersebut diterjemahkan maknanya dengan cara yang mudah difahami. Setelah itu barulah Hasbi menafsirkan inti dari ayat-ayat terebut. Selanjutnya ia menyebutkan
ayat-ayat lain yang mengandung pembahasan yang sama. Terakhir untuk lebih memudahkan memahami maksud ayat-ayat itu ia menyebutkan asbabun-
nuzul nya, jika memang ada.
Materi tafsir yang terdapat dalam an-Nuur Hasbi sarikan dari tafsir-tafsir mu’tabar
, terutama dari al-Maraghî. Ayat dan hadits yang dinukil dalam tafsir ini terdapat pula dalam tafsir-tafsir induk dan tafsir-tafsir yang mengambil dari tafsir-
tafsir induk itu. Sementara dalam menerangkan ayat-ayat yang semakna dengan ayat-ayat yang sedang ditafsirkan, Hasbi berpedoman pada Tafsîr Ibnu Katsir,
karena banyak menafsirkan ayat dengan ayat. Tahun 1995 Tafsir an-Nuur diterbitkan oleh Pustaka Rizki Putra Semarang
dalam 5 jilid. Dari maksud penulisan tafsir ini yaitu untuk memudahkan mereka yang
tertarik mendalami tafsir al Qur’an dan kesungguhan Hasbi dalam menekankan
segi-segi kemasyarakatan dan hukum-hukum sosial maka jelas terlihat bahwa corak tafsir ini adalah al adabî al ijtim’î, sastra budaya kemasyarakatan.
6
Begitu seriusnya Hasbi dalam menyampaikan ide-idenya sampai dalam penulisan tafsir ini disertakan transliterasi ayat-ayat al-Qur’an pada bagian tafsir
hal ini selain untuk mempermudah para peminat tafsir yang belum bisa membaca al-Qur’an dalam tulisan aslinya sekaligus mendorong umat untuk tidak minder
menghadapi tafsir al-Qur’an karena memang dia ditujukan bagi seluruh umat baik kalangan terpelajar ataupun masyarakat awam. Apabila diperhatikan dengan
seksama maka akan didapati bahwa terjemahan dalam tafsir ini memiki ruh yang sama dengan terjemah Departemen Agama hanya terdapat penyesuaian kata
seiring dengan perkembangan bahasa Indonesia modern. Karena memang tafsir Hasbi merupakan salah satu diantara rujukan tim penerjemah al-Qur’an yang
dibentuk Departemen Agama disamping Hasbi juga terlibat secara aktif dalam proses lahirnya al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Dartemen Agama.
6
Didin Saefuddin Buchari, Pedoman Memahami al Qur’an Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005, h.188.
21
BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG AGAMA DAN PERILAKU
MENCERAI-BERAI
A. Pengertian Agama
Kata agama dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti: Segenap kepercayaan kepada Tuhan, Dewa dan lain sebagainya
serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.
1
Dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, agama disetarakan dengan religion
dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin: religio yang berarti kekhawatiran, keseganan, atau berasal dari kata relegere yang berarti membaca
kembali atau dari kata religare yang berarti mengikat kembali. Dalam definisi agama adalah segala kepercayaan kepada Tuhan atau Dewa berikut ajaran
kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu; sangat mementingkan konsep mengenai asal-usul Tuhan serta tujuan akhir perjalanan
hidup manusia; digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi dorongan-dorongan moralnya yang luhur dan mencapai kesempurnaan yang
paling tinggi melalui penghayatan dan melibatkan seluruh kemampuan ruhaniah dan sikap pasrah diri.
2
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Jakarta: Balai Pustaka, 2006, h. 10.
2
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997, h. 13.
Selain dikenal sebagai religi, agama disetarakan dengan dîn dalam bahasa Arab. Dalam Al Munjid kata dîn diartikan sebagai: al dîn jama’ :adyân: 1 al
jazâu wa al mukâfaah ; 2 al qadâ; 3 al mâlik al muluk wa al sultân;4 al
tadbîr ;5 al hisâb.
3
Artinya: 1 pahala, 2 ketentuan, 3 kekuasaan, 4 pengelolaan, 5 perhitungan.
Al Jurjani dalam al Ta’rîfât memadankan al dîn dengan al millah yang disebut sebagai satu dalam zat atau materinya tetapi berbeda di dalam
penggambaran. Ketika sebagai syariat yang dipatuhi maka disebut al Dîn. Ketika berfungsi mengumpulkan seluruh makna agama maka disebut al millah.
Ditambah dengan al Madzhab ketika difungsikan sebagai tempat kembali atau referensi. Secara gampang dibedakan antara ketiganya kepada sandarannya, al dîn
disandarkan kepada Allah, al millah kepada nabi dan al millah kepada mujtahid.
4
Harun Nasution mencantumkan empat unsur penting yang ada dalam agama secara umum, yaitu:
1. Kekuatan gaib.
2. Keyakinan bahwa kebaikan di dunia dan akhirat bergantung kepada hubungan
baik dengan sesuatu yang gaib tersebut. 3.
Respons emosional seperti rasa takut dan cinta. 4.
Paham akan adanya yang suci dalam bentuk kekuatan gaib, kitab suci atau tempat-tempat tertentu.
5
3
Louis Ma’luf,Munjid; fi al lughah, Beirut: al Matba’ah al Kâtûlîkiyyah 1960; reprint, Beirut: Dar el- Machreq Sarl, 1986,
h. 231.
4
‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al Jurjani, al Ta’rîfât,, Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabiy,1996, h. 141-142.
5
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol.1 Jakarta: UI-Press,1986, h. 11.
Muhammad Rasyid Rida dalam al Manâr meyebutkan bahwa: Sesungguhnya agama adalah aturan yang ditentukan oleh Tuhan karena
akal manusia secara mandiri tidak bisa mencapai kecuali harus adanya pertolongan wahyu. Meskipun demikian agama ini sesuai dengan tuntutan
fitrah jati diri manusia untuk membersihkan jiwanya dan mempersiapkan manusia untuk sesuatu kehidupan yang abadi di hari akhirat nanti.
6
Endang Saifuddin Anshari dalam Ilmu Filsafat dan Agama membagi
agama berdasarkan sumbernya menjadi dua, yaitu: 1.
Agama budaya. 2.
Agama wahyu. Agama budaya adalah agama yang lahir dari kebudayaan manusia atau
ciptaan manusia. Sedangkan agama wahyu adalah agama yang diwahyukan Allah.
7
Sedangkan agama yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah Islam yang berasal dari bahasa Arab yang berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada
Allah. Dalam istilah teologi berarti agama monotheis yang diwahyukan Allah kemudian diterima dan disiarkan Nabi Muhammad saw.. Berpedoman pada kitab
suci al Qur’an dan Hadis Rasulullah.
8
Agama Islam adalah agama yang datang dengan terutusnya seorang mulia Nabi Muhammad saw. sebagai penutup Nabi dan Rasul Allah, yang diberi wahyu
dengan dipenuhi mukjizat berupa al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat
6
Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam Surabaya: Anika Bahagia, 1985, h.15.
7
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama Surabaya: Bina Ilmu, 1981, h. 142.
8
Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 412.