Wuku : Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan.

(1)

i

WUKU

(Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian pada Orang Bali di Pegajahan)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mendapat gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam bidang Antropologi

Disusun

Oleh

Andri Nugraha

050905018

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh:

Nama : Andri Nugraha Nim : 050905018

Judul : “Wuku” Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan.

Pembimbing Ketua Departemen

Dra Sri Alem Sembiring,M.Si Dr.Fikarwin Zuska NIP. 19690823 199403 2 001 NIP 19621220 198903 1 005

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr.Badaruddin,M.Si NIP. 19680525 199203 1 002


(3)

PERNYATAAN

“Wuku” Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan

Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan.

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terdapat ketidaksesuaian dengan data yang ada di dalam skripsi ini dan terbukti melakukan plagiat terhadap karya orang lain, maka saya akan siap diproses secara hukum dan dicabut gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juni 2011


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, dan keselamatan serta anugerah yang berlimpah sampai skripsi ini selesai. Penulis juga menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, bimbingan, bantuan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang saya sayangi Ayahanda Mayor CPM (Purn) Ojod Koswara dan Ibunda Dede Mulyati yang tak pernah lelah memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada saya dari kecil sampai sekarang. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

Bapak Dr. Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Agustrisno, MSP selaku Sekertaris Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara dan Ketua Penguji Proposal Penelitian ini, Bapak Lister Berutu MA selaku dosen wali saya selama menjalani pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Terimakasih untuk waktu, saran dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

Kakak Dra. Sri Alem Sembiring, M.Si yang selalu tabah dan semangat membimbing saya menyelesaikan proposal sampai skripsi saya selesai. Bapak Drs. Ermansyah M.Hum sebagai penguji I, di mana telah banyak membantu penulis dalam perbaikan proposal. Para Dosen Departemen Antropologi, Staf Pegawai FISIP, Pegawai Perpustakaan Fakultas dan Pegawai Perpustakaan Universitas.

Buat kekasih saya Novi Eriyanti, terima kasih atas perhatian, kesabaran dan kasih sayang serta waktu dan dukungan baik itu materi, tenaga dan pikiran kepada saya sampai selesainya skripsi saya ini. Buat suluruh keluarga saya yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis dalam penyelesaian skripsi. Buat Seluruh keluarga bapak I Nengah Sumadiase di Desa pegajahan, yang membantu penulis untuk menjadi informan dalam menyelesaikan proposal penulis sampai dengan skripsi ini selesai..

Abang dan kakak senior terkhusus Ibnu Avena dan Siwa Kumar yang selalu menjadi teman diksusi dan motivasi berkarya bagi penulis. Dan buat kakak yang penulis sayangi Kak Ika, kak Anis terima kasih atas dorongan dan doanya.Buat Sahabat terbaik saya Dani Syahpani dan Sumantri Tarigan, yang selalu merepet bila saya salah langkah dan selalu memberi dorongan dan motivasi bagi saya. Buat Teman terbaik saya, Tasvien Mirdasy, Hery A Sianturi, Fauzi Akbar, Safia Chairisa, Ferry Stefanus Laia, Ronald Gea, Syahvery Ginting, Kartika Ruth Yohana Panjaitan, Windy Febrianti yang selalu menjadi teman berbagi suka maupun duka.


(5)

Kerabat-kerabat mahasiswa/i Antropologi Fisip USU yakni Yenni Farida, Sulia Rimbi, ,Bambang Napitupulu, Daniel Sitorus, Heri Manurung, Sri Ulina Girsang, Meiny Saragih, Toni Manurung, Roseva Bangun, Salsa Tarigan, Tuti Naibaho, Mia Br Barus, Darwin Tambunan dan seluruh Dongan Antropologi 2005 yang tidak dapat penulis sebutkan terima kasih atas dorongan dan semangat serta bantuan yang diberikan dalam lapangan dan dalam penyelesaian skripsi ini. Adik-adik junior, Rabitah, Zizah, Fiza, Asrul, Dea serta kepada kerabat Antropologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas semangat dan doanya yang diberikan kepada penulis.

Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Menyadari akan keterbatasan penulis, maka skripsi atau hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Juni 2011


(6)

RIWAYAT HIDUP

Andri Nugraha, lahir pada tanggal 25 Juli 1987 di Kota Medan. Beragama Islam, anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda bernama Mayor CPM (Purn) Oyod Koswara dan Ibunda bernama Dede Mulyati.

Riwayat pendidikan formal penulis: SD Swasta Medan Putri (1993-1999), SMP Negeri 12 Medan (1999-2001), SMU Negeri 7 Medan (2002-2005), Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara (2005-2011).

Selama kuliah penulis aktif dalam mengikuti pelatihan/seminar diantaranya Peserta Seminar “Dialog Budaya Daerah Sumatera Utara” di Museum Medan (2007), Peserta Seminar Sarasehan Nasional-IX Jaringan Kekerabatan Antropologi Sosial Indonesia di Universitas Cendrawasih Papua (2008), Panitia Seminar “Evaluasi Hasil Inventarisasi Tenun Oles Pakpak serta Identifikasi dan Kajian Organisasi Sosial (sistem Gotong Royong) Masyarakat Pakpak Bharat di Sumatera Utara” (2009).

Pengalaman berorganisasi penulis diantaranya pernah menjadi Kabid Informasi dan Komunikasi PEMA – FISIP USU (2007-2008) dan Sekretaris INSAN Antropologi FISIP-USU (2009-2010),

Selain dalam pelatihan dan organisasi penulis juga bekerja dan turut membantu program kerja luar kampus diantaranya Surveyor dalam penelitian dalam studi kasus Pekerja Anak dalam Sektor Rumah Tangga yang dilaksanakan oleh Lembaga Transformasi Pemerintah Lokal (LATERAL) di Tanjung Balai Sumatera Utara (2009), , Surveyor Implementasi Sistem Biometric PNS Berbasis Elektronik Provinsi Sumatera Utara oleh SUCOFINDO bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (2011),


(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam rangka memenuhi persyaratan tersebut penulis telah menyusun sebuah skripsi dengan judul “Wuku” Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian pada Orang Bali di Pegajahan.

Pada skripsi ini dilakukan pembahasan secara menyeluruh mengenai pengetahuan yang dimiliki Orang Bali di Pegajahan dalam memahami perhitungan musim khususnya dalam bidang pertanian dengan menggunakan system penanggalan tradisional. Pembahasan tersebut diuraikan dari bab I sampai dengan bab V.

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini akan menguraikan garis besar penulisan skripsi secara menyeluruh, antara lain dikemukakan latar belakang masalah, perumusan masalah penelitian sehingga dapat diketahui apa yang ingin dikemukakan dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya, akan diuraikan juga lokasi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan pustaka, metode penelitian, dan teknik pengumpulan data. Penguraian pada bab ini, dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran secara keseluruhan mengenai materi penulisan yang dimaksud dalam penelitian/skripsi ini.

Bab II Gambaran Umum Desa Pegajahan. Pada bab ini akan diuraikan mengenai identifikasi desa (meliputi : sejarah desa, letak desa, keadaan penduduk


(8)

dan topografi desa), tata ruang desa, tata pemukiman, sarana prasarana desa, tata ruang pertanian, kelembagaan desa, dan Sumber Daya Alam desa.

Bab III. Pengenalan Wuku. Pada bab ini akan diuraikan secara keseluruhan mengenai sejarah dan perkembangan wuku yang menjadi bagian dari system penanggalan tradisional orang Bali yang disebut dengan wariga. Hubungan antara wuku dan wariga serta penentuan hari-hari dalam melaksanakan upacara adat yang berpedoman kepada wuku.

Bab IV. Pada bab ini akan diuraikan tentang Bali dan Kearifan Lokal, yang dimulai dari proses pengenalan musim, konsep tanah yang subur bagi orang Bali, tahapan cara bertani yang di pakai orang Bali, cara pengendalian hama yang menggunakan pengetahuan local orang Bali, berbagai jenis sesajen atau banten yang digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan upacara adat sampai kepada modifikasi pengetahaun local yang dilakukan oleh orang Bali yang ada di Desa Pegajahan.

Bab V Penutup. Penutup berisikan tentang kesimpulan dan saran. Pada bab ini akan disimpulkan kembali secara keseluruhan dari hasil penelitian tentang Kearifan orang Bali dalam menjaga dan melestarikan lingkungan dengan cara mengangkat kembali pengetahuan yang mereka punya. Diakhir bab ini, penulis menyampaikan beberapa saran yang berguna untuk pengatuhan dalam mengolah dan menjaga lingkungan yang ada serta membuka sedikit pemahaman tentang pentingnya menjaga sebuah warisan leluhur.

Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis juga membuat daftar pustaka sebagai bahan refrensi dari skripsi ini serta lampiran-lampiran seperti pedoman


(9)

wawancara, Sketsa lokasi penelitian, surat penelitian, serta gambar-gambar di lokasi penelitian.

Akhirnya, penulis mengharapkan semoga skrpisi ini bermanfaat bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, materi, dan pengalaman penulis. Penulis, dengan tidak mengurangi rasa hormat, mengharapkan kritik dan saran maupun sumbangan pemikiran yang bersifat membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.

Penulis

Andri Nugraha


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN………...i

LEMBAR PERNYATAAN………...ii

UCAPAN TERIMA KASIH………iii

RIWAYAT HIDUP………v

KATA PENGANTAR………...vi

DAFTAR ISI………...x

DAFTAR GAMBAR……….xi

DAFTAR TABEL………xii

DAFTAR DIAGRAM……….xiii

ABSTRAK………...xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan masalah...8

1.3 Lokasi Penelitian...9

1.4 Tujuan dan Manfaat...10

1.5 Tinjauan Pustaka...12

1.6 Metode Penelitian...18

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI DAN MASYARAKAT DESA PEGAJAHAN 2.1 Sejarah singkat Kabupaten Serdang Bedagai dan Desa Pegajahan...21

2.2 Batas Wilayah dan Aksebilitas Desa...23

2.3 Pola Pemukiman...27

2.4 Kependudukan...28

2.5 Sistem Sosial Masyarakat Desa Pegajahan...33

2.6 Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Bali...35

BAB III PENGENALAN WUKU 3.1 Sejarah Wariga...38

3.2 Hubungan Wariga dan Wuku...43

3.3 Penentuan Hari Upacara Umat Hindu Bali...49

BAB IV BALI DAN KEARIFAN LOKAL 4.1 Pengenalan Musim...56

4.2 Konsep Tanah Subur Menurut Orang Bali di Pegajahan...65

4.3 Tahapan Cara Bertani Menurut Wariga...67

4.3.1 Tahap Pematangan Sawah Dan Penanaman Benih...69 Ngedagin ( mengawali bertani)

Menyemai benih padi

Mapag toya (membuka saluran irigasi) Amaluku (membajak sawah)


(11)

Angurit (menyemai padi)

Ngabut Bulih (mencabut bibit padi)

Ngetep Bulih (memotong ujung daun bibit padi

4.3.2 Penanaman Padi………73

Anandur Pari (Menanam Padi) 4.3.3 Perwatan Padi………74

Uwus Anandur Pari (selesai menenam padi) Usia padi 12 hari Usia padi 17 hari Usia Padi 1 bulan Usia padi 2 bulan Usia padi lebih dari 2 bulan Usia padi 3 bulan Usia padi lebih dari 3 bulan Usia padi 4 bulan 4.3.4 Pemanenan Padi………79

4.4 Menghindarkan Padi (Pamungkem) dari Hama...87

Hama sebagai perusak Hama sebagai pengganggu 4.5 Jenis Banten yang digunakan dalam Upacara Secara Umum...92

4.5.1 Canang Ganten...92

4.5.2 Canang Baturatwangi...94

4.5.3 Tadah Pawitra...95

4.5.4 Canang Sari...97

4.5.5 Cane ...98

4.5.6 Daksima...99

4.5.7 Ajuman...101

4.5.8 Peras...102

4.5.9 Banten Jotan...103

4.5.10 Byakala...105

4.5.11 Prayascita...107

4.6 Rekonstruksi Kearifan Lokal ………..107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...109

5.2 Saran...113

DAFTAR PUSTAKA………..114


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ………24

Gambar 2.2 ………26

Gambar 2.3 ………26

Gambar 4.1 ………94

Gambar 4.2 ………95

Gambar 4.3 ………96

Gambar 4.4 ………98


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 ………30

Tabel 2.2 ………31

Tabel 2.3 ………32

Tabel 2.4 ………32

Tabel 2.5 ………33

Tabel 2.6 ………36

Tabel 3.1 ………42

Tabel 3.2 ………47

Tabel 3.3 ………51

Tabel 3.4 ………52

Tabel 3.5 ………54

Tabel 4.1 ………58

Tabel 4.2 ………64

Tabel 4.3 ………68

Tabel 4.4 ………80


(14)

DAFTAR DIAGRAM


(15)

ABSTRAK

ANDRI NUGRAHA, 050905018 (2011), WUKU; Kearifan Lokal Penanggalan Musim Dalam Kegiatan Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan, skripsi ini terdiri dari 5 bab, 112 halaman, 16 Tabel, 8 Gambar, 1 Diagram, beberapa lampiran dan surat keterangan penelitian.

Studi ini membahas tentang kearifan lokal pada masarakat Bali yang ada di Desa Pegajahan, kearifan lokal yang akan dibahas mengenai perhitungan yang mereka gunakan untuk mengenal musim khususnya musim tanam, kearifan lokal ini mereka gunakan untuk kegiatan pertanian. Masyarakat Bali selalu menggunakan sebuah konsep yang yang dikenal dengan nama wuku dan berfungsi sebagai komponen perhitungan musim. Dalam wuku terdapat pengetahuan mengenai sifat-sifat tumbuhan, tanah, hewan dan waktu untuk menanam, memanen dan pengetahuan tentang cuaca. Deskripsi dalam tulisan ini difokuskan pada pengetahuan atau pola pikir masyarakat Bali di Pegajahan dalam menentukan hari-hari wuku bag kegiatan pertanian. Beberapa pertanyaan penelitian yang akan dideskripsikan dalam tulisan ini adalah konsep tantang wariga bagi masyarakat Bali, konsep yang terkandung dalam penentuan nama-nama hari dan hubungannya pada kegiatan pertanian dan manfaat wuku bagi kegiatan pertanian di Desa Pegajahan.

Untuk memahami tentang kearifan lokal masyarakat Bali, penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi kognitif dari James Spradley ,yang mendefenisikan kebudayaan itu adalah sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi prilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Metode folk taksonomi adalah satu cara yang digunakan untuk menjabarkan sistem pengetahuan orang Bali di Pegajahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan pengamatan untuk memperoleh data-data, dan analisis data dilakukan dengan cara pengklasifikasian data berdasarkan emic view.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah masyarakat Bali masih memiliki sebuah kearifan tradisional (local wisdom) dalam menentukan apa yang akan mereka lakukan pada setiap proses pertanian dengan mengacu pada wuku. Dalam menghadapi perubahan iklim saat ini orang Bali melakukan modifikasi terhadap hari-hari di dalam wuku. Wuku yang mereka gunakan tidak bersifat baku dan dapat disesuaikan dengan tuntutan alam. Dalam pemaknaan dan pembacaan wuku pada kegiatan pertanian, masyarakat Bali tidak terlepas dari proses upacara dan segala sesajen yang yang terbuat dari tumbuhan dan hewan yang diolah menjadi sebuah penganan yang dapat dipersembahkan kepada dewa dan dewi yang ada dalam upacara tersebut. Wuku merupakan suatu bentuk budaya yang nyata bagi masyarakat Bali dalam memaknai arti dari sebuah penanggalan musim. Hari, bulan, tahun serta angka-angka yang terdapat di dalam wuku memiliki makna dan kekuatan untuk mengatur serta menjadikan masyarakat Bali lebih bijak dalam menghargai lingkungan, baik itu lingkungan sosial maupun spiritual.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan tidak akan ada tanpa adanya manusia, karena manusia adalah faktor penting dalam pembentukan kebudayaan. Manusia harus menjaga hubungannya dengan ekosistem disekitarnya agar dapat bertahan hidup (Keesing 1992:146). Manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan cenderung memiliki suatu kearifan tradisional. Kearifan tradisional dikonstruksi oleh sekelompok masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Hal ini wajar terjadi karena manusia memiliki pola pikir dan akal untuk membuat strategi pertahanan dalam melawan ataupun bersahabat dengan lingkungan tempat dia hidup.

Salah satu cara manusia mempelajari alam adalah melalui naluri manusia dalam membaca alam sekitarnya; misalnya dengan melihat gejala-gejala alam yang terjadi, manusia dapat memprediksikan apa yang akan terjadi di alam Kegiatan manusia ini tidak terlepas dari kegiatan berhitung atau matematika atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan etnomatematik1

1Istilah ethnomatematikdiambil dari Ubiratan D’ Ambrosio, D’Ambrosio menggunakan

ethnomatematik pertama sekali pada saat dia melakukan penelitian untuk melihat ringkat pengetahuan matematik pada tingkat siswa Sekolah Dasar di Brasil.

. Sadar atau tidak sadar semua kegiatan manusia di dunia ini dilakukan atas dasar perhitungan yang tepat sesuai dengan kondisi alam tempat dia tinggal. Salah satu contoh kajian etnomathematik adalah dalam bidang arsitektur, dimana perhitungan-perhitungan baku yang tepat dilakukan untuk membangun rumah dan bangunan lain agar kuat


(17)

dan tidak mudah rusak2. Demikian juga dalam kegiatan menenun, baik untuk menbuat anyaman tikar ataupun keranjang yang memiliki motif ataupun tanpa motif, manusia menggunakan perhitungan yang tepat agar semua bahan teranyam dengan baik dan rapi. Studi yang dilakukan oleh Tambunan (2009), menunjukkan bahwa para pengrajin kain tenun seperti ulos, songket dan lain sebagainya yang ada di daerah Pak-pak, secara tidak sadar juga menggunakan perhitungan ‘the Golden Ratio’ untuk menenun untaian-untaian benang sehingga menjadi selembar kain. ‘The Golden Ratio’ diimplementasikan dalam pembuatan pola dalam ulos tersebut, warna benang yang akan menjadi pola disisip dalam warna benang yang akan menjadi warna dasar dalam ulos, banyaknya warna-warna benang dan panjang benang tersebut telah diperhitungkan dengan cermat oleh penenun, sehingga untaian benang tadi menjadi sebuah ulos dengan pola yang indah dan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Pak-pak3

Setiap kelompok etnis

.

4

2Orang-orang Romawi dan Mesir pada zaman dahulu selalu menggunakan perhitungan

yang disebut dengan ‘the Golden Ratio’ dalam membuat sesuatu yang berhubungan dengan arsitektur, seperti rumah, Patung, lukisan dan lain sebagainya. Perhitungan ini dipakai untuk mencari sisi yang paling ideal dari setiap bentuk. The Golden Ratio adalah sautu deretan angka yang ditemukan oleh seorang matematikawan Itali yang bernama Fibonacci, deretan angka-angka ini memiliki sifat yang unik, yaitu setiap angka-angka dalam deretannya adalah hasil penjumlahan dari 2 angka sebelumnya. The Golden Ratio bukanlah hasil dari imajinasi matematis, akan tetapi merupakan kaidah alam yang terkait dengan hukum keseimbangan. The Golden Ratio juga banyak digunakan oleh pelukis-pelukis terkenal dunia seperti Leonardo Da Vinci dan Le Corbusier, karena The Golden Ratio adalah kaidah alam dalam hukum keseimbangan maka mereka menggunakan untuk mengukur tubuh manusia agar ideal di dalam lukisannya (www.yus/harunyahya.com)

3Rytha Tambunan menulis tentang Inventarisasi Tenun Oles Pak-pak yang diseminarkan

dalam Evaluasi Hasil InventarisasiTenun Oles Pak-pak serta Identifikasi dan Kajian Organisasi Sosial (sistem Gotong Royong) Masyarakat Pak-pak Bharat di Sumatera Utara, pada tanggal 28 Oktober 2009 di Ruang Sidang FISIP-USU.

4Kelompok etnik yang dimaksud di atas adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh

kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. “Kesatuan kebudayaan” bukanlah suatu hal yang ditentukan olah orang luar, misalnya seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan atau lainnya dengan menggunakan metode-metode analisis ilmiah mereka, melainkan oleh warga kebudayan yang bersangkutan itu sendiri (Koentjaraningrat 2000:264).

memiliki metode perhitungan masing-masing dalam setiap aspek kehidupan, seperti halnya kalender. Setiap etnis yang ada di


(18)

Indonesia memiliki beberapa jenis kalender yang konsep dan perhitungan harinya berbeda dengan kalender yang dipakai secara umum di Indonesia bahkan di Dunia (kalender Masehi yang di perkenalkan oleh bangsa-bangsa di Eropa terhitung setelah lahirnya Isa Almasih). Orang Jawa memiliki konsep perhitungan hari yang dinamakan dengan pranata mangsa yang didasarkan atas perputaran matahari. Orang Bali juga memiliki konsep perhitungan sejenis yang diberi nama wariga yang didasarkan atas perputaran bulan mengelilingi bumi. Vorhalakan adalah konsep perhitungan hari menurut konsep orang Batak dan lontara adalah konsep perhitungan hari yang digunakan oleh orang Bugis, Buton, Makassar dan Toraja.

Dasar perhitungan setiap penanggalan kalender tersebut memiliki perhitungan hari dan bulan yang berbeda-beda. Acuan untuk penanggalan tersebut juga berbeda-beda. Ada yang mengacu pada pergerakan bulan (kalender lunar), ada yang acuannya mengacu pada pergerakan matahari (kalender solar), dan ada juga yang mengacu pada pegerakan bulan dan matahari (kalender lunisolar)5

Konsep perhitungan hari atau perhitungan lainnya yang ada pada setiap kelompok etnis dikenal dengan sebutan ethnomathematic. Istilah ethnomathematic ini diperkenalkan oleh tokoh pendidikan Brasil dan matematikawan Ubiratan D'Ambrosio pada tahun 1977 pada saat presentasi untuk Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Sejak D'Ambrosio mengajukan istilah ethnomathematic, orang-orang termasuk D’Ambrosio sendiri telah bergumul

.

5Kalender Lunar: sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan fase bulan. Setiap

hari dalam penanggalan ini menandakan satu lokasi bulan dalam mengelilingi matahari.

Kalender Solar: sistem penanggalan yang didasarkan atas revolusi (perputaran)bumi mengelilingi matahari. Secara fisika satu tahun surya adalah unit relatif, waktu relatif sebuah planet mengitari matahari.

Kalender Lunisolar: sebuah kalender yang menggunakan fase bulan sebagai acuan utama namun juga menambahkan pergantian musim di dalamperhitungan tiap bulannya. Kalender ini biasanya ditandai dengan adanya bulan-bulan kabisat beberapa tahun sekali ataupun berturut-turut. Dengan demikian jumlah bulan dalam satu tahun dapat mencapai 12 sampai 13 bulan. (http//www.wikipedia_kalender.com)


(19)

dengan maknanya. D’Ambrosio (1987), menjelaskan ethnomathematic merupakan suatu kodifikasi atau penyusunan angka-angka yang memungkinkan suatu kelompok budaya, dalam hal ini masyarakat untuk menjelaskan, mengelola, memahami bahkan meramalkan suatu relitas yang ada6

Pada salah satu dari studi perhitungan hari tersebut adalah studi Indrowuryatno (dalam Adimiharja 2006). Indrowuryatno menjelaskan bahwa orang Jawa menggunakan perhitungan hari (pranata mangsa) untuk mengklasifikasikan kapan awal dari musim kemarau dan kapan awal dari musim hujan. Pranata mangsa dalam studi tersebut sudah digunakan sebagai pedoman bertani oleh nenek moyang orang Jawa ratusan tahun sabelum zaman Hindu. Indrowuryatno lebih lanjut menjelaskan bahwa, sekalipun penanggalan Jawa ini sudah diperbaharui oleh Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono VII dari system penangglan asli, ternyata pranata mangsa dianggap masih memadai untuk

.

Masing-masing perhitungan hari tersebut dianggap penting oleh kelompok etnis penggunanya. Perhitungan hari tersebut banyak membantu penggunanya dalam segala aspek kehidupan, terutama dalam bidang pertanian. Berdasarkan panduan perhitungan itu, mereka mengklasifikasikan jenis-jenis musim yang baik untuk melakukan penanaman, pemanenan, pemupukan bahkan sebagai suatu tindakan antisipasi untuk menghindari serangan hama yang dapat menggangu tanaman mereka, atau untuk kegiatan-kegiatan ritual.

6

Ethnomathematics adalah studi mengenai hubungan numerik dan sistem untuk pendidikan

matematika multikultural. Tujuan ethnomathematics adalah antar mengacu pada ide-ide kelompok yang luas, mulai dari matematika untuk memberikan kontribusi baik untuk pemahaman budaya dan pemahaman matematika, tetapi terutama untuk menghargai hubungan antara keduanya. Seperti dalam film “Knowing” diceritakan bahwa runutan angka-angka dapat meramalkan berbagai kecelakan dan musibah yang menimpa umat manusia, runutan angka-angka tersebut memiliki kodifikasi tersendiri seperti tanggal, lokasi dan jumlah korban yang akan meninggal. Dengan melihat runutan angka-angka tersebut maka akan tahu kapan akan terjadi kecelakaan, dimana dan jumlah korbannya.


(20)

digunakan hingga saat ini, dan orang-orang Jawa memodifikasi sistem perhitungannya (dalam Adimiharja 2006:126).

Kegiatan modifikasi tersebut dilakukan karena pranata mangsa menggunakan perhitungan bulan dengan total hari dalam sebulan adalah 365,25 hari, sedangkan waktu yang diperlukan Matahari dalam peredaran tahunan mengelilingi bumi adalah 365 hari, 5 jam, 48 menit, dan 46 detik, sehingga terdapat selisih 11 menit, 14 detik, dalam satu tahun. Dengan demikian, terjadi perbedaan dalam satu hari setiap 128 tahun (dalam Adimiharja 2006:126). Menurut Boediharjo (1917), perhitungan pranata mangsa yang dilakukan setiap 400 tahun sekali, tahun Wuntu-nya harus dikurangi 3 (tiga), atau setiap 128 tahun sekali tahun Wuntu-nya dikurangi 1 (satu).

Oleh karena itu, mangsa Kalima yang berlaku 13 Oktober sampai 8 November merupakan mangsa pancaroba atau labuh yang sifatnya pancuran mancur ing jagad, artinya sering turun hujan. Pada kenyataannya, saat itu belum merupakan awal musim penghujan, bahkan masih terjadi musim kemarau yang panas. Itulah sebabnya, pada 1950-an, murid-murid sekolah diliburkan dengan istilah prei panas. Liburan ini terjadi pada Oktober, sebenarnya berdasarkan pedoman pranata mangsa bulan tersebut merupakan mangsa Labuh. Berdasarkan angka jumlah pengurangan di atas, musim Labuh atau awal musim penghujan dalam dekade abad ke-20 berkisar awal November, atau setidak-tidaknya akhir Oktober jika tidak terjadi penyimpangan lain secara alami.

Bagi orang Bali juga dikenal dengan sistem penanggalan lokal seperti pranata mangsa yang ada di Jawa ataupun vorhalaken yang dipakai oleh masyarakat Batak. Bagi orang Bali, penanggalan seperti itu disebut wariga. Dalam wariga


(21)

dikenal adanya wuku, yaitu penyebutan yang menunjukkan siklus waktu yang berlangsung selama 30 pekan. Satu pekan atau satu minggu terdiri dari tujuh hari, sehingga satu siklus wuku terdiri dari 210 hari7. Dengan perhitungan 1 wuku = 7 hari, sehingga 30 wuku8

Ide dasar perhitungan menurut wuku ini adalah bertemunya dua hari dalam sistem pancawara (pasaran) dan saptawara (pekan) menjadi satu. Sistem pancawara atau pasaran terdiri dari lima hari, sedangkan sistem saptawara terdiri dari tujuh hari

mengalami perputaran dengan periode waktu 7 x 30 = 210 hari. Menurut kalender ini dalam 1 bulan itu terdiri dari 30 hari dan jumlah harinya konstan tidak mengalami perubahan seperti yang ada pada kalender masehi, karena kalender ini termasuk dalam jenis kalender lunisolar yang perputaran waktunya dihitung dari siklus bulan mengelilingi bumi. Waktu yang diperlukan bulan dalam peredaran tahunan mengelilingi bumi adalah 360 hari (dengan ketentuan yang ditetapkan kalender 1 tahun = 12 bulan).

9

Penelitian tentang perhitungan kalender ini sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan latar belakang ilmu dan keahlian yang berbeda. Budiarto (2004) . Dalam satu wuku, pertemuan antara hari pasaran dan hari pekan sudah pasti, misalkan hari Sabtu-Pon terjadi dalam wuku ugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali (dan orang Jawa), semua hari-hari ini memiliki makna khusus.

7 Perhitungan wuku juga dipakai oleh orang Jawa yang masih menganut paham kejawen. 8

Nama 30 wuku tersebut adalah : sinta, landep, ukir, kulantir, tulu, gumbreg, wariga, warigadian, julungwangi, sungsang, dunulan, kuningan, langkir, medangsia, pujut, pahang, krulut, merakih, tambir, medangkungan, maktal, uye, menial, prangbakat, bala, ugu, wayang, kelawu, dukut dan watagunung. Nama-nama wuku yang tiga puluh didasarkan pada suatu kisah mengenai suatu kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Watugunung. Raja ini beristri Sinta dan memiliki 28 putra. Nama-nama semua tokoh inilah yang menjadi nama-nama setiap wuku. Setiap wuku menurut kepercayaan di kaum tradisional di Bali dan Jawa dilindungi oleh seorang pelindung.

9

Hari pancawara adalah hari yang biasa dipakai oleh orang Jawa, yaitu, wage, pahing,

legi, pon dan kliwon, sedangkan hari saptawara adalah hari yang biasa kita kenal dalam kehidupan


(22)

misalnya, dia adalah seorang mahasiswa Ilmu Komputer dari University Sains of Malaysia, yang dalam tulisannya membahas permainan anak yang mempunyai makna simbolik untuk menunjukkan atau menggambarkan benda-benda yang ada di sekitar mereka. Rahmad Budiarto mengupas masalah yang ada dengan menggunakan teori etnomathematik-nya Ubiratan D’Ambrosio. Nama permainannya Cat Craddle’s, permainan ini sangat popular bagi sebagian etnis yang ada di Amerika Latin, permainan ini digunakan sebagai salah satu alat bantu bagi ppendongeng yang ada pada kelompok etnis tersebut untuk mengilustrasikan legenda yang akan diceritakan atau dengan fungsi yang lebih sederhaana adalah hanya sekedar untuk melepaskan kejenuhan semata (Budiarto 2004).

Selain Rahmad Budiarto, Eldson Best juga meneliti tentang etnomathematik, tapi kajiannya tentang sistem pengukuran pada suku Maori yang pada saat itu belum ada alat ukur yang dapat di gunakan untuk mengukur dan membuat sesuatu, sehingga mereka membuat alat ukur sendiri dengan menggunakan anggota tubuh mereka, pengukuran dengan menggunakan anggota tubuh ini dipakai untuk membuat segala sesuatu yang berhubungan denga kehidupan mereka, seperti membangun rumah, membuat sampan (canoe), melukis, memahat, bahkan untuk membuat tattoo sekalipun (Best 1918).

Suku Maori membuat sebuah klasifikasi dalam pengukuran tersebut, seperti contoh, luas telapak tangan disubut dengan ringa, rentangan kedua tangan yang diukur dari ujung jari tangan kanan sampai ujung jari tangan kiri disebut dengan maro, panjang ujung jari sampai garis tengah dada disebut dengan han, jadi hitungannya 1 han = ½ maro10

10 Artikel selengkapnya dapat di baca di Ethnomathematic Digital Library (EDL), atau juga

dapat langsung mengakses

.


(23)

Dengan contoh 2 (dua) penelitian di atas, menerangkan bahwa setiap etnis yang ada atau pun yang tersebar di seluruh dunia ini memiliki suatu sistem perhitungan yang khas bagi mereka. Sistem perhitungan tersebut memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda bagi yang penggunanya.

Penelitian ini, akan mengkaji tentang konsep wuku yang terdapat dalam wariga (Kalender Saka) yang digunakan oleh orang Bali sebagai pedoman mereka dalam melakukan segala aktifitas sehari-hari khususnya kegiatan pertanian, yang dimulai dari proses penyemaian bibit, penanaman, pemanenan serta aktivitas-aktivitas lain yang mendukung kegiatan pertanian tersebut, seperti ritual-ritual, sesajen-sesajen yang digunakan dalam ritual tersebut dan benda-benda yang ada dalam setiap tahap proses ritual tersebut.

B. Rumusan Masalah

Dalam tulisan ini nantinya akan dibahas suatu permasalahan mengenai konsep dan pola pikir masyarakat Bali dalam menentukan hari-hari wuku dalam aktivitas pertanian mereka yang mengacu pada kalender Saka Bali.

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka terlebih dahulu harus menjawab beberapa pertanyaan ini:

1. Apa konsep wariga bagi masyarakat Bali yang ada di Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai?

2. Apa konsep yang terkandung dalam penentuan nama-nama hari (wuku) serta wuku-wuku apa saja yang berhubungan dengan kegiatan pertanian?


(24)

3. Apa manfaat wuku bagi kegiatan pertanian orang Bali yang ada di Desa Pegajahan?

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada orang-orang Bali yang tinggal di Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena di desa tersebut bermukin suatu kelompok masyarakat Bali yang cenderung masih memegang teguh adat istiadat mereka. Orang Bali di Pegajahan merupakan etnis minoritas di antara etnis Batak yang mayoritas di lokasi tersebut. Orang Bali yang tinggal di desa itu ada sekitar 8 kepala keluarga yang berjumlah kurang lebih 25 jiwa, dan terdapat 1 kepala keluarga yang berkasta Brahmana serta 7 lainnya berkasta Sudra.

Terdapat suatu pura yang dinamakan Dharmaraksaka yang digunakan oleh orang Bali yang tinggal di desa itu untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan mereka. Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian pendahuluan, Desa Pegajahan ini merupakan gambaran kerukunan hidup beragama yang sangat tinggi yang patut di contoh oleh daerah-daerah lain dan juga tidak selamanya etnis minoritas itu selalu di nomor dua kan dalam hal melakukan interaksi dengan masyarakat mayoritas.


(25)

D. Tujuan dan Manfaat

Dengan melihat kondisi sekarang ini yang lebih mengutamakan pertanian modern yang lebih banyak menggunakan bahan-bahan yang berbahan dasar kimia, sehingga dapat berakibat merusak kondisi tanah dan lahan pertanian yang dipakai tidak menjadi semakin subur, melainkan dapat merusak komposisi unsur hara dalam tanah dan berdampak berkurangnya hasil panen, hal itu tentu berbanding terbalik bila para petani menggunakan cara yang tradisional yang kebanyakan menggunakan alam dan tanda-tanda atau kejadian yang terjadi di alam dalam pengolahan lahan pertanian mereka, karena semua pengolahan lahan berasal dari alam maka secara otomatis lingkungan tidak akan mungkin rusak dan malah akan menjadi lebih subur dari semula.

Isu ketahanan pangan juga sudah mulai mencuat kepermukaan, dengan dikonversikannya lahan pertanian menjadi lahan untuk berbagai macam perumahan elit dan areal bisnis, sehingga muncul pertanyaan apakah Indonesia mampu untuk tetap menjadi Negara pengekspor hasil tani khususnya beras atau sebaliknya apakah Negara ini akan menjadi Negara agraris yang setia untuk mengimpor beras dari Negara lain.

Untuk menghindari pertanyaan kedua agar tidak menjadi kenyataan maka sebaiknya masyarakat khususnya para petani lebih concern mengelola lahan mereka dengan menggunakan bahan-bahan pertanian yang alami seperti menggunakan pupuk kandang dan mengembangkan sistem pertanian organik yang cara mengelolanya dengan menggunakan cara yang tradisional.

Tidak selamanya cara tradisional dianggap kuno atau ketinggalan zaman, apa salahnya bila para petani menggunakan cara-cara yang masih tradisional,


(26)

justru dengan cara ini para petani dapat lebih mengenal budaya dan tradisi yang ada pada mereka serta sekaligus dapat melestarikannya menjadi suatu kebudayaan yang besar yang dapat menjadi suatu ciri khas suatu masyarakat dalam mengelola lahan pertanian.

Dari pemaparan di atas, penelitian ini dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk:

1. Mendeskripsikan kearifan lokal para petani khususnya yang beretnis Bali dalam menggunakan kalender wariga (khususnya konsep wuku) yang diaplikasikan untuk mengelola lahan pertanian mereka.

2. Mengkaji lebih dalam lagi apa itu konsep wuku dan fungsinya bagi masyarakat Bali.

Manfaat yang akan dicapai apabila tujuan penelitian ini berjalan dengan lancar adalah:

1. Akademis

Menambah bahan bacaan dan studi kepustakaan bagi ilmu-ilmu pendidikan yang bersangkutan dengan penelitian ini.

2. Praktis

Memperkenalkan kepada masyarakat bahwa Indonesia masih memiliki keragaman budaya yang mengatur tentang siklus waktu yang menjadi acuan dalam membuat kalender.


(27)

E. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan dapat didefenisikan dengan berbagai cara tergantung bagaimana kita melihat kebudayaan itu sendiri. Para Antropolog mendefenisiskan kebudayaan dari berbagai sudut pandang dengan focus kajian ilmu mereka masing-masing. Salah satunya adalah Ward H. Goodenough (dalam Spradley 1997;xix), yang menjelaskan konsep kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berprilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat, kebudayaan bukanlah fenomena material, tidak terdiri atas benda-benda, perilaku dan emosi, melainkan ia lebih merupakan suatu pengaturan hal-hal tersebut.

Dengan demikian, konsep kebudayaan yang diacu dalam penelitan ini mengikuti konsep kebudayaan James Spradley. Spradley mendefenisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka (Spradley;1997).

Spradley (1997) menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan berada dalam pikiran (mind) manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan budaya tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam pikiran individu sebagai anggota dalam masyarakat. Sehingga untuk mengetahui


(28)

dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas, yaitu melalui metode folk taksonomi11

Orang Bali sebagai pemilik budaya dalam studi ini memiliki pengetahuan mengenai sistem penanggalan. Sistem penanggalan yang di pakai oleh orang Bali memiliki banyak manfaat bagi kehidupan mereka, salah satu manfaatnya ada di bidang pertanian. Dari hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan,

orang-.

Metode folk taksonomi hanya dapat digunakan apabila memakai pendekatan Kognitif, karena dalam pendekatan ini, kebudayaan itu akan hidup apabila budaya itu diorganisasikan dalam pikiran dan diimplementasikan dalam kehidupan. Pendekatan kognitif sering disebut dengan etnosains. Menurut Haviland (1985;13), etnosains adalah cabang pengkajian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka. Hal yang lebih pokok dalam penelitian ini adalah melukiskan aturan-aturan yang mendasari prilaku budaya menurut penduduk asli. Aturan tersebut dapat dipersamakan dengan aturan tata bahasa yang mengatur seseorang berbahasa dengan tepat. Jika aturan-aturan yang menjadi dasar perilaku budaya dapat diungkapkan dengan tepat, maka banyak hal yang dilakukan manusia dan alasan mengapa dia berlaku demikian dapat dijelaskan. Budaya yang diangkat dalam hal ini adalah budaya yang berdasarkan pendapat dari pemilik budaya tersebut, tanpa campur tangan peneliti. Peneliti hanya membantu menjelaskan kepada khalayak ramai (publik) tentang pandangan-pandangan pemilik budaya yang bersangkutan (lihat Endaswara 2006;143 dan Dharma 2006;5).

11 Folk taksonomi adalah sebuah metode yang ada dalam penulisan etnografi untuk

membedah dan mengeluarkan “isi kepala” manusia dengan cara mengelompokkan macam-macam informasi yang didapat dari hasil wawancara. Pengelompokan biasanya dilakukan dari sisi bahasa lokal karena dalam bahasa tersebut terdapat suatu kearifan tradisional yang tidak semua orang tahu.


(29)

orang Bali yang ada di Desa Pegajahan ini hidup dari kegiatan bertani khususnya bertani padi ladang. Orang-orang Bali di sini dapat mengklasifikasikan musim-musim tanam dari sistem penanggalan mereka, mereka dapat mengetahui kapan harus menanan padi dan kapan harus memanennya, serta kapan serangan hama muncul, sehingga mereka dapat mengantisipasinya agar tidak terjadi kegagalan panen.

Ascher berpendapat bahwa pada masyarakat tradisional telah mendapat pembelajaran tentang matematika, ide-ide matematis pada setiap masyarakat itu tertuang dalam sebuah konsep kebudayaan mereka sendiri, pengetahuan ini didapat secara tidak sengaja. Contohnya dalam perhitungan Hari pada setiap kalender etnis, dengan melihat dan memperhatikan kondisi alam yang selalu berubah, mereka mencoba untuk mengklasifikasikan kondisi tersebut dalam perhitungan matematik, sehingga tercipta pemikiran tentang musim-musim, dan hal ini mereka gunakan sebagai strategi untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka (www.wikipedia.org/wiki/Ethnomathematic)

Kadir (2005), melakukan studi dengan judul Etnomathematik dan Bahasa Melayu, beliau melihat aspek linguistik untuk menjelaskan abjad dalam bahasa Melayu, Kadir coba menjelaskan susunan tata bahasa melayu dengan merujuk pada tata bahasa orang India, bahasa Melayu asal mulanya berasal dari tata bahasa India yang kemudian berkembang menjadi tata bahasa Melayu Purba, jadi secara tidak langsung bahasa Melayu adalah perkembangan dari bahasa India, sehingga ada sebagian benda yang penyebutannya sama di India maupun di Melayu. Selanjutnya Mohammad Alinor Abdul Kadir menambahkan bahasa juga ikut mempengaruhi persepsi orang yang menggunakannya (Kadir, 2005). Penelitian ini


(30)

juga akan melihat aspek yang sama yang dikaitkan dengan penyebutan benda-benda, mantra-mantra dan sesajen yang digunakan dalam ritual atau upacara-upacara adat yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, tujuannya untuk melihat persepsi mereka terhadap pemaknaan kata-kata yang mereka gunakan dalam memaknai wuku yang ada pada wariga sebagai sistem kalenderisasi mereka. Selanjutnya Koentjaraningrat (1990), menjelaskan persepsi adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa manusia secara sadar maupun nyata terkandung dalam otaknya.

Aspek religi juga tidak terlepas dalam penelitian ini, karena semua yang dilakukan oleh orang Bali tidak terlepas dari apa yang mereka percayai, orang Bali juga kental akan upacara-upacara adat yang bersifat spiritual, kesucian dan kebersihan diri sangat diutamakan bagi orang Bali dalam melakukan segala aktivitas. Keterkaitan antara religi dan aktivitas orang Bali ditunjukkan oleh studi Dharmana (2006) yang meneliti tentang kegiatan “mejejahitan” bagi perempuan Bali, kajiannya menggambarkan adanya suatu keterikatan spritual antara proses ‘mejejahitan’ dengan kepercayaan orang Bali, keterikatan itu jelas tergambar dari menyatunya ‘mejejahitan’ dan kaum perempuan dalam memancarkan inner beauty-nya dalam setiap upacara-upacara ‘yadnya’ dengan menggunakan hasil ‘mejejahitan’ dalam upacara tersebut (Dharmana, 2006).

Mengkaji kalender tidak akan terlepas dari aspek perhitungan (aritmatika), setiap orang pasti memiliki tata cara perhitungan tersendiri yang mereka gunakan dalam semua aktivitas kehidupannya. Elsdon Best dalam Journal of Science and Technology tahun 1918 di New Zealand, menjelaskan bahwa suku Maori memiliki alat hitung atau alat ukur yang tidak lain adalah tubuh mereka sendiri,


(31)

mereka mengukur semua alat-alat yang mereka gunakan dengan tubuh mereka sendiri. Dalam membuat perahu, untuk mengukur panjang perahu yang ideal bagi suku Maori adalah dengan membaringkan tubuh mereka dan mensejajarkan dengan kayu yang akan mereka jadikan perahu, jadi dengan kata lain panjang perahu sama dengan panjang tubuh mereka, sedangkan untuk menciptakan dayungnya mereka mengukurnya dengan panjang lengan mereka dari ujung jari tengah sampai garis tengah dada. Hal yang sama juga dilakukan untuk membuat rumah, alat-alat rumah tangga, perlengkapan berburu, ukiran dan benda-benda seni lainnya (Best, 1918). Studi ini juga akan melihat apa alat ukur yang digunakan oleh komunitas petani Bali di Desa Pegajahan untuk menetapkan pembagian wuku atau hari dalam kegiatan pertanian.

Mengkaji wariga juga terkait dengan konsep ruang dan waktu, karena ruang dan waktu adalah alam semesta yang terdiri dari matahari, bintang-bintang, tanah, lautan yang dipengaruhi rotasi dan revolusi bumi (terbit dan terbenamnya matahari), tempat manusia hidup. Ruang dan waktu adalah bentuk yang absurb, tidak dapat dilihat dan hanya dapat dirasakan. Einstien menjelaskan lebih lanjut ruang dan waktu dalam teori relativitafnya yang menyatakan bahwa cepat atau lambatnya waktu berlalu tergantung kondisi ‘ruang’ yang ada. Sebagai contoh Einstein menggambarkan waktu 5 detik akan terasa sangat lama apabila kita letakkan telapak tangan diatas sebuah penggorangan yang panas, sebaliknya waktu 5 jam akan sangat tidak berarti apa-apa ketika kita melakukan kegiatan yang kita sukai. Dengan pemaparan Einstein tersebut, wariga sebagai sebuah produk budaya Orang Bali, diciptakan untuk mengukur dan memahami adanya ruang dan waktu.


(32)

Wariga atau Kalender Saka yang digunakan oleh orang-orang Bali di Desa Pegajahan adalah sebuah kalender yang digunakan untuk mengetahui penanggalan-penanggalan dan musim-musim yang tepat untuk melakukan aktivitas pertanian. Wariga digunakan sebagai kalender yang memiliki banyak fungsi dalam berbagai aktifitas mereka jika dibandingkan dengan kalender Masehi yang digunakan secara umum di Indonesia. Kalender Saka Bali12 yang digunakan di lokasi studi tidak sama dengan Kalender Saka dari India, karena kalender Saka yang dipakai di lokasi studi ini adalah kalender yang sudah dimodifikasi dan diberi tambahan elemen-elemen local, seperti adanya penambahan mantera dalam melaksanakan aktivitas mereka sehari-hari, selain itu nama-nama hari yang mereka pakai dalam kalender Saka tersebut diambil dari nama-nama dewa-dewi yang mereka anggap sebagai penjaga keseimbangan alam semesta13

Etnis Bali yang dikaji dalam studi ini merupakan orang-orang Bali yang ada di Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Menurut I Gusti Ngurah Bagus, yang dimaksud dengan

. Kalender Saka Bali dapat dikatakan merupakan penanggalan syamsiah-kamariah (surya-candra) atau luni-solar. Jadi penanggalan ini berdasarkan posisi matahari dan bulan. Wariga adalah produk budaya yang dihasilkan oleh orang Bali. Dalam wariga terdapat wuku, yaitu sebuah siklus waktu yang berlangsung selama 30 pekan, setiap wuku menurut orang Bali memiliki keistimewaan tersendiri.

12

Kalender Saka Bali masih Dikatakan konvensi atau kompromistis, karena sepanjang perjalanan tarikhnya masih dibicarakan bagaimana cara perhitungannya. Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1 hari candra = 1 hari surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang dari 1 hari surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya yang nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmatika. Derajat ketelitiannya cukup bagus, hanya memerlukan 1 hari kabisat dalam seratusan tahun.

13


(33)

etnis Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaranakan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama (Bagus, 1975).

F. Metode Penelitian

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang berusaha mengumpulkan data kualitatif sebanyak mungkin yang merupakan data utama untuk menjelaskan permasalahan yang akan dibahas nantinya. Untuk mencapai sasaran yang akan dituju yang menggambarkan tentang konsep wariga pada masyarakat Bali.

a. Lapangan

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan di lapangan, penulis akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

Wawancara

Peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam untuk mendapatkan data dari informan. Wawancara mendalam (indepth interview) digunakan untuk memperoleh data mengenai konsep orang Bali Desa Pegajahan tentang wariga dengan berpedoman kepada interview guide sebagai bahan acuannya.

Sebelum peneliti melakukan wawancara mendalam maka peneliti terlebih dahulu mencari beberapa informan sebagai sumber data. Semua orang Bali yang ada di Desa Pegajahan dapat dijadikan sebagai informan. Bernard (1994:165), menyatakan bahwa informan kunci yang baik adalah informan yang mudah untuk dimintai informasi (diwawancarai),


(34)

memahami informasi yang dibutuhkan peneliti dan dapat menjalin kerja sama yang baik dengan peneliti. Informan kunci dipilih berdasarkan pengetahuan mereka tentang wariga, semakin banyak mereka tahu tentang wariga dan wuku, maka semakin banyak pula informasi yang peneliti dapatkan, usia dan jenis kelamin tidak menjadi patokan dalam menentukan informan kunci, informan kunci bisa laki-laki dan bisa juga perempuan.

Untuk melengkapi data yang diperoleh dari lapangan, peneliti akan mencari data kepustakaan yang terkait dengan masalah penelitian berupa buku-buku, majalah, surat kabar dan tulisan-tulisan lainnya termasuk tulisan dari media elektronik untuk menambah pemahaman penulis terhadap permasalahan yang akan diteliti. Selain data kepustakaan, peneliti juga akan menggunakan dokumentasi visual untuk melengkapi data dari hasil observasi dan wawancara.

Observasi

Observasi ini dilakukan peneliti untuk memperoleh gambaran penuh mengenai kalender yang digunakan (wariga) orang Bali yang tinggal di Desa Pegajahan, Dalam melakukan observasi, peneliti mengamati secara langsung (partisipasi) apa-apa saja yang mereka lakukan dalam aktivitas mereka sehari-hari, seperti uupacara-upacara adat, sesajen yang digunakan dalam upacara tersebut, alat-alat pertanian apa saja yang sering mereka pakai dalam bertani, bagaimana lingkungan fisik yang ada disekeliling mereka, dan lain sebagainya yang dapat peneliti amati dengan indra penglihatan peneliti sendiri.


(35)

b. Analisa Data

Pada tahap analisis ini, peneliti akan memeriksa ulang data untuk melihat kelengkapan data. Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis secara kualitatif dan disusun sesuai dengan kategori-kategori tertentu sebagaimana yang dikemukakan oleh informan,

Menurut Suwardi Endraswara, terdapat 3 cara yang harus dicermati ketika mengadakan kategorisasi dan analisa, yaitu: (1) Peneliti harus memperhatikan istilah-istilah khusus dari informan. Istilah tersebut harus terpampang dalam klasifikasi; (2) Peneliti harus berusaha mendeskripsikan atau melukiskan aturan-aturan budaya yang digunakan oleh informan. Aturan tersebut diklasifikasikan, sehingga tampak jelas penggunaannya dalam interaksi budaya; (3) Peneliti juga harus berusaha menemukan tema-tema budaya dari klasifikasi istilah dan aturan tadi (Endaswara, 2006).

Kemudian dilakukan penganalisaan hubungan dari setiap bagian yang telah disusun untuk memudahkan saat mendeskripsikannya. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil analisa data dan telaah pustaka yang disesuaikan dengan tujuan dari penulisan.


(36)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI DAN MASYARAKAT DESA PEGAJAHAN

2.1. Sejarah Singkat Kabupaten Serdang Bedagai dan Desa Pegajahan Hari jadi kabupaten yang beribukota Sei Rampah ini adalah kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003, semasa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Bupatinya adalah Ir. HT Erry Nuradi MBA, Wakil Bupati adalah Ir. Soekarmin serta sekretaris Kepala Daerah adalah Ir. H. Djalil Azwar,M.Si. Ketiga pimpinan ini dikenal sangat kompak, sehingga menjadikan Serdang Bedagai menjadi Kabupaten Pemekaran Terbaik di Indonesia, dan Kabupaten terbaik di Sumatera Utara.

Proses lahirnya undang-undang tentang pembentukan Sergai sebagai kabupaten pemekaran merujuk pada usulan yang disampaikan melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 18/K/2002 tanggal 21 Agustus 2002 tentang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang, kemudian Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26/K/DPRD/2003 tanggal 10 Maret 2003 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang atas usul rencana pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk, dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Potensi sumber daya alam yang paling menonjol di Kabupaten Serdang Bedagai diantaranya sektor pertanian, perkebunan, perikanan, serta sektor pariwisata. Salah satu kecamatan Kabupaten Serdang Bedagai yaitu Kecamatan


(37)

Pegajahan juga telah menjadi sorotan masyarakat dan dianggap menjadi salah satu dari sektor pariwisata dikarenakan salah satu desanya ada sesuatu yang dianggap menjadi keunikan bagi kecamatan tersebut. Keunikan tersebut dikarenakan adanya suatu pura yang dimiliki oleh umat Hindu Bali di Kecamatan tersebut, lebih tepatnya terletak di Desa Pegajahan dusun Harapan II. Desa inilah yang menjadi lokasi dalam penelitian ini

Desa Pegajahan sebagai sentra kerajinan rumahan makanan atau lebih dikenal dengan home industry, tidak kalah pentingnya di sekitar beberapa daerah di Kabupaten Sumatera Utara, khususnya bagi penduduk kota Medan. Desa Pegajahan yang terletak jauh dari pusat kota memiliki udara yang segar dan masih banyak ditumbuhi oleh banyak pepohonan, kebun-kebun sawit dan coklat membuat suasana pagi terasa lebih nyaman, jauh dari kebisingan kota serta polusi udara yang telah menjadi menu harian penduduk kota, kini selalu didatangi oleh kalangan masyarakat pedagang jajanan makanan ringan dari berbagai penjuru yang ada di Sumatera Utara, karena selain ingin mengakses langsung berbagai jenis bahan makanan ringan setengah jadi dari ubi, belakangan sebahagian masyarakat juga datang untuk melihat langsung proses dan aktivitas pembuatan makanan ringan dan sebahagian lagi masyarakat yang datang untuk berwisata.

Alam yang masih asri bukanlah salah satu penarik datangnya masyarakat luar ke Desa Pegajahan. Masyarakat pengunjung juga biasanya akan mendatangi lingkungan Kampung Bali di Pegajahan. Kampung Bali merupakan kampung yang berpenghuni orang-orang yang berasal dari Bali, yang menurut ceritanya warga Bali yang tinggal di Pegajahan bermula dari buruh kontrak yang didatangkan langsung dari Pulau Bali oleh perusahaan perkebunan PTPN IV


(38)

Adolina sekitar tahun 1963 dan mereka adalah korban peletusan Gunung Agung yang terjadi pada tahun 1962.

Sebelum datangnya etnik Bali ke Desa Pegajahan, desa ini adalah desa yang pertama kalinya dibuka oleh masyarakat Simalungun yang ber-marga (kelompok kekerabatan yang eksogami dan unilier baik secara matrilineal maupun patrilineal) Saragih, Purba dan Sinaga14

Berdasarkan administrasi pemerintahan, Desa Pegajahan merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, terbagi atas 6 (enam) dusun yaitu : Dusun Perjuangan, Dusun Harapan I, Dusun Harapan II, Dusun Sari Asih, Dusun Karang Asih dan

.

Nama Pegajahan merupakan penamaan konstektual yang berasal dari bahasa Simalungun yaitu Pargajahan, yang artinya tempat gajah. Dimana mereka pertama kali menemukan beberapa ekor gajah liar di desa ini, itulah yang melatarbelakangi mereka (etnik Simalungun) menamakan desa tersebut sebagai Desa Pargajahan. Seiring waktu berjalan nama Pargajahan mengalami perubahan penyebutan menjadi Pergajahan hingga tahun 1974. Nama desa ini berubah kembali penyebutannya menjadi Pegajahan dikarenakan semakin banyaknya etnik pendatang (di luar etnik Simalungun) yang menyebutkan Desa Pergajahan dengan berbagai macam bahasa dan penyebutannya yang akhirnya nama desa tersebut dikenal dengan Desa Pegajahan.

2.2. Batas Wilayah dan Aksebilitas Desa

14 Proses perpindahan ini berlatarbelakang dari konflik sesama etnik Simalungun di Raya

(salah satu desa di Simalungun) pada tahun 1700-an. Konflik tersebut adalah konflik antar desa yang menyebabkan sebagian penduduk Desa Raya lari dan mencari tempat yang aman dari serangan desa lawannya yang akhirnya mereka sampai di Desa Pegajahan dan menetap di desa tersebut.


(39)

Dusun Pelita. Adapun batas wilayah Desa Pegajahan yang dijabarkan di bawah ini : Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lestari Dadi

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sukasari - Sebelah Timur berbatasan dengan Perkebnan PTPN II - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bingkai

Gambar 2.1 : Peta geografi desa Pegajahan

Adapun orbitasi waktu dan jarak tempuh desa ini yang dapat dilihat dari penjelasan di bawah ini :

Jarak dari desa ke kecamatan dapat menempuh jarak sekitar 2 (dua) kilometer dan menghabiskan waktu hanya 5 (lima) menit saja

- Jarak dari desa ke kabupaten menempuh jarak sekitar 30 (tiga puluh) kilometer dan menghabiskan waktu 1,5 (satu setengah) jam


(40)

- Jarak dari desa ke provinsi menempuh jarak 60 (enam puluh) kilometer dan menghabiskan waktu selama 2-3 jam

Untuk mencapai Desa Pegajahan hanya dapat menggunakan satu jalur perhubungan yaitu perhubungan darat. Namun, tidak ada angkutan umum yang trayeknya melewati Desa pegajahan. Penduduk Desa Pegajahan hanya menggunakan kendaraan pribadi atau memakai jasa angkutan lain seperti ojek dan becak motor (bettor) untuk berpergian dari luar dan keluar desa. Kondisi jalan yang sangat rusak dan berlobang-lobang sangat mengganggu perjalanan, sehingga menyulitkan kendaraan melewatinya. Jika ingin lebih sedikit nyaman, maka dapat menyewa bettor dengan ongkos Rp.20.000,- dari pertigaan jalan lintas Sumatera Utara menuju Desa Pegajahan ataupun Taxi dengan tarif sesuai agrometer taxi tersebut.

Dilihat dari peta Kecamatan Pegajahan, Desa Pegajahan termasuk salah satu daerah yang strategis yang merupakan daerah perkembangan kecamatan. Hal tersebut dikarenakan besarnya semangat kerjasama masyarakat Desa Pegajahan untuk mengembangkan desanya, keperdulian masyarakat untuk membangun desanya dengan ikut bergotong-royong membangun fasilitas-fasilitas yang diperlukan seperti sekolah, rumah ibadah, jembatan, jalan, dan sebagainya.

Pembangunan jembatan antar dusun di Desa Pegajahan juga dilakukan karena kekompakan mereka, sehingga ketika mereka ingin berkunjung ke dusun-dusun yang lainnya mereka tidak perlu lagi jauh-jauh keliling dusun-dusun yang lain, dan mereka juga tidak perlu membayar jasa angkutan karena jarak yang ditempuh antar dusun sudah tidak terlalu jauh lagi bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja.


(41)

Gambar 2.2 : Pembuatan Titi / Jembatan Dsn. Perjuangan menuju Dsn. Karangsari Desa


(42)

Masyarakat memanfaatkan dengan baik lahan-lahan kosong yang mereka gunakan untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh semua masyarakat Desa Pegajahan, dari dusun yang pertama sampai dusun yang terakhir. Untuk lebih jelasnya akan dijabarkan berikut ini (sumber profil desa buku I) : pemanfaatan lahan kosong sebanyak 2 (dua) hektar untuk pembangunan sekolah yang berjumlah 2 unit untuk sekolah SD (Sekolah Dasar) dan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), 5 (lima) hektar untuk jalan, 15 (lima belas) hektar untuk ladang atau tegalan, 2 (dua) hektar untuk padang ilalang, untuk mesjid yang berjumlah 1 (satu) unit, pura yang berjumlah 1 (satu) unit, gereja yang berjumlah 1 (satu) unit, kantor kepala desa berjumlah 1 (satu) unit dan puskesmas berjumlah 1 (satu) unit.

2.3. Pola Pemukiman

Desa Pegajahan merupakan desa yang paling akhir di jumpai dari Kecamatan Pegajahan apabila jalan masuknya melalui jalan lintas Sumatera dan pusat kota Perbaungan, desa pertama yang di lewati adalah Desa Melati dan berakhir di Desa Pegajahan, dimana awal masuk dari arah Utara yang berbatasan dengan Desa Lestari Dadi ke desa pegajahan tersebut, disepanjang jalan akan dijumpai pohon-pohon kelapa sawit serta lahan-lahan kosong yang masih banyak yang tidak dipergunakan masyarakat setempat. Perjalanan selanjutnya yang pertama dijumpai adalah Dusun Karang Asih, jika belok kanan memasuki Dusun Harapan I, jika belok kiri akan memasuki Dusun Sri Asih, dan jika mengikuti jalan lurus akan memasuki Dusun Pelita dan seterusnya sampai di ujung jalan


(43)

desa dijumpai Dusun Harapan II dimana pertama kalinya akan terlihat sebuah pura Bali.

Rumah-rumah yang dijumpai di desa tersebut banyak terbuat dari batu bata dan semen serta beratapkan seng, namun ada juga rumah dengan lantai semen, dinding setengah batu dan setengah papan serta beratapkan daun rumbia. Pada umumnya dan kebanyakan rumah penduduk di Dusun Harapan II ini dicat berwarna putih sehingga terlihat lebih bersih dan terang serta beratap seng yang sudah terlihat berwarna kecoklatan. Hampir semua rumah penduduk memiliki pekarangan (halaman) yang luas dan biasanya dijadikan sebagai tempat menjemur hasil tani seperti padi dan lainnya. Selain itu, sebahagian rumah penduduk memiliki kandang sapi, ayam dan bebek. Pemilik kandang sapi di Pegajahan adalah etnik Bali, dikarenakan hewan sapi merupakan hewan yang penting atau berharga dalam kepercayaan mereka15

Secara umum penduduk Desa Pegajahan adalah mayoritas etnik Simalungun dikarenakan suku ini adalah suku asli yang pertama-tama mendiami Desa Pegajahan. Saat ini, selain etnik Simalungun sudah ada etnik lain yang menetap seperti etnik Jawa, Bali, Toba dan beberapa etnik lainnya. Untuk , namun etnik Bali juga memelihara ayam atau bebek seperti masyarakat Desa Pegajahan kebanyakan, kedua hewan ini dipelihara selain untuk dikonsumsi sendiri juga memiliki fungsi lain dalam setiap sesajen dalam upacara-uapacara adat Bali.

2.4. Kependudukan

15

Menurut kepercayaan orang Hindu sapi merupakan hewan yang dianggap suci, karena dari susu sapi mereka diberikan kehidupan, sapi juga hewan yang dapat membantu pekerjaan manusia dalam bertani dan berladang, maka dari itu sapi bagi masyarakat Hindu sudah dianggap sebgai Dewa.


(44)

masyarakat yang beretnik Bali, masuk ke Desa Pegajahan karena pada awalnya mereka adalah buruh tani yang bekerja di PTPN II, jadi setelah pensiun mereka keluar dari mess PTPN dan pindah ke Pegajahan dimana penduduk Desa Pegajahan juga adalah para petani yang mengerjakan lahan kosong milik perusahaan yang terdapat di desa tersebut. Dengan demikian, di desa tersebut etnik Bali kembali bekerja menjadi buruh tani.

Mengenai jumlah penduduk Desa Pegajahan yang mempunyai luas sekitar 10.19 Km2 yang didapat dari data desa pada bulan April 2006 dengan keseluruhan penduduk 3.361 jiwa dan terdiri dari 780 kepala keluarga (KK). Dari jumlah tersebut dapat dirincikan lagi yaitu, Etnik Simalungun mayoritas terdiri dari 46.85%, Etnik Jawa 41.1%, Etnik Karo 2.3%, Etnik Toba 7.09% dan etnik lainnya sekitar 2.66%.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel jumlah penduduk Desa Pegajahan yang diuraikan berdasarkan umur dan jenis kelamin, serta dapat disimpulkan bahwa rata-rata penduduk Desa Pegajahan ini berada pada usia sekolah, baik tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), maupun tingkat Akademi atau Perguruan Tinggi.


(45)

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Desa PegajahanBerdasarkan Golongan Usia dan Jenis Kelamin

No Golongan Umur Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan

1 0 - 12 Bulan 39 39 78

2 13 Bulan - 4 Tahun 50 52 102

3 5 – 6 Tahun 126 127 253

4 7 - 12 Tahun 314 315 629

5 13 - 15 Tahun 215 217 432

6 16 - 18 Tahun 187 132 375

7 19 - 25 Tahun 212 212 424

8 26 - 35 Tahun 164 164 328

9 36 - 45 Tahun 164 166 327

10 46 - 50 Tahun 134 134 268

11 51 - 60 Tahun 124 120 242

12 61 - 75 Tahun 51 52 103

13 Lebih dari 76 Tahun 47 53 100

JUMLAH 1821 1840 3661

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

Pada umumnya mata pencaharian pada penduduk Desa Pegajahan ini adalah bertani, namun banyak juga pekerjaan sampingan yang mereka lakukan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Untuk anak-anak remaja yang tidak melanjutkan sekolahnya, mereka lebih memilih mencari pekerjaan di kota-kota besar seperti Medan, Tebing Tinggi dan Pematang Siantar, hal dikarenakan mereka tidak berminat bekerja di sektor pertanian, dan juga dikarenakan minimnya lowongan pekerjaan di Desa Pegajahan. Untuk lebih jelasnya keterangan mengenai jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian, akan dijelaskan pada tabel di bawah :


(46)

Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Desa Pegajahan Berdasarkan Mata Pencaharian

No Status Jumlah (Orang)

1 2 3

1 Pemilik Tanah Sawah atau Tegalan 10

2 Buruh Tani 20

3 Pegawai kelurahan 4

4 Guru 50

5 PNS/ ABRI 40

6 Bidan 4

7 Mantri Kesehatan/ Perawat 1

8 Dokter 2

9 PNS lainnya 12

10 Pensiunan ABRI/ SIPIL 13

11 Pegawai Swasta 16

12 Pegawai BUMN 5

13 Pensiunan Swasta 12

14 Usaha lainnya 170

JUMLAH 359

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

Dari semua pekerjaan yang telah dijabarkan di atas, usaha home industry tidak dimasukkan karena usaha itu tidak setiap harinya mereka lakukan, hanya pada saat-saat tertentu saja. Misalnya pada hari-hari besar seperti lebaran, tahun baru dan sebagainya, dimana mereka akan menyetor hasil usahanya ke daerah-daerah yang bisa menjual dan salah satunya adalah Pasar Bengkel.

Sementara itu, jumlah penduduk berdasarkan kepala keluarga dapat dilihat pada tabel di bawah ini yang menjelaskan bahwa di Dusun Perjuangan terdapat 194 Kepala Keluarga (KK), di Dusun Harapan I sebanyak 92 KK, di Dusun Harapan II sebanyak 108 KK, di Dusun Sri Asih sebanyak 61 KK, di Dusun Karang Asih sebanyak 287 KK, dan yang terakhir di Dusun Pelita sebanyak 205 KK.


(47)

Tabel 2.3 Berdasarkan Kepala Keluarga

No Dusun KK L P Anggota

Keluarga

1 2 3 4 5 6

1 Perjuangan I 194 377 375 752

2 Haapan I 92 216 219 435

3 Harapan II 108 192 194 386

4 Sri Asih 61 125 129 254

5 Karang Asih 287 587 591 1178

6 Pelita 205 373 379 752

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting bagi manusia. Sehingga setiap orang atau keluarga selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya. Di Desa Pegajahan sudah terdapat 3 (tiga) unit sekolah yang terdiri dari 2 (dua) unit bangunan Sekolah Dasar (SD), 1 (satu) unit bangunan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan untuk Sekolah Menengah Atas masih sedang dalam perencanaan, jadi jika ingin melanjutkan ke SMA mereka harus pergi ke luar daerahnya untuk bersekolah. Untuk Taman Kanak-kanak (TK) memang sudah berjalan, namun prosesnya dilakukan di Kantor Kepala Desa Pegajahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah :

Tabel 2.4 Prasarana Pendidikan Formal

No Prasarana Keterangan Jumlah Kondisi Ada/Tidak (Unit) Baik/Rusak

1 TK Tidak - -

2 SD Ada 2 Baik

3 SLTP (Mts) Ada 1 Baik

4 SLTA Tidak - -

5 Universitas/Akademi Tidak - -

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

Adanya prasarana yang lumayan memadai, maka diharapkan dapat menghasilkan bibit masa depan yang baik dalam pembangunan Desa Pegajahan


(48)

ini. Di Desa Pegajahan ini, perempuan yang lebih tinggi kemauannya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.5 Tingkat Pendidikan Penduduk

No Uraian Laki-laki Perempuan Jumlah Tamat Pendidikan Umum

1 SD/Sederajat 255 320 575

2 SLTP/Sederajat 443 410 553

3 SLTA/Sederajat 679 430 1109

4 Akademi 20 10 30

5 Universitas 9 15 54

Jumlah seluruhnya 1236 1185 2431

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

Dari tabel-tabel pendidikan di atas, dapat digambarkan bahwa penduduk desa ini sangat memperhatikan sektor pendidikan dengan adanya bangunan-bangunan sekolah baik SD/sederajat maupun SLTA/sederajat dapat menjadi cerminan bagi penduduk Desa Pegajahan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk universitas atau akademi mereka dapat melanjutkannya di luar Desa Pegajahan menuju kota Medan atau kota-kota lain di Sumatera Utara atau di luar Sumatera.

2.5. Sistem Sosial Masyarakat Desa Pegajahan

Secara umum, penduduk dapat dikatakan sebagai kelompok orang yang menempati areal tertentu yang sifatnya menetap ataupun hanya bersifat sementara. Mengetahui keadaan penduduk suatu wilayah memberikan keterangan yang lebih luas lagi tentang keadaan di sekitarnya. Tabel di bawah ini akan memberikan penjelasan keadaan penduduk yang menempati Desa Pegajahan.


(49)

Penduduk Desa Pegajahan ini hampir setengahnya beragama Kristen Protestan, Islam menduduki tempat kedua dan aliran kepercayaan lain menduduki tempat ketiga dan sisanya agama Budha dan Hindu. Di sini dapat dilihat bahwasannya pemeluk agama yang mayoritas dapat bertoleransi dengan pemeluk agama yang minoritas sehingga tidak terjadi konflik antar agama di desa ini.

Tabel 2.6 Aliran Agama/Kepercayaan

No Agama Jumlah

1 Islam 1626

2 Kristen (Protestan) 1845

3 Kristen (Katolik) 171

4 Hindu 19

5 Budha -

6 Aliran Kepercayaan -

Jumlah 3661

Sumber : Profil Desa (Buku I)

Penduduk Desa Pegajahan umumnya dikategorikan etnik Batak dengan sub-etnik yang beragam, antara lain: Toba, Simalungun, Jawa, dan Bali. Sistem kekerabatan penduduk Desa Pegajahan mengikuti garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Dalam berkomunikasi, biasanya mayarakat Desa Pegajahan umumnya memakai bahasa Indonesia, namun banyak juga yang memakai bahasa Batak untuk berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya, etnik Bali di Pegajahan yang menggunakan bahasa batak jika berbicara dengan etnik batak di Pegajahan meskipun bahasa batak yang mereka ucapkan tidak sefasih aslinya.

Untuk meningkatkan komunikasi atau silahturahmi, masyarakat Pegajahan membentuk atau mengikuti beberapa organisasi. Organisasi pertama adalah Himpunan Masyarakat Adat (HIMASDAT), dimana seluruh masyarakat Desa


(50)

Pegajahan pergi ke luar desa menuju Kabupaten Serdang Bedagai dan ikut berkumpul dengan semua masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai. Dalam acara ini, semua masyarakat diwajibkan memakai pakaian sesuai dengan adatnya masing-masing, agar masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat mengetahui adat-istiadat yang lainnya.

Organisasi sosial yang lainnya yang diikuti oleh masyarakat Desa Pegajahan adalah organisasi umum. Organisasi yang dimaksud adalah sebuah wadah atau perkumpulan yang mengurusi kepentingan umum, seperti STM (Serikat Tolong Menolong), Kelompok Tani, Karang Taruna, LKMD (Lembaga Kerjasama Masyarakat Desa). Misalnya, STM yang beragama Islam berbeda dengan STM yang beragama Kristen (Protestan dan Katholik), semuanya memiliki struktur dan kelembagaan yang diakui oleh masyarakat Desa Pegajahan. 2.6 Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Bali

Norma dan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat Bali di Desa Pegajahan bermacam bentuknya. Nilai menurut C. Kluckhohn adalah kumpulan sikap perasaan terhadap suatu hal mengenai baik, buruk, benar, salah, patut tidak patut, mulia tidak mulia dan penting tidak penting. Nilai yang masih terwujud di Desa Pegajahan adalah nilai kebersamaan yang ditunjukkan dengan gotong-royong. Norma adalah ukuran yang digunakan oleh masyarakat untuk mengukur apakah tindakan yang dilakukan merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima atau tindakan yang menyimpang. Norma yang masih diwujudkan etnik Bali di Pegajahan adalah dengan menhormati orang lain, misalnya etnik Bali yang sangat menghormati keluarga pendeta yang memiliki kasta yang lebih tinggi dari masyarakat biasa, juga anak yang harus menghormati orangtuanya. Demikian juga


(51)

dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh etnik Bali di Pegajahan, dengan menjalankan upacara religius yang dilakukan di pura ataupun di sanggah juga dengan membuat sesajen-sesajen setiap harinya yang dipersembahkan untuk dewanya.

Setiap harinya etnik Bali di Pegajahan melakukan sembahyang, seperti yang mereka lakukan biasanya di daerah asalnya. Oleh sebab itu dibangunlah sebuah pura untuk tempat mereka beribadah, sehingga mereka tidak lagi harus pergi jauh-jauh ke kota Medan untuk menumpang di kuil tempat ibadahnya umat Hindu Tamil.

Selain kegiatan keagamaan, kondisi rumah mereka juga terlihat begitu kentalnya budaya Bali yang mereka bawa. Mulai dari halaman rumah sampai ke dalam rumah terlihat benda-benda yang berornamen Bali. Meskipun tidak sepenuhnya kegiatan-kegiatan yang biasa mereka lakukan di daerah asalnya tidak bisa terwujud di Desa Pegajahan, tidak membuat mereka kecewa dikarenakan hal tersebut tidak bisa dilaksanakan karena masalah situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.

Adaptasi yang dilakukan etnik Bali di Desa Pegajahan bermacam-macam bentuknya, bisa melalui bahasa yang mereka gunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat atau juga dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat. Etnik Bali biasanya menggunakan bahasa Indonesia untuk berinteraksi dengan etnik yang lainnya di desa tersebut, bahkan mereka mau belajar bahasa-bahasa dari etnik lain, sehingga terkadang mereka menggunakan bahasa Batak untuk berbicara dengan etnik batak meskipun dengan pengucapan yang tidak sefasih aslinya.


(52)

Selain bahasa, etnik Bali di Pegajahan juga melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pegajahan lainnya, misalnya dengan mengikuti kegiatan gotong-royong, LKMD ( Lembaga Kerjasama Masyarakat Desa), mereka juga mau membantu dengan memberikan sumbangan-sumbangan untuk kegiatan-kegiatan di Desa pegajahan, misalnya untuk pelaksanaan acara 17 agustusan dan acara-acara yang lainnya.

Dengan demikian, berdasarkan uraian jawaban pertanyaan penelitian maka dapat dikatakan bahwa etnik Bali di desa tersebut mampu beradaptasi di luar daerah asalnya bahkan mereka berhasil mereproduksi kebudayaannya di Desa Pegajahan dan mewujudkan Desa Pegajahan sebagai ‘Kampung Bali’. Dari hal tersebut, dapat dikaetahui bahwa etnik Bali tidak hanya bisa berkembang di daerahnya sendiri, namun di luar daerahnya pun mereka bisa tetap eksis.


(53)

BAB III

PENGENALAN WUKU

3.1. Sejarah Wariga dan Rekonstruksi Kedatangan Orang Bali ke Pegajahan

Pengetahuan Sansekerta disebut pengtahuan tentang dewasa (Dewa = Jiwa = Cahaya = Sinar = Teja). Dewasa diartikan sebagai pengaruh cahaya dari benda-benda angkasa terutama bintang16 dan matahari terhadap kehidupan makhluk yang ada di bumi. Pengaruh tersebut dikenal dengan sebutan surya koti. Pengetahuan tentang bintang dan matahari tersebut telah diajarkan oleh para filsuf Hindu yang sudah memiliki pandangan tajam dan suci17

Wariga merupakan sebuah penanggalan tradisional yang dipakai oleh masyarakat Bali untuk mengenal waktu dengan menggabungkan ilmu astronomi dan matematika. Wariga ada seiring dengan perkembangan agama Hindu, filosofi alam semesta dirangkum menjadi sebuah tulisan-tulisan yang ada dalam kitab Weda. Wariga menjadi penanggalan yang khusus seiring dengan perkembangan

.

16

Kitab-kitab yang bersumber dari pustaka suci Weda, antara lain: Adi Parwa, Bhawana

Mabah, Sundari Bungkah, menerangkan bahwa sebelum ada matahari, bulan, dan bintang serta

benda-benda langit lainnya semuanya hanya berwujud kabut, dan pada zaman itu kehancuranlah yang menguasai semuanya, dan zaman itu disebut zaman pralaya.

Pada waktu setelah dunia (bumi) ada isinya terutama mahluk hidup yang paling utama adalah manusia, menurut ajaran Hindu pada pustaka suci menyebutkan terjadinya dua zaman, yaitu zaman Ketu dan zaman Rau.

Hal ini berjalan terus silih berganti dengan tak berkeputusan sepanjang zaman dan sangat mempengaruhi kehidupan manusia misalnya pengaruh waktu16 siang dan malam. Ternyata bahwa Sanghyang Ketu dan Sanghyang Rau memegang peranan sangat penting selama peredaran waktu dan zaman. Tiap-tiap zaman lama waktunya berbeda-beda, zaman besar waktunya lama sekali, zaman kecil waktunya sangat singkat sedangkan zaman madya lama waktunya berada diantara zaman besar dan zaman kecil, misalnya lingkaran siang dan malam lamanya 24 jam, triwara lama waktunya tiga hari dan lima malam, dan demikian seterusnya.

Penting untuk dimaklumi bahwa sifat atau watak dari berbagai zaman (zaman besar atau zaman kecil) adalah sama saja, sama-sama mengandung unsur-unsur baik dan buruk.


(54)

ilmu astronomi yaitu sekitar 2000 tahun sebelum masehi18

Konsep matematika yang dipakai adalah konsep Shulbasutra yang sudah ada di India sejak masa perang Mahabarata. Konsep ini dicatat dan disarikan dalam kitab Veda yang merupakan konsep matematika yang suci

. Sejak saat itu wariga banyak digunakan untuk segala aktivitas masyarakat hindu.

19

. Pada mulanya konsep ini digunakan digunakan untuk tujuan keagamaan, pada intinya konsep20

Konsep wariga digunakan secara umum oleh orang Bali, wariga tetap digunakan untuk segala aktivitas baik itu di daerah asalnya Bali maupun di tempat-tempat lain di luar Pulau Bali. Wariga ada dan dikenal di Pegajahan seiring dengan masuknya orang-arang Bali ke desa tersebut, yaitu sekitar tahun 1960-an. Pada tahun tersebut terjadi bencana besar di Bali yaitu meletusnya Gunung Agung dan membuat penduduk Bali khususnya Desa Gianyar kehilangan sanak saudara dan semua harta bendanya Setelah bencana itu terjadi, penduduk Desa Gianyar tidak dapat berbuat apa-apa selain menunggu bantuan yang datang shulbasutra berisikan rumus-rumus matematika untuk merancang berbagai bangunan altar tempat pemujaan dalam ritual. Dari dasar perhitungan inilah wariga lahir sebagai pedoman dalam menentukan waktu yang tepat untuk memulai segala aktivitas.

18 Dikutip dari Rajaram dalam Vedic Aryan and The Origin of Civilization (1995;139),

mengatakan bahwa Shulbasutra ada sejak tahun 2000 sebelum masehi. Tetapi, setelah memperhitungkan data astronomi sejak Ashvalayana Grihyasutra, Shatapantha Brahmana, dll, saat penyusunannya bisa dibawa jauh kebelakang mendekati 3000 B.C., mendekati saat terjadinya Perang Mahabharata dan penyusunan naskah-naskah Veda lainnya oleh Srila Vyasadeva.

19

Shulbasutra dianggap suci karena Shulbasutra merupakan model-model matematika paling awal. Model-model matematika yang ada dalam konsep Shulbasutra ini lebih maju dari pada model-model yang ada dan dikenalkan oleh para filsuf Yunani dan Eropa pada umumnya. (Rajaram, NS. 1995:157)

20

Dalam Shulbasutra terdapat angka-angka decimal puluhan, ratusan, dan prosedur dari sisa penjumlahan dari angka-angka sebelumnya dari satu kolom angka ke kolom angka lainnya, ada juga cara pembagian dan penggunaan tanda-tanda tertentu guna menentukan persamaan dan beberapa huruf untuk menunjukkan faktor-faktor yang tidak diketahui. (Rajaram, NS. 1995:159)


(1)

Untuk memprediksi waktu, masyarakat Bali terlebih dahulu melakukan kegiatan upacara, hal ini tidak terlepas dari budaya orang Bali yang selalu di penuhi dengan kegiatan upacara dalam memulai segala aktivitas mereka. Kegiatan upacara mereka lakukan untuk meminta petunjuk kepada para dewa agar mereka diberikan jalan yang tepat untuk memulai segala sesuatunya, dalam hal ini pertanian. Beraneka ragam sesajen dan mantra-mantra mereka haturkan sebagai instrument yang tidak boleh ditinggalkan atau dilupakan dalam proses upacara itu. Para petani di Pegajahan memakai wuku sebagai alat ‘pembaca’ musim sejak mereka mendapatkan lahan oleh pihak PTPN IV Kebun Adolina, yaitu sekitar tahun 1970-an dan mereka langsung mempraktekkan wuku itu pada kegiatan pertanian. Dari awal pemakaian wuku sampai sekarang di Pegajahan tidak banyak yang berubah, hanya perubahan kecil yang berhubungan dengan cuaca saja, kalu indikator seperti untuk pemilihan hari baik, penentuan upacara adat dan lain sebagainya tidak ada yang berubah.

Dalam sejarahnya nama-nama wuku diambil dari suatu kisah kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Watugunung yang memiliki istri bernama Shinta serta memiliki 28 orang anak. Sehingga ke 28 anak mereka serta Prabu Watugunung dan Shinta menjadi nama dari 30 wuku yang ada dalam konsep wariga. Setiap wuku memiliki sifat yang berbeda satu dengan lainnya, sifat-sifat wuku

disesuaikan dengan sifat dari anak-anak Parbu Watugunung dan sifat Prabu Wantugunung itu sendiri beserta istrinya Shinta.

Dengan mengetahui sifat dari masing-masing wuku, masyarakat Bali dapat mengatur dan melakukan kegiatan mereka secara baik dengan melihat sifat-sifat hari dari setiap wuku yang ada. Masyarakat Bali percaya bahwa mengatur waktu


(2)

dengan sebaik-baiknya, niscaya akan besar sekali mengaruhnya bagi keselamatan dan kesejahteraan. Amanat yang terkandung dalamnya adalah bersifat korektif berupa peringatan kepada umat manusia untuk menghargai waktu (kala), dan mewaspadai pertemuan 'transisi' dua kutub, akibatnya membawa pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh positif apabila dua komunitas terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna, komunikasi akan berjalan baik. Apabila sebaliknya, akan terjadi miskomunikasi yang bisa berdampak negatif.

Sejarah telah membuktikan bahwa matematika, khususnya sistem bilangan pada awalnya tidak seragam, berbeda di tiap suku bangsa. Sehingga matematika dalam kasus ini sangat mirip dengan bahasa, yakni berbeda di tiap suku bangsa, tapi pada prinsipnya bisa diterjemahkan satu sama lain. Dan sebagaimana bahasa inggris mendominasi bahasa yang digunakan di dunia, maka sistem bilangan basis 10 adalah yang paling banyak disepakati suku bangsa dan menjadi sistem bilangan internasional. Tapi seperti bahasa juga, sistem bilangan ini juga mengalami asimilasi, jadi walaupun menggunakan sistem bilangan basis 10 (desimal), 1 tahun tetap 12 bulan dan 1 jam tetap 60 menit. Kenapa tidak diseragamkan? Karena perbedaan itu membuat dunia itu hidup dan indah, contohnya jika ketinggian tanah sama semua bagaimana air bisa mengalir.


(3)

5.2. Saran

Masyarakat Bali memiliki berbagai kearifan lokal warisan leluhur yang dapat dihidupkan kembali untuk melestarikan keseimbangan alam. Salah satu kearifan lokal yang ada pada masyarakat Bali adalah wuku seperti yang telah diuraikan di atas.

Untuk para akademisi, dengan diangkatnya kasus ini diharapkan dapat membuka khasanah pemikiran semua orang agar dapat lebih terbuka dan dapat mengenali sistem perhitungan waktu yang ada, dengan kata lain di Indonesia terdapat banyak perhitungan waktu, selain kalender Masehi yang digunakan secara umum di Indonesia ada juga kalender-kalender lain yang masih digunakan oleh beberapa suku bangsa yang tersebar di Indonesia dan tinggkat keakuratannya dapat dikatakan sama atau bisa jadi lebih tinggi dari pada kalender Masehi.

Untuk pemerintah, pada taraf lokal, kearifan wuku itu dapat dihidupkan kembali, misalnya dengan mengintegrasikan ke dalam peraturan-peraturan daerah yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam. Peraturan daerah yang berbasiskan nilai-nilai budaya setempat akan lebih efektif bila diterapkan dan akan lebih dihargai oleh masyarakat, apalagi di era otonomi seperti sekarang ini, di mana masyarakat tidak lagi dipaksa untuk melaksanakan suatu kebijakan dari luar melainkan kembali kepada apa yang telah diwariskan oleh leluhurnya sendiri, berakar pada nilai-nilai budayanya sendiri.

Dengan menggunakan khasanah lokal yang ada dan lebih menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan, akan memberikan kesinambungan masa tanam yang lebih lama lagi, serta juga dapat menjaga keharmonisan antara alam dan manusia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan

2008 Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global (Ibnu Mujib, M. Iqbal, Ed). Pustaka Pelajar & Sekolah Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Adair, Jhon

1985 Management Decision Making. Gower Publishing Company Ltd. England.

Adimiharja, K.

1999 Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi. Humaniora Utama Press (HUP). Bandung.

Bagus, I G N

1975 “Kebudayaan Bali” dalam Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia (Koentjaraningrat, Ed). Djembatan. Jakarta. Bernard, H. Russel

1994 Reaserch Methods in Anthropology : Qualitative and Quantitative Approach (second edition). Sage Publication. California.

Best, Eldson

1918 “The Maori System of Measurement” The New Zealand Journal of Science and Technology. Government Printers. New Zealand

Dharmana, Ketut

2006 “Mejejahitan” dan Wanita Bali Bagaikan Mata Uang Dari Perspektif Pendekatan Etnosains. Universitas Udayana. Skripsi. Tidak Dipublikasi.

Endraswara, Suwardi

2006 Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Furchan, Arief

1992 Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Usaha Nasional. Surabaya.


(5)

Kadir, M. A. A

2005 Ethnomathematic dan Bahasa Melayu, dalam

Kaplan, David

2000 Teori Budaya, (Kamdani, Ed). Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Keesing, Roger M

1992 Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Erlangga. Jakarta.

Koenjtaraningrat

1987 Sejarah Teori Antropologi I. UI Press. Jakarta

Marzali, Amri

1997 “Kata Pengantar” dalam Metode Etnografi (James P. Spradley). PT. Tirta Wacana Yogya. Yogyakarta. Tambunan, Rytha

2009 Hasil Inventarisasi Tenun Oles Pak-pak. Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni, dan Film. Medan.

Saifuddin, A. F

2006 Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Kencana. Jakarta.

Spradley, James. P

1997 Metode Etnografi. PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.

Suparlan, Parsudi (ed)

1984 Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. CV Rajawali & Konsorsium Antar Bidang Depdikbud. Jakarta.

Syam, Nur

2006 Mazhab-mazhab Antropologi. IAIN Sunan Ampel Press.


(6)

Sumber Lain:

• http