PENGENALAN WUKU Wuku : Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan.

BAB III PENGENALAN WUKU

3.1. Sejarah Wariga dan Rekonstruksi Kedatangan Orang Bali ke

Pegajahan Pengetahuan Wariga adalah pengetahuan tentang jiwa atau dalam bahasa Sansekerta disebut pengtahuan tentang dewasa Dewa = Jiwa = Cahaya = Sinar = Teja. Dewasa diartikan sebagai pengaruh cahaya dari benda-benda angkasa terutama bintang 16 dan matahari terhadap kehidupan makhluk yang ada di bumi. Pengaruh tersebut dikenal dengan sebutan surya koti. Pengetahuan tentang bintang dan matahari tersebut telah diajarkan oleh para filsuf Hindu yang sudah memiliki pandangan tajam dan suci 17 Wariga merupakan sebuah penanggalan tradisional yang dipakai oleh masyarakat Bali untuk mengenal waktu dengan menggabungkan ilmu astronomi dan matematika. Wariga ada seiring dengan perkembangan agama Hindu, filosofi alam semesta dirangkum menjadi sebuah tulisan-tulisan yang ada dalam kitab Weda. Wariga menjadi penanggalan yang khusus seiring dengan perkembangan . 16 Kitab-kitab yang bersumber dari pustaka suci Weda, antara lain: Adi Parwa, Bhawana Mabah, Sundari Bungkah, menerangkan bahwa sebelum ada matahari, bulan, dan bintang serta benda-benda langit lainnya semuanya hanya berwujud kabut, dan pada zaman itu kehancuranlah yang menguasai semuanya, dan zaman itu disebut zaman pralaya. Pada waktu setelah dunia bumi ada isinya terutama mahluk hidup yang paling utama adalah manusia, menurut ajaran Hindu pada pustaka suci menyebutkan terjadinya dua zaman, yaitu zaman Ketu dan zaman Rau. Hal ini berjalan terus silih berganti dengan tak berkeputusan sepanjang zaman dan sangat mempengaruhi kehidupan manusia misalnya pengaruh waktu 16 siang dan malam. Ternyata bahwa Sanghyang Ketu dan Sanghyang Rau memegang peranan sangat penting selama peredaran waktu dan zaman. Tiap-tiap zaman lama waktunya berbeda-beda, zaman besar waktunya lama sekali, zaman kecil waktunya sangat singkat sedangkan zaman madya lama waktunya berada diantara zaman besar dan zaman kecil, misalnya lingkaran siang dan malam lamanya 24 jam, triwara lama waktunya tiga hari dan lima malam, dan demikian seterusnya. Penting untuk dimaklumi bahwa sifat atau watak dari berbagai zaman zaman besar atau zaman kecil adalah sama saja, sama-sama mengandung unsur-unsur baik dan buruk. 17 Dikuitp dari http:www.wikipedia_wariga.com tanggal 15 Februari 2010 ilmu astronomi yaitu sekitar 2000 tahun sebelum masehi 18 Konsep matematika yang dipakai adalah konsep Shulbasutra yang sudah ada di India sejak masa perang Mahabarata. Konsep ini dicatat dan disarikan dalam kitab Veda yang merupakan konsep matematika yang suci . Sejak saat itu wariga banyak digunakan untuk segala aktivitas masyarakat hindu. 19 . Pada mulanya konsep ini digunakan digunakan untuk tujuan keagamaan, pada intinya konsep 20 Konsep wariga digunakan secara umum oleh orang Bali, wariga tetap digunakan untuk segala aktivitas baik itu di daerah asalnya Bali maupun di tempat-tempat lain di luar Pulau Bali. Wariga ada dan dikenal di Pegajahan seiring dengan masuknya orang-arang Bali ke desa tersebut, yaitu sekitar tahun 1960-an. Pada tahun tersebut terjadi bencana besar di Bali yaitu meletusnya Gunung Agung dan membuat penduduk Bali khususnya Desa Gianyar kehilangan sanak saudara dan semua harta bendanya Setelah bencana itu terjadi, penduduk Desa Gianyar tidak dapat berbuat apa-apa selain menunggu bantuan yang datang shulbasutra berisikan rumus-rumus matematika untuk merancang berbagai bangunan altar tempat pemujaan dalam ritual. Dari dasar perhitungan inilah wariga lahir sebagai pedoman dalam menentukan waktu yang tepat untuk memulai segala aktivitas. 18 Dikutip dari Rajaram dalam Vedic Aryan and The Origin of Civilization 1995;139, mengatakan bahwa Shulbasutra ada sejak tahun 2000 sebelum masehi. Tetapi, setelah memperhitungkan data astronomi sejak Ashvalayana Grihyasutra, Shatapantha Brahmana, dll, saat penyusunannya bisa dibawa jauh kebelakang mendekati 3000 B.C., mendekati saat terjadinya Perang Mahabharata dan penyusunan naskah-naskah Veda lainnya oleh Srila Vyasadeva. 19 Shulbasutra dianggap suci karena Shulbasutra merupakan model-model matematika paling awal. Model-model matematika yang ada dalam konsep Shulbasutra ini lebih maju dari pada model-model yang ada dan dikenalkan oleh para filsuf Yunani dan Eropa pada umumnya. Rajaram, NS. 1995:157 20 Dalam Shulbasutra terdapat angka-angka decimal puluhan, ratusan, dan prosedur dari sisa penjumlahan dari angka-angka sebelumnya dari satu kolom angka ke kolom angka lainnya, ada juga cara pembagian dan penggunaan tanda-tanda tertentu guna menentukan persamaan dan beberapa huruf untuk menunjukkan faktor-faktor yang tidak diketahui. Rajaram, NS. 1995:159 dari luar dan pemerintah, karena merekapun sebelumnya memang hidup dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan hanya untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah. Setahun lamanya mereka tinggal dipengungsian dengan kondisi yang seadanya, bahkan sangat minim. Kondisi yang sangat memprihatinkan itu menyebabkan banyak yang meninggal dunia karena terserang penyakit. Setelah setahun lamanya mereka berada di pengungsian, akhirnya pada tahun 1963 pemerintah memberikan bantuan kepada para korban dengan menawarkan mereka untuk melakukan transmigrasi perpindahan dari suatu daerah ke daerah yang lain, tetapi pemerintah tidak memaksakan transmigrasi tersebut untuk diikuti oleh para korban bencana alam tersebut. Tawaran transmigrasi, disambut dengan antusias oleh etnik Bali yang menjadi korban letusan Gunug Agung tersebut, dan pemerintah mendaftarkan mereka sebagai peserta transmigrasi. Etnik Bali tersebut merupakan transmigran umum, dimana semua biaya ditanggung oleh pemerintah yang bekerja sama dengan Direktorat Jendral Transmigrasi yang merupakan bagian dari Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi, dan sesampainya di tempat tersebut para transmigran diberikan pekerjaan dan tempat tinggal sampai akhirnya mereka mapan. Pada masa itu setelah tahun 1960-an, para pengungsitransmigran yang ada di Sumatera bekerja sebagai buruh kebun kelapa sawit milik PTPN IV persero Kebun Adolina 21 21 Lokasi pemukiman orang Bali yang menjadi trasmigran berada sekitar 15 km dari kantor PTPN IV persero Kebun Adolina yang berada di pinggir jalan utama lintas Sumatera yang ada di Kecamatan Pebaungan Kabupaten Serdang Bedagai. . Mereka tinggal dan menetap di Dusun Harapan II Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai. Jumlah kepala keluarga yang tinggal di dusun ini pada tahun 1963 sebanyak 145 kepala keluarga. Kedatangan orang Bali di Pegajahan tidak mengalami konflik atau perselisihan dengan etnik pribumi yang terlebih dahulu menempati tempat tersebut. Seperti yang diungkapkan salah satu informan bahwa : “Kedatangan kami disambut baik dengan penduduk Pegajahan, dan dari awal kedatangan kami samapai sekarang tidak pernah ada masalah atau keributan, bahkan penduduk setempat banyak membantu kami dengan bantuan-bantuan seperti memberikan alas tidur, meminjamkan perlengkapan masak dan ada juga yang memberikan makanan. Mereka juga membantu kami membangun rumah untuk tempat tinggal kami” wawancara, tanggal 29052010. Pemukiman orang-orang Bali yang ada di Pegajahan telah disiapkan oleh pihak PTPN IV persero Kebun Adolina, lahan pertanian juga diberikan oleh pihak PTPN IV persero Kebun Adolina, tetapi hanya sebatas hak pakai saja bukan hak milik, karena pada dasarnya pemukiman dan areal pertanian masuk ke dalam Hak Guna Usaha HGU pihak PTPN IV. Jadi tidak akan ada masalah perebutan tanah bagi mereka sebagai pendatang dengan penduduk setempat. Sehingga mereka dapat tetap tenang berada di daerah yang baru. Lagi pula, lahan kosong yang ada di Desa Pegajahan tersebut adalah lahan milik PTPN IV persero Kebun Adolina dan masyarakat yang pertama tinggal di Desa Pegajahan juga adalah masyarakat pendatang yang menetap di desa tersebut etnik Simalungun. Jadi, pada dasarnya masyarakat setempat pun tidak punya hak untuk menghalangi etnik-etnik pendatang. Seiring berjalannya waktu dan kondisi alam di Pulau Bali semakin membaik, sedikit demi sedikit jumlah kepala keluarga yang ada di dusun tersebut mulai berkurang. Rekonstruksi kedatangan orang Bali ke Pegajahan dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 3.1. Rekonstruksi Kedatangan Orang Bali Ke Pegajahan No Tahun Jumlah KK Pemukiman Latar Belakang Mata Pencaharian Penggunaan Wariga Pertanian Hari Baik Upacara Sudah Belum Sudah Belum Sudah Belum 1 1963 ±145 KK Dusun Harapan II Desa Pegajahan − meledaknya Gunung Agung −dikontraknya mereka sebagai buruh kebun kelapa sawit Buruh kebun kelapa sawit PTPN IV − √ √ − √ − 2 1970 ±100 KK Dusun Harapan II Desa Pegajahan Kondisi alam di Pulau Bali yang sudah mulai membaik dari bencana meledaknya gunung Agung Buruh Kebun, Pegawai Negeri dan Wiraswasta √ − √ − √ − 3 1983 ±85 KK Dusun Harapan II Desa Pegajahan selesainya kontrak kerja dengan pihak perkebunan PTPN IV Bertani dan Wiraswasta √ − √ − √ − 4 2000 ±63 KK Dusun Harapan II Desa Pegajahan menyempitnya lahan pertanian dan ketidakpastian kepemilikan hak atas tanah dari pihak PTPN IV Bertani √ − √ − √ − 5 2010 7 KK Dusun Harapan II Desa Pegajahan - Bertani √ − √ − √ − Wariga masih tetap dipakai oleh orang Hindu Bali di Pegajahan pada awal kedatangan mereka. Awalnya wariga dipakai hanya untuk menentukan hari-hari baik, seperti memilih hari baik untuk melaksanakan pernikahan, hari baik melakukan acara ritual keagamaan baik ritual yang bersifat individu ataupun kelompok. Wariga mulai dipakai oleh orang Bali di Pegajahan untuk kegiatan pertanian pada tahun 1970. Pada tahun ini orang Bali yang mengungsi mulai mendapatkan hak pakai atas lahan pertanian dari pihak PTPN IV persero Kebun Adolina. Lahan yang mereka pergunakan untuk kegiatan pertanian merupakan lahan sisa yang tidak dapat digunakan lagi untuk di tanami pohon kelapa sawit, karena kondisi lahan yang cenderung basah serta memiliki kadar air yang sangat tinggi. Mereka menerapkan wariga pada aktivitas pertanian karena kondisi lingkungan di Pegajahan tidak berbeda jauh dengan kondisi lingkungan yang ada di Bali, seperti suhu, kondisi tanah dan musim yang ada di Pegajahan relatif sama dengan yang ada di Bali, perbedaan yang ada dapat dilihat dari segi sistem sosial lokal yang berbeda dengan sistem sosial orang Hindu yang ada di Bali. Dalam melakukan kegiatan pertanian, masyarakat Bali menggunakan wariga untuk mengetahui waktu yang cocok dalam memulai proses pertanian, khususnya konsep wuku. Mereka percaya dengan mengikuti kaidah-kaidah yang ada dan tertera dalam wuku-wuku niscaya segala yang mereka lakukan itu diberkahi oleh Hyang Sang Widhi.

3.2 Hubungan Wariga dan Wuku

Wariga dan wuku pada dasarnya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya, wuku merupakan bagian dari wariga. Wariga dikonsepsikan sebagai penanggalan untuk mengetahui perhitungan hari dan bulan sedangkan wuku bagi Masyarakat Bali dikonsepsikan sebagai hari-hari yang memiliki berkah-berkah tertentu. Misalnya, dalam upacara pernikahan, untuk menentukan hari baik dilaksanakan resepsi penikahan tersebut digunakan wuku agar terlihat sifat-sifat harinya, apakah sifat hari itu baik untuk melakukan acara resepsi pernikahan, dalam arti tidak ada gangguan dari kondisi alam, atau hari itu sama sekai tidak bagus dalam melakukan proses pernikahan tersebut. Dari hasil wawancara dengan Bapak I Nengah Suamdiase 63 salah satu penduduk di Dusun Harapan II Desa Pegajahan mengatakan bahwa kata wariga berasal dari dua kata, yaitu “wara” yang berarti puncakistimewa dan “ga” yang berarti terang, sebagai penjelasannya: “iki uttamaning pati lawan urip, manemu marga wakasing apadadang, ike tegesing wariga” Dari penjelasan ini jelas bahwa yang dimaksud dengan wariga adalah jalan untuk mendapatkan ke’terang’an dalam usaha untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan hidup matinya hari. Penjelasan yang lain juga dapat dilihat dari lontar ‘keputusan sunari’ 22 yang banyak menjelaskan tentang kejadian-kejadian alam dan perputaran waktu pada alam semesta serta perhitungan hari baik yang disebut dengan ‘dewasa’ 23 Setiap wuku memiliki sifat-sifat yang berbeda, misalnya wuku medangsia memiliki sifat cerah dan panas, wuku ini dikonstruksikan sebagai waktu yang tepat untuk mulai membajak sawah tapi belum tepat untuk menanam karena . 22 Wariga dan dewasa adalah dua istilah yang paling umum diperhatikan oleh umat hindu khususnya di Bali bila ingin mencapai kesempurnaan dan keberhasilan. Kedua ilmu itu merupakan salah satu cabang ilmu agama yang dihubungkan dengan ilmu astronomi atau “Jyotisa Sastra” sebagai salah satu wedangga. Walaupun kedua ilmu tersebut sebagai salah satu cabang ilmu weda, namun pendalamannya tidak banyak diketahui kecuali untuk tujuan praktis pegangan oleh para pendeta dalam memberikan petunjuk baik buruknya hari dalam hubungannya untuk melakukan usaha agar supaya berhasil dengan mengingat hari atau waktu dalam sistim sradha hindu yang dipengaruhi oleh unsur kekuatan tertentu dan planet-planet tertentu pula. 23 Kata “dewasa” terdiri dari kata; “de” yang berarti dewa guru, “wa” yang berarti padanglapang dan “sa” yang berarti ayubaik. Dengan demikian jelas bahwa dewasa adalah satu pegangan yang berhubungan dengan pemilihan hari yang tepat agar semua jalan atau perbuatan itu lapang jalannya, baik akibatnya dan tiada aral rintangan, sehingga dewasa tidak lepas dari ilmu wariga dimana di dalam wariga, urip hari telah terperinci secara baku dan ini harus dipegang sebagai keyakinan kepercayaan akan agama. cahaya matahari bersinar terlalu panas dan terang dan hal ini akan merusak bibit padi yang akan ditanam. Kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, ada beberapa keterkaitan atau kesamaan yang menjadikan wuku dan wariga sulit untuk dicari perbedaannya, yaitu: - Wuku dan wariga merupakan satu bagian dalam perhitungan hari pada kalender Bali. - Wuku dan wariga sama-sama digunakan oleh masyarakat Bali untuk menetukan dan mengetahui hari-hari baik. - Perhitungan yang dipakai wariga untuk menentukan hari-hari adalah sama dengan perhitungan yang dipakai wuku, yaitu menggunakan konsep shulbasutra. Walaupun wariga dan wuku mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya, tetapai masih tetap ada perbedaan yang dapat dilihat, perbedaannya terletak dalam jumlah hari yaitu, dalam 1 wariga terdapat jumlah hari sebanyak 360 hari. Sedangkan dalam 1 wuku hanya terdapat 7 hari, selain itu dari setiap wuku pasti memiliki keistimewaan tersendiri yang wariga tidak punya, misalnya wuku dungulan yang memiliki sifat yang dingin, maksudnya apaun yang dilakukan orang pada wuku ini dengan niat yang baik dan tulus niscaya usaha yang orang itu perbuat pasti akan berhasil dan mendapatkan berkah. Bagi masyarakat Bali wuku banyak memiliki fungsi, yaitu dengan melihat wuku mereka dapat menentukan musim-musim tanam yang cocok untuk untuk jenis tanaman yang akan mereka tanam, mereka juga dapat melihat kapan perkembangbiakan berbagai jenis serangga dan hewan yang menjadi hama bagi tanaman mereka, dengan itu mereka dapat melakukan strategi antisipasi untuk mencegah hama tersebut menyerang tanaman mereka. Selain fungsi di atas wuku juga dapat membaca sifat-sifat manusia yang dilihat dari wuku apa manusia itu lahir. Masyarakat Bali di Pegajahan masih mengamalkan apa yang mereka ketahui tentang sifat-sifat wuku untuk setiap aktivitas mereka. Walaupun terkadang ada kesalahan perhitungan yang terjadi seperti pada wuku pujut yang seharusnya di wuku itu adalah musim pancaroba yaitu musim peralihan dari musim hujan ke kemarau tetapi kenyataannya wuku itu masih masuk dalam musim hujan. Masyarakat Bali di Desa Pegajahan memaklumi penyimpangan itu, mereka menyadari penyimpangan tersebut dan melihatnya sebagai dampak dari perubahan cuaca yang tidak menentu. Untuk mensiasati penyimpangan itu, mereka melakukan sedikit modifikasi perhitungan yang telah ada, dengan memajukan satu sampai dua minggu dari musim pancaroba itu, jadi yang menurut wuku itu sudah masuk musim pancaroba tapi kenyataannya musim itu baru masuk satu atau dua minggu lagi. Tabel 3.2 Karakteristik Wuku Berdasarkan Pengklasifikasian Sifat dan Kondisi Cuaca No Wuku Berdasarkan Sifat Berdasarkan Kondisi Cuaca Dingin Panas Hujan Berawan Cerah Pancaroba 1 Shinta √ 2 Landep √ 3 Ukir √ 4 Kulantir √ 5 Tulu √ 6 Gumbreng √ 7 Wariga √ 8 Warigadian √ 9 Julungwangi √ 10 Sungsang √ 11 Dungulan √ 12 Kuningan √ 13 Langkir √ 14 Medangsia √ 15 Pujut √ 16 Pahang √ 17 Krulut √ 18 Merakih √ 19 Tambir √ 20 Medangkungan √ 21 Matal √ 22 Uye √ 23 Manail √ 24 Prangbakat √ 25 Bala √ 26 Ugu √ 27 Wayang √ 28 Klawu √ 29 Dukut √ 30 Watugunung √ Sumber : Hasil wawancara dengan bapak I Nengah Sumadiase, 29 Mei 2010 Dari tabel di atas, dapat dilihat pembagian wuku berdasarkan sifat dan kondisi cuaca yang ada. Wuku yang memiliki sifat ‘dingin’ adalah ukir, dungulan, kuningan, tambir, medangkungan, dan matal. Konsep ‘dingin’ yang dimaksud disini adalah apapun yang dilakukan oleh manusia dengan niat yang baik, mudah- mudahan akan berhasil, karena di wuku yang memiliki sifat ini akan banyak berkah yang turun dari langit. Pada wuku-wuku ini juga banyak diadakannya upacara-upacara untuk menghaturkan puja-puja dan rasa syukur terhadap Hyang Sang Widhi atas karunia yang diberikan. Wuku yang memiliki sifat ‘panas’ adalah gumbreng, julungwangi, sungsang, merakih, prangbakat dan bala. Konsep ‘panas’ dapat diartikan sebagai banyaknya bencana yang akan datang, karena masyarakat Bali percaya wuku- wuku ini telah dikutuk oleh Hyang Sang Widhi, karena pada zaman dahulu wuku- wuku ini hanya sering membuat keonaran dan kerusuhan. Sehingga masyarakat Bali harus hati-hati melangkah dan mengambil keputusan di wuku-wuku ini, karena apabila mereka sampai salah langkah mereka akan mendapatkan kesialan atau bahkan musibah yang berakhir bencana. Selain sifat, wuku juga dapat dibagi berdasarkan kondisi cuaca yaitu, hujan, berawan, cerah dan masa peralihan pancaroba. Wuku yang identik dengan hujan adalah wuku landep, uye, manail, ugu dan wayang. Pada wuku-wuku ini hujan akan sering turun, curah hujannya juga akan lebat, biasanya pada wuku- wuku ini para petani akan memulai aktivitas pertanian mereka, seperti membajak sawah dan menanam benih padi. Wuku kulantir, tulu, wariga, warigadian, kelawu dan watugunung di kelompokkan ke dalam wuku yang berawan, maksudnya pada wuku-wuku ini cuaca akan sering mendung dan sejuk, tetapi terkadang masih juga turun hujan dengan intensitas yang kecil dengan waktu yang singkat. Wuku-wuku ini dianggap baik bagi petani untuk merawat tanaman padi mereka karena cuaca tidak terlalu panas dan tidak juga turun hujan. Wuku langkir, medangsia, pahang, krulut dan dukut adalah wuku yang cerah, dan cuaca akan terasa sangat panas, pada wuku-wuku inilah petani beristirahat mengolah lahan pertanian mereka, aktivitas lebih sering dikerjakan di rumah, seperti membuat anyaman dari janur untuk keperluan ibadah, bagi sebagian petani pada wuku-wuku ini adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki pematang-pematang sawah yang rusak akibat hujan, karena cuaca yang panas sehingga lumpur yang disusun menjadi pematang sawah akan cepat kering dan mengeras. Wuku shinta dan wuku pujut adalah dua wuku yang tidak dapat diprediksi kondisi cuacanya, pada dua wuku ini terkadang cuaca bisa menjadi sangat panas dan terkadang cuaca juga bisa menjadi sangat dingin. Pada kedua wuku ini siapa yang tidak memiliki kondisi tubuh yang prima akan lebih rentan terkena penyakit. Dalam hal ini antara sifat dan kondisi cuaca tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya, wuku yang memiliki klasifikasi sifat memiliki dampak dari segi religi dan berpengaruh pada jiwa manusia sedangkan wuku yang memiliki klasifikasi kondisi cuaca berpengaruh pada kondisi fisik manusia dan alam sekitarnya secara langsung dan dapat dilihat dengan kasat mata.

3.3 Penentuan Hari Upacara Umat Hindu Bali

Masyarakat Bali memiliki cara tersendiri dalam menentukan hari-hari upacara adat mereka. Mereka memiliki satu perhitungan khusus dalam menentukan hari upacara tersebut. Dasar perhitungan hari upacara dinamakan dengan perhitungan sasih atau bulan yaitu memadukan saptawara dan pancawara serta wuku juga dedauhan 24 . Tujuan dari perhitungan bulan ini adalah untuk mengetahui kapan terjadinya bulan purnama dan kapan terjadinya bulan mati tilem. Dengan mengetahui dua gejala alam tersebut, maka mereka orang Bali di Pegajahan dapat menentukan juga kegiatan upacara-upacara adat lainnya. Pelaksanaan upacara merupakan salah satu usaha untuk menjaga kesimbangan dalam sistem agama. Dalam sistem agama terdapat tiga kerangka kehidupan, yaitu tattwa atau filsafat, susila atau etika dan upacara atau yadnya. Pelaksanaan upacara keagamaan merupakan hilir dari tattwa agama yang ada di hulu dan etika agama yang berada di tengah atau madya. Jika salah satu dari ketiga kerangka itu diabaikan, maka akan terjadi ketidakseimbangan pada sistem agama. Kenyataan yang ada, pelaksanaan upacara hingga kini masih mendominasi kehidupan keseharian orang Bali. Bahkan sering disebut bahwa orang Bali adalah manusia upacara. Orang Bali mengupacarai tidak saja dirinya sendiri, tetapi juga orang lain, lingkungan, alam, pohon, ternak, dan benda-benda mati Seperti misalnya Upacara Siwaratri untuk memperingati hari Siwaratri dirayakan setiap satu tahun sekali, yaitu pada hari Purwaning Tilem sasih kapitu. Maksudnya adalah hari setelah bulan gelap atau malam tanpa cahaya bulan pada bulan ketujuh penanggalan Bali. Berikut adalah tabel upacara pada orang Bali yang dilaksanakan menurut posisi bulan. 24 Dedauhan ini merupakan pembagian waktu dalam satu hari. Sehingga dedauh ini berlaku 1 hari atau satu hari dan satu malam. Berdasarkan dedauhan maka pergantian hari secara hindu adalah mulai terbitnya matahari 5.30 WIB Tabel 3.3 Identifikasi Upacara Perdasarkan Posisi Bulan No Nama Upacara Jenis Upacara Waktu Pelaksanaan Bukan Pertanian Khusus Pertanian Bulan Purnama Bulan Mati tilem 1 Ngendangin − √ √ √ 2 Mapag Toya − √ √ √ 3 Amaluku − √ √ √ 4 Angurit − √ √ √ 5 Anandur Pari − √ √ √ 6 Bajang colong − √ √ √ 7 Ngiseh − √ √ √ 8 Manyangseng Tangkluk − √ √ √ 9 Siwaratri √ − − √ 10 Tawur Kasanga √ − √ − 11 Odalan √ − √ − 12 Ngaben √ − √ √ 13 Oton Bojog √ − √ − 14 Otonan √ − √ √ 15 Tutug Kambuhan √ − √ √ Sumber : Hasil wawancara dengan bapak I Nengah Sumadiase, 29 Mei 2010 Apabila ditelisik lebih dalam lagi, masih banyak upacara-upacara yang dilakukan oleh orang Bali secara umum. Upacara diatas adalah upacara yang sering dilakukan oleh orang Bali yang ada di Pegajahan. Ada beberapa upacara yang dilakukan pada saat posisi bulan bulan mencapai titik tertentu yaitu purnama dan tilem. Upacara siwaratri dilakukan pada saat malam hari dimana tidak ada sama sekali cahaya bulan tilem, upacara tawur kasanga, odalan dan oton bojog dilakukan pada saat posisi bulan mencapai purnama dan upacara lainnya yang di dalam tabel dapat dilakukan kapan saja tanpa harus memperhatikan posisi bulan. Tidak semua upacara tersebut dilakukan pada malam hari, apabila upacara tersebut dilakukan pada siang hari, tetap dperhatikan letak posisi bulannya khususnya pada upacara oton bojog, upacara ini dilakukan pada siang hari, upacara ini dilakukan guna memperingati hari ulang tahun kera yang dilaksanakan setiap 210 hari sekali dan pelaksanaan upacara ini dilakukan pada siang setelah malamnya terjadi bulan purnama. Bapak I Nengah Sumadiase salah satu informan memberikan cara menghitung bulan menurut ketentuan yang ada pada wariga yang didasarkan pada perhitungan sasih. “untuk tau bentuk bulan pada malam hari kita hitung dengan cara 4 angka tahun, lalu dikalikan dengan 11, hasilnya dikurangi dengan angka kelipatan 30 yang mendekati, kemudian tambahkan angka bulan, kalau bulan januari sama februari harus ditambah 1 lagi, hasilnya dikurangi lagi dengan angka kelipatan 30 yang mendekati, kalau hasilnya kurang dari 30 maka di kurangi dengan angka 0, hasilnya ditambahkan lagi dengan angka tanggal, terus hasilnya itu di kurangi lagi dengan angka kelipatan 30 yang mendekati,angka yang didapat dari perhitungan tadi itulah yang menentukan bentuk bulan” Dari perhitungan di atas, ketepatannya memiliki selisih kurang lebih 2 hari dari hasil yang didapat, sebagai contoh untuk mengetahui posisi bulan pada tanggal 27 Oktober 2010 dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 3.4 Contoh Perhitungan Bulan Tahapan Keterangan Penjumlahan Langkah 1 jumlahkan 4 bilangan tahun Masehi 2+0+1+0=3 Langkah 2 kalikan dengan 11 3x11=33 Langkah 3 hitung sisanya dengan angka kelipatan 30 yang mendekati 33-30=3 Langkah 4 tambahkan angka bulan 3+10=13 Langkah 5 untuk Januari dan Februari tambahkan 1 Langkah 6 hitung sisanya dengan angka kelipatan 30 yang mendekati 13-0=13 Langkah 7 tambahkan tanggal 13+27=40 Langkah 8 hitung sisanya dengan angka kelipatan 30 yang mendekati 40-30=10 Sumber : Hasil analisa peneliti dalam menguraikan langkah-langkah perhitungan posisi bulan Untuk hasilnya Pak Nengah juga menjelaskannya “kalau hasilnya 0 artinya malamnya tidak ada bulan atau tilem,kalau 1-3 itu bulan sabit pertama, 4-13 itu bulan paruh pertama, 14-16 itu purnama, 17-22 itu bulan sabit terakhir,23-29 bulan paruh terakhir, 30 itu sama dengan 0 artinya bulan mati atau tilem” Sehingga bila dihubungkan dengan hasil perhitungan yang telah dibuat sebelumnya, maka pada tanggal 27 Oktober 2010 bulan akan berada pada fase bulan paruh pertama. Ada hal-hal istimewa yang didapat dari perhitungan sasih ini yaitu tilem kapitu selalu ada di bulan Januari, maksudnya malam yang tidak memiliki cahaya bulan pada sasih kapitu penanggalan Bali selalu berada di bulan Januari, tilem kasanga selalu ada di bulan Maret, tilem katiga dominan di bulan September. Tilem kapitu selalu ada di bulan Januari terkait dengan upacara Siwaratri, tilem kasanga selalu ada di bulan Maret terkait dengan tutup tahun, upacara Tawur Kasanga, posisi matahari berada pada garis yang menyongsong Purnama kadasa. Tilem katiga dominan di bulan September juga dalam posisi matahari pada garis yang menyongsong Purnama kapat. Penentuan ketiga upacara tersebut sudah baku dan tidak berubah dari sejak pertama sekali kalender dipergunakan oleh masyarakat Bali. Ada juga upacara- upacara lain yang yang sifat pelaksanaan berubah sama dengan pelaksanaan tiga upacara di atas yaitu kegiatan upacara yang berhubungan dengan pertanian. Penentuan kegiatan upacara pertanian sering kali ditentukan menurut sifat ‘panas’ dan ‘dingin’ hari, misalnya upacara ngiseh yaitu upacara untuk memperingati usia padi telah mencapai lebih dari dua bulan, upacara ditentukan dengan melihat wuku yang cocok akan sifat harinya, upacara ini baiknya dilakukan pada hari yang memiliki sifat ‘dingin’ karena pada usia padi yang masih berusia dua bulan rentan akan serangan penyakit sehingga permohonan kepada dewa dan sebaiknya upacara ini dilakukan pada hari yang penuh dengan berkah dan kebaikan, maka dari itulah hari yang sifatnya ‘dingin’ dipilih untuk melakukan upacara ini. Tabel 3.5. Identifikasi Sifat Upacara Adat Khusus Pertanian Masyarakat Bali di Pegajahan No Nama Upacara Sifat Upacara Waktu Upacara Sanksi Panas Dingin Ada Tidak Lokasi Kelompok Individu Rutin Tidak Rutin Ada Tidak 1 Ngendangin − √ √ − sawah yang akan ditanami padi √ − √ − √ − 2 Mapag Toya √ − √ − saluran irigasi √ − √ − √ − 3 Amaluku √ − √ − Sawah yang akan dibajak − √ √ − √ − 4 Angurit − √ √ − tempat benih padi disemai − √ √ − √ − 5 Anandur Pari − √ √ − Pura √ − √ − √ − 6 Bajang colong − √ √ − Pura − √ √ − √ − 7 Ngiseh − √ √ − Pura − √ √ − √ − 8 Manyangseng Tangkluk − √ √ − Pura − √ √ − √ − Sumber: Hasil wawancara dengan bapak I Nengah Sumadiase, 29 Mei 2010 Dari tabel di atas, upacara yang dilakukan khusus pada kegiatan pertanian juga memiliki sifat ‘panas’ dan ‘dingin’. Upacara mapag toya dan upacara amaluku memiliki sifat ‘panas’ yaitu memberikan energi kehidupan bagi benda- benda yang menjadi objek upacara. Upacara mapag toya yang objek upacaranya adalah air, dengan sifat ‘panas’ yang ada dalam upacara tersebut, air yang yang tadinya dingin menjadi sedikit hangat dan hal ini akan sangat berguna bagi tanaman, karena air yang hangat dapat membantu proses pertumbuhan dan penyerapan makan atau nutrisi dari dalam tanah. Upacara ngedangin, angurit, anandur pari, bajang colong, ngiseh, mayangseng tanglkuk, memiliki sifat yang ‘dingin’, karena pada upacara-upacara tersebut banyak mengandung rahmat dan berkah. Upacara ngedangin dapat diambil sebagai salah satu contohnya, upacara ngedangin merupakan salah satu upacara yang ada dalam masyarakat Bali untuk membuka atau memulai kegiatan bertani, untuk memulai proses ini masyarakat Bali memanjatkan doa-doa yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi atau Sang Pencipta Alam, agar kegiatan bertani mereka akan mendapatkan banyak berkah dan keuntungan saat panen kelak, dijauhkan dari serangan hama yang merusak, dan gangguan-gangguan lain yang akan merugikan tanaman mereka.

BAB IV BALI DAN KEARIFAN LOKAL