1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekeringan merupakan salah satu masalah lingkungan hidup yang secara spesifik dihadapi oleh Kabupaten Bojonegoro. Hal ini disebabkan oleh jenis tanah
yang didominasi oleh jenis tanah Alluvial sebesar 46.357 Ha 20,09 dan jenis tanah Grumusol sebesar 88,944 Ha 38,55 dari seluruh luasan wilayah di
Kabupaten Bojonegoro. Kedua jenis tanah ini berupa tanah liat yang memiliki sifat sulit untuk meresapkan air. Sehingga pada musim penghujan, air hujan
langsung mengalir ke sungai Bengawan Solo dan hanya sedikit yang tertampung, baik di dalam tanah maupun di permukaan tanah. Hal ini mengakibatkan banjir
saat musim pengujan dan kekeringan pada saat musim kemarau, karena kondisi seperti ini juga mengakibatkan air permukaan menjadi habis kering dan
sedikitnya cadangan air dalam tanah pada musim kemarau.
1
Kekeringan yang melanda Kabupaten Bojonegoro terjadi setiap tahun. Hal ini tentu saja mengganggu kegiatan pertanian masyarakat, terlebih diketahui
bahwa potensi Kabupaten Bojonegoro banyak terletak pada hasil pertanian seperti tembakau, padi, jagung, ubi kayu, kedelai, ubi jalar, kacang tanah, dan kacang
hijau. Ini dibuktikan dengan luas lahan yang merupakan lahan persawahan yang ada di Kabupaten Bojonegoro mencapai 32,58 dari total luas lahan. Meskipun
tidak menutup kemungkinan berdampak pula terhadap kegiatan-kegiatan industri, perkebunan dan ketersediaan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Mengingat selain potensi unggulan pada bidang pertanian, Kabupaten Bojonegoro
1
Diakses melalui laman http:swa.co.idbusiness-strategymanagementtiga-program-andalan kabupaten-bojonegoro diakses pada tanggal 02-10-2015 Pukul 03.00 WIB
2
juga kaya akan potensi di bidang holtikultura, perkebunan, perikanan dan peternakan. Sehingga permasalahan kekeringan yang melanda Kabupaten
Bojonegoro perlu ditanggapi dengan serius melalui kebijakan-kebijakan yang tepat oleh Pemerintah Daerah untuk mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan
dari bencana kekeringan. Setidaknya terdapat tiga Kecamatan di Kabupaten Bojonegoro yang
tergolong kedalam kawasan rawan kekeringan, diantaranya Kecamatan Sekar, Kecamatan Bubulan dan Kecamatan Gondang.
2
Ketiga kawasan tersebut merupakan kawasan dengan potensi produk pertanian seperti padi, jagung, ubi
kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kacang hijau untuk Kecamatan Sekar. Sedangkan Kecamatan Bubulan unggul pada hasil pertanian padi, ubi kayu,
jagung dan kacang tanah. Terakhir, Kecamatan Gondang memiliki potensi produk pertanian pada ubi kayu, jagung dan padi. Sejauh ini, dalam menanggulangi
kekurangan air untuk kebutuhan pengairan pada lahan pertanian di musim kemarau, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro melakukan penaikan air dari sungai
Bengawan Solo melalui pompanisasi yang tersebar di 24 Desa. Selain itu, sejak tahun 2008 juga digiatkan program pembangunan 1000 embung yang ditargetkan
selesai pada tahun 2018. Kekeringan yang berkepanjangan seperti yang telah dibahas sebelumnya,
sangat berpotensi menurunkan kualitas hasil pertanian petani. Menurunnya kualitas hasil pertanian tidak dapat dipandang remeh. Lebih jauh, kondisi ini dapat
menyebabkan penurunan kondisi pangan nasional yang berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian nasional. Sektor pertanian sangat rentan terhadap
2
Buku Profil Kabupaten Bojonegoro Tahun 2013. Hlm 14.
3
perubahan iklim karena berpengaruh pada pola tanam, waktu tanam, produksi, dan kualitas hasil.
3
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa kekeringan merupakan satu kondisi yang harus ditanggapi dengan serius dalam upaya
menjaga kualitas hasil pertanian, juga memenuhi kebutuhan air untuk aktivitas yang lain. Sehingga diperlukan inovasi dalam melakukan manajemen pengelolaan
air pada musim kemarau, khususnya oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Sejak tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menginisiasi
Program Pembangunan 1000 Embung sebagai langkah mengatasi persoalan kekeringan di daerahnya yang terintegrasi dengan visi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah RPJMD Kabupaten Bojonegoro tahun 2013-2018 yaitu: terwujudnya pondasi Bojonegoro sebagai lumbung pangan dan energi
negeri yang produktif, berdaya saing, adil, sejahtera, bahagia dan berkelanjutan. Disebut embung adalah tandon air atau waduk berukuran kecil pada lokasi
pertanian yang bertujuan untuk menampung kelebihan air hujan di musim penghujan dan pemanfaatannya pada musim kemarau untuk berbagai keperluan,
baik di bidang pertanian maupun kepentingan masyarakat banyak. Pelaksana teknis kegiatan program pembangunan 1000 embung
dilaksanakan oleh empat instansi diantaranya Dinas Pekerjaan Umum, Instansi Perusahaan Jasa Tirta, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Bengawan
Solo PSAWS.BS dan Dinas Pengairan. Sedangkan tipe embung yang dibangun meliputi embung geo membran, embung reservoir dan embung pedesaan yang
tanggulnya berasal dari tanah bekas galian. Khusus pada penelitian ini hanya
3
Nurdin.2011. Antisipasi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Ketahanan Pangan dalam Ketahanan Pangan dalam Perubahan Iklim Global dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik.
Hlm:7.
4
dilakukan penelitian pembangunan embung pedesaan oleh Dinas Pengairan Kabupaten Bojonegoro.
Pembangunan embung oleh Dinas Pengairan sebelumnya telah dilaksanakan dari tahun 2009 dan merupakan salah satu unit kegiatan yang
termasuk kedalam program pengelolaan dan konservasi sungai, danau, dan sumber air lainnya yang dilaksanakan dengan melakukan pembangunan embung,
peningkatan embung, operasi pengelolaan embung, pemeliharaan embung dan rehabilitasi embung. Pembangunan embung dimulai tahun 2009 dengan
membangun embung pedesaan yang tanggulnya berasal dari tanah bekas galian. Pembangunan embung dilaksanakan sesuai dengan usulan Pemerintah Desa
melalui proposal pengajuan bantuan pembangunan embung. Pembangunan embung difungsikan untuk menampung curah hujan yang
tinggi infiltrasi secara maksimal pada musim penghujan. Sehingga dapat menyuplai kebutuhan air pada musim kemarau untuk beragam kegiatan
masyarakat. Infiltrasi sangat berguna untuk mengurangi besarnya banjir dan erosi, mengisi aliran sungai pada waktu musim kemarau, menyediakan air tanah untuk
pertumbuhan tanaman dan sebagai pemasukan air tanah.
4
Pembangunan embung oleh Dinas Pengairan pada dasarnya adalah untuk mengairi lahan pertanian terutama pada akhir musim tanam II, manfaat lain dari
embung adalah dibidang perikanan, embung dapat dimanfaatkan menjadi kolam pemeliharaan ikan dan sebagai persediaan minuman ternak maupun untuk
keperluan rumah tangga. Pengelolaan embung yang dibangun oleh Dinas Pengairan sepenuhnya merupakan hak Pemerintah Desa, termasuk dalam
4
Nugroho Adisusanto.2015.Aplikasi Hidrologi.Yogyakarta: Jogja Mediautama.hlm:119-120
5
menetapkan pemanfaatan embung disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi desa.
Pembangunan embung membutuhkan teknik-teknik tertentu untuk mencapai kualitas embung dengan daya tampung maksimal. Wahyuni 2014
Teknik pembuatan embung meliputi penentuan tekstur tanah, kemiringan lahan, bentuk, ukuran penggalian tanah, kelapisan tanah, kelapisan plastik, penembokan
dan pelapisan kapur. Oleh karena itu, sebelum melakukan pembangunan embung, pertama-tama Dinas Pengairan melakukan survei kelayakan lokasi pembangunan
embung untuk menentukan apakah kemudian proposal akan disetujui atau tidak. Pembangunan embung di tiap-tiap Kecamatan di Kabupaten Bojonegoro
diharapkan dapat membantu dalam penyediaan air pada musim kemarau. Melanjutkan pernyataan sebelumnya, pembangunan embung oleh Dinas
Pengairan dilakukan untuk menguatkan Kabupaten Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri yang ingin diwujudkan dengan kemampuan menghasilkan hasil
pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang berkualitas. Terhitung hingga bulan September 2015, telah dibangun 37 embung
dengan rincian 27 embung telah selesai dibangun, dan 10 embung masih dalam tahap pembangunan yang tersebar di beberapa Kecamatan, diantaranya
Kecamatan Ngasem, Kedungadem, Baureno, Sumberjo, dan Tambakrejo. Hasilnya, terdapat sebanyak 227 embung yang telah berhasil dibangun oleh Dinas
Pengairan dan tersebar di 28 Kecamatan di hampir seluruh desa di Kabupaten Bojonegoro.
Proses pengadaan embung dan realisasinya di desa-desa yang ada di Kabupaten Bojonegoro dimulai dari pengajuan proposal oleh pihak Pemerintah
6
Desa Pemdes. Pemerintah Desa mengajukan proposal pengajuan pembangunan embung yang disertai berita acara. Proses selanjutnya adalah survei lokasi untuk
melihat lahan lokasi pembangunan embung. Perlu dicatat sebelumnya bahwa lahan yang digunakan dalam pembangunan embung sebagian besar menggunakan
Tanah Kas Desa TKD yang diajukan dan diberikan oleh Pemerintah Desa setempat dengan kesepakatan bersama seluruh masyarakat desa melalui kegiatan
musyawarah rencana pembangunan desa Musrenbangdes. Setelah proses survei lokasi, dilaksanakan rapat internal oleh Dinas Pengairan untuk menentukan
diterima atau tidak proposal pengajuan bantuan pembangunan embung oleh Pemerintah Desa.
Sesuai dengan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 54 ayat 1, disebut musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Desa. Salah
satu hal strategis yang dimaksud adalah penambahan dan pelepasan Aset Desa. TKD merupakan satu dari yang termasuk sebagai Aset Desa. Proposal pengajuan
pembangunan embung oleh Pemerintah Desa merupakan hasil dari Musyawarah Pembangunan Desa Musrenbangdes.
Selain menggunakan TKD, pembangunan embung juga menggunakan Tanah Solo Vallei Werken SVW milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Pengadaan lahan menjadi satu problematika dalam mencapai sasaran target 1000 embung oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Salah satu yang menjadi
kendala selama ini adalah perijinan penggunaan lahan milik Perhutani. Seperti telah diketahui, mayoritas lahan yang terdapat di Kabupaten Bojonegoro
7
merupakan peruntukkan hutan negara yang mencapai 40,15 dari total luas wilayah Kabupaten Bojonegoro. Dalam hubungannya dengan pembangunan 1000
embung, setidaknya terdapat 12 titik yang direncanakan akan dibangun embung diatas lahan milik Perhutani tersebut, akan tetapi belum dapat terealisasi karena
belum mendapatkan ijin dari Kementerian Kehutanan untuk penggunaan lahan. Selain itu, muncul penolakan pembangunan embung di Desa Balenrejo,
Kecamatan Balen karena masyarakat setempat beranggapan bahwa letak pembangunan embung terlalu berdekatan dengan pemukiman warga. Sehingga
warga khawatir akan membahayakan anak-anak di sekitar embung. Munculnya problematika dari pelaksanaan Program Pembangunan 1000 Embung merupakan
satu hal yang wajar dalam sebuah implementasi kebijakan publik. Sebuah kebijakan publik memang tidak mungkin diterima oleh seluruh kalangan, sebagian
kalangan ada yang merasa dirugikan dan sebagian lain merasa diuntungkan. Program Pembangunan 1000 Embung merupakan satu inovasi kebijakan
dalam mengatasi persoalan kekeringan yang tiap tahun melanda hampir seluruh kawasan di Kabupaten Bojonegoro. Inovasi dapat didefinisikan sebagai proses
kegiatan yang melibatkan pemikiran yang dalam oleh manusia yang dilakukan untuk menemukan sesuatu yang baru atas suatu hal, baik yang belum pernah ada
sebelumnya ataupun yang sudah ada untuk kemudian diperbaharui. Dewasa ini, istilah inovasi dalam pemerintahan semakin populer seiring
dengan perkembangan zaman. Yoo 2002 dalam Asropi 2008:3 Pada negara seperti Korea, konsep inovasi bahkan telah “menggantikan” konsep reformasi.
Pengalaman Korea menunjukan bahwa penerapan inovasi pada negara tersebut telah meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal.
8
Selanjutnya Shenkar 2006 dalam Asropi 2008:3 Sementara di China, inovasi telah dianggap sebagai bagian dari tradisi China. Inovasi atas birokrasi sangat
medukung bagi berkembangnya ekonomi dan teknologi China dewasa ini. Semua ini menunjukan nilai penting inovasi bagi perubahan yang dinginkan.
Lebih jauh lagi, inovasi dalam pemerintahan diperlukan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Sebuah inovasi dianggap
berhasil apabila dapat memotong lama waktu dan biaya yang dibutuhkan, serta manfatnya yang besar bagi masyarakat luas. Kembali dengan permilihan embung
sebagai satu alternatif kebijakan didalam mengatasi masalah kekeringan di Kabupaten Bojonegoro, jika ditinjau dari kapasitas tampungan air memang relatif
kecil jika dibandingkan dengan kemampuan waduk atau jaringan irigasi. Akan tetapi, untuk membangun jaringan irigasi pada lahan tadah hujan memerlukan
biaya yang sangat besar, karena itu perlu diatasi dengan teknologi yang lebih murah dan terjangkau yaitu dengan teknologi pembuatan embung yang relatif
lebih murah. Penulisan ini merupakan satu kajian dalam melihat Program pembangunan
1000 embung sebagai salah satu inovasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dalam menangani kekeringan serta menganalisa efektifitas program
dalam keberhasilannya menangani kekeringan. Selain itu juga ingin diurai faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan program. Alasan tersebutlah yang
menarik perhatian penulis untuk mengkaji secara lebih jauh mengenai “Inovasi Kebijakan
Pemerintah Kabupaten
Bojonegoro dalam
Mengatasi Kekeringan, Studi tentang Program Pembangunan 1000 Embung Tahun
2013
”.
9
B. Rumusan Masalah