1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum menurut Hans Kelsen adalah tata aturan order sebagai suatu sistem aturan-aturan rules tentang perilaku manusia. Dengan demikian
hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal rule, tetapi seperangkat aturan rules yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai
suatu sistem. Bahwa suatu aturan yang mengatur perilaku manusia adalah aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap manusia dan pemahaman atas
peraturan yang bertujuan untuk mengatur manusia tidak dapat dipahami dengan satu peraturan melainkan dengan seperangkat peraturan. Hukum
pidana dibagi atas tiga bidang yakni hukum pidana materiel yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan subtantif. Hukum
pidana formil yang mengatur mengenai hukum acara pidana atau penerapan atas hukum pidana materiel terhadap pelanggar hukum. Hukum pelaksana
pidana yang mengatur mengenai pelaksanaan pidana yang atas putusan hakim terhadap pelanggar hukum.
Berkaitan mengenai pelaksanaan pidana Van Bemmelen berpendapat untuk tidak memandang pidana itu semata-mata sebagai pidana atau melihat
pemidanaan itu sebagai pemidanaannya dalam pengertian hukum penitensier. Pada dasarnya hukum penitensier adalah peraturan positif mengenai
pelaksanaan sistem
hukum strafstelsel
dan sistem
tindakan maatregelstelsel. Dapat di pahami kinerja hukum penitensier pada saat
hukum pidana telah berhenti bekerja dan hakim telah menjatuhkan putusan pidana terhadap pelanggar hukum. Apabila terdapat atau sudah ada putusan
yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum yang mana hukum pidana sudah tidak bekerja maka selanjutnya hukum penitensier yang aktif dalam penerapan
hukum pidana tersebut. Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan Hak Asasi Manusia
HAM, meskipun orang tersebut telah hilang kemerdekaannya. Pada dasarnya hak asasi manusia melekat disetiap pribadi masing-masing sebagai karunia
dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia tercantum di Negara Republik Indonesia dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945: Pasal 27 ayat 1
Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya. Apabila seseorang telah hilang kemerdekaannya dalam artian seorang
narapidana, maka akan dapat juga memiliki hak asasinya sebagai seorang narapidana. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan:
Pasal 1 angka 7 Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan
di Lembaga Pemasyarakatan LAPAS.
Dalam hal pemberian hak-hak narapidana oleh pemerintah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah mengatur secara jelas mengenai hak
yang di dapatkan seorang narapidana yang terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Narapidana berhak :
Pasal 14 ayat 1 a
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b
Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e
Menyampaikan keluhan; f
Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya; i
Mendapatkan pengurangan masa pidana remisi; j
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k Mendapatkan pembebasan bersyarat;
l Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Salah satunya mengenai Pembebasan Bersyarat merupakan salah satu hak
narapidana yang harus dipenuhi dengan melihat syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan:
Pasal 1 angka 7 Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan di luar Lapas setelah
menjalani sekurang-kurangnya 23 dua per tiga masa pidananya minimal 9 sembilan bulan.
Dasar hukum pembebasan bersyarat terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP mengatur mengenai pembebasan bersyarat yang
menyatakan:
Pasal 15 KUHP ayat 1: Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara
yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana
harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
Pada hakekatnya pemberian pembebasan bersyarat adalah pemberian hadiah dari Negara bagi narapidana untuk bebas terlebih dahulu sebelum masa
pidananya yang sebenarnya. Selain itu pembebasan bersyarat adalah tujuan yang mulia dari pemerintah yang memiliki ide pemikiran yang bertujuan agar
narapidana bisa berinteraksi secara langsung dengan masyarakat setelah dilakukan pembinaan di lapas, pembebasan bersyarat ini salah satu kontrol
dimana narapidana setelah menjalani pemidanaan yang memiliki cap atau lebel atau pandangan dari masyarakat yang negatif, sehingga dapat merubah
cara pandang masyarakat bahwa narapidana bukanlah orang yang patut di perlakuakan sedemikian rupa akan tetapi narapidana adalah orang yang
tersesat dan perlu akan bimbingan. Seperti contoh kasus yang penulis dapatkan di sebuah berita media online
sebagai berikut :
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA
-Pengamat hukum
Universitas Jenderal Soedirman Unsoed Purwokerto, Hibnu Nugroho, menduga ada
hal lain membuat terpidana kasus suap bupati Buol, Hartati Murdaya, bebas bersyarat.
Pidana untuk pelaku tipikor harus maksimal. Oleh karena itu, dilihat bagaimana track record rekam jejak Hartati Murdaya, apakah pantas
diberikan bebas bersyarat, katanya, di Purwokerto, Senin 19. Menurut dia, lembaga pemasyarakatan punya andil untuk memberikan
rekomendasi pembebasan bersyarat itu. Ia menduga ada hal lain yang menyebabkan lembaga pemasyarakatan memberikan rekomendasi
pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus suap Bupati Buol itu. Mungkin pertimbangannya, dia Hartati Murdaya, red. selama ini
dikatakan sebagai tokoh. Mungkin ada sedikit perlakuan khusus sehingga dia diberikan pembebasan bersyarat itu, katanya.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 Februari 2013 menjatuhkan vonis dua tahun delapan bulan penjara kepada Hartati
Murdaya karena terbukti bersalah melakukan suap senilai Rp3 miliar terhadap Bupati Buol Arman Batalipu terkait izin usaha perkebunan.
Hartati yang mulai ditahan pada 12 September 2012 seharusnya akan bebas pada akhir 2015. Akan tetapi, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Amir Syamsuddin memberikan pembebasan bersyarat kepada Hartati Murdaya karena terpidana kasus suap itu telah memenuhi syarat-
syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Dalam hal ini, Hartati sejak 23 Juli 2014 telah menjalani dua pertiga masa pidana dan tidak
pernah mendapatkan remisi. Meskipun Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra
Murdaya itu telah menjalani dua pertiga masa pidana, pembebasan bersyarat terpidana kasus suap Hartati Murdaya dinilai bertentangan
dengan rasa keadilan. Pembebasan bersyarat memang hak seseorang yang telah menjalani dua
pertiga dari putusan yang dijatuhkan, kata pengamat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Unsoed Purwokerto Hibnu
Nugroho, di Purwokerto, Jawa Tengah, Senin. Kendati demikian, dia mengakui bahwa permasalahan itu berbenturan
dengan politik hukum negara atau pemerintah di mana ada pengecualian. Ini memang tergantung pada politik hukum negara atau politik hukum
pemerintah, kata dia yang pernah mengikuti seleksi calon hakim agung pada 2012.
Menurut dia, politik hukum pemerintah idealnya seperti halnya politik hukum pembatasan remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi tipikor.
Oleh karena itu, dia mengaku setuju dengan pembatasan remisi bagi pelaku tipikor meskipun melanggar hak narapidana.
Ia mengatakan jika pembatasan remisi merupakan politik hukum negara dalam rangka pemberantasan tipikor yang memberikan efek jera,
pembebasan bersyarat itu bertentangan dengan rasa keadilan. Tapi itu khusus kasus-kasus korupsi, kalau kasus-kasus pidana umum
bebas mendapatkan hak. Meskipun kasus korupsi juga punya hak, tapi ini pembebasan bersyarat, red bertentangan dengan rasa keadilan, jelasnya.
Terkait hal itu, dia mengatakan bahwa pemberian hak remisi maupun pembebasan bersyarat bagi pelaku tipikor harus dikecualikan kalau
memang Indonesia dikatakan darurat korupsi. Dengan demikian, kata dia, pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tipikor
harus benar-benar memberikan efek jera termasuk pidananya pun dikecualikan dari pidana-pidana yang diberlakukan secara umum.
1
1
Republika. 2014. Pembebasan Bersyarat Hartati Murdaya Ciderai Rasa Keadilan. http:republika.co.id. Diakses tanggal 10 September 2014, pukul 22.32 WIB
Pandangan masyarakat ketika mendengar istilah mengenai Narapidana adalah seorang yang jahat akibat perbuatan yang di lakukannya berlawanan
dengan hukum
sehingga dihukum
dalam penjara
atau lembaga
pemasyarakatan. Hukuman yang diterimanya layak karena perbuatannya yang melawan hukum. Hal ini, Negara memiliki tanggung jawab penuh atas
perilaku warganya yang menyimpang dari aturan-aturan atau norma-norma atau hukum yang berada dinegara tersebut. Tanggung jawab yang dilakukan
oleh negara mengenai perbuatan seseorang yang menyimpang yaitu melalui lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat yang
memiliki tujuan untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang di akibatkan oleh suatu tindak pidana yang telah diperbuatnya.
Penjatuhan pidana atau pemidanaan ini sangat penting dalam hukum pidana dan dalam peradilan pidana. Dalam penjatuhan pidana seseorang, perlu
di tinjau hakekatnya dan tujuan pemidanaan. Hal tersebut menimbulkan beberapa teori serta memikirkan mengapa suatu kejahatan itu perlu adanya
hukuman pidana. Dalam hukum pidana mengenal adanaya 3 tiga teori tujuan pemidanaan. Secara garis besar teori tujuan pemidanaan, yaitu :
1. Teori Absolut
Terori absolut atau teori pembalasan, “dasar pijakan teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa
pidana itu pada penjahat”.
2
Teori ini beranggapan bahwa apa yang
2
Adami Chazawi. 2001. Pembelajaran Hukum Pidana Bagian I. Penerbit Rajawali Pers. Hal 157
dilakukannya maka itu adalah hukuman yang harus diterimanya. Penjatuhan hukuman ini didasarkan pada pembalasan terhadap kejahatan
yang telah dilakukannya, mengenai dasar hukum teori ini terletak pada kejahatan itu sendiri. “Teori ini sebenarnya adalah suatu teori yang
berdasarkan pada anggapan, bahwa hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa dan hutang darah harus di bayar dengan darah”.
3
2. Teori Relatife
“Teori relatife atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib hukum dalam
masyarakat”.
4
Teori ini berbanding terbalik dengan teori mutlak, dalam teori relatife ini ditujukan hanya untuk pencegahan prevensi dimana teori
relatife mementingkan hari-hari yang akan datang terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana agar menjadi orang yang lebih baik.
3. Teori Gabungan.
“Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi
dasar penjatuhan pidana”.
5
Teori ini menggabungkan antara Teori Absolut dengan Teori Relatife. Dalam teori gabungan ini tidak hanya menitik
3
Samidjo. 1993.Pengantar Hukum Indonesia. Bandung. Penerbit CV. Armico. Hal 153
4
Ibid. Hal 161 sumber kutipan sama dengan nomor 2, halaman berbeda
5
Ibid. Hal 166 sumber kutipan sama dengan nomor 2, halaman berbeda
beratkan hukuman yang diterima itu sebagai pembalsan melainkan mendidik seseorang yang melakukan tindak pidana agar menjadi lebih
baik di kehidupan selanjutnya. Pembinaan narapidana menurut Muladi, bahwa tujuan pemidanaan adalah
untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan yang
harus di penuhi, dengan catatan tujuan yang merupakan titik berat harus bersifat kasuistis. Perangkat yang tujuan pemidanaan yang dimaksud
terdiri atas:
1. Pencegahan umum dan khusus;
2. Perlindungan masyarakat;
3. Memelihara solidaritas masyarakat;
4. Pengimbalanperimbangan.
6
Macam-macam metode pembinaan dalam sistem pemasyarakatan telah disusun dan dikelompokkan dalam sistem pembinaan didalam lembaga
pemasyarakatan dan diluar lembaga pemasyarakatan, salah satunya pemberian pembebasan bersyarat merupakan bentuk pembinaan yang diberikan kepada
narapidana. Pembinaan ini merupakan hak narapidana untuk dibina diluar
lembaga pemasyarakatan atau dikembalikan kepada masyarakat sebelum masa pidananya berakhir yang memiliki tujuan agar narapidana bisa berinteraksi
dengan msyarakat dan diterima oleh masyarakat. Pembinaan ini merupakan evaluasi dari
hasil pembinaan yang dilakukan didalam
lembaga pemasyarakatan. Pembinaan ini diperoleh oleh narapidana yang memenuhi
persyaratan secara subtantif dan persyaratan administratif.
6
Petrus Irwan, dkk. 1995.Lembaga Pemasyarakatan Dalam Prespektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Hal 12
Pelaksanaan pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan di atur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
selain itu juga di atur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan dalam latar belakang diatas
menjadi pendorong bagi penulis untuk melaksanakan penelitian guna
penyusunan skripsi yang berjudul : SYARAT DAN TATA CARA MENDAPATKAN
HAK PEMBEBASAN
BERSYARAT BAGI
NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Jombang.
B. Rumusan Permasalahan